Kamis, 26 Februari 2015

KAWASAN TIMUR TENGAH YANG TAK PERNAH DAMAI..?? ADA APA.. DAN MENGAPA...?? SEJAK DIKUASAI PENJAJAHAN INGGRIS.DKK. HINGGA KINI KONON SDH... MERDEKA.. ?? ...... KAWASAN TIMUR TENGAH DAN AFRIKA .. SEAKAN TIDAK PERNAH BERHENTI DARI SALING BUNUH DAN KEKEJAMAN DEMI KEKEJAMAN..?? >> PADAHAL DAHULU DIZAMAN KHALIFAH2 ISLAM SEMPAT MENJADI KAWASAN YANG SANGAT MENGAGUMKAN.. DAN KEMAJUAN RAKYAT DAN ILMU PENGETAHUAN MENJADI INSPIRASI DUNIA..?? ... SIAPA DAN MENGAPA SEKARANG BISA BERBEDA..?? DAN NAMPAKNYA REPUBLIK ISLAM IRAN.. SATU2NYA KAWASAN ATAU NEGARA.. YG MENUJU KEPADA KEMAJUAN.. DIBAWAH PIMPINAN KHOMAENI.... PASCA JATUHNYA SYAH REZA PHAHLEVI.. ... IRAN BERUBAH MENJADI NEGARA YG CUKUPO DISEGANI.. DAN TDK SEMBARANG PIHAK BISA MENGGANGGUNYA..?? WLW DMK AS-INGGRIS..DAN KELOMPOK2 PENJAJAH EROPAH SERTA ISRAEL MASIH TERUS MEMPROVOKASI IRAN.. ?? NAMUN KAWASAN SAUDI.. DLL.. MENJADI.. TARUHAN PARA MANTAN PENJAJAH.. SERTA KOLABORASI PARA PIMPINAN ..DAN KELOMPOK2 BAYARAN.. YG SELALU MENJADI SUMBER2.. KEKACAUAN..?? >> RAJA ABDULLAH TELAH MANGKAT.. DAN KONON BELIAU MENJAJAGI PERDAMAIAN.. YG DIBANTU DENGAN SETENGAH HATI OLEH AS DAN INGGRIS..DKK...?? KARENA MEREKA MASIH INGIN MENGUASAI.. JALUR ENERGI YG PALING MURAH DI SELURUH DUNIA..?? BENARKAH..?? DIBARISAN BELAKANG ADA TIONGKON DAN INDIA.. YG JUGA SEDANG MEMBANGUN KEKUATAN BARU..?? ... BAKAL TERUSKAN TIMUR TENGAH MENJADI AJANG KURUSETRANYA.. PARA PUTERA2.. ARAB SALING MEMBUNUH..DENGAN BERBAGAI DALIH... ?? .....MALAH KONON.. ISSUE SEKTARIAN DAN MAZHAB DAN KESUKUAN SERTA... LATAR BELAKANG SEDANG TERUS DIMAINKAN DI KAWASAN INI.. AGAR API PERMUSUHAN DAN KEKACAUAN TERUS BERLANGSUNG DAN SALING BUNUH SEMAKIN RAMAI DENGAN SEGALA ASPEK.. YG KONON JADI DALIL PEMBENARAN.. ATAS PERSETERUAN ITU..?? .... INILAH LIHAINYA PENJAJAH.. DENGAN DEVIDE ET IMPERA.. DAN KEBODOHAN DAN TOLOLNYA RAKYAT DAN PEMIMPIN DIKAWASAN .. YG TDK KEMBALI KEPADA ... AJARAN FURQON YG SEBENARNYA..?? DAN HARUS TAHU MUSUH RAKYAT ARAB DAN RAKYAT PALESTINA ITU SIAPA.. SEBENARNYA..?? ...?? TERLALU BANYAK SISI SENSITIFITAS.. YG KONON DIBANGUN DENGAN ASPEK2 KESERAKAHAN DAN JIWA2... YG ABSURD..?? >>> HAYOO KEMBALI KPD FURQON..DAN BERSATULAH DG SEUTUHNYA...?? MK KAEJAYAAN DAN KEMAKMURAN SERTA KEDAMAIAN AKAN SEGERA TERWUJUD..?? BANGKITLAH WAHAI PUTERA2 BANGSA DAN UMMAT ISLAM... UTK KEJAYAAN ANAK NEGERI DAN ISLAM.. YG LUHUR..>> Pengkhianatan Penguasa Saudi (Dulu dan Kini)..?? Why Israel's Netanyahu Is So Desperate to Prevent Peace with Iran...?? >> In an unprecedented move, 200 veterans of the Israeli security services accused Prime Minister Benjamin Netanyahu on Sunday of being a “danger” to Israel. The new group, called Commanders for Israel’s Security, warned that Netanyahu was doing irreparable harm to the country’s relationship with Washington, just two days before he is due to address the US Congress. The Israeli prime minister is expected to use the speech to try to undermine negotiations currently taking place between major world powers and Iran. He has claimed that any agreement reached at the talks’ conclusion, later this month, will leave Iran a “nuclear threshold state” hellbent on destroying Israel. Half a dozen former generals spoke out at a press conference in Tel Aviv on Sunday, urging Netanyahu to cancel the speech before ties with the US deteriorate even further. The White House is reported to be furious that Netanyahu arranged his appearance before Congress behind President Barack Obama’s back...??.>>>Pengabdian Jujur Qatar Kepada Israel dan AS....??? ...>> .... Pengkhianatan Penguasa Saudi (Dulu dan Kini) Dalam pidato pembukaan KTT Liga Arab yang dilangsungkan di Riyadh tanggal 28 Maret 2007, Raja Abdullah Ibnu Saud mengatakan bahwa kesengsaraan yang dialami bangsa Arab adalah akibat perselisihan yang kerap terjadi di antara para penguasa Arab. Padahal mereka hanya dapat mencegah “kekuatan asing untuk merumuskan masa depan wilayah itu” jika mereka bersatu. Kemudian dia melanjutkan pidatonya tentang sejarah Liga Arab, “Pertanyaannya adalah, apa yang telah kita lakukan dalam tahun-tahun belakangan ini untuk menyelesaikan semua permasalahan itu? Saya tidak ingin menyalahkan Liga Arab karena ia adalah sebuah entitas yang mencerminkan kondisi kita secara menyeluruh. Kita seharusnya menyalahkan diri kita sendiri; kita semua; pemimpin bangsa-bangsa Arab. Perbedaan-perbedaan kita yang permanen, penolakan kita untuk mengambil jalan persatuan, semuanya itu menyebabkan negara-negara Arab kehilangan kepercayaan diri dan kredibilitas serta kehilangan harapan pada masa kini dan masa depan kita.” Dia lalu menggambarkan beberapa persoalan yang dihadapi oleh Dunia Islam, “Di Irak yang kita cintai, pertumpahan darah terjadi di antara saudara-saudara kita, dibayangi oleh pendudukan asing yang ilegal, dan kebencian sektarianisme yang menjurus pada perang saudara…Di Palestina, banyak orang menderita karena penindasan dan pendudukan. Sangat mendesak untuk mengakhiri blokade yang diberlakukan atas bangsa Palestina sehingga proses perdamaian dapat terus berjalan dalam kondisi tanpa penindasan.” Apa yang digarisbawahi oleh Raja Abdullah dalam pidato pembukaanya tentang problem masa kini yang dihadapi kaum Muslim sudah sangat dimengerti oleh kaum Muslim di seluruh dunia. Namun, Dia melupakan peran yang telah dimainkannya, juga peran keluarga Saudi dalam menciptakan dan memperpanjang isu-isu semacam itu. Keluarga Saudi memiliki riwayat panjang terkait dengan pengkhianatan mereka terhadap umat. Mereka justru telah memainkan peran pentingnya dalam mencegah persatuan di Dunia Islam. Mulai awal tahun 2006, Raja Abdullah telah mencetuskan inisiatif perdamaian yang akan mengakui Israel jika negara itu mengembalikan tanah yang dirampasnya pada perang tahun 1967. Untuk itu, Raja Abdullah bersedia menjadi perantara pada perjanjian antara Pemerintahan Hamas dan Fatah. Raja Abdullah menunjukkan sikap yang sebenarnya ketika Israel menginvasi Libanon pada bulan Juli 2006. Saat itu, pada pertemuan KTT Liga Arab dia bersama Yordania, Mesir, beberapa negara Teluk dan Otoritas Palestina, menghukum Hizbullah atas tindakannya yang dianggap tidak diharapkan, tidak pantas dan tidak bertanggung jawab. Menlu Arab Pangeran Saud al-Faisal pada saat itu mengatakan, “Tindakan itu akan membawa keseluruhan wilayah ini kembali beberapa tahun mundur ke belakang. Kami tidak bisa menerima hal itu.” Saudi Arabia, bahkan meminta Sheikh terkemuka, Abdullah bin Jabrin, untuk mengeluarkan fatwa yang menyatakan tidak sahnya dukungan, bantuan dan doa bagi Hizbullah. Keluarga Saudi sering dalam beberapa kesempatan, bersama dengan kekuatan penjajah Barat, bahu-membahu dalam menyediakan dukungan aktif. Dalam Perang Teluk yang pertama, Raja Fahd dengan resmi memerintah-kan penggelaran pasukan Amerika di tanah Saudi. Kerajaan itu menjadi tuan rumah bagi 600,000 pasukan Sekutu hingga kas negara mengalami defisit. Amerika mengeluarkan $60 miliar pada Perang Teluk pertama. Kuwait membayar separuhnya dari anggaran itu. Saat ini, 5000 tentara AS masih bercokol di kerajaan itu sejak akhir Perang Teluk. Sejak 1999, kehadiran mereka telah menimbulkan kejengkelan bagi warga Saudi hingga dikeluarkannya “Memorandum Nasihat” setebal 46 halaman oleh 107 pemuka kelompok Wahabi kepada Raja Fahd. Memorandum tersebut mengkritik pemerintah atas korupsi dan pelanggaran lainnya serta kebijakan pemerintah yang tetap membiarkan kehadiran tentara AS di tanah Saudi. Namun, jawaban yang diambil oleh Raja Fahd adalah menangkap mereka...>>"Pesawat-pesawat AS menjatuhkan senjata untuk teroris ISIS di daerah yang dikuasai ISIS dan bahkan di daerah-daerah yang baru-baru ini bebas dari kontrol ISIS untuk mendorong mereka kembali ke sana," kata koordinator pasukan relawan Irak, Jafar al-Jaberi seperti dirilis Fars News kemarin (25/2). Dia mencatat bahwa saksi mata di al-Havijeh, Provinsi Kirkuk menyaksikan pesawat AS menjatuhkan beberapa bungkusan mencurigakan untuk teroris ISIS. "Dua pesawat koalisi juga terlihat di atas kota Al-Khas di Diyala dan mereka membawa teroris Takfiri ke wilayah yang baru-baru ini dibebaskan dari kontrol ISIS," lanjutnya.... >>Arab Saudi siap membantu Israel dalam serangan terhadap Iran termasuk penggunaan wilayah udara, ungkap media Israel, memperjelas persekutuan dekat yang terjalin di antara keduanya. Mengutip siaran TV Channel 2 Israel, Jerussalem Post kemarin (24/2) melaporkan kesiapan Saudi itu dinyatakan dalam pembicaraan pribadi dengan sumber-sumber Eropa....>> NNA lebih lanjut mengatakan unit tentara dengan 20-anggota itu didukung oleh tank Merkava dalam misi memonitoring wilayah. Pasukan Israel bergerak maju di sepanjang tepi sungai, kata kantor berita Libanon itu. Unit militer Israel pada Kamis pagi, 26/02/15, merangsek maju menuju sungai al-Wazzani di perbatasan selatan Libanon yang meningkatkan kesiagaan tentara Libanon dan pasukan penjaga perdamaian PBB, demikian menukil laporan National News Agency (NNA). NNA lebih lanjut mengatakan unit tentara dengan 20-anggota itu didukung oleh tank Merkava dalam misi memonitoring wilayah. Pasukan Israel bergerak maju di sepanjang tepi sungai, kata kantor berita Libanon itu. >>Cohen menilai pidato Netanyahu "yang menentang kebijakan luar negeri" Amerika adalah sesuatu di luar batas. Wakil Presiden AS Joe Biden dan beberapa anggota parlemen Demokrat lain juga akan memboikot pidato. Gedung Putih menyebut undangan Netanyahu itu melanggar aturan protokol dan bisa menggagalkan perundingan nuklir dengan Iran...>>> ..Bukankah sejak abad ke-5 SM yahudi di Palestina tinggal sedikit yang tersisa, karena menyebar, berlarian mengembara ke seluruh penjuru dunia? Pantaskah bangsa yang sudah meninggalkan tanah kelahirannya 25 abad, lalu memaksakan diri kembali ke tanah asal dengan klaim mempunyai hak sejarah?..>>... Secara yuridis Israel sebenarnya bukanlah sebuah Negara melainkan PENJAJAH..>> ...Israel juga merupakan negara ‘pemegang rekor’ dunia sebagai negara pelanggar konvensi Jenewa dan pembangkang resolusi PBB terbanyak di dunia,tetapi belum pernah ada sanksi yang diberlakukan kepada Israel. AS selalu mem-veto resolusi yang merugikan Israel..>>....


http://world.einnews.com/article/256013888/9T1ID6TGmYT-_FJ6

How the Senate Republicans’ letter gave Iran a boost in nuclear talks

By Ali Vaez
March 15, 2015
Iran | mohammad javad zarif | nuclear talks | Senate letter
 
Iranian Foreign Minister Mohammad Zarif attends Human Rights Council at UN in Geneva

Iranian Foreign Minister Mohammad Javad Zarif attends the 28th Session of the Human Rights Council at the United Nations in Geneva, March 2, 2015. REUTERS/Denis Balibouse

The 47 Republican senators who wrote to Iranian leaders this month may have believed they were sabotaging the talks on a deal on Iran’s nuclear program, hoping it would exacerbate fears in Tehran that any such deal could be reversed by the next U.S. president.

No one knows how the talks will end, or which party will win the White House next year, but Iranian leaders most likely believe it has strengthened their negotiating position. That’s because this partisan stunt was old news when it arrived in Tehran. The Iranians were fully prepared for attempts of this sort to undermine the negotiations in which they have invested so much.

Iran’s foreign minister, Javad Zarif, has spent the majority of his life in the U.S. and is intimately familiar with American politics and laws. This, combined with Supreme Leader Ali Khamenei’s deep skepticism of U.S. intentions and trustworthiness, resulted in an Iranian negotiating strategy that has long insulated itself against the risk of Congressional upsets.

Knowing full well that Congress is unlikely to cooperate with the White House to relax U.S. sanctions, they have been aware from the beginning that all the Obama administration could realistically offer — at least in the agreement’s early stages — was suspending the sanctions by using the president’s waiver authority.

That realization had four specific consequences for Iran’s negotiating stance. First, since suspension of sanctions is more reversible than their termination, the Iranians insist on maintaining sufficient leverage of their own in the form of thousands of centrifuges. Iran’s current operating enrichment capacity has limited practical use, since fuel for the country’s sole nuclear power plant in Bushehr is supplied by Russia. But Iranian leaders calculate that maintaining a meaningful enrichment capacity might deter the U.S. from reneging on its part of the bargain.

Secondly, instead of focusing on unilateral U.S. sanctions, the Iranian negotiators have gone after the UN Security Council sanctions that legitimize the American ones. The logic is that if the next U.S. president revokes the nuclear deal and tries to re-impose sanctions without the legitimacy bestowed by the UN, he/she will have a much harder time rallying international support behind enforcing the restrictions.

Thirdly, Iranian negotiators demand that a roadmap for lifting the U.S. sanctions during the agreement must be codified by a UN Security Council resolution. This would make any American infringement of it a breach of an obligation under international law. They have, moreover, indicated they intend to make the Iranian parliament’s ratification of the Additional Protocol to the Nonproliferation Treaty that provides the UN inspectors with enhanced access to nuclear sites and scientists contingent on prior legislative action in U.S. Congress to terminate some specific sanctions.

Finally, based on the supreme leader’s instructions, the Iranian negotiators are trying to tie up all ambiguities in the agreement to ensure that no aspect will be open to interpretation. Moreover, just as Washington insists on a role for the International Atomic Energy Agency to monitor Iran’s implementation of its commitments, Tehran insists on establishing a mechanism to monitor Washington’s performance on sanctions relief.

Seen from Tehran, therefore, the letter has strengthened Iran’s negotiating position. It also gives Tehran an edge in any blame-game that would inevitably follow a still-possible failure to reach a comprehensive accord. It will now be much easier to portray U.S. demands as excessive and maximalist than it was before the letter, and before Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu’s speech to Congress last week.

The Iranians also appear to know perfectly well that by further alienating the Congressional Democrats, the letter makes any future attempt to pass deal-killing legislation more likely to fall short of garnering sufficient support in the Senate to override an Obama veto.

The Senate Republicans appear to have unintentionally miscalculated. Underlying their missive is an assumption that Iran somehow is a far-away place, unknown and untrustworthy, easy to use as a U.S. domestic political football. Senators may indeed feel nothing in common with Iran.

But Iran’s leaders spend every working day examining every move of the country that has done so much to cut them off from the rest of the world for the past 35 years. Letters or no letters, they thus appear to be well aware, as Ayatollah Khamenei suggested, that “governments are bound to their commitments by international laws and would not violate their obligations with a change of government.”

The Senators have thus not just handed the Iranians a rhetorical victory. They have also shown themselves less than Iran’s equal in their ability to understand their adversary.

Noam Chomsky: Why Israel's Netanyahu Is So Desperate to Prevent Peace with Iran

http://www.middleeasteye.net/news/intelligence-leaks-suggest-israeli-secret-service-believe-iran-not-producing-nuclear-weapons

The distinguished professor lays bare Israel's motives.
Photo Credit: Yakub88/Shutterstock.com
http://www.alternet.org/world/noam-chomsky-why-israels-netanyahu-so-desperate-prevent-peace-iran
 
Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu has arrived in the United States as part of his bid to stop a nuclear deal with Iran during a controversial speech before the U.S. Congress on Tuesday. Dozens of Democrats are threatening to boycott the address, which was arranged by House Speaker John Boehner without consulting the White House. Netanyahu’s visit comes just as Iran and six world powers, including the United States, are set to resume talks in a bid to meet a March 31 deadline. "For both Prime Minister Netanyahu and the hawks in Congress, mostly Republican, the primary goal is to undermine any potential negotiation that might settle whatever issue there is with Iran," says Noam Chomsky, institute professor emeritus at Massachusetts Institute of Technology. "They have a common interest in ensuring there is no regional force that can serve as any kind of deterrent to Israeli and U.S. violence, the major violence in the region." Chomsky also responds to recent revelations that in 2012 the Israeli spy agency, Mossad, contradicted Netanyahu’s own dire warnings about Iran’s ability to produce a nuclear bomb, concluding that Iran was "not performing the activity necessary to produce weapons."

TRANSCRIPT
This is a rush transcript. Copy may not be in its final form.

AARON MATÉ: Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu has arrived in Washington as part of his bid to stop a nuclear deal with Iran. Netanyahu will address the lobby group AIPAC today, followed by a controversial speech before Congress on Tuesday. The visit comes just as Iran and six world powers, including the U.S., are set to resume talks in a bid to meet a March 31st deadline. At the White House, Press Secretary Josh Earnest said Netanyahu’s trip won’t threaten the outcome.
PRESS SECRETARY JOSH EARNEST: I think the short answer to that is: I don’t think so. And the reason is simply that there is a real opportunity for us here. And the president is hopeful that we are going to have an opportunity to do what is clearly in the best interests of the United States and Israel, which is to resolve the international community’s concerns about Iran’s nuclear program at the negotiating table.
AARON MATÉ: The trip has sparked the worst public rift between the U.S. and Israel in over two decades. Dozens of Democrats could boycott Netanyahu’s address to Congress, which was arranged by House Speaker John Boehner without consulting the White House. The Obama administration will send two officials, National Security Adviser Susan Rice and U.N. Ambassador Samantha Power, to address the AIPAC summit today. This comes just days after Rice called Netanyahu’s visit, quote, "destructive."

AMY GOODMAN: Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu is also facing domestic criticism for his unconventional Washington visit, which comes just two weeks before an election in which he seeks a third term in Israel. On Sunday, a group representing nearly 200 of Israel’s top retired military and intelligence officials accused Netanyahu of assaulting the U.S.-Israel alliance.
But despite talk of a U.S. and Israeli dispute, the Obama administration has taken pains to display its staunch support for the Israeli government. Speaking just today in Geneva, Secretary of State John Kerry blasted the U.N. Human Rights Council for what he called an "obsession" and "bias" against Israel. The council is expected to release a report in the coming weeks on potential war crimes in Israel’s U.S.-backed Gaza assault last summer.
For more, we spend the hour today with world-renowned political dissident, linguist, author, Noam Chomsky. He has written over a hundred books, most recently On Western Terrorism: From Hiroshima to Drone Warfare. His forthcoming book, co-authored with Ilan Pappé, is titled On Palestine and will be out next month. Noam Chomsky is institute professor emeritus at Massachusetts Institute of Technology, where he’s taught for more than 50 years.
Noam Chomsky, it’s great to have you back here at Democracy Now!, and particularly in our very snowy outside, but warm inside, New York studio.

NOAM CHOMSKY: Delighted to be here again.

AMY GOODMAN: Well, Noam, let’s start with Netanyahu’s visit. He is set to make this unprecedented joint address to Congress, unprecedented because of the kind of rift it has demonstrated between the Republicans and the Democratic president, President Obama. Can you talk about its significance?

NOAM CHOMSKY: For both president—Prime Minister Netanyahu and the hawks in Congress, mostly Republican, the primary goal is to undermine any potential negotiation that might settle whatever issue there is with Iran. They have a common interest in ensuring that there is no regional force that can serve as any kind of deterrent to Israeli and U.S. violence, the major violence in the region. And it is—if we believe U.S. intelligence—don’t see any reason not to—their analysis is that if Iran is developing nuclear weapons, which they don’t know, it would be part of their deterrent strategy. Now, their general strategic posture is one of deterrence. They have low military expenditures. According to U.S. intelligence, their strategic doctrine is to try to prevent an attack, up to the point where diplomacy can set in. I don’t think anyone with a grey cell functioning thinks that they would ever conceivably use a nuclear weapon, or even try to. The country would be obliterated in 15 seconds. But they might provide a deterrent of sorts. And the U.S. and Israel certainly don’t want to tolerate that. They are the forces that carry out regular violence and aggression in the region and don’t want any impediment to that.
And for the Republicans in Congress, there’s another interest—namely, to undermine anything that Obama, you know, the Antichrist, might try to do. So that’s a separate issue there. The Republicans stopped being an ordinary parliamentary party some years ago. They were described, I think accurately, by Norman Ornstein, the very respected conservative political analyst, American Enterprise Institute; he said the party has become a radical insurgency which has abandoned any commitment to parliamentary democracy. And their goal for the last years has simply been to undermine anything that Obama might do, in an effort to regain power and serve their primary constituency, which is the very wealthy and the corporate sector. They try to conceal this with all sorts of other means. In doing so, they’ve had to—you can’t get votes that way, so they’ve had to mobilize sectors of the population which have always been there but were never mobilized into an organized political force: evangelical Christians, extreme nationalists, terrified people who have to carry guns into Starbucks because somebody might be after them, and so on and so forth. That’s a big force. And inspiring fear is not very difficult in the United States. It’s a long history, back to colonial times, of—as an extremely frightened society, which is an interesting story in itself. And mobilizing people in fear of them, whoever "them" happens to be, is an effective technique used over and over again. And right now, the Republicans have—their nonpolicy has succeeded in putting them back in a position of at least congressional power. So, the attack on—this is a personal attack on Obama, and intended that way, is simply part of that general effort. But there is a common strategic concern underlying it, I think, and that is pretty much what U.S. intelligence analyzes: preventing any deterrent in the region to U.S. and Israeli actions.

AARON MATÉ: You say that nobody with a grey cell thinks that Iran would launch a strike, were it to have nuclear weapons, but yet Netanyahu repeatedly accuses Iran of planning a new genocide against the Jewish people. He said this most recently on Holocaust Remembrance Day in January, saying that the ayatollahs are planning a new holocaust against us. And that’s an argument that’s taken seriously here.

NOAM CHOMSKY: It’s taken seriously by people who don’t stop to think for a minute. But again, Iran is under extremely close surveillance. U.S. satellite surveillance knows everything that’s going on in Iran. If Iran even began to load a missile—that is, to bring a missile near a weapon—the country would probably be wiped out. And whatever you think about the clerics, the Guardian Council and so on, there’s no indication that they’re suicidal.

AARON MATÉ: The premise of these talks—Iran gets to enrich uranium in return for lifting of U.S. sanctions—do you see that as a fair parameter? Does the U.S. have the right, to begin with, to be imposing sanctions on Iran?

NOAM CHOMSKY: No, it doesn’t. What are the right to impose sanctions? Iran should be imposing sanctions on us. I mean, it’s worth remembering—when you hear the White House spokesman talk about the international community, it wants Iran to do this and that, it’s important to remember that the phrase "international community" in U.S. discourse refers to the United States and anybody who may be happening to go along with it. That’s the international community. If the international community is the world, it’s quite a different story. So, two years ago, the Non-Aligned—former Non-Aligned Movement—it’s a large majority of the population of the world—had their regular conference in Iran in Tehran. And they, once again, vigorously supported Iran’s right to develop nuclear power as a signer of the Non-Proliferation Treaty. That’s the international community. The United States and its allies are outliers, as is usually the case.
And as far as sanctions are concerned, it’s worth bearing in mind that it’s now 60 years since—during the past 60 years, not a day has passed without the U.S. torturing the people of Iran. It began with overthrowing the parliamentary regime and installing a tyrant, the shah, supporting the shah through very serious human rights abuses and terror and violence. As soon as he was overthrown, almost instantly the United States turned to supporting Iraq’s attack against Iran, which was a brutal and violent attack. U.S. provided critical support for it, pretty much won the war for Iraq by entering directly at the end. After the war was over, the U.S. instantly supported the sanctions against Iran. And though this is kind of suppressed, it’s important. This is George H.W. Bush now. He was in love with Saddam Hussein. He authorized further aid to Saddam in opposition to the Treasury and others. He sent a presidential delegation—a congressional delegation to Iran. It was April 1990—1989, headed by Bob Dole, the congressional—

AMY GOODMAN: To Iraq? Sent to Iraq?

NOAM CHOMSKY: To Iraq. To Iraq, sorry, yeah—to offer his greetings to Saddam, his friend, to assure him that he should disregard critical comment that he hears in the American media: We have this free press thing here, and we can’t shut them up. But they said they would take off from Voice of America, take off critics of their friend Saddam. That was—he invited Iraqi nuclear engineers to the United States for advanced training in weapons production. This is right after the Iraq-Iran War, along with sanctions against Iran. And then it continues without a break up to the present.
There have been repeated opportunities for a settlement of whatever the issues are. And so, for example, in, I guess it was, 2010, an agreement was reached between Brazil, Turkey and Iran for Iran to ship out its low-enriched uranium for storage elsewhere—Turkey—and in return, the West would provide the isotopes that Iran needs for its medical reactors. When that agreement was reached, it was bitterly condemned in the United States by the president, by Congress, by the media. Brazil was attacked for breaking ranks and so on. The Brazilian foreign minister was sufficiently annoyed so that he released a letter from Obama to Brazil proposing exactly that agreement, presumably on the assumption that Iran wouldn’t accept it. When they did accept it, they had to be attacked for daring to accept it.

And 2012, 2012, you know, there was to be a meeting in Finland, December, to take steps towards establishing a nuclear weapons-free zone in the region. This is an old request, pushed initially by Egypt and the other Arab states back in the early '90s. There's so much support for it that the U.S. formally agrees, but not in fact, and has repeatedly tried to undermine it. This is under the U.N. auspices, and the meeting was supposed to take place in December. Israel announced that they would not attend. The question on everyone’s mind is: How will Iran react? They said that they would attend unconditionally. A couple of days later, Obama canceled the meeting, claiming the situation is not right for it and so on. But that would be—even steps in that direction would be an important move towards eliminating whatever issue there might be. Of course, the stumbling block is that there is one major nuclear state: Israel. And if there’s a Middle East nuclear weapons-free zone, there would be inspections, and neither Israel nor the United States will tolerate that.

AMY GOODMAN: I want to ask you about major revelations that have been described as the biggest leak since Edward Snowden. Last week, Al Jazeera started publishing a series of spy cables from the world’s top intelligence agencies. In one cable, the Israeli spy agency Mossad contradicts Prime Minister Netanyahu’s own dire warnings about Iran’s ability to produce a nuclear bomb within a year. In a report to South African counterparts in October 2012, the Israeli Mossad concluded Iran is "not performing the activity necessary to produce weapons." The assessment was sent just weeks after Netanyahu went before the U.N. General Assembly with a far different message. Netanyahu held up a cartoonish diagram of a bomb with a fuse to illustrate what he called Iran’s alleged progress on a nuclear weapon.
PRIME MINISTER BENJAMIN NETANYAHU: This is a bomb. This is a fuse. In the case of Iran’s nuclear plans to build a bomb, this bomb has to be filled with enough enriched uranium. And Iran has to go through three stages. By next spring, at most by next summer, at current enrichment rates, they will have finished the medium enrichment and move on to the final stage. From there, it’s only a few months, possibly a few weeks, before they get enough enriched uranium for the first bomb. A red line should be drawn right here, before—before Iran completes the second stage of nuclear enrichment necessary to make a bomb.
AMY GOODMAN: That was Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu in September 2012. The Mossad assessment contradicting Netanyahu was sent just weeks after, but it was likely written earlier. It said Iran, quote, "does not appear to be ready," unquote, to enrich uranium to the highest levels needed for a nuclear weapon. A bomb would require 90 percent enrichment, but Mossad found Iran had only enriched to 20 percent. That number was later reduced under an interim nuclear deal the following year. The significance of this, Noam Chomsky, as Prime Minister Netanyahu prepares for this joint address before Congress to undermine a U.S.-Iranian nuclear deal?

NOAM CHOMSKY: Well, the striking aspect of this is the chutzpah involved. I mean, Israel has had nuclear weapons for probably 50 years or 40 years. They have, estimates are, maybe 100, 200 nuclear weapons. And they are an aggressive state. Israel has invaded Lebanon five times. It’s carrying out an illegal occupation that carries out brutal attacks like Gaza last summer. And they have nuclear weapons. But the main story is that if—incidentally, the Mossad analysis corresponds to U.S. intelligence analysis. They don’t know if Iran is developing nuclear weapons. But I think the crucial fact is that even if they were, what would it mean? It would be just as U.S. intelligence analyzes it: It would be part of a deterrent strategy. They couldn’t use a nuclear weapon. They couldn’t even threaten to use it. Israel, on the other hand, can; has, in fact, threatened the use of nuclear weapons a number of times.

AMY GOODMAN: So why is Netanyahu doing this?

NOAM CHOMSKY: Because he doesn’t want to have a deterrent in the region. That’s simple enough. If you’re an aggressive, violent state, you want to be able to use force freely. You don’t want anything that might impede it.

AMY GOODMAN: Do you think this in any way has undercut the U.S. relationship with Israel, the Netanyahu-Obama conflict that, what, Susan Rice has called destructive?

NOAM CHOMSKY: There is undoubtedly a personal relationship which is hostile, but that’s happened before. Back in around 1990 under first President Bush, James Baker went as far as—the secretary of state—telling Israel, "We’re not going to talk to you anymore. If you want to contact me, here’s my phone number." And, in fact, the U.S. imposed mild sanctions on Israel, enough to compel the prime minister to resign and be replaced by someone else. But that didn’t change the relationship, which is based on deeper issues than personal antagonisms.
tanggal Berita : Thursday 26 February 2015 - 09:45
 ww.islamtimes.org/id/doc/article/443263/ 

Israeli Security Veterans Speak Out Against Netanyahu, Calling Him a 'Danger' to Israel

Former generals urge Netanyahu to cancel his speech to Congress before damaging U.S. relations even further.
 http://www.alternet.org/world/israeli-security-veterans-speak-out-against-netanyahu-calling-him-danger-israel
In an unprecedented move, 200 veterans of the Israeli security services accused Prime Minister Benjamin Netanyahu on Sunday of being a “danger” to Israel.
The new group, called Commanders for Israel’s Security, warned that Netanyahu was doing irreparable harm to the country’s relationship with Washington, just two days before he is due to address the US Congress.
The Israeli prime minister is expected to use the speech to try to undermine negotiations currently taking place between major world powers and Iran. He has claimed that any agreement reached at the talks’ conclusion, later this month, will leave Iran a “nuclear threshold state” hellbent on destroying Israel.
Half a dozen former generals spoke out at a press conference in Tel Aviv on Sunday, urging Netanyahu to cancel the speech before ties with the US deteriorate even further.
The White House is reported to be furious that Netanyahu arranged his appearance before Congress behind President Barack Obama’s back.
With an Israeli election less than three weeks away, Netanyahu has already faced attacks from centrist political rivals and parts of the Israeli media over his clashes with the White House on Iran.
But it is the first time he has faced a large-scale backlash from members of Israel’s security establishment – and the statement of the 200 is likely to be more damaging to Netanyahu’s popular image as a strong leader on security matters.
The group comprises retired officers and those serving in the reserves, all of whom held a rank equivalent to general. Many are household names.
Yaron Ezrahi, a politics professor at Hebrew University and expert on Israeli-US relations, said there was no precedent for what he termed a “rebellion” by so many former senior officials.
“This is a very powerful and distinguished group of former commanders, who are extremely worried about where Netanyahu is taking Israel right now,” he said.
“It is clear they are speaking not only for themselves but also on behalf of many active commanders who are not allowed to speak their mind but share this group’s views.”

6,000 years of experience

General Amnon Reshef, widely regarded in Israel as a hero for his role in the 1973 war against Egypt and Syria, said the group’s membership had grown rapidly since he established it three months ago.
“We are experts with more than 6,000 years of security experience between us,” he told Middle East Eye. “It is time the prime minister listened to us before he wrecks our strategic interests with our closest ally.
“Nothing good for Israel can come from humiliating the US president.”
Among the generals denouncing Netanyahu on Sunday was Amiram Levin, a former head of the elite Sayeret Matkal commando unit, in which Netanyahu himself served.
Reshef’s attack echoed that of Meir Dagan, a former head of Israel’s spy agency Mossad, who has called separately for Israeli voters to remove Netanyahu.
Dagan, who is due to speak at an anti-Netanyahu rally next Saturday, told the Yedioth Aharonoth daily last Friday that the Israeli prime minister was taking “intolerable risks” with Israel’s security.
“The veto umbrella provided by the Americans [at the United Nations Security Council] could vanish, and Israel would promptly find itself facing international sanctions,” he added.
Ezrahi said the spate of attacks on Netanyahu by such high-level figures could become a “turning-point” in the elections.
“The difference between a right-wing Netanyahu government and a centrist one is a handful of seats, so these criticisms have the potential to do him a lot of damage.”
Netanyahu’s stance on Iran received a further blow last week with publication of a leaked Mossad document. It showed that he had misled the United Nations in 2012 about his own intelligence services’ assessment of the threat posed by Iran’s nuclear programme.
According to the Mossad report, Tehran was not actively pursuing a military nuclear programme. In contrast, Netanyahu had warned the international community that the Iranians were only a year away from building a bomb.
Iran denies that its nuclear research is aimed at developing weapons, saying it seeks only a civilian energy programme.

Growing distrust

In a possible sign of the increasing distrust between the Israeli prime minister and his closest security officials, Netanyahu is reported to have kept his national security adviser, Yossi Cohen, in the dark about his address to Congress.
The US media reported last week that Cohen, a former senior Mossad official, had privately expressed concern to US officials about Netanyahu’s speech.
Reshef said that the group would use its high profile to wage a public relations campaign to persuade the Israeli public that Netanyahu’s approach was wrong.
“It is not going to be easy,” he said. “Israelis have been brainwashed for many years. We need to give them a different message – they need to understand the real situation and Israel’s true interests.”
A poll by the Israel Democracy Institute recently found that 58 per cent of Israeli Jews believed a Netanyahu government would be best placed to deal with Israel’s security issues.
Reshef said Commanders for Israel’s Security had wider concerns about Netanyahu’s policy in the region.
The group was set up late last year to put pressure on Netanyahu’s government to re-enter peace talks with the Palestinians based on the Arab Peace Initiative, a Saudi plan that would normalise relations between Israel and the Arab world in return for the establishment of a Palestinian state.
“We can’t keep waging a war every couple of years in Gaza or with our neighbours,” said Reshef.
Netanyahu has in the past justified his refusal to agree to a complete withdrawal from the occupied West Bank on the grounds that Iran would set up “terror bases” there as soon as the army left.
Reshef rejected this scenario. “The IDF (Israeli army) is very strong and can defend Israel’s borders. We can deal with the threats from all of Israel’s enemies.”

Hawkish views

The group includes security veterans known for their hawkish positions, including former military chief of staff Dan Halutz. He called for leftwing activists who criticised an operation he ordered in 2002 against Hamas leader Salah Shahadeh in Gaza that killed more than a dozen Palestinian civilians, most of them children, to be tried for treason.
Ezrahi told MEE there were two specific factors driving the security establishment’s campaign against Netanyahu.
The first related to the damage he was seen to be doing to the traditionally strong ties between the Israeli and US militaries.
“These commanders have spent a lot of time in the US, at the Pentagon. They have a close working relationship with the US command and rely on their support for equipment, strategy, intelligence-sharing. All of that is under threat from Netanyahu’s behaviour.”
Further, Netanyahu’s removal of a diplomatic horizon had left senior commanders feeling they were carrying an impossible burden in policing the occupied territories.
“They recognise that there is no military solution to Israel’s predicament with the Palestinians and that borders created by force are inherently fragile and insecure.”
Tamir Pardo, the current Mossad head, is reported to have privately rejected Netanyahu’s claim that dealing with Iran was Israel’s top priority. According to the Haaretz newspaper, he told a group of Israeli businesspeople last summer that the “biggest threat to Israel’s security is the conflict with the Palestinians and not Iran’s nuclear programme.”
Of particular concern among the security agencies, said Neve Gordon, a politics professor at Ben Gurion University in Beersheva, has been Netanyahu’s threats to launch an attack on Iran without support from Washington.
“The view is that an Israeli attack could only set back Iran’s nuclear programme a few months or a year, but the consequences in the region would be harsh indeed,” he said. “They don’t see any benefits from Netanyahu’s approach, but they do see a lot of dangers.”

Jittery about Pentagon ties

Almost as soon as he stepped down as head of Mossad four years ago, Dagan slammed Netanyahu’s idea of an Israeli attack on Iran, calling it the “stupidest thing I have ever heard”.
In his interview on Friday, Dagan said covert operations designed to bring about regime change were a better approach: “What we could have done was gain time with secret operations or nurture opposition forces and minorities within Iran.”
According to Israeli analyst Ben Caspit, the security establishment has become increasingly jittery about the future of its relationship with the Pentagon.
Caspit said some officials were worried that the US might consider abandoning its traditional Middle East allies, such as Israel, Saudi Arabia and Egypt, in favour of strengthening relations with Tehran. They fear that the Pentagon might conclude its support for Iran is more important in stabilising the region than backing Israel.
Citing a senior US official, Caspit dismissed the idea as a “conspiracy theory”, but observed it was one gaining traction among Israeli security service staff.
Such fears will only have been heightened by reports that the Obama administration is refusing to share information with Israel about the Iran talks after suspicions that Netanyahu has been leaking details to undermine the White House’s position.
Ezrahi said Netanyahu was currently more concerned about keeping the electoral support of his right-wing constituency than antagonising his military commanders.
Netanyahu had earlier staked much of his credibility with the Israeli public on bombing Iran but had been blocked by opposition from his commanders, as well as the US and Europe, added Ezrahi.

He now needed to create a similar kind of “drama to prove he is a tough military leader” by taking on the White House in place of Iran. Ezrahi said: “The speech is like a diplomatic missile aimed directly at the White House.”
That view was confirmed by Israeli political analyst Yossi Verter. He said Netanyahu’s election strategists had concluded that “every American slap in Netanyahu’s face only strengthens support for their party’s leader among his electoral base.” One reportedly told him: “Obama is our best campaigner.”
Uri Avnery, a veteran peace activist and former MP, wrote at the weekend that the address to Congress would be a perfect election stunt for Netanyahu. “It will show him at his best. The great statesman, addressing the most important parliament in the world, pleading for the very existence of Israel.”
If Netanyahu wins the election on 17 March, as is currently predicted, Ezrahi expected him to seek a unity government with the centrist Zionist Camp party. “He will be facing threats of economic sanctions and diplomatic isolation, and will want to present a more moderate face to the world.”



Jonathan Cook won the Martha Gellhorn Special Prize for Journalism. His latest books are “Israel and the Clash of Civilisations: Iraq, Iran and the Plan to Remake the Middle East” and “Disappearing Palestine: Israel’s Experiments in Human Despair.”

[Yahudi Asli] Negara Israel adalah Illegal karena tidak ada dalam Kitab SuciOrthodox Jews protest Israel in New York  (www.worldbulletin.net)-http://www.kaskus.co.id/thread/52bb033ca2cb17e7258b45de/yahudi-asli-negara-israel-adalah-illegal-karena-tidak-ada-dalam-kitab-suci

Hundreds of Orthodox Jews gathered outside the Israeli Mission to the United Nations in New York

World Bulletin / News Desk

Hundreds of Orthodox Jews protested Israel's Middle East and domestic policies in New York on Tuesday.

Gathering outside the Israeli Mission to the United Nations in New York, Orthodox Jews condemned the recent Israeli law amendment which forces Orthodox Jews into conscription into military service.

Shouting "We don't want to get drafted" and reading Torah chapters, demonstrators said that young Israelis who reject conscription are jailed by the government.

Explaining Orthodox Jews' refusal to be affiliated with the Israeli state, Rabbi Moishe Indig told AA, "Our faith does not allow to set up new rules every day; as Orthodox Jews, we are against the State of Israel and every war it wages."

Another demonstrator, Jacob Kellner, expressed Orthodox Jews' criticism of Israeli policies in the Middle East.

"The Israeli state and army are illegal because holy scriptures do not confer on the Jews the right to establish a state," Kellner said.

Orthodox Judaism emphasizing the following of the Torah's laws and ethics as legislated in holy scripture.

nah tuch, orang Yahudi asli saja menolak negara ilegal zionis. 


http://www.scribd.com/doc/67703761/Kilas-Sejarah-Negara-Illegal-Israel#scribd
Tulisan sangat sederhana ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran singkat tentang “Negara Illegal” bernama ISRAEL. Mungkin sebagian dari kita berpikirmengapa Israel tidak bisa “akur” dengan Hizbullah (Libanon) dan Palestina atau mengapa HAMAS (Palestina) selalu melawan dan menentang Negara Yahudi itu.  

Secara yuridis Israel sebenarnya bukanlah sebuah Negara melainkan PENJAJAH. 

Kata mereka yang paham akan ilmu ketatanegaraan, bisa dikatakan sebuah negara jika memiliki tiga unsure yaitu Rakyat, Wilayah, dan Undang-undang,sementara Israel memiliki rakyat, undang-undang tetapi tidak pernah memilikiwilayah.  

Lha kok….Semua konspirasi laknat ini berawal pada tahun 1947 (tetapi sudah puluhan tahun dirancang) saat Inggris hengkang dari Palestina sebagai negara jajahannya. Di masa transisi itu Palestina berada di bawah naungan PBB, tetapi PBB (yang memang merupakan lembaga yang dikendalikan oleh Yahudi) tidaksegera memerdekakan Palestina. Sebaliknya PBB justru mengeluarkan resolusiDK PBB No. 181 (II) tanggal 29 November 1947 membagi Palestina menjadi tiga bagian. Dan satu bagian itu diserahkan kepada komunitas Yahudi Zionis yangsekarang kita kenal dengan Israel. Maka jelaslah di sini bahwa Israel didirikan diatas tanah air bangsa Palestina.  

Sebagai pemilik yang sah bangsa Palestina menentang keras resolusi pendiriannegara Israel itu. Sehingga memunculkan perlawanan-perlawanan yangberlangsung hingga sekarang ini. Apa yang dilakukan Yahudi dalam merebutPalestina dan mendirikan Israel tidaklah terlepas dari dukungan Inggris danAmerika. Berkat dua negara besar inilah akhirnya Yahudi dapat mendudukiPalestina secara paksa walaupun proses yang harus dilalui begitu panjang dansulit. Palestina menjadi negara yang tercabik-cabik selama 30 tahun pendudukan Inggris. Sejak 1918 hingga 1948, sekitar 600.000 orang Yahudi diperbolehkanmenempati wilayah Palestina. Penjara-penjara dan kamp-kamp konsentrasiselalu dipadati penduduk Palestina akibat pemberontakan yang mereka lakukandalam melawan kekejaman Israel. 

Sejak berdiri pada tahun 1947 Israel menjadi negara yang berlumuran darahumat ISLAM yang hidup di negara-negara sekitarnya terutama Palestina.  Sehingga akhirnya bermunculan gerakan-gerakan perjuangan yang berusahauntuk membebaskan mempertahankan Palestina dari penjajahan.        

Salah satu dari pergerakan itu yang tetap konsisten tidak akan mengakui Israel sebagai sebuahnegara adalah HAMAS (Harakah al-Muqawwah al-Islamiyah) yang berdiri padabulan Januari 1988 atas prakarsa as syahid (insya Allah) Syekh Ahmad Yassin  yang syahid setelah dibom Israel seusai beliau menunaikan sholat subuh disebuah masjid. Gerakan HAMAS tidak hanya untuk membebaskan Palestina daripenjajahan tetapi juga, tetapi juga bercita-cita untuk mendirikan negara Islam Palestina, dan memelihara kesucian Masjid Al-Aqsha. Sekedar diketahui  Al Aqsho adalah tempat suci ketiga ummat Islam setelah masjid al Haram di mekah dan masjid Nabawi  di Madinah al Munawwaroh. 
Eksploitasi Mitos Holocaust yang Berlebihan
Sampai   di sini mungkin akan timbul pertanyaan mengapa negara-negara Barat yang katanya  pelopor demokrasi dan kebebasan tidak menindak Israel? 
Disinilah letak kelihaian Israel. 

Kuncinya ada pada Holocaust (menurut saya hanyaMitos) yaitu pembantian yahudi yang dilakukan oleh NAZI Jerman pimpinan HITLER. Pada saat itu komunitas yahudi menjadi korban keganasan NAZI Jerman. Hingga sekarang zionis yahudi mengeksploitasi  masalah ini secara berlebihan sehingga bangsa-bangsa Barat merasa sangat bersalah dan akhirnya meng-anak emaskan Israel. Mereka diam seribu bahasa ketika Israel melakukanpembantaian terhadap bangsa Palestina. 

Bahkan yang lebih hebat lagi dinegara-negara Eropa dan Amerika Serikat, orang bisa dipenjara tanpa melaluiproses pengadilan jika meragukan atau tidak percaya terhadap Holocaust.Sehingga seperti kejadian sekarang ini meskipun mesin-mesin meluluh lantakkan Gaza tetapi AS dan sekutunya tetap menempatkan Israel sebagai korban  roket-roket kecil HAMAS yang notabene hanya senjata produksi rumahan. Dan mereka  justru mengirimkan persenjataan canggih yang jumlahnya tidak terbatas kepadaIsrael. 

Meskipun Israel juga merupakan negara ‘pemegang rekor’ dunia sebagai negara pelanggar  konvensi Jenewa  dan pembangkang resolusi PBB terbanyak di dunia, tetapi belum pernah ada sanksi yang diberlakukan kepada Israel. AS selalu mem-veto resolusi yang merugikan Israel. 

Lain cerita   jika yang melanggar adalahnegara yang tidak sepaham dengan AS. Irak adalah contohnya, di mana AS meluluh lantakkan Irak bahkan membunuh  Saddam Hussein hanya berdasar padatuduhan PALSU.Itulah sekelumit tentang sejarah negara Israel. Tentang kejahatan-kejahatanIsrael insya Allah akan saya   bahas pada tulisan selanjutnya. (Love Jan09, dariberbagai sumber) 

Sejarah Perseteruan Israel – Palestine
 https://auliamuttaqin.wordpress.com/2009/01/15/sejarah-perseteruan-israel-palestine/

Kepahitan Sejarah Telah 35 Abad Sejarah mencatat, tak ada perseteruan dan permusuhan yang sedemikian lama ‘’seabadi” kasus Israel-Palestina, musuh bebuyutan sejak abad 14 SM sampai sekarang abad 21 M. Tak kurang dari 35 abad perseteruan itu belum juga menemukan jalan damai yang diimpikan. Bandingkan dengan perang dingin Rusia v Amerika, yang tak lebih satu abad telah berakhir dengan pecahnya Rusia pasca glasnost dan perestroika. Perang ideologi besar dunia komunis versus kapitalis juga telah berakhir dengan ambruknya masing-masing ideologi. Komunisme telah luruh menjadi neo-komunisme sejak RRC menjadi negara yang membuka modal kapitalis. Sebaliknya, kapitalis juga ambruk seiring runtuhnya ekonomi dunia yang episentrumnya ada di Amerika. Dan kini sedang berproses mencari model baru kapitalisme (neo-kapitalisme). 

Ringkasan Sejarah dan Ibrah Bani Israil adalah golongan keturunan Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim as, juga dikenal dengan nama Yahudi. Sejarah Bani Israil bermula ketika Nabi Ibrahim mengembara bersama pengikutnya menyeberangi Sungai Eufrat menuju Kan’an (kini Palestina). Ibrahim mempunyai dua orang istri. Dari istri mudanya, Siti Hajar, dia dikaruniai seorang anak bernama Ismail. Dari istri tuanya, Siti Sarah, dia dikaruniai seorang anak bernama Ishaq. Sewaktu wafat, Ibrahim meninggalkan putranya yang kedua, Ishaq, di Kan’an dan putanya yang pertama, Ismail, di Hedzjaz (kini menjadi wilayah barat kerajaan Arab Saudi, yaitu Makkah, Madinah, Taif, dan Jeddah). Konon, pengasingan dua anak yang berjauhan itu akibat perseteruan dua istri Ibrahim -Sarah dan Hajar- yang tidak akur. Dari sinikah awal perseteruan Israel-Palestina tersebut dimulai? Wallahu a’lam, karena ada yang bergumam, seandainya Ibrahim tidak beristri dua, niscaya dunia tidak seperti ini. Ismail akhirnya menjadi bapak bagi sejumlah besar suku bangsa Arab, garis keturunannya hingga nabi terakhir Muhammad saw. Ishaq mempunyai dua anak, yakni Isu dan Ya’qub, yang disebut terakhir dikenal juga sebagai Israel dan darinyalah berasal keturunan Bani Israil. Ya’qub mempunyai dua istri. Dari keduanya, dia dikaruniai 12 orang anak. Yakni, Raubin, Syam’un, Lawi, Yahuza (asal kata “Yahudi”), Yassakir, Zabulun, Yusuf as, Benyamin, Fad, Asyir, Dan, dan Naftah. Dari 12 putranya itulah kemudian keturunannya berkembang. 


Dalam waktu yang tidak terlalu lama, orang-orang Israel sudah menjadi satu suku besar dan berpengaruh, mengembara ke berbagai daerah. Akhirnya, melalui pantai timur Laut Tengah, mereka sampai ke Mesir (ketika keluarga Ya’qub menemui Yusuf as yang telah menjadi orang kepercayaan Firaun di Mesir). Di balik kisah keluarga Ya’qub, kebiadaban dan kelicikan anak-anak Ya’qub (baca: Bani Israil) sudah terbaca saat mereka tega memasukkan Yusuf as ke sumur tua karena iri hati lantaran Yusuf lebih disayangi ayahnya. Liciknya, mereka tega menyusun skenario alibi bahwa Yusuf dimakan serigala (dikisahkan dalam QS Yusuf). Selama 100 tahun di Mesir, Bani Israil hidup dalam suasana aman dan makmur, tetapi berikutnya adalah masa-masa pahit karena penderitaan kerja paksa di Piton. Kemudian, Nabi Musa (cucu Ya’qub keturunan dari Lawi) membawa kaumnya kembali ke Palestina. Usaha Nabi Musa as untuk membawa Bani Israil masuk Palestina tidak berhasil karena umatnya membangkang hingga nabi wafat. Akhirnya diteruskan oleh sahabatnya Yusa bin Nun. Dia membawa mereka memasuki Palestina melalui Sungai Yordan memasuki Kota Ariha dengan membunuh seluruh penduduknya. Dengan peristiwa itu, mulailah zaman pemerintahan Bani Israil atas tanah Palestina dan mereka berhasil membentuk suatu umat dari berbagai suku bangsa. Kehidupan Bani Israil di Palestina itu dapat dibagi dalam tiga zaman. 

Pertama, zaman pemerintahan hakim-hakim (lebih kurang empat abad). Pada zaman tersebut, mereka mulai berubah dari cara hidup musafir kepada cara hidup menetap. 

Kedua, zaman pemerintahan raja-raja (sekitar 1028-933 SM). Pada masa itulah, tepatnya pada masa pemerintahan Nabi Daud as, Bani Israil memasuki masa jaya di Palestina. 

Ketiga, zaman perpecahan dan hilangnya kekuasaan Bani Israil. Setelah meninggalnya Nabi Sulaiman as kira-kira 935 SM, dia digantikan putranya, Rahub’am, tetapi keluarga Israil yang lain mengangkat saudara Rahub’am, yaitu Yarub’am. Dari sini mulailah Bani Israil memasuki masa perpecahan. Sementara itu, Kerajaan Mesir di selatan kembali jaya, demikian pula Suriah di utara. Keadaan tersebut menyebabkan wilayah Israil di Palestina bagai wilayah kecil yang terjepit celah-celah dua rahang mulut musuh yang menganga. 

Menjelang tahun 721 SM, kerajaan Israil lenyap dihancurkan oleh tentara Asyur (kini Iraq). Dengan demikian, Bani Israil hanya sempat hidup menetap selama periode 1473-586 SM. Setelah itu, mereka berpencar kembali ke berbagai negara, seperti Mesir dan Iraq. Kehancuran Israel lebih tragis lagi saat pasukan Romawi menaklukkan Palestina dan menduduki Baitulmaqdis. 

Panglima Titus Flavius Vespasianus sempat memusnahkan Jerusalem karena terjadi pemberontakan Yahudi di situ. Akhirnya, Bani Israil berhasil menyelamatkan diri lari ke berbagai negara, seperti Mesir, Afrika Utara, dan Eropa. Dengan ini, mulailah babak baru pengembaraan Bani Israil ke seluruh penjuru dunia. Yahudi Tak Bisa Hidup Berdamai Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dia telah menemukan orang-orang Israil sebagai suatu komunitas penting di sana. Maka, sebagai penghargaan terhadap mereka, Nabi Muhammad SAW menyusun Piagam Madinah yang mengatur hidup berdampingan secara damai antara umat Islam dan umat lain, termasuk umat Yahudi. Namun, kemudian umat Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, sehingga Alquran mengutuk mereka secara terus-menerus sebagai orang yang mengkhianati janji dan mereka diusir dari Madinah. 

Diakui Bani Israel memang diberi kelebihan Tuhan berupa otak yang cerdas, tetapi angkuh, sombong, dan rasis. Justru karena keangkuhan dan arogansinya itulah, mereka (Bani Israel) dikenal sebagai umat ngeyel, pembangkang (QS Al Baqarah). Meski kepadanya Tuhan mengutus beberapa nabi berturutan (Ya’qub, Yusuf, Musa, Harun, Zulkifli, Daud, Sulaiman, Zakariya, Yahya, dll) alih-alih mereka mentaati nabinya, bahkan ada yang membunuhnya. Kebiadaban yang sulit diceritakan dengan kata-kata. Sejak awal pengembaraan ini sampai abad ke-19 (kira-kira 25 abad), orang Yahudi tidak banyak diperbincangkan. Hanya tercatat bahwa mereka terbuang dari satu daerah ke daerah lain atau terusir dari satu negara ke negara lain, sebaliknya umat Islam mengulurkan tangan kepada mereka. Pada akhir abad ke-19 dan seterusnya, keadaan berbalik. Perang Dunia I dan Perang Dunia II mengubah nasib bangsa ini. Cita-cita zionisme ditunjang dengan semangat yang tinggi oleh seluruh peserta perang, kecuali Nazi Jerman. Dengan cara khusus, berangsur-angsur umat Yahudi bergelombang memasuki daerah Palestina. Komisi persetujuan Amerika-Inggris memberi rekomendasi terhadap satu rombongan besar kaum ini untuk memasuki Palestina. Sampai pertengahan abad ke-20, dalam tempo 30 tahun, mereka yang memasuki Palestina mencapai angka 1.400.000 jiwa, hampir sama dengan jumlah penduduk asli Palestina. Pada 1947, pemenang Perang Dunia II menghadiahkan satu negara Israel untuk orang Yahudi di Palestina. Negara ini sampai sekarang merupakan duri dalam daging bagi dunia Arab. Akibatnya, negara-negara Arab di satu pihak dan Israel di pihak lain merupakan dua kubu yang saling berhadapan. Peperangan antara dua kubu itu tidak putus-putusnya hingga kini, terhangat, ditandai dengan serbuan ke jalur Gaza yang membunuh ratusan korban tak berdosa. Berkedok Historical Right Gelombang imigrasi besar-besaran kaum Yahudi ke Palestina itu didorong oleh semangat zionisme pimpinan Theodor Herzl (1860-1904), mereka adalah orang-orang yang memiliki keyakinan agama yang sangat lemah, jika tidak ada sama sekali. Mereka melihat “keyahudian” sebagai sebuah nama ras, bukan masyarakat beriman. Mereka mengusulkan agar orang-orang Yahudi menjadi ras terpisah dari bangsa Eropa, yang mustahil bagi mereka untuk hidup bersama dan penting artinya bagi mereka untuk membangun tanah air sendiri. Mereka tidak mengandalkan pemikiran keagamaan ketika memutuskan tanah air manakah seharusnya itu. Herzl, sang pendiri zionisme, suatu kali memikirkan Uganda, lalu dikenal sebagai “Uganda Plan”. Sang Zionis kemudian memutuskan Palestina karena mereka merasa mempunyai hak sejarah (historical right) atas bumi Palestina. 

Tegasnya, Palestina dianggap sebagai “tanah air bersejarah bagi orang-orang Yahudi”. Sang zionis melakukan upaya-upaya besar untuk mengajak orang-orang Yahudi lainnya menerima gagasan yang tak sesuai agama ini dan mulai berpendapat bahwa Yahudi tidak dapat hidup dengan damai dengan bangsa-bangsa lainnya, bahwa mereka adalah “ras” yang tinggi dan terpisah. Karena itu, mereka harus bergerak dan menduduki Palestina. Logika zionisme yang nasionalis, rasis, dan kolonialis inilah yang menginspirasi semua penjajahan dan semua peperangan. Tidak ada masa depan atau keamanan bagi Israel dan Timur Tengah, kecuali jika Israel meninggalkan paham zionismenya dan kembali ke agama Ibrahim. Warisan bersama tiga agama wahyu yang pro kasih sayang dan persaudaraan: Yudaisme, Nasrani dan Islam. 

Dipilihnya Palestina sebagai negara zionis karena “historical right” adalah alasan yang dicari-cari dan dipaksakan. 

Bukankah sejak abad ke-5 SM yahudi di Palestina tinggal sedikit yang tersisa, karena menyebar, berlarian mengembara ke seluruh penjuru dunia? 
Pantaskah bangsa yang sudah meninggalkan tanah kelahirannya 25 abad, lalu memaksakan diri kembali ke tanah asal dengan klaim mempunyai hak sejarah? 

Lebih naif lagi jika semangat “mudik” itu harus diikuti dengan peperangan dan membunuh penduduk asli Palestina yang sudah menempatinya ribuan tahun dan puluhan generasi. Melihat arogansi zionisme yang rasis, kolonialis, serta tidak bermotif iman dan damai, mestinya Israel bukanlah sekadar musuh Palestina, bukan pula musuh negara-negara Arab, atau bukan pula musuh Islam, tetapi musuh bersama dunia semua agama yang cinta damai. Sebab, jika zionisme sekuler yang menjadi mind-set nya, tidak akan pernah bisa hidup secara damai dengan siapa pun, di mana pun, dengan agama apa pun.


Israel dan Rezim Saudi Arabia –Dinasti Rothschild di Timur Tengah dan Asia
http://suarakatak.blogspot.com/2014/12/israel-dan-rezim-saudi-arabia-dinasti.html


Bantuan yang diterima oleh Rusia dari Barat juga langsung masuk ke dalam kantong kelompok perbankan Yahudi. Ini terungkap ketika Washington Times melaporkan bahwa Presiden Rusia, Boris Yeltsin, yang marah karena sebagian besar pemasukan bantuan luar negeri disedot. Pada 16 September, Poundsterling Inggris ambruk ketika para spekulan mata uang yang dipimpin oleh utusan Rothschild, seorang Yahudi Ashkenazi bernama George Soros meminjam Poundsterling dan menjualnya untuk Mark Jerman dengan harapan bisa membayar kembali hutang dalam mata uang yang merosot nilainya dan mengantongi selisihnya.

Akibatnya, Konselor Bendahara Inggris, Norman Lamont (sebelum menjadi anggota parlemen, dia adalah seorang bankir modal bersama N.M Rothschild and Sons), mengumumkan kenaikan suku bunga bank sebanyak 5 % dalam satu hari. Inggris pun terjerumus ke dalam resesi yang berlangsung bertahun-bertahun ketika banyak bisnis jatuh dan pasar perumahan hancur.

1997: Edgar Bronfman, Ketua Konggres Yahudi Dunia, benar-benar memeras 1,5 Miliar Dollar dari Swiss untuk korban-korban holocoust yang dia klaim sudah mendepositokan uang mereka di sana. Dia tidak punya bukti yang cukup, tapi Pemerintah Swiss menyerah karena Bronfman adalah salah satu pendukung finansial Presiden Clinton dan Swiss takut akan konsekwensi-konsekwensi diplomatis kalau mereka tidak melakukannya.

Menariknya, pada tahun tersebut sebuah pengadilan dengan 17 anggota yang berbasis di Zurich mengatur untuk menyelidiki identitas-identitas 5.500 rekening asing dan 10.000 rekening Swiss yang telah tidur sejak akhir Perang Dunia II, lalu menemukan bahwa hanya 200 rekening berisi total sekitar 10 juta dolar, kurang dari 1 % nya 1,5 Miliar Dollar yang diperas oleh Bronfman, bisa dilacak kembali kepada korban-korban holocoust itu.

Apakah Bronfman mengembalikan sisa 99 % dari 1,5 Miliar Dollar itu kepada Swiss? Tentu saja tidak, dan kebetulan, sekitar 6 tahun kemudian, dia hampir tidak memberikan apa-apa kepada para korban holocoust. Orang-orang Yahudi dituduh menyalahgunakan uang yang mereka dapatkan dengan meniup atas nama "keadilan untuk korban" holocoust yang belum tentu benar memang korban.

Pada tanggal 2 Mei 1997, Pemimpin Partai Buruh Inggris, Tony Blair, terpilih sebagai Perdana Menteri. Sedangkan pada 6 Mei di tahun yang sama atau 4 hari sesudahnya, Konselor Bendaharanya, Gordon Brown, mengumumkan bahwa dia akan memberikan kemerdekaan penuh kepada Bank of England dari kendali politik.

1998: Pada tanggal 18 Januari, Michael Specter menerbitkan sebuah cerita di New York Times yang berjudul "Trafficker's New Cargo: Naive Slavic Women (Muatan Baru Para Pedagang Illegal: Wanita-Wanita Slavia yang Naif)". Kisah ini mengungkap cara mafia Yahudi Rusia mendominasi perdagangan budak wanita kulit putih dalam pelacuran. Banyak di antara wanita polos yang mereka tipu itu berakhir di Israel.

2000: Seorang kepala Oligarki Yahudi Rusia, Boris Berezovsky, melarikan diri ke London agar tidak ditangkap di Rusia dan mengalihkan urusan bisnisnya kepada pelindungnya, seorang Yahudi Rusia lainnya, Roman Abramovich, yang kemudian membeli Chelsea Football Club.

Pada 1 Oktober, Rome Observer menampilkan sebuah cerita tentang bagaimana polisi Italia memutus jaringan pedofilia yang telah menculik anak-anak non-Yahudi berusia antara 2 dan 5 tahun dari panti asuhan, lalu memperkosa dan membunuh mereka. Jaringan pedofil (terdiri dari 11 anggota geng Yahudi) ini telah memfilmkan pemerkosaan dan pembunuhan tersebut demi keuntungan industri film porno sadis dan sudah menjual salinannya, lebih dari 1.700 pelanggan telah membayar sebanyak 20.000 Dollar untuk melihat anak-anak berusia 2 sampai 5 tahun ini diperkosa secara brutal dan dibunuh.

2001: Seorang kepala Oligarki Yahudi Rusia, Vladimir Gusinsky, melarikan diri ke Rusia. Di sana dia menghadapi tuntutan pencucian uang, lalu bersembunyi di Israel. Dia berkewarganegaraan ganda Rusia dan Israel.

2003: Seorang kepala Oligarki Rusia, Mikhail Khodorkovsky, ditahan di penjara Rusia dengan tuduhan penipuan, penggelepan dan mangkir pajak.

2005: Pada tanggal 30 September, surat kabar Denmark, Jyllands-Posten, menerbitkan 20 ilustrasi kartun. Sebagian besar di antaranya menggambarkan Nabi Muhammad. Kartun-kartun ini lalu dicetak ulang di lebih 50 negara yang mengakibatkan protes skala besar dari komunitas muslim sedunia.

Alasan tepat dari percetakan kartun ini adalah untuk menyulut ketegangan antara dunia Barat dan komunitas muslim. Menariknya, editor budaya Jyllands-Posten yang bertanggung jawab atas terbitan asli kartun-kartun ini adalah Flemming Rose, seorang Yahudi.

Pada 5 Desember, setelah tuduhan dari para perevisi holocoust bahwa pemimpin-pemimpin Perang Dunia II tidak pernah menyebutkan holocoust orang-orang Yahudi di kamar-kamar gas. Richard Lynn, Profesor Emeritus di University of Ulster, melaporkan penelitiannya tentang masalah ini:

"Saya telah memeriksa tulisan dan pidato Perang Dunia II Churchill dan pernyataannya sangat tepat, tidak sekali pun dia menyebut "kamar gas Nazi", genosida orang Yahudi", atau "enam juta" korban Yahudi dalam perang".

Pada 6 Desember, David Cameron terpilih sebagai Pemimpin Partai Konservatif Inggris. Cameron adalah kesukaan lama Keluarga Rothschild. Cameron telah menjadi penasehat khusus Norman Lamont ketika dia menumbangkan ekonomi Inggris untuk Keluarga Rothschild pada tahun 1993. Cameron juga punya hubungan dengan keluarga kerajaan Inggris.

Menariknya, organisasi "Conservative Friends of Israel (Teman-Teman Konservatif bagi Israel)" berkoar dengan bangga di situs mereka bahwa lebih dari dua pertiga anggota konservatif Inggris di parlemen adalah anggota organisasi mereka. Hal ini sungguh menjadi luar biasa, karena angka pemerintah resmi mengungkapkan bahwa orang-orang Yahudi hanya mewakili kurang dari setengah persen penduduk Inggris.


2006: Sejarawan Inggris, David Irving, dihukum 3 tahun penjara di Austria karena menyangkal holocoust orang-orang Yahudi pada Perang Dunia II. Penting untuk dicatat bahwa satu-satunya peristiwa sejarah yang bisa membuat anda ditangkap karena mempertanyakannya adalah holocoust ini

Dinasti Rothschild di Asia


1830: David Sassoon (seorang Yahudi dan bankir Yahudi untuk David Sassoon and Co., dengan cabang-cabang di Cina, Jepang dan Hongkong) menggunakan monopoli perdagangan opium di daerah ini atas nama Rothschild, untuk mengendalikan Pemerintah Inggris untuk memperjualbelikan 18.956 peti opium. Ini menghasilkan jutaan Dollar bagi Keluarga Rothschild dan keluarga kerajaan Inggris.

1836: David Sassoon meningkatkan perdagangannya di Cina sampai lebih dari 30.000 peti opium pertahun, dan kecanduan obat-obatan di kota-kota pesisir menjadi endemis.

1839: Cina mengalami kecanduan opium yang merajalela yang mengisi kocek David Sassoon, keluarga kerajaan Inggris dan Keluarga Rothschild. Akibatnya, Kaisar Manchu memerintahkan perdagangan opium dihentikan. Dia memilih Komisioner Kanton, Lin Tse Hu, sebagai pemimpin kampanye melawan opium. Lin Tse Hu mengatur penyitaan 2.000 peti opium Sassoon dan membuangnya ke sungai. David Sassoon memberi tahu Keluarga Rothschild yang menuntut angkatan bersenjata Inggris untuk membalas demi melindungi bisnis perdagangan narkoba mereka.

Angkatan bersenjata Inggris menyerang kota dan memblokade pelabuhan. Tentara Cina sudah berkurang hingga tinggal sepersepuluhnya saja akibat kecanduan opium, dan terbukti bukan tandingan tentara Inggris. Perang berakhir pada tahun 1942 dengan penandatanganan Pakta Nanking, yang isinya:

Pengesahan penuh perdagangan opium di Cina. Kompensasi bagi David Sassoon 2 juta Poundsterling untuk opium yang dibuang ke dalam sungai oleh Lin Tse Hu. Kedaulatan Teritorial untuk Raja Inggris atas beberapa pulau lepas pantai yang dipilih. Ketentuan-ketentuan berikut dirancang untuk menjamin Keluarga Rothschild, lewat boneka mereka, David Sassoon, hak untuk menyediakan opium bagi segenap penduduk Cina.

1945: Pada tanggal 16 Juli, dilakukan uji coba atom pertama yang berhasil di Situs Trinity, 200 mil ke Selatan Los Alamos. Penciptanya, J. Robert Oppenheimer, seorang Rothschild, yang menyatakan:

"Saya menjadi kematian, penghancur dunia".

Dan pada bulan itu juga, ledakan berikutnya di Jepang mengakibatkan matinya 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 orang di Nagasaki.

1949: Pada 1 Oktober, Mao Tse Tung menyatakan didirikannya Republik Rakyat Cina (RRC) di lapangan Tiananmen, Beijing. Dia didanai oleh Komunisme yang diciptakan oleh Rothschild di Rusia dan ditangani oleh utusan-utusan Rothschild., yaitu:

Salomon Adler, mantan pejabat Bendahara Amerika Serikat yang juga mata-mata Soviet; Israel Epstein, putera seorang Bolsheviks Yahudi yang dipenjara oleh Tsar Rusia karena berusaha menyulut revolusi di sana; Frank Coe, pejabat terdepan IMF yang dimiliki oleh Rothschild

1984: Mossad terjerumus masalah. Mereka melatih angkatan bersenjata khusus Sri Langka dan pemberontak Macan Tamil dari Sri Langka di sekolah pelatihan Mossad yang sama, Kfar Sirkin, Israel. Ini terjadi setelah menjual kursus latihan militer kepada kedua belah pihak, sebagai langkah maju dari Keluarga Rothschild yang mendanai kedua pihak dalam perang. Dan ketika kedua faksi pergi untuk kembali ke Sri Langka, tidak ada yang tahu bahwa musuh mereka dilatih di perkemahan yang sama oleh organisasi yang sama.

1988: Pada tanggal 17 Agustus, Presiden Pakistan, Jenderal Zia ul Haq, dibunuh dalam sebuah kecelakaan udara. Duta Besar Amerika Serikat untuk India pada saat itu, John Dean, melaporkan kepada para atasannya bahwa dia punya bukti kalau Mossad berada di balik pembunuhan ini untuk mencegah Pakistan mengembangkan bom nuklir. Dean kemudian dituduh mempunyai ketidakseimbangan mental dan dibebaskan dari tugasnya di Departemen Hubungan Luar Negeri. Bagaimanapun, dia menolak untuk melepaskan pandangan ini dan membeberkannya kepada publik pada tahun 2005 ketika dia berusia 80 tahun.

Bolshevisme adalah pelepasan kepemilikan negara Kristen dunia sampai tingkat tidak ada modal tersisa di tangan orang Kristen. Dengan demikian, semua orang Yahudi bisa bersama-sama memimpin dunia dan menguasai tempat manapun yang mereka pilih" (George Pitter-Wilson)


Dinasti Rothschild di Afrika


1899: Berdasarkan temuan jumlah kekayaan yang semakin bertambah besar dalam bentuk emas dan berlian di Afrika Selatan, Keluarga Rothschild, melalui utusan-utusan mereka yang bernama Lord Alfred Milner dan Cecil Rhodes, mengirim 400.000 serdadu Inggris ke sana untuk berperang melawan "musuh" yang terdiri dari 30.000 petani Boer bersenapan yang lebih memilih tidak meninggalkan tanah mereka.

Selama perang inilah perkemahan terpusat diciptakan, ketika Inggris mengumpulkan siapa pun yang bersimpati kepada para Boer, termasuk wanita dan anak-anak, lalu menempatkan mereka di perkemahan-perkemahan tidak sehat dan dijangkiti demam. Tentara Inggris Rothschild lalu menang perang, dan kekayaan besar emas dan berlian mengalir ke kocek Keluarga Rothschild.

1972: World Health Organization (WHO, organisasi kesehatan dunia) melakukan program vaksinasi cacar besar-besaran untuk jutaan orang Afrika. Vaksin cacar ini ditempeli virus HIV/AIDS sehingga program pengurangan penduduk yang didukung oleh Rothschild bisa dimulai di kalangan penduduk berkulit hitam miskin yang tumbuh dengan kecepatan tinggi.

1994: Nelson Mandela terpilih menjadi menjadi Presiden Afrika Selatan yang digembar-gemborkan oleh penjilat media di seluruh dunia. Ketika media milik Yahudi memuji hari bersejarah tersebuat bahwa seorang pria berkulit hitam terpilih untuk memimpin Afrika Selatan.

Sebelumnya, Nelson Mandela menjalani 26 tahun di penjara akibat, di antara banyak hal lainnya, 193 tuduhan terorisme yang dilakukan sejak 1961 hingga 1963. Dia menyatakan di pengadilannya pada 1964:

"Saya tidak menyangkal bahwa saya melaksanakan sabotase itu".

Apa yang lalai media Yahudi sebutkan adalah bahwa Mandela yang kebetulan sebelum dikurung menulis pamflet "Cara Menjadi Komunis yang Baik", sekedar ditempatkan di penjara agar tidak ada gangguan bagi Afrika Selatan yang dijalankan oleh Keluarga Oppenheimer Rothschild dan khususnya bisnis-bisnis tambang emas dan berlian mereka.

Memang, Kepala Keluarga Oppenheimer sekarang, Harry Oppenheimer, memiliki 95 % tambang berlian dunia. Tidak mengejutkan bahwa media Yahudi lalai memberi tahu pembaca kenapa orang-orang kulit hitam di Afrika Selatan memang mendapatkan Afrika untuk rakyat Afrika, itu karena semua tambang emas dan berlian (kekayaan Afrika Selatan) masih dikendalikan oleh orang-orang Yahudi.

Maka tidak mengejutkan bahwa African National Conggress (ANC) di Afrika Selatan dibimbing oleh 2 orang Yahudi Komunis, yaitu Albie Sachs dan Yossel Mashel Slovo (Joe Slovo). Bahkan, ketika ANC Nelson Mandela mengambil alih Afrika Selatan, Slovo diangkat menjadi Menteri Perencanaan.

Akibatnya, negara itu menderita penurunan standard yang dramatis bagi penduduk kulit hitamnya, dan dengan cepat menurun ke status negara yang paling penuh kekerasan dan kejahatan. Infeksi AIDS melonjak sampai setidaknya 25 % penduduk kulit hitam. Penerus Mandela, Govan Mbela, setelah menjadi penerus Mandela sebagai Presiden, menyatakan bahwa kemiskinanlah, bukan HIV, penyebab AIDS.

2000: Di Tanzania, dengan sekitar 1,3 juta orang sekarat akibat AIDS. Bank Dunia dan IMF yang bertanggung jawab atas ekonomi Tanzania sejak 1985, memutuskan Tanzania mengubah periksa gratis di rumah sakit. Mereka juga memerintahkan Tanzania untuk mengubah biaya sekolah dari sistem pendidikan yang sebelumnya gratis, lalu mengungkapkan keterkejutan ketika pendaftaran sekolah jatuh dari 80 % menjadi 66 %. Produk Domestik Bruto (PDB) Tanzania jatuh dari 309 Dollar menjadi 210 Dollar perkapita, standard melek huruf jatuh dan rasio kemiskinan melarat telah meningkat, meliputi 50 % penduduk.

2004: Para pemimpin Islam di Nigeria Utara, mengklaim kampanye imunisasi United Nations Children's Fund (UNICEF, Dana Anak-Anak PBB) merupakan bagian dari plot Amerika Serikat untuk mengurangi penduduk daerah itu dengan menyebarkan AIDS dan alat-alat sterilisasi. Orang-orang Afrika berkaca uji-uji coba laboratorium mereka sendiri menunjukkan vaksin itu terkontaminasi. Untuk membuktikan vaksin itu aman, Pemerintah Amerika Serikat mengirim satu tim ilmuwan, pemimpin agama, dan lain-lainnya ke sana untuk menyaksikan uji-uji coba vaksin itu di laboratorium-laboratorium asing. Bagaimanapun, begitu uji-uji coba itu selesai, mereka menolak untuk merilis hasilnya.

Dinasti Rothschild di Timur Tengah


1875: Keluarga Rothschild mengendalikan Terusan Suez untuk melindungi kepentingan bisnis besar mereka di daerah itu. Maka Lionel de Rothschild (Anak Pertama Nathan Mayer Rothschild) memerintahkan Perdana Menteri Yahudi, Benjamin Disraeli, untuk membeli saham di Terusan Suez dari Khedive Said di Mesir. Keluarga Rothschild meminjamkan uang kepada Pemerintah Inggris untuk memudahkan pembelian ini. Karena mereka membutuhkan pemerintahan yang mereka kendalikan sehingga mereka bisa menggunakan kekuatan militer pemerintah tersebut untuk melindunginya.

1924: Edmond de Rothschild (Anak Jacob (James) Mayer Rothschild) mendirikan Palestine Jewish Colonization Association (PJCA) yang memperoleh tanah seluas lebih dari 500 Km2. Lalu dia mendirikan berbagai usaha bisnis di sana, termasuk mendirikan industri anggur Israel.

Pada 1 Juli, ketika Edmond de Rothschild meninggalkan rumah sakit Zedek Shaarei di Yerussalem, Dr. Yaakov Yisrael Dehan dibunuh oleh seorang Zionis bernama Avraham Tahomi. Ini adalah hasil dari pertemuan organisasinya antara delegasi para pemimpin ortodoks dan sekelompok pemimpin Arab yang dikepalai oleh Raja Abdullah. Dr. Dehan adalah pejuang perdamaian bersama para penghuni Arab veteran di tanah suci, kebalikan langsung dari apa yang diinginkan oleh para zionis.

1925: Ensiklopedia Yahudi tahun itu membuat pernyataan tentang keberadaan orang-orang Yahudi Ashkenazi (yang mewakili sekitar 90 % umat Yahudi) dengan pengakuan mengejutkan bahwa musuh orang Yahudi, yaitu Esau (juga dikenal sebagai Edom), sesungguhnya merupakan sebagian besar ras Yahudi.

1946: Pada 12 Februari, David Ben-Gurion, orang yang akan menjadi Perdana Menteri Israel, seorang yahudi Ashkenazi, memerintahkan Menachem Begin, yang juga akan menjadi Perdana Menteri Israel, juga seorang Yahudi Ashkenazi, untuk melaksanakan sebuah serangan teoris terhadap Hotel King David di Palestina. Serangan itu bertujuan untuk berusaha dan mendesak Inggris keluar. Akibat kejadian ini, 91 orang terbunuh, kebanyakan mereka adalah rakyat sipil: 41 orang Arab, 28 orang Inggris, 17 orang Yahudi dan 5 orang lainnya. Sekitar 45 orang terluka.

Ketika ditanya oleh seorang jurnalis ternama Russell Warren Howe, tentang apakah dia menganggap dirinya Bapak Terorisme di Timur Tengah. Menachem Begin dengan bangga menjawab:

"Tidak, di seluruh dunia".

1947: Inggris menyerahkan kendali atas Palestina kepada PBB. PBB memutuskan Palestina dibagi menjadi 2 negara. Satu Yahudi dan satu Arab, dengan Yerussalem tetap menjadi Zona Internasional yang dinikmati oleh semua keyakinan agama.

Padahal PBB tidak punya hak untuk memberikan properti Arab kepada siapapun. Orang Yahudi hanya memiliki 6 % dari total orang Palestina pada saat itu, tapi Resolusi PBB 181 menghibahkan 57 % tanah Palestina kepada Yahudi. Dengan demikian, orang Arab Palestina, yang pada saat itu sejumlah 94 %, hanya disisakan 43 %.

Serangan-serangan teror terhadap Inggris di Palestina berlanjut, selama musim panas, 3 teroris Yahudi (Jacob Weiss, Meir Nakar dan Aushalom Habib) ditemukan bersalah atas serangan terhadap penjara Acre pada 4 Mei 1947. Mereka akan dihukum gantung.

Pada waktu yang sama, geng teroris Irgun yang dikepalai oleh Menachen Begin, menahan 2 sersan Inggris, yaitu Mervyn Paice dan Clifford Martin, sebagai tawanan untuk 3 teroris Yahudi di atas.

Eksekusi para teroris dilakukan, dan para sersan Inggris ditemukan dieksekusi juga, digantung dari 2 pohon eukaliptus. Tidak puas dengan membunuh para prajurit Inggris ini, orang-orang Yahudi meranjau mayat mereka.

Menariknya, sebuah surat kabar Inggris, Daily Express, pada awalnya memasang di berita utama sebuah foto besar kedua prajurit ini digantung di pohon, tapi halaman depan ini sudah dihapus dari arsip Daily Express. Pemilik Daily Express adalah Richard Desmond, seorang pornografi Yahudi.

1948: Pada dini hari tanggal 19 April, 132 teroris Yahudi dari geng Irgun yang dipimpin oleh Menachem Bagin, dan geng Stren yang dipimpin oleh Yitzhak Shamir memimpin pembantaian 200 pria, wanita dan anak-anak saat mereka sedang tidur dengan damai di sebuah desa Arab bernama Deir Yassin.

Sesudah PBB mengubah Palestina menjadi sebuah negara Yahudi merdeka dan sebuah negara Arab merdeka pada 15 Mei 1948, orang-orang Israel meluncurkan serangan militer lainnya kepada orang-orang Arab (Palestina) dengan alat-alat pengeras suara di atas truk-truk yang meraung-raung kepada orang-orang Arab bahwa kalau mereka tidak segera pergi, mereka akan dibantai.

Sebanyak 800.000 orang Arab yang teringat pembantai Deir Yassin kabur dengan panik sambil meninggalkan akta kelahiran mereka. Negara Israel kemudian meluluskan hukum bahwa hanya orang Arab yang bisa membuktikan kewarganegaraan mereka yang boleh kembali ke tanah mereka. Itu berarti 400.000 orang Arab tidak bisa kembali dan kehilangan semua properti yang mereka miliki di sana.

Setelah rangkaian kejahatan perang genosida perbuatan Yahudi ini, orang-orang Yahudi sekarang menguasai 78 % bekas Palestina, dibandingkan dengan 57 % yang telah diberikan kepada mereka secara illegal oleh PBB yang dikendalikan oleh Yahudi. Ironisnya, orang-orang Arab, banyak di antara mereka orang Kristen, tidak akan pernah mendapat ganti rugi atas rumah, properti dan bisnis yang dicuri dari mereka selama genosida ini.

1954: Agen-agen Israel merekrut warga Mesir keturunan Yahudi untuk mengebom sasaran-sasaran Barat di Mesir, untuk mengkambinghitamkan orang-orang Arab. Ini jelas merupakan usaha untuk merusak hubungan Amerika dan Mesir. Menteri Pertahanan Israel, seorang Yahudi Ashkenazi bernama Pinhas Lavon akhirnya dicopot dari jabatannya, meskipun banyak orang berpikir sesungguhnya David Ben-Gurion lah yang bertanggung jawab.

1957: Dalam sebuah invansi gabungan Inggris, Israel dan Perancis di Terusan Suez, Ariel Sharon mengomando unit-unit yang membunuh tawanan-tawanan perang Mesir, begitu pula para pekerja sipil Sudan yang ditangkap oleh orang-orang Yahudi. Total 273 tahanan tak bersenjata dieksekusi dan dibuang ke kuburan-kuburan massal. Cerita ini dipendam selama hampir 40 tahun sampai muncul edisi 16 Agustus 1995 London Daily Telegraph.

1967: Perlakuan orang-orang Yahudi terhadap orang-orang Palestina akhirnya menyulut kemarahan dunia Arab terutama di Mesir, Yordania dan Suriah untuk bersiap-siap di perbatasan Israel. Ketiga negara ini mendadak diserang oleh Israel, akibatnya, Sinai dicuri dari Mesir, sedangkan West Bank dan sungai Yordania dicuri dari Yordania. Bahkan pada 9 Juni 1967, Israel secara illegal menduduki Dataran Tinggi Golan yang direbutnya dari Suriah. Daerah ini lalu menyediakan sepertiga air bersih Israel.

1973: Dalam usaha untuk mendapatkan tanah-tanah yang dicuri Israel tersebut. Mesir, Yordania, Suriah dan Irak menyerang Israel dan mendesak pasukan Israel untuk mundur. Karena Israel terancam kalah, pemerintah Amerika Serikat yang dikendalikan oleh Yahudi mengirim banyak peralatan dan persenjataan militer Amerika Serikat dari uang pajaknya untuk mendukung tentara Israel. Bahkan Pemerintah Amerika Serikat menyiagakan angkatan bersenjata Amerika Serika baik di Jerman maupun di Fort Bragg, Carolina Utara sehingga sewaktu-waktu bisa dikirim ke Israel untuk membantu tentara Israel dalam perang ini.

1977: Pada tanggal 25 Desember, Knesset Israel meluluskan hukum anti missionaris, 5738-1977, yang mendekritkan bahwa kalau ada orang Kristen non-Yahudi memberikan sebuah Perjanjian Baru kepada seorang Israel, dia bisa dipenjara sampai 5 tahun.

1978: Pada bulan Maret, tentara Israel memasuki Lebanon Selatan dan menduduki bentangan tanah 6 mil ke utara perbatasan mereka. Peristiwa ini akibat serangan kepada Israel dengan terbunuhnya 30 orang penumpang sebuah bus. Dari situ mereka meluncurkan serangan-serangan bom Cluster tanpa pandang bulu. Serangan ini mengakibatkan kematian lebih dari 1.500 orang Lebanon dan Palestina, kebanyakan di antara mereka adalah rakyat sipil.

1981: Pada tanggal 10 Juli, kekerasan lagi-lagi meledak di Lebanon Selatan dan Israel lagi-lagi membombardir Beirut hingga membunuh 450 orang. Menurut Kurt Waldheim, Sekretaris Jenderal PBB, angkatan udara Israel membombardir sasaran-sasaran Palestina di Lebanon Selatan.

1982: Dari 16 sampai dengan 18 September, Ariel Sharon, seorang Yahudi Ashkenazi sekaligus orang yang akan menjadi Perdana Menteri Israel lalu Menteri Pertahanan, dengan hati-hati mengatur invansi Israel ke Lebanon, yang menyediakan penerangan udara untuk memudahkan pembunuhan antara 1.000 sampai 2.000 wanita dan anak-anak dalam pembantaian Sabra dan Shatilla. Mereka menyebut operasi ini dalam Yahudi Inggris, "Operasi Kedamaian untuk Galilee". Sharon lalu mengalihkan perhatiannya ke ibukota Beirut, dan dalam rangkaian serangan udara terhadap sasaran-sasaran sipil, setidaknya 18.000 rakyat sipil Lebanon dan Palestina terbunuh.

Publik diberitahukan alasan invansi illegal terhadap Lebanon untuk menghentikan serangan-serangan lintas perbatasan oleh para gerilyawan Palestina di Lebanon Selatan terhadap pemukiman-pemukiman utara Israel. Bagaimanapun, alasan sesungguhnya baru diketahui ketika penjagalan ini dihentikan, begitu pemimpin Palestinian Liberation Organisation (PLO, Organisasi Pembebasan Palestina), Yasser Arafat, yang tinggal di Beirut, kabur ke Tunisia.

1985: Israel menjalankan "Operasi Hitam" di kapal pesiar "Achille Lauru", ketika kapal itu berlayar dari Alexandria ke Port Said, Mesir. Kapal ini dibajak, Israel semakin memperburuk posisinya, ketika seorang penumpang berkursi roda, seorang Yahudi Amerika, Leon Klinghoffer, dieksekusi dan dilempar ke luar kapal, menyebabkan seluruh dunia marah, terutama di Amerika. Lebih jauh lagi, orang-orang Yahudi memastikan hal ini menjadi berita utama hari itu di seluruh dunia di media cetak dan televisi.

Taktik ini dijelaskan dalam buku "Profits of War (Keuntungan Perang)". Di dalamnya mantan penasehat intelijen khusus untuk Perdana Menteri Israel, Yitzhak Shamir, Ari Ben-Menashe, menjelaskan bagaimana intelijen Israel telah mendanai kelompok-kelompok teror Palestina untuk melakukan serangan kepada sasaran-sasaran Israel, agar dunia terutama Amerika, bersimpati kepada Israel dan orang-orang Yahudi serta membenci orang-orang Palestina.

1991: Menyusul invansi Irak terhadap Kuwait pada 2 Agustus 1990, pada 6 januari 1991, Amerika Serikat dan Inggris memulai rentetan pengeboman udara ke sasaran-sasaran di dalam Irak. Pada 24 Februari, rentetan serangan darat di mulai yang berlangsung selama 100 jam sampai 28 Februari, ketika sebuah kejahatan terjadi.

Kejahatan ini adalah pembantaian 150.000 tentara Irak dengan bahan bom udara bahan bakar. Orang-orang Irak ini melarikan diri lewat jalan tol yang padat dari Kuwait ke Basrah. Presiden George Herbert Walker Bush memerintahkan pesawat udara Amerika Serikat dan unit-unit darat untuk membunuh tentara yang menyerah ini, yang kemudian di buldozer ke dalam kuburan massal tanpa tanda di gurun pasir.

Kejadian ini bertepatan dengan jatuhnya Hari Purim (hari libur Yahudi) pada tahun tersebut. Inilah hari orang-orang Yahudi merayakan kemenangan mereka atas Babilonia kuno yang sekarang bertempat di dalam batas-batas Irak, dan hari ketika orang-orang yahudi didorong untuk mendapatkan pembalasan berdarah terhadap musuh-musuh mereka, yang Purim nyatakan pada dasarnya adalah semua orang non-Yahudi.

1993: Pada 25 Juli, tentara Israel meluncurkan "Operasi Pertanggungjawaban" terhadap Lebanon Selatan sebagai tanggapan terhadap serangan tentara Hizbullah yang membunuh 7 prajurit Israel di Israel Utara. Serangan Israel ini merupakan rangkaian serangan udara sepanjang minggu yang membunuh 130 rakyat sipil Lebanon dan 300.000 orang lainnya terpaksa melarikan diri dari rumah mereka.

1994: Pada 25 Februari, tepatnya pada hari Purim, di Israel, Dr. Baruch Kappel Goldstein, yang melayani sebagai seorang dokter di Israeli Defense League (IDF, Liga Pertahanan Israel), dan merupakan keturunan langsung dari Rabi Shneur Zalman dari Liadi, pendiri gerakan Chabad Lubavitch, memasuki mesjid cave of the Patriachs (gua para kepala keluarga) saat shalat dan membunuh 29 orang muslim serta melukai 125 orang lainnya. Dia melakukan ini dengan menembaki mereka dengan sebuah senjata otomatis. Akhirnya dia kalah jumlah oleh orang-orang yang selamat dan dihajar sampai mati.

Hanya 2 hari setelah pembantaian Goldstein, Rabi Yaacov Perrin menyatakan:

"Satu juta orang Arab tidak sebanding dengan kuku jari seorang Yahudi".

1996: dalam rangkaian serangan militer Israel terhadap tentara Hizbullah di Lebanon Selatan yang disebut "Operation Grapes of Wrath (Operasi Anggur Kemurkaan)", tentara Israel melancarkan semua roket kepada sebuah ambulans di Beirut, membunuh 6 orang rakyat sipil, yaitu 2 wanita dan 4 anak-anak.

Kurang dari seminggu kemudian, tepatnya pada 18 April, Israel melakukan "Tragedi yang Mengerikan" lagi ketika mereka dengan sengaja menembaki sebuah perkemahan perlindungan PBB di desa Qana, Lebanon Selatan, membunuh 106 rakyat sipil Lebanon yang sedang mengungsi di sana. Mereka mengungsi ke sana karena tahu tempat itu disetujui menjadi tempat tanpa pertempuran antara tentara Hizbullah dan Israel yang sedang berperang.

2002: Perdana Menteri Israel, seorang penjahat perang, Ariel Sharon, memerintahkan genosida Yahudi lainnya dengan pembantaian di perkemahan pengungsi Jenin di West Bank. Sebagai tanggapan atas pembunuhan ini, Presiden Bush awalnya menuntut tentara Israel langsung ditarik dari kota-kota Palestina. Ariel Sharon secara publik menolak melakukannya. Bush pada 18 April 2002 menyatakan hal berikut ini:

"Ariel Sharon adalah orang yang damai".

2003: Pada 16 Maret, seorang Amerika berusia 23 tahun, Rachel Corrie, pergi ke jalur gaza untuk melindungi orang-orang Palestina dari kejahatan perang Israel yang dilakukan di sana. Dia terbunuh saat berusaha mencegah penggusuran rumah seorang ahli farmasi Palestina, yang tinggal bersama isterinya dan 3 anak mereka yang masih kecil. Ketika Corrie berdiri di depan rumah ini untuk memprotes di depan sebuah Buldozer Caterpillar D9 milik Israeli Defence Force (IDF), dia dengan sengaja dilindas oleh supir Buldozer itu.

Amerika Serikat tidak melakukan apa-apa untuk mengkritik Israel atas peristiwa ini. Amerika Serikat menerima saja alasan mereka bahwa ini adalah kecelakaan. Padahal beberapa saksi mata yang tanpa ragu berkata bahwa tindakan ini disengaja dan bahkan ada bukti foto ketika pembunuhan ini terjadi di siang hari, Corrie sedang mengenakan jaket orange terang.

2006: Hamas terpilih berkuasa dalam pemilihan umum Palestina. Israel menuntut agar bantuan dihentikan untuk Palestina, dan dilakukan dengan taat oleh Amerika Serika, Uni Eropa dan Kanada. Ini untuk mendukung cita-cita jangka panjang Israel, yaitu genosida seluruh rakyat Palestina yang menolak meninggalkan Palestina.

Mantan Agen Mossad, Victor Ostrovsky, meramalkan bahwa terjadinya hal ini pada halaman 252 di dalam bukunya "The Other Side of Deception", yang diterbitkan pada tahun 1994:

"Kalau Mossad bisa mengatur agar Hamas (Partai Perjuangan Sejati Rakyat Palestina) mengambil alih jalan-jalan Palestina dari PLO, maka rencana itu terbukti benar".

Rencana yang dimaksudkannya adalah mendukung elemen-elemen radikal muslim sehingga para fundamentalis tersebut tidak akan bisa bernegosiasi dengan Barat.

Pada 12 Juli, 2 prajurit Israel menyasar ke wilayah Lebanon dan ditangkap sebagai tahanan perang oleh tentara Lebanon. Media Yahudi di seluruh dunia berteriak bahwa mereka diculik, tapi tidak menyebutkan fakta bahwa Israel telah menangkap dan memenjarakan lebih dari 9.000 orang Palestina tanpa peradilan. Israel mulai mengebom Lebanon tanpa pandang bulu.

Sehubungan dengan 9.000 orang palestina yang dipenjara tanpa peradilan. Artikel 111 hukum Israel memandatkan bahwa pemerintah boleh menahan siapapun selama waktu yang tidak terbatas, tanpa peradilan dan tanpa menyatakan tuntutannya.

Ketika media Yahudi melaporkan konflik antara Israel dan Lebanon ini, mereka tidak menyebutkan jumlah penganut Kristen di Lebanon yang mencapai 40-45 % dari populasi penduduknya. Mereka malah menggambar Lebanon sebagai segerombolan teroris Al-Qaeda muslim yang jahat. Dalam sebulan, lebih dari 1.000 pria, wanita dan anak-anak Lebanon terbunuh. Ratusan ribu orang terluka, dan seperempat penduduk negara itu mengungsi.

Perang berakhir dengan Israel menarik diri, banyak orang Yahudi tidak puas dengan hasil akhir dan menuduh Perdana Menteri Ehud Olmert kalah dalam perang ini. Bagaimanapun, ketika dia hadir di hadapan Komite Urusan Asing dan Pertahanan Knesset pada 5 September 2006, dia menyatakan:

"Klaim bahwa kita kalah tidak punya landasan, setengah Lebanon hancur, apakah itu kekalahan?" "Tidak akan pernah ada retorika Hak Asasi Manusia pada orang-orang Yahudi. Kalau pun ada, itu pasti sebuah kesalahan".

Hak Cipta @ Andrew C. Hitchcock
 
 

 


 
 

Ukraine rebels take 'piecemeal' approach to ceasefire - Kerry 

John Kerry: ''In Crimea and in the separatist-controlled areas of eastern Ukraine, men, women and children are being killed''
US Secretary of State John Kerry has accused pro-Russia separatists of a "piecemeal" approach to the ceasefire agreement for eastern Ukraine.

Speaking at the UN, he said the rebels were only withdrawing heavy weapons from the front line in selective areas.

Meanwhile Russian Foreign Minister Sergei Lavrov said there had been "tangible progress" with the truce.

Both Ukraine and the rebels say they are withdrawing heavy weapons in line with the deal made in Minsk last month.

Monitors from the OSCE security group have reported weapons movements on both sides but say it is too early to confirm a full withdrawal.

Mr Kerry and Mr Lavrov held talks on Monday as tensions remain high over the conflict. The fragile ceasefire is said to be broadly holding, despite some fighting in recent days.

'Merciless devastation'

Speaking at the UN Human Rights Council, Mr Kerry said he had warned Russia that it faced further sanctions if the conditions of the ceasefire were not met in full.
But he said he was optimistic the truce could be completed in "hours, certainly not more than days".
"I'm very hopeful that it will in fact be the start of a change which would be an improvement for everybody," he told a news conference in Geneva. 

An elderly woman walks across a destroyed bridge near the airport in Donetsk, Ukraine - 1 March 2015  
The ceasefire has been holding in much of eastern Ukraine but there have been sporadic clashes

Fighting began in Ukraine's eastern Donetsk and Luhansk regions last April, a month after Russia annexed the Crimea peninsula.
Mr Kerry's meeting with Mr Lavrov - the first since he accused Russia of lying about its role in Ukraine's war - coincided with the release of a UN human rights report.
The report states that the conflict has claimed at least 6,000 lives, with hundreds killed in the past few weeks alone, although it says that the real number of fatalities could be considerably higher.

UN High Commissioner for Human Rights Zeid Ra'ad Al Hussein said it painted a picture of "merciless devastation of civilian lives and infrastructure".
The document refers to "credible accounts" of heavy weapons and foreign fighters continuing to flow into eastern Ukraine from Russia.
The Ukrainian government, Western leaders and Nato say there is clear evidence that Russia is helping the rebels with heavy weapons and soldiers - something Moscow denies.
Earlier Mr Kerry called on the UN to examine rights violations.
'Heinous crime'
Meanwhile Sergei Lavrov said weapons were being withdrawn from front lines.
The Russian FM called on the Ukrainian government to distance itself from "extremists" and urged Kiev to promote economic recovery of rebel-held areas.
He also described the brutal murder of Russian opposition politician Boris Nemtsov on Friday as a "heinous crime".
Mr Nemtsov, who was shot on a bridge near the Kremlin, had been planning an anti-war rally and was said to be working on a report to expose the presence of Russian troops in Ukraine. 
People carry a placard with the image of opposition leader Boris Nemtsov during a march in St Petersburg  on 1 March 2015.  
 Tens of thousands of people marched through central Moscow in memory of Boris Nemtsov on Sunday
His allies accused the Kremlin of involvement but Mr Lavrov condemned the murder and vowed that Russia would find the killers.

"This is a heinous crime which will be fully investigated within the full framework of the law to ensure the perpetrators are brought to justice."
Mr Kerry was expected to use the talks to call for an investigation examining not only who pulled the trigger, but who ordered, funded and co-ordinated Mr Nemtsov's murder.
Last week, Mr Kerry had accused the Kremlin of "craven behaviour" in its support for the pro-Russian fighters.
Meanwhile violence has continued in the east of the country:
  • Ukraine's military said on Monday that one soldier had been killed and four wounded in the past 24 hours
  • On Saturday, Ukrainian photographer Sergiy Nikolayev was killed in an explosion in the government-held frontline village of Pisky near Donetsk
  • At least eight Ukrainian soldiers were injured over the weekend by rebel shelling, the military said
Map showing the battle lines in eastern Ukraine 
 
Intelligence leaks suggest Israeli secret service believe Iran is not producing nuclear weapons
Newly leaked intelligence from Mossad suggest they knew Israeli claims about nuclear weapon production were false
http://www.middleeasteye.net/news/intelligence-leaks-suggest-israeli-secret-service-believe-iran-not-producing-nuclear-weapons
Benjamin Netanyahu, prime minister of Israel, uses a diagram of a bomb to describe Iran's nuclear programme (AFP)
Monday 23 February 2015 19:08 GMT
Last update: 
Wednesday 25 February 2015 17:34 GMT

Israel's secret service had long believed Iran was not making a nuclear weapon, according to a tranch of documents leaked from various spy agencies.
A new joint report produced on Monday by Al-Jazeera and the Guardian shows top secret files - correspondances with the South African intelligence services - suggesting that Mossad, the Israeli security agency, has believed since 2012 that the Islamic Republic of Iran was “not performing the activity necessary to produce weapons,” according to the leak.
The revelation would seem to undermine claims by other branches of the Israeli state – including the prime minister – that Iran presented a threat to Israelis through its desire to produce nuclear weapons.
The date of the cables is particularly ironic, as it came just a month after a speech made by Israeli Prime Minister, Benjamin Netanyahu at the United Nations General Assembly in which he called for a united global response to Iran's threat to develop nuclear weapons – a threat which, at the time, he assured was a very real one.
“For nearly a decade, the international community has tried to stop the Iranian nuclear programme with diplomacy,” he told the assembly in September 2012.

“That hasn't worked.”
Netanyahu has freqently argued that Iran's opposition to Israel is existential, not merely political. Former President Mahmoud Ahmedinejad became notorious internationally for provocative statements that were taken by some to call for the destruction of Israel, as well as promoting holocaust denial.
He also accused Iran of providing material and financial support to Hamas in Gaza and Hezbollah in Lebanon, with an aim towards the destruction of Israel.
“Given this record of Iranian aggression without nuclear weapons, just imagine Iranian aggression with nuclear weapons,” he told the assembly.
“Imagine their long range missiles tipped with nuclear warheads, their terror networks armed with atomic bombs.”
In his speech, he illustrated the “red lines” on the Iranian nuclear threat using a graphic with a bomb and fuse with “1st stage”, “2nd stage” and “Final stage” written showing the levels of uranium enrichment Iran would have reached.
He claimed that by Spring of 2013 Iran would have finished “medium enrichment and move on to the final stage”.

“From there, it's only a few months, possibly a few weeks before they get enough enriched uranium for the first bomb,” he said.
This claim, however, is contradicted by the Mossad leak which suggests that the IR40 reactor at Arak - which they say could produce "military-grade plutonium" - would not be brought online before mid-2014.
The document does however, state that Iran was "working to close gaps in areas that appear legitimate such as enrichment, reactors, which will reduce the time required to produce weapons from the time when the instruction is actually given."
Netanyahu also claimed that for two years Israeli intelligence “didn't know” that Iran was building a nuclear reactor.
“Look, no one appreciates our intelligence agencies more than the prime minister of Israel,” he said. “All these leading intelligence agencies are superb, including ours. They've foiled many attacks. They've saved many lives.”

“But they are not foolproof.”
Some have accused Mossad of actively trying to undermine Netanyahu's authority over Iran. The agency have opposed new US sanctions on Iran and former officials have expressed frustration that Netanyahu has been ignoring their calls for temperance.

The nuclear programme

Israel has previously intervened militarily in other regional neighbours to prevent nuclear proliferation. In 1981, Israeli jets destroyed the Osirak reactor near the Iraqi capital of Baghdad, believing that then President Saddam Hussein was seeking to build nuclear weapons, which the then Israeli government described as potentially posing a “mortal danger to the people of Israel”.
They also destroyed a facility at al-Kibar in Syria in 2011, which they claimed was a covert nuclear reactor.
Iran has also frequently accused Israel of engaging in targetted assassinations of nuclear scientists within the Islamic Republic, though this claim could be thrown in to doubt if Israeli intelligence did not believe a nuclear threat existed.
Iran has continuously denied that it has been developing its nuclear programme with an eye to making weapons, claiming it is purely interested in providing self-sufficiency in its energy requirements.
Though documents leaked to the press in 2005 purported to present proof of Iranian intentions towards the building of nuclear weapons, these were later criticised after it was revealed that they had come from the Mujahideen-e-Khalq (MEK) and not a Iranian government insider as had been originally thought.
The militant group MEK have been involved in a guerilla fight against the Islamic Republic since its inception and are thought to have established strong links with Mossad.
There are strong indications, though unconfirmed, that Mossad had been responsible for providing the MEK with some or all of the documents and that they were of questionable authenticity.
The MEK had previously been listed as a terrorist organisation by the US state department and EU, but was removed from the latter in 2009 and the former in 2012 after pressure from prominent US politicians.
The group has been blamed for thousands of deaths inside Iran and the allegations of peculiar social requirements placed upon their members – including forced divorces, public airings of hidden sexual fantasies and the idolising of leader Massoud Rajavi – has seen the group frequently labelled a “cult”.

A troubled history

Iran and Israel have had a tumultuous history. Prior to 1979, the two countries had been strong allies, sharing diplomatic and military ties.
After the Islamic Revolution in 1979 which overthrew the monarchy of Shah Mohammed Reza Pahlavi, documents released from the vaults of the much-hated secret police service, the Organisation of Intelligence and National Security (SAVAK) revealed the role that Mossad had played in training SAVAK agents in the suppression of opponents of the Shah.
Mossad's involvement in the creation of the Shah's security apparatus only added to popular resentment towards Israel in Iran. The revolution's figurehead, and later Supreme leader, labelled Israel the “Little Satan” in contrast with the “Great Satan” of the US and frequently called for the destruction of the "Zionist government of Israel".

Share/Save/Bookmark
Rilis Dokumen “Rahasia”, Pengabdian Jujur Qatar Kepada Israel dan AS
Penggalan dokumen (The Guardian)
Penggalan dokumen (The Guardian)
Islam Times - Sementara, tidak ada yang menolak bahwa rezim suku Qatar adalah sekutu strategis Israel, Inggris dan AS; apakah perolehan dan perilisan dokumen bocor itu serta merta akan merusak hubungan strategis dengan negara-negara itu? Apakah Qatar punya cukup nyali atas konsekwensi rencana perilisan itu?.
Media perusahaan semi-literal milik kerajaan Qatar, al-Jazeera, memperoleh dokumen rahasia yang disebut-sebut sengaja dibocorkan oleh agen intelijen yang dianggap sebagai kebocoran terbesar sejak Edward Snowden.  Bahkan, saluran berita kerajaan Qatar itu berencana menurunkan serangkaian laporan membahas konten apa yang mereka sebut sebagai dokumen kabel "sangat rahasia".

Tapi apakah dokumen itu benar-benar sebuah kebocoran dan benar-benar kerjaan agen intelijen?

Sangat mudah bagi mereka yang tidak sepenuhnya menyadari bagaimana fungsi penting sebuah lembaga negara yang tiba-tiba rubuh dan tersungkur akibat narasi dan cerita sebuah media korporat. Pada tingkat sederhana, cerita kebocoran dokumen itu terdengar sangat masuk akal dan logis.

Menurut rekam jejak dari komunikasi instan, kebocoran intelijen itu dilaporkan terjadi di Afrika Selatan, sebuah negara yang cukup tinggi mengenai indeks korupsi didunia.

Dalam konteks ini, al-Jazeera, benar-benar tengah mempertaruhkan reputasi informasi dihadapan masyarakat global yang kemungkinan besar realitasnya bertolak belakang dengan apa yang diyakini media milik pendukung kelompok Takfiri di Suriah dan Irak tersebut.

Islam Times mencoba menelusuri beberapa faktor dasar yang melibatkan insiden apa yang disebut –sebut sebagai "kebocoran".

Semua faham, al-Jazeera adalah saluran televisi yang didanai oleh pemerintah, sehingga setiap informasi terkait dengan intelijen dianggap sebagai harta karun yang pada dasarnya adalah milik pemerintah Qatar. Sementara, tidak ada yang menolak bahwa rezim suku Qatar adalah sekutu strategis Israel, Inggris dan AS; apakah perolehan dan perilisan dokumen bocor itu serta merta akan merusak hubungan strategis dengan negara-negara itu? Apakah Qatar punya cukup nyali atas konsekwensi rencana perilisan itu?.

Informasi intelijen tetap akan berharga dan bernilai hanya bila pihak lawan tidak mengetahui bahwa musuh mengetahui rahasia itu. Jika orang boleh menganggap bahwa rezim Qatar akan menggunakan dokumen-dokumen yang bocor itu untuk kepentingan nasional mereka, mengapa Qatar harus mengumumkannya dihadapan publik?

Fakta bahwa salah satu laporan al-Jazeera dalam laporan apa yang disebut kebocoran intelijen itu adalah tentang bagaimana Mossad  membantah klaim Benjamin Netanyahu terkait program nuklir damai Iran yang menimbulkan garis merah. Padahal Iran sudah semestinya berhak memilikik program nuklir damai dengan  berbagai alasan logis dan tak terbantahkan.

Salah satu alasannya adalah, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan masyarakat internasional secara luas memahami fakta bahwa secara hukum dan secara teknis, Iran hingga saat ini tidak pernah melanggar dan tidak akan melanggar meski satu dari peraturan-peraturan yang diterapkan secara ketat oleh IAEA.

Dari sisi ini, masyarakat internsional sama sekali tidak memerlukan sebuah laporan "rahasia" jika hanya untuk mengetahui kasus sepele; bahkan dengan pencarian di Google yang sangat sederhana tanpa menggunakan rumus yang njlimet pun, hal itu akan mudah dikonfirmasi oleh Google.

Jadi mengapa al-Jazeera mesti repot-repot membuat laporan tentang topik ini? Sementara pada saat yang sama Barat-lah yang sangat membutuhkan Iran untuk mendinginkan permusuhannya dengan negara Mullah itu demi mengurangi kerugian strategis di wilayah tersebut. Untuk menandatangani kesepakatan nuklir dengan Iran, Barat membutuhkan skenario penyelamatan wajah yang bopeng. Jadi, bocoran tersebut dipandang sebagai bagian dari skenario mempermak wajah yang memuluskan rezim-rezim Barat untuk menandatangani perjanjian dengan Iran demi mempertahankan kekuatannya yang tergerus di wilayah tersebut.

Dokumen-dokumen lain yang diterbitkan oleh al-Jazeera bahkan jauh dari kata greget. Misalnya deretan kertas panjang dokumen itu mengupas keberadaan Iran di Afrika Selatan yang bersumber dari makalah penelitian khas organisasi Think Thank dengan kutipan dari sumber-sumber yang terbuka dan umum.

Dokumen lain juga berbicara tentang bagaimana pemerintahan Obama sedang mencoba memblokir aspirasi negara Palestina di PBB dan lembaga internasional lainnya.  Lalu, siapa yang akan menganggap dokumen al-Jazeera itu sebagai "rahasia" dan ditempatkan dalam Politik khusus?.

Di era teknologi super modern ini, hampir semua orang dengan mudah memproduksi serta mengelola persepsi masing-masing yang dianggap sebagai rahasia. Dengan demikian "Kebocoran" dokumen rahasia ini hanya bisa dipandang sebagai operasi sosial politik daripada murni masalah intelijen dan keamanan!.

Orang tidak harus naïf menerima apa yang mereka lihat di channel TV al-Jazeera yang dimiliki oleh rezim suku monarkis pro Israel dan Barat. Al-Jazeera tidak akan menjalankan serial lucu ini tanpa persetujuan dari juru bayarnya, yakni pemerintah Qatar. Bahkan masih banyak orang yang memiliki beberapa isu jauh lebih besar yang terlibat, dari sekedar segelintir orang di Afrika Selatan yang mengupload dokuman “rahasia” dari hard drivenya.

Beberapa orang mungkin bersikukuh bahwa dokumen itu benar dan nyata, dan mungkin dalam waktu dekat ini, dunia akan segera menyaksikan pengunduran diri massal pejabat penting intelijen.

Pada awal Perang Dunia II, Jerman (Agen Jerman) memberikan dokumen "rahasia" kepada pemimpin Soviet, Josef Stalin viaPresiden Edvard Benes dari Cekoslowakia. Untuk meyakinkan keaslian dokumen itu kepada Stalin, Jerman bahkan mengeksekusi pejabat mereka sendiri sebagai korban yang dianggap gagal bertanggung jawab menjaga rahasia negara. Sementara dipihak Uni Soviet terjadi kasus pembunuhan masaal, termasuk eksekusi Marsekal Mikhail Nikolayevich Tukhachevsky pimpinan Tentara Merah antara tahun 1925-1928.

Tukhachevsky tidak sendirian, bersama delapan tokoh militer lain, seperti Iona Yakir, Ieronim Uborevich, Robert Eideman, August Kork, Vitovt Putna, Boris Feldman, Vitaly Primakov dan Yan Borisovich Gamarnik mereka diadili atas tuduhan berkhianat dan bekerja sama dengan Nazi Jerman. Tukhachevsky dan 8 terdakwa lainnya divonis hukuman mati pada bulan Juni 1937.

Islam Times, tentu saja tidak sepenuhnya mengesampingkan kemungkinan kebocoran itu adalah benar dan nyata. Namun, probabilitas dokumen tersebut sangat rendah dan jauh dari kata kebocoran intelijen.

Tapi bahkan sekaipun dokumen "top Secret" itu adalah nyata, satu yang pasti adalah, dokumen itu dimanipulasi sedemikian rupa dan disajikan ke pubik untuk mencapai tujuan geo-strategis dan sosial-politik rezim imperialis, tidak lebih!. [Islam Times/Onh/Ass]

Laporan kebocoran: http://www.theguardian.com/world/2015/feb/23/leaked-spy-cables-netanyahu-iran-bomb-mossad

Download dokumen rahasia: http://static.guim.co.uk/ni/1424713149380/Mossad-On-Iran-Nuclear-Stat.pdf  .
Kode: 443263
 http://www.islamtimes.org/id/doc/article/434938/
 Seteru Cucu dan Anak Bani al-Saud
Pangeran Mohammad bin Nayef


Pangeran Mohammad bin Nayef

Islam Times- Dengan tongkat kerajaan yang diteruskan ke generasi berikutnya, pilihan Mohammed bin Nayef mengindikasikan ketakutan akut yang melanda keluarga berkuasa. Saat ini, Mohammed bin Nayef masih tetap menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri sekaligus wakil kedua Perdana Menteri, pos yang paling penting dalam kerajaan setelah raja sendiri.


Kematian Raja Abdullah akhirnya membuka ruang dan kesempatan bagi generasi baru dinasti Bani al-Saud, sebuah langkah yang menjadi pusat perhatian khusus, apalagi Raja Salman baru saja mengumumkan posisi Pangeran Mohammed bin Nayef,-saat ini menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri-, sebagai wakil Putra Mahkota Pangeran Mugrin bin Abd al-Aziz. Jabatan yang memastikan posisinya kelak menjadi raja dari kalangan cucu Abd al-Aziz bin Saud.
Lalu bagaimana posisi Pangeran Mohammed bin Nayef sebegitu kuat sehingga ditunjuk sebagai wakil Putra Mahkota menggeser cucu-cucu lain keturunan Abd al-Aziz. Penunjukan Mohammed bin Nayef ini pula mengakhiri spekulasi yang berkembang tentang siapa diantara ratusan (mungkin ribuan) cucu-cucu Abd al-Aziz bin Saud untuk menjadi raja. Sementara Abd al-Aziz mempunya 45 anak (yang tertulis),-36 yang hidup-, dan hanya enam yang berhasil mencapai tahta kerajaan. Saud (dikudeta), Faisal (dibunuh), Khalid, Fahd, Abdullah dan sekarang Salman. Jika Muqrin ingin menyelamatkan Salman-, Abdullah mengirim dua Putra Mahkota ke kuburan, Sultan dan Nayef-, maka dia akan menjadi raja terakhir (jika masih hidup) dari anak-anak keturunan langsung Abd al-Aziz.

Dengan tongkat kerajaan yang diteruskan ke generasi berikutnya, pilihan Mohammed bin Nayef mengindikasikan ketakutan akut yang melanda keluarga berkuasa. Saat ini, Mohammed bin Nayef masih menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, pos yang paling penting dalam kerajaan setelah raja sendiri.

Menteri Dalam Negeri, seperti ayahnya, mengontrol semua urusan internal, bahkan bertanggung jawab atas Mabahith (departemen intelijen), polisi, keamanan perbatasan, bea cukai, penjara serta polisi syariat. Hampir tidak ada lini-lini penting kerajaan yang berada di luar kendali, bahkan semua berada dalam genggamannya.

Mengapa Mohammed mendapat kepercayaan lebih di atas semua pesaing dari cucu-cucu Abd al-Aziz bin Saud? Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa selama masa ayahnya menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, Mohammad bertanggung jawab atas semua keamanan dan mampu menghancurkan perbedaan pendapat dan tidak memberikan kesempatan kepada lawan-lawannya. Selanjutnya, Mohammed adalah perancang kebijakan dalam menghadapi ancaman serangan kelompok al-Qaeda dan kelompok Takfiri lain termasuk ISIS yang diciptakan dan dibesarkan oleh rezim sendiri. Hari ini, kelompok-kelompok Takfiri merupakan tantangan dan ancaman paling serius rezim. Kelompok Takfiri ini akan melahab kerajaan kapan saja.
Dukungan besar terhadap Takfiri dari dalam kerajaan, terutama dalam urusan keagamaan membutuhkan seseorang yang berpengalaman dan piawai seperti Mohammed bin Nayef untuk menangani mereka.

Seperti ayahnya, Mohammed melanjutkan cara-cara brutal menindak setiap perbedaan pendapat internal. Setidaknya terdapat 30.000 tahanan politik mendekam di penjara kerajaan, bahkan sebagian dari mereka hanya melakukan kesalahan sederhana, yakni meminta reformasi politik!. Kebijakan tangan besi Mohammed bin Nayef juga mendapatkan pujian dari Inggris dan Amerika Serikat. Segera setelah pengangkatannya sebagai Menteri Dalam Negeri pada bulan November 2012, ia mulai melakukan kunjungan resmi ke kedua negara yang dielu-elukan oleh media Inggris dan Amerika Serikat.

Perdana Menteri Inggris David Cameron saat itu menerimanya di 10 Downing Street, sebuah kediaman resmi PM David Cameron pada bulan Januari 2013. Beberapa hari kemudian, Presiden AS, Barack Obama menjamu secara khusus Mohammed bin Nayef untuk makan malam di Gedung Putih, suatu kehormatan tak biasa yang diperuntukkan bagi kepala negara atau pemerintah.

Dengan dukungan penuh Inggris dan Amerika, Raja Abdullah kemudian melanjutkan sikap ofensifnya. Dalam keputusan yang dikeluarkan pada akhir tahun 2013, ia menganggap permintaan reformasi, ekspos korupsi lingkaran kerajaan atau menarik kesetiaan dari raja, merupakan kejahatan dan dosa tak terampuni bagi siapa saja. Dan Mohammed bin Nayef adalah salah satu yang bisa memastikan kepatuhan itu melalui pasukannya di informan, intelijen negara, serta polisi syariah, bahkan dengan tindakan dan sikap yang lebih menindas.

Meskipun belum ada jaminan tetap hidup, pada usianya (55), Mohammed bin Nayef kemungkinan akan menerapkan taktik lebih brutal ketika ia menjadi raja.

TETAPI, jikapun tetap hidup, satu-satunya pengecualian adalah apakah kerajaan milik properti pribadi Bani al-Saud itu akan bisa bertahan?!.[IT/Onh/Ass]

Kode: 434938

Tanggal Berita : Thursday 26 February 2015 - 11:08
Share/Save/Bookmark
Pejabat Irak: Pesawat AS Terus Jatuhkan Senjata untuk ISIS

Pesawat koalisi (Fars News).

Pesawat koalisi (Fars News).

Islam Times - Pesawat Amerika Serikat terus menjatuhkan menjatuhkan senjata dan keperluan ISIS di Irak, ungkap pejabat Irak, mengungkapkan kemunafikan AS dalam memerangi kelompok teroris itu.


"Pesawat-pesawat AS menjatuhkan senjata untuk teroris ISIS di daerah yang dikuasai ISIS dan bahkan di daerah-daerah yang baru-baru ini bebas dari kontrol ISIS untuk mendorong mereka kembali ke sana," kata koordinator pasukan relawan Irak, Jafar al-Jaberi seperti dirilis Fars News kemarin (25/2).

Dia mencatat bahwa saksi mata di al-Havijeh, Provinsi Kirkuk menyaksikan pesawat AS menjatuhkan beberapa bungkusan mencurigakan untuk teroris ISIS. 

"Dua pesawat koalisi juga terlihat di atas kota Al-Khas di Diyala dan mereka membawa teroris Takfiri ke wilayah yang baru-baru ini dibebaskan dari kontrol ISIS," lanjutnya.
Pada hari Senin (23/2), seorang anggota parlemen senior mengungkapkan bahwa pasukan Irak menembak jatuh dua pesawat Inggris karena membawa senjata untuk teroris ISIS di Provinsi al-Anbar.

Komite Keamanan Nasional dan Pertahanan Irak mengatakan punya bukti berupa foto-foto kedua pesawat Inggris yang ditembak jatuh saat membawa senjata untuk ISIS. Komite tengah meminta penjelasan London soal ini.[IT/Atn]

Kode: 4433

Tanggal Berita : Thursday 26 February 2015 - 11:45
Share/Save/Bookmark
Tentara Israel Bergerak Menuju Sungai al-Wazzani di Selatan Libanon
Tentara Israel
Tentara Israel

Islam Times - NNA lebih lanjut mengatakan unit tentara dengan 20-anggota itu didukung oleh tank Merkava dalam misi memonitoring wilayah. Pasukan Israel bergerak maju di sepanjang tepi sungai, kata kantor berita Libanon itu.
Unit militer Israel pada Kamis pagi, 26/02/15, merangsek maju menuju sungai al-Wazzani di perbatasan selatan Libanon yang meningkatkan kesiagaan tentara Libanon dan pasukan penjaga perdamaian PBB, demikian menukil laporan National News Agency (NNA).

NNA lebih lanjut mengatakan unit tentara dengan 20-anggota itu didukung oleh tank Merkava dalam misi memonitoring wilayah.

Pasukan Israel bergerak maju di sepanjang tepi sungai, kata kantor berita Libanon itu.

Sementara itu, tentara Libanon dan anggota angkatan Interim PBB di Libanon terus mencermati gerakan tentara Israel yang tidak lazim tersebut. [IT/Onh/Ass]
Kode: 443325

Tanggal Berita : Wednesday 25 February 2015 - 10:35
Share/Save/Bookmark
Anggota Parlemen AS Akan Boikot Pidato Netanyahu
Steve Cohen (Press TV).

Steve Cohen (Press TV).

Islam Times - Seorang anggota Kongres AS dari kubu Demokrat mengatakan akan memboikot pidato Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Kongres bulan depan.

Steve Cohen menyebut rencana pidato itu sebagai "permainan sangat berbahaya" dan "permainan politik" Ketua DPR John Boehner untuk melemahkan Presiden Barack Obama.

Cohen, keturunan Yahudi, kemarin (24/2) juga mengatakan pidato mendatang Netanyahu tentang program nuklir Iran tak lain "teater kelas tinggi" menjelang pemilu Israel.

Dalam siaran pers, dia menulis bahwa rencana pidato itu sudah membelah dua barisan Demokrat dalam Kongres, rezim Israel dan pemerintah Amerika sendiri.

Pidato ini, lanjutnya, membahayakan negosiasi nuklir dan menghina itikad baik bangsa-bangsa lain yang terlibat dalam negosiasi.

Netanyahu rencananya akan berpidato dalam Kongres AS pada 3 Maret nanti demi membujuk anggota parlemen menetapkan sanksi tambahan untuk Iran.

Cohen menilai pidato Netanyahu "yang menentang kebijakan luar negeri" Amerika adalah sesuatu di luar batas.


Wakil Presiden AS Joe Biden dan beberapa anggota parlemen Demokrat lain juga akan memboikot pidato. 



Gedung Putih menyebut undangan Netanyahu itu melanggar aturan protokol dan bisa menggagalkan perundingan nuklir dengan Iran.[IT/PT/Atn] Kode: 442968


Tanggal Berita : Wednesday 25 February 2015 - 08:35


Laporan: Saudi Siap Bantu Israel Serang Iran



Staf istana Saudi (Jerussalem Post).



Staf istana Saudi (Jerussalem Post).

Islam Times - Arab Saudi siap membantu Israel dalam serangan terhadap Iran termasuk penggunaan wilayah udara, ungkap media Israel, memperjelas persekutuan dekat yang terjalin di antara keduanya.


Mengutip siaran TV Channel 2 Israel, Jerussalem Post kemarin (24/2) melaporkan kesiapan Saudi itu dinyatakan dalam pembicaraan pribadi dengan sumber-sumber Eropa.

Kabarnya, Arab Saudi mengajukan sebuah syarat dalam kerja sama itu; kemajuan perundingan antara Israel dan Palestina.

Wall Street Journal (WSJ) Jumat silam melaporkan pemerintah-pemerintah Arab ikut mencemaskan perkembangan kesepakatan Iran dengan enam negara dunia terkait program nuklirnya.

Menurut mereka, jika kesepakatan nuklir tercapai maka negara-negara di kawasan akan terdorong membangun kemampuan nuklir yang sama dengan yang diperoleh Iran.

Pejabat Arab, masih menurut WSJ, mengatakan gagalnya perundingan dengan Iran lebih baik daripada tercapai kesepakatan nuklir yang buruk. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga pernah mengungkapkan hal ini.[IT/Atn]

Kode: 442939

Raja Salman bin Abdul Aziz, Pemersatu Arab Saudi

Raja Salman bin Abdul Aziz, Pemersatu Arab Saudi  
0
Setelah Raja Abdullah bin Abdul Aziz rahimahullah mangkat, Dewan Kerajaan Arab Saudi mengumumkan putra mahkota Salman bin Abdul Aziz sebagai raja baru, pelayan dua tanah suci. Rencananya pembaiatan akan dilakuan 23 Januari 2015, setelah shalat isya waktu setempat di istana kerajaan di Riyadh. Siapakah raja baru Arab Saudi ini? Mari sejenak mengenal biografi singkat beliau.

Putra Kabilah Kuat Dari Nejd

Salman bin Abdul Aziz dilahirkan pada 31 Desember 1935. Ia adalah anak ke-25 dari Raja Abdul Aziz bin Saud. Ibunya bernama Hassa al-Sudairi. Hassa dinikahi oleh Raja Abdul Aziz di awal tahun 1930-an. Saat itu Abdul Aziz menaklukkan wilayah Nejd, kemudian menikahi Hassa, wanita dari kabilah atau klan al-Sudairi salah satu kabilah terkuat di Nejd.

Di masa berikutnya, ternyata anak-anak Abdul Aziz dari klan al-Sudairi mewarisi karakter kepemimpinan dan kewibawaan kaumnya. Klan ini pun menjadi klan terkuat di lingkungan kerajaan dengan tujuh putra terbaik mereka. Mereka adalah:
  • Fahd bin Abdul Aziz (1921-2005), raja ke-5 Arab Saudi yang memerintah dari 13 Juni 1982 hingga 1 Agustus 2005.
  • Pangeran Sultan bin Abdul Aziz (1929-2011), menjabat sebagai menteri pertahanan dari tahun 1962 hingga 22 Oktober 2011 dan rangkap jabatan sebagai putra mahkota pada tahun 2005 hingga wafatnya pada 22 Oktober 2011.
  • Pangeran Abdurrahman bin Abdul Aziz (lahir tahun 1931), wakil menteri pertahanan dari tahun 1978 hingga November 2011.
  • Pangeran Nayif bin Abdul Aziz (1934-2012), menjabat sebagai menteri dalam negeri dari tahun 1975 hingga 2012, menjabat perdana menteri dan putra mahkota pada 27 Oktober 2011 hingga wafat pada 16 Juni 2012. Beliau merupakan seorang yang paling dibenci oleh al-Qaeda dan Syiah karena sikap tegasnya. Sehingga saat beliau wafat, sangat terlihat suka cita di kedua kelompok tersebut.
  • Pangeran Turki bin Abdul Aziz (lahir tahun 1934) menjabat sebagai wakil menteri pertahanan pada 1968 hingga 1978.
  • Salman bin Abdul Aziz (lahir tahun 1935), menjabat gubernur Riyad dari tahun 1963 hingga 5 November 2011, kemudian menjadi menteri pertahanan pada 5 November 2011, putra mahkota pada 18 Juni 2012 hingga 22 Januari 2015, dan sekarang menjadi raja Arab Saudi yang ke-7.
  • Pangeran Ahmad bin Abdul Aziz (lahir tahun 1942), merupakan wakil menteri dalam negeri dari tahun 1975 hingga 18 Juni 2012, kemudian menteri dalam negeri dari 18 Juni 2012 hingga 5 November 2012.
  • Berikutnya adalah Putri Luluwah, Lathifah, al-Jawharah, dan Jawahir.

Kehidupan Keluarga

Salman bin Abdul Aziz menikah sebanyak tiga kali. Pertama, ia menikahi Sulthanah binti Turki al-Sudairi, yang meninggal pada akhir Juli 2011di usia 71 tahun. Sulthanah adalah anak dari paman ibu Pangeran Salman, Turki bin Ahmad al-Sudairi. Dari pernikahan ini, Pangeran Salman dikaruniai 5 orang putra dan satu orang putri: Pangeran Fahd, Pangeran Ahmed, Pangeran Sultan, Pangeran Abdul Aziz, Pangeran Faisal, dan Putri Hussa.

Anaknya dari pernikahan keduanya dengan Sarah binti Faisal al-Subai’ai adalah Pangeran Saud. Anak-anaknya dari pernikahan ketiganya dengan Fahdah binti Falah bin Sultan al-Hithalayn adalah Pangeran Muhammad, Pangeran Turki, Pangeran Khalid, Pangeran Nayif, Pangeran Bandar, dan Pangeran Rakan.

Putranya, Fahd dan Ahmad telah meninggal karena serangan jantung. Anak keduanya, Sultan bin Salman, menjadi orang Arab dan anggota kerajaan pertama yang terbang ke luar angkasa pada bulan Juni 1985. Sultan bin Salman merupakan ketua Saudi Commission for Tourism and Antiques (SCTA). Abdul Aziz bin Salman menjadi wakil menteri perminyakan sejak tahun 1995. Faisal bin Salman adalah gubernur provinsi Madinah. Muhammad, adalah penasehat pribadinya di kementerian pertahanan dan di Crown Prince Court. Turki bin Salman menjadi ketua Penelitian dan Marketing Group Arab Saudi sejak Februari 2013, menggantikan kakaknya Faisal bin Salman.

Pada bulan Agustus 2010, Pangeran Salman menjalani operasi tulang belakang di Amerika Serikat dan harus sering check up keluar kerajaan untuk pemulihan. Ia juga pernah terserang stroke sedikitnya satu kali. Meskipun sudah diterapi gerakan lengan kirinya tetap terbatas. Penyakit lainnya yang diperkirakan diderita oleh Pangeran Salman adalah Demensia dan Alzhemeir. Semoga Allah memberikan kemudahan dan kesembuhan.

Pendidikan dan Karir Politik

Sebagaimana anak-anak Raja Abdul Aziz alu Saud yang lain, Salman pun disekolahkan di sekolah khusus untuk para pangeran. Di sana ia mempelajari ilmu agama dan sains modern. Sekolah ini dibangun oleh Raja Abdul Aziz untuk memfasilitasi pendidikan anak-anaknya sebagai kader penerus kepemimpinan kerajaan. Tradisi sekolah seperti ini telah dipraktikkan oleh para khalifah Umayyah, Abasiyah, hingga kekhalifahan Utsmani.
  • Gubernur Riyadh
Salman bin Abdul Aziz diangkat menjadi gubernur Provinsi Riyadh pada tanggal 4 Februari 1963. Masa jabatannya berlangsung selama empat puluh delapan tahun, dari tahun 1963 sampai 2011. Sebagai gubernur, ia memberikan kontribusi untuk pengembangan Riyadh dari kota menengah ke kota besar metropolitan. Ia meningkatkan pariwisata, proyek-proyek penting, dan investasi asing di dalam negaranya. Dalam waktu 48 tahun, Pangeran Salman berhasil mengubah kota padang pasir, Riyadh, yang terisolasi menjadi kota yang dipadati gedung-gedung pencakar langit, universitas, dan jaringan makanan cepat saji.

Pemandangan Kota Riyadh di malam hari.
Pemandangan Kota Riyadh di malam hari.
Pangeran Salman berjuang memenuhi tuntutan ketersediaan rumah yang terjangkau dan fasilitas transportasi publik yang layak bagi empat juta penduduk kota itu. Jabatan Gubernur Riyadh ini membuat Salman sangat dikenal di dunia internasional, terutama juga karena kota ini kerap didatangi utusan internasional dan tamu-tamu VIP. Salman dengan cakap berhasil mengamankan investasi asing bagi ibu kota Arab Saudi itu. Ia juga membuka hubungan geopolitik dan ekonomi dengan Barat.

Ketika Pangeran Salman menjabat gubernur Riyadh, King Saud University di Riyadh didirikan. Sekarang universitas ini menjadi salah satu yang terbaik di Arab Saudi dan mulai diperhitungkan di dunia pendidikan tinggi internasional. Di antara kebijakan tegas yang Pangeran Salman putuskan adalah pada tahun 2011 ia mendeportasi pengemis asing dari Arab Saudi dan mengadakan program rehabilitasi di depatemen sosial bagi pengemis asli Arab Saudi. Pengemis-pengemis tersebut sengaja memanfaatkan kemurahan hati penduduk Arab Saudi.

Bus modern yang menjadi transportasi mahasiswa dan pegawai King Saud University
Bus modern yang menjadi transportasi mahasiswa dan pegawai King Saud University
  • Menteri Pertahanan

Pada 5 November 2011, Pangeran Salman diangkat menjadi menteri pertahanan menggantikan saudara kandungnya yang menjadi putra mahkota, Pangeran Sultan bin Abdul Aziz. Pada hari yang sama, Pangeran Salman juga terpilih sebagai anggota Dewan Keamanan Nasional (NSC).

Alasan pengangkatannya sebagai menteri pertahanan karena memang ia memiliki kompetensi yang luar biasa. Pertama, sifatnya yang mengedepankan perdamaian dan diplomasi. Hal ini juga diketahui bahwa ia aktif berurusan dengan masalah internal keluarga kerajaan dan menengahi perselisihan di antara mereka. Kepandaiannya dalam diplomasi juga membuat ia disegani di kalangan suku-suku Arab Saudi. Menurut surat kabar Asharq al-Awsat sebagaimana dikutip Associated Press, Salman dikenal memiliki hubungan yang sangat luas dengan suku-suku di Arab Saudi dan pengaruhnya semakin memperluas jaringan bisnis keluarga kerajaan. Kedua, Pangeran Salman adalah putra generasi tengah dalam keluarga kerajaan; Oleh karena itu, ia bisa mengembangkan hubungan dekat dengan kedua generasi dalam masalah sosial dan budaya.

Setelah jalan diplomasi dianggap buntu, Pangeran Salman juga tidak segan menggunakan kekuatan militer. Contohnya ketika Arab Saudi ikut terlibat secara militer dalam melakukan serangan udara terhadap ISIS pada tahun 2014 kemarin.
  • Putra Mahkota

Pada 18 Juni 2012, Pangeran Salman diangkat sebagai Putra Mahkota Arab Saudi tak lama setelah wafatnya saudaranya, Putra Mahkota Nayif bin Abdul Aziz. Dan sekaligus didaulat sebagai wakil perdana menteri. Pencalonannya sebagai putra mahkota dan wakil perdana menteri dianggap sebagai sinyal bahwa reformasi Raja Abdullah akan terus berkembang. Orang-orang pun menilai bahwa Pangeran Salman mengambil pendekatan yang lebih diplomatik terhadap tokoh oposisi, berbeda dengan bangsawan Arab Saudi lainnya. Mereka juga berpendapat bahwa Pangeran Salman sama seperti Raja Abdullah, sebagian besar fokus pembangunan pada peningkatan ekonomi bukan pada perubahan politik.

Pada tanggal 27 Agustus 2012, dewan kerajaan mengumumkan Pangeran Salman bertanggung jawab atas urusan negara karena Raja Abdullah mulai sakit-sakitan. Untuk mendekatkan hubungannya dengan rakyat, Pangeran Salman meluncurkan akun twitter @KingSalman pada tanggal 23 Februari 2013.

Raja Adalah Pelayan Kota Suci

Berbeda dengan raja-raja lainnya, Raja Arab Saudi justru memiliki gelar khadim yang secara harfiayah diterjemahkan sebagai pembantu. Raja-raja Arab Saudi adalah pembantu atau pelayan dua kota suci, Mekah dan Madinah. Raja pertama yang mengenakan gelar ini adalah Raja Fahd bin Abdul Aziz rahimahullah –kakak tertua Pangeran Salman- pada tahun 1986.

madinah

Setelah Raja Abdullah bin Abdul Aziz wafat pada dini hari tanggal 23 Januari 2015, dewan kerajaan menunjuk Pangeran Salman sebagai raja baru Arab Saudi menggantikan saudara tirinya tersebut. Sebuah amanah besar dan tugas yang berat sudah menanti beliau. Serangan ISIS dan separatis Syiah dari dalam dan luar negeri adalah ancaman serius yang menjadi prioritas pertama.

Semoga Allah memberinya taufik dan membantunya dalam mengemban amanah. Semoga melalui dirinya, Allah memberikan kemanfaatan yang besar bagi umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sumber:
– http://en.wikipedia.org
– VOA Indonesia
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com

Raja Salman bin Abdul Aziz dan Komitmennya Terhadap Syariat Islam

Raja Salman bin Abdul Aziz dan Komitmennya Terhadap Syariat Islam 

Pemimpin yang shaleh adalah idaman bagi orang-orang yang beriman. Ketika seorang pemimpin memiliki kecakapan dalam tata negara, ditambah memiliki keshalehan, maka itu adalah karunia yang sangat besar yang Allah berikan bagi penduduk suatu negeri. Dan karunia itu kian bertambah, apabila sang pemimpin adalah orang yang memiliki perhatian terhadap agama, penegakan syariat, dan dakwah tauhid.

Kerajaan Arab Saudi adalah sedikit dari negeri yang diberikan Allah karunia besar tersebut. Raja-raja mereka begitu memiliki perhatian yang besar terhadap Islam dan kaum muslimin. Mereka membangun percetakan Alquran kemudian menyebarkannya ke berbagai negeri kaum muslimin, membantu pembangunan fasilitas pribadatan dan fasilitas publik, dll. Tidak heran, rakyatnya pun meneladani prilaku pemimpin mereka. Karenanya, sering kita dengar orang-orang di negeri kita mengajukan permintaan bantuan dana ke orang-orang Arab Saudi untuk kepentingan dakwah, karena mereka dikenal loyal dalam hal ini.

Setelah sebelumnya membahas tentang keahlian Raja Salman bin Abdul Aziz dalam dunia kepemimpinan dan diplomasi, berikut ini adalah sedikit kisah sisi relijius raja Arab Saudi yang baru tersebut.

Raja Salman dan Kecintaannya Kepada Alquran

Sebagaimana tradisi kerajaan-kerajaan Islam sedari dulu, anak-anak raja dan para pangeran disekolahkan di sekolah khusus kerajaan, demikian juga dengan Raja Salman bin Abdul Aziz. Ia pertama kali menimba ilmu di Madrasah Umara (Princes’ School) di Riyadh. Di sana ia mempelajari ilmu agama dan sains modern.

Di Madrasah Umara, Raja Salman bin Abdul Aziz berhasil menghafalkan 30 juz Alquran saat usianya masih 10 tahun. Saat itu, kepala sekolah Madrasah Umara adalah Syaikh Abdullah al-Khayyath, imam dan khotib Masjid al-Haram sekarang. Oleh karena itu, sama seperti pimpinan-pimpinan Arab Saudi lainnya, Raja Salman menaruh perhatian yang sangat besar dalam memotivasi anak-anak Arab Saudi untuk menghafalkan kitabullah.

Wujud perhatian beliau terhadap Alquran adalah dengan adanya Musabaqoh al-Amir Salman bin Abdul Aziz li Hifzhi-l Quran yang telah diselenggarakan sebanyak 17 kali di Riyadh. Musabaqoh Alquran ini berada dibawah bimbingan Kementrian Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad (Menteri Agama) Arab Saudi. Sehingga diadakan merata di setiap wilayah kerajaan dengan dukungan gubernur masing-masing wilayah.

Menurut Menteri Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad (Menteri Agama) Arab Saudi, Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh, lomba ini bertujuan: 

(1) Perhatian besar Kerajaan Arab Saudi terhadap Alquran al-Karim baik menghafalkannya, membacanya dengan tajwid yang benar, dan tafsirnya, 
(2) Sebagai penyemangat bagi putra-putri Arab Saudi untuk menerima Kitabullah baik dalam menghafal, memahami, mengamalkan, dan menadabburinya, 
(3) Membangkitkan semangat agar berlomba-lomba dalam menghafalkan Alquran dan menjaganya, dan 
(4) Berkontribusi mempererat hubungan umat dengan sumber kemulian mereka di dunia dan akhirat.

Komitmen Terhadap Alquran dan Sunnah dengan Pemahaman Salaf ash-Shaleh

Dalam beberapa kali kesempatan, sebelum menjadi raja, Salman bin Abdul Aziz sering menyatakan bahwa Kerajaan Arab Saudi berdiri dengan asas syariat Islam dalam undang-undang dan sikap politiknya. Kerajaan ini juga senantiasa menolong agama Allah, berkhidmat untuk dua tanah suci, dan kaum muslimin secara umum.

Beliau mengatakan bahwa dari awal beridirnya, kerajaan ini telah berbaiat untuk berpegang teguh dengan pemahaman agama Islam yang benar secara manhaj (teori) dan praktiknya. Baik dalam hukum, asas politik, dan sosial kemasyarakatan. Hal ini telah dibuktikan dalam kurun perjalanan panjang sejarah kerajaan.

Dalam sebuah risalahnya kepada Dr. Muhammad al-Hasyimi dan Dr. Abdurrahman al-Furaih, sebagai kelanjutan penjelasannya dalam kuliah umum di Universitas Islam Madinah tahun 2008, Raja Salman mengatakan, “Kerajaan Arab Saudi berdiri dengan asas al-Kitab dan as-sunnah bukan berdasar hukum-hukum kabilah atau ideologi-ideologi buatan manusia. Kerajaan ini berdiri dengan berasaskan akidah Islam sejak lebih dari 270 tahun lalu, ketika al-Imam Muhammad bin Suud dan Syaikh Muhammad bin Abdullah Wahab –rahimahumallahu- menyebarkan Islam dan menegakkan agama Allah ‘Azza wa Jalla

…Oleh karena berpegang pada asas inilah, musuh-musuh negeri ini senantiasa menyerangnya sejak dari awal berdirinya hingga hari ini. Mereka menggunakan istilah-istilah yang menjelekkan dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan kepada Islam sesuai dengan Alquran dan as-sunnah. Muncullah istilah wahabi untuk mendistorsi sejarah kerajaan ini. Lalu mereka kaitkan istilah tersebut dengan sebuah sekte (Khawarij pen.) yang muncul di Afrika Utara yang dibawa oleh Abdul Wahab bin Rustum pada abad ke-2 H atau abad ke-8 M. Kelompok ini dikenal menyimpang secara akidah dan keluar dari tuntunan sunnah Nabi kita al-Mushtofa ‘alaihi ash-shalatu wa salam. Dan Dr. Muhammad bin Sa’d asy-Syuwa’ir telah menjelaskan kekeliruan penisbatan sejarah istilah ini secara historis dalam bukunya Tash-hih Khata-i Tarikhi Haula al-Wahabiyah.

Pada tahun 1365 H/1946 di Mina, Raja Abdul Aziz telah menjelaskan kepada para pimpinan jamaah haji tentang prinsip dasar kerajaan. Raja Abdul Aziz mengatakan, “Orang-orang menyebut kami adalah wahabi, padahal sebenarnya kami adalah salafi yang menjaga agama kami dan mengikuti Kitabullah dan sunnah Rasulullah”. Itulah asas Kerajaan Arab Saudi sejak pertama kali berdiri. Yang jadi pertanyaan, bisakah orang-orang yang membaca karya-karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Agar tuduhan yang dilemparkan ini memang terbukti.

Meluruskan Istilah Wahabi

Saat menjadi Gubernur Riyadh, Raja Salman bin Abdul Aziz menantang orang-orang yang menggelari Kerajaan Arab Saudi dengan sebutan wahabi. Beliau mengatakan, “Musuh-musuh dakwah (Islam) menggelari dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan sebutan wahabi, padahal kami tidak mengenal yang demikian”.

Dalam sebuah press conference, Salman bin Abdul Aziz –sewaktu masih menjabat Gubernur Riyadh- berbicara di hadapan para wartawan, “Saya berbicara kepada kalian hari ini, di sebuah daerah yang menjadi tempat munculnya dakwah yang dipimpin oleh al-Imam Muhammad bin Suud dan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (Propinsi Dir’iyah). Apa yang mereka serukan adalah dakwah Islam yang tidak ada penyimpangan maupun ketidak-jelasan di dalamnya”. Kemudian beliau menambahkan, “Saya tantang (orang-orang yang menuduh dakwah ini menyimpang pen.) untuk menemukan satu huruf saja dari buku-buku karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau dalam risalahnya, yang menyelisihi Kitabullah atau sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!”

Beliau menjelaskan, “Muncul dan berdirinya Kerajaan Arab Saudi dibangun oleh al-Imam Muhammad bin Suud dan dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Dakwahnya adalah dakwah yang bersih (dari kesesatan), yang bersumber kepada Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada selain dari kedua hal itu”.

Pandangannya Terhadap Demokrasi

Pada tahun 2010, Raja Salman pernah diwawancarai oleh Karen Elliot House, penulis buku On Saudi Arabia: Its People, Religion, Fault Lines. Raja mengatakan, “Jika Amerika bisa bersatu karena demokrasi, Arab Saudi pada dasarnya bersatu karena keluarga kerajaan”.
Sebagaimana telah disinggung dalam tulisan Raja Salman Pemersatu Arab Saudi, pengaruh kabilah kerajaan begitu diterima suku-suku atau kabilah-kabilah yang ada di Arab Saudi. Kerajaan berhasil menjadi wadah bagi setiap kabilah untuk bersama-sama mewujudkan pemerintahan yang islami.

Dalam Associated Press, House mengatakan bahwa Raja Salman juga mengatakan, “Kita tidak bisa memiliki demokrasi di Arab Saudi, jika kita melakukannya maka setiap kesukuan akan membentuk partai dan kemudian Arab Saudi akan bernasib seperti Irak yang kacau”.

Apa yang disampaikan oleh Raja Salman menunjukkan kepandaiannya dalam memberikan statement. Ia berbicara sesuai dengan tingkat pemahaman lawan bicaranya.

Dilansir Al Jazeera pada tahun 2007, Raja Salman menyampaikan statementnya di Kedutaan Amerika di Riyadh dengan mengatakan, “Kecepatan tingkat pembangunan tergantung pada faktor-faktor sosial dan budaya,… atas dasar alasan sosial –kecuali alasan agama- reformasi tidak bisa dipaksakan oleh (pemerintah Saudi) jika tidak, akan muncul reaksi negatif,… perubahan harus diperkenalkan dengan cara yang mengena dan tepat waktu. Demokrasi tidak boleh dipaksakan di Arab Saudi, karena negara ini terdiri dari suku-suku dan daerah. Jika demokrasi diberlakukan, masing-masing suku dan daerah akan memiliki partai politik”.

Pidato Pertama Sebagai Raja Arab Saudi

Di antara kalimat yang disampaikan oleh Raja Salman bin Abdul Aziz dalam pidato pertamanya:

Raja Salman mengawali pidatonya dengan pujian kepada Alllah dan shalawat kepada Rasul-Nya, kemudian ucapan bela sungkawa kepada anggota kerajaan dan seluruh rakyat Arab Saudi atas meninggalnya Raja Abdullah. Ia mengatakan:

“Segala puji bagi Allah, yang telah berfirman, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. (QS. Ar-Rahman: 26-27).

Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad, kepada keluarga dan juga sahabatnya… kemudian baru beliau sampaikan ucapan belasungkawa atas wafatnya Raja Abdullah bin Abdul Aziz rahimahullah. Raja Salman memuji pendahulunya tersebut atas dedikasi yang ia berikan dalam hidupnya kepada agama, negara, rakyat, dan dunia Islam secara umum.

Beliau menyampaikan, “Kami akan melanjutkan –dengan rahmat dan pertolongan dari Allah- meniti jalan yang benar dan tidak akan pernah menyimpang darinya, yaitu melanjutkan konstitusi kami berdasarkan Alquran dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

“Kami akan melanjutkan kebijakan negara ini, negara yang telah Allah utamakan dengan memilihnya sebagai tempat risalah (Nabi-Nya) dan kiblat (kaum muslimin), untuk meningkat persatuan dan mempertahankan negara. Dengan bimbingan dari Allah berdasarkan syariat Islam sebagai agama damai, kasih sayang, dan moderat”. Kata Raja Salman.

Ia melanjutkan, “Saya memohon kepada Allah agar senantiasa membimbing saya dalam melayani rakyat, mewujudkan harapan mereka, menjaga keamanan dan stabilitas negara kita, serta melindunginya dari kejahatan. Sesungguhnya Allah mampu melakukan yang demikian, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya”.

Penutup

Dari apa yang penulis sampaikan, kita sadar bahwa kepemimpinan yang sama persis dengan khalifah rasyid hanya akan terjadi di akhir zaman kelak, di masa Imam Mahdi. Usaha-usaha dan komitmen yang dilakukan pemerintah Arab Saudi sekarang untuk berpegang kepada Alquran dan sunnah sudah sangat kita apresiasi. Tidak ada negara di dunia ini, yang menerapkan syariat Islam lebih dari apa yang mereka lakukan. Sampai salah seorang polisi syariah di Arab Saudi pun tidak merasa betah dan jengah ketika berada di salah satu negeri Teluk luar Arab Saudi, karena ia menyaksikan pemandangan mall dan pasar-pasar yang masih penuh saat memasuki waktu shalat. Itu perbandingan negeri Teluk di luar Arab Saudi, bagaimana dengan selain negara-negara Arab di luar Teluk yang lebih bebas? Bagaimana lagi dengan selain negara-negara Arab, seperti di negara kita?

Semoga Allah tetap menjaga kerajaan ini dan meningkatkan peranannya untuk Islam dan kaum muslimin. Dan semoga Allah memperbaiki negara kita, memberi taufik kepada pemimpin-pemimpin dan rakyat-rakyatnya.Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)Artikel www.KisahMuslim.com

India keen on deepening strategic ties with Russia: Pranab Mukherjee

India keen on deepening strategic ties with Russia: Pranab Mukherjee


India keen on deepening strategic ties with Russia: Pranab Mukherjee


Sejarah Pengkhianatan al-Saud 

http://hizbut-tahrir.or.id/2007/06/01/pengkhianatan-penguasa-saudi-dulu-dan-kini/ 

Pengkhiatan telah berakar dalam di tubuh Kerajaan Saudi, yakni sejak keluarga Saudi memainkan peran langsungnya atas kehancuran Khilafah dan pembentukan negara Israel. Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris melakukan kontak-kontak dengan Ibnu Saud tahun 1851 untuk berhubungan dengan pihak-pihak yang dianggap pantas untuk menjadi penentang Khilafah yang beribukota di Istanbul. Keluarga Saudi pada saat itu adalah segerombolan bandit yang terlibat dalam percekcokan kesukuan, namun dengan uang dan senjata dari Inggris. Ibnu Saud mampu mengkonsolidasikan posisinya di wilayah-wilayah kunci di semenanjung Arab dan akhirnya di seluruh semenanjung itu. Ini terlihat pada perjanjian yang ditandatangani oleh Inggris tahun 1865. Ketika itu Inggris menginginkan sekutunya di wilayah itu untuk memberikan pijakan pada wilayah Kekhalifahan Usmaniah yang sedang sekarat. Sebagai imbalannya, Ibnu Saud menginginkan bantuan logistik dan militer Inggris untuk mengacaukan Kekhalifahan dari dalam.
Inggris memberikan Ibnu Saud sedikit subsidi yang dipakai untuk memperluas dan mempertahankan pasukan Wahabi. Pasukan ini adalah tulang punggung pasukan Ibnu Saud untuk melawan Khilafah. Ibnu Saud berusaha untuk memperoleh legitimasi dengan memakai gerakan Wahabi, pengikut Muhammad ibnu Wahab, yang berkeyakinan bahwa tanah Arab perlu dibersihkan dengan opini Islamnya. Ibnu Wahab menggunakan Wahabi untuk memberikan kredibilitas agama atas kebijakan pro-Inggrisnya. kaum Wahabi melihat kesempatan ini untuk melihat interpretasinya atas Islam agar menjadi mazhab yang dominan di wilayah itu.
Tahun 1910 keluarga al-Saud menjadi orang-orang yang lebih penting lagi bagi Inggris ketika mereka memberontak terhadap Kekhalifahan Usmani, dengan dukungan Inggris, dengan menyerang saudara sepupunya Ibnu Rashid yang mendukung Khilafah. Subsidi yang tadinya kecil menjadi bertambah dan sekomplotan penasihat dikirim untuk membantu gerakan Ibnu Saud.
Pemberontakan Arab (1916-1918) diawali oleh Syarif Hussein ibnu Ali dengan restu penuh Inggris. Tujuannya adalah untuk memisahkan semenanjung Arab dari Istanbul. Perjanjian ini diakhiri pada bulan Juni 1916 setelah dilakukan surat-menyurat dengan Komisi Tinggi Inggris Henry McMahon yang mampu meyakinkan Syarif Hussein akan imbalan yang diterimanya atas penghianatannya terhadap Kekhalifahan, yakni berupa tanah yang membentang dari Mesir dan Persia; dengan pengecualian penguasaan kerajaan  di wilayah Kuwait, Aden, dan pesisir Syria. Pemerintah Inggris di Mesir langsung mengirim seorang opsir muda untuk bekerja bersama orang Arab. Orang itu adalah Kapten Timothy Edward Lawrence, atau yang dikenal dengan nama Lawrence dari Arab.
Setelah kekalahan Kekhalifahan Usmani tahun 1918 dan keruntuhan sepenuhnya tahun 1924, Inggris memberikan kontrol penuh atas negara-negara yang baru terbentuk, yakni Irak dan Trans-Jordan, kepada anak laki-laki Syarif Hussein yaitu Faisal dan Abdullah seperti yang sebelumnya dijanjikan. Keluarga al-Saud berhasil membawa seluruh Arab di bawah kontrolnya tahun 1930. Pandangan Inggris atas nasib Arab menyusul kekalahan Khilafah tercermin pada kata-kata Lord Crewe bahwa ia menginginkan, “Arab yang terpecah menjadi kerajaan-kerajaan di bawah mandat kami.” Untuk peran itu, keluarga Saudi menerimanya dengan senang hati.
Keluarga Saudi langsung bersekongkol dengan Inggris untuk menghancurkan Khilafah. Jika tidak terlalu buruk keluarga Saud juga akan langsung bersekongkol dengan Zionis untuk mendirikan Israel. Raja Abdullah 1 dari Trans-Jordan yang diciptakan Inggris mempelajari kemungkinan itu dengan David Ben Gurion (Perdana Menteri Israel yang pertama) di Istanbul tahun 1930-an. Abdullah menawarkan untuk menerima pendirian Israel. Sebagai imbalannya, dia akan menerima Jordania di bawah kontrol penduduk Arab di Palestina. Tahun 1946 Abdullah mengungkapkan minatnya untuk menguasai wilayah Arab di Palestina. Dia tidak berniat untuk menentang atau menghalangi pembagian Palestina dan pendirian negara Israel, seperti yang digambarkan oleh seorang sejarawan.
Saudaranya Raja Faisal dari Irak bahkan melebihi pengkhiatan Abdullah. Ketika itu, pada tahun 1919 Faisal menandatangani Perjanjian Faisal-Weizmann, dengan Dr. Chaim Weizmann, Presiden organisasi Zionis Dunia; dialah yang menerima dengan syarat Deklarasi Balfour berdasarkan janji yang dipenuhi oleh Inggris pada masa perang untuk kemerdekaan Arab.
Sejak tahun 1995 Saudi Arabia telah mengimpor $64.5 miliar dalam bentuk persenjataan, yang jauh melebihi pengimpor kedua terbesar, Taiwan, yang melakukan transaksi hanya sebesar $20.2 untuk persenjataan. Namun, tidak satu pun senjata-senjata itu yang digunakan untuk pertahanan bagi kaum Muslim atau di area konflik tempat kaum Muslim ditindas. Satu-satunya saat bagi Saudi ikut terlibat perang adalah ketika terjadi Perang Teluk. Saat itu, dia terlibat dalam mendukung koalisi terhadap Irak dan selama PD I. Pembatalan yang baru-baru ini dilakukan antara Saudi dan Inggris menunjukkan, bahwa keluarga Saudi tidak pernah berkeinginan untuk membela kepentingan kaum Muslim. Mereka hanya membeli persenjataan untuk memastikan berlanjutan industri persenjataan tuan-tuannya di Barat, sementara mereka tetap mengkhianati umat. [Riza Aulia; sumber www.khilafah.com]

Pengkhianatan Penguasa Saudi (Dulu dan Kini)

Dalam pidato pembukaan KTT Liga Arab yang dilangsungkan di Riyadh tanggal 28 Maret 2007, Raja Abdullah Ibnu Saud mengatakan bahwa kesengsaraan yang dialami bangsa Arab adalah akibat perselisihan yang kerap terjadi di antara para penguasa Arab. Padahal mereka hanya dapat mencegah “kekuatan asing untuk merumuskan masa depan wilayah itu”  jika mereka bersatu. Kemudian dia melanjutkan pidatonya tentang  sejarah Liga Arab, “Pertanyaannya adalah, apa yang telah kita lakukan dalam tahun-tahun belakangan ini untuk menyelesaikan semua permasalahan itu? Saya tidak ingin menyalahkan Liga Arab karena ia adalah sebuah entitas yang mencerminkan kondisi kita secara menyeluruh. Kita seharusnya menyalahkan diri kita sendiri; kita semua; pemimpin bangsa-bangsa Arab. Perbedaan-perbedaan kita yang permanen, penolakan kita untuk mengambil jalan persatuan, semuanya itu menyebabkan negara-negara Arab kehilangan kepercayaan diri dan kredibilitas serta kehilangan harapan pada masa kini dan masa depan kita.”
 
Dia lalu menggambarkan beberapa persoalan yang dihadapi oleh Dunia Islam, “Di Irak yang kita cintai, pertumpahan darah terjadi di antara saudara-saudara kita, dibayangi oleh pendudukan asing yang ilegal, dan kebencian sektarianisme yang menjurus pada perang saudara…Di Palestina, banyak orang menderita karena penindasan dan pendudukan. Sangat mendesak untuk mengakhiri blokade yang diberlakukan atas bangsa Palestina sehingga proses perdamaian dapat terus berjalan dalam kondisi tanpa penindasan.”

Apa yang digarisbawahi oleh Raja Abdullah dalam pidato pembukaanya tentang problem masa kini yang dihadapi kaum Muslim sudah sangat dimengerti oleh kaum Muslim di seluruh dunia. Namun, Dia melupakan peran yang telah dimainkannya, juga peran keluarga Saudi dalam menciptakan dan memperpanjang isu-isu semacam itu. Keluarga Saudi memiliki riwayat panjang terkait dengan pengkhianatan mereka terhadap umat. Mereka justru telah memainkan peran pentingnya dalam mencegah persatuan di Dunia Islam. 

Mulai awal tahun 2006, Raja Abdullah telah mencetuskan inisiatif perdamaian yang akan mengakui Israel jika negara itu mengembalikan tanah yang dirampasnya pada perang tahun 1967. Untuk itu, Raja Abdullah bersedia menjadi perantara pada perjanjian antara Pemerintahan Hamas dan Fatah. Raja Abdullah menunjukkan sikap yang sebenarnya ketika Israel menginvasi Libanon pada bulan Juli 2006. Saat itu, pada pertemuan KTT Liga Arab dia bersama Yordania, Mesir, beberapa negara Teluk dan Otoritas Palestina, menghukum Hizbullah atas tindakannya yang dianggap tidak diharapkan, tidak pantas dan tidak bertanggung jawab. Menlu Arab Pangeran Saud al-Faisal pada saat itu mengatakan, “Tindakan itu akan membawa keseluruhan wilayah ini kembali beberapa tahun mundur ke belakang. Kami tidak bisa menerima hal itu.” 

Saudi Arabia, bahkan meminta Sheikh terkemuka, Abdullah bin Jabrin, untuk mengeluarkan fatwa yang menyatakan tidak sahnya dukungan, bantuan dan doa bagi Hizbullah.

Pengkhianatan Penguasa Saudi (Dulu dan Kini)

Dalam pidato pembukaan KTT Liga Arab yang dilangsungkan di Riyadh tanggal 28 Maret 2007, Raja Abdullah Ibnu Saud mengatakan bahwa kesengsaraan yang dialami bangsa Arab adalah akibat perselisihan yang kerap terjadi di antara para penguasa Arab. Padahal mereka hanya dapat mencegah “kekuatan asing untuk merumuskan masa depan wilayah itu”  jika mereka bersatu. Kemudian dia melanjutkan pidatonya tentang  sejarah Liga Arab, “Pertanyaannya adalah, apa yang telah kita lakukan dalam tahun-tahun belakangan ini untuk menyelesaikan semua permasalahan itu? Saya tidak ingin menyalahkan Liga Arab karena ia adalah sebuah entitas yang mencerminkan kondisi kita secara menyeluruh. Kita seharusnya menyalahkan diri kita sendiri; kita semua; pemimpin bangsa-bangsa Arab. Perbedaan-perbedaan kita yang permanen, penolakan kita untuk mengambil jalan persatuan, semuanya itu menyebabkan negara-negara Arab kehilangan kepercayaan diri dan kredibilitas serta kehilangan harapan pada masa kini dan masa depan kita.”
 

Dia lalu menggambarkan beberapa persoalan yang dihadapi oleh Dunia Islam, “Di Irak yang kita cintai, pertumpahan darah terjadi di antara saudara-saudara kita, dibayangi oleh pendudukan asing yang ilegal, dan kebencian sektarianisme yang menjurus pada perang saudara…Di Palestina, banyak orang menderita karena penindasan dan pendudukan. Sangat mendesak untuk mengakhiri blokade yang diberlakukan atas bangsa Palestina sehingga proses perdamaian dapat terus berjalan dalam kondisi tanpa penindasan.”


Apa yang digarisbawahi oleh Raja Abdullah dalam pidato pembukaanya tentang problem masa kini yang dihadapi kaum Muslim sudah sangat dimengerti oleh kaum Muslim di seluruh dunia. Namun, Dia melupakan peran yang telah dimainkannya, juga peran keluarga Saudi dalam menciptakan dan memperpanjang isu-isu semacam itu. Keluarga Saudi memiliki riwayat panjang terkait dengan pengkhianatan mereka terhadap umat. Mereka justru telah memainkan peran pentingnya dalam mencegah persatuan di Dunia Islam. 


Mulai awal tahun 2006, Raja Abdullah telah mencetuskan inisiatif perdamaian yang akan mengakui Israel jika negara itu mengembalikan tanah yang dirampasnya pada perang tahun 1967. Untuk itu, Raja Abdullah bersedia menjadi perantara pada perjanjian antara Pemerintahan Hamas dan Fatah. Raja Abdullah menunjukkan sikap yang sebenarnya ketika Israel menginvasi Libanon pada bulan Juli 2006. Saat itu, pada pertemuan KTT Liga Arab dia bersama Yordania, Mesir, beberapa negara Teluk dan Otoritas Palestina, menghukum Hizbullah atas tindakannya yang dianggap tidak diharapkan, tidak pantas dan tidak bertanggung jawab. Menlu Arab Pangeran Saud al-Faisal pada saat itu mengatakan, “Tindakan itu akan membawa keseluruhan wilayah ini kembali beberapa tahun mundur ke belakang. Kami tidak bisa menerima hal itu.” 


Saudi Arabia, bahkan meminta Sheikh terkemuka, Abdullah bin Jabrin, untuk mengeluarkan fatwa yang menyatakan tidak sahnya dukungan, bantuan dan doa bagi Hizbullah.

Keluarga Saudi sering dalam beberapa kesempatan, bersama dengan kekuatan penjajah Barat, bahu-membahu dalam menyediakan dukungan aktif. Dalam Perang Teluk yang pertama, Raja Fahd dengan resmi memerintah-kan penggelaran pasukan Amerika di tanah Saudi. Kerajaan itu menjadi tuan rumah bagi 600,000 pasukan Sekutu hingga kas negara mengalami defisit. Amerika mengeluarkan $60 miliar pada Perang Teluk pertama. Kuwait membayar separuhnya dari anggaran itu. Saat ini, 5000 tentara AS masih bercokol di kerajaan itu sejak akhir Perang Teluk. Sejak 1999, kehadiran mereka telah menimbulkan kejengkelan bagi warga Saudi hingga dikeluarkannya “Memorandum Nasihat” setebal 46 halaman oleh 107 pemuka kelompok Wahabi kepada Raja Fahd. Memorandum tersebut mengkritik pemerintah atas korupsi dan pelanggaran lainnya serta  kebijakan pemerintah yang tetap membiarkan kehadiran tentara AS di tanah Saudi. Namun, jawaban yang diambil oleh Raja Fahd adalah menangkap mereka.

Keagungan Khilafah di Tangan Sulaiman Al-Qanuni

sulaiman al qanuni 

Sulaiman al-Qanuni lahir tahun 900 H, dan diangkat menjadi Khalifah setelah ayahnya wafat tahun 926 H, saat usianya 26 tahun. Pada zamannya, Negara Khilafah telah mencapai puncak kekuatan dan keluasan wilayahnya.

Dia telah menaklukkan Rodesia, 2 Shafar 929 H, dengan memanfaatkan masalah domestik Eropa, serta konflik di antara mereka, agar tidak membantu para rahib di pulau ini yang mereka kuasai. Para rahib itu pun berpindah ke Malta.

Semenanjung Krimea telah menjadi wilayah Khilafah ‘Utsmaniyyah tahun 939 H. Sebelumnya, wilayah ini dikuasai Tatar. Setelah terjadi konflik di antara para penguasanya, Khilafah ‘Utsmaniyyah akhirnya melibatkan diri, membantu wilayah tersebut, tetapi konflik di antara mereka belum reda, akhirnya wilayah ini pun diintegrasikan dengan wilayah Khilafah, dan masalahnya berhasil diselesaikan pada tahun 939 H.

Khalifah Sulaiman al-Qanuni juga pernah mengirimkan utusan khusus kepada Raja Austria untuk memintanya membayar jizyah. Namun, Raja justru membunuh utusan Khalifah. Ketika berita tersebut sampai ke kepada Khalifah, dia mengumpulkan pasukannya, dan memimpin pasukan tersebut untuk menyerang Austria. Dia memasuki kota Belgrad, setelah melakukan pengepungan singkat. Kota ini pun akhirnya ditinggalkan oleh tentara Austria.

Pada tahun 931 H, dia mengutus ibukota Aflak. Amirnya dibawa ke Istambul, ibukota Khilafah ‘Utsmaniyyah. Karena wilayah ini sebelumnya mengakui kekuasaan Khilafah ‘Utsmaniyyah, dan bersedia membayar jizyah kepada Khilafah. Namun, beberapa pihak telah berhasil melawannya dengan bantuan Amir Transilvania, kemudian mereka mengangkat Amir baru. Khalifah pun setuju, dengan tambahan jizyah.

Raja Perancis pernah meminta bantuan Khalifah Sulaiman al-Qanuni untuk melawan Raja Austria. Raja Prancis mengirimkan utusannya untuk menemui Khalifah ‘Ustmaniyyah dalam kaitannya dengan urusan ini. Khalifah pun menjanjikan bantuan kepadanya. Memang, Khalifah pun memimpin 100 ribu personel tentara tahun 932 H, ditambah 800 kapal perang yang bertolak ke sungai Danub. Khalifah telah menjadikannya sebagai pangkalan militer di Kota Belgrad.

Raja Luis telah berhasil dibunuh, dan masuk ibukota Buda, 3 Dzilhijjah 932 H. Amir Transilvania, John Zabula, diangkat sebagai penguasa Austria. Khalifah pun setelahnya kembali ke Istambul. Hanya saja, setelah Khalifah kembali ke Istambul, tahun 933 H, Raja Ferdinand, saudara Raja Austria, Charlkan, mengklaim Austria, lalu menyerang ibukota Buda. John Zabula pun kalah. Maka, tahun 935 H, Khalifah berangkat ke sana, mengepung Buda. Raja Ferdinand pun melarikan diri menuju ke Wina. Khalifah pun mengejarnya, dan mengepung kota tersebut.

Tanggal 20 Shafar 937 H, Khalifah pun menginstruksikan untuk menyerang Wina. Pada tahun 938 H, Raja Austria mengirimkan pasukan untuk membantu Buda, namun tidak sanggup melawan benteng ‘Utsmaniyyah. Pada tahun 939 H, Khalifah memutuskan untuk kembali. Pada saat yang sama, Raja Chalrkan telah menyiapkan armada tempurnya, sehingga berhasil merebut beberapa kepulauan Yunani, dan beberapa wilayah ‘Utsmaniyyah. Setelah itu, terjadilah Perjanjian antara Austria dengna Khalifah ‘Utsmaniyyah.

Di zamannya, Amerika Serikat juga pernah membayar jizyah. Dialah yang pertama kali menetapkan UU negara, dengan menjadikan kitab Multaqa al-Abhur, sebagai kitab UU yang diberlakukan di dalamnya. Karena itu, dia dijuluki al-Qanuni.

Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik dan Musuh Politik Bani Umayyah

Sulaiman bin Abdul Malik menjadi khalifah pada tahun 96-99 H/715-717 M. Dia lahir di Madinah 54 H/674 M, lalu tumbuh dan berkembang di Syam. Dia lebih menyukai kawasan pedalaman, dan banyak menetap di sana. Di sana dia membangun istana untuk persinggahan. Dia khalifah yang sangat taat, adil, wara’, takut kepada Allah dan bertakwa, meski sangat suka berperang.

Ketika saudaranya menjadi khalifah, dia dijadikan pembantunya. Sulaimanlah yang mendorong saudaranya, saat menjadi khalifah, untuk membangun masjid Jamik Amawi di Damaskus. Dia diangkat menjadi wali di Palestina sampai saudaranya mangkat. Saat pengambilan baiat untuknya di Damaskus, dia masih berada di Ramallah, Palestina.

Ketika menjadi khalifah, kebijakannya yang paling menonjol adalah memberhentikan beberapa tokoh penting yang sebelumnya berjasa pada negara. Sebut saja, Muhammad bin al-Qasim, Qutaibah bin Muslim dan Musa bin Nushair. Mereka semuanya diberhentikan setelah al-Hajjaj bin Yusuf meninggal dunia, sebelum dia menjadi khalifah. Diberhentikannya tokoh-tokoh penting ini menandai era baru, setelah Khilafah Umayyah berhasil melakukan penaklukan, terciptanya stabilitas dan keamanan di dalam negeri.

Kebijakan ini juga merupakan langkah penting Khalifah untuk melakukan rekonsiliasi politik. Lawan-lawan politik yang sebelumnya telah dijadikan tahanan politik, khususnya kalangan non-Arab, yang jumlahnya mencapai ribuan, telah dibebaskan. Mereka kemudian direkrut menjadi tentara. Kompensasi yang diberikan kepada tiap invidu rakyat ditingkatkan, sehingga masing-masing mendapatkan 25 dirham/bulan. Tak pelak, kebijakan ini membuat Sulaiman bin Abdul Malik dicintai dan dielu-elukan oleh rakyatnya.

Tokoh-tokoh yang diberhentikan, seperti Musa bin Nushair, misalnya, masih diberi tempat. Tidak serta merta dibuang. Dia masih dimintai nasihat, bahkan diajak bersama-sama mengikuti rombongan haji dengan Khalifah (97 H/716 M). Musa kemudian meninggal dunia di Madinah. Ada yang mengatakan meninggal di Wadi Qura.

Di wilayah Timur, negara disibukkan untuk memadamkan gerakan yang mulai tampak di hadapannya. Seperti gerakan Khawarij, gerakan Yazid bin al-Mulhib, termasuk perselisihan di antara bangsa Arab di Khurasan. Kondisi inilah yang kemudian dieksploitasi oleh keturunan ‘Abbasiyah untuk kepentingan mereka. Mereka mulai melakukan aksi-aksi rahasia mereka.

Kondisi inilah, yang antara lain, memengaruhi aktivitas penaklukan di zamannya, yang tidak segencar era sebelumnya. Namun, Khalifah yang wara’ dan adil ini mampu mempertahankan wilayahnya. Seluruh kemampuannya dikerahkan untuk mengokohkan kedudukan kaum Muslim di wilayah-wilayah tersebut. Khususnya di wilayah Timur. Dengan keadilan, kewara’an, ketakwaan dan perhatiannya yang begitu besar kepada rakyatnya, serta kebijakannya yang sangat simpatik dan manusiawi kepada musuh-musuh politik Bani Umayyah sebelumnya, masalah-masalah yang dihadapi Khalifah tadi masih bisa diatasi.

Namun, tidak berarti di zamannya sama sekali tidak terjadi penaklukan. Karena penaklukan terus dilakukan ke arah Bizantium. Tahun 96 H/715 M, benteng perbatasan Bizantium dengan Khilafah Umayyah berhasil ditaklukkan. Tahun berikutnya, 97 H/716 M, benter Mar’ah juga telah berhasil ditaklukkan. Khalifah juga menyiapkan kampanye besar-besar dengan serangan laut yang dipimpin oleh Umr bin Hubairah al-Fazari.

Saat itu, dia sanggup menghimpun 180 ribu tentara dari penduduk Syam, Jazirah Arab, Mousul, ditambah 1.800 divisi maritim. Pasukan bergerak hingga ke Anatolia, lalu sampai di Amuriah, dan berhasil mengepungnya. Pasukan ini bergerak di selat Dardanela dan Laut Marmara. Jalur perdagangan yang mengarah ke Laut Hitam pun berhasil ditutup, sehingga membuat Bizantium kalang kabut. [Itulah, sepenggal kisah, kebijakan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik.]

India keen on deepening strategic ties with Russia: Pranab Mukherjee

India keen on deepening strategic ties with Russia: Pranab Mukherjee

India keen on deepening strategic ties with Russia: Pranab Mukherjee

 

India, Russia sign deal to provide enriched uranium for TAPS

NEW DELHI: India today signed another contract with Russia to provide enriched uranium for the Tarapur Atomic Power Station (TAPS).

The TVEL Fuel Company, a subsidary working under the aegis of Rosatom, Russia's atomic energy department, signed the contract with the India's Department of Atomic Energy for the supply of enriched uranium fuel pellets.

"A series of shipments is planned to be made in 2015 to the Nuclear Fuel Center in Hyderabad, a fuel assembly production site for the Tarapur Atomic Power Station. As part of cooperation with the DAE, TVEL also supplies its nuclear fuel for the first and second power units of Kudankulam Nuclear Power Plant under a life-cycle contract," said a Rosatom official.

In addition, the Russian-Indian cooperation extends to shipments of nuclear fuel components as TVEL supplies natural enriched uranium dioxide pellets for the Rajasthan Atomic Power Station (PHWR reactor).

The Tarapur Atomic Power Station (TAPS) is under IAEA safeguards. Located on the western coast near Mumbai, TAPS unit 1 and 2 are the only two Boiling Water Reactors (BWRs) in the country that require enriched uranium.

In 2014, TVEL signed fuel supply contracts with nuclear power stations in Hungary, Slovakia and Finland, and research reactors in the Netherlands, Czech Republic and Uzbekistan.

Thanks to recovering economy! India Inc may raise over Rs 70,000 cr via QIPs, IPOs, FPOs & rights issues


By Baiju Kalesh & Reena Zachariah, ET Bureau | 3 Mar, 2015, 06.49AM IST
Firms plan to raise Rs 52,986 crore through qualified institutional placement (QIPs) in 2015, according to an analysis.
Firms plan to raise Rs 52,986 crore through qualified institutional placement (QIPs) in 2015, according to an analysis.

Canara Bank

BSE
439.05
10.00(2.33%)
Vol: 119063 shares traded
NSE
439.15
10.20(2.38%)
Vol: 987121 shares traded
ET SPECIAL:
MUMBAI: Indian companies could raise more money as equity this year than in the past five as a benign market environment and a recovering economy raise hopes of a faster turnaround in business fortunes.
Firms plan to raise Rs 52,986 crore through qualified institutional placement (QIPs) in 2015, according to an analysis of corporate announcements on stock exchanges and conversations with merchant bankers and companies. This will be higher than Rs 31,684 crore raised last year. If one includes rights issues, follow-on offers and IPOs, the figure for 2015 could rise to over Rs 70,000 crore, the highest after 2010 when Rs 80,000 crore was raised. These figures don't include PSU selloff and offers for sale of these firms where money is not infused into the company.
"The time is perfect as the retail investors market is conducive with a strong line-up of IPOs around the corner," said Sanjay Sharma, MD and head of equities & capital markets at Deutsche Bank.
Indian stocks have risen 68% since the 2013 low of 17,903 in August and were the world's second best performers in 2014 after China with a 31% gain in dollar terms.

India's economy, touted as the brightest spot in Asia by S&P, is set to overtake China's in 2016 with a growth rate of 6.5% versus China's 6.3%, the International Monetary Fund said in its world economic outlook in January this year. Since then, India's GDP revisions have lifted the numbers with the government projecting growth to touch 8.5% in FY16, according to the Economic Survey.
"In the near term, we will see a lot of FPOs and QIPs," said Raj Balakrishnan, co-head (investment banking) Bank of America-Merrill Lynch. "But there is a lot of activity going on in the background with regards to documentation for IPO filing - there is a strong pipeline of IPOs and you will see considerable action in the second half of 2015." Banks and financial services companies are likely to lead the fundraising this year as well with State Bank of India alone contemplating a QIP of Rs 10,000-15,000 crore, followed by Bank of India, Punjab National Bank, Canara BankBSE 2.33 % and others.

Other non-financial majors likely to tap the market include JSW Energy with a Rs 5,000-crore QIP, Torrent Pharma with Rs 3,000 crore and Aurobindo PharmaBSE 0.40 % with Rs 2,100 crore.

FUND-RAISING AT ALL-TIME HIGH
Vikas Khemani, president and chief executive officer of Edelweiss Securities, who helped companies raise roughly Rs 15,000 crore, said fundraising could be at an all-time high helped by economic turnaround and a rush to deleverage. "I expect 60% of the funds raised could be from QIP and rest others," said Khemani, whose mandates for such issues have risen four-fold.
Other big issuances this year could be the proposed IPOs by private sector insurance biggies such as ICICI Prudential and HDFC Life. ICICI is considering a sale of minority stake to private equity firms while HDFC has already sold 1% to Azim Premji Trust. It is not clear when they will hit the market.
"It is a positive time to list and people who want exposure to financial services are looking to invest in insurance company stocks," said Amitabh Chaudhry, MD & CEO of HDFC Life. "There will be strong amount of interest from both domestic and international investors." In 2014, companies raised Rs 70,218 crore through various equity formats, including QIPs, ADRs/GDRs, preferential equity offers, IPOs and FPOs.

This calendar year, nearly Rs 15,256 crore has been raised compared with about Rs 20,000 crore last year.
The pipeline of IPOs waiting to be cleared by the Securities & Exchange Board of India is just over Rs 7,500 crore but it is not clear how many will receive clearances in time 
FUNDS FOR CAPEX & REPAYING DEBT

S Subramanian, managing director and head of investment banking at Axis Capital, a local investment bank owned by Axis BankBSE 1.50 %, estimates that fund-raising in 2015 will top last year's levels by at least 40-50%. Banks and infrastructure companies burdened with debt could lead issuances, he added. Axis CapitalBSE 9.99 % helped raise Rs 20,000 crore for companies last year.

Some of the money being raised will help pay down debt and fund expansion. Tata Motors, India's largest truck maker, said in January that it will raise Rs 7,500 crore through a rights issue to fund expansion of its trucks business. Public sector banks, saddled with debt, need money to set right their capital adequacy ratios.

"The IPO market will start reviving from April after a gap of three years and is expected to continue throughout the fiscal year," said S Ramesh, joint managing director at Kotak Investment Bank, which helped companies raise roughly Rs 30,000 crore in 2014. "The optimism is driven by Indian companies seeking to raise capital to fuel growth. Companies in which PE funds invested are ripe enough to get listed and promoters (are) open to dilute stake through a QIP for a healthier leverage ratio."

(With inputs from Shilpy Sinha)

India keen on deepening strategic ties with Russia: Pranab Mukherjee