Sedikit Curhat Dan Tradisi Kekeliruan Dalam Diskusi Sunni Dan Syi’ah
https://secondprince.wordpress.com/2016/06/24/sedikit-curhat-dan-tradisi-kekeliruan-dalam-diskusi-sunni-dan-syiah/#more-4540
Posted on Juni 24, 2016 by secondprince
Sedikit Curhat Dan Tradisi Kekeliruan Dalam Diskusi Sunni Dan Syi’ah
Bisa dibilang saya cukup lama bermain di seputar isu “Sunni dan Syi’ah”.
Dimulai dari persahabatan saya dengan seorang Syi’ah sampai akhirnya
saya meneliti sendiri dengan merujuk langsung ke kitab-kitab Sunni dan
Syi’ah. Apa pentingnya isu Sunni Syi’ah?. Isu ini yang menuntun saya
kepada “Ahlul Bait”. Mungkin bagi
anda tidak penting, tetapi bagi saya isu ini adalah jalan awal yang
mengantarkan saya untuk kembali belajar lebih baik tentang agama.
Dahulu kala ketika saya masih tersesat di
“kubangan lumpur” tidak ada yang menuntun saya ke jalan yang lurus
kecuali secercah cahaya “Ahlul Bait”. Saat itu saya masih terlalu muda
[baca : cilik] untuk memasuki dunia kegelapan yang penuh dengan
kekacauan pemikiran. Membaca hanya membaca dan terus membaca semua
buku-buku di hadapan saya sampai ke titik jenuh. Dalam kejenuhan, hadis
dengan lafaz “Ahlul Bait” begitu membekas. Mengendap di dasar hati yang
gelap.
“Orang Syi’ah itu”
tidak mengajarkan Syi’ah kepada saya tetapi pertemuan dengannya dan
keberadaannya sudah cukup untuk membangkitkan cahaya yang mengendap.
Kepala saya mulai bekerja, apa yang harus saya lakukan untuk mempelajari
isu ini?. Entah mengapa saat itu saya paham bahwa yang harus saya
lakukan pertama kali bukanlah membaca semua buku-buku terkait isu ini.
Bukan pula saya harus mengejar “Orang Syi’ah itu” dan memintanya mengajarkan semua ilmunya. sungguh bukan itu wahai kisanak, pertama-tama saya harus memikirkan dengan keras “Jalan terbaik” yang harus saya tempuh untuk mempelajarinya.
.
.
Metode,
itulah masalah yang harus saya pecahkan terlebih dahulu. Memikirkan
dengan keras metode terbaik dalam mempelajari “isu ini” bukan perkara
mudah. Metode tidak langsung lahir begitu saja, itu berkembang sedikit
demi sedikit seperti membangun sebuah Istana. Metode itulah yang
menunjukkan kepada saya cara untuk mendalami isu ini yaitu saya harus
mempelajari dengan baik dasar Ilmu mazhab Sunni dan dasar Ilmu mazhab
Syi’ah. Alhamdulillah, berkat inilah saya akhirnya berusaha untuk
mengenal agama islam dengan baik.
Dalam perjalanan ini, saya sering melihat
orang-orang yang gugur di medan pertempuran karena tidak paham dengan
Metode. Tidak peduli orang tersebut Sunni ataupun Syi’ah jika lemah
dalam Metode maka mereka tidak akan bisa bertahan di medan ini. Mereka
seperti hantu-hantu yang bergentayangan,
tidak sadar kalau mereka sudah lama tewas. Penanda mereka gampang
terlihat yaitu merasa lebih tahu tentang mazhab orang lain kemudian
merendahkan dan mengkafirkannya [baik secara jelas maupun tersembunyi].
Dalam perjalanan ini, saya juga sering
melihat orang-orang yang merasa sudah memenangkan pertempuran padahal
mereka hanya tidak sadar [atau tidak mau sadar] bahwa medan pertempuran
sebenarnya lebih luas dari apa yang mereka lihat. Orang-orang seperti
ini bukannya tidak paham dengan Metode, mereka punya Metode tetapi
mereka mengkerdilkannya dan mencemarinya. Mereka seperti pahlawan kesiangan
padahal matahari sudah lama terbenam. Penanda mereka agak susah
terlihat oleh orang biasa tetapi sebagian diantara mereka suka
mengaku-ngaku sudah mempelajari kedua mazhab kemudian berpindah mazhab
dan menjelek-jelekkan, merendahkan bahkan mengkafirkan mazhabnya dahulu.
Dalam perjalanan ini, saya akhirnya
menemukan orang-orang yang seperti saya. Mereka sadar bahwa pertempuran
belum berakhir dan mereka senantiasa berkembang sesuai dengan medan yang
mereka tempuh. Orang-orang seperti ini adalah pengikut Metode yang
sejati. Mereka seperti Ilalang yang
senantiasa tumbuh dan walaupun kecil bisa bertahan dari angin kencang.
Penanda mereka jauh lebih susah terlihat kecuali oleh sesama mereka.
Sebagian mereka suka mengaku-ngaku sebagai pencari kebenaran dan
sebagian lagi memang mengaku pengikut salah satu mazhab, hanya saja
apapun mazhabnya mereka adalah orang yang senantiasa belajar dan tidak
berani merendahkan mazhab lain.
Di luar ketiga tipe di atas, maka mereka
adalah pendatang baru atau memang orang lama yang terkadang butuh
nasehat dan petunjuk. Tidak peduli apapun mazhabnya, ketika mereka
memilih untuk meyakini salah satu mazhab tetapi tidak merendahkan atau
mengkafirkan mazhab lain maka mereka masuk kedalam kelompok ini. Mereka
seperti anai-anai yang berterbangan.
Kelompok ini adalah kelompok yang terbanyak dan mereka ini sering
dibuat susah oleh orang tipe pertama [hantu] dan orang tipe kedua
[pahlawan kesiangan]. Sedangkan penolong mereka yang bisa mengobati
kesusahan tersebut adalah orang tipe ketiga [ilalang].
Insya Allah berikut sedikit pertolongan
yang bisa saya tawarkan sebagai salah satu penganut Ilalang. Kenalilah
kekeliruan-kekeliruan dalam seputar diskusi Sunni Syi’ah agar kita bisa
sadar dan menghindarinya.
.
.
.
Polarisasi
Jangan terjebak dengan doktrin “kalau bukan Sunni yang benar maka Syi’ah yang benar, kalau bukan Sunni yang salah maka Syi’ah yang salah”. Jangan terpancing dengan perkataan “ini penafsiran Sunni” dan “itu penafsiran Syi’ah”.
Dalam diskusi Sunni Syi’ah, tunjukkan objektivitas. Jika sedang
mendiskusikan nash maka fokuslah pada nash tersebut secara objektif.
Jangan menundukkan nash tersebut ke arah mazhab yang kita yakini.
Biarkan nash itu mengalir ke arah yang seharusnya. Mau ke arah Sunni,
mau ke arah Syi’ah atau ke arah lain yang bukan keduanya itu kembali
pada nash tersebut.
Contoh kasus terkait kekeliruan ini adalah Diskusi seputar “Tragedi Hari Kamis”.
Jangan terjebak dengan penafsiran sebagian orang Sunni dalam
mencari-cari pembelaan untuk membenarkan sahabat Umar [radiallahu ‘anhu]
karena bagi mereka yang senantiasa membenarkan Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] sudah jelas tindakan Umar tersebut keliru. Jangan
terjebak dengan penafsiran sebagian orang Syi’ah bahwa itu adalah bukti
wasiat kekhalifahan Imam Aliy karena tidak ada dalam nash hadis tersebut
lafaz yang menyatakan demikian. Berteori tentu saja boleh tetapi
kebenaran teori itu ya harus dibuktikan. Jika tidak ada bukti maka tidak
ada alasan untuk meyakininya. Hadis “tragedi hari kamis”
bukan bukti wasiat kekhalifahan Imam Aliy tetapi bukti akan kesalahan
Umar [radiallahu ‘anhu] dan sahabat Nabi yang menghalangi penulisan
wasiat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
.
.
Inkonsistensi
Ciri khas mereka yang tidak punya metode
atau metodenya cacat adalah inkonsistensi. Awalnya mengatakan sesuatu
kemudian di saat lain mengatakan hal yang bertentangan atau menunjukkan
sikap yang bertentangan. Kalau memang ruju’ dari pernyataan semula ya
tidak masalah tetapi kalau dikonfirmasi lagi masih menyatakan hal
seperti sebelumnya maka sudah jelas Inkonsistensi.
Contoh kasus terkait Diskusi Sunni Syi’ah adalah Kesalahan Sahabat Nabi.
Sebagian orang Sunni ada yang sering menyatakan sahabat itu tidak
ma’shum mereka bisa saja salah tetapi kalau ada orang menuliskan
kesalahan sahabat maka mereka menuduhnya Syi’ah, mencelanya bahkan
mengkafirkannya. Kalau diajak diskusi dan ditanyakan kepada mereka
apakah meyakini sahabat ma’shum maka mereka akan menjawab dengan keras
tidak.
Atau contoh lain yaitu sebagian orang
Syi’ah ada yang ketika membawakan hadis-hadis Syi’ah dalam kitab Al
Kafiy ditanya, mana buktinya hadis-hadis itu shahih?. Mereka mengatakan
semua riwayat dalam kitab Al Kafiy itu mu’tabar jadi tidak perlu
diperiksa sanadnya. Kemudian di saat lain ketika ditunjukkan hadis-hadis
Al Kafiy yang musykil di sisi mereka maka mereka buru-buru menolaknya
dengan mengatakan tidak semua riwayat Al Kafiy shahih harus diperiksa
dulu sanad dan matannya. Ini contoh inkonsistensi karena mereka tidak
memiliki metode yang jelas dalam penilaian hadis. Seandainya mereka
mempelajari ilmu hadis Syi’ah dengan baik tentu mereka tidak akan
menunjukkan inkonsistensi seperti ini.
.
.
Berpijak Di Tempat Yang Salah
Mazhab Sunni memiliki kerangka ilmu
sendiri begitu pula mazhab Syi’ah memiliki kerangka ilmu sendiri. Tentu
saja absurd untuk berhujjah atas mazhab Sunni dengan bukti riwayat
Syi’ah sebagaimana absurd untuk berhujjah atas mazhab Syi’ah dengan
bukti riwayat Sunni.
Contoh, dalam diskusi Sunni Syi’ah, orang
Sunni sering berhujjah membuktikan keutamaan para sahabat dengan
hadis-hadis yang ada dalam riwayat Sunni. Tentu saja hadis-hadis itu
tidak ada artinya di sisi mazhab Syi’ah. Kalau ingin menjadikan hujjah
atas mazhab Syi’ah mengenai keutamaan sahabat maka bawakanlah
hadis-hadis Syi’ah tentang keutamaan para sahabat.
Orang Syi’ah biasanya jarang berhujjah
dengan riwayat Syi’ah ketika mereka menegakkan hujjah ke atas
orang-orang Sunni, tetapi orang Syi’ah ketika ditanya apa dasar
keyakinan hal tersebut dalam mazhab Syi’ah mereka malah membawakan
hadis-hadis Sunni. Biasanya ini muncul dari orang-orang Syi’ah awam yang
lebih tahu hadis Sunni daripada hadis mazhab Syi’ah yang diyakininya.
Contoh, ada orang Syi’ah ketika diskusi
tentang nikah mut’ah dengan orang Sunni, mereka menunjukkan dalil
kebolehan mut’ah dalam kitab-kitab Sunni. Sampai disini pijakannya masih
benar tetapi di saat lain orang Syi’ah tersebut ditanya mana dalil
dalam mazhabnya tentang kebolehan nikah mut’ah, ia masih menjawab dengan
hadis-hadis Ibnu Abbas yang membolehkan mut’ah atau tafsir ayat Al
Qur’an tentang nikah mut’ah memakai riwayat kitab Sunni. Tentu saja ini
berpijak di tempat yang salah, bagaimana mungkin meyakini kebolehan
nikah mut’ah dalam mazhab Syi’ah dengan hadis-hadis dalam mazhab Sunni.
Kalau ditanya dalil dalam mazhabnya maka seharusnya membawakan
hadis-hadis Syi’ah bukan hadis-hadis Sunni.
.
.
Campuraduk Asumsi dan Bukti
Membedakan mana asumsi dan mana bukti
adalah hal yang sangat penting dalam diskusi Sunni Syi’ah.
Ketidakmampuan atau kesalahan dalam membedakan keduanya dapat berakibat
fatal yaitu bisa menjadi hantu atau menjadi pahlawan kesiangan.
Dalam berdalil seringkali kita membuat premis tertentu kemudian
berdalil dengan ayat Al Qur’an atau Hadis. Masalahnya adalah tidak
selalu ayat Al Qur’an dan Hadis tersebut menjadi bukti atas premis
tersebut karena premis tersebut ternyata mengandung asumsi yang justru
membutuhkan bukti lain.
Contoh dalam diskusi Sunni Syi’ah tentang hadis dua belas khalifah,
orang Syi’ah sering membawakan hadis-hadis shahih Sunni mengenai adanya
dua belas khalifah Quraisy sebagai dalil untuk membuktikan Imamah dua
belas Imam ahlul bait Syi’ah. Hadis sunni tersebut shahih dan benar ada
dua belas khalifah Quraisy tetapi itu tidak menjadi bukti akan Imamah
dua belas imam ahlul bait Syi’ah karena nash itu hanya menyebutkan dua
belas khalifah dari Quraisy tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa dua
belas khalifah itu adalah dua belas imam ahlul bait yang diyakini
Syi’ah. Hal itu membutuhkan bukti riwayat lain yang menegaskan nama-nama
dua belas khalifah tersebut.
Atau orang Sunni yang berhujjah dengan hadis Sunnah Khulafaur Rasyidin
untuk membuktikan bahwa perbuatan khalifah Abu Bakar [radiallahu ‘anhu]
dan Umar [radiallahu ‘anhu] adalah hujjah. Hadis Sunnah Khulafaur
Rasyidin tersebut adalah shahih tetapi tidak menjadi bukti bahwa Sunnah
Khulafaur Rasyidin yang dimaksud adalah Sunnah Abu Bakar dan Umar. Hal
ini disebabkan dalam nash hadis tersebut tidak ada keterangan dari
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa khulafaur rasyidin yang
dimaksud adalah termasuk Abu Bakar dan Umar. Hal itu membutuhkan riwayat
lain yang menyebutkannya jika memang ada.
.
.
Generalisasi
Kesalahan paling umum yang sering terjadi
adalah generalisasi. Menjadikan pandangan seorang atau sebagian
penganut suatu mazhab sebagai mewakili mazhab tersebut padahal ada
sebagian penganut mazhab tersebut yang berpandangan lain.
Contoh, Dalam diskusi Sunni Syi’ah,
sebagian orang Sunni sering menuduh Syi’ah meyakini tahrif Al Qur’an
dengan mengutip perkataan ulama-ulama Syi’ah yang meyakini tahrif.
Padahal sebagian ulama Syi’ah justru mengingkari hal ini maka jelas
kekeliruan menisbatkan mazhab Syi’ah meyakini tahrif Al Qur’an.
Atau orang Syi’ah yang keblablasan
menuduh mazhab Sunni sebagai nashibiy dan menyakiti ahlul bait dengan
menukil kezaliman bani Umayyah dimulai dari Muawiyah, Yazid dan
seterusnya [beserta para pengikutnya]. Hal ini jelas kekeliruan karena
banyak penganut mazhab Sunni yang justru memuliakan dan mencintai ahlul
bait.
.
.
Senjata Makan Tuan
Kekeliruan ini sering menjangkiti mereka
yang lebih semangat belajar mazhab lain tetapi lupa mempelajari mazhab
sendiri. Sebagian orang Sunni dan Syi’ah cukup sering menunjukkan
kekeliruan seperti ini.
Contoh, dalam diskusi Sunni Syi’ah ada
orang Sunni yang mengkafirkan Syi’ah karena menurutnya Syi’ah
menghalalkan nikah mut’ah. Ini jelas senjata makan tuan karena
keterbatasan ilmunya. Secara tidak langsung hal itu berkonsekuensi
mengkafirkan sebagian sahabat Nabi seperti Ibnu Abbas [radiallahu
‘anhu], Jabir [radiallahu ‘anhu], dan yang lainnya karena dalam mazhab
Sunni mereka termasuk yang menghalalkan nikah mut’ah.
Atau ada orang Syi’ah yang karena
bencinya kepada orang-orang yang ia sebut wahabi sering mencela cara
mereka berpakaian dengan celana di atas mata kaki [menyebutnya dengan
sebutan cingkrang]. Padahal dalam mazhab Syi’ah justru terdapat riwayat
shahih dari Imam Ahlul Bait mengenai dianjurkannya berpakaian di atas
mata kaki. Itu namanya senjata makan tuan karena tidak semangat
mempelajari mazhabnya sendiri.
.
.
.
Contoh-contoh di atas hanyalah sedikit
gambaran jenis kekeliruan yang sering terjadi seputar diskusi isu Sunni
Syi’ah. Dengan menuliskan ini kami berharap semoga bisa bermanfaat bagi
sebagian orang Sunni dan orang Syi’ah yang terjun dalam diskusi Sunni
dan Syi’ah agar mereka berhati-hati untuk tidak terjatuh dalam
kekeliruan-kekeliruan tersebut. Insya Allah dengan diskusi yang objektif
maka baik orang Sunni dan orang Syi’ah bisa saling meningkatkan
keilmuan dan bisa saling menghormati. Mereka yang terjatuh pada tindakan
merendahkan dan mengkafirkan mazhab lain adalah mereka yang tidak bisa
berdiskusi dengan objektif dan lebih suka dipengaruhi oleh fanatisme
mazhab yang subjektif. Salam Damai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar