Kamis, 29 Desember 2011

Amanat Presiden Soekarno pada peringatan maulid Nabi Muhammad saw. di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, tanggal 6 Agustus 1963 (Penerbitan Sekretariat Negara No. 618/1963). “Sore-sore saya dibawa oleh Presiden Suriah Sukri al-Kuwatly ke makam Salahuddin. Lantas Presiden Kuwatly bertanya kepada saya, apakah Presiden Soekarno mengetahui siapa yang dimakamkan di sini? Saya berkata, saya tahu, of course I know. This is Salahuddin, the great warrior, kataku. Presiden Kuwatly berkata, tetapi ada satu jasa Salahuddin yang barangkali Presiden Soekarno belum mengetahui. What is that, saya bertanya. Jawab Presiden Kuwatly, Salahuddin inilah yang mengobarkan api semangat Islam, api perjuangan Islam dengan cara memerintahkan kepada umat Islam supaya tiap tahun diadakan perayaan maulid nabi. Jadi sejak Salahuddin tiap-tiap tahun umat Islam memperingati lahirnya, juga wafatnya Nabi Muhammad saw. peringatan maulid nabi ini oleh Salahuddin dipergunakan untuk membangkitkan semangat Islam, sebab pada waktu itu umat Islam sedang berjuang mempertahankan diri terhadap serangan-serangan dari luar pada Perang Salib. Sebagai strateeg besar, saudara-saudara, bahkan sebagai massapsycholoog besar, artinya orang yang mengetahui ilmu jiwa dari rakyat jelata, Salahuddin memerintahkan tiap tahun peringatilah maulid nabi.....>>> Tidak ragu lagi bahwa kelahiran Nabi Saw termasuk hari-hari Allah, sehingga memperingatinya berarti melaksanakan perintah Allah. Perkara yang demikian bukanlah bid'ah, tetapi merupakan sunnah hasanah (tradisi baik), sekalipun tidak pernah ada pada masa Rasulullah Saw...>>>

Sejarah Maulid Nabi MUhammad SAW

by Rifky Liverpudlian on Monday, July 4, 2011 at 3:22am
SEJARAH MAULID NABI SAW
:Ada bermacam-macam versi kapan peringatan maulid pertama kali. Namun fakta yang sangat kuat adalah Salahudin al Ayyubi, dalam rangka menyemangati umat islam untuk perang salib, beliau-lah yang sangat menggalakkan peringatan Maulid ini. Beliau-lah yang mempopulerkannya. Entah siapapun yang memulai.

Maulid Nabi dan Semangat Perjuangan

SEBAGAI pembuka wacana, ada baiknya kita kutip amanat Presiden Soekarno pada peringatan maulid Nabi Muhammad saw. di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, tanggal 6 Agustus 1963 (Penerbitan Sekretariat Negara No. 618/1963).

“Sore-sore saya dibawa oleh Presiden Suriah Sukri al-Kuwatly ke makam Salahuddin. Lantas Presiden Kuwatly bertanya kepada saya, apakah Presiden Soekarno mengetahui siapa yang dimakamkan di sini? Saya berkata, saya tahu, of course I know. This is Salahuddin, the great warrior, kataku. Presiden Kuwatly berkata, tetapi ada satu jasa Salahuddin yang barangkali Presiden Soekarno belum mengetahui. What is that, saya bertanya. Jawab Presiden Kuwatly, Salahuddin inilah yang mengobarkan api semangat Islam, api perjuangan Islam dengan cara memerintahkan kepada umat Islam supaya tiap tahun diadakan perayaan maulid nabi.

Jadi sejak Salahuddin tiap-tiap tahun umat Islam memperingati lahirnya, juga wafatnya Nabi Muhammad saw. peringatan maulid nabi ini oleh Salahuddin dipergunakan untuk membangkitkan semangat Islam, sebab pada waktu itu umat Islam sedang berjuang mempertahankan diri terhadap serangan-serangan dari luar pada Perang Salib. Sebagai strateeg besar, saudara-saudara, bahkan sebagai massapsycholoog besar, artinya orang yang mengetahui ilmu jiwa dari rakyat jelata, Salahuddin memerintahkan tiap tahun peringatilah maulid nabi.

Sebagaimana dijelaskan dalam amanat Bung Karno di atas, peringatan maulid nabi untuk pertama kalinya dilaksanakan atas prakarsa Sultan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (memerintah tahun 1174-1193 Masehi atau 570-590 Hijriah) dari Dinasti Bani Ayyub, yang dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama “Saladin”. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.

Pada masa itu dunia Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa menjadi gereja! Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di Bagdad, sebagai lambang persatuan spiritual.

Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Dia mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad saw., 12 Rabiul Awal, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini dirayakan secara massal. Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.

Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Akan tetapi Salahuddin menegaskan bahwa perayaan maulid nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju. Maka pada ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan maulid nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far al-Barzanji*). Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan maulid nabi.

Ternyata peringatan maulid nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa menjadi masjid kembali sampai hari ini.

Jika kita membuka lembaran sejarah penyebaran Islam di Pulau Jawa, perayaan maulid nabi dimanfaatkan oleh para Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan maulid nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.

Dua kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan Kalijaga, Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di halaman Masjid Demak pada waktu perayaan maulid nabi. Sebelum menabuh dua gamelan tersebut, orang-orang yang baru masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu memasuki pintu gerbang “pengampunan” yang disebut gapura (dari bahasa Arab ghafura, “Dia mengampuni”).

Pada zaman kesultanan Mataram, perayaan maulid nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata gerebeg artinya “mengikuti”, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan maulid nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud, ada juga perayaan Gerebeg Poso (menyambut Idulfitri) dan Gerebeg Besar (menyambut Iduladha).


SEBAGAI pembuka wacana, ada baiknya kita kutip amanat Presiden Soekarno pada peringatan maulid Nabi Muhammad saw. di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, tanggal 6 Agustus 1963 (Penerbitan Sekretariat Negara No. 618/1963).

"Sore-sore saya dibawa oleh Presiden Suriah Sukri al-Kuwatly ke makam Salahuddin. Lantas Presiden Kuwatly bertanya kepada saya, apakah Presiden Soekarno mengetahui siapa yang dimakamkan di sini? Saya berkata, saya tahu, of course I know. This is Salahuddin, the great warrior, kataku. Presiden Kuwatly berkata, tetapi ada satu jasa Salahuddin yang barangkali Presiden Soekarno belum mengetahui. What is that, saya bertanya. Jawab Presiden Kuwatly, Salahuddin inilah yang mengobarkan api semangat Islam, api perjuangan Islam dengan cara memerintahkan kepada umat Islam supaya tiap tahun diadakan perayaan maulid nabi.

Jadi sejak Salahuddin tiap-tiap tahun umat Islam memperingati lahirnya, dan dikatakan oleh Pak Mulyadi tadi, juga wafatnya Nabi Muhammad saw. peringatan maulid nabi ini oleh Salahuddin dipergunakan untuk membangkitkan semangat Islam, sebab pada waktu itu umat Islam sedang berjuang mempertahankan diri terhadap serangan-serangan dari luar pada Perang Salib. Sebagai strateeg besar, saudara-saudara, bahkan sebagai massapsycholoog besar, artinya orang yang mengetahui ilmu jiwa dari rakyat jelata, Salahuddin memerintahkan tiap tahun peringatilah maulid nabi.

Sebagaimana dijelaskan dalam amanat Bung Karno di atas, peringatan maulid nabi untuk pertama kalinya dilaksanakan atas prakarsa Sultan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (memerintah tahun 1174-1193 Masehi atau 570-590 Hijriah) dari Dinasti Bani Ayyub, yang dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama "Saladin". Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.

Pada masa itu dunia Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa menjadi gereja! Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di Bagdad, sebagai lambang persatuan spiritual.

Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Dia mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad saw., 12 Rabiul Awal, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini dirayakan secara massal. Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.

Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Akan tetapi Salahuddin menegaskan bahwa perayaan maulid nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju. Maka pada ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan maulid nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan maulid nabi.

Ternyata peringatan maulid nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa menjadi masjid kembali sampai hari ini.

Jika kita membuka lembaran sejarah penyebaran Islam di Pulau Jawa, perayaan maulid nabi dimanfaatkan oleh para Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan maulid nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.

Dua kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan Kalijaga, Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di halaman Masjid Demak pada waktu perayaan maulid nabi. Sebelum menabuh dua gamelan tersebut, orang-orang yang baru masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu memasuki pintu gerbang "pengampunan" yang disebut gapura (dari bahasa Arab ghafura, "Dia mengampuni").

Pada zaman kesultanan Mataram, perayaan maulid nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata gerebeg artinya "mengikuti", yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan maulid nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud, ada juga perayaan Gerebeg Poso (menyambut Idulfitri) dan Gerebeg Besar (menyambut Iduladha).

Keunikan suku Quraisy

Hal yang menarik untuk kita kaji adalah mengapa nabi dan rasul terakhir bagi umat manusia dibangkitkan Allah dari kalangan suku Quraisy di Semenanjung Arabia? Jawaban atas pertanyaan ini diberikan oleh Allah sendiri dalam Alquran Surat Quraisy ayat pertama dan kedua yang berbunyi, "Karena tradisi suku Quraisy. Tradisi mereka mengembara di musim dingin dan di musim panas".

Kota suci Mekah pada mulanya bernama Baka atau Bakkah, sebagaimana tercantum dalam Ali Imran 96. Dalam bahasa Arab, kata baka mempunyai dua arti, "berderai air mata" dan "pohon balsam". Arti yang pertama berhubungan dengan gersangnya daerah itu sehingga seakan-akan tidak memberikan harapan, dan arti yang kedua berhubungan dengan banyaknya pohon balsam (genus commiphora) yang tumbuh di sana. Oleh karena huruf mim dan ba sama-sama huruf bilabial (bibir), nama Bakkah lama-kelamaan berubah menjadi Makkah.

Karena kota Mekah sangat gersang, orang-orang Quraisy penghuni kota itu tidak mungkin hidup dari sektor agraris (pertanian), melainkan harus mengembangkan sektor bisnis (perdagangan). Dibandingkan suku-suku lain di Semenanjung Arabia, suku Quraisy memiliki watak istimewa, tahan segala cuaca! Mereka memiliki tradisi (ilaf) gemar mengembara baik di musim dingin maupun di musim panas untuk berniaga.

Pada mulanya sebagian besar suku Quraisy memusuhi Islam sehingga Nabi Muhammad saw. dan para pengikut beliau harus meninggalkan kampung halaman berhijrah ke Madinah. Akan tetapi akhirnya seluruh orang Quraisy memeluk agama Islam, terutama setelah Rasulullah menguasai Mekah. Tradisi gemar mengembara dari suku Quraisy merupakan salah satu faktor yang ikut mempercepat penyebaran agama Islam. Hanya satu abad sesudah nabi wafat, pada pertengahan abad ke-8 kekuasaan Islam membentang dari Spanyol sampai Xinjiang.

Rupanya sudah menjadi sunnatullah (hukum Ilahi) bahwa suatu ide atau ajaran akan cepat berkembang luas apabila disebarkan oleh orang-orang yang gemar mengembara. Dalam sejarah tanah air kita, organisasi Muhammadiyah memiliki pengalaman serupa. Pada zaman pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan, organisasi dakwah yang lahir di Yogyakarta ini baru tersebar di Pulau Jawa. Muhammadiyah segera berkembang cepat ke seluruh Nusantara setelah disebarkan oleh dua suku pengembara, orang-orang Minangkabau dan orang-orang Bugis.

Gersangnya daerah Mekah membawa hikmah lain, dua kekuatan adikuasa pada zaman Nabi Muhammad saw., yaitu Romawi dan Persia, tidak berminat untuk menguasai Mekah. Demikian pula ketika pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 kolonial Inggris dan Prancis berbagi kekuasaan di Timur Tengah, daerah Mekah sama sekali tidaklah mereka jamah. Dari zaman nabi sampai sekarang, Kakbah (Rumah Allah) tidak pernah berada di bawah dominasi kekuasaan kelompok non-Muslim.

Ketika Nabi Ibrahim a.s. dan putera beliau Nabi Ismail a.s. mendirikan Rumah Allah, yaitu Kakbah sekarang, Nabi Ibrahim a.s. berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini aman sentosa, dan anugerahkanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari akhirat." (Surat Al-Baqarah 126). Doa Nabi Ibrahim a.s. tersebut dikabulkan oleh Allah secara kontinu sampai hari ini! Meskipun tanah Mekah gersang dan tidak memproduksi buah-buahan, para jemaah haji dapat menyaksikan sendiri bahwa buah-buahan apa pun jenisnya dapat kita jumpai di Mekah, mulai dari anggur Prancis sampai pisang Ekuador.

Air pun kini berlimpah di Mekah. Di samping sumber telaga Zamzam yang tidak pernah kering, pemerintah Arab Saudi menggunakan teknologi modern dalam menyediakan air bersih dari hasil penyulingan (destilasi) air laut. Dengan teknologi tinggi yang disebut flash distillation, tekanan diturunkan sedemikian rupa sehingga air laut mendidih pada suhu 50 derajat Celsius, lalu uap air yang sudah terpisah dari garam-garam dilewatkan melalui alat pengembun (kondensor) supaya cair kembali. Proses ini cukup murah sebab hemat energi. Di Jeddah pabrik penyulingan air laut semacam ini memproduksi 50 juta liter air bersih per hari, dan sebagian besar disalurkan ke Kota Mekah untuk keperluan para jemaah haji.

Sebagai penutup uraian, ada tiga kesimpulan yang patut kita petik. Pertama, perayaan maulid nabi kita selenggarakan untuk meningkatkan semangat juang dan sebagai alat dakwah. Kedua, Nabi dan rasul terakhir Muhammad saw. sengaja dibangkitkan Allah dari kota Mekah yang gersang, yang penduduknya bersifat gemar mengembara, untuk efektivitas penyebaran agama Allah. Ketiga, Allah senantiasa menganugerahi Mekah bahan makanan dan air yang berlimpah, serta melindungi kota suci itu dari dominasi kekuasaan kelompok lain. Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya. 
 

Bagaimana Hukum Membaca Al Barzanji ??

Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi (orang banjar menyebutnya *Ba-Mulud’an*) sudah melembaga bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap memasuki Rabi’ul Awwal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusi pendidikan, dan majelis taklim bersiap memperingatinya dengan beragam cara dan acara; dari sekadar menggelar pengajian kecil-kecilan hingga seremoni akbar dan bakti sosial, dari sekadar diskusi hingga ritual-ritual yang sarat tradisi (lokal).
Di antara yang berbasis tradisi adalah:
*Manyanggar Banua, Mapanretasi di Pagatan, Ba’Ayun Mulud (Ma’ayun anak) di Kab. Tapin, Kalimantan Selatan
*Sekaten, di Keraton Yogyakarta dan Surakarta,
*Gerebeg Mulud di Demak,
*Panjang Jimat *di Kasultanan Cirebon,
*Mandi Barokah *di Cikelet Garut, dan sebagainya.
Tradisi lain yang tak kalah populer adalah pembacaan Kitab al-Barzanji. Membaca Barzanji seolah menjadi sesi yang tak boleh ditinggalkan dalam setiap peringatan Maulid Nabi. Pembacaannya dapat dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengan notasi apa pun, karena memang tidak ada tata cara khusus yang mengaturnya.Al-Barzanji adalah karya tulis berupa prosa dan sajak yang isinya bertutur tentang biografi Muhammad, mencakup *nasab*-nya (silsilah), kehidupannya dari masa kanak-kanak hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimilikinya, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan manusia.
Judul aslinya adalah *’Iqd al-Jawahir *(Kalung Permata). Namun, dalam perkembangannya, nama pengarangnyalah yang lebih masyhur disebut, yaitu Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Dia seorang sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
*Relasi Berjanji dan Muludan
*Ada catatan menarik dari Nico Captein, seorang orientalis dari Universitas
Leiden, dalam bukunya yang berjudul *Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW *(INIS, 1994).
Menurutnya, Maulid Nabi pada mulanya adalah perayaan kaum Syi’ah Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti tersebut benar-benar keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di balik perayaannya.
Dari kalangan Sunni, pertama kali diselenggarakan di Suriah oleh Nuruddin pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak memperingati karena dinilai *bid’ah *(mengada-ada dalam beribadah).
Di Indonesia, tradisi Berjanjen bukan hal baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin *(sebutan untuk warga NU). Berjanjen tidak hanya dilakukan pada peringatanMaulid Nabi, namun kerap diselenggarakan pula pada tiap malam Jumat, padaupacara kelahiran, *akikah *dan potong rambut, pernikahan, syukuran, danupacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telahmenjadi kurikulum wajib.
Selain al-Barzanji, terdapat pula kitab-kitab sejenis yang juga bertutur tentang kehidupan dan kepribadian Nabi. Misalnya, kitab *Shimthual-Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (Syair Maulud Al-Habsy),
*al-Burdah, karya al-Bushiri dan
*al-Diba, karya Abdurrahman al-Diba’iy.
*Inovasi Baru
*Esensi Maulid adalah penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai satu-satunya idola teladan yang seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola menjadi miniatur dari idealisme, kristalisasi dari berbagai falsafah hidup yang diyakini. Penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di bulan Rabi’ul Awwal.
Kaitannya dengan kebangsaan, identitas dan nasionalisme seseorang akan lahir jika ia membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut agama akan ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya Kitab al-Barzanji merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial itu, yakni ‘menghidupkan’ tokoh idola melalui teks-teks sejarah.
Permasalahannya sekarang, sudahkah pelaku Berjanjen memahami bait-bait indah al-Barzanji sehingga menjadikannya ispirator dan motivator keteladanan?
Barangkali, bagi kalangan santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna tiap baitnya karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah kajian khusus terhadap referensi penjelas *(syarh) *dari al-Barzanji, yaitu kitab *Madarij al-Shu’ud *karya al-Nawawi al-Bantani, menjadikan pemahaman mereka semakin komprehensif.
Bagaimana dengan masyarakat awam? Tentu mereka tidak bisa seperti itu. Karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab itu bertutur tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya. Akibatnya, penjiwaan dan penghayatan makna al-Barzanji sebagai inspirator dan motivator hidup menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang tersakralkan.
Barangkali, kita perlu berinovasi agar pesan-pesan profetik di balik bait al-Barzanji menjadi tersampaikan kepada pelakunya (terutama masyarakat awam) secara utuh menyeluruh. Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah yang andal dan sastrawan-sastrawan ulung untuk mengemas bahasa al-Barzanji ke dalam konteks bahasa kekinian dan kedisinian. Selain itu, juga mempertimbangkan kesiapan masyarakat menerima inovasi baru terhadap aktivitas yang kadung tersakralkan itu.
Inovasi dapat diimplementasikan dengan menerjemahkan dan menekankan aspek keteladan. Dilakukan secara gradual pasca-membaca dan melantunkan syair al-Barzanji. Atau mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertakan bahasa Arab, kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti dipertunjukkan W.S. Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawan pada Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor, Senayan, Jakarta.
Sebagai pungkasan, semoga Barzanji tidak hanya menjadi ‘lagu wajib’ dalam upacara, tapi (yang penting) juga mampu menggerakkan pikiran, hati, pandangan hidup serta sikap kita untuk menjadi lebih baik sebagaimana Nabi.
Dan semoga, Maulid dapat mengentaskan kita dari keterpurukan sebagaimana Shalahuddin Al-Ayubi sukses membangkitkan semangat tentaranya hingga menangdalam pertempuran.
Garis Keturunannya:
Sayyid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Syed ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Syed ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a. dan Sayidatina Fatimah binti Rasulullah saw.
Dinamakan Al-Barjanzy karena dinisbahkan kepada nama desa pengarang yang terletak di Barjanziyah kawasan Akrad (kurdistan). Kitab tersebut nama aslinya ‘Iqd al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya kalung permata) sebagian ulama menyatakan bahwa nama karangannya adalah “I’qdul Jawhar fi mawlid anNabiyyil Azhar”. yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, meskipun kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.
Beliau dilahirkan di Madinah Al Munawwarah pada hari Kamis, awal bulan Zulhijjah tahun 1126 H (1960 M) (1766 beliau menghafal Al-Quran 30 Juz kepada Syaikh Ismail Alyamany dan Tashih Quran (mujawwad) kepada syaikh Yusuf Asho’idy kemudian belajar ilmu naqliyah (quran Dan Haditz) dan ‘Aqliyah kepada ulama-ulama masjid nabawi Madinah Al Munawwarah dan tokoh-tokoh qabilah daerah Barjanzi kemudian belajar ilmu nahwu, sharaf, mantiq, Ma’ani, Badi’, Faraidh, Khat, hisab, fiqih, ushul fiqh, falsafah, ilmu hikmah, ilmu teknik, lughah, ilmu mustalah hadis, tafsir, hadis, ilmu hukum, Sirah Nabawi, ilmu sejarah semua itu dipelajari selama beliau ikut duduk belajar bersama ulama-ulama masjid nabawi. Dan ketika umurnya mencapai 31 tahun atau bertepatan 1159 H barulah beliau menjadi seorang yang ‘Alim wal ‘Allaamah dan Ulama besar.
Kitab “Mawlid al-Barzanji” ini telah disyarahkan oleh al-’Allaamah al-Faqih asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji” yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.
Di samping itu, kitab Mawlid Sidi Ja’far al-Barzanji ini telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari dengan kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji”. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217H (1802M) dan wafat pada tahun 1299H (1882M).
Selain itu ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, an-Nawawi ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi “Mawlid al-Barzanji” dan karangannya itu dinamakannya “Madaarijush Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, telah juga menulis syarah bagi “Mawlid al-Barzanji” tersebut yang dinamakannya “al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Mawlidin Nabiyil Azhar”.
Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaa-il Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhau-il Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far al-Barzanji dalam kitabnya “ar-Raudhul A’thar fi Manaqib as-Sayyid Ja’far”.
Kembali kepada Sidi Ja’far al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan sahaja kerana ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdoa untuk hujan pada musim-musim kemarau. Diceritakan bahawa satu ketika di musim kemarau, sedang beliau sedang menyampaikan khutbah Jumaatnya, seseorang telah meminta beliau beristisqa` memohon hujan. Maka dalam khutbahnya itu beliau pun berdoa memohon hujan, dengan serta merta doanya terkabul dan hujan terus turun dengan lebatnya sehingga seminggu, persis sebagaimana yang pernah berlaku pada zaman Junjungan Nabi s.a.w. dahulu. Menyaksikan peristiwa tersebut, maka sebahagian ulama pada zaman itu telah memuji beliau dengan bait-bait syair yang berbunyi:-
سقى الفروق بالعباس قدما * و نحن بجعفر غيثا سقينا
فذاك و سيلة لهم و هذا * وسيلتنا إمام العارفينا
Dahulu al-Faruuq dengan al-’Abbas beristisqa` memohon hujan
Dan kami dengan Ja’far pula beristisqa` memohon hujan
Maka yang demikian itu wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini wasilah kami seorang Imam yang ‘aarifin
Sidi Ja’far al-Barzanji wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi s.a.w. Karangannya membawa umat ingatkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat kasihkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat rindukan Junjungan Nabi s.a.w. Setiap kali karangannya dibaca, pasti sholawat dan salam dilantunkan buat Junjungan Nabi s.a.w. Juga umat tidak lupa mendoakan Sayyid Ja’far yang telah berjasa menyebarkan keharuman pribadi dan sirah kehidupan makhluk termulia keturunan Adnan. Allahu … Allah.
اللهم اغفر لناسج هذه البرود المحبرة المولدية
سيدنا جعفر من إلى البرزنج نسبته و منتماه
و حقق له الفوز بقربك و الرجاء و الأمنية
و اجعل مع المقربين مقيله و سكناه
و استرله عيبه و عجزه و حصره و عيه
و كاتبها و قارئها و من اصاخ إليه سمعه و اصغاه
Ya Allah ampunkan pengarang jalinan mawlid indah nyata
Sayyidina Ja’far kepada Barzanj ternisbah dirinya
Kejayaan berdamping denganMu hasilkan baginya
Juga kabul segala harapan dan cita-cita
Jadikanlah dia bersama muqarrabin berkediaman dalam syurga
Tutupkan segala keaiban dan kelemahannya
Segala kekurangan dan kekeliruannya
Seumpamanya Ya Allah harap dikurnia juga
Bagi penulis, pembaca serta pendengarnya
و صلى الله على سيدنا محمد و على اله و صحبه و سلم
و الحمد لله رب العالمين
Dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi SAW dalam Islam (1991), sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel, menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi.
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, semisal hasil terjemahan HAA Dahlan atau Ahmad Najieh, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad SAW. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: “Natsar” dan “Nadhom”. Bagian “Natsar” terdiri atas 19 subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW, mulai dari saat-saat menjelang paduka dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian “Nadhom” terdiri atas 16 subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian “Nadhom”, misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan: Engkau mentari, engkau bulan/ Engkau cahaya di atas cahaya.
Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “untaian mutiara”.
Namun, bahasa puisi yang gemerlapan itu, seringkali juga terasa rapuh. Dalam karya Ja’far al-Barzanji pun, ada bagian-bagian deskriptif yang mungkin terlampau meluap. Dalam bagian “Natsar”, misalnya, sebagaimana yang diterjemahkan oleh HAA Dahlan, kita mendapatkan lukisan demikian: Dan setiap binatang yang hidup milik suku Quraisy memperbincangkan kehamilan Siti Aminah dengan bahasa Arab yang fasih.
Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadis, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam di berbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Sifatnya:
Wajahnya tampan, perilakunya sopan, matanya luas, putih giginya, hidungnya mancung,jenggotnya yang tebal,Mempunyai akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan sangat pemurah.
Seorang ulama besar yang berdedikasi mengajarkan ilmunya di Masjid Kakeknya (Masjid Nabawi) SAW sekaligus beliau menjadi seorang mufti Mahzhab Syafiiyah di kota madinah Munawwarah.
“Al-’Allaamah al-Muhaddits al-Musnid as-Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanji adalah MUFTI ASY-SYAFI`IYYAH di Kota Madinah al-Munawwarah. Banyak perbedaan tentang tanggal wafatnya, sebagian menyebut beliau meninggal pada tahun 1177 H. Imam az-Zubaidi dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash” menulis bahwa beliau wafat tahun 1184 H, dimana Imam az-Zubaidi pernah berjumpa dengan beliau dan menghadiri majelis pengajiannya di Masjid Nabawi yang mulia.
Maulid karangan beliau ini adalah kitab maulid yang paling terkenal dan paling tersebar ke pelosok negeri ‘Arab dan Islam, baik di Timur maupun di Barat. Bahkan banyak kalangan ‘Arab dan ‘Ajam (luar Arab) yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam waktu-waktu tertentu. Kandungannya merupakan khulaashah (ringkasan) sirah nabawiyyah yang meliputi kisah lahir baginda, perutusan baginda sebagai rasul, hijrah, akhlak, peperangan sehingga kewafatan baginda.
Wafat:
Beliau telah kembali ke rahmatullah pada hari Selasa, setelah Asar,4 Sya’ban, tahun 1177 H (1766 M). Jasad beliau makamkan di Baqi’ bersama keluarga Rasulullah saw.
Kitab maulid Barzanji sendiri telah disyarah (dijelaskan) oleh ulama-ulama besar seperti Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari yang mengarang kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al- Barzanji” dan Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi “Madaarijush Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”. (Mh/MM)
Sumber:
  Majlis Ta'lim Wad Da'wah
 
Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW  
Dikirim: [04/02/2011]
 
Umat islam di berbagai penjuru dunia sangat bersuka cita dengan masuknya bulan Rabiul Awwal, atau biasa disebut banyak orang sebagai bulan “Maulid”. Memang hal ini layak dan pantas sebab pada bulan inilah terjadinya Maulid (kelahiran) Nabi yang paling mulia, Nabi yang meliputi alam semesta dengan Risalah dan Rahmat-nya, Nabi yang paling banyak mendapat fadhail (keutamaan) dan keistimewaaan, beliaulah Nabi kita, Sayyiduna Muhammad bin Abdillah SAW.

Kemudian, bermula dari bulan kelahiran Nabi Muhammad inilah saat ini kaum muslimin serentak di berbagai daerah mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad, hampir sebulan penuh mereka mengisi hari-hari tersebut dengan mengumpulkan orang-orang membaca kitab Maulid, bersholawat, memuji Rasulullah dan mendengarkan ceramah agama kemudian menikmati hidangan.

Kesemuanya itu tidak lain adalah perwujudan kesenangan hatinya menyambut datangnya bulan yang mulia ini. Yang ujung-ujungnya bahwa semua ini adalah realisasi dari kecintaannya kepada Rasulullah saw.
Semua yang berkaitan dan berhubungan dengan beliau saw menjadi mulia. Semua yang dinisbatkan kepada beliau menjadi terhormat. Ini semata-mata karena kemuliaan dan kehormatan beliau SAW. Hari senin menjadi mulia karena pada hari itu dilahirkan Nabi Muhammad, Nabi yang paling mulia, bulan Rabiul Awwal menjadi bulan yang agung, ditunggu-tunggu kehadirannya oleh kaum muslimin, sebagaimana mereka menunggu Ramadhan, karena pada bulan Rabiul Awwal ini dilahirkan Nabi Muhammad yang ditunggu-tunggu seluruh alam persada. Karena beliaulah Nabi pembawa dan penyebar Rahmat untuk sekalian alam.

Telah menjadi kebiasaan dan tradisi di kalangan salafus Saleh setelah abad ke 3 Hijriyah merayakan peringatan maulid Nabi Saw yang agung. Mereka menghidupkan malam maulid dengan berbagai macam ketaatan dan ibadah pendekatan kepada Allah seperti memberi makan takir miskin, membaca Al Quran, membaca zikir-zikir, melantunkan puisi-puisi dan pujian-pujian tentang Rasulullah Saw.

Hal ini ditegaskan oleh beberapa ulama seperti Al-Hafizh Ibnu Jauzi, Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al Hafizh Ibnu Dihyah Al-Andalusi, Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan Sang Penutup huffazh (para penghapal hadits dalam jumlah yang sangat banyak) Jalaluddin Al-Suyuthi, semoga Allah Swt melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka.

Peringatan maulid semacam ini sudah dilakukan oleh kaum muslimin sejak zaman dahulu seperti yang telah kami sebutkan. Para imam, ulama dan masyarakat awam pun ikut memeriahkannya. Namun akhir-akhir ini banyak kita mendengar beberapa kelompok yang menyatakan bahwa peringatan Maulid ini adalah bid’ah yang mengarah kepada kesesatan dan akhirnya menuju neraka. Mereka kemudian memakai dalil yang mereka miliki untuk menguatkan pendapatnya ini. Diantaranya mereka berkata bahwa Peringatan seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat. Peringatan seperti ini hanya membuang-buang waktu dan harta (Israaf) dan lain sebagainya.

Benarkah argument ini?. Lantas apakah kegiatan yang sudah turun-temurun, generasi demi generasi ini harus dibubarkan dan dinyatakan sebagai kegiatan yang menyalahi agama dan pelakunya akan terseret dalam kesesatan?, Tentu tidak!.

Kita pun disini akan mengemukakan beberapa dalil dan alasan yang menguatkan diperbolehkannnya melakukan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya sudah banyak ulama menulis dalam karya mereka kitab khusus yang membahas masalah ini dan semuanya sudah sangat jelas dan akurat bahwa peringatan seperti itu boleh-boleh saja atau bahkan sangat dianjurkan apalagi di zaman seperti ini, zaman dimana-mana fitnah bertebaran, maksiat meraja lela. Dan bahkan jika dilihat bahwa di dalam kegiatan itu ada pembacaan sholawat, al Quran, dan lain sebagainya, maka itu adalah ibadah. Artinya kegiatan yang didalamnya dilakukan ibadah. Yang pasti berpahala.

Semua perbuatan itu termasuk menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin, merupakan lambang atau syiar pernyataan sikap kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW, dan menunjukkan peghormatan kita terhadap kebesaran Nabi serta tanda syukur dan terima kasih kepada Allah SWT yang telah mengutus Nabi Muhammad SAW ke permukaan bumi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Sebelum dikemukakan dalil-dalil tersebut, perlu kita ketahui bahwa Perayaan atau Peringatan Maulid seperti yang kita lakukan dan kita saksikan, memang tidak diadakan oleh Nabi Muhammad dan para Sahabat, karena kesibukan beliau dalam mengemban dakwah, menyebarkan Risalah, berperang dan kesibukan lainnya.
Akan tetapi bukan berarti bahwa Beliau sama sekali tidak memperingati atau mengenang Maulid (Kelahiran) beliau, Beliau saw melakukannya, hanya saja beliau ungkapkan perasaan gembira tersebut dengan cara berpuasa. Seperti dalam hadits riwayat Imam Muslim, beliau saw ditanya tentang puasa Senin yang beliau lakukan, beliau menjawab, “Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu aku diturunkan wahyu”.

Hadits diatas menunjukkan bahwa beliau senang dan bersuka cita akan hari kelahirannya walaupun kesenangan beliau ini diwujudkan dengan puasa, sedangkan kita menunjukkan kesenangan tersebut dengan cara mengumpulkan orang-orang untuk membaca Sholawat, Al Quran, memuji beliau, berdzikir dan bersedekah. Memang bentuk perayaannya berbeda tapi tujuannya sama.


Pandangan Ulama tentang Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Al Hafizh Abu al Khair as Sakhawi mengatakan bahwa peringatan maulid Nabi yang mulia itu tidak dilakukan atau dinukil dari salaf pada masa abad ke 3 Hijriyah, dimulai peringatan maulid tersebut setelah abad ke 3 Hijriyah. Pada acara tersebut diadakan berbagai amal kebajikan, membaca kitab maulid dan menampakkan kegembiraan atas kelahiran Nabi. Sehingga tampaklah keberkahan pada mereka.

Dari kalangan pembesar-pembesar negara, yang mula-mula mengadakan perayaan untuk memperingatinya tercatatlah nama Raja Mudhaffar Abu Sa’id penguasa Irbil, Irak. Demikian menurut pendapat Imam as-Sakhawi.

Menurut keterangan Imam Ibnu al Jauzi, pada upacara ini pujangga terkenal Hafizh Ibnu Dihyah menyusun suatu naskah yang dinamakan dengan At-Tanwir fi Maulidil Basyir an-Nadzir, yang isinya memuat riwayat singkat perjuangan Nabi Muhammad saw. Untuk ini Raja Mudhaffar Abu Sa’id memberinya 1000 dinar. Beliau terkenal seorang yang gagah perkasa, pintar dan bijaksana. Ketika wafat, beliau sedang dalam penyerangan mengepung pasukan Eropa di kota Aka, tahun 630 H.

Dalam kitab I’anatuth Thalibin , Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad Dimyathi menyatakan bahwa Imam Ibnu Jauzi dalam kitab Mir-at Az Zaman menceritakan tentang peringatan Maulid yang diadakan Raja Mudhaffar Abu Sa’id itu. Dikatakan dalam upacara itu disembelih sebanyak 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 roti mentega dan 30.000 piring kue-kue. Hadir pada upacara itu, pemuka-pemuka, alim ulama, ahli-ahli tasawuf dan orang-orang besar lainnya. Biaya seluruhnya mencapai 300.000 dinar. Mulai saat itu hingga kini ramai umat Islam di seluruh dunia memperingati Mauild Nabi.

Imam Abu Syamah (guru Imam An Nawawi) lebih jauh menegaskan bahwa diantara bid’ah yang baik dilakukan pada masa kita sekarang ini, adalah pertemuan pada tanggal 12 Rabiul Awal dengan bersedekah, berbuat baik, berdandan rapi dan menghias diri, sebagai tanda kegembiraan hati atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Semua perbuatan itu termasuk menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin, merupakan lambang atau syiar pernyataan sikap kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW, dan menunjukkan peghormatan kita terhadap kebesaran Nabi serta tanda syukur dan terima kasih kepada Allah SWT yang telah mengutus Nabi Muhammad SAW ke permukaan bumi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Banyak ulama dan fuqaha yang telah menulis buku-buku tentang anjuran merayakan peringatan maulid Nabi Saw yang mulia. Mereka menjelaskan dalil-dalil yang shahih tentang sunnahnya kegiatan ini. Semua itu tidak menyisakan ruang bagi orang yang memiliki akal, pemahaman, dan pikiran yang sempurna untuk mengingkari apa yang telah ditempuh dan dilakukan oleh kalangan salafussaleh berupa perayaan maulid Nabi Saw

Dalam kitab Al-Madkhal, Ibnu Hajj menjelaskan dengan panjang lebar tentang keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengan perayaan ini dan dia mengemukakan uraian penuh manfaat yang membuat lapang hati orangorang yang beriman.
Perlu diketahui bahwa Ibnu Hajj sendiri menulis kitab al-Madkhal dengan tema mencela perkara-perkara bid'ah yang diada-adakan yang tidak tersentuh oleh dalil syariat.

Sang Penutup para hafizh, Jalaluddin As-Suyuthi, di dalam bukunya "Husnul Maqshid fi 'Amalil Maulid" memberikan penjelasan tentang maulid Nabi Saw dalam rangka menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang kegiatan maulid Nabi Saw pada bulan Rabi'ul Awwal: Apa hukumnya dalam pandangan syariah? Apakah kegiatan itu terpuji atau tercela? Dan apakah pelakunya mendapatkan pahala? Dia berkata, "Jawabannya, menurutku, bahwa hukum dasar kegiatan maulid -yang herupa berkumpulnya orang-orang yang banyak; membaca beberapa ayat-ayat Al Quran; menyampaikan 'khabar-khabar' yang diriwayatkan tentang awal perjalanan hidup Nabi Saw dan tanda-tanda kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran Beliau; kemudian dihidangkan makanan untuk mereka dan mereka pun makan bersama; lalu mereka heranjak pulang, tanpa ada tambahan kegiatan lain- adalah termasuk bid'ah hasanah (bid'ah baik) dan diberikan pahala hagi orang yang melakukannya. Karena dalam kegiatan itu terkandung makna mengagungkan peran dan kedudukan Nabi Saw serta menunjukkan suka cita dan kegembiraan terhadap kelahiran beliau."

Imam Suyuthi membantah orang yang berkata, "Aku tidak mengetahui dasar hukum perayaan maulid ini di dalam Al Quran maupun di dalam Sunnah," dengan mengatakan, "Ketidaktahuan terhadap sesuatu tidak lalu herarti tidak adanya sesuatu itu,". Beliau juga menjelaskan bahwa Imam para hafizh, Abu Fadhl Ibnu Hajar -semoga Allah merahmatinya-, telah menjelaskan dasar hukumnya dari Sunnah. Imam Suyuthi sendiri juga mengemukakan dasar hukumnya yang kedua dan menjelaskan bahwa bid'ah tercela adalah perkara baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dalil syariat. Adapun jika ada hubungan yang kuat dengan dalil syariat yang memujinya, maka perkara itu tidak tercela.

Al Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi'i Ra bahwa dia berkata, "Perkara-perkara baru itu ada dua macam, yaitu: pertama, perkara baru yang diada-adakan yang bertentangan dengan Al Quran, Sunnah, atsar, atau ijma'. Maka, ini adalah bid'ah yang sesat. Kedua, perkara-perkara baru yang baik; tidak ada pertentangan dengan satu pun (dari rujukan-rujukan hukum di atas). Dan, ini adalah perkara baru yang tidak tercela. Umar bin Khaththab Ra berkata tentang pelaksanaan shalat tarawih pada bulan Ramadhan, "Alangkah baiknya bid'ah ini"
Yakni ini adalah perkara baru yang belum dilaksanakan sebelumnya. Namun apabila dilakukan maka kita juga tidak akan menemukannya bertentangan dengan perkara yang dahulu (terjadi di zaman Nabi)". Demikian akhir kutipan dari pendapat Imam Syafi'i.

Imam Suyuthi berkata, "Kegiatan merayakan maulid Nabi Saw tidak bertentangan dengan Al Quran, Sunnah, atsar, maupun ijma'. Maka ini bukan perbuatan tercela sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Syafi'i. Justru kegiatan itu merupakan perbuatan baik yang belum dikenal pada masa-masa awal Islam. Kegiatan memberi makan yang terlepas dari perbuatan dosa adalah perbuatan baik. Dengan demikian, kegiatan maulid termasuk perkara baru yang dianjurkan sebagaimana diungkapkan oleh Sultannya para Ulama, Izzuddin bin Abdissalam."

Dan hukum dasar berkumpul untuk menyemarakkan syiar maulid adalah sunnah dan qurbah (ibadah mendekatkan diri kepada Allah). Sebab kelahiran Nabi Saw merupakan nikmat terbesar untuk kita, dan syariat memerintahkan kita untuk mengungkapkan rasa syukur atas nikmat yang kita peroleh.
Inilah yang dinyatakan kuat (rajih) oleh Ibnu Hajj di dalam kitab Al-Madkhal. Beliau berkata, "Karena pada bulan ini Allah Swt menganugerahkan kepada manusia di bumi tokoh junjungan untuk orang-orang terdahulu dan sekarang, maka wajib untuk ditingkatkan pada hari itu ibadah-ibadah, kebaikan, dan syukur kepada Allah atas nikmat besar yang dilimpahkan-Nya kepada kita."

Dasar hukum yang dikeluarkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tentang kegiatan maulid Nabi Saw adalah hadits yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi Saw tiba ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari Asyu Ra, maka beliau menanyakan hal itu kepada mereka. Mereka pun menjawab, "Ini adalah hari yang Fir'aun ditenggelamkan dan Musa diselamatkan oleh Allah. Maka kami berpuasa padanya sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt"

Ibnu Hajar berkata, "Jadi, diambil faidah yang terkandung di dalam hadits ini yaitu melaksanakan syukur kepada Allah Swt atas anugerah yang Dia berikan pada hari tertentu, pemberian nikmat atau pencegahan dari bencana. Dan, kegiatan itu diulangi pada hari yang sama setiap tahun. Kegiatan syukur itu tercapai dengan berbagai bentuk ibadah seperti sujud (shalat), puasa, sedekah, dan membaca Al Quran. Dan, nikmat manakah yang lebih hesar daripada nikmat munculnya Nabi Saw ini, Nabi rahmat, pada hari itu?"

Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bentuk-bentuk kegiatan di dalam perayaan tersebut dan berkata, "Maka semestinya kita batasi bentuk-bentuk kegiatan itu pada hal-hal yang dipahami sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt seperti yang telah disebutkan: membaca Al Quran, memberi makan, melantunkan puisi-puisi pujian bagi Nabi Saw dan puisi-puisi yang menggerakkan hati untuk melakukan kebajikan dan amal akhirat. Perkara-perkara mubah yang mengandung nilai suka cita dan kegembiraan terhadap hari kelahiran itu tidak mengapa untuk disertakan dengannya."

Imam Suyuthi mengutip penjelasan Imam tokoh-tokoh qira'at, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Jauzi dari kitabnya 'Urf Al-Ta'rif bi Al-Maulid Al-Syarif ', "Jelas disebutkan dalam hadits shahih bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan dari siksa neraka pada setiap malam Senin karena ia memerdekakan Tsuwaibah setelah mendengarkan berita gembira kelahiran Nabi Saw yang disampaikannya. Jika Abu Lahab yang kafir dan dicela dengan nyata di dalam Al Quran mendapatkan keringanan di dalam neraka karena suka cita dan kegembiraannya pada malam kelahiran Nabi Saw, maka bagaimana lagi dengan seorang muslim dan bertauhid dari umat Nabi Saw yang bergembira dengan kelahiran beliau dan berusaha sekuat tenaga yang ia mampu untuk mencintainya? sungguh balasannya dari Allah Swt adalah Dia memasukkannya ke dalam surga yang penuh kenikmatan dengan karunia-Nya."

Selain dasar-dasar hukum dan argumentasi yang disebutkan, bisa juga berdalil dengan umumnya firman Allah Swt : "...dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah," (QS. Ibrahim : 5)

Tidak ragu lagi bahwa kelahiran Nabi Saw termasuk hari-hari Allah, sehingga memperingatinya berarti melaksanakan perintah Allah. Perkara yang demikian bukanlah bid'ah, tetapi merupakan sunnah hasanah (tradisi baik), sekalipun tidak pernah ada pada masa Rasulullah Saw

Kita merayakan kelahiran Nabi Muhammad Saw karena kita mencintainya. Dan bagaimana kita tidak mencintainya, sedangkan seluruh alam semesta mengenal dan mencintainya. Ingatlah hadits tentang sebatang pohon karma yang tak bernyawa, betapa ia menyayangi dan mencintai Nabi Saw serta rindu untuk selalu dekat dengan Nabi Saw yang mulia, bahkan menangis sejadi-jadinya karena rindu kepada Nabi Saw
Marhaban Ya HabibAllah
Bulan kelahiran Junjungan Nabi SAW menjelang lagi. Sebagai umat baginda, sewajarnya kita bersungguh-sungguh bersyukur atas kelahiran baginda yang menjadi pembimbing dan penunjuk kita ke arah jalan yang diredhai Allah SWT. Menjadi umat Junjungan Nabi SAW adalah satu nikmat besar yang dianugerahkan kepada kita. Nian besarnya nikmat ini sehingga nabi besar Bani Israil, Sayyidina Musa AS, memohon untuk dijadikan sebagai umat Baginda Muhammad SAW. Maka kenapa kita jarang atau mungkin tidak mensyukuri nikmat ini ? … Allahu .. Allah.
Marilah kita mempertingkatkan lagi kecintaan dan kerinduan kita kepada Junjungan Nabi SAW bersempena dengan bulan kelahiran baginda ini. Kita penuhkanlah masa kita yang banyak lapang itu dengan memeriahkan majlis-majlis mawlid, majlis-majlis di mana Junjungan Nabi SAW menjadi tajuk utama, majlis – majlis di mana sholawat dan salam dilantunkan, majlis-majlis di mana sirah dan madaih kepada Junjungan Nabi SAW dibacakan, majlis-majlis di mana akhlak dan keperibadian serta sunnah baginda diceritakan untuk dijadikan panduan. Mudah-mudahan kecintaan kita bertambah, dan terlebih penting moga kita mendapat kecintaan Baginda Muhammad SAW.
Tika kelahiran baginda
ke dunia nyata
zaman tersenyum gembira
seluruh alam bersukaria
Hanya Iblis durjana
dan syaitan – syaitan pengikutnya
bermuram duka
Kenapa pula antara kita
yang mengaku umat baginda
ada yang gusar serta duka
pabila melihat saudara-saudara seagama
menyambut gembira kelahiran baginda
memperingati kelahiran baginda
membesarkan kelahiran baginda
mentakzimkan kelahiran baginda
dengan sholawat atas baginda
dengan mendengar sirah baginda
dengan memuji-muja baginda
dengan menghayati sunnah baginda
Semuanya dengan penuh kesyukuran pada Yang Esa
Adakah telah terpedaya ia
dengan hasutan Iblis durjana
yang atas kelahiran baginda berdukacita ?
Posted by: Habib Ahmad | 19 Februari 2010

Tanpa Rasulullah …..

Tanpa Rasulullah …..
Sebenarnya pada asalnya, bulan Rabi’ul Awwal tiada apa-apa kelebihan berbandingkan bulan-bulan seperti Ramadhan, Syawwal, bulan-bulan haram dan sebagainya. Tetapi kemudian bulan ini menjadi mulia disebabkan Junjungan Nabi SAW. Bulan ini dimuliakan Allah kerana Allah telah memilihnya menjadi saksi bagi kelahiran makhluk Allah teragung di alam nyata ini. Pemilihan Rabi`ul Awwal dan hari Isnin sebagai bulan kelahiran Junjungan Nabi SAW mempunyai berberapa hikmah. Antara hikmah-hikmah tersebut adalah untuk menyatakan bahawa kemuliaan Junjungan Nabi SAW itu mutlak dan tidak terikat atau terkait dengan sesuatu masa atau zaman. Sebaliknya masa dan zaman menjadi mulia disebabkan Junjungan Nabi SAW. Jika baginda SAW dilahirkan dalam bulan Ramadhan atau hari Jumaat, matsalan, nescaya akan berlaku anggapan bahawa baginda menjadi mulia kerana dilahirkan dalam bulan yang mulia atau hari yang mulia, sedangkan kemuliaan baginda adalah mutlak dan tidak bergantung dengan kemuliaan yang lain.
Oleh itu, jika ada yang berkata bahawa bulan Rabi`ul Awwal ini tiada apa-apa kemuliaan, maka pernyataan itu benar dari satu sudut tetapi salah dari sudut bahawa Rabi’ul Awwal itu telah menjadi mulia disebabkan Junjungan Nabi SAW. Maka janganlah pandangan terhenti kepada bulan semata-mata tanpa melihat kepada makhluk Allah yang paling mulia SAW. Dan janganlah pula bermudah-mudah menghina orang menyambut kelahiran Junjungan SAW dengan kegembiraan, janganlah diqiaskan kegembiraan menyambut mawlid dengan kegembiraan Abu Lahab atau Abu Jahal. Sesungguhnya itu qiyas ma`al fariq, sebab orang mukmin tidak dapat diqiyaskan dengan orang musyrik. Jika diqiyaskan juga, maka apakah keimanan itu senilai dengan kemusyrikan? Apakah keimanan itu tidak punya nilai? Berhati-hatilah, janganlah dek kerana politik kepartian maka lidah yang tidak bertulang dibiarkan bercakap sesuka hati. Ingat pepatah nenek datuk kita: sebab pulut santan binasa, sebab mulut badan merana.
Berbalik kepada masa menjadi mulia kerana Junjungan Nabi SAW, maka itu adalah antara hikmah yang disenaraikan oleh Imam Ibnul Haj bagi menjawab persoalan kenapa bulan Rabi`ul Awwal dan hari Isnin dipilih menjadi bulan kelahiran Junjungan Nabi SAW. Beliau berkata:-
(Hikmah yang keempat kenapa Allah memilih bulan Rabi`ul Awwal dan hari Isnin sebagai masa kelahiran Junjungan Nabi SAW):- bahawasanya Allah SWT yang Maha Bijaksana berkehendak untuk memuliakan masa di mana kelahiran Junjungan SAW dengan Junjungan Nabi SAW, jikalau baginda dilahirkan pada waktu-waktu yang berkat sebagaimana disebutkan dahulu (seperti bulan Ramadhan atau Lailatul Qadr dan sebagainya), maka akan terjadi keraguan yang seolah-olah Junjungan Nabi SAW menjadi mulia disebabkan waktu – waktu tersebut (yakni seolah-olah kemuliaan Junjungan Nabi SAW berhubung atau berkait dengan waktu-waktu yang mulia tersebut).
Posted by: Habib Ahmad | 16 Februari 2010 
 

Merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw. dan Para Ahlul Bait

Lembaga Fatwa Mesir
Pertanyaan
Memperhatikan permintaan fatwa No. 1267 tahun 2005, yang berisi:
Apa hukum merayakan peringatan maulid Nabi Muhammad saw.?

Jawaban (Dewan Fatwa)


Kelahiran Nabi Muhammad saw. merupakan rahmat Allah yang terus mengalir bagi seluruh manusia.
Alquran menggambarkan keberadaan Nabi Muhammad saw. sebagai "rahmatan lil 'alamîn" (rahmat bagi semesta alam). Beliau merupakan rahmat tak bertepi yang mencakup semua sisi kehidupan, baik tarbiyah (pendidikan), tazkiyah (penyucian hati), pengajaran dan pemberian hidayah bagi manusia kepada jalan yang lurus. Semua itu mencakup aspek materi dan immateri dalam kehidupan manusia. Rahmat ini juga tidak terbatas pada manusia di zaman beliau saja, akan tetapi juga terus berkelanjutan kepada seluruh manusia sepanjang masa. Allah berfirman:
"Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka." (Al-Jumu'ah: 3).
Merayakan peringatan maulid Nabi Muhammad saw. –sang penghulu dua alam; alam nyata dan alam ghaib, penutup para nabi dan rasul, nabi pembawa rahmat dan penolong umat— adalah salah satu amalan yang paling baik dan ibadah yang paling agung. Karena, perayaan ini merupakan ungkapan rasa gembira dan cinta kepada beliau, dan kecintaan kepada beliau merupakan salah satu pondasi dari keimanan. Diriwayatkan dalam hadis shahih bahwa Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

"Tidak beriman seseorang diantara kalian sehingga menjadikan diriku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya dan seluruh manusia." (HR. Bukhari).
Ibnu Rajab berkata, "Mencintai Nabi Muhammad saw. adalah salah satu pondasi keimanan. Kecintaan itu berjalan beriringan dengan kecintaan kepada Allah 'azza wa jalla. Allah telah menyebutkan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw. berbarengan dengan kecintaan kepada-Nya. Allah pun mengancam orang yang lebih mendahulukan kecintaan kepada segala sesuatu yang dicintainya secara alami —seperti keluarga, harta, tanah air dan lain sebagainya— dari kecintaan kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad saw.. Allah SWT berfirman,
"Katakanlah: "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." (At-Taubah: 24).
Ketika Umar berkata kepada Nabi saw., "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih saya cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku." Maka Nabi saw. bersabda kepadanya,
لاَ وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ

"Tidak. Demi Allah, sampai engkau menjadikan diriku lebih kau cintai dari pada dirimu sendiri."
Maka Umar pun berkata, "Demi Allah, sesungguhnya sekarang engkau lebih saya cintai dari pada diriku sendiri." Maka Nabi saw. pun bersabda kepadanya, "Sekarang engkau telah mengetahuinya wahai Umar." (HR. Bukhari).
Memperingati maulid Nabi saw. merupakan bentuk penghormatan kepada beliau. Dan menghormati Nabi saw. merupakan amalan yang mutlak dianjurkan, karena ia merupakan pondasi dan asas utama dalam akidah Islam. Allah SWT mengetahui derajat kemuliaan Nabi-Nya, sehingga Dia memberitahukan kepada seluruh alam mengenai namanya, pengutusannya serta derajat dan martabatnya. Seluruh semesta pun senantiasa bergembira dan berbahagia dengan keberadaan beliau sebagai cahaya, kelapangan, hujjah serta nikmat bagi seluruh makhluk Allah.
Para salaf saleh kita, sejak abad keempat dan kelima hijriyah, telah memberi contoh untuk merayakan peringatan maulid Nabi saw.. Mereka menghidupkan malam maulidnya dengan berbagai macam bentuk ibadah, seperti memberi jamuan makan, melantunkan ayat-ayat Alquran, membaca zikir serta mendendangkan syair-syair dan bait-bait pujian untuk beliau. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh banyak ahli sejarah, seperti al-Hafiz Ibnu Jauzi, al-Hafiz Ibnu Katsir, al-Hafiz Ibnu Dihyah al-Andalusi, al-Hafiz Ibnu Hajar dan penutup para huffâzh, al-Hafiz Jalaluddin as-Suyuti rahimahumullah.
Bahkan, beberapa orang ulama dan ahli fikih telah menyusun kitab-kitab mengenai anjuran memperingati maulid Nabi saw. dengan menyebutkan dalil-dalilnya yang shahih. Sehingga dalam diri orang yang mempunyai akal, pemahaman dan pikiran yang jernih, tidak akan ada sikap pengingkaran terhadap perayaan maulid yang telah dilakukan oleh para salaf saleh kita itu.
Ibnu al-Hajj, dalam kitabnya al-Madkhal, secara panjang lebar menyebutkan keutamaan perayaan maulid Nabi ini. Dia memberikan penjelasan yang membuat lega hati kaum muslimin. Padahal, bukunya itu dia tulis dengan tujuan menyebutkan perbuatan-perbuatan bid'ah tercela yang tidak masuk dalam kerangka umum dalil-dalil syariat. Imam Suyuthi juga menulis sebuah risalah dalam masalah ini dengan judul Husnul Maqshid fî 'Amalil Maulid.
Kata ihtifâl (merayakan), dalam bahasa Arab, berasal dari kata hafala, yahfilu haflan, wa hufulan yang artinya berkumpul. Seperti dalam kalimat hafala al-labanu fi adh-dhar' (air susu terkumpul di ambing susu binatang). Sedangkan kata kerja tahaffala dan ihtafala berarti ijtama'a (berkumpul). Kata kerja hafala masuk dalam bab kata kerja dharaba. Ihtafalû berarti ijtama'û wa ihtasyadû (mereka berkumpul). Kalimat: "Wa'indahu hafl min an-nâs", maksudnya terdapat sekelompok orang di tempatnya. Asal kata ihtifâl ini adalah berbentuk nomina (mashdar). Mahfil al-qaum berarti tempat perayaan dan berkumpulnya suatu kaum. Kalimat hafalahu, berarti mengajaknya sehingga dia ikut berpesta dan merayakan. Kalimat hafala al-amra, berarti memperhatikan suatu perkara. Disebutkan juga: laa tahfil bihi, "jangan mempedulikannya".
Sedangkan maksud ihtifâl (perayaan) dalam konteks ini tidak jauh berbeda dengan makna bahasanya. Karena maksud dari perayaan maulid Nabi saw. adalah berkumpulnya orang-orang untuk berzikir, mendendangkan nasyid pujian untuknya, membuat jamuan makan sebagai sedekah karena Allah, mengungkapkan rasa kecintaan kepada Nabi saw. serta menyatakan rasa bahagia dan gembira kita dengan hari kelahirannya.
Masuk juga dalam hal ini kebiasaan masyarakat yang membeli makanan ringan dan menghadiahkannya kepada orang-orang ketika Maulid Nabi. Saling memberi hadiah sendiri merupakan perbuatan yang dibolehkan, tidak ada dalil yang melarang untuk melakukannya dalam waktu-waktu tertentu. Maka jika ia dibarengi dengan maksud mulia, seperti membuat gembira keluarga dan menyambung tali silatruahmi dengan kerabat, maka perbuatan tersebut menjadi dianjurkan dan disunahkan. Lalu jika hal itu merupakan ungkapan rasa bahagia karena kelahiran Nabi saw., maka hal itu lebih dimasyru'kan dan dianjurkan, karena (wasilah) sarana mempunyai hukum tujuan. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya merupakan bentuk sikap keras kepala yang tercela.
Ada suatu hal yang membuat sebagian orang menjadi ragu-ragu untuk merayakan peringatan maulid ini, yaitu ketiadaan perayaan semacam ini pada masa-masa awal Islam yang istimewa (al-qurûn al-ûlâ al-mufadhdhalah). Argumen ini, demi Allah, bukanlah alasan yang tepat untuk melarang perayaan itu. Karena, tidak ada seorang pun yang meragukan kecintaan mereka radhiyallahu 'anhum terhadap Nabi saw.. Namun, kecintaan ini mempunyai cara dan bentuk pengungkapan yang bermacam-macam. Dan cara-cara yang berbeda-beda itu sama sekali tidak dilarang untuk dilakukan. Karena, cara-cara tersebut bukanlah suatu bentuk ibadah jika dilihat dari inti pelaksanaannya. Berbahagia dan bergembira dengan adanya Nabi saw. merupakan ibadah, tapi cara pengungkapan kebahagiaan itu hanya merupakan wasilah (sarana) yang diperbolehkan untuk digunakan. Setiap orang dapat memilih cara yang paling sesuai dengan dirinya untuk mengungkapkan hal itu.
Dalam Sunnah Nabi juga terdapat riwayat yang menunjukkan perayaan para sahabat terhadap Nabi saw. dengan adanya iqrâr (persetujuan) dan izin dari beliau langsung. Diriwayatkan dari Buraidah r.a., dia berkata, "Pada suatu ketika Rasulullah saw. pergi berperang. Lalu ketika pulang, seorang budak wanita hitam mendatangi beliau lalu berkata, "Wahai Rasulullah, saya telah bernazar jika Allah membawamu pulang ke Madinah dalam keadaan selamat maka saya akan memainkan rebana dan bernyanyi di hadapanmu. Maka Rasulullah saw. bersabda, "Jika engkau memang telah bernazar untuk memainkan rebana, maka lakukanlah. Namun jika engkau tidak bernazar untuk melakukannya, maka engkau tidak perlu melakukannya". Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi, dan dia berkata, "Ini adalah hadis hasan shahih gharib". Jika memainkan rebana sebagai ungkapan rasa bahagia karena kedatangan Nabi saw. dari peperangan merupakan hal yang dimasyru'kan yang diakui oleh Nabi saw. dan beliau mengizinkan orang yang bernazar dengannya untuk melakukannya, maka mengungkapkan rasa bahagia karena kedatangan beliau ke dunia –dengan rebana atau hal lain yang dibolehkan— tentu lebih dimasyru'kan dan lebih dianjurkan.
Jika Allah saja meringankan azab Abu Lahab di neraka dengan memberinya minuman dari lubang kecil di telapak tangannya setiap hari Senin karena kegembiraannya atas kelahiran manusia terbaik –yaitu dengan memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibah karena telah menyampaikan kabar gembira kepadanya atas kelahiran Nabi saw., padahal Abu Lahab adalah orang yang paling kafir, sering menentang dan memerangi Allah dan Rasul-Nya—, maka sudah barang tentu kaum mukminin lebih berhak mendapatkan pahala karena kegembiraan mereka atas kelahiran beliau sebagai cahaya yang menyinari semesta. Rasulullah saw. sendiri telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara bersyukur kepada Allah atas kelahirannya itu. Dalam hadis shahih yang diriwayatkan dari Abu Qatadah r.a., bahwa Nabi saw. berpuasa pada hari Senin dan bersabda,
ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ

"Itu adalah hari dimana aku dilahirkan." (HR. Muslim, dari hadis Abu Qatadah).
Ini merupakan bentuk rasa syukur beliau atas karunia Allah kepadanya dan kepada umatnya. Sehingga, sudah sepatutnya umat ini juga mengikuti beliau untuk bersyukur kepada Allah SWT atas karunia dan nikmat diutusnya beliau dengan segala bentuk cara bersyukur. Bentuk bersyukur itu dapat diungkapkan dengan memberikan jamuan makan, mendendangkan pujian-pujian, berkumpul untuk berzikir, berpuasa, melakukan salat dan lain sebagainya.
Ash-Shalihi, dalam kitab sejarahnya, Subul al-Hudâ wa ar-Rasyâd fî Hadyi Khair al-'Ibâd, menukil dari seorang saleh pada zamannya, bahwa dia bermimpi bertemu dengan Nabi saw.. Orang itu mengadu kepada beliau bahwa ada sebagian orang yang mengaku berilmu mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi saw. adalah bid'ah. Maka Nabi saw. bersabda kepadanya, "Barang siapa yang bergembira karena kami, maka kami akan bergembira karenanya."
Demikian juga hukum merayakan kelahiran para Ahlul Bait dan para wali Allah, serta menghidupkan perayaan mengenang mereka dengan melakukan berbagai ketaatan. Sesunggunya semua itu adalah hal yang dianjurkan secara syarak, karena acara-acara tersebut mengandung upaya untuk meniru dan menauladani mereka. Terdapat perintah syarak untuk senantiasa mengingat dan mengenang para nabi dan para orang saleh. Allah berfirman,

"Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Alquran) ini." (Maryam: 41).
Dan firman Allah,
"Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al Kitab (Alquran) ini." (Maryam: 51).
Perintah ini tidak terdatas untuk mengenang para nabi, namun masuk di dalamnya juga orang-orang saleh. Hal ini karena Allah berfirman,
"Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Alquran." (Maryam: 16).
Karena merupakan kesepakatan muhaqqiqin, Maryam As. bukanlah seorang nabi melainkan seorang shiddiqah. Demikian pula terdapat perintah untuk mengingatkan hari-hari Allah, yaitu dalam firman-Nya,
"Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah". (Ibrahim: 5).
Termasuk hari-hari Allah adalah hari kelahiran dan termasuk hari-hari Allah adalah hari-hari kelahiran dan hari-hari kemenangan. Oleh karena itu Rasulullah saw. berpuasa pada hari Senin setiap minggunya sebagai rasa syukur kepada Allah atas nikmat penciptaan juga sebagai perayaan bagi hari kelahiran beliau, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis riwayat Abu Qatadah al-Anshari dalam shahih Muslim. Sebagaimana Rasulullah saw. juga berpuasa pada hari Asyura (tanggal 10 Muharram) dan memerintahkan umat beliau untuk berpuasa sebagai rasa syukur, bahagia dan perayaan terhadap keselamatan Nabi Musa a.s.. Dan Allah telah memuliakan hari kelahiran di dalam Kitab-Nya dan melalui ucapan para nabi-Nya. Allah berfirman,

"Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan." (Maryam: 15).

Dan Allah berfirman melalui ucapan Isa al-Masih a.s.,
"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan." (Maryam: 33).
Hal ini karena dalam hari kelahiran terwujud kenikmatan penciptaan yang merupakan sebab dari diperolehnya semua nikmat yang diperoleh manusia setelahnya.
Oleh karena itu, mengenang hari kelahiran dan mengingatkan orang lain tentang hari kelahiran merupakan pintu bagi orang-orang untuk bersyukur kepada nikmat Allah. Maka tidak apa-apa menentukan hari tertentu guna mengadakan mengingat para wali Allah.
Kemasyru'iatan acara semacam ini tidak rusak karena terjadinya hal-hal yang diharamkan. Akan tetapi acara-acara seperti ini tetap dilaksanakan dengan menolak terjadinya kemungkaran-kemungkaran. Orang-orang yang merayakannya juga perlu diingatkan bahwa kemungkaran-kemungkaran tersebut bertentangan dengan tujuan utama acara-acara mulia tersebut.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ
ٍSumber : http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=140&LangID=5
 

Majlis Maulidurrasul SAW-KLCC

Tarikh: 27hb Februari 2010
Masa: 7.00 ptg – 10.00 ptg
Lokasi: Masjid AsSyakirin, KLCC, Kuala Lumpur
Majlis bermula selepas sholat maghrib dengan bacaan maulid diselangi alunan qasidah.Tetamu Jemputan : – Habib Hasan bin Muhammad bin Salim al Attas (Imam Masjid Ba’alawi, Singapura) – Sheikh Fuad Al Maliki
Anjuran :
>> Institut Silsilah Assadah
>> Persatuan Kebajikan Aljamiatul Khairiah
>> Persatuan Pegawai-Pegawai Masjid… Wilayah Persekutuan
>> Persatuan Intelektual Warisan Islam
>> Persatuan Keluarga Jamalullail Perak Malaysia
>> Persatuan Kebajikan Alhidayah, Negeri Sembilan
>> Persatuan Bekas Mahasiswa Timur Tengah (Pusat)

Asyura dan Ahlul Bayt Nabi PDF Print E-mail
Written by Redaksi Online
Friday, 23 December 2011 15:13

Betapapun, adalah manusiawi sekiranya Rasulullah SAW menangis tatkala mendengar kabar akan terbunuhnya sang cucunda tercinta, sebagaimana juga beliau menangis ketika meninggalnya Ibrahim, putra beliau, Khadijah, istri beliau, Abu Thalib, paman beliau, dan Ja’far Ath-Thayyar, sepupu beliau…
Al-Husain melihat musuh terus mengepungnya dan menghantam kuda yang ditungganginya dengan pedang, sesekali pada kakinya dan sesekali pada pahanya. Tidak tega melihat kudanya dipukuli, ia pun turun dari kudanya dan melepaskan kudanya.
Sang Imam lalu berdiri dengan kedua kakinya, sementara orang-orang keji telah mengepungnya. Mereka mulai menebaskan pedang ke arahnya. Tebasan itu mengenai bahu, tangan, dan kakinya.
Masing-masing mereka tidak mau menjadi orang pertama yang menebaskan pedangnya ke tubuh sang Imam. Karena mereka tahu, siksa macam apa yang akan mereka alami kelak di akhirat jika mereka membunuh Al-Husain.
Ketika luka sang Imam semakin banyak, ia terus diserang dengan serangan yang kuat. Meski telah lelah, Al-Husain terus memerangi mereka hingga barisan mereka terpecah.
Namun mereka kembali mengepungnya dan salah seorang di antara mereka memukul kakinya, hingga ia berlutut. Tapi ia tetap berperang walau dalam keadaan berlutut.
Lalu datanglah orang yang paling celaka, Syimmar bin Dzil Jausyan, sambil berkata, “Kenapa kalian tidak langsung membunuhnya? Bunuhlah dia segera!”
Syimmar terus memanas-manasi mereka hingga salah seorang di antara mereka mendatangi Al-Husain dan memukul kepala sang Imam. Dan Imam pun terjatuh ke tanah.
Demi kemuliaan Dzat Yang Mengagungkan kedudukan mereka sungguh gambaran jatuhnya sang Imam ke tanah merupakan hakikat pencapaiannya pada puncak maqam kedekatan tertinggi di sisi Allah. Dan ini merupakan gambaran rendahnya dunia di sisi Allah. Ini adalah saat kemenangan sang Imam, yang telah menunjukkan kejujuran dan janji setia keluarga dan para sahabatnya terhadap datuknya, Rasulullah SAW, dalam membantu agama ini.
Kemudian datanglah manusia paling celaka, Syimmar, memenggal kepala sang Imam.
Bersikap Moderat
Demikian sepenggal kisah detik-detik terbunuhnya Imam Husein di Padang Karbala, sebagaimana yang pernah dituturkan Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri.
Tak ayal, tragedi sepuluh Muharram 61 H/686 M itu, yang juga banyak diceritakan para ulama dari zaman ke zaman, menjadi noda hitam dalam sejarah Islam sepeninggal Baginda Nabi SAW.
Tragedi Karbala adalah peristiwa kemanusiaan teramat dahsyat yang mengakibatkan cucu Rasulullah SAW, Imam Husain, dan segenap keluarganya, dibunuh secara keji. Peristiwa yang juga merupakan ungkapan suatu pengorbanan luar biasa para syahid di jalan kebenaran dan keadilan Ilahi.
Sungguh, darah Imam Husain dan para pengikut setianya yang mengalir di Padang Karbala merupakan tetesan darah yang tak mengalir percuma. Tetes demi tetes darah itu seakan mewujud sebagai semangat kehidupan seorang hamba yang sebenarnya, bahwa seorang manusia yang hidup di atas muka bumi tak selayaknya hidup demi kepentingan duniawi semata.
Roda zaman terus berputar. Hingga sekarang, Peristiwa Karbala telah berlalu lebih dari 14 abad silam. Lalu, bagaimana selayaknya umat Islam pasca-Tragedi Karbala menyikapi peristiwa tragis tersebut?
Dalam salah satu taushiyahnya, Habib Umar Bin Hafidz menyinggung hal itu, “Kita tentu bersedih dengan peristiwa terbunuhnya Al-Husain di hari Asyura. Orang yang berbahagia karena terbunuhnya Al-Husain, jelas hal itu membuatnya menjadi seorang yang fasiq, bahkan bisa pada kekufuran. Akan tetapi, dalam beragama, sikap kita tidak didasari sifat tasya-um (pesimisme, sial, atau merasa tak berpengharapan, bersedih berkepanjangan karena peristiwa atau pandangan tertentu), tapi dengantafa-ul (optimisme, atau menanggapi secara positif segala sesuatu).
Tasya-um, apalagi dalam bentuk-bentuk seperti mencaci maki, tidak ada tuntunannya dalam agama kita dan dalam peringatan-peringatan agama kita ini. Semua peringatan agama dalam agama kita didasari semangat optimisme dan membawa ketenangan di hati, seperti halnya peringatan Maulid, hari ‘Id, bulan Ramadhan, dan sebagainya.
Kita memang tak boleh bersenang hati dengan terbunuhnya Al-Husain. Tetapi kita harus tetap wasth, moderat, sebagaimana fungsi agama yang sebenarnya. Kita tidak menyikapi Peristiwa Karbala dengan bersedih-sedih, karena hal itu bahkan bertentangan dengan apa yang dirasakan Imam Husain sendiri. Jelas, di hari itu Al-Husain sangat bahagia.
Seandainya ditanyakan kepadanya hari yang paling membahagiakan baginya, niscaya jawabnya adalah hari di saat ia mendapati kesyahidannya, yaitu hari Asyura. Sebab, di hari itu derajatnya diangkat Allah SWT dan di hari itu pula ia berjumpa dengan kakeknya, Rasulullah SAW, ayahnya, Ali KW, ibundanya, Fathimatuzzahra, dan kakaknya, Al-Hasan. Karenanya, kita pun tidak memperingatinya dengan kesedihan.
Adapun istilah lebaran anak yatim di hari Asyura itu berdasarkan hal-hal yang disunnahkan di hari itu, yaitu lewat riwayat-riwayat yang sudah termasyhur di tengah-tengah kaum muslimin. Di antaranya, melebihkan uang belanja keluarga, menyantuni dan menggembirakan anak yatim, dan sebagainya. Kesemuanya adalah hal-hal yang bersifat optimisme dan kebahagian di hati.
Namun demikian, kalau di hari itu kita berbahagia karena terbunuhnya Al-Husain atau berpesta karenanya, itu tindakan yang bertentangan dengan akal sehat. Hendaknya, kita menempatkan semua nash agama pada tempatnya dan menyikapi setiap masalah secara proporsional.”
Multi-Dimensi Historis

 
Asyura, atau hari kesepuluh bulan Muharram, nyatanya memang memiliki sejumlah dimensi historis. Jauh sebelum Tragedi Karbala, sepuluh Muharram telah menjadi hari yang dikenal secara khusus bagi umat-umat terdahulu.
Sebut saja, di antaranya, peristiwa diterimanya taubat Nabi Adam AS, diselamatkannya Nabi Ibrahim AS dari jilatan api yang dinyalakan Raja Namrudz, terbelahnya lautan yang menyelamatkan Nabi Musa AS dan bala tentaranya dari kejaran tentara Fir’aun, diangkatnya Nabi Isa AS ke atas langit.
Sebuah hadits dari Abi Hurairah RA menyebutkan, ketika Nabi SAW melewati sekelompok orang Yahudi yang tengah berpuasa di hari Asyura’, beliau bertanya, “Puasa apa ini?”
Mereka menjawab, “Ini adalah hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan Bani Israil dari tenggelam dan menenggelamkan Fir’aun. Dan hari ini juga adalah hari merapatnya bahtera Nabi Nuh di Bukit Judiy. Maka Nabi Nuh dan Nabi Musa berpuasa, sebagai rasa syukur kepada Allah SWT.”
Lalu Nabi SAW berkata, “Aku lebih berhak dari Musa (dalam bersyukur) dan lebih berhak untuk berpuasa di hari ini.” Kemudian, Nabi pun memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.
Mengenai peristiwa terbunuhnya Al-Husein di Padang Karbala pada hari Asyura, sejumlah riwayat menyebutkan bahwa Nabi SAW sendiri telah mengabarkan akan terjadinya peristiwa itu jauh-jauh hari.
Ummu Salamah RA, istri Nabi SAW, bercerita, “Sewaktu Nabi tidur di rumahku, tiba-tiba Husein hendak masuk, maka aku (Ummu Salamah) duduk di depan pintu mencegahnya masuk, karena khawatir membangunkan beliau. Kemudian aku lupa akan sesuatu, sehingga Husein merangkak masuk dan duduk di atas perut beliau.
Lalu, aku mendengar rintihan Rasulullah SAW.
Aku pun mendatanginya dan bertanya, ‘Apa yang engkau ketahui sehingga engkau merintih seperti itu?’
Rasulullah menjawab, ‘Jibril datang kepadaku ketika Husein ada di atas perutku seraya berkata kepadaku: Apakah engkau mencintainya (Al-Husein)?
Aku pun menjawab: Iya, aku mencintainya.
Lalu Jibril berkata: Sesungguhnya di antara umatmu kelak ada yang akan membunuhnya. Maukah engkau aku tunjukkan tanah tempat terbunuhnya?
Maka aku pun menjawab: Iya.
Jibril mengepakkan sayapnya lalu memberikan tanah ini kepadaku’.”
Ummu Salamah RA berkata, “Maka tampak pada tangan Rasulullah tanah merah dan beliau pun menangis seraya berkata, ‘Siapakah yang akan membunuhmu (wahai Husein) sepeninggalku?’.”
Perasaan Manusiawi
Jauh sebelum peristiwa tragis itu terjadi, ternyata Rasulullah SAW telah mencium bau perpecahan yang parah, yang bahkan akan menumpahkan darah dagingnya sendiri. Namun, kesempurnaan pribadi beliau, yang melebihi manusia mana pun, membuatnya menyerahkan semua itu sepenuhnya kepada Allah, Yang Maha Berkehendak. Beliau berharap agar tetap ada di antara umatnya yang senantiasa mengukuhkan tali persaudaraan di antara kaum muslimin dan tetap menunjukkan akhlaq mulia di tengah kebobrokan zaman yang kerap merongrong iman.
Ulama salaf dari kalangan Alawiyyin pun menyerukan agar umat tetap bersikap proporsional dalam menyikapi Asyura. Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad menerangkan dalam Tatsbit al-Fu’ad, “Asyura adalah hari duka cita, tak ada kebahagiaan di dalamnya, mengingat terbunuhnya Al-Husein di hari itu. Namun tidak dibenarkan pada hari itu melakukan ritus yang lain melebihi dari berpuasa dan memberi belanja lebih pada keluarga, karena pada dasarnya hari itu sendiri adalah hari yang utama.”
Betapapun, adalah manusiawi sekiranya Rasulullah SAW menangis tatkala mendengar kabar akan terbunuhnya sang cucunda tercinta, sebagaimana juga beliau menangis ketika meninggalnya Ibrahim, putra beliau, Khadijah, istri beliau, Abu Thalib, paman beliau, dan Ja’far Ath-Thayyar, sepupu beliau, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Karenanya, para ulama tak memaknai tangisan Rasulullah SAW ketika itu sebagai hujjah agar kelak umatnya turut menangisi terbunuhnya Imam Husein, sebagaimana beliau pun tak pernah mengadakan hari berkabung untuk kematian Nabi Zakariya dan Nabi Yahya, yang juga dibunuh secara zhalim oleh kaumnya.
Sebuah riwayat hadits menyebutkan, ketika putra beliau, Ibrahim, dikebumikan, Rasulullah SAW berdiri di atas kuburnya seraya berkata, “Wahai anakku, hati bisa berduka, mata bisa meneteskan air mata, tapi tak ‘kan kulontarkan kata-kata yang membuat Tuhanku murka. Sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.”
Bukan hanya itu. Bahkan Rasulullah melarang umatnya meratapi kematian sebagaimana kebiasaan kaum Jahiliyah. Beliau bersabda, “Bukan termasuk golonganku, orang yang memukul-mukul pipinya (karena kematian seseorang), dan merobek-robek pakaiannya, serta menjerit-jerit sebagaimana kebiasaan orang-orang Jahiliyah.”
Umat Islam memahami, Al-Husein adalah bagian dari ahlul bayt Rasulullah SAW, sekelompok orang yang umat dianjurkan untuk mencintai mereka. Rasulullah SAW pun bersabda, “Didiklah anak-anak kalian mengenai tiga perkara: mencintai nabi kalian, mencintai ahlul baytnya, dan membaca Al-Qur’an.”
Di sisi lain, isu ahlul bayt telah menjadi isu sepanjang zaman yang tak berkesudahan. Dan Peristiwa Karbala adalah salah satu pembahasan krusial dalam konstelasi keyakinan beragama dunia Islam, di samping beberapa isu populer di seputar ahlul bayt lainnya.
IY
Ahlul Bayt di Panggung Sejarah

 

Siapakah sebenarnya yang disebut ahlul bayt? Bagaimana perjalanan sejarah mereka? Dan siapa saja tokoh-tokoh dalam lingkungan mereka?
Istilah ahlul bayt berasal dari firman Allah SWT sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’anul Karim surah Al-Ahzab: 33, yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan noda dan kotoran dari kalian, ahlul bayt, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya.”
Secara harfiah, ahlul bayt bermakna “keluarga” atau “anggota rumah tangga”. Akan tetapi dalam kaitannya dengan makna ayat tersebut, para ahli tafsir berbeda pendapat.
K.H. Abdullah bin Nuh, dalam bukunya, Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW, setelah mengurai berbagai nash dan pendapat para ulama menyimpulkan, terdapat lima penafsiran terhadap makna kata ahlul bayt dalam ayat 33 surah Al-Ahzab tersebut:
Pertama, pada umumnya para ulama ahli tafsir berpendapat, makna ahlul bayt mencakup dua pihak, yaitu ahlul aba (Rasulullah SAW, Siti Fathimah, ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan dan Al-Husein) dan para istri Rasulullah SAW Radhiyallahu ‘Anhum. Itulah penafsiran yang mu’tamad dan dapat dijadikan pegangan.
Kedua, Abu Sa’id Al-Khudhri, seorang sahabat Nabi, dan sejumlah ulama tafsir dari kalangan tabi’in, termasuk Mujahid dan Qatadah, berpendapat, makna ahlul baytterbatas pada ahlul aba.
Ketiga, Ibnu ‘Abbas, seorang sahabat Nabi, dan Ikrimah, dari kaum tabi’in, berpendapat bahwa yang dimaksud ahlul bayt ialah ummahatul mu’minin, yakni para ibu suci istri-istri Rasulullah SAW (Atau: para ibu suci, istri-istri Rasulullah SAW? Maknanya berbeda).
Keempat, Ibnu Hajar dan Tsa’labi berpendapat bahwa yang dimaksud ahlul bayt ialah orang-orang Bani Hasyim, karena mereka mengartikan kata bayt dengan “keluarga”, yakni keluarga seketurunan. Dengan demikian, ‘Abbas bin Abdul Mutthalib (paman Nabi), saudara-saudaranya, dan anak-anaknya, semuanya termasuk dalam pengertian ahlul bayt. Pengertian tersebut didasarkan pada riwayat yang berasal dari Zaid bin Arqam, dan tercantum di dalam Tafsir Al-Khazin.
Kelima, Al-Khathib Asy-Syaibani, yang sependapat dengan Al-Buqai’i, berpendapat, penafsiran yang terbaik mengenai kata ahlul bayt ialah setiap orang yang hidup bersama Rasulullah SAW, lelaki maupun perempuan, istri, kerabat, maupun hamba sahaya. Mereka itulah yang sangat dekat dengan Nabi SAW, memperoleh perhatian khusus dari beliau dan selalu menyertai beliau, karena itu mereka lebih berhak dan lebih patut disebut ahlul bayt.
Betapapun, saat disebutkan istilah ahlul bayt, ada kekhususan pada empat sosok utama dalam rumah tangga Rasulullah SAW, yaitu Ali, Fathimah, Al-Hasan, dan Al-Husein, yang, bersama Rasulullah SAW, mereka disebut ahlul kisa’.
Dalam Risalah Tafsir al-Mu’awwidzatain, Ibnu Taimiyyah menjelaskan soal kekhususan ahlul kisa’ sebagai ahlul bayt Rasulullah SAW. Ia mengatakan, “Sama halnya dengan sabda Nabi SAW yang mengatakan bahawa masjid yang didirikan atas dasar taqwa ialah ‘masjidku’. Padahal secara pasti nash Al-Qur’an yang mengenai itu menerangkan bahawa yang dimaksud adalah Masjid Quba. Demikian pula sabda Rasulullah SAW yang diucapkan kepada ahlul kisa bahwa mereka itu adalah ‘ahlul baytku’. Padahal ayat Al-Qur’an yang mengenai ahlul bayt (Al-Ahzab: 33) pengertiannya mencakup para istri Nabi SAW. Mengenai soal-soal seperti itu pengkhususan sesuatu yang perlu dikhususkan memang lebih baik daripada hanya diutarakan keumuman sifat-sifatnya.”

Hubungan nan Harmonis

Sejarah ahlul bayt memang selalu menarik perhatian banyak orang. Betapa tidak, ia adalah satu dari dua peninggalan besar Rasulullah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, “Kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan: Kitabullah, sebagai tali yang terentang antara langit dan bumi, dan keturunanku, ahlul baytku. Sesungguhnya kedua-duanya itu tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Telaga Haudh (di surga).”
Saat mengutip hadits tersebut,  K.H. Abdullah bin Nuh menyebutkan takhrijnya bahwa hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari hadits Zaid bin Tsabit dan dari Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Yang pertama pada halaman 182 dan yang kedua pada akhir halaman 189, jilid V. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Abu Syaibah, Abu Ya’la, dan Ibnu Sa’ad dalam Kanz al-Ummal I/47, hadits No. 945.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, perjalanan sejarah ahlul bayt dan jejak-jejaknya tak pelak terus memunculkan banyak wacana di tengah umat, mulai dari zaman sahabat, tabi’in, bahkan hingga hari ini.
Satu di antara sekian banyak fitnah yang beredar di tengah-tengah kaum muslimin adalah adanya hubungan yang tidak baik antara ahlul bayt dan para sahabat Nabi SAW. Padahal, sejumlah fakta membuktikan dengan jelas bahwa kasih sayang antara ahlul bayt dan para sahabat Nabi SAW tetap terjalin dengan baik, sebab mereka adalah anak didik Rasulullah SAW yang telah mereguk nilai-nilai kasih sayang langsung dari sumbernya yang sama, yaitu Rasulullah SAW, dengan segala keluhuran pekerti beliau yang dapat mereka saksikan setiap saat dengan mata kepala sendiri.
Apabila dalam diri seseorang sudah meresap keyakinan bahwa di antara para sahabat dan ahlul bayt itu terhubung jalinan kasih sayang, berarti  prinsip tersebut sudah bersemayam di lubuk hatinya. Hati pun menjadi tenteram, sirna pula rasa dengki dan benci terhadap sahabat-sahabat Nabi, terutama pada pribadi-pribadi tertentu yang kerap dituding sebagai musuh ahlul bayt.
Prinsip ini pun selaras dengan semangat yang terkandung dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa, ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.”
Makna di Balik Nama
Nama seseorang mencerminkan dirinya. Nama merupakan pembeda, yang membedakan seseorang dengan orang lain. Hal ini berlaku bagi seluruh manusia. Orang yang berakal tidak pernah ragu akan pentingnya nama. Sebab, melalui nama, orang akan dikenal dan dibedakan dari saudara-saudaranya sendiri maupun orang lain. Nama itu akan menjadi tanda bagi diri yang bersangkutan dan juga bagi putra-putrinya kelak.
Nama seseorang juga melambangkan agama dan juga tingkatan akalnya. Pernahkah terdengar ada seorang Nashrani atau Yahudi yang memberi nama putra-putri mereka dengan nama “Muhammad”? Ataukah ada di kalangan muslimin yang memberi nama anaknya dengan nama “Lata” dan “Uzza”, selain orang yang kurang akalnya?
Seorang anak terikat dengan ayahnya melalui nama. Seseorang dipanggil dengan nama pilihan ayah dan keluarganya.
Jadi, umat manusia selalu menggunakan nama. Orang suka mengatakan, “Melalui nama Anda, saya dapat mengerti siapa bapak Anda.”
Maka, dengan nama apa Anda memberi nama putra Anda? Apakah Anda memilih nama yang Anda sukai, disukai ibunya, dan keluarganya, atau Anda memberi nama putra Anda dengan nama musuh Anda? Sudah pasti kita memilihkan nama dengan nama-nama yang mengarah pada sesuatu yang bermakna bagi kita.
Fakta pemberian nama yang menggambarkan hubungan ahlul bayt-sahabat jelas bukan satu kebetulan yang hanya terjadi pada seorang anak, sebab para tokoh ahlul bayt menamakan banyak anak mereka dengan nama-nama sahabat, begitu pula sebaliknya. Ini merupakan masalah yang perlu direnungkan dengan lebih tenang. Di dalamnya terkandung seruan bagi jiwa dan perasaan, serta penjelasan yang memuaskan.
Kalau bukan lantaran adanya sesuatu rasa yang istimewa di hati Imam Ali kepada tiga khalifah terdahulu, akal sulit menerima kenyataan kenapa ia sampai memberi nama putra-putranya dengan nama-nama mereka: Abu Bakar, Umar, dan Utsman Radhiyallahu ‘Anhum. Sejarah mencatat, ketiga putra Imam Ali itu kelak syahid bersama saudaranya, Al-Husein, di Padang Karbala.
Putra tertua Imam Ali, Al-Hasan, pun memberi nama putra-putranya dengan nama Abu Bakar, Umar, dan Thalhah. Ketiganya pun syahid di Karbala bersama paman mereka, Al-Husein.
Al-Husein sendiri menamai salah seorang putranya dengan nama Umar.
Putra Al-Husein, Ali Zainal Abidin, juga memberi nama putrinya dengan nama Aisyah dan seorang putranya dengan nama Umar.
Demikian juga dengan para ahlul bayt lainnya, yaitu dari keturunan Abbas bin Abdul Muthalib, keturunan Ja’far bin Abi Thalib, Muslim bin Aqil, dan selain mereka.
Kondisi ini merupakan bukti, baik dari segi  logika, psikologis, maupun realitas, bahwa ahlul bayt ingin membuktikan besarnya rasa cinta mereka kepada Khulafa’ Ar-Rasyidin, juga kepada segenap sahabat Nabi SAW lainnya.
Ini juga sekaligus merupakan bukti kebenaran firman Allah Ta’ala, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (QS: Al-Fath 29).
Itulah gambaran kedudukan sahabat Nabi di hati para ahlul bayt Nabi SAW. Sebaliknya, apa yang dikatakan sahabat Nabi tentang ahlul bayt?
Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA pernah berkata, “Demi Allah, Yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh (menyambung) kerabat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam lebih aku cintai daripada aku menyambung kerabatku sendiri.” (HR Bukhari: 4241, Muslim: 1759).
Sementara itu, Sayyidina Umar ibnul Khaththab RA mengatakan kepada Abbas, paman Nabi SAW, “Demi Allah, keislamanmu lebih aku sukai daripada Islamnya Al-Khaththab (maksudnya adalah ayahnya) seandainya saja ia masuk Islam. Sesungguhnya Islam-mu lebih disukai oleh Rasulullah daripada Islam-nya Al-Khaththab.” (Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat: 4/22).
Para Penjaga Syari’at
Setelah berlalunya era kehidupan Al-Hasan dan Al-Husein, semua mata tertuju kepada Ali Zainal Abidin, putra Al-Husein, sebagai sosok yang dianggap meneruskan trah kebesaran keluarga ahlul bayt sekaligus pemangku khilafah ruhaniah umat di masa itu.
Habib Umar Bin Hafidz pernah berkisah tentang gambaran keadaan di masa Imam Ali Zainal Abidin. Berikut petikannya:
“Apa yang dilakukan Ali Zainal Abidin? Apa ia berjuang untuk mendapat kekuasaan? Apa ia mengajak orang-orang Islam untuk membai’atnya? Apa ia membuat sebuah rencana kudeta penguasa saat itu?
Semua ini tidak terjadi pada diri Ali Zainal Abidin. Apakah karena ia tidak tahu apa-apa tentang agama? Aku bersaksi, ia termasuk orang yang paling alim mengenai agama. Demi Allah, Ali Zainal Abidin bukan orang bodoh. Di masanya, ia adalah pewaris agung Muhammad SAW.
Ia menyibukkan hidupnya dengan memperbanyak shalat, membaca Al-Qur’an, menangis, bersedekah, dan berbuat kebajikan kepada orang lain. Ia sama sekali tak pernah menyinggung urusan kekuasaan. Ia juga tidak pernah memaki-maki, melaknat, dan mengucapkan pernyataan-pernyataan buruk, bahkan kepada para pembunuh ayah dan saudara-saudaranya.
Inilah khilafah sejati. Inilah yang dilakukan oleh generasi terbaik umat ini. Mereka mengikuti jejak Rasulullah SAW, jejak ahlul bayt, sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka.
Perjalanan hidup Ali Zainal Abidin penuh dengan ibadah. Ia banyak melakukan shalat. Dua pipinya bergaris hitam karena aliran air mata, takut kepada Allah. Keadaannya persis seperti apa yang digambarkan oleh Farazdaq:
Beliau menundukkan kepala
karena sifat malu
dan orang-orang menundukkan kepala di hadapannya
karena kharismanya
Maka tak ada yang berbicara dengannya
kecuali saat tersenyum
Ketika melihatnya mengusap Hajar Aswad, Farazdaq menggubah sajak:
Telapak tangan Ali Zainal Abidin
seperti hendak ditahan Hajar Aswad
saat ia mengusapnya
Jadi, dalam gambaran Farazdaq, jika Ali Zainail Abidin datang ke Ka’bah, Hajar Aswad seperti mau berdiri, memegang tangannya, dan menciumnya.
Ia berasal dari golongan
yang mana mencintai mereka adalah ajaran agama
membenci mereka adalah kekafiran
kedekatan dengan mereka tempat keselamatan dan tali untuk berpegang
Bila orang-orang bertaqwa dikumpulkan
merekalah para pemimpinnya
Bila ada yang bertanya
“Siapakah yang terbaik di muka bumi ini?”
merekalah jawabannya
Setelah itu putranya, Muhammad Al-Baqir. Setelah itu putra Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq. Mereka semua meneladani ayah-ayahnya dalam kemuliaan dan jalan ini.
Di masa tabi’in itu, kekuasaan dipegang Yazid bin Muawiyah. Ia dikenal fasiq dan buruk. Saat itu, ada Hasan Al-Bashri, Sa’id bin Al-Musayyab, juga para tabi’in senior. Ada Ali bin Al-Husain, juga putra-putra Al-Hasan. Apa ada di antara mereka yang membuat kekacauan? Atau melawan penguasa, atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan teladan para pendahulu dan ajaran Rasulullah SAW?
Khilafah berlanjut. Tibalah masa para imam: Abi Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal. Apa mereka semua hidup di tengah-tengah khilafah yang lurus atau hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan (yang zhalim – agar ada perlawanan sifat dengan lurus)? Apakah mereka menyusun rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan itu? Tidak, mereka sibuk menjaga Islam, menjaga syari’at di tengah-tengah umat, dengan segala kesungguhan dan daya upaya. Mereka mengorbankan waktu, jiwa raga, dan harta, untuk menjelaskan hakikat syari’at kepada umat manusia serta membawa mereka untuk bisa mengamalkannya.”
Sikap Ahlussunnah wal Jama’ah
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, menyebutkan, “Yang dimaksud dengan as-sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-jama’ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi Muhammad SAW pada masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, yang empat, yang telah mendapat hidayah.”
Dalam kitab Syarh al-Wasithiyyah, disebutkan, “Apabila disebut Al-Jama’ah bersama As-Sunnah lantas dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dimaksud dengannya adalah para salaf dari umat ini, termasuk para sahabat Nabi SAW dan para tabi’in, yang sepakat dalam kebenaran yang nyata dari Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah SAW.”
Jadi, kaum Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh pada sunnah-sunnah (ajaran-ajaran) Nabi Muhammad SAW. Ahlussunnah wal Jama’ah menerima sunnah-sunnah Nabi SAW, melalui para periwayatnya, baik dari kalangan ahlul bayt maupun dari para sahabat Nabi SAW.
Makna Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut dapatlah dipahami bila para tokoh ulama terkemuka dalam Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah seiring sejalan bahkan memiliki hubungan yang harmonis dengan keluarga ahlul bayt, sebab mereka semua adalah kaum yang, sebagaimana disebutkan di atas, sepakat dalam kebenaran yang nyata dari Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah SAW.
Tidaklah mengherankan bila kemudian ditemukan banyak komentar yang terlontar dari kalangan keluarga ahlul bayt yang memuji dan menyanjung sahabat Nabi. Begitu pun sebaliknya, tak terhitung banyaknya perkataan para ulama tokoh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang menunjukkan kecintaan mereka kepada ahlul bayt, sebagai bentuk kepatuhan terhadap syari’at Islam, yang amat mereka pahami.
Dalah hal ini, cukuplah kiranya pernyataan Imam Ja’far Ash-Shadiq (baca Manaqib), “Saya dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali!” Siapakah ibu Imam Ja’far? Ibunya bernama Ummu Farwah binti  Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.
Atas ucapan Imam Ja’far itu, para ulama dan sejarawan pun menilainya sebagai wujud rasa bangga sang Imam atas jalinan kekerabatan yang ia miliki dengan Sayyidina Abu Bakar. Imam Ja’far tidak menyebut nama Muhammad bin Abu Bakar, sosok yang disepakati kaum Syi’ah akan keutamaannya. Tapi ia menyebut nama Abu Bakar. Jelas bukan terhadap siapa seseorang akan berbangga?

Memuliakan Ahlul Bayt

Ketika Sayyidina Umar bin Abdul Aziz RA masih menjadi penguasa kota Madinah, buyut perempuan Rasulullah SAW yang bernama Fathimah binti ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Husein bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhum datang kepadanya.
Semua orang yang berada di dalam rumah disuruh keluar oleh Umar bin Abdul Aziz, kemudian ia berkata kepadanya, “Di muka bumi ini tidak ada keluarga yang lebih kucintai daripada kalian, dan kalian lebih kucintai daripada keluargaku sendiri.”
Itulah salah satu gambaran kecintaan yang terus berlanjut antara tokoh-tokoh umat dan kalangan keluarga ahlul bayt. Contoh-contoh lainnya masih teramat banyak.
Imam Abu Hanifah RA, misalnya, sangat besar kecintaannya kepada ahlul bayt. Ia menghormati mereka dan sering membantu untuk mengatasi kesukaran mereka, baik yang sedang dikejar-kejar oleh kekuasaan Bani Umayyah maupun yang tidak. Pada suatu saat ia memberi bantuan keuangan kepada keluarga ahlul bayt yang sedang dikejar-kejar, dengan uang sebesar 12 000 dirham. Bahkan ia mendorong sahabat-sahabatnya agar membantu mengatasi kesulitan para anggota keluarga ahlul bayt Rasulullah SAW.
Begitu pula Imam Syafi’i RA. Ketika ia dituduh kaum Khawarij sebagai pengikut kaum Rawafidh dan kaum Nawashib (karena kecintaan dan penghormatannya kepada ahlul bayt dan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu Anhum), dalam beberapa bait syairnya ia menjawab tegas:
Kalau aku dituduh
oleh orang-orang bodoh
sebagai penganut kaum Rawafidh
karena aku memuliakan Ali RA…
kalau aku dituduh
sebagai penganut kaum Nawashib
karena aku memuliakan Abu Bakar RA…
biarlah aku selamanya menjadi orang Rawafidh dan Nawashib kedua-duanya
karena aku memang memuliakan ‘Ali dan Abu Bakar…
kendatipun aku akan dibenamkan dalam gundukan pasir…. 
Ia juga mengatakan, “Kalau karena mencintai keluarga Muhammad aku dituduh penganut kaum Rawafidh, biarlah Tsaqalain (Kitabullah dan ahlul bayt Rasulullah SAW) menjadi saksi bahwa aku ini seorang Rafidhi