Rabu, 05 Juli 2017

Sedikit Curhat Dan Tradisi Kekeliruan Dalam Diskusi Sunni Dan Syi’ah

https://secondprince.wordpress.com/2016/06/24/sedikit-curhat-dan-tradisi-kekeliruan-dalam-diskusi-sunni-dan-syiah/#more-4540

Sedikit Curhat Dan Tradisi Kekeliruan Dalam Diskusi Sunni Dan Syi’ah

Bisa dibilang saya cukup lama bermain di seputar isu “Sunni dan Syi’ah”. Dimulai dari persahabatan saya dengan seorang Syi’ah sampai akhirnya saya meneliti sendiri dengan merujuk langsung ke kitab-kitab Sunni dan Syi’ah. Apa pentingnya isu Sunni Syi’ah?. Isu ini yang menuntun saya kepada “Ahlul Bait”. Mungkin bagi anda tidak penting, tetapi bagi saya isu ini adalah jalan awal yang mengantarkan saya untuk kembali belajar lebih baik tentang agama.
Dahulu kala ketika saya masih tersesat di “kubangan lumpur” tidak ada yang menuntun saya ke jalan yang lurus kecuali secercah cahaya “Ahlul Bait”. Saat itu saya masih terlalu muda [baca : cilik] untuk memasuki dunia kegelapan yang penuh dengan kekacauan pemikiran. Membaca hanya membaca dan terus membaca semua buku-buku di hadapan saya sampai ke titik jenuh. Dalam kejenuhan, hadis dengan lafaz “Ahlul Bait” begitu membekas. Mengendap di dasar hati yang gelap.

“Orang Syi’ah itu” tidak mengajarkan Syi’ah kepada saya tetapi pertemuan dengannya dan keberadaannya sudah cukup untuk membangkitkan cahaya yang mengendap. Kepala saya mulai bekerja, apa yang harus saya lakukan untuk mempelajari isu ini?. Entah mengapa saat itu saya paham bahwa yang harus saya lakukan pertama kali bukanlah membaca semua buku-buku terkait isu ini. Bukan pula saya harus mengejar “Orang Syi’ah itu” dan memintanya mengajarkan semua ilmunya. sungguh bukan itu wahai kisanak, pertama-tama saya harus memikirkan dengan keras “Jalan terbaik” yang harus saya tempuh untuk mempelajarinya.
.
.
Metode, itulah masalah yang harus saya pecahkan terlebih dahulu. Memikirkan dengan keras metode terbaik dalam mempelajari “isu ini” bukan perkara mudah. Metode tidak langsung lahir begitu saja, itu berkembang sedikit demi sedikit seperti membangun sebuah Istana. Metode itulah yang menunjukkan kepada saya cara untuk mendalami isu ini yaitu saya harus mempelajari dengan baik dasar Ilmu mazhab Sunni dan dasar Ilmu mazhab Syi’ah. Alhamdulillah, berkat inilah saya akhirnya berusaha untuk mengenal agama islam dengan baik.
Dalam perjalanan ini, saya sering melihat orang-orang yang gugur di medan pertempuran karena tidak paham dengan Metode. Tidak peduli orang tersebut Sunni ataupun Syi’ah jika lemah dalam Metode maka mereka tidak akan bisa bertahan di medan ini. Mereka seperti hantu-hantu yang bergentayangan, tidak sadar kalau mereka sudah lama tewas. Penanda mereka gampang terlihat yaitu merasa lebih tahu tentang mazhab orang lain kemudian merendahkan dan mengkafirkannya [baik secara jelas maupun tersembunyi].

Dalam perjalanan ini, saya juga sering melihat orang-orang yang merasa sudah memenangkan pertempuran padahal mereka hanya tidak sadar [atau tidak mau sadar] bahwa medan pertempuran sebenarnya lebih luas dari apa yang mereka lihat. Orang-orang seperti ini bukannya tidak paham dengan Metode, mereka punya Metode tetapi mereka mengkerdilkannya dan mencemarinya. Mereka seperti pahlawan kesiangan padahal matahari sudah lama terbenam. Penanda mereka agak susah terlihat oleh orang biasa tetapi sebagian diantara mereka suka mengaku-ngaku sudah mempelajari kedua mazhab kemudian berpindah mazhab dan menjelek-jelekkan, merendahkan bahkan mengkafirkan mazhabnya dahulu.

Dalam perjalanan ini, saya akhirnya menemukan orang-orang yang seperti saya. Mereka sadar bahwa pertempuran belum berakhir dan mereka senantiasa berkembang sesuai dengan medan yang mereka tempuh. Orang-orang seperti ini adalah pengikut Metode yang sejati. Mereka seperti Ilalang yang senantiasa tumbuh dan walaupun kecil bisa bertahan dari angin kencang. Penanda mereka jauh lebih susah terlihat kecuali oleh sesama mereka. Sebagian mereka suka mengaku-ngaku sebagai pencari kebenaran dan sebagian lagi memang mengaku pengikut salah satu mazhab, hanya saja apapun mazhabnya mereka adalah orang yang senantiasa belajar dan tidak berani merendahkan mazhab lain.

Di luar ketiga tipe di atas, maka mereka adalah pendatang baru atau memang orang lama yang terkadang butuh nasehat dan petunjuk. Tidak peduli apapun mazhabnya, ketika mereka memilih untuk meyakini salah satu mazhab tetapi tidak merendahkan atau mengkafirkan mazhab lain maka mereka masuk kedalam kelompok ini. Mereka seperti anai-anai yang berterbangan. Kelompok ini adalah kelompok yang terbanyak dan mereka ini sering dibuat susah oleh orang tipe pertama [hantu] dan orang tipe kedua [pahlawan kesiangan]. Sedangkan penolong mereka yang bisa mengobati kesusahan tersebut adalah orang tipe ketiga [ilalang].
Insya Allah berikut sedikit pertolongan yang bisa saya tawarkan sebagai salah satu penganut Ilalang. Kenalilah kekeliruan-kekeliruan dalam seputar diskusi Sunni Syi’ah agar kita bisa sadar dan menghindarinya.
.
.
.

Polarisasi

Jangan terjebak dengan doktrinkalau bukan Sunni yang benar maka Syi’ah yang benar, kalau bukan Sunni yang salah maka Syi’ah yang salah”. Jangan terpancing dengan perkataan “ini penafsiran Sunni” dan “itu penafsiran Syi’ah”. Dalam diskusi Sunni Syi’ah, tunjukkan objektivitas. Jika sedang mendiskusikan nash maka fokuslah pada nash tersebut secara objektif. Jangan menundukkan nash tersebut ke arah mazhab yang kita yakini. Biarkan nash itu mengalir ke arah yang seharusnya. Mau ke arah Sunni, mau ke arah Syi’ah atau ke arah lain yang bukan keduanya itu kembali pada nash tersebut.
Contoh kasus terkait kekeliruan ini adalah Diskusi seputar “Tragedi Hari Kamis”. Jangan terjebak dengan penafsiran sebagian orang Sunni dalam mencari-cari pembelaan untuk membenarkan sahabat Umar [radiallahu ‘anhu] karena bagi mereka yang senantiasa membenarkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sudah jelas tindakan Umar tersebut keliru. Jangan terjebak dengan penafsiran sebagian orang Syi’ah bahwa itu adalah bukti wasiat kekhalifahan Imam Aliy karena tidak ada dalam nash hadis tersebut lafaz yang menyatakan demikian. Berteori tentu saja boleh tetapi kebenaran teori itu ya harus dibuktikan. Jika tidak ada bukti maka tidak ada alasan untuk meyakininya. Hadis “tragedi hari kamis” bukan bukti wasiat kekhalifahan Imam Aliy tetapi bukti akan kesalahan Umar [radiallahu ‘anhu] dan sahabat Nabi yang menghalangi penulisan wasiat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
.
.

Inkonsistensi

Ciri khas mereka yang tidak punya metode atau metodenya cacat adalah inkonsistensi. Awalnya mengatakan sesuatu kemudian di saat lain mengatakan hal yang bertentangan atau menunjukkan sikap yang bertentangan. Kalau memang ruju’ dari pernyataan semula ya tidak masalah tetapi kalau dikonfirmasi lagi masih menyatakan hal seperti sebelumnya maka sudah jelas Inkonsistensi.
Contoh kasus terkait Diskusi Sunni Syi’ah adalah Kesalahan Sahabat Nabi. Sebagian orang Sunni ada yang sering menyatakan sahabat itu tidak ma’shum mereka bisa saja salah tetapi kalau ada orang menuliskan kesalahan sahabat maka mereka menuduhnya Syi’ah, mencelanya bahkan mengkafirkannya. Kalau diajak diskusi dan ditanyakan kepada mereka apakah meyakini sahabat ma’shum maka mereka akan menjawab dengan keras tidak.
Atau contoh lain yaitu sebagian orang Syi’ah ada yang ketika membawakan hadis-hadis Syi’ah dalam kitab Al Kafiy ditanya, mana buktinya hadis-hadis itu shahih?. Mereka mengatakan semua riwayat dalam kitab Al Kafiy itu mu’tabar jadi tidak perlu diperiksa sanadnya. Kemudian di saat lain ketika ditunjukkan hadis-hadis Al Kafiy yang musykil di sisi mereka maka mereka buru-buru menolaknya dengan mengatakan tidak semua riwayat Al Kafiy shahih harus diperiksa dulu sanad dan matannya. Ini contoh inkonsistensi karena mereka tidak memiliki metode yang jelas dalam penilaian hadis. Seandainya mereka mempelajari ilmu hadis Syi’ah dengan baik tentu mereka tidak akan menunjukkan inkonsistensi seperti ini.
.
.

Berpijak Di Tempat Yang Salah

Mazhab Sunni memiliki kerangka ilmu sendiri begitu pula mazhab Syi’ah memiliki kerangka ilmu sendiri. Tentu saja absurd untuk berhujjah atas mazhab Sunni dengan bukti riwayat Syi’ah sebagaimana absurd untuk berhujjah atas mazhab Syi’ah dengan bukti riwayat Sunni.
Contoh, dalam diskusi Sunni Syi’ah, orang Sunni sering berhujjah membuktikan keutamaan para sahabat dengan hadis-hadis yang ada dalam riwayat Sunni. Tentu saja hadis-hadis itu tidak ada artinya di sisi mazhab Syi’ah. Kalau ingin menjadikan hujjah atas mazhab Syi’ah mengenai keutamaan sahabat maka bawakanlah hadis-hadis Syi’ah tentang keutamaan para sahabat.
Orang Syi’ah biasanya jarang berhujjah dengan riwayat Syi’ah ketika mereka menegakkan hujjah ke atas orang-orang Sunni, tetapi orang Syi’ah ketika ditanya apa dasar keyakinan hal tersebut dalam mazhab Syi’ah mereka malah membawakan hadis-hadis Sunni. Biasanya ini muncul dari orang-orang Syi’ah awam yang lebih tahu hadis Sunni daripada hadis mazhab Syi’ah yang diyakininya.
Contoh, ada orang Syi’ah ketika diskusi tentang nikah mut’ah dengan orang Sunni, mereka menunjukkan dalil kebolehan mut’ah dalam kitab-kitab Sunni. Sampai disini pijakannya masih benar tetapi di saat lain orang Syi’ah tersebut ditanya mana dalil dalam mazhabnya tentang kebolehan nikah mut’ah, ia masih menjawab dengan hadis-hadis Ibnu Abbas yang membolehkan mut’ah atau tafsir ayat Al Qur’an tentang nikah mut’ah memakai riwayat kitab Sunni. Tentu saja ini berpijak di tempat yang salah, bagaimana mungkin meyakini kebolehan nikah mut’ah dalam mazhab Syi’ah dengan hadis-hadis dalam mazhab Sunni. Kalau ditanya dalil dalam mazhabnya maka seharusnya membawakan hadis-hadis Syi’ah bukan hadis-hadis Sunni.
.
.

Campuraduk Asumsi dan Bukti

Membedakan mana asumsi dan mana bukti adalah hal yang sangat penting dalam diskusi Sunni Syi’ah. Ketidakmampuan atau kesalahan dalam membedakan keduanya dapat berakibat fatal yaitu bisa menjadi hantu atau menjadi pahlawan kesiangan. Dalam berdalil seringkali kita membuat premis tertentu kemudian berdalil dengan ayat Al Qur’an atau Hadis. Masalahnya adalah tidak selalu ayat Al Qur’an dan Hadis tersebut menjadi bukti atas premis tersebut karena premis tersebut ternyata mengandung asumsi yang justru membutuhkan bukti lain.
Contoh dalam diskusi Sunni Syi’ah tentang hadis dua belas khalifah, orang Syi’ah sering membawakan hadis-hadis shahih Sunni mengenai adanya dua belas khalifah Quraisy sebagai dalil untuk membuktikan Imamah dua belas Imam ahlul bait Syi’ah. Hadis sunni tersebut shahih dan benar ada dua belas khalifah Quraisy tetapi itu tidak menjadi bukti akan Imamah dua belas imam ahlul bait Syi’ah karena nash itu hanya menyebutkan dua belas khalifah dari Quraisy tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa dua belas khalifah itu adalah dua belas imam ahlul bait yang diyakini Syi’ah. Hal itu membutuhkan bukti riwayat lain yang menegaskan nama-nama dua belas khalifah tersebut.
Atau orang Sunni yang berhujjah dengan hadis Sunnah Khulafaur Rasyidin untuk membuktikan bahwa perbuatan khalifah Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] dan Umar [radiallahu ‘anhu] adalah hujjah. Hadis Sunnah Khulafaur Rasyidin tersebut adalah shahih tetapi tidak menjadi bukti bahwa Sunnah Khulafaur Rasyidin yang dimaksud adalah Sunnah Abu Bakar dan Umar. Hal ini disebabkan dalam nash hadis tersebut tidak ada keterangan dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa khulafaur rasyidin yang dimaksud adalah termasuk Abu Bakar dan Umar. Hal itu membutuhkan riwayat lain yang menyebutkannya jika memang ada.
.
.

Generalisasi

Kesalahan paling umum yang sering terjadi adalah generalisasi. Menjadikan pandangan seorang atau sebagian penganut suatu mazhab sebagai mewakili mazhab tersebut padahal ada sebagian penganut mazhab tersebut yang berpandangan lain.
Contoh, Dalam diskusi Sunni Syi’ah, sebagian orang Sunni sering menuduh Syi’ah meyakini tahrif Al Qur’an dengan mengutip perkataan ulama-ulama Syi’ah yang meyakini tahrif. Padahal sebagian ulama Syi’ah justru mengingkari hal ini maka jelas kekeliruan menisbatkan mazhab Syi’ah meyakini tahrif Al Qur’an.
Atau orang Syi’ah yang keblablasan menuduh mazhab Sunni sebagai nashibiy dan menyakiti ahlul bait dengan menukil kezaliman bani Umayyah dimulai dari Muawiyah, Yazid dan seterusnya [beserta para pengikutnya]. Hal ini jelas kekeliruan karena banyak penganut mazhab Sunni yang justru memuliakan dan mencintai ahlul bait.
.
.

Senjata Makan Tuan

Kekeliruan ini sering menjangkiti mereka yang lebih semangat belajar mazhab lain tetapi lupa mempelajari mazhab sendiri. Sebagian orang Sunni dan Syi’ah cukup sering menunjukkan kekeliruan seperti ini.
Contoh, dalam diskusi Sunni Syi’ah ada orang Sunni yang mengkafirkan Syi’ah karena menurutnya Syi’ah menghalalkan nikah mut’ah. Ini jelas senjata makan tuan karena keterbatasan ilmunya. Secara tidak langsung hal itu berkonsekuensi mengkafirkan sebagian sahabat Nabi seperti Ibnu Abbas [radiallahu ‘anhu], Jabir [radiallahu ‘anhu], dan yang lainnya karena dalam mazhab Sunni mereka termasuk yang menghalalkan nikah mut’ah.
Atau ada orang Syi’ah yang karena bencinya kepada orang-orang yang ia sebut wahabi sering mencela cara mereka berpakaian dengan celana di atas mata kaki [menyebutnya dengan sebutan cingkrang]. Padahal dalam mazhab Syi’ah justru terdapat riwayat shahih dari Imam Ahlul Bait mengenai dianjurkannya berpakaian di atas mata kaki. Itu namanya senjata makan tuan karena tidak semangat mempelajari mazhabnya sendiri.
.
.
.
Contoh-contoh di atas hanyalah sedikit gambaran jenis kekeliruan yang sering terjadi seputar diskusi isu Sunni Syi’ah. Dengan menuliskan ini kami berharap semoga bisa bermanfaat bagi sebagian orang Sunni dan orang Syi’ah yang terjun dalam diskusi Sunni dan Syi’ah agar mereka berhati-hati untuk tidak terjatuh dalam kekeliruan-kekeliruan tersebut. Insya Allah dengan diskusi yang objektif maka baik orang Sunni dan orang Syi’ah bisa saling meningkatkan keilmuan dan bisa saling menghormati. Mereka yang terjatuh pada tindakan merendahkan dan mengkafirkan mazhab lain adalah mereka yang tidak bisa berdiskusi dengan objektif dan lebih suka dipengaruhi oleh fanatisme mazhab yang subjektif. Salam Damai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar