Rabu, 26 Juli 2017

Saat Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika akan digelar di Bandung pada 1955, Presiden Sukarno sengaja mengundang delegasi Aljazair, yang masih berperang melawan kolonial Prancis. Berkat forum internasional yang digagas Sukarno itulah nama Aljazair pertama kalidikenal dunia internasional. Hingga akhirnya pada 5 November 1962 para pejuang memproklama-sikan kemerdekaan Aljazair. Tapi peran Sukarno bagi Aljazair tak berhenti di situ. Pada 1957, ia menyelundupkan senapan mesin bagi Front Nasional Pembebasan Aljazair untuk melawan Prancis. Misi rahasia ini melibat-kan dua kapal selam yang dipesan Indonesia dari Uni Soviet. Setelah berlayar dari Moskow menuju Aljazair, barulah kapal selam itu melanjutkan perjalanan ke Tanah Air. ...>>> ...Buat Sukarno, membantu Aljazair merdeka merupakan taktik diplomasi menikung buat merebut Irian Barat. Menyerang langsung ke Papua hanya akan membuat Belanda diuntungkan dengan bantuan dari pasukan Sekutu, yang bermarkas di Samudra Pasifik. Apalagi jalan diplomatik pun mentok di PBB. Sukarno mengharapkan efek domino dari sukses pejuang Aljazair memukul Prancis di negerinya. Merdekanya Aljazair akan menambah daftar negara yang mendukung perjuangan melawan kolonialisme. “>

Mengenang Bung Karno
Bung Karno Selundupkan Senjata dari
Soviet
https://jalimerah.files.wordpress.com/2013/06/mengenang-bung-karno-dirilis-oleh-detik.pdf
Banyak cerita mengenai Bung Karno (6 Juni 1901-21 Juni 1970) di luar yang tertulis di sejarah.
Harian detik menurunkannya secara berseri untuk Anda:
Saat Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika akan digelar di Bandung pada 1955, Presiden Sukarno sengaja mengundang delegasi Aljazair, yang masih berperang melawan kolonial Prancis. Berkat forum internasional yang digagas Sukarno itulah nama Aljazair pertama kalidikenal dunia internasional. Hingga akhirnya pada 5 November 1962 para pejuang memproklama-sikan kemerdekaan Aljazair.
Tapi peran Sukarno bagi Aljazair tak berhenti di situ. Pada 1957, ia menyelundupkan senapan mesin bagi Front Nasional Pembebasan Aljazair untuk melawan Prancis. Misi rahasia ini melibat-kan dua kapal selam yang dipesan Indonesia dari Uni Soviet. Setelah berlayar dari Moskow menuju Aljazair, barulah kapal selam itu melanjutkan perjalanan ke Tanah Air.
Pada 1949 hingga 1958, Uni Soviet memang memproduksi 236 kapal selam kelas Whiskey, yang 12 di antaranya dibuat untuk Indonesia. Bahkan, menurut Abdelhamid Mehri, pejuang Aljazair yang meninggal pada 30 Januari 2012, Sukarno tak cuma menyuplai senjata dari Moskow, tapi juga mengirimkan perwira-perwira TNI dari berbagai angkatan untuk melatih pejuang Aljazair.
Ketika Guntur bertanya apakah Bung Karno tidak takutpada sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa karena melanggar hukum internasional, dia membalas dengan suara kentut yang besar! Ya, dia bilang kalau PBB berani menghukumnya karena membantu negara lain lepas dari penjajahan, dia akan mengentuti badan internasional itu.
“Soal kemerdekaan, soal menghancurkan imperialisme, itu buatku nomor satu,” ujarnya seperti dikutip Guntur dalam buku Bung Karno, Bapakku Kawanku, Guruku.
Tapi Sukarno tak hanya nekat. “Kita itu harus pakai otak,” kata Bung Karno menjelaskan alasannya mengirim senjata ke Aljazair.
Buat Sukarno, membantu Aljazair merdeka merupakan taktik diplomasi menikung buat merebut Irian Barat. Menyerang langsung ke Papua hanya akan membuat Belanda diuntungkan dengan bantuan dari pasukan Sekutu, yang bermarkas di Samudra Pasifik.
Apalagi jalan diplomatik pun mentok di PBB.
Sukarno mengharapkan efek domino dari sukses pejuang Aljazair memukul Prancis di negerinya. Merdekanya Aljazair akan menambah daftar negara yang mendukung perjuangan melawan kolonialisme. “
Di sini beratnya perjuangan melawan colonial-isme,” kata Sukarno. semuanya,” ujarnya seperti ditulis dalam buku Subversion as Foreign Policy The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia.Pemulangan Pope itu tidaklah gratis. Kennedy mesti membarternya dengan pesawat angkut Hercules dan dana pembangunan jalan bypass dari Cawang ke Tanjung Priok.
Lain lagi cerita Bambang Avianto, putra sulung Marsekal Pertama Joko Nurtanio. Anak penggagas industri penerbangan Indonesia itu menunjuk pada bangkai helikopter Bell-47 J2A Roger, yang 30 tahun teronggok di ujung landas pacu Husein Sastranegara.
Bambang mengatakan helikopter kepresidenan era Sukarno itu merupakan hadiah Presiden Kennedy. Helikopter berjulukan si Walet itu status resminya hadiah, tapi sejatinya bagian dari barter dengan Pope. “Itulah salah satu kelebihan diplomasi Bung Karno,” ujarnya.
Kennedy memang ingin menjauhkan Sukarno dari Cina dan Uni Soviet. Taktik yang dipakai adalah memberi bantuan nonmiliter.
Namun bernarkah Sukarno menukar Pope dengan pesawat dan sejumlah proyek pembangunan? Ketika Guntur Soekarno mendesak soal itu, ayahnya cuma tertawa.
Usai urusannya di toilet istana pada 1960-an itu, Sukarno cuma berujar, “Mudah-mudahan Amerika kirim Pope yang lain. Kalau tertangkap nanti, aku minta tukar dengan Ava Gardner dan Yvonne de Carlo!”
Inspeksi Tari Perut di Mesir
Hei, Bur, ada apa malam-malam begini!” hardik Bung Karno. “Aku kan sudah bilang aku mau istirahat!”
Sukarno memang malam itu baru tiba di Kairo. Karena tak ada acara, ia memilih langsung tidur agar esok tampil segar saat bertemu dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser.
Tergagap, Sabur menyampaikan bahwa Nasser mengirim utusan. Kemarahan Sukarno
mereda dan dia meminta Marsekal Abdul Hakim Amir itu masuk ke kamarnya.
Mengenakan kaus oblong dan celanapiyama, Sukarno menerima Marsekal Amir. “Presiden Nasser mengutus saya menjemput Paduka Yang Mulia untuk inspeksi,” kata Amir.
Sukarno langsung memotong Amir dan minta agar disampaikan kepada Nasser bahwa ia terlalu lelah buat inspeksi pasukan ataupun persenjataan Mesir di larut malam. Tapi Amir terus meminta Sukarno ikut dengannya.
“Begini, presiden kami mengundang sahabat beliau, Presiden Indonesia, untuk menginspeksi
penari-penari perut di Kairo ini." Mendengar itu, Sukarno mendadak sontak bersemangat.
“Kenapa tidak bilang dari tadi!” kata Sukarno. “Sampaikan kepada saudaraku, Nasser, Sukarno dari Indonesia akan siap dalam sepuluh menit!”
Inspeksi penari perut yang diceritakan ulang oleh Guntur Soekarno ini hanya salah satu agenda tak resmi Bung Karno bersama pemimpin negara sahabat. Dalam buku Bung Karno, Bapakku, Kawanku, dan Guruku, Guntur bercerita Sukarnodi sela-sela pertemuan Gerakan Nonblok pernah diajak menonton kabaret oleh Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito.
“Wah, Bapak senangnya bukan main diajak Pak Tito nonton kabaret yang pamer paha,” tulis Guntur. “Waktu Pak Tito ke Indonesia dibalas dengan mengajak nonton tari Bali yang megal-megol mengasyikkan.”
Peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, melihat undangan menonton tari perut dan kabaret itu menunjukkan Sukarno memang akrab betul denganpemimpin negara lain. “Sukarno bisa akrab karena dia sendiri memang supel,” kata Asvi.
Namun keakraban itu bukan sekadar hura-hura karena, Asvi melihat, Sukarno memanfaatkan itu buat mengegolkan kepentingan Indonesia dan negara dunia ketiga lainnya. Kedekatan itu, kata Asvi, membantu memuluskan misi diplomatiknya mendirikan Gerakan Nonblok demi menandingi Blok Amerika Serikat dan Blok Uni Soviet.
Tak cuma dengan kawan, Sukarno juga bisa berkarib dengan lawan. Asvi mencontohkan Sukarno, yang meski kerap diganjal Amerika Serikat, bisa melenggang dan berbincang hangat dengan Presiden John F. Kennedy.
Meski banyak mengkritik Amerika, kata Asvi, Sukarno datang ke sana karena perlu dukungan Amerika buat menekan Belanda keluar dari Papua. “Dia berprinsip hubungan antarnegara kan tidak melulu bertengkar meskipun Indonesia sering mengkritik Amerika,” kata Asvi.

Musuh Amerika Itu Kepincut Sukarno
Hendri Saragih tak menyangka pembesar yang ditemuinya bakal menyapa hangat. Semua ituterjadi karena Koordinator Organisasi Petani Sedunia itu mengatakan kepada Presiden Venezuela Hugo Chavez bahwa ia dari Indonesia.
Chavez meraih bahu Hendri dan mengguncang-guncangnya.
“Oh, Bandung, Bandung, Bandung,” katanya seperti ditirukan Hendri.Chavez lantas menjelaskan, ia teringat akan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955.
Ia juga menyatakan mengagumi penggagas konferensi itu, Presiden Sukarno.
Kebijakan nasionalisme perusahaan asing oleh Sukarno, kata Hendri, juga dijadikan contoh oleh Chavez. Nasionalisme perusahaan itu pula yang membuat Chavez dimusuhi Amerika Serikat, yang beberapa perusahaannya dicaplok Venezuela.
Pesona Sukarno memang menyihir Amerika Latin, terutama setelah ia mengunjungi Fidel Castro dan sekondannya, Ernesto “Che” Guevara, di Havana pada 1960. Kunjungan itu pada 2008 diabadikan di Kuba dalam prangko, yang menampilkan foto pertemuan tersebut.
Prangko itu hanyalah satu dari banyak jejak sepak terjang Sukarno di dunia, yang hingga kini masih terserak di banyak negara. Filipina, misalnya, punya prangko bergambar Sukarno.
Mesir juga menamai satu ruas jalannya Ahmed Soekarno. Adapun di ibu kota Maroko, Rabat, ada Jalan Rue Soekarno. Di Arab Saudi, ada pohon mimba, yang di sana dijuluki Syajarah Sukarno atau Pohon Sukarno.
Sekadar menyebut Indonesia saja, penduduk di beberapa negara Afrika dan Asia spontan menyahut, “Sukarno.” Backpacker Agustinus Wibowo mengingat pengalaman itu saat berusaha masuk Afganistan lewat Pakistan. "Orang-orang di sana, terutama dari generasi tua,tahu Bung Karno yang pernah pidato di sana,” kata Agustinus. Ia juga menemukan Soekarno Square di daerah Peshawar dan Soekarno Bazar di Lahore.
Peneliti sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan Sukarno dikenang banyaknegara karena piawai membina hubungan baik. “Dia secara konsisten membantu negara-negara itu memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan mereka,” ujarnya

Melirik Istri Raja Kamboja hingga Marilyn
Monroe
Api cemburu membakar hati Yurike Sanger saat
terbaring di salah satu kamar Rumah Sakit Jang Seng Le (sekarang Sarihusada) pada suatu hari pada 1965.
Setelah menjalani operasi terkait dengan kehamilannya yang tak normal, sang suami hanya
membesuknya sekelebat. Dalihnya, kesibukan tugas negara yang mustahil dikesampingkan.
Sang suami tak lain adalah Bung Karno. Ia, yang belum genap 20 tahun, menjadi perempuan kedelapan yang dinikahi si Bung, sekaligus dijanjikan bakal menjadi istrinya yang terakhir.
Sebagai presiden, suaminya memang baru saja menunaikan tugas kenegaraan ke Eropa. Tapi juga menyalurkan hasrat kelelakiannya, yang amat mengagumi wanita cantik.atau kegunaan), firmitas (konstruksi atau kekokohan), dan venustas (estetika atau keindahan) tetap diperhatikan.
Bagi Bung Karno, sebuah karya arsitektur bisa dipakai untuk membangun karakter bangsa.
Maka, dalam setiap bangunan, meski desainnya modern, Sukarno selalu menambahkan ornamen yang merupakan ciri bangsa Indonesia. Bangunan Hotel Indonesia, misalnya, meski
desainnya modern, di bagian dalamnya ada ornamen batik tradisional.
“Budaya Bali dan Jawa banyak mempengaruhikarya (arsitektur) Bung Karno,” kata Bambang Eryudhawan, arsitek dari ITB, kepada Detik kemarin.
Menurut Yudha, setelah menjadi presiden, Sukarno tak pernah mengeksekusi langsung desain sebuah bangunan. Dia selalu dibantu oleh arsitek Istana, Raden Mas Soedarsono, F. Silaban, dan Insinyur Soetami. Profesor Eko Budihardjo, mantan Ketua Dewan Pembina Persatuan Sarjana Arsitektur Indonesia, dalam harian Kompas terbitan 1 Juni 2001, mengatakan banyak karya arsitektur di Jakarta yang sekarang menjadi kebanggaan bangsa.
Eko mengakui sentuhan Bung Karno dalam bangunan tersebut sebatas ide, bukan dia sendiri yang mengerjakan. “Namun ide yang orisinal dan otentik itulah yang menjadi jiwa atau semangat dari karya-karya arsitektur yang bermunculan,” ujarnya.

Jacky Kennedy dan Katalog Lukisan Bugil
Menjelang kunjungan kenegaraan Presiden Sukarno ke Washington, DC, pada April 1961, Jacqueline “Jacky” Kennedy meminta Departemen Luar Negeri mencari buku koleksi lukisan Sukarno. Sebagai ibu negara, ia ingin mencitrakan diri sebagai tuan rumah yang baik saat suaminya, Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, menyambut sang tamu.
Permintaan itu dilontarkan Jacky karena ia mendengar Sukarno sedang gembira luar biasa
karena pemimpin besar Cina, Mao Zedong, akan menerbitkan katalog koleksi lukisannya.
Jacky ingin membuat tamunya terkesan karena di Gedung Putih ada buku itu.
Jacky meminta buku itu ditaruh di meja yang diapit dua sofa. Satu tempat suaminya duduk dan di seberangnya disiapkan buat Sukarno. Namun Jacky terkejut melihat koleksi lukisan di buku itu. “Semua perempuan bertelanjang dada dengan kembang sepatu besar di rambutnya,” tutur Jacky dalam buku Jacqueline Kennedy: Historic Conversations on Life with John F. Kennedy.
Ia langsung tak menyukai tamunya itu. Sebaliknya, Sukarno gembira bukan kepalang melihat buku itu. “Ini lukisan istri kedua saya,” kata Jacky menirukan tamunya ketika itu.
Sukarno memang dikenal sebagai pengagum seni lukis yang luar biasa. Kebanyakan lukisan yang dia koleksi berobyek wanita molek tanpa busana. Saat masih tinggal di Istana Negara, lukisan-lukisan itu terpajang hampir di setiap ruangan. Tak terkecuali ruang makan.
Sesekali, karena Bung Karno juga bisa melukis, ia memperbaiki dan membersihkan sendiri lukisan-lukisan yang rusak atau kotor. Si Bung juga biasa mengajak dialog Guntur, putra sulungnya, tentang cantik-tidaknya wanita yang menjadi obyek lukisan. Ada kalanya Guntur mengakui kemolekan para wanita dalam lukisan, tapi dia juga bisa menggoda sang ayah bahwa penampilan wanita dalam lukisan biasa saja.
Ketika dimintai pendapat tentang lukisan telanjang yang mirip Hartini, perempuan keempat yang diperistri Bung Karno, Guntur menyebutkan, “Enggak cantik, ah. Masih lebih cantik pacar aku, dong.”
Bung Karno tentu menyergah. Ia memuji lukisan karya Basuki Abdullah itu 99 persen mirip sosok perempuan Solo, baik sorot mata, hidung, maupun bentuk bibirnya. “Kalau kau lihat dia bugil di atas kasur, baru kau tahu betapa cantik dan mulusnya dia,” ujar Bung Karno seperti ditulis Guntur dalam buku Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku.
“Lo, Bapak tahunya dari mana?” Guntur menyelidik. Kali ini sang ayah cuma tertawa terbahak-bahak sebagai jawaban.
Di kesempatan lain, Bung Karno menerangkan ihwal lukisan bapak-anak yang menjadi pengemis. Ia sengaja memasang lukisan tersebut di ruang makan, “Supaya Bapak, sewaktu makan, selalu ingat kepada Tuhan yang memberi rezeki dan selalu ingat rakyat Indonesia yang masih melarat karena neokolonialisme!”
Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dr Asvi Warman Adam, sebagai pengagum seni lukis, Bung Karno memiliki pelukis istana, mulai Dullah, Lee Man-Fong, sampai Lim Wasim.
Ketika wafat, ia meninggalkan 2.300 bingkai lukisan. “Mungkin ini koleksi lukisan presiden terbanyak di dunia,” ujarnya.
Sebagian lukisan itu kini masih menghiasi Istana Negara, Istana Merdeka, Tampak Siring, Bogor, dan lainnya.

Titiek Jadi Penyanyi Istana, Koes Bersaudara Dipenjara
Mengenakan kebaya rapi, lengkap dengan kain yang dibebat kencang dan selendang di sisi pinggul, tak membuat Titiek Puspa berani melangkah dengan percaya diri saat memasuki beranda Istana Negara.
Kehadiran Gordon Tobing, yang mendam-pinginya, pun tak bisa mencegah bulu kuduknya merinding. Sekujur tubuhnya kian bergetar hebat saat langkah kaki Bung Karno terdengar menghampiri ruang tamu Istana. “Ini yang namanya Titiek Puspa?” sapa Bung Karno ramah
sambil menjulurkan tangan.
Titiek cuma bisa mengangguk pelan. Kepalanya tertunduk kian dalam. Ia grogi luar biasa.
Bagi Titiek kala itu, Bung Karno bukan cuma seorang presiden.
Dia juga ibarat orang sakti yang punya inner power yang membuat siapa pun yang bertemu. “Rasanya seperti berhadapan dengan orang sakti. Seperti bertemu dewa!” tutur Titiek dalam buku Titiek Puspa: A Legendary Diva karya Alberthiene Endah. Ia antara lain melantunkan Oh Angin dan Kasih di Antara Remaja, yang kala itu sedang jadi
lagu hit. Bung Karno senang dan bertepuk tangan. Titiek pun langsung ditetapkan sebagai penyanyi Istana. Tak cuma itu. Bung Karno juga amat terkesan oleh cara Titiek berkebaya.
Ketika pada 1964 Indonesia akan mengirimkan tim seni budaya ke Floating Fair di sejumlah negara, Bung Karno meminta Titiek sebagai role model. “Lihat itu Titiek Puspa. Cara pakai kainnya tak membuat dia kesulitan berjalan,” ujar Bung Karno.
Lain lagi nasib yang dialami para putra Koeswoyo yang tergabung dalam grup musik Koes Bersaudara. Gara-gara kerap menyanyikan lagu-lagu Barat, mereka harus mendekam di penjara selama tiga bulan. Maklum, kala itu Bung Karno tengah gencar-gencarnya melawan kolonialisme, kapitalisme, dan neokolonialisme.
Penampilan Tonny Koeswoyo bak John Lennon tak mampu mengambil hati Bung Karno kala
itu. "Musik kami dibilang musik ngak-ngik-ngok," kata Yon Koeswoyo saat berbincang dengan Detik di kediamannya di Pamulang, Tangerang Selatan, Jumat dua pekan lalu. Merek diciduk aparat sehari setelah manggung di rumah Kolonel Koesno di Petamburan, Jakarta. Rupanya seorang anggota staf dari Kedutaan Besar Amerika Serikat turut hadir dalam acara itu. Saat Koes bersaudara manggung, rumah sang kolonel dilempari batu olehPemuda Rakyat.
Mereka tidak suka saat mendengar Koes menyanyikan lagu-lagu The Beatles karena dianggap menentang perintah Bung Karno yang anti-Barat. “Untung Mas Tonny segera keluar dari rumah dan minta maaf serta berjanji tidak akan mengulanginya," ujar Yon.
Para jaksa yang menginterogasi mendesak para personel Koes Bersaudara menyebutkan aktor intelektual di belakang mereka. Mereka dituding melakukan subversi dan diisukan sebagai agen intelijen untuk kepentingan Barat. “Wah, ngeri banget tuduhannya," kata Yon diiringi tawa.
Namun pemenjaraan itu justru menjadikan Koes Bersaudara kian kreatif. Jiwa seni mereka kian terasah dan tak cuma bisa menirukan The Beatles. Selama di bui, Tonny berhasil menciptakan beberapa lagu, baik dalam bahasa Indonesia maupunInggris. Sebut saja Balada Kamar Lima Belas, To the so Called the Guilties, Jadikan Aku Dombamu dan Di dalam Bui.
Semua lagu itu direkam dalam piringan hitam dengan menggandeng perusahaan Dimita Moulding Company dengan label Mesra. “Dan lagu itu meledak di pasar," ujar Yon.
Karena itu, ia dan saudara-
saudaranya tetap menghormati dan mengagumi Bung Karno.
“Bung Karno itu presiden paling dahsyat,” ujar Yon.
Disadur dari
Mengenang Bung Karno
Dirilis Oleh Detik.com

Senin, 24 Juli 2017

.......For the U.S., it’s driven by a need to protect people on our side of the civil war and to keep Iranian forces out of southwest Syria. It is also a potential model for peace in the rest of the country. Now, in the middle of this, we defund the program to train rebel forces in Jordan and Turkey. Will we not allow rebels to defend themselves? It seems to be about limiting offensive actions by our proxies against the regime, because now those fighters will not be effective....??>>>... It’s a formula for dealing with the fact that neither the regime nor the opposition has forces to take all Syrian territory. It’s a test. I’m skeptical because the Russians are heavily invested in the regime. It’s a Gordian knot...??>> .... The Russians have multiple opinions on Syria. If you talk to their foreign affairs ministry, you hear talk of reasonable negotiations to push for diplomatic solution through the United Nations Security Council. If you talk with the defense ministry, you get a much different and more bellicose answer. And these two centers meet at the Kremlin. I think the Russians know they ultimately cannot shoot their way out of Syria completely. They want a deal, but the deal they want isn’t just about Syria. For them, it’s related to U.S. sanctions and their annexation of Crimea specifically. They like to horse trade, and we do not...>> ....Maybe, but the question is whether the U.S. would pay the price of allowing Putin his land grabs in Ukraine in exchange for what we want in Syria.....>> ....So, the Islamic State is on its last legs in its self-declared capital of Raqqa in Syria. But even with its “caliphate” destroyed it will live on. And we have a plethora of rebel groups as well as Iran-backed Hezbollah in the mix. What happens next? AT: If things continue to go as they are, with the Iran-backed Assad regime filling up the vacuum in Syria and the same forces doing that in Iraq, can you imagine what that will look like in a year? It will be a dramatically transformed space....>> ....In fact, it appears that the military was not consulted this time around. On Monday, BuzzFeed News reported that top Pentagon officials were not involved in the planning or briefed on their role in the arrangement. A military officer confirmed to FP that the Pentagon and Centcom have very little information about the proposed cease-fire and said, “We’re getting to that level of understanding this week.” American aircraft rarely operate in southwestern Syria, but “we’ll certainly respect the cease-fire,” the officer said, adding that the U.S. military hasn’t decided if it would fly combat air patrols to enforce any agreement...>> ...sekali lagi mari kita lupakan aliran apa dan mazhab apa yang sedang bertarung karena sebagaimana yang telah saya jabarkan di atas, Arab Spring adalah akumulasi dari konflik ekonomi dan politik yang meledak disebabkan oleh sosial media.....>> ...Jadi dari gambaran diatas jelas bahwa fenomena Arab Spring bukanlah sesuatu yang dipicu oleh urusan agama apalagi merupakan perang antar mazhab, sekali lagi bukan. pemicu utamanya adalah rasa frustasi atas himpitan ekonomi yang di perparah oleh himpitan politis dari para diktator timur tengah yang mengekang kebebasan berekspresi. Bisa disaksikan sendiri mayoritas negara yang mengalami Arab Spring adalah negara-negara timur tengah yang ekonominya kurang maju kecuali Libya....>> ...Mesir, kekuasaan Husni Mubarak yang merupakan diktator ex-militer digantikan oleh pemerintahan Muhammad Mursi yang merupakan calon usungan Ikhwanul Muslimin yang terpilih secara demokratis, Mursi digulingkan saat pemerintahannya baru seumur satu tahun lebih sedikit dan digantikan oleh seorang diktator ex militer lagi, Abdel fatah Al-sisi. Penggulingan Mursi menimbulkan korban ribuan orang, sungguh sangat sangat mengerikan...>> ....Arab spring tidak berlangsung mulus, Tunisia sejauh ini berhasil mempertahankan demokrasi hasil dari proses transisi tersebut. Libya yang tadinya merupakan negeri yang aman dan kaya menjadi jatuh kedalam jurang perang saudara. Yaman juga jatuh kedalam perang saudara yang diperparah dengan intervensi negara negara teluk seperti Saudi Arabia, Uni Emirates dan lain lain. ...>> ...Apa yang terjadi di tahun 2011? Twitter, Facebook dan berbagai media sosial menjadikan gerakan penggulingan terhadap beberapa penguasa absolut timur tengah menjadi massif dan telah berhasi merontokkan kekuasaan beberapa pemimpin di timur tengah yaitu Ben Ali dari Tunisia, Khadafi dari Libya, Husni Mubarak dari Mesir dan Ali Abdullah Saleh dari Yaman. Di beberapa negara lain protes tidak berlangsung penuh kekerasan dan beberapa “hanya” menghasilkan reformasi di pemerintahan....>> ....Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Maaidah: 8) ...>> ....Solusi yang terbaik adalah semua pihak segera meletakkan senjata dan saling bahu membahu membangun kembali negara yang sudah hancur porak poranda. tetapi kita tahu otak manusia tidak bekerja seperti itu. sulit, sangat sulit karena milyaran, mungkin trilyunan dollar telah dikucurkan untuk “percaturan” ini sehingga menyerah kalah bukanlah pilihan. berbagai pihak sudah habis habisan dalam berusaha merebut kemenangan di Suriah. di dalam benak para pihak yang terlibat dalam konflik ini pastilah tertanam fikiran : “aku tidak sampai sejauh ini hanya untuk sampai sejauh ini”, KAMI HARUS MENANG...>>

Middle East

As Syria Crumbles, Only Iran Is a Sure Winner

https://www.bloomberg.com/view/articles/2017-07-23/as-syria-crumbles-only-iran-is-a-sure-winner

A Q&A with Andrew Tabler, who spent years living under the Assad regime.
14
It's complicated.
Photographer: Yasin Akgul/AFP/Getty Images
Six years. Half a million dead. Many millions displaced. Untold thousands tortured and killed.
The Syrian civil war is the worst humanitarian disaster of our young century, and would have been high on the list of the last one. But unlike the great world wars of the past, this relatively local conflict seems to have no imaginable solution, diplomatic or military. Even with the primary Western concern -- the destruction of the Islamic State -- within sight, we have to acknowledge that the aftermath may be even worse for Syria, the Middle East and the rest of the globe. The only certainty: much more destruction, suffering and death.

Sorry for glooming up your weekend.

In great conflagrations, however, the future can often be perceived in the past. Syria – like Iraq, Jordan and the Arab Gulf states -- was always a fake construct, the result of a passel of British and French mapmakers anticipating the collapse of the Ottoman Empire, aka the Sick Man of Europe. Much of the problem, actually, comes from that pejorative -- the Middle East is not Europe, although it has some echoes of the Europe of the 30 Years' War. Faith, ambition, the struggle for nationhood -- it is a combustible mix, and it’s the common man and woman who inevitably pay the price.

Still, even insuperable problems need figuring out, so this week I talked to somebody who is particularly suited to the subject. Andrew Tabler is the Martin J. Gross fellow at the Washington Institute for Near East Peace, and has a sterling resume and publishing history as a top authority on the region. More to the point here, he spent the better part of seven years living in Syria under the regime of Bashar al-Assad and his even more ruthless father, Hafez. Andrew and I served on a panel this week at the Aspen Institute’s Security Forum (shameless plug: video available here) and then had a chat after. Here is a lightly edited account of the conversation.

Tobin Harshaw: OK, let’s start at the beginning. I don’t mean President Barack Obama’s abandonment of his “red line” on chemical weapons, or the Arab Spring, or when Bashar al-Assad took over from his father. I’m talking about the Sykes-Picot agreement, the rather arbitrary division of the Middle East by Britain and France a century ago. What can inglorious history tell us about today?

Andrew Tabler: Empires have a lot of problems -- they tax you, haul your young people of to wars you don’t want to fight, etc. But the Ottomans at least gave the locals a lot of autonomy. It worked until the empire was headed to collapse. For example, you had areas where a village of Shiite Muslims could be a mile away from a Christian village, but they had distinct identities and little in common. It’s very hard to take that literal mosaic of sects and cultures and turn it into a nation-state.

TH: How do these fake borders bedevil us today?

AT: Syria never made sense even before World War I, never added up. On reason was this mosaic -- there was no Syrian identity. That made one of the most unstable mandates of the colonial age, and after World War II it was arguably the most unstable country in the world. There were seven or eight coups, it ceased to exist for three years when it joined with Gamel Abdel Nasser’s Egypt to form the United Arab Republic. Syria was always unstable, and so what happened was when Hafez al-Assad took power in 1970 he used the national emergency of domestic tumult and declared emergency law that allowed his dictatorship. To justify it, he made the opposition to Israel the centerpiece. This idea that they were fighting Israel was used to prop up one of the most tyrannical systems in the world. That caused them to be rigid and unable to react to reforms that could have enabled them to avoid the tumult of 2011.

TH: They aren’t the only ones to use Israel as an excuse for repressive rule.
AT: Yes, the Palestinian question, as it is called, has not been solved. Nasser liked to say of it, “No voice louder than the cry of battle.”
TH: What does that mean?
AT: It means more in Arabic, because the word for “voice” and “vote” are derived from the same root. So it means we are in a state of war and we will come back to these other decisions of governance later, but for now we are fighting and that justifies a state of emergency.

TH: So, how does Bashar al-Assad differ from his father?

AT: Hafez was a brutal man, and hard to deal with. But he built his regime and controlled it and had a plan. Bashar has been all over the place. He promises a lot but doesn’t deliver. The de-escalation agreement reached between President Trump and Russian President Vladimir Putin in the southwestern corner of the country is a test case.

TH: In what way?

AT: For the U.S., it’s driven by a need to protect people on our side of the civil war and to keep Iranian forces out of southwest Syria. It is also a potential model for peace in the rest of the country. Now, in the middle of this, we defund the program to train rebel forces in Jordan and Turkey. Will we not allow rebels to defend themselves? It seems to be about limiting offensive actions by our proxies against the regime, because now those fighters will not be effective.
TH: Is the de-escalation zone a model for how we pacify the whole or do we want some sort of a grand bargain?

AT: It’s a formula for dealing with the fact that neither the regime nor the opposition has forces to take all Syrian territory. It’s a test. I’m skeptical because the Russians are heavily invested in the regime. It’s a Gordian knot.

TH: One assumes that cutting support for the rebels is of a piece with negotiating with Russia, which wants Assad to keep control of at least a large part of post-war Syria. What is Putin’s endgame?

AT: The Russians have multiple opinions on Syria. If you talk to their foreign affairs ministry, you hear talk of reasonable negotiations to push for diplomatic solution through the United Nations Security Council. If you talk with the defense ministry, you get a much different and more bellicose answer. And these two centers meet at the Kremlin. I think the Russians know they ultimately cannot shoot their way out of Syria completely. They want a deal, but the deal they want isn’t just about Syria. For them, it’s related to U.S. sanctions and their annexation of Crimea specifically. They like to horse trade, and we do not.

TH: Do you think Putin would cut Assad loose in this horse trading?
AT: Maybe, but the question is whether the U.S. would pay the price of allowing Putin his land grabs in Ukraine in exchange for what we want in Syria.
TH: So, the Islamic State is on its last legs in its self-declared capital of Raqqa in Syria. But even with its “caliphate” destroyed it will live on. And we have a plethora of rebel groups as well as Iran-backed Hezbollah in the mix. What happens next?
AT: If things continue to go as they are, with the Iran-backed Assad regime filling up the vacuum in Syria and the same forces doing that in Iraq, can you imagine what that will look like in a year? It will be a dramatically transformed space.
TH: With Iran the big winner?
AT: The Shiite Crescent from Tehran to the Mediterranean we have been talking about and fearing for decades is going to be formed in front of us. I cannot see Syria’s neighbors and our allies taking that lying down. The question is, what will they do?
TH: Is there anything they can do?
AT: The easy thing is to open their borders and allow arms to go to the insurgency, because there is always an insurgency in the Euphrates Valley. We need to get them to be better at the proxy game -- meaning they need to look at what the Iranians are doing and learn from it. They need to create sub-state actors, not non-state actors, which is how the Iranians have been able to move the needle substantially.
TH: Do we have those proxy forces available?
AT: No, it one the great challenges for the Sunni nations. In these broken states, the only way to assure your interests is through forces you can control and turn on and off. They don’t have any. It’s a major constraint on our policy so far.
Sunniism today reminds me of a bit of the Catholic Church before the Jesuits -- you need to have a response to a movement that is challenging your followers. One way to view it is through European history, the 30 Years War. But that was a long time ago for us; in the Middle East it’s still happening.
TH: So you think that although the Russians have kept Assad in business, the Iranians are the one who are going to reap the benefit?
AT: Correct. Unless somehow this can be reversed. I’m skeptical.
TH: Are the Russians and Iranians natural allies at this point?
AT: Yes, in Syria and the entire Middle East. What this allows the Iranians to do is cut off Turkey and the Arabs to take on Israel. For the Russians it’s about containing Turkey as well, but also about projecting their power in the region. They don’t have good relations with the Arabs.
But in the end, a lot of this is about messing up U.S. policies in the Middle East.
This column does not necessarily reflect the opinion of the editorial board or Bloomberg LP and its owners.
To contact the author of this story:
Tobin Harshaw at tharshaw@bloomberg.net
Exclusive

Secret Details of Trump-Putin 

Syria Cease-fire 

Focus on Iranian Proxies

http://foreignpolicy.com/2017/07/11/exclusive-trump-putin-ceasefire-agreement-focuses-on-iranian-backed-fighters-middle-east/

Secret Details of Trump-Putin Syria Cease-fire Focus on Iranian Proxies
A confidential U.S.-Russian cease-fire agreement for southwestern Syria that went into effect Sunday calls for barring Iranian-backed foreign fighters from a strategic stretch of Syrian territory near the borders of Israel and Jordan, according to three diplomatic sources.
President Donald Trump hailed it as an important agreement that would serve to save lives. But few details of the accord have been made public.
Trending Articles

Poland Sets Stage for EU Standoff

A contentious overhaul of the country’s judiciary could see Brussels invoke the “nuclear option.”

 

U.S. Defense Department officials — who would have responsibility for monitoring the agreement — appeared to be in the dark about the pact’s fine print.
The pact is aimed at addressing demands by Israel and Jordan — the latter is a party to the agreement — that Iranian forces and their proxies, including Hezbollah, not be permitted near the Israeli-occupied Golan Heights, which separates Syria from Israel, or along the Jordanian border.
But former U.S. diplomats and observers question whether the agreement is truly enforceable, expressing doubts that Russia could act as a reliable guarantor for a cease-fire involving the Syrian regime, Iran, and its proxies.
“The question is, ‘Who is going to enforce that?’ Is Russia going to take on the responsibility for telling Iran what to do?” said Gerald Feierstein, a veteran U.S. diplomat who retired last year, noting that a peace deal without Iranian buy-in is untenable. “Iranians are much closer to Assad’s position on the way forward in Syria than the Russians are.”
And they have far more leverage. “It’s the Iranians and their proxies who are doing a bulk of the fighting inside Syria,” he told Foreign Policy.
With Iran in the driver’s seat, seasoned U.S. diplomats expressed doubts that the Kremlin could deliver on its promises. “The key to the survival of the Assad regime is Iran, not Russia,” said Fred Hof, a former State Department special advisor for transition in Syria. “Are the Russians trying to rush this [agreement] through without a firm understanding with the regime and without clear understanding of what the ‘or else’ is?”
Since May, the Russians have failed to persuade Iranian-backed militia groups or the Syrian regime to respect a “deconfliction zone” that American commanders had declared near a U.S. outpost in southeastern Syria. Although U.S. officers informed their Russian counterparts about the zone around Tanf, Iranian-backed militias and Syrian fighter jets ignored the warning and moved toward U.S. special operations forces and their Syrian Kurdish and Arab allies. As a result, U.S. aircraft shot down a Syrian fighter jet and an Iranian-made drone and struck Iranian-backed militias in the area.
Given the track record so far, “Why should we believe that it will be different under this cease-fire?” one congressional staffer asked.
An Iranian Foreign Ministry spokesman, Bahram Qasemi, reacted coolly to the pact, saying it contained some “ambiguities” and that “no agreement would be successful without taking the realities on the ground into account.”
“Iran is seeking Syria’s sovereignty and security so a cease-fire cannot be limited to a certain location,” Qasemi was quoted saying by Tasnim News Agency.
Not everyone was so pessimistic. Andrew Tabler, a fellow at the Washington Institute for Near East Policy, said southwestern Syria’s relative calm — and Washington’s continued influence among U.S.-trained opposition factions fighting President Bashar al-Assad — make it a natural proving ground for U.S. and Russian cooperation.
If successful, such cooperation could be employed in other parts of the country. “I think it’s worth a try,” Tabler said. “If we’re going to test something, this is a good place to test it.”
The pact — detailed in a Memorandum of Principle for De-escalation in Southern Syria — established a cease-fire between Syrian government forces and armed opposition groups that came into force on Sunday. It calls for transforming southern Syria below Quneitra and Suwayda into an exclusion zone for fighters of “non-Syrian origin,” including Iranian troops, their proxies, and fighters linked to al Qaeda and the Islamic State, which have a limited presence in the area.
“This could be designed mainly to reassure the Israelis that these elements would not be operating in proximity to the Golan Heights,” said Hof, who is now at the Atlantic Council.
The accord calls for maintaining existing governance and security arrangements in opposition-held areas in southwestern Syria, a provision aimed at dissuading Syrian government forces from retaking territory in the area. But some observers said the arrangement could also help turn a de facto partition of southern Syria into a permanent one. “This entrenches Syria’s partition further,” one diplomatic observer said.
The accord also calls for the unimpeded access for humanitarian aid workers and for the creation of conditions for the return of refugees from southwestern Syria. Jordan has received more than 650,000 registered Syrian refugees since the conflict began more than six years ago.
Russian Foreign Minister Sergei Lavrov announced Monday the establishment of a monitoring center in Jordan, but State Department spokeswoman Heather Nauert declined to confirm any specifics. “Mr. Lavrov likes to talk a lot,” she said.
A State Department official told FP that the United States and Russia are still trying to work out the details of the pact, “including how to monitor the cease-fire, the rules that would govern the southwest de-escalation area, and the presence of monitors.”
“We are looking at various options for the monitoring arrangement in which information can be exchanged and violations resolved,” the official said.
When asked if she was optimistic about the cease-fire holding, Nauert demurred. “Perhaps optimism is too strong a word. But I think it is promising, in a certain sense, we have been able to get the cease-fire underway,” she said.
The White House did not respond to queries about the cease-fire deal.
The agreement — finalized following Trump’s recent meeting with Russian President Vladimir Putin — calls for more coordination among the former Cold War superpowers in the fight against terrorists in Syria. Secretary of State Rex Tillerson suggested that the pact may serve as a model for further cooperation in northern Syria and provides the “first indication of the U.S. and Russia being able to work together in Syria.”
It also marked a recognition by Moscow that a separate effort to negotiate a cease-fire in Astana, Kazakhstan, with Iran and Turkey was foundering. On May 4, the three powers signed an agreement to establish four so-called “de-escalation zones” throughout Syria. But they have been unable to agree on whose forces would monitor those cease-fires.
“Not necessarily a brilliant deal for the Russians,” one diplomatic source said. “I suspect that after the humiliating failure of Astana, Putin needed a ‘success’ to announce and divert attention from Astana failure.”
The cease-fire would be overseen by officials from the United States, Russia, and Jordan at a monitoring cell in Amman, Jordan. Israel is not a formal party to the pact but has been actively involved behind the scenes in the discussions leading up to the agreement.
Hof said the provision for a joint monitoring center resembles a plan put forward by former U.S. Secretary of State John Kerry to coordinate efforts to confront extremists in northwestern Syria. “[U.S. Central Command] was very, very, very skeptical about that when it was first proposed,” Hof said. “They feared being hoodwinked by the Russians into some kind of attack on an urban area that would produce massive civilian casualties.”
In fact, it appears that the military was not consulted this time around. On Monday, BuzzFeed News reported that top Pentagon officials were not involved in the planning or briefed on their role in the arrangement.
A military officer confirmed to FP that the Pentagon and Centcom have very little information about the proposed cease-fire and said, “We’re getting to that level of understanding this week.”
American aircraft rarely operate in southwestern Syria, but “we’ll certainly respect the cease-fire,” the officer said, adding that the U.S. military hasn’t decided if it would fly combat air patrols to enforce any agreement.
The more likely situation would see a “remote” monitoring agreement, where U.S. military personnel would sit together with Russian officers at the proposed facility in Amman, the officer said, though “we have to figure out exactly what it means, and we have to figure out what the terms of reference are between the Russians and us and if the Syrians are even a party to it.”
U.S. troops won’t be working directly with Iranians or Syrians, however. “Our operating assumption is if the Iranians and Syrians will want to be informed, the Russians are going to be the intermediary on all things,” the officer said.
“The United States remains committed to defeating ISIS, helping to end the conflict in Syria, reducing suffering, and enabling people to return to their homes,” Trump’s national security advisor, H.R. McMaster, said last Friday, referring to the Islamic State. “This agreement is an important step toward these common goals.”
But questions lingered about its workability.
The region is occupied by several armed opposition groups backed by the United States, Turkey, Jordan, and Persian Gulf states and also includes small pockets of forces loyal to al Qaeda and the Islamic State. The United States exercises little influence over such extremist groups, making them potential spoilers.
On July 9, Trump tweeted that the Syrian cease-fire seems to be holding. For Moscow, the pact placed Putin in the role of peacemaker, even as Russia continued to provide air support for Syrian offensive operations.
“This is a sop for Russia,” said Joshua Landis, a Syria scholar at the University of Oklahoma. “The Americans can’t police this situation.”
Photo credit: DELIL SOULEIMAN/AFP/Getty Images
Like this article? Read an unlimited amount of articles, plus access to our entire 46-year printed archive, the FP App, and the FP Insights Tool when you subscribe to FP Premium for 20% off!
Click here to register or log in


Syrian Cease-Fire Is 

a Baby Step Toward Peace

A fragile truce in the southwest is a good omen for U.S. interests.
7
War's still just a shot away.
Photographer: Mohamad Abazeed/AFP/Getty Images
After years of horrific fighting in Syria -- including several failed cease-fires -- it's hard to get too excited about a limited agreement to stop hostilities in a tiny corner of the country. Yet the modest "de-escalation" deal in Syria's southwest is a promising sign.

Islamic State is not yet defeated. But the cease-fire, reached by Jordan, Russia and the U.S., is an indication that the end of that fight is near, as all sides are beginning to jockey for position in the next stage of the Syrian civil war.

The halt in the fighting in parts of three provinces, reached earlier this month, seems to be mostly holding. The next steps of the deal, which reportedly include the departure of non-Syrian fighters, providing humanitarian aid to civilians, and setting up a monitoring center in Jordan, are pending.

Still, what has already been achieved is notable. Russia -- Syrian dictator Bashar al-Assad's most powerful backer -- has cut an independent deal with the U.S. that will not just give rebel troops a respite but also help protect Israel and Jordan, two of America's most important Middle East allies. Russian President Vladimir Putin seems to have hammered out the truce without giving the Syrian regime or its Iranian patrons a say. And this despite the fact that Iranian-backed militias had been making military inroads in southern Syria.
The area covered in the de-escalation agreement includes the rebel stronghold of Deraa Province, which is within 50 miles of the Jordanian capital of Amman and is adjacent to the Golan Heights, which Israel has considered a crucial buffer zone since conquering it in the 1967 war. The deal will be help keep Iran and its proxies from gaining too close a foothold to Israel and Jordan.
A piecemeal approach to cease-fires has its downsides. It may undermine the fitful negotiations to end the civil war that are now taking place in Kazakhstan, and the Assad regime may use this opportunity to strategically reposition forces at other battlefronts (the Syrians seem to have an eye on the oil-rich Euphrates River Valley near the Iraq border). And the deal relies on the questionable assumption that the Russians will be able to rein in aggression by the Syrian army its allies.

Secretary of State Rex Tillerson noted that the pact is the "first indication of the U.S. and Russia being able to work together in Syria." As distasteful as it sounds, cooperation with the Kremlin may be the best hope for an enduring political solution to the civil war -- and for ensuring that Islamic State won't rise again.

To contact the senior editor responsible for Bloomberg View’s editorials: David Shipley at davidshipley@bloomberg.net .

Andrew J. Tabler

http://www.washingtoninstitute.org/experts/view/tabler-andrew-j

Martin J. Gross Fellow
Tel: 202-230-9550 (media inquiries only) 202-452-0650 (all other inquiries)
press@washingtoninstitute.org
Andrew J. Tabler is the Martin J. Gross fellow in the Program on Arab Politics at The Washington Institute, where he focuses on Syria and U.S. policy in the Levant.

Areas of Expertise


Biography

Andrew J. Tabler is the Martin J. Gross Fellow in the Program on Arab Politics at The Washington Institute, where he focuses on Syria and U.S. policy in the Levant.
Mr. Tabler achieved unparalleled long-term access to Bashar al-Assad's Syria. During fourteen years of residence in the Middle East, Mr. Tabler served as co-founder and editor-in-chief of Syria Today, Syria's first private-sector English-language magazine; as a consultant on U.S.-Syria relations for the International Crisis Group (2008); and as a fellow of the Institute of Current World Affairs (2005-2007), writing on Syrian, Lebanese, and Middle Eastern affairs. Following his graduate work in Cairo, Egypt, Mr. Tabler held editorships with the Middle East Times and Cairo Times, where he focused on Arab-Israeli peace negotiations, before becoming senior editor and director of editorial for the Oxford Business Group (OBG). In 2001, Mr. Tabler personally oversaw with OBG the first comprehensive English-language report on Syria in more than thirty years. Mr. Tabler has lived, worked and studied extensively in Egypt, Israel, Jordan, Lebanon, Syria, Tunisia, and Turkey.
Mr. Tabler has interviewed Syrian first lady Asma al-Assad, the late Israeli president Shimon Peres, the late Palestinian president Yasser Arafat, slain Lebanese prime minister Rafiq Hariri, and former Lebanese prime ministers Fouad Siniora and Saad Hariri. His articles and opinion pieces on Middle East affairs and U.S. foreign policy have appeared in the New York Times, the New York Times Magazine, the International Herald Tribune, Newsweek, Foreign Policy, and Foreign Affairs. He has also appeared in interviews with CNN, NBC, CBS, PBS, NPR, and the BBC.
Mr. Tabler is author of "Syria's Collapse and How Washington Can Stop It" (Foreign Affairs, July-August 2013) and the 2011 book In the Lion's Den: An Eyewitness Account of Washington's Battle with Syria (Lawrence Hill Books).

Education

M.A., comparative politics, American University in Cairo (AUC); Certificate, Arabic Language Institute, AUC; B.A., Washington & Jefferson College

Languages Spoken / Read

  • Arabic


Apa Yang Sebenarnya Terjadi Di Suriah? (1)


Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Maaidah: 8)

Sesuai dengan amanat Tuhan yang disampaikan melalui kitab suci-Nya saya mencoba menjabarkan mengenai permasalahan yang terjadi di negri nun jauh disana dengan se-objektif mungkin, Suriah.

Sebagian besar dari kita mungkin hanya “pernah dengar” tentang negara ini dan tidak pernah ada yang benar benar memperhatikan keberadaan negara ini pra 2011.

Apa yang terjadi di tahun 2011? Twitter, Facebook dan berbagai media sosial menjadikan gerakan penggulingan terhadap beberapa penguasa absolut timur tengah menjadi massif dan telah berhasi merontokkan kekuasaan beberapa pemimpin di timur tengah yaitu Ben Ali dari Tunisia, Khadafi dari Libya, Husni Mubarak dari Mesir dan Ali Abdullah Saleh dari Yaman. Di beberapa negara lain protes tidak berlangsung penuh kekerasan dan beberapa “hanya” menghasilkan reformasi di pemerintahan.


sumber gambar : Wikipedia

Arab spring tidak berlangsung mulus, Tunisia sejauh ini berhasil mempertahankan demokrasi hasil dari proses transisi tersebut. Libya yang tadinya merupakan negeri yang aman dan kaya menjadi jatuh kedalam jurang perang saudara. Yaman juga jatuh kedalam perang saudara yang diperparah dengan intervensi negara negara teluk seperti Saudi Arabia, Uni Emirates dan lain lain. 

Mesir, kekuasaan Husni Mubarak yang merupakan diktator ex-militer digantikan oleh pemerintahan Muhammad Mursi yang merupakan calon usungan Ikhwanul Muslimin yang terpilih secara demokratis, Mursi digulingkan saat pemerintahannya baru seumur satu tahun lebih sedikit dan digantikan oleh seorang diktator ex militer lagi, Abdel fatah Al-sisi. Penggulingan Mursi menimbulkan korban ribuan orang, sungguh sangat sangat mengerikan.

Sumber gambar : washingtonpost.com

Jadi dari gambaran diatas jelas bahwa fenomena Arab Spring bukanlah sesuatu yang dipicu oleh urusan agama apalagi merupakan perang antar mazhab, sekali lagi bukan. pemicu utamanya adalah rasa frustasi atas himpitan ekonomi yang di perparah oleh himpitan politis dari para diktator timur tengah yang mengekang kebebasan berekspresi. Bisa disaksikan sendiri mayoritas negara yang mengalami Arab Spring adalah negara-negara timur tengah yang ekonominya kurang maju kecuali Libya.

Masuk ke Suriah…

Saya tidak mengambil posisi seperti para penulis lain di seword maupun diluaran yang memihak salah satu pihak secara 100% karena menurut saya dalam konflik politik apalagi perang, semua memegang beban tanggung jawab terhadap apa yang terjadi.

sekali lagi mari kita lupakan aliran apa dan mazhab apa yang sedang bertarung karena sebagaimana yang telah saya jabarkan di atas, Arab Spring adalah akumulasi dari konflik ekonomi dan politik yang meledak disebabkan oleh sosial media.

Banyak pendukung Assad di Indonesia yang mengatakan “harus menghormati pilihan rakyat karena Assad dipilih oleh sebagian besar rakyat!” tapi mereka lupa bahwa pemilihan di negara-negara absolut sangat penuh dengan rekayasa. oposisi tidak diberikan panggung dan kecurangan terjadi secara terstruktur sistematis dan massif untuk memenangkan penguasa yang sedang berkuasa. Indonesia pun pernah mengalami masa seperti itu dan perkataan “harus menghormati pilihan rakyat karena Assad dipilih oleh sebagian besar rakyat!” sama saja mengatakan reformasi 1998 di Indonesia merupakan gerakan ilegal karena waktu itu Soeharto juga dipilih oleh sebagian besar rakyat Indonesia yang diwakili oleh MPR.

Saya sepakat bahwa demonstrasi seharusnya tidak boleh sedikitpun dihadapi dengan peluru tajam apalagi sampai menimbulkan korban meninggal, satu saja korban tewas rasanya sudah terlalu besar harganya dibandingkan sebuah kekuasaan.

Bung Karno telah memberikan contoh sangat mulia ketika kekuasaannya digulingkan dan beliau dijadikan tahanan rumah. Banyak angkatan-angkatan perang dan rakyat yang siap mati berperang untuk mempertahankan posisi Bung Karno tetapi beliau lebih memilih turun dari jabatannya karena rasa cinta beliau yang sangat besar kepada rakyat Indonesia dan tidak mau ada darah rakyat Indonesia yang tertumpah hanya  untuk mempertahankan kekuasaannya.

Seluruh pemimpin di dunia termasuk Assad seharusnya wajib melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Bung Karno karena nyawa seorang manusia jauh lebih berharga daripada kekuasaan seperti apapun.

sumber gambar : cnn.com

Apa Yang Sebenarnya Terjadi 

Di Suriah (2)

https://seword.com/luar-negeri/apa-yang-sebenarnya-terjadi-di-suriah-2/ 

Sambungan dari bagian 1…
sumber gambar : bbc.co.uk

Disinilah komplikasi tersebut terjadi, sebuah rezim kuat dengan salah satu militer terkuat di timur tengah berhadapan dengan kekuatan oposisi yang di back up oleh beberapa negara asing baik secara pendanaan maupun persenjataan.

Keadaan ini juga diperparah dengan retorika para orang-orang yang “menyalahgunakan agama dalam politik” yang memainkan isu SARA. inilah kengerian penggunaan isyu SARA yang sering di wanti wanti oleh para tokoh bangsa dan penulis penulis di dalam maupun di luar seword. Agama itu merupakan sebuah senjata maha kuat yang bisa menggerakkan ratusan ribu bahkan jutaan orang untuk rela mati tanpa bayaran sedikitpun.

Dalam versi resmi, Assad merupakan penganut Syiah Alawiyah (saya tahu ada beberapa orang yang mengatakan Assad itu Sunni tetapi saya mengambil versi resmi yang beredar di berbagai website kredibel). penganut Syiah alawiyah bukan merupakan mayoritas di Suriah sehingga penggunaan isyu SARA sangatlah efektif, kita bisa lihat contoh kecilnya di Pilkada DKI Jakarta. Oleh para oposisi politik Assad, isyu politik ini diusahakan berubah menjadi isyu agama sehingga seolah olah yang terjadi adalah perang Sunni vs Syiah dengan harapan para oposisi POLITIK tersebut mendapatkan dukungan dari masyarakat luas baik dari dalam negri maupun dari khalayak Internasional. Contohnya di Indonesia, para “santri” dadakan yang belajar ngaji dari Google dan Ustadz seleb akan selalu membawa-bawa isyu perang mazhab jika berbicara tentang konflik suriah. padahal Arab Spring terjadi sama sekali tidak mengenal agama dan aliran apapun.

untuk kaum sumbu pendek dan bumi datar yang kebetulan membaca artikel ini saya tidak mau membahas persoalan mazhab di artikel ini, silahkan googling sendiri “risalah Amman” atau “Amman Message”.

Kenapa banyak kekuatan internasional yang terlibat?

sumber gambar : The New York Times

Mungkin para pembaca seword telah membaca dari berbagai sumber lain yang mencoba menjelaskan ini, dari mulai pipa minyak dan posisi strategis dan semacamnya. tetapi yang paling jelas disini adalah perebutan pengaruh. Iran memback up Assad karena Assad merupakan satu satunya sekutu Iran di timur tengah, alasan yang sama juga yang menyebabkan Turki, Saudi dan negara negara teluk lainnnya begitu ngotot untuk menumbangkan Assad, untuk melumpuhkan kekuatan Iran.

Rezim Assad dan ayahnya juga merupakan satu satunya sekutu historis yang sangat dekat dengan Rusia di Timur Tengah sehingga Rusia membacking Assad “at all cost”. support dari Rusia merupakan alasan paling utama kenapa Assad masih bisa bertahan menghadapi perang brutal selama 6 tahun terakhir ini.

Amerika berkepentingan untuk melemahkan posisi Rusia di timur tengah yang mana Suriah merupakan satu satunya negara yang memiliki pangkalan militer Rusia di Timur Tengah.
yang jadi korban utama dari percaturan besar kekuatan-kekuatan internasional ini adalah warga sipil Suriah yang terjebak diantara kehancuran yang maha mengerikan dan kematian.

Ada solusi?

Solusi yang terbaik adalah semua pihak segera meletakkan senjata dan saling bahu membahu membangun kembali negara yang sudah hancur porak poranda. tetapi kita tahu otak manusia tidak bekerja seperti itu. sulit, sangat sulit karena milyaran, mungkin trilyunan dollar telah dikucurkan untuk “percaturan” ini sehingga menyerah kalah bukanlah pilihan. berbagai pihak sudah habis habisan dalam berusaha merebut kemenangan di Suriah. di dalam benak para pihak yang terlibat dalam konflik ini pastilah tertanam fikiran : “aku tidak sampai sejauh ini hanya untuk sampai sejauh ini”, KAMI HARUS MENANG.

padahal konflik ini sudah sangat mengerikan dan jauh dari manusiawi lagi, ratusan ribu orang yang tewas bukan hanya angka, tiap tiap orang yang tewas adalah nyawa nyawa yang mencintai dan dicintai oleh keluarga dan teman temannya. inilah mengapa saya selalu menekankan damai itu WAJIB, perang itu HARUS dihindari apapun alasannya.
Masa depan Suriah…


A general view of damaged buildings in Jouret al-Shayah, Homs February 2, 2013. Picture taken on February 2, 2013. REUTERS/Yazen Homsy (SYRIA – Tags: CONFLICT POLITICS CIVIL UNREST)
BEST QUALITY AVAILABLE – RTR3DAR3

Sekali lagi tanpa memandang agama dan aliran apapun, satu satunya kemungkinan Suriah akan damai dalam waktu dekat adalah kemenangan Assad. karena beberapa negara hasil Arab Spring dan Irak pasca Saddam telah membuktikan bahwa runtuhnya suatu rezim justru akan membawa kekacauan yang lebih besar karena menghilangkan sebuah kekuatan besar yang mengontrol semua dan menyisakan kekuatan kekuatan yang saling bersaing untuk merebut kekuasaan tertinggi dengan cara apapun. Bisa saja jatuhnya Assad adalah keinginan sebagian orang tetapi sejarah membuktikan jika itu yang terjadi, perang masih akan berlangsung berkepanjangan dan rakyat sipil yang akan terus menjadi korban utamamanya.

benarlah peringatan Allah dan Rasulnya bahwa taat kepada pemerintah merupakan sesuatu yang sangat penting selama pemerintah tersebut tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4] : 59)

hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudzaifah bin Al Yaman :
“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”

Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847)

“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)

Dari perbatasan provinsi Jakarta dan Banten ini saya bercurah pendapat…