Koalisi Arab Saudi, Qatar, AS dan Israel Gulingkan Bashar Assad
Posted on April 28, 2012 by syiahali
http://syiahali.wordpress.com/2012/04/28/koalisi-arab-saudi-qatar-as-dan-israel-gulingkan-bashar-assad/
Arab Saudi dan Qatar yang getol memusuhi pemerintahan Bashar
Assad di Suriah dengan mendukung penuh kelompok bersenjata sejatinya
menjadi pelaksana kebijakan Amerika Serikat dan Rezim Zionis Israel
untuk mengobrak-abrik stabilitas kawasan Timur Tengah. Seiring dengan
merebaknya gelombang kebangkitan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara
yang berujung pada lengsernya sejumlah diktator Arab seperti Hosni
Mubarak di Mesir, Zein el Abidine ben Ali di Tunisia dan Muammar Gaddafi
di Libya, Amerika dan negara Barat berusaha menggulingkan pemerintahan
Bashar Assad demi menyelamatkan Israel dari keterkucilan dan mencegah
bertambah kuatnya poros muqawama di kawasan.
Untuk merealisasikan ambisinya ini, AS memanfaatkan Arab Saudi dan
Qatar, tentunya dengan imbalan seperti sikap bungkam Washington terhadap
kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di kedua negara ini. Gedung Putih
meminta Riyadh dan Doha mendukung kubu anti Assad serta mengobarkan
krisis di Suriah. Arab Saudi dan Qatar dalam hal ini berusaha mengulang
kesuksesan mereka di Yaman. Seperti diketahui P-GCC yang dimotori Arab
Saudi mengusulkan penggantian Ali Abdullah Saleh, presiden Yaman dengan
wakilnya, Abd Rabbu Mansour Hadi dan kini strategi ini akan diterapkan
juga di Suriah. Selanjutnya mereka akan menentukan pemerintahan sesuai
dengan selera dan kepentingan mereka.
Kini setelah upaya mereka gagal di Suriah, Arab Saudi dan Qatar
berusaha menjadikan kasus Damaskus sebagai kasus internasional dan terus
menekan Bashar Assad. Kedua negara ini dengan dalih melindungi warga
sipil Suriah menuding Damaskus melakukan pelanggaran HAM. Tak cukup
sampai di sini, Riyadh dan Doha membawa klaimnya tersebut ke Majelis
Umum PBB. Sementara itu, upaya keras kedua negara Arab ini membawa
tudingan mereka soal pelanggaran HAM Suriah ke Majelis Umum PBB tidak
dibarengi dengan kondisi memuaskan di Arab Saudi dan Qatar sendiri.
Kondisi HAM di Riyadh dan Doha sendiri saat ini cukup memprihatinkan.
Arab Saudi saat ini tercatat sebagai rezim yang paling tidak
demokratis dan kejam di dunia. Wanita di negara ini tidak mendapat
hak-hak sebagaimana mestinya. Mereka dilarang mengendarai kendaraan dan
tidak diperkenankan berpartisipasi di pentas politik, termasuk tidak
memiliki hak suara. Qatar sendiri tak berbeda jauh dengan Arab Saudi,
pemerintahan Doha juga berbentuk kerajaan dan tidak terlihat demokrasi
di negara ini.
Navi Pillay, Komisaris Tingggi Dewan HAM PBB menuding Suriah
melanggar Hak Asasi Manusia di saat rezim al-Saud di Arab Saudi
memenjarakan lebih dari 30 ribu warganya yang tak berdosa dan tanpa
dakwaan yang jelas. Selain itu, Riyadh juga gencar menumpas aksi demo
damai rakyatnya. Navi Pillay menyebut upaya pemerintah Damaskus
melindungi warganya dari serangan kelompok bersenjata yang didukung Arab
Saudi, Qatar, Israel, AS dan Turki sebagai pelanggaran HAM. Di sisi
lain, Pillay tidak melihat aksi pengiriman tentara Arab Saudi ke Bahrain
dan pembantaian warga Manama sebagai pelanggaran HAM.
Sementara itu, pemerintahan Bashar Assad berbeda dengan Arab Saudi
dan Bahrain. Assad mendapat dukungan penuh dari rakyatnya. Hal ini
terlihat dari aksi demo warga mendukung pemimpin mereka yang digelar
hampir tiap hari. Poin penting di sini adalah baik Arab Saudi, Qatar, AS
dan Israel sama-sama memiliki satu tujuan yaitu melemahkan poros
muqawama serta mencegah keterkucilan Tel Aviv dengan menggulingkan
pemerintahan Bashar Assad.
Militer Suriah Kuasai 70 Persen Kota Al-Qusayr
Sebuah sumber militer Suriah mengkonfirmasikan penguasaan 70 persen wilayah di kota Al-Qusayr oleh militer negara ini.
FNA (26/5) melaporkan, sebuah sumber militer Suriah menyinggung
keberhasilan pasukan negara ini di Al-Qusayr dan mengatakan, "Berbagai
satuan militer telah mengontrol bagian timur wilayah Al-Shumaliyah di
Al-Qusayr dan para pasukan terus bergerak ke arah barat untuk
menyempurnakan pembersihan wilayah tersebut."
Berdasarkan laporan yang sama, pasukan infantri Suriah telah
menghancurkan sejumlah titik konsentrasi para teroris yang akibatnya
puluhan teroris tewas dan sejumlah lainnya terluka.
Militer Suriah juga berhasil menduduki kembali sejumlah gedung pemerintahan yagn sebelumnya dikuasai oleh para teroris.
Sumber itu juga menjelaskan bahwa wialyah di sekitar bandara Al-Dob'ah
aman dan telah dikuasai oleh militer. Para teroris telah keluar dari
bandara tersebut akan tetapi pasukan infantri Suriah belum memasuki area
bandara.
Para teroris juga melancarkan sejumlah
serangan ke pos-pos pemeriksaan militer Suriah guna mereduksi hebatnya
tekanan dari pasukan Suriah terhadap anasir di Al-Qusayr dan Rif Homs.
(IRIB Indonesia/MZ)
Intervensi Asing dan Sengkarut Krisis Suriah
Penasehat
Presiden Mesir urusan Hubungan Luar Negeri, Essam el-Haddad yang
didampingi sejumlah staf khusus presiden Mursi mengunjungi Tehran untuk
membahas krisis Suriah dengan pejabat tinggi Iran. Lawatan delegasi
Mesir tersebut untuk menindaklanjuti pembicaraan antara Iran dan Mesir
mengenai pembentukan kuartet yang terdiri atas Iran, Turki, Mesir dan
Arab Saudi guna mencari solusi krisis Suriah.
Pada
pertemuan puncak Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Mekah Agustus 2012
lalu, Presiden Mesir mengemukakan prakarsa membentuk kelompok kontak
untuk Suriah yang terdiri dari Mesir, Arab Saudi, Iran dan Turki.
Menyusul kemudian, sebuah pertemuan tingkat tinggi digelar pada 17
September 2012, sekitar sepekan setelah pembicaraan pendahuluan di Kairo
oleh pejabat dari keempat negara. Namun, pertemuan keempat negara itu
membentur dinding karena ketidakhadiran Arab Saudi "keukeuh" dengan
sikapnya sendiri, yang tidak seirama dengan prakarsa pihak lain mengenai
penyelesaian damai konflik Suriah.
Di tengah
meningkatnya krisis Suriah, Mesir berupaya menghidupkan kembali kuartet
kelompok kontak Suriah ini untuk meretas solusi damai dengan
memanfaatkan sinergi regional. Di sisi lain, prakarsa kolektif lain yang
disepakati seperti konsensus Jenewa juga membentur dinding dalam
penerapannya karena penentangan negara-negara Barat dan kelompok oposisi
Suriah.
Selain itu, Iran juga pernah mengemukakan
prakarsa enam poin mengenai penyelesaian krisis Suriah yang bertumpu
pada dialog dan rekonsiliasi nasional bangsa Suriah sendiri. Prakarsa
Tehran ini telah disampaikan kepada sejumlah negara dan Utusan Khusus
PBB dan Liga Arab untuk urusan Suriah, Lakhdar Brahimi. Meski berbagai
usulan telah disampaikan, tapi tidak pernah bisa diterapkan untuk
meredakan konflik berdarah di Suriah. Sebab sebagian kelompok oposisi
masih tetap melanjutkan aksinya menyulut kerusuhan di Suriah. Kondisi
itu semakin kompleks dengan meningkatnya dukungan negara-negara Barat
dan sejumlah negara regional terhadap kelompok oposisi bersenjata di
Suriah. Dan Imbasnya jalan meretas solusi bersama yang logis semakin
jauh dari harapan.
Krisis Suriah memiliki dua faktor
pemicu, dari luar dan dalam negara Arab itu. Dari faktor internal
sendiri, kelompok oposisi yang sama-sama menentang rezim Assad ternyata
tidak satu suara. Akibatnya, usulan perundingan dengan pemerintah
Damaskus yang digulirkan mantan pemimpin aliansi oposisi Suriah, Muaz
Al-Khatib tidak didukung oleh kubu oposisi lainnya. Akhirnya ia
mengundurkan diri akibat beratnya tekanan dari berbagai pihak. Selain
itu, keberadaan Front Al-Nusra sebagai "penumpang gelap" kubu oposisi
rezim Damaskus semakin memperkeruh keadaan dengan meningkatkan aksi-aksi
kekerasan yang dilakukan milisi teroris itu.
Dari
faktor luar, dukungan finansial hingga militer yang digelontorkan AS dan
Israel bersama sejumlah negara regional semacam Qatar, Arab Saudi dan
Turki terhadap milisi teroris di perbatasan Turki dan Lebanon kian
menyeret konflik Suriah ke jurang konflik yang lebih dalam. Kini, krisis
Suriah bukan lagi problematika kekecewaan rakyat terhadap pemerintah
Damaskus, tapi ke arah kudeta terhadap sebuah rezim sah oleh negara lain
melalui kaki tangannya.
Di tengah silang sengkarut
masalah yang menimpa Suriah, Iran dan Mesir menyerukan aksi nyata dan
segera untuk menghentikan kekerasan yang semakin mengkhawatirkan di
Suriah. Bagi Tehran dan Kairo, intervensi asing, apalagi invasi militer
jelas bukan solusi, bahkan justru hanya membuat api konflik semakin
berkobar. Sebab solusi krisis Suriah adalah dialog antara pemerintah dan
oposisi serta digelarnya pemilu yang bebas dan adil untuk mengembalikan
nasib Suriah kepada rakyatnya sendiri.(IRIBIndonesia/PH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar