RAFSANJANI "BIJAK", AHMADI- NEJAD "JAHIL"???
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/05/rafsanjani-bijak-ahmadinejad-jahil.html#.UaHc3lIxVkg
Pada satu hari menjelang Perang Khaibar di jaman Rosulullah, Beliau
memerintahkan umat Islam untuk berangkat ke Khaibar (dekat Madinah) demi
menaklukkan orang-orang yahudi yang terbukti telah melakukan tindakan
pengkhianatan. Sebelum berangkat Beliau berpesan kepada kaum muslim
untuk tidak melakukan sholat sebelum mencapai tempat tujuan meskipun
waktu sholat telah tiba.
Ketika di tengah perjalanan ternyata waktu sholat benar-benar tiba. Sebagian sahabat Rosul memenuhi pesan Rosul dengan tidak melaksanakan sholat sebelum mencapai Khaibar. Namun sebagian sahabat lainnya, yang merasa memiliki hak menafsirkan hukum agama sendiri di atas Rosulullah, menolak mengikuti perintah Rosul dengan menjalankan sholat.
Pada saat itu sebenarnya umat Islam tengah diuji dengan ujian yang tampak ringan namun sebenarnya sangat berat. Kedua pilihan tersebut yaitu menjalankan sholat tepat waktu atau memenuhi perintah Rosul untuk menjalankan sholat di Khaibar tampak seperti 2 perintah yang sama-sama baik.
Ketika di tengah perjalanan ternyata waktu sholat benar-benar tiba. Sebagian sahabat Rosul memenuhi pesan Rosul dengan tidak melaksanakan sholat sebelum mencapai Khaibar. Namun sebagian sahabat lainnya, yang merasa memiliki hak menafsirkan hukum agama sendiri di atas Rosulullah, menolak mengikuti perintah Rosul dengan menjalankan sholat.
Pada saat itu sebenarnya umat Islam tengah diuji dengan ujian yang tampak ringan namun sebenarnya sangat berat. Kedua pilihan tersebut yaitu menjalankan sholat tepat waktu atau memenuhi perintah Rosul untuk menjalankan sholat di Khaibar tampak seperti 2 perintah yang sama-sama baik.
Namun sebenarnya dalam kasus ini
tidak demikian. Allah telah berulangkali berfirman di dalam Al Qur'an
untuk mematuhi semua perintah Rosul karena semua perkataan beliau adalah
kebenaran yang dijamin Allah. Sebaliknya menolak perintah Rosulullah
diancam Allah dengan hukuman berat. Dengan demikian maka para sahabat
yang melakukan sholat sebelum sampai Khaibar sebenarnya telah melakukan
pembangkangan terhadap Allah dan Rosul-Nya.
Memang sebelumnya telah ada perintah untuk melakukan sholat tepat waktu. Namun dalam kasus ini perintah tersebut tidak berlaku lagi setelah digantikan oleh perintah untuk melakukannya di Khaibar. Dan bagi mereka yang merasa memiliki hak untuk menafsirkan hukum lain di luar perintah Allah dan Rosul-nya, maka sebenarnya orang itu telah berlaku "jahil".
Dalam riwayat hadits yang menceritakan peristiwa tersebut memang disebutkan bahwa Rosulullah tidak menyalahkan para sahabat yang membangkang perintahnya dengan menjalankan sholat di tengah perjalanan. Namun mengingat banyaknya bias pada kitab-kitab hadits, saya lebih percaya bila Rosul mengecam tindakan para sahabat tersebut. Wallahualam. (Beberapa contoh hadits yang bias diantaranya adalah perintah untuk membunuh cicak, perintah membunuh ular, nabi Musa berkelahi melawan malaikat, nabi musa mengejar batu sambil telanjang, Allah yang berwujud seperti manusia, dll).
Terkait dengan kisah tersebut kini di Iran tengah terjadi peristiwa yang bisa ditafsirkan sama. Iran dipimpin oleh seorang ulama besar keturunan Rosul yang disucikan Allah bernama Ali Khamanei. Dalam menjalankan fungsinya sebagai pemimpin tertinggi, ia telah mendelegasikan kekuasaan memilih pemimpin eksekutif (presiden) kepada Dewan Penjaga Revolusi yang beranggotakan para ulama dan ilmuan. Dewan Penjaga Revolusi telah mendiskualifikasi 2 orang tokoh populer yaitu Akbar Hashemi Rafsanjani dan Esfandiar Rahim Mashaie. Rafsanjani adalah mantan presiden yang berperan besar dalam Revolusi Iran tahun 1979. Sementara Mashaie adalah seorang pejabat tinggi yang didukung oleh Presiden Ahmadinejad.
Atas keputusan tersebut Rafsanjani dan Ahmadinejad telah melakukan sikap yang mirip dengan sikap para sahabat terhadap perintah Rosulullah tentang sholat di Khaibar. Rafsanjani patuh pada keputusan, namun Ahmadinejad membangkang dengan "penafsiran"-nya sendiri.
“Rafsanjani menganggap bahwa pengalamannya menjadi presiden ditentukan oleh hukum. (Maka demi hukum pula beliau menerima keputusan),” kata Eshagh Jahangari, jubir Rafsanjani menanggapi keputusan Dewan Penjaga Revolusi.
Jahangari menekankan bahwa Rafsanjani adalah salah satu pilar dari sistem kekuasaan di Iran, maka ia tidak akan menghancurkan pilar tersebut.
Namun tidak demikian halnya dengan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Ia menolak keputusan tersebut dan memutuskan untuk membawa kasus tersebut ke pemimpin tertinggi Ali Khamanei. Menurut Ahmadinejad Mashaei, yang tidak lain adalah besannya itu, adalah seorang dengan keimanan yang tinggi dan memiliki kemampuan yang dibutuhkan sebagai kandidat presiden. Penolakan pencalonan Mashaei dianggapnya sebagai "tidak adil".
Bukan kali ini saja Ahmadinejad melakukan "pembangkangan". Ia pernah terlibat "perang dingin" dengan pemimpin tertinggi Ali Khamenei akibat memecat seorang menteri yang dijagokan Khamanei. Ia juga dianggap "lancang" memasuki wilayah keagamaan yang merupakan haknya para ulama dalam kasus penafsiran "kedatangan al Masih". Ia baru meminta ma'af kepada Khamanei setelah diancam akan ditangkap oleh panglima Tentara Pengawal Republik yang berada di bawah komando pemimpin tertinggi.
Baru-baru ini Ahmadinejad juga melakukan kegaduhan politik, yaitu dengan memperdengarkan rekaman pembicaraan saudara kandung ketua parlemen di depan sidang parlemen. Selain itu para pendukung Ahmadinejad mengusir ketua parlemen saat berpidato di depan massa. Akibat aksi-aksi tersebut Ahmadinejad kembali mendapat ancaman oleh Tentara Pengawal Republik. Baru-baru ini juga beredar kabar tentang "penculikan" Ahmadinejad oleh aparat inteligen Iran akibat ancaman Ahmadinejad untuk "membongkar aib regim" setelah pencalonan kandidat presiden yang dijagokannya mendapatkan rintangan.
Jika para sahabat saja bisa membangkang kepada Rosulullah, manusia terbaik yang pernah diciptakan Allah di muka bumi, maka tidak mengherankan jika Ahmadinejad pun membangkang terhadap Ali Khamanei. Namun tentu saja hal itu tidak bisa dibiarkan karena hal itu berarti telah menyemai bibit perpecahan yang mengancam eksistensi suatu bangsa.
Memang sebelumnya telah ada perintah untuk melakukan sholat tepat waktu. Namun dalam kasus ini perintah tersebut tidak berlaku lagi setelah digantikan oleh perintah untuk melakukannya di Khaibar. Dan bagi mereka yang merasa memiliki hak untuk menafsirkan hukum lain di luar perintah Allah dan Rosul-nya, maka sebenarnya orang itu telah berlaku "jahil".
Dalam riwayat hadits yang menceritakan peristiwa tersebut memang disebutkan bahwa Rosulullah tidak menyalahkan para sahabat yang membangkang perintahnya dengan menjalankan sholat di tengah perjalanan. Namun mengingat banyaknya bias pada kitab-kitab hadits, saya lebih percaya bila Rosul mengecam tindakan para sahabat tersebut. Wallahualam. (Beberapa contoh hadits yang bias diantaranya adalah perintah untuk membunuh cicak, perintah membunuh ular, nabi Musa berkelahi melawan malaikat, nabi musa mengejar batu sambil telanjang, Allah yang berwujud seperti manusia, dll).
Terkait dengan kisah tersebut kini di Iran tengah terjadi peristiwa yang bisa ditafsirkan sama. Iran dipimpin oleh seorang ulama besar keturunan Rosul yang disucikan Allah bernama Ali Khamanei. Dalam menjalankan fungsinya sebagai pemimpin tertinggi, ia telah mendelegasikan kekuasaan memilih pemimpin eksekutif (presiden) kepada Dewan Penjaga Revolusi yang beranggotakan para ulama dan ilmuan. Dewan Penjaga Revolusi telah mendiskualifikasi 2 orang tokoh populer yaitu Akbar Hashemi Rafsanjani dan Esfandiar Rahim Mashaie. Rafsanjani adalah mantan presiden yang berperan besar dalam Revolusi Iran tahun 1979. Sementara Mashaie adalah seorang pejabat tinggi yang didukung oleh Presiden Ahmadinejad.
Atas keputusan tersebut Rafsanjani dan Ahmadinejad telah melakukan sikap yang mirip dengan sikap para sahabat terhadap perintah Rosulullah tentang sholat di Khaibar. Rafsanjani patuh pada keputusan, namun Ahmadinejad membangkang dengan "penafsiran"-nya sendiri.
“Rafsanjani menganggap bahwa pengalamannya menjadi presiden ditentukan oleh hukum. (Maka demi hukum pula beliau menerima keputusan),” kata Eshagh Jahangari, jubir Rafsanjani menanggapi keputusan Dewan Penjaga Revolusi.
Jahangari menekankan bahwa Rafsanjani adalah salah satu pilar dari sistem kekuasaan di Iran, maka ia tidak akan menghancurkan pilar tersebut.
Namun tidak demikian halnya dengan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Ia menolak keputusan tersebut dan memutuskan untuk membawa kasus tersebut ke pemimpin tertinggi Ali Khamanei. Menurut Ahmadinejad Mashaei, yang tidak lain adalah besannya itu, adalah seorang dengan keimanan yang tinggi dan memiliki kemampuan yang dibutuhkan sebagai kandidat presiden. Penolakan pencalonan Mashaei dianggapnya sebagai "tidak adil".
Bukan kali ini saja Ahmadinejad melakukan "pembangkangan". Ia pernah terlibat "perang dingin" dengan pemimpin tertinggi Ali Khamenei akibat memecat seorang menteri yang dijagokan Khamanei. Ia juga dianggap "lancang" memasuki wilayah keagamaan yang merupakan haknya para ulama dalam kasus penafsiran "kedatangan al Masih". Ia baru meminta ma'af kepada Khamanei setelah diancam akan ditangkap oleh panglima Tentara Pengawal Republik yang berada di bawah komando pemimpin tertinggi.
Baru-baru ini Ahmadinejad juga melakukan kegaduhan politik, yaitu dengan memperdengarkan rekaman pembicaraan saudara kandung ketua parlemen di depan sidang parlemen. Selain itu para pendukung Ahmadinejad mengusir ketua parlemen saat berpidato di depan massa. Akibat aksi-aksi tersebut Ahmadinejad kembali mendapat ancaman oleh Tentara Pengawal Republik. Baru-baru ini juga beredar kabar tentang "penculikan" Ahmadinejad oleh aparat inteligen Iran akibat ancaman Ahmadinejad untuk "membongkar aib regim" setelah pencalonan kandidat presiden yang dijagokannya mendapatkan rintangan.
Jika para sahabat saja bisa membangkang kepada Rosulullah, manusia terbaik yang pernah diciptakan Allah di muka bumi, maka tidak mengherankan jika Ahmadinejad pun membangkang terhadap Ali Khamanei. Namun tentu saja hal itu tidak bisa dibiarkan karena hal itu berarti telah menyemai bibit perpecahan yang mengancam eksistensi suatu bangsa.
REF:
"Rafsanjani to Stay with S. Leader, Ahmadinejad Rejects Mashaei Dismissal"; almanar.com.lb; 22 Mei 2013
KILAS BALIK GERAKAN REFOR- MASI (2)
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/05/kilas-balik-gerakan-reformasi-2.html#.UaHamFIxVkg
Menjelang Pemilu 1999, saat saya masih menjadi wartawan di Batam, saya
mendapatkan tugas dari pimpinan saya untuk mengajukan satu "pertanyaan
kunci" kepada Amien Rais saat beliau "berkampanye" di Masjid Raya
Batamindo, Muka Kuning-Batam.
"Apalah Bapak mendukung Pak Habibie menjadi presiden mendatang?"
Demikian "pertanyaan kunci" tersebut saya ajukan kepada Amien Rais begitu kesempatan yang sangat sulit akhirnya datang kepada saya. Amien Rais tidak menjawab pertanyaan saya. Sebaliknya saya melihat wajahnya memerah menahan marah. Sesaat kemudian ia memegang pundak saya dan menekannya keras-keras sambil berlalu.
Saya menyembunyikan peristiwa ini kepada atasan dan rekan-rekan kerja karena menganggapnya sebagai sebuah "aib" tidak saja bagi saya namun juga bagi Pak Amien. Bertahun-tahun saya pun mencoba memahami mengapa Pak Amien Rais marah kepada saya karena pertanyaan tersebut di atas. Hingga akhirnya saya mendapatkan jawabannya.
"Bodoh aku! Siapa yang tidak ingin jadi presiden?" kata saya dalam hati setelah berhasil menemukan jawaban atas kemarahan Pak Amien Rais tersebut.
Ya, siapa tidak ingin jadi presiden? Terlebih bagi seorang yang merasa paling berjasa dalam gerakan reformasi yang sukses menumbangkan regim Orde Baru pimpinan Pak Harto. Pak Amien Rais tentu juga ingin menjadi presiden. Namun sayang realitas politik tidak memihaknya, Amien Rais telah menjadi "kartu mati", dan hal itulah yang membuatnya marah saat disinggung tentang prospek Habibie menjadi presiden.
Boleh saja Pak Amien sukses menumbangkan Soeharto. Namun secara de-facto Pak Harto masih menjadi orang paling berpengaruh di Indonesia. Kalau tidak di kalangan politisi, setidaknya Pak Harto masih berpengaruh besar di kalangan birokrat dan terlebih lagi TNI. Ditambah kekayaan yang melimpah, tidak ada yang tidak bisa dilakukan Pak Harto kecuali bertahan menjadi presiden. Anaknya saja, Tommy, bisa membunuh seorang hakim agung dan masih bisa mendapatkan remisi dan bisnisnya masih lancar sampai kini. Siapa saja yang berani mendukung Pak Amien menjadi presiden sama saja dengan melempar kotoran ke muka Pak Harto dan keluarganya. Dan tidak ada orang waras di Indonesia yang berani melakukan hal itu. Maka Amien pun gagal menjadi presiden, tidak saja pada tahun 1999, namun juga tahun 2004 dan 2009.
Hal lain lagi yang baru saya ketahui kemudian adalah hubungan gelap antara Amien Rais dengan para tokoh zionis-neokonservatif Amerika. Adrian Napitupulu, tokoh gerakan mahasiswa "Forum Kota" dalam acara diskusi "Apa Kabar Indonesia Pagi" hari Rabu (22/5) lalu menuduh Amien Rais bersama elit-elit politik telah menelikung gerakan reformasi yang digerakkan para mahasiswa dan baru benar-benar bergabung dengan gerakan reformasi 70 hari sebelum lengsernya Pak Harto tgl 21 Mei 1998. Saya masih ingat benar karena diberitakan oleh media massa saat itu, bahwa pada bulan April atau saat gerakan reformasi tengah mencapai momentumnya, Amien Rais pergi ke Amerika. Media massa memang tidak menyebutkan apa saja yang dilakukan Amerika saat itu. Namun kini saya yakin, beliau menemui para tokoh zionis-neokonservatif. Apalagi kalau bukan untuk mendapatkan instruksi-instruksi dan dukungan dana.
Kebiasaan Amien Rais menemui para gembong zionis ini juga terkonfirmasi oleh tulisan Christianto Wibisono di Harian Suara Pembaharuan tgl 29 Mei 2007 berjudul "AMIEN RAIS DAN PAUL WOLFOWITZ". Harap diperhatikan bahwa tulisan tersebut menyebut pertemuan-pertemuan Amien Rais dengan tokoh-tokoh zionis seperti Paul Wolfowitz (arsitek perang Afghanistan dan Irak), George Soros (tangan kanan keluarga Rothchild pendiri negara Israel), Al Gore (mantan wapres Amerika agen provokator isu pemanasan global untuk kepentingan globalis yahudi) serta Henry Kissinger (arsitek perang Vietnam).
Berikut adalah tulisan tersebut:
AMIEN RAIS DAN PAUL WOLFOWITZ
Bola liar aliran dana DKP memuncak menjadi “adversarial contest” antara Presiden Yudhoyono yang setelah bersabar 2,5 tahun menyebut nama Amien Rais sebagai opponent “penyebar fitnah”.
Mantan menteri Rokhmin Dahuri barangkali akan tercatat dalam sejarah sebagai "whistleblower" pengungkap gunung es skandal KKN yang menggoncangkan jantung kekuasaan NKRI pasca Reformasi. Saya baru mendarat di Kennedy Airport New York City Rabu siang 23 Mei, ketika Andi Malarangeng menelpon tentang berita Amien Rais menyatakan pernah ditawari dana oleh Paul Wolfowitz dan dalam berita itu Amien Rais menyebut salah satu yang menyaksikan pertemuan adalah saya dan Bambang Sudibyo.
Saya berangkat dari Jakarta Minggu malam 20 Mei dan tidak membaca berita tsb. Karena itu saya menyatakan bahwa pertemuan Amien dan Paul Wolfowitz yang dimaksud mungkin salah satu dari acara Amien Rais sebagai Ketua Umum PAN bulan Maret 1999. Waktu itu belum ada pilpres langsung, dan pendamping Amien waktu itu adalah Bambang Sudibyo sedang “manager” yang mengatur perjalanan Amien ke Washington DC ialah Bara Hasibuan. Paul Woffowitz waktu itu berada diluar kabinet dan menjabat Dean School of International Affairs, John Hopkins University.
Membicarakan hubungan bilateral AS dengan pelbagai negara dunia termasuk RI, harus memahami pelbagai tingkatan, jalur dan dimensi dari "multi-track diplomacy" secara cermat. Bila tidak, akan terjadi kerancuan dan campur aduk yang membingungkan karena "factor conflict of interest" pada tingkat individu, institusi maupun "inter-state" (hubungan antar Negara)
Baik Paul Wolfowitz maupun Edward Masters menyatakan bahwa USINDO adalah lembaga netral dan bukan "lobbyist" dalam arti “spesifik” dan karena itu tidak dalam posisi untuk “mengatur atau mengusahakan pertemuan antara Amien Rais yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum PAN dengan Wapres Al Gore. Dalam "euphoria" demokrasi itu maka National Endowment for Democracy (NED) adalah lembaga AS yang mempunyai missi membantu mengembangkan proses re-demokratisasi bekas negara otoriter, termasuk Indonesia. Partai Republik mempunyai International Republican Institute (IRI) sedang Partai Demokrat mendirikan National Democratic Institute (NDI). USINDO bisa menghubungi IRI dan NDI agar Amien Rais bisa bertemu dengan senator dan "congressmen" baik dari Demokrat maupun Republik. Secara umum juga ditekankan bahwa AS berkepentingan melihat suksesnya reformasi demokratis di Indonesia setelah keluar dari krismon dan perubahan dari rezim otoriter ke demokrasi parlementer.
Saya mengikuti beberapa pertemuan rombongan inti Amien Rais, Bambang Sudibyo dan Bara Hasibuan serta Yahya Muhaimin (waktu itu Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI). Sepanjang ingatan saya pembicaraan dengan Paul dan elite AS serta Michael Camdessus dari IMF adalah pada tingkat hubungan bilateral, institusional dan juga harapan suksesnya demokrasi RI pada tingkat operasional dengan pemberdayaan lembaga lembaga demokrasi seperti parpol dan LSM. Di New York, Amien Rais juga sempat bertemu George Soros dan Henry Kissinger. Itulah satu satunya agenda “resmi” karena posisi saya sebagai anggota Majelis Pertimbangan Pusat PAN.
Setelah itu, pemilu 1999 menghasilkan multipartai dengan PDIP sebagai fraksi terbesar tapi bukan mayoritas dan manuver Poros Tengah melahirkan paradox bahwa Megawati harus puas jadi Wapres karena Amien Rais menjadi arsitek Poros Tengah yang mengorbitkan Gus Dur sebagai Presiden. Bambang Sudibyo kemudian memperoleh posisi strategis sebagai Menteri Keuangan.
Gus Dur ternyata tidak bisa dikendalikan oleh Poros Tengah dan konspirasi ini hanya berumur 2 tahun karena Gus Dur di-"impeach" oleh MPR digantikan oleh Megawati.
6 minggu sebelum "impeachment" Gus Dur menawarkan jabatan Menko Perekonomian sekitar 10-12 Juni 2001. Saya menyatakan bisa menerima bila Gus Dur dan Megawati rujuk sehingga pekerjaan sebagai Menko selesai separo bila dua atasan bersatu. Tapi kalau Menko harus bekerja dibawah Presiden dan Wapres yang saling bersaing, maka Menko itu pasti habis waktunya untuk memahami sebetulnya kabinet dan pemerintah itu mau dibawa kemana, bila RI 1 dan RI2 ber-oposisi satu sama lain.
Melaju ke pilpres 2004, Amien Rais sudah menjadi ketua MPR dan kunjungan ke Washington tentu sudah diatur oleh protokol Senat dan KBRI. Paul Wolfowitz sudah jadi deputy Menhan dan sibuk soal Iraq dan saya hanya menghadiri ceramah umum Amien di depan USINDO. Karena jaringan yang saya bina di Washington DC, banyak tim sukses capres yang menghubungi saya mengenai persepsi AS terhadap capres dan hubungan bilateral bila terpilih sebagai presiden. Saya tekankan perlunya hubungan bilateral yang strategis antara kedua negara. Ini bukan masalah sumbangan dana kampanye, melainkan hubungan bilateral yang melembaga dan transparan seperti hubungan AS-Rusia, AS-RRT, AS- Arab Saudi, AS-India dst dsb. Bobotnya ialah "mutual strategic interest" dua negara dan wawasan kenegarawanan capres ybs.,
Dana kampanye capres RI tentu harus berasal dari dalam negeri berdasar mekanisme regulasi yang berlaku. Dana kampenya capres AS juga ketat menyeleksi dan menghukum pelanggaran setoran dana kampanye oleh orang atau lembaga asing non AS. Ketika John Huang dari Partai Demokrat menyalurkan sumbangan dari group Lippo ke dana kampanya Bill Clinton, maka delik pidana ini disidangkan dan John Huang serta Charlie Trie dijatuhi pidana kurungan dan denda. Karena itu Mahathir yang sudah belajar dari kasus John Huang, memakai pola yang lebih rumit. LSM Malaysia menyalurkan donasi ke LSM AS, jadi suatu aliran dana terbalik dari Negara Dunia ketiga malah disumbangkan ke mbahnya kapitalis AS. Lalu LSM AS itu yang mengatur dana itu yang statusnya sudah menjadi dana LSM AS, disalurkan ke dana kampanye Bush, secara legal dan afdol. Kisah ini tetap menarik dan disorot karena sempat menyinggung "lobbyist" Jack Abramoff.
Secara "explicit" dan terbuka pada peluncuran GNI 10 April 2007 saya telah mengusulkan UU pencegahan "conflict of interest" penguasa merangkap pengusaha. Politisi terutama ex pengusaha harus menyerahkan pengelolaan asset bisnis kepada "blind trust management", perusahaan independen pengelola assets ketika pengusaha politisi tersebut menjabat menteri atau sampai Presiden. Tidak ada larangan pengusaha jadi menteri atau presiden. Yang harus diatur adalah "conflict of interestnya" bila terjadi amburadul dana pribadi dan dana kampanye.
Capres atau politisi kemudian harus mengumumkan dua macam buku yang transparan. Buku pertama ialah harta, bisnis dan penghasilan pribadi serta pajak yang dibayar. Buku kedua ialah buku dana kampanye yang jumlahnya bisa lebih besar dari harta milik dan penghasilan pribadi. Buku ini juga diaudit secara transparan untuk mengetahui apa dan siapa donator dan berapa jumlah donasi yang tidak boleh melanggar ketentuan maksimal perorangan dan perusahaan.
Semua usulan ini sudah saya sampaikan kepada Presiden Yudhoyono 10 April sore itu juga. Ketua DPR yang Senin malam 9 April datang makan malam sudah mendengar begitu pula Ketua DPD hari Rabu 11 April. Ketua Mahkamah Konstitusi hari Jumat 13 April dan kemudian Ketua MPR menjelang heboh usul amandemen. Jadi GNI sudah memberi peringatan dini bahwa masalah amburadul "conflict of interest" penguasaha dan dana kampanye harus ditanggulangi dengan sistematis.
Masih belum terlambat bila kita melaksanakan sistem itu agar tidak ditelan wabah “dana kampanye model Joyoboyo”. Tragis bahwa baik Amien maupun Paul menjadi korban kasus dan isu bernuansa moral KKN. Joyoboyo ternyata tidak mengenal batas Jawa, Indonesia atau Yahudi Amerika Serikat.
"Apalah Bapak mendukung Pak Habibie menjadi presiden mendatang?"
Demikian "pertanyaan kunci" tersebut saya ajukan kepada Amien Rais begitu kesempatan yang sangat sulit akhirnya datang kepada saya. Amien Rais tidak menjawab pertanyaan saya. Sebaliknya saya melihat wajahnya memerah menahan marah. Sesaat kemudian ia memegang pundak saya dan menekannya keras-keras sambil berlalu.
Saya menyembunyikan peristiwa ini kepada atasan dan rekan-rekan kerja karena menganggapnya sebagai sebuah "aib" tidak saja bagi saya namun juga bagi Pak Amien. Bertahun-tahun saya pun mencoba memahami mengapa Pak Amien Rais marah kepada saya karena pertanyaan tersebut di atas. Hingga akhirnya saya mendapatkan jawabannya.
"Bodoh aku! Siapa yang tidak ingin jadi presiden?" kata saya dalam hati setelah berhasil menemukan jawaban atas kemarahan Pak Amien Rais tersebut.
Ya, siapa tidak ingin jadi presiden? Terlebih bagi seorang yang merasa paling berjasa dalam gerakan reformasi yang sukses menumbangkan regim Orde Baru pimpinan Pak Harto. Pak Amien Rais tentu juga ingin menjadi presiden. Namun sayang realitas politik tidak memihaknya, Amien Rais telah menjadi "kartu mati", dan hal itulah yang membuatnya marah saat disinggung tentang prospek Habibie menjadi presiden.
Boleh saja Pak Amien sukses menumbangkan Soeharto. Namun secara de-facto Pak Harto masih menjadi orang paling berpengaruh di Indonesia. Kalau tidak di kalangan politisi, setidaknya Pak Harto masih berpengaruh besar di kalangan birokrat dan terlebih lagi TNI. Ditambah kekayaan yang melimpah, tidak ada yang tidak bisa dilakukan Pak Harto kecuali bertahan menjadi presiden. Anaknya saja, Tommy, bisa membunuh seorang hakim agung dan masih bisa mendapatkan remisi dan bisnisnya masih lancar sampai kini. Siapa saja yang berani mendukung Pak Amien menjadi presiden sama saja dengan melempar kotoran ke muka Pak Harto dan keluarganya. Dan tidak ada orang waras di Indonesia yang berani melakukan hal itu. Maka Amien pun gagal menjadi presiden, tidak saja pada tahun 1999, namun juga tahun 2004 dan 2009.
Hal lain lagi yang baru saya ketahui kemudian adalah hubungan gelap antara Amien Rais dengan para tokoh zionis-neokonservatif Amerika. Adrian Napitupulu, tokoh gerakan mahasiswa "Forum Kota" dalam acara diskusi "Apa Kabar Indonesia Pagi" hari Rabu (22/5) lalu menuduh Amien Rais bersama elit-elit politik telah menelikung gerakan reformasi yang digerakkan para mahasiswa dan baru benar-benar bergabung dengan gerakan reformasi 70 hari sebelum lengsernya Pak Harto tgl 21 Mei 1998. Saya masih ingat benar karena diberitakan oleh media massa saat itu, bahwa pada bulan April atau saat gerakan reformasi tengah mencapai momentumnya, Amien Rais pergi ke Amerika. Media massa memang tidak menyebutkan apa saja yang dilakukan Amerika saat itu. Namun kini saya yakin, beliau menemui para tokoh zionis-neokonservatif. Apalagi kalau bukan untuk mendapatkan instruksi-instruksi dan dukungan dana.
Kebiasaan Amien Rais menemui para gembong zionis ini juga terkonfirmasi oleh tulisan Christianto Wibisono di Harian Suara Pembaharuan tgl 29 Mei 2007 berjudul "AMIEN RAIS DAN PAUL WOLFOWITZ". Harap diperhatikan bahwa tulisan tersebut menyebut pertemuan-pertemuan Amien Rais dengan tokoh-tokoh zionis seperti Paul Wolfowitz (arsitek perang Afghanistan dan Irak), George Soros (tangan kanan keluarga Rothchild pendiri negara Israel), Al Gore (mantan wapres Amerika agen provokator isu pemanasan global untuk kepentingan globalis yahudi) serta Henry Kissinger (arsitek perang Vietnam).
Berikut adalah tulisan tersebut:
AMIEN RAIS DAN PAUL WOLFOWITZ
Bola liar aliran dana DKP memuncak menjadi “adversarial contest” antara Presiden Yudhoyono yang setelah bersabar 2,5 tahun menyebut nama Amien Rais sebagai opponent “penyebar fitnah”.
Mantan menteri Rokhmin Dahuri barangkali akan tercatat dalam sejarah sebagai "whistleblower" pengungkap gunung es skandal KKN yang menggoncangkan jantung kekuasaan NKRI pasca Reformasi. Saya baru mendarat di Kennedy Airport New York City Rabu siang 23 Mei, ketika Andi Malarangeng menelpon tentang berita Amien Rais menyatakan pernah ditawari dana oleh Paul Wolfowitz dan dalam berita itu Amien Rais menyebut salah satu yang menyaksikan pertemuan adalah saya dan Bambang Sudibyo.
Saya berangkat dari Jakarta Minggu malam 20 Mei dan tidak membaca berita tsb. Karena itu saya menyatakan bahwa pertemuan Amien dan Paul Wolfowitz yang dimaksud mungkin salah satu dari acara Amien Rais sebagai Ketua Umum PAN bulan Maret 1999. Waktu itu belum ada pilpres langsung, dan pendamping Amien waktu itu adalah Bambang Sudibyo sedang “manager” yang mengatur perjalanan Amien ke Washington DC ialah Bara Hasibuan. Paul Woffowitz waktu itu berada diluar kabinet dan menjabat Dean School of International Affairs, John Hopkins University.
Membicarakan hubungan bilateral AS dengan pelbagai negara dunia termasuk RI, harus memahami pelbagai tingkatan, jalur dan dimensi dari "multi-track diplomacy" secara cermat. Bila tidak, akan terjadi kerancuan dan campur aduk yang membingungkan karena "factor conflict of interest" pada tingkat individu, institusi maupun "inter-state" (hubungan antar Negara)
Baik Paul Wolfowitz maupun Edward Masters menyatakan bahwa USINDO adalah lembaga netral dan bukan "lobbyist" dalam arti “spesifik” dan karena itu tidak dalam posisi untuk “mengatur atau mengusahakan pertemuan antara Amien Rais yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum PAN dengan Wapres Al Gore. Dalam "euphoria" demokrasi itu maka National Endowment for Democracy (NED) adalah lembaga AS yang mempunyai missi membantu mengembangkan proses re-demokratisasi bekas negara otoriter, termasuk Indonesia. Partai Republik mempunyai International Republican Institute (IRI) sedang Partai Demokrat mendirikan National Democratic Institute (NDI). USINDO bisa menghubungi IRI dan NDI agar Amien Rais bisa bertemu dengan senator dan "congressmen" baik dari Demokrat maupun Republik. Secara umum juga ditekankan bahwa AS berkepentingan melihat suksesnya reformasi demokratis di Indonesia setelah keluar dari krismon dan perubahan dari rezim otoriter ke demokrasi parlementer.
Saya mengikuti beberapa pertemuan rombongan inti Amien Rais, Bambang Sudibyo dan Bara Hasibuan serta Yahya Muhaimin (waktu itu Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI). Sepanjang ingatan saya pembicaraan dengan Paul dan elite AS serta Michael Camdessus dari IMF adalah pada tingkat hubungan bilateral, institusional dan juga harapan suksesnya demokrasi RI pada tingkat operasional dengan pemberdayaan lembaga lembaga demokrasi seperti parpol dan LSM. Di New York, Amien Rais juga sempat bertemu George Soros dan Henry Kissinger. Itulah satu satunya agenda “resmi” karena posisi saya sebagai anggota Majelis Pertimbangan Pusat PAN.
Setelah itu, pemilu 1999 menghasilkan multipartai dengan PDIP sebagai fraksi terbesar tapi bukan mayoritas dan manuver Poros Tengah melahirkan paradox bahwa Megawati harus puas jadi Wapres karena Amien Rais menjadi arsitek Poros Tengah yang mengorbitkan Gus Dur sebagai Presiden. Bambang Sudibyo kemudian memperoleh posisi strategis sebagai Menteri Keuangan.
Gus Dur ternyata tidak bisa dikendalikan oleh Poros Tengah dan konspirasi ini hanya berumur 2 tahun karena Gus Dur di-"impeach" oleh MPR digantikan oleh Megawati.
6 minggu sebelum "impeachment" Gus Dur menawarkan jabatan Menko Perekonomian sekitar 10-12 Juni 2001. Saya menyatakan bisa menerima bila Gus Dur dan Megawati rujuk sehingga pekerjaan sebagai Menko selesai separo bila dua atasan bersatu. Tapi kalau Menko harus bekerja dibawah Presiden dan Wapres yang saling bersaing, maka Menko itu pasti habis waktunya untuk memahami sebetulnya kabinet dan pemerintah itu mau dibawa kemana, bila RI 1 dan RI2 ber-oposisi satu sama lain.
Melaju ke pilpres 2004, Amien Rais sudah menjadi ketua MPR dan kunjungan ke Washington tentu sudah diatur oleh protokol Senat dan KBRI. Paul Wolfowitz sudah jadi deputy Menhan dan sibuk soal Iraq dan saya hanya menghadiri ceramah umum Amien di depan USINDO. Karena jaringan yang saya bina di Washington DC, banyak tim sukses capres yang menghubungi saya mengenai persepsi AS terhadap capres dan hubungan bilateral bila terpilih sebagai presiden. Saya tekankan perlunya hubungan bilateral yang strategis antara kedua negara. Ini bukan masalah sumbangan dana kampanye, melainkan hubungan bilateral yang melembaga dan transparan seperti hubungan AS-Rusia, AS-RRT, AS- Arab Saudi, AS-India dst dsb. Bobotnya ialah "mutual strategic interest" dua negara dan wawasan kenegarawanan capres ybs.,
Dana kampanye capres RI tentu harus berasal dari dalam negeri berdasar mekanisme regulasi yang berlaku. Dana kampenya capres AS juga ketat menyeleksi dan menghukum pelanggaran setoran dana kampanye oleh orang atau lembaga asing non AS. Ketika John Huang dari Partai Demokrat menyalurkan sumbangan dari group Lippo ke dana kampanya Bill Clinton, maka delik pidana ini disidangkan dan John Huang serta Charlie Trie dijatuhi pidana kurungan dan denda. Karena itu Mahathir yang sudah belajar dari kasus John Huang, memakai pola yang lebih rumit. LSM Malaysia menyalurkan donasi ke LSM AS, jadi suatu aliran dana terbalik dari Negara Dunia ketiga malah disumbangkan ke mbahnya kapitalis AS. Lalu LSM AS itu yang mengatur dana itu yang statusnya sudah menjadi dana LSM AS, disalurkan ke dana kampanye Bush, secara legal dan afdol. Kisah ini tetap menarik dan disorot karena sempat menyinggung "lobbyist" Jack Abramoff.
Secara "explicit" dan terbuka pada peluncuran GNI 10 April 2007 saya telah mengusulkan UU pencegahan "conflict of interest" penguasa merangkap pengusaha. Politisi terutama ex pengusaha harus menyerahkan pengelolaan asset bisnis kepada "blind trust management", perusahaan independen pengelola assets ketika pengusaha politisi tersebut menjabat menteri atau sampai Presiden. Tidak ada larangan pengusaha jadi menteri atau presiden. Yang harus diatur adalah "conflict of interestnya" bila terjadi amburadul dana pribadi dan dana kampanye.
Capres atau politisi kemudian harus mengumumkan dua macam buku yang transparan. Buku pertama ialah harta, bisnis dan penghasilan pribadi serta pajak yang dibayar. Buku kedua ialah buku dana kampanye yang jumlahnya bisa lebih besar dari harta milik dan penghasilan pribadi. Buku ini juga diaudit secara transparan untuk mengetahui apa dan siapa donator dan berapa jumlah donasi yang tidak boleh melanggar ketentuan maksimal perorangan dan perusahaan.
Semua usulan ini sudah saya sampaikan kepada Presiden Yudhoyono 10 April sore itu juga. Ketua DPR yang Senin malam 9 April datang makan malam sudah mendengar begitu pula Ketua DPD hari Rabu 11 April. Ketua Mahkamah Konstitusi hari Jumat 13 April dan kemudian Ketua MPR menjelang heboh usul amandemen. Jadi GNI sudah memberi peringatan dini bahwa masalah amburadul "conflict of interest" penguasaha dan dana kampanye harus ditanggulangi dengan sistematis.
Masih belum terlambat bila kita melaksanakan sistem itu agar tidak ditelan wabah “dana kampanye model Joyoboyo”. Tragis bahwa baik Amien maupun Paul menjadi korban kasus dan isu bernuansa moral KKN. Joyoboyo ternyata tidak mengenal batas Jawa, Indonesia atau Yahudi Amerika Serikat.
Artikel ini ditulis Oleh Christianto Wibisono di Harian "Suara Pembaharuan" tgl 29 Mei 2007
Quo Vadis Amien Rais?
Oleh : Ahmad Sumargono, S.E, M.M (Ketua GPMI, Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan UNPAD)
http://dhymas.wordpress.com/indonesiaku/quo-vadis-amien-rais/
Pernyataan
Amien Rais dalam wawancara dengan majalah Tempo 4 Mei 2008 bertajuk :
Ahmadiyah Punya Hak Hidup untuk ke sekian kalinya membuat saya
terperangah. Dengan semangat membela Ahmadiyah Amien berkata, ”Saya
mencium ada kelompok siluman yang melakukan semacam operasi intelijen
untuk memperkeruh suasana, menghancurkan ketenangan masyarakat.” Tuduhan
ini bukan alang-kepalang daya pressure nya, karena diketahui bersama
komponen umat Islam terbesar, atau Islam mainstream di negeri inilah
yang justru berada di balik protes-protes keras pembubaran Ahmadiyah.
Wabil-khusus tentu saja MUI (Majlis Ulama Indonesia) yang telah dua kali
mengeluarkan fatwa tegas bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan
menyesatkan.
Berikut ini petikan wawancara tersebut :
Menjelang
peringatan sepuluh tahun Reformasi, salah satu komponen bangsa, yaitu
Ahmadiyah, dianggap menyimpang dan direkomendasikan untuk menghentikan
kegiatannya. Padahal, di masa Orde Baru saja, mereka bisa hidup damai.…
Di
zaman Orde Lama, mereka juga bisa hidup tenang. Saya mencium ada
kelompok siluman yang melakukan semacam operasi intel untuk memperkeruh
suasana, menghancurkan ketenangan masyarakat. Munculnya masalah
Ahmadiyah seperti konflik Islam-Kristen di Ambon dulu yang amat
mengejutkan, karena sebelumnya tidak pernah terjadi. Padahal hubungan
harmonis antara penganut Islam dan Kristen di sana tadinya selalu
menjadi contoh kebanggaan nasional. Ketika berkunjung ke luar negeri,
sering kali kita menyebut bahwa Pancasila telah memungkinkan anak-anak
bangsa yang berbeda agama bisa bekerja sama secara harmonis dan rukun.
Tidak ada pertentangan, apalagi sampai konfrontasi fisik.
Mengapa Anda menyebut siluman? Bukankah organisasi yang menentang Ahmadiyah jelas, seperti Forum Umat Islam?
Itu kan organisasi yang muncul. Yang muncul jelas konkret. Bagian dari umat Islam. Tapi yang merekayasa ini harus dicari.
Apakah Anda mendapat informasi intelijen soal kelompok siluman ini?
Tidak
ada sama sekali. Tapi kriminalisasi dan demonisasi Ahmadiyah ini sebuah
rekayasa politik dan psikologi massa. Ini musibah. Umat Islam harus
hati-hati.
Sudah berapa lama Anda mengenal Ahmadiyah?
Ahmadiyah
sudah ada di Indonesia sejak saya kecil. Ketika saya masuk Universitas
Gadjah Mada pada 1962, saya lihat beberapa tokoh universitas ada yang
menjadi penganut Ahmadiyah. Yang terkenal itu Doktor Ahmad Djojosoegito.
Mereka juga punya sekolah teknik menengah dan sekolah menengah atas di
Yogyakarta.
Selama ini masyarakat tidak ada masalah dengan mereka?
Sama
sekali tidak ada. Mengapa dalam dua tahun terakhir ini diributkan?
Kalau Ahmadiyah dikatakan menyimpang dari akidah Sunni, sejak lahirnya,
ya, sudah menyimpang. Ahmadiyah Qadian ataupun Lahore menganggap Mirza
Gulam Ahmad sebagai Imam Mahdi.
Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat telah merekomendasikan Ahmadiyah menghentikan kegiatan mereka….
Saya
menyayangkan mengapa badan itu ketika membuat rekomendasi tidak
sekaligus melarang umat Islam melakukan kekerasan atau merusak masjid
atau kantor milik Ahmadiyah. Perusakan itu perbuatan yang tidak islami.
Kalau ada rekomendasi itu, mungkin orang-orang yang mau melakukan
kekerasan akan berpikir dulu. Rekomendasi itu tidak bijak karena tidak
melihat implikasi sosial, politik, psikologi, dan keagamaan dari yang
direkomendasikan.
Sekarang pemerintah sedang menggodok surat keputusan bersama tentang Ahmadiyah. Apa implikasinya jika Ahmadiyah harus dilarang?
Kalau
dilarang akan menjadi preseden yang luar biasa. Kapan-kapan kalau ada
sebuah sekte muncul dan tidak sesuai dengan selera serta pandangan
keimanan mainstream,
kembali akan dihajar, dengan diktum sebagai aliran sesat dan ramai-ramai
akan dikeroyok massa. Masalah ini sudah masuk ke wilayah yang amat
sangat rumit dan sensitif, sudah karut-marut. Tapi tampaknya pemerintah
seolah-olah tidak tahu.
Maksudnya?
Mengapa tiba-tiba Ahmadiyah dijadikan sasaran? Apalagi melibatkan aksi massa yang melibatkan ribuan orang dan well-organized.
Ini menimbulkan tanda tanya. Saya curiga persoalan ini sengaja
dimunculkan supaya masyarakat lupa akan persoalan kenaikan harga bahan
pokok, dari kegagalan pemerintah mengatasi kondisi infrastruktur yang
sudah hancur-hancuran. Supaya masyarakat lupa akan kenyataan bahwa
pemerintah ini sudah menjadi broken government.
Anda
curiga pemerintah berada di balik aksi anti-Ahmadiyah? Kalau benar,
bukankah kekerasan ini membuat citra pemerintah menjadi jelek menjelang
pemilihan umum?
Saya
kira ini tidak langsung berhubungan dengan pemilihan umum. Tapi di mana
pun, pemerintah yang sedang anjlok citranya karena tidak bisa mengatasi
masalah mendasar yang dihadapi rakyatnya biasanya menjadi kreatif dan
inovatif menciptakan suatu isu yang tahan agak lama.
Tujuannya?
Untuk
memalingkan perhatian masyarakat dari jumlah pengangguran yang
membengkak, kelaparan, dan kesengsaraan masyarakat. Dulu Bung Karno
mengganyang Malaysia. Padahal Malaysia tidak ada salahnya. Tiap hari
pawai, sampai lupa inflasi sudah 900 persen. Lupa bahwa di desa atau di
kota sudah ada orang yang makan tikus bakar. Rakyat jadi asyik masyuk
dengan konflik dan melupakan, bukan sejenak-dua jenak, tapi cukup lama
kesusahannya. Saya bisa saja keliru, tapi saya mengamati, pemerintah
yang bingung kadang-kadang mencari isu yang mengalihkan perhatian
masyarakat.
Bagaimana sesungguhnya sikap umat Islam terhadap Ahmadiyah?
Coba
tanya ke gajah-gajahnya organisasi Islam, yaitu Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah. Saya kira mereka tidak setuju dengan cara seperti ini.
Walaupun di Badan Koordinasi itu ada orang Nahdlatul Ulama atau
Muhammadiyah, kalau Hasyim Muzadi atau Din Syamsuddin ditanya, saya kira
keduanya tidak akan setuju dengan kekerasan terhadap Ahmadiyah.
Dari segi agama, bagaimana semestinya menyikapi Ahmadiyah?
Bagi
orang yang membaca Al-Quran, sudah jelas sekali. Tiap anak-cucu Adam
punya hak sepenuhnya untuk menganut agama yang dia pilih. Anak kecil
juga hafal surat Al-Kafirun: lakum dinukum waliyadin,
bagimu agamamu, bagiku agamaku. Ini mengajari kita semua supaya ada
koeksistensi secara damai di antara pemeluk agama yang berbeda-beda.
Dalam Al-Quran juga dikatakan, “Barang siapa ingin kafir, silakan kafir.
Barang siapa ingin beriman, silakan beriman.”
Jadi tidak ada paksaan dalam beragama?
Yang
paling penting, tidak ada paksaan dalam beragama. Saya membaca tarikh
Nabi, beliau tidak pernah mengajari supaya sebuah sekte yang dianggap
menyimpang dibasmi dengan kekerasan. Orang kafir juga harus dilindungi
karena punya hak hidup.
Konstitusi kita juga menjamin kebebasan orang beribadah?
Ya, itu jelas sekali. Jadi Tuhan sang Maha Pemurah dan pencipta langit dan bumi telah menciptakan keragaman. Ya, sudah.
Secara politik, apa sebenarnya yang dikhawatirkan dari Ahmadiyah?
Ahmadiyah
bukan gerakan politik. Bahkan istilah jihad di tangan Ahmadiyah menjadi
melempem. Buat mereka, jihad berarti berdakwah saja. Jadi keliru kalau
ada yang menganggap Ahmadiyah akan mengembangkan negara syariah.
Beberapa stasiun televisi mereka di Eropa hanya bicara tentang ajaran
Islam, akhlak, dan ekonomi.
Bagaimana profil orang Ahmadiyah?
Di
Pakistan mereka tetap eksis. Mereka naik haji ke Mekkah dan Madinah,
juga tetap salat lima waktu. Bahkan setahu saya, banyak jenderal
angkatan laut, darat, dan udara di Pakistan orang Ahmadiyah. Bahkan
pemenang Nobel Fisika, Dr Abdussalam, juga orang Ahmadiyah. Jadi mereka
itu sekumpulan orang intelektual. Bahkan, kalau mau jujur, yang
menyiarkan agama Islam di Eropa, ya, orang-orang Ahmadiyah lewat stasiun
televisi dan stasiun radio.
Mungkinkah persoalan Ahmadiyah dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat, karena ada partai yang kencang mendukung pelarangan Ahmadiyah?
Saya yakin sekali tidak akan sampai ke Dewan. Kalau mengharapkan Dewan memvonis Ahmadiyah, itu mission impossible.
Mengapa?
Saya
agak paham peta di Dewan. Membuat semua anggota Dewan yang fraksinya
berbeda-beda mengompori pemerintah supaya melarang Ahmadiyah, itu tidak
terbayangkan. Unthinkable.
Ya, mungkin ada satu-dua fraksi yang ingin melarang Ahmadiyah. Tapi,
berdasarkan pengalaman saya, Dewan akan selalu kembali ke titik tengah.
Tidak mau diajak ekstrem.
Bagaimana sebaiknya jalan tengah untuk Ahmadiyah?
Sekalipun
Ahmadiyah dianggap aliran yang menyimpang dari tradisi Sunni, di luar
mazhab Hambali, Maliki, Hanafi, Syafei, hak hidup mereka harus
dihormati. Itu konsekuensi dari demokrasi dan konstitusi kita. Nah,
jalan tengahnya, Ahmadiyah dilarang menyebarkan secara terbuka
keimanannya, secara tertutup bolehlah. Tapi, karena mereka bagian dari
tubuh bangsa Indonesia, boleh tetap ada. Wong jadi komunis juga boleh, kok.
Bagaimana dengan tuntutan agar Ahmadiyah diminta keluar dari Islam?
Enggak
betul itu. Yang punya Islam itu Allah. Saya meratapi mengapa sepertinya
benang emas Quran itu dilupakan. Kalau kita kembali ke Quran, kita kan
disuruh menyeru kepada kebenaran, kepada agama Allah dengan cara yang
baik, kearifan, mujadalah yang indah, debat yang sejuk, wonderful.
Tidak ada dalam Al-Quran menyuruh mengepalkan tinju dan memburu orang
yang berbeda pendapat. Saya setuju pernyataan Din Syamsuddin: “Jangan
paksakan Ahmadiyah keluar dari Islam.” Sebab, mereka memang tidak mau.
Mereka merasa Islam.
Bagaimana bila Ahmadiyah akhirnya dilarang, masjid-masjidnya ditutup?
Itu akan membuat Indonesia menjadi negara yang sangat tidak simpatik.
Apa yang akan Anda lakukan?
Ya, saya tidak setuju saja. Wong saya cuma rakyat biasa.
Siapa yang untung dengan karut-marut persoalan Ahmadiyah?
Yang untung yang tidak senang Indonesia tenteram.
-o0o-
Amien
menyetarakan protes-protes Ahmadiyah itu dengan konflik Islam-Kristen
di Ambon. Kata Amien, “Sebelumnya tidak pernah ada konflik Islam-Kristen
di sana, tiba-tiba muncul.” Amien sama sekali tidak menyebut akar
masalah inti konflik horizontal Islam-Kristen Ambon itu, jelas-jelas
terjadi karena dimulai pertamakali dengan peristiwa penyerangan pihak
Kristen terhadap kelompok Islam. Umat Islam yang baru merayakan Idul
Fitri , tiba-tiba diserbu, dibantai secara membabi-buta. Ketika konflik
berlarut-larut, umat Islam semakin tersudut, dan terus-menerus dibantai,
datanglah bala bantuan dari Laskar Jihad pimpinan Ust Jafar Umar
Thalib. Posisi pun berubah, umat Islam bahkan banyak memenangkan
peperangan dalam berbagai front yang ada di Ambon dan sekitarnya.
Dalam
posisi umat Islam di atas angin, Amien Rais sepulang dari kunjungan ke
AS (1999), tiba-tiba membuat pernyataan yang amat mengejutkan, yakni:
Mengundang Pasukan Asing semacam Pasukan Perdamaian PBB agar masuk ke
Ambon. Ide Ketua Muhammadiyah (ketika itu) sungguh aneh. Pulang dari
Amerika Serikat mendadak-sontak mempunyai pemikiran yang sarat anasir
aspirasi di luar Islam. Bisa dibayangkan jika benar-benar pasukan asing
didatangkan ke Ambon, bisa jadi sampai hari ini konflik di Ambon akan
terus berkobar.
Sikap
Amien Rais yang sering kontroversial dalam setiap pernyataannya itu
memang sangat menarik perhatian pers juga publik yang membacanya.
Tulisan-tulisan Amien Rais yang merinci masalah Tambang di Busang juga
Freeport, (1997), dielu-elukan masyarakat khususnya umat Islam. Dengan
angka-angka yang amat gamblang Amien Rais membongkar ketidakadilan
kontrak-karya di Busang dan Freeport. Amien menyebutkan lokasi tambang
emas Freeport kini menjadi kubangan raksasa berupa danau. Seluruh
isinya, gunung emas sudah pindah ke Amerika Serikat. Sikap kritis Amien
yang pro rakyat dan sebaliknya dengan berani menghantam rezim Soeharto,
telah melambungkan nama Amien Rais menjadi pahlawan baru.
Saya
sendiri sejak awal sangat bersahabat dan bersimpati kepada Amien Rais.
Karena itu tatkala Amien Rais semakin melambung namanya karena sikap
kristisnya kepada rezim Soeharto, hal ini telah membuat rezim Soeharto
berang dan merekayasa agar Amien Rais dicopot jabatannya sebagai Ketua
Dewan Pakar ICMI. Habibie pun ikut menekan Amien agar mundur. Di sini,
saya membela posisi Amien Rais dan menulis duduknya masalah secara
gamblang di Harian Kompas, “Amien Rais dan Masa Depan ICMI” (Kompas 24
Februari 1997). Tetapi bersamaan waktu yang terus berjalan dengan
jatuhnya rezim Soeharto, sepak-terjang Amien Rais terus bermunculan yang
“aneh” buat saya. Karena sikapnya dalam konflik Islam-Kristen Ambon,
ingin mendatangkan pasukan asing, semacam Pasukan Perdamaian PBB itu,
Adian Husaini menulis buku berjudul: Amien Rais dan Amerika Serikat,
yang sarat kritik pedas. Buku yang amat gamblang membedah penampilan
Amien Rais yang justru konsisten “mengabdi” kepada kepentingan asing ini
tidak pernah dijawab oleh Amien Rais.
Sikap
Amien Rais di hari-hari “Musim Semi” umat Islam demam membentuk partai
politik Islam, pasca lengsernya Presiden Soeharto, sekitar Juni-Juli
1998, kembali pilihan dan sikap Amien Rais, menjadi tanda tanya besar,
buat saya. Ketika itu saya bersama-sama tokoh-tokoh Islam lainnya sibuk
pula mempersiapkan partai Islam penerus Masyumi yang kemudian menjadi
Partai Bulan Bintang sekarang. Susunan pengurus DPP (sementara) sudah
sepakat ditentukan melalui rapat-rapat di kediaman Bapak HM Cholil
Badawi dan DR.Anwar Haryono SH. Ketua Umum pun disepakati akan duduk
Yusril Ihza Mahendra. Namun tatkala Amien Rais bertandang ke rumah Pak
Anwar Haryono, Juli 1998 ditawarkanlah agar Amien Rais mau duduk sebagai
Ketua Umum Partai Bulan Bintang. Amien Rais pun dengan mantap
menyanggupi tawaran itu. Sdr.Yusril pun (saat itu sedang berada di
Banyuwangi Ja-tim) langsung ditelepon dan siap posisinya digantikan
Amien Rais dan Yusril hanya duduk sebagai Sekjen. Adegan mengharukan pun
tercipta. Semua yang hadir larut dalam tangis dan saling peluk, dimana
Amien Rais pun memeluk dan dipeluk Anwar Haryono yang hanya bisa duduk
di kursi roda karena mengidap stroke. Semua orang menjadi lega dan
ditutup dengan doa bersama untuk kesuksesan partai yang diharapkan
menjadi partai penerus Masyumi itu. Apalagi Anwar Haryono dikenal
sebagai juru bicara Masyumi setelah partai ini dipaksa bubar oleh rejim
Soekarno pada 1960. Amien Rais pun pamit segera pulang karena hari itu
hari Jumat dan harus segera melaksanakan shalat Jumat di kantor pusat PP
Muhammadiyah Menteng Raya 62 Jakarta.
Kejadian
yang amat dramatis terjadi hanya beberapa jam saja setelah adegan
peluk-pelukan mengharukan di rumah Bp Anwar Haryono. Amien Rais
tiba-tiba muncul di layar televisi seusai shalat Jumat di kantor PP
Muhammadiyah. Ketika wartawan menanyakan, apakah Pak Amien mantap akan
memimpin Partai Bulan Bintang ? Amien menjawab,”Saya akan mendirikan
partai lain yang lebih terbuka.Bagi saya partai seperti Partai Bulan
Bintang, ibarat baju akan ‘kesesakan’ jika saya pakai”. Pernyataan ini
kini dicatat sejarah menjadi pendirian seorang Amien Rais. Ia kemudian
memprakarsai berdirinya PAN (Partai Amanat Nasional) bersama-sama
Goenawan Mohammad, Albert Hasibuan dll. Platform partai pun dikabarkan
disiapkan orang-orang Goenawan Mohammad, walau boss Kelompok Tempo ini
tak lama setelah PAN berdiri justru meninggalkan PAN.
Bela Ahmadiyah
Kembali
ke pernyataan Amien Rais soal Ahmadiyah di awal artikel ini. Seharusnya
saya tidak perlu terkejut karena sudah memiliki catatan historis
tentang Amien Rais. Komentarnya terhadap FUI (Forum Umat Islam) memang
menyakitkan. FUI dituduh sebagai organisasi siluman. Padahal FUI ini
merupakan gabungan lebih 50 Ormas Islam termasuk Muhammadiyah berada di
dalamnya. Saya tahu Amien tahu persis personel di tubuh FUI tak lain
justru para sahabatnya sendiri yang pada 2004 lalu justru mendukungnya
maju menjadi Capres. Di tengah keragu-raguan dan track-record Amien yang
kelabu itu, toh Amien Rais tetap dijagokan seluruh komponan politik
Islam, khususnya PKS juga tokoh-tokoh Islam, misalnya KH.Abdul Rasyid
Abdullah Syafii (Tokoh ulama Betawi kharismatis yang kini menjadi
pimpinan FUI). Walau demikian menjadi gamblang pula, protret Amien Rais
yang hari ini bisa tampak sangat melawan Amerika Serikat, namun nanti
sore dia sangat membela kepentingan Paman Sam. Kata ungkapan Jawa :
“Isuk Dele Sore Tempe” (Pagi masih berupa Kedelai dan sore hari sudah
berubah menjadi Tempe).
Saya
teringat pada sebuah diskusi di Universitas Tri Sakti awal 1980-an
sepulang Amien Rais dan Nurcholish Madjid dari studi di Chicago
University. Sikap Nurcholish yang cenderung ingin mencari selamat itu
disindir Amien Rais dengan menyitir anekdot Kyai, Ular dan Kodok Cerita
Amien Rais disambut gelak tawa yang meledak karena sikap kyai yang
sangat plin-plan itu dilekatkan ke tubuh Nurcholish Madjid dengan sangat
jitu. Kini saya memastikan bahwa sikap kyai seperti itu ternyata juga
melekat di tubuh Amien Rais.
Sebagai
mubaligh yang hampir setiap hari menghampiri umat dan masyarakat luas
di tingkat grass-roots, saya kini acapkali disergap pertanyaan jamaah
yang awam. Bagaimana kabar Pak Amien Rais? Menurut rakyat awam,
kehancuran bangsa Indonesia saat ini mutlak menjadi tanggungjawab Amien
Rais. Sikapnya yang jelas-jelas Plin-Plan bahkan membawakan agenda asing
(seperti sikapnya masalah Ahmadiyah), kini terbuka dengan
senyata-nyatanya.
Kini
menjadi pertanyaan besar Ada apa sebenarnya Amien Rais dengan Ahmadiyah
? Sebuah dokumen awal reformasi niscaya bisa membantu kita. Amien Rais
saat menjabat sebagai Ketua MPR-RI, pada 22 April 2000 pernah menerima
kunjungan Kholifah Ahmadiyah Mirza Thahir Ahmad. Kunjungan pemimpin
Ahmadiyah ini diatur oleh Dawam Rahardjo, dalam kapasitas sebagai salah
satu pimpinan Muhammadiyah. Mirza Thahir sempat berkunjung ke berbagai
kota di Jawa dan mengumumkan pencanangan Indonesia (menjadi) Pusat
Ahmadiyah di-Dunia.Di Yogya Mirza juga mengumumkan hendak membuka
Perkampungan Islam Internasional dengan lahan seluas 500 hektar
bekerjasama dengan Sri Sultan Hamengkubuwono. Ketika itu, foto Amien
Rais saat menerima kunjungan cicit Mirza Ghulam Ahmad ini dimuat hampir
seluruh media massa baik cetak dan elektronik. Kunjungan ini pun
diprotes oleh Kelompok Khatamunnubuwah dari Pakistan yang sengaja
mengirimkan 50 orang utusannya ke Indonesia untuk memprotes PP
Muhammadiyah yang telah menjalin kerjasama dengan Ahmadiyah/ Mirza
Thahir Ahmad. Dari balik cerita ini bisa diduga mengepa Amien Rais
begitu membela Ahmadiyah. Quo Vadis Amien Rais. Umat Islam niscaya tidak
akan mendukungnya lagi, Wallahu’alam bissawab. [red/www.suara-islam.com]
source : Berbagai sumber
5 Komentar
PERGERAKAN MAHASISWA PASCA REFORMASI
1. LATAR BELAKANG
Reformasi
atau pembaruan dapat terjadi terhadap kebijakan politik yang dianggap
menyimpang. Manakala seorang pemimpin berlaku korup dan manipulatif,
maka diperlukan segera langkah-langkah politik yang berarti dari segenap
bangsa untuk melakukan perbaikan. Begitu juga dengan, jikalau sistem
pemerintahan yang ada tidaklah berpihak pada kepentingan rakyat.
Hal
ini dapat kita simak di Indonesia yakni pada tahun 1998 yang sekaligus
sebagai titik awal Gerakan untuk reformasi Indonesia. Dan dibalik
gerakan pembaruan ini mahasiswalah yang menjadi ujung tombaknya. Hanya
mahasiswa yang mampu menjadi ujung tombak untuk melakukan gerakan secara
radikal ini, sekaligus menjadi kekuatan yang paling ditakuti oleh para
penguasa yang korup, manipulatif, dan menyimpang. Mengapa mahasiswa?
Mahasiswa dengan nalar intelektualitasnya mampu menemukan argumentasi
rasional untuk menggambarkan kondisi yang memang bobrok dan tidak sesuai
dengan sistem pemerintahan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Lantas
setelah gerakan mahasiswa untuk melakukan reformasi Indonesia, yang
kemudian berhasil mempengaruhi sistem penyelenggaraan negara Indonesia
di kemudian hari. Apakah yang kemudian dapat dilanjutkan oleh angkatan
mahasiswa pasca reformasi, melanjutkan perjuangan yang sudah dirajut
oleh angkatan mahasiswa gerakan reformasi/angkatan ‘98? Intinya, apa
yang dapat dilakukan terhadap reformasi? Karena mahasiswa angkatan ’98
berpendapat gerakan reformasi dilakukan bukan untuk meruntuhkan
kekuasaan Soeharto, melainkan untuk mewujudkan sebuah proses kebebasan
atau proses demokratisasi dengan latar belakang reformasi di negara Indonesia.
2. RUMUSAN MASALAH
A). Kilas Balik Gerakan Mahasiswa Indonesia ?
B). Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi ?
C). Faktor Penghambat dan Pendukung Terciptanya Gerakan Mahasiswa ?
3. ISI
3.1. Kilas Balik Gerakan Mahasiswa Indonesia
Jikalau kita memikirkan bagaimana dan darimana sebuah gerakan dapat tercipta?
Pastinya secara logika kita dapat berargumentasi, bahwa terdapat
beberapa faktor yang dapat mengawali timbulnya sebuah gerakan. Siklus
timbulnya sebuah gerakan selalu beriringan dengan kepentingan sekelompok
orang ataupun individu untuk menuntut sebuah perubahan, sehingga
diharapkan terdapat sinkronisasi dengan kepentingannya tersebut.
Kepentingan-kepentingan tersebut dapat mencakup seluruh bidang-bidang
kehidupan manusia antara lain, bidang sosial, bidang politik, bidang
budaya, dll. Pada intinya, sebuah gerakan timbul karena adanya suatu
kepentingan yang mendesak, yang mengharuskan dan menuntut adanya sebuah
perubahan, entah itu merubah sesuatu dari yang baik kearah yang buruk
ataupun sebaliknya merubah yang buruk kearah yang baik dengan melihat
keadaan, kebutuhan, dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Sedangkan
di Indonesiapun munculnya sebuah gerakan adalah tidak asing lagi.
Bahkan jikalau merunut pada sejarah gerakan Bangsa Indonesia, gerakan
yang tercipta dapat menimbulkan sebuah perjuangan nasional. Gerakan yang
muncul di Indonesia disandarkan pada berbagai fakta, dimulai dari
kegerahan bangsa Indonesia terhadap penjajahan dan pendudukan bangsa
sehingga memaksakan untuk meraih sebuah kemerdekaan bangsa, sampai
gerakan yang menuntut sebuah perubahan pada penyelengaraan negara karena
dianggap sudah tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Peranan
mahasiswa Indonesia dimulai pada tahun 1945, dalam masa merebut
kemerdekaan dari penjajahan yang kemudian kita kenal dengan sebuatan
angkatan ‘45. Peristiwa ini diawali dengan peristiwa Rengasdengklok
yakni, penculikan Soekarno dan Muhammad Hatta oleh sekelompok pemuda
Indonesia. Gerakan ini bertujuan untuk mendesak Soekarno-Hatta agar
segera memproklamasikan kemerdekaan. Gerakan ini di pelopori oleh
gabungan mahasiswa yang tergabung dalam tentara pelajar (TP).
Tumbangnya
orde lama dan berganti dengan orde baru merupakan campur tangan
mahasiswa dengan tentara. Kekuasaan orde baru selama 32 tahun akhirnya
dapat di runtuhkan oleh mahasiswa. Runtuhnya orde baru pada tahun 1998
merupakan awal reformasi dari bangsa Indonesia.
Setelah
kita melihat sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia sehingga dapat
menimbulkan sebuah pergerakan nasional sekaligus perubahan, kita
berpikir bahwa kekuatan mahasiswa tidaklah bisa di pandang sebelah mata.
Karena pemikiran yang kritis dan nalar intelektualitas dari para
mahasiswa terhadap penyimpangan bangsa dalam mengurus negara dan rakyat
dapat merubah bangsa itu sendiri. Sehingga layak jika mahasiswa menyandang predikat “agent of change”, agennya pembaharuan.
3.2. Pergerakan Mahasiswa Pasca Reformasi
Mahasiswa
Indonesia yang berperan sebagai pengusung reformasi, merubah strategi
perjuangan melalui pergerakan dengan keseluruhan latar belakang masalah
sosial, ekonomi, dll, dengan tidak lagi terpatok kepada satu tujuan
tertentu saja. Pada masa awal reformasi mahasiswa mengagendakan sejumlah
tuntutan yang didasari oleh masalah sosial, ekonomi seperti ;
pemberantasan KKN, pembentukan Otonomi Daerah dsb. Hal ini mencerminkan
bahwa mahasiswa tidak mau terkekang oleh suatu rezim maupun kediktatoran
pemimpin bangsa. Disatu sisi mahasiswa menyuarakan masalah, tidak
sebatas dengan apa yang mereka rasakan melainkan tertuju pada realita
atau kenyataan yang ada di masyarakat luas.
Memang,
secara realita, mahasiswa memiliki suatu kelebihan yaitu, berani
bersuara dan melantangkan masalah sosial dibawah ancaman pemerintah.
Gerakan reformasi mahasiswa memang tidak mempersoalkan siapa yang akan
mengganti kebijakan pemerintah melainkan, lebih kepada proses yang
demokratis dengan latar belakang reformasi tersebut. Karena itu
disimpulkan, bahwa gerakan reformasi mahasiswa adalah gerakan yang
berdiri sendiri, non-partisipan, lebih didasarkan pada substansi
perubahan daripada pelaksana perubahan. Tidak ada alasan untuk
menimbang-nimbang siapa yang menjadi pelaksana reformasi, namun yang
lebih penting mempertanyakan apa yang dilakukannya terhadap reformasi.
Lantas
kalau memang apa yang harus dilakukan terhadap reformasi itu sendiri
diajukan terhadap angkatan mahasiswa pasca reformasi, bagaimana?
Sudahkah sistem penyelenggaraan negara berpihak pada kepentingan rakyat
banyak? Apakah bangsa ini benar-benar merdeka, sementara kita tahu
sendiri seluruh kehidupan ekonomi, sosial Indonesia sudah didikte oleh
negara-negara barat, dengan mengeksplorasi seluruh kekayaan alam bumi
nusantara. Dan semua ini terjadi karena faktor pemerintah kita yang
tidak tegas dan hanya mementingkan keluarga dan kelompoknya.
Seharusnya,
hal tersebut bisa menjadi sebuah wacana bagi kaum intelektual muda
negeri ini yakni mahasiswa untuk melakukan gerakan perjuangan kembali,
seperti yang sudah dilakukan oleh gerakan mahasiswa angkatan ’45,
angkatan ’66, dan angkatan ’98 terdahulu. Namun yang tertulis tidaklah
hampir sesuai dengan kenyataan yang ada. Gerakan mahasiswa setelah
munculnya era reformasi gaungnya sudah hampir tidak terdengar lagi.
Mereka kini hanya berfokus pada daerahnya masing-masing saja dan tidak
terpusat contohnya seperti gerakan ’98. Itupun kadangkala tidak digubris
oleh pihak yang merasa ditantang oleh gerakan mahasiswa seperti,
pemerintah.
Dan
ditilik dari segi jumlah massanya pun gerakan mahasiswa saat ini telah
mengalami penurunan. Mungkin hal ini dapat terjadi karena, trauma
mahasiswa angkatan pasca reformasi setelah menyimak sejarah pergerakan
mahasiswa angkatan ’98 di berbagai media informasi. “Mereka berbuat dan
berkorban demi memperbaharui negeri ini dari segala kediktaktoran dan
penyimpangan, tetapi semua itu harus dibayar dengan jatuhnya korban jiwa
karena gerakan ’98 bergerak sendiri tanpa adanya perlindungan dari
angkatan bersenjata”. Akhirnya dampaknya pun dapat terasa, kebanyakan
mahasiswa saat ini lebih memilih diam sama sekali atau berperilaku
apatis daripada harus kehilangan nyawa mereka sia-sia jiakalau
kesimpangan terjadi.
Terlepas
dari berbagai faktor yang mempengaruhi turunnya gerakan mahasiswa pasca
reformasi saat ini, kehadiran mahasiswa dengan gerakan pembaharuannya
tetaplah sangat diperlukan sebagai controlling of state implementation sehingga keseimbangan negara dan kepentingan rakyat dapat terlaksana.
3.3. Faktor Penghambat dan Pendukung Terciptanya Gerakan Mahasiswa
Masyarakat
merupakan faktor pendukung dalam pergerakan mahasiswa pasca reformasi,
hal ini terjadi karena pada masa saat itu sampai sekarang, krisis
ekonomi menjadi momen yang tepat dan mengena pada masyarakat. Dukungan
masyarakat sangat membantu bagi pergerakan mahasiswa. Pada awal
pergerakan mahasiswa ’98 masyarakat bergabung dalam aksi yang dilakukan
mahasiswa. Tidak hanya konsumsi, akomodasi, uang, dll yang membantu
operasional gerakan, tetapi masyarakat mempunyai peran yang sangat
besar. Terlihat jelas bahwa gerakan mahasiswa didukung penuh oleh
masyarakat.
Masyarakat
juga yang mempunyai andil dalam setiap pergerakan mahasiswa hingga
sekarang, kita tahu pada pegerakan mahasiswa dalam menuntut penolakan
kenaikan BBM, penolakan ikut campurnya IMF dalam ekonomi Indonesia,
masyarakat sangat mendukung dan membantu dalam aksi pergerakan
mahasiswa. Maka dari itu masyarakat merupakan faktor yang sangat vital
dalam setiap pergerakan mahasiswa hingga saat ini. Tidak kita sadari
setiap pergerakan mahasiswa tidak mungkin tanpa adanya dukunga dari
masyarakat luas.
Disisi
lain masyarakat berafiliasi dengan mahasiswa adalah kemampuan dalam
setiap pergerakan lebih baik ketimbang dengan organisasi lainnya, yang
lebih penting masyarakat mempunyai tujuan utama yaitu pembaruan, seperti
halnya mahasiswa yang berada di perguruan tinggi yang menggemban tujuan
pembaruan. Pada satu sisi masyarakat menginginkan suatu proses
demokrasi yang lancar, adil, jujur.
Sedangakan
militer, merupakan faktor penghambat bagi pergerakan mahasiswa ’98
hingga sekarang. Karena militer difungsikan sebagai kelompok penekan
oleh pemerintah bagi siapapun yang tidak sepakat dengan pemerintah,
sehingga kritik-kritik pada waktu itu yang disampaikan oleh mahasiswa
menjadi petaka bagi dirinya sendiri, ditambah lagi dengan kroni-kroni
dan regulasi-regulasi otoriter yang makin menyulitkan mereka berbicara
lantang. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan juga seiring
bertambahannya kedewasaan demokrasi dalam sistem pemerintahan indonesia,
militer tidak lagi menjadi penghalang, tetapi tidak sedikit dari mereka
yang menjadi sebuah ancaman bagi mahasiswa itu sendiri, di satu sisi
lain militer adalah sebagai pelindung disetiap aksi pergerakan
mahasiswa. Dan pada pergerakan mahasisiwa tahun 1998, mereka dalam
melakukan suatu pergerakan juga mendapat dukungan dari kalangan civitas academica, sehingga
gerakan mahasiswa tahun 1998 mampu melakukan percepatan-percepatan yang
luar biasa untuk mengadakan perubahan yang diinginkannya sehingga gerakan mahasiswa tahun 1998 sudah tidak dapat dibendung lagi.
Sedangakan
pada tahun 1966 gerakan mahasiswa yang menginginkan adanya suatu
perubahan yang terdapat didalam tritura, yang diantaranya adalah
Bubarkan PKI, Rombak Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga, juga mendapat
hambatan. Yang menjadi faktor penghambat pada masa itu adalah adanya
anggapan bahwa mahasiswa ditunggangi oleh CIA yang ditengarai sebagai
antek neolib dan juga adanya perlawanan dari simpatisan PKI terhadap
pergerakan mahasiswa. Namun di tahun itu mahasiswa malah mendapat
dukungan dari militer dan Regulasi-Regulasi Orde Baru yang tidak lain
adalah mereka yang akhirnya menjadi faktor penghambat di tahun 1998.
Namun walau selalu ditemukan faktor-faktor penghambat, tetap saja
pergerakan mahasiswa berjalan sampai tujuan mereka tercapai dengan
dibantunya mereka dengan pendukung-pendukung yang ada pada masa itu.
4. KESIMPULAN
Masih
terekam di ingatan bangsa kita pada bulan Mei 1998 di Jakarta, sebuah
gerakan perjuangan dari kaum intelektualitas muda sebut saja mahasiswa,
dengan bermodal landasan idealisme dan keberanian, sampai mereka rela
bertaruh nyawa untuk mewujudkan cita-cita ideal mereka yakni sebuah
reformasi. Karena nalar intelektualitas mereka berpikir bahwa ada
realitas yang tidak beres dan ada ketimpangan pada penyelenggaraan
negara selama masa Orde Baru. Mereka dibuat gerah karena; kediktaktoran
pemerintah pusat, ketidakbebasan berpendapat dan berapresiasi, KKN di
tubuh pemerintah merajalela, dan ketidakberpihakan sistem konstitusi
negara pada kepentingan rakyat banyak, betapa tidak!
Terdorong
dengan cita-cita ideal mereka adalah benar dan keniscayaan, mereka
semakin merapatkan barisan dengan jumlah massa mahasiswa yang
bergelombang, datang dari segala penjuru tanah air, untuk menyuarakan
bahwa; “reformasi atau pembaharuan adalah sebuah keharusan terhadap
sistem penyelenggaraan negara Indonesia hasil bentukan masa Orde Baru
setelah melihat realitas yang nyata”. Akhirnya, dengan mengorbankan
sejumlah nyawa mahasiswa melayang dan sebuah keberuntungan mendapat
dukungan tertutup dari kalangan militer dan dukungan dari masyarakat,
membuat pintu jalan reformasi mereka terasa semakin mudah. Dan
Soehartopun menyatakan mundur sebagai Presiden RI sekaligus menjadi
pertanda bahwa rezim orde baru telah berakhir dan era reformasi adalah
benar sebuah keniscayaan. “Selamat datang era reformasi!”.
Ya,
selamat datang era reformasi! Dan sampai detik inipun (bulan September
2009) adalah era reformasi. Lantas patutkah kita bertanya? Kemanakah
Gerakan perjuangan mahasiswa itu pergi? Kemanakah pemikiran nalar
intelektualitas mereka terhadap realitas yang terjadi saat ini? Terutama
realitas yang menyimpang, yang membuat mendung kembali bangsa ini.
Dimulai dari realitas klasik yakni, kepentingan rakyat banyak masih saja
diurus setengah-setengah, KKNpun sama klasiknya, semakin mewabahnya
penerapan neoliberal, eksplorasi besar-besaran kekayaan SDA tanah air
oleh pihak asing, sampai westernisasi, hedonisme, dll.
Pasti
ada faktor, mengapa gerakan mahasiswa Indonesia untuk melawan terus
segala ketimpangan realitas yang terjadi pada negara dan rakyat
mengalami siklus penurunan? Inilah poin-poin faktor tersebut dari kami :
- Trauma mahasiswa Indonesia terhadap korban mahasiswa tragedi 1998
- Mahasiswa pasca reformasi merasa pencapaian angkatan ’98 adalah sebuah
solusi tuntas keberhasilan terhadap pembaharuan penyelenggaraan negara,
sehingga tidak membutuhkan gerakan perjuangan kembali. (Hanya menunggu
kesuksesan
demokrasi di Indonesia karena angkatan mahasiswa saat ini yakin negara
ini sedang berada dalam proses demokratisasi, yang dibutuhkan hanyalah
menunggu).
- Hal tersebut diatas secara otomatis menghilangkan sikap idealis dan kritis
mahasiswa
dan berubah menjadi sikap apatis terhadap realitas-realitas yang dapat
menyebabkan ketimpangan penyelenggaraan negara dan ketidakberpihakan
kepada kepentingan rakyat banyak.
- Dan, dari faktor internal sistem pendidikan kampus pun kami berpendapat dapat
mempengaruhi
menurunnya pergerakan mahsaiswa. Yakni sistem SKS, adalah sebuah
ketentuan wajib bagi mahasiswa demi mendapatkan titel sarjana, padahal
secara kasat mata mahasiswa dengan darah mudanya cenderung memilki jiwa
yang ekspresif dan bebas untuk menyampaikan idealisme mereka terhadap
realitas dengan berbagai cara. Oleh karena itu, mahasiswa lebih
cenderung untuk lebih mengejar target-target pendidikannya, sehingga
hampir kehabisan ruangan yang fleksibel untuk menjalankan hakikat
mahasiswa sejatinya. (Hakikat mahasiswa adalah adanya keseimbangan
antara pendidikan dengan nalar intelektualitas dan idealisme mereka,
sehingga mereka membutuhkan suasana dan ruangan yang fleksibel).
5. DAFTAR PUSTAKA
Chrisnandi, Yuddy. 2008. Beyond Parlemen : Dari Politik Kampus Hingga
Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta : Ind Hill Co
Denny, JA. 2006. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an.
Yogyakarta : LKIS
Denny, JA. 2006. Napak Tilas Politik Reformasi Indonesia. Yogyakarta : LKIS
Adnan, Fuad, 22 Oktober 2005, Dinamika Pergerakan Mahasiswa,
http://www.google.co.id/, diakses pada 3 Oktober 2009
perduli bangsa berkata,
Marilah kita berpikir lebih arief dan berjiwa besar. Berikan kebebasan bagi orang lain utuk memeluk agamanya masing2, karena Syurga adalah kesempatan bagi semua orang yang percaya atas keyakinannya masing2.
Jadi selama orang itu mengakui sila pertama dari Pancasila : KeTuhanan Yang Maha Esa seharusnya mereka boleh beribadah menurut keyakinannya masing2. Ibarat Istri kita yang cantik dan selalu diganggu orang karena kecantikannya, bukakah kita cukup mendidik istri kita itu agar tidak mudah tergoda oleh orang lain dari cara berpakaian cara bergaul dll…bukannya kita melabrak satu persatu semua yang menganggu dan akhirnya kita masukan istri kita kedalam kerangkeng bawah tanah sehingga semua orang tidak bisa melihatnya saking kita takut diganggu oleh orang lain……sama seperti agama kita kalau kita takut agama kita di rusak oleh agama lain lebih baik kita makin mendidik semua umat pemeluknya bukan sibuk merusak agama orang lain sehingga akhirnya malah kecapean sendiri kan….
minda hilang berkata,
minda hilang berkata,
Amrizal berkata,
morino berkata,
hmmmmm, ada apa denganmu? anda pernah sakit hati?