Agen Asing Bahayakan Negara
Selasa, 28 Mei 2013, 09:00 WIB
Komentar : 0
www.channelprosmb.com
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertahanan Indonesia lemah dari upaya
penyusupan dan aktivitas intelijen asing. Mereka bisa bergerak leluasa
di sejumlah wilayah rawan konflik, seperti Aceh dan Papua.
Pengamat intelijen Wawan Purwanto mengatakan, memang tidak ada negara yang steril dari infiltrasi asing, termasuk Indonesia. Tapi, dia berharap, aktivitas intelijen asing di Indonesia ini tidak sampai menggoyang negara.
Karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan. "Para agen asing ini masuk dengan berbagai samaran, bisa menjadi pebisnis, diplomat, turis, jurnalis, juga peneliti," kata Wawan, Senin (27/5).
Dia mencontohkan, keterlibatan agen asing secara aktif terlihat pada berbagai konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Tanah Air. mereka sering memanfaatkan orang-orang lokal untuk bekerja bagi kepentingannya. Indonesia menjadi sasaran karena memiliki sumber daya alam melimpah yang dimanfaatkan agen asing demi menguntungkan negaranya.
Dugaan aktivitas intelijen asing kembali mencuat setelah TNI Angkatan Udara menahan pesawat militer milik Amerika Serikat (AS) jenis Dornier 328 di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh. Pesawat yang terbang dari Maladewa tujuan Singapura ini diklaim Pemerintah AS kehabisan bahan bakar dan masih memiliki izin terbang ke Aceh. Ternyata, izin itu sudah habis.
Pesawat ini ditumpangi tiga militer dan dua sipil. Setelah mengantongi izin dari TNI dan Kemenlu, pesawat inipun dilepas menuju Singapura. AS mengakui pesawatnya itu melanggar wilayah Indonesia. Insiden pesawat asing terbang di langit Indonesia juga pernah terjadi pada 2009 ketika Sukhoi TNI AU memergoki pesawat itu dan nyaris ditembak.
Pemerintah Indonesia menganggap insiden ini tidak ada kaitannya dengan aktivitas intelijen asing, melainkan hanya masalah teknis. Menko Polhukam Djoko Suyanto belum mendapat informasi terkait langkah Kementerian Pertahanan atas aktivitas intelijen asing. Langkah-langkah penanganan ini, kata Djoko, menjadi otoritas Menteri Pertahanan (Menhan).
Sebelum kasus pesawat nyasar ini, sejumlah kalangan menduga adanya peran intelijen asing pada kasus pengibaran Qanun (bendera) Aceh, beberapa waktu lalu. Aceh menjadi sasaran agen asing karena besarnya minat AS memiliki pangkalan militer di Sabang. Selain Aceh, Papua menjadi surga aktivitas intelijen asing karena kekayaan alamnya.
Staf Ahli Menhan Bidang Keamanan Mayjen Hartind Asrin mengakui adanya aktivitas intelijen asing di Indonesia. Dia memastikan agen asing ini mendapat pengawasan. Meski begitu, pemerintah hanya mendapat gambaran umum mengenai identitas para agen itu. Pasalnya, mereka kerap berkedok sebagai anggota LSM atau profesi lainnya.
Menurut Kasubdit Ormas Kementerian Dalam Negeri Bahtiar, LSM asing tidak bisa berdiri sembarangan. "Pendirian semua LSM asing harus melalui satu pintu clearence house di Kemenlu," kata dia. Aturan ini tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas).
DPR pun bereaksi keras atas kasus nyasarnya pesawat militer AS ini. Mereka meminta pemerintah untuk tidak menganggap enteng kasus ini karena indikasi adanya kegiatan intelijen sangat kuat. Apalagi, alasan yang dipakai AS terkesan mengada-ada, mengingat mereka memiliki peralatan navigasi canggih dan perhitungan penggunaan bahan bakar yang akurat. n ahmad islamy jamil/gilang akbar prambadi/dyah ratna meta novia ed: m ikhsan shiddieqy
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.
Pengamat intelijen Wawan Purwanto mengatakan, memang tidak ada negara yang steril dari infiltrasi asing, termasuk Indonesia. Tapi, dia berharap, aktivitas intelijen asing di Indonesia ini tidak sampai menggoyang negara.
Karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan. "Para agen asing ini masuk dengan berbagai samaran, bisa menjadi pebisnis, diplomat, turis, jurnalis, juga peneliti," kata Wawan, Senin (27/5).
Dia mencontohkan, keterlibatan agen asing secara aktif terlihat pada berbagai konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Tanah Air. mereka sering memanfaatkan orang-orang lokal untuk bekerja bagi kepentingannya. Indonesia menjadi sasaran karena memiliki sumber daya alam melimpah yang dimanfaatkan agen asing demi menguntungkan negaranya.
Dugaan aktivitas intelijen asing kembali mencuat setelah TNI Angkatan Udara menahan pesawat militer milik Amerika Serikat (AS) jenis Dornier 328 di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh. Pesawat yang terbang dari Maladewa tujuan Singapura ini diklaim Pemerintah AS kehabisan bahan bakar dan masih memiliki izin terbang ke Aceh. Ternyata, izin itu sudah habis.
Pesawat ini ditumpangi tiga militer dan dua sipil. Setelah mengantongi izin dari TNI dan Kemenlu, pesawat inipun dilepas menuju Singapura. AS mengakui pesawatnya itu melanggar wilayah Indonesia. Insiden pesawat asing terbang di langit Indonesia juga pernah terjadi pada 2009 ketika Sukhoi TNI AU memergoki pesawat itu dan nyaris ditembak.
Pemerintah Indonesia menganggap insiden ini tidak ada kaitannya dengan aktivitas intelijen asing, melainkan hanya masalah teknis. Menko Polhukam Djoko Suyanto belum mendapat informasi terkait langkah Kementerian Pertahanan atas aktivitas intelijen asing. Langkah-langkah penanganan ini, kata Djoko, menjadi otoritas Menteri Pertahanan (Menhan).
Sebelum kasus pesawat nyasar ini, sejumlah kalangan menduga adanya peran intelijen asing pada kasus pengibaran Qanun (bendera) Aceh, beberapa waktu lalu. Aceh menjadi sasaran agen asing karena besarnya minat AS memiliki pangkalan militer di Sabang. Selain Aceh, Papua menjadi surga aktivitas intelijen asing karena kekayaan alamnya.
Staf Ahli Menhan Bidang Keamanan Mayjen Hartind Asrin mengakui adanya aktivitas intelijen asing di Indonesia. Dia memastikan agen asing ini mendapat pengawasan. Meski begitu, pemerintah hanya mendapat gambaran umum mengenai identitas para agen itu. Pasalnya, mereka kerap berkedok sebagai anggota LSM atau profesi lainnya.
Menurut Kasubdit Ormas Kementerian Dalam Negeri Bahtiar, LSM asing tidak bisa berdiri sembarangan. "Pendirian semua LSM asing harus melalui satu pintu clearence house di Kemenlu," kata dia. Aturan ini tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas).
DPR pun bereaksi keras atas kasus nyasarnya pesawat militer AS ini. Mereka meminta pemerintah untuk tidak menganggap enteng kasus ini karena indikasi adanya kegiatan intelijen sangat kuat. Apalagi, alasan yang dipakai AS terkesan mengada-ada, mengingat mereka memiliki peralatan navigasi canggih dan perhitungan penggunaan bahan bakar yang akurat. n ahmad islamy jamil/gilang akbar prambadi/dyah ratna meta novia ed: m ikhsan shiddieqy
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.
Redaktur : Zaky Al Hamzah |
MC CAIN, AL CAPONE DAN KELUARGA BRONFMAN
Baru-baru ini senator dan mantan capres Amerika, John McCain, mengadakan
pertemuan dengan para pemberontak Syria di Turki. Tidak ada lain ia
berupaya melakukan tekanan politik agar Amerika melakukan intervensi
langsung terhadap Syria, negara yang oleh Israel dan para zionis
internasional dianggap sebagai batu sandungan ambisi mewujudkan negara
Israel Raya yang wilayahnya (atau setidaknya pengaruh mutlak-nya)
meliputi seluruh kawasan dari Mesir hingga Irak.
Mc Cain memang dikenal luas sebagai pendukung radikal Israel, namun tidak banyak orang yang mengetahui latar belakang yang menjadikannya demikian. Tulisan ini berusaha menjelaskan hal itu, berdasarkan buku The New Jerussalem karya Michael Collins Piper terbitan American Free Press. Berikut ringkasannya:
Keluarga Bronfman, sebagaimana sebagian besar Yahudi Amerika lainnya, bermigrasi dari Eropa di bawah perlindungan keluarga bankir internasional asal Jerman, Rothschild. Di bawah pimpinan Sam Bronfman, keluarga ini memulai bisnisnya dengan membuat dan memperdagangkan minuman keras, termasuk pada masa dimana minuman keras masih dilarang di Amerika pada tahun 1920-an hingga 1930-an. Dengan kata lain, keluarga ini menjalin hubungan dekat dengan kelompok mafia Amerika pengedar minuman keras yang saat itu dipimpin oleh Yahudi kelahiran Rusia, Meyer Lanski dan mitra Yahudinya Benjamin “the Bugsy” Siegel serta dua mitra Italia-nya, Charles Luciano dan Frank Costello. (Kiprah gang mafia ini bisa dilihat dalam film The Mobster dan Bugsy yang cukup populer pada tahun 1990-an karena dibintangi oleh bintang-bintang top Hollywood).
Koneksi Bronfman-Lansky begitu kuatnya sehingga hampir tidak ada seorangpun bisa sukses bisnisnya di sebagian besar kota metropolitan di Amerika, tanpa bantuan mereka. Bahkan bandit legendaris Al Capone pun, dalam jaringan bisnis Bronfman-Lansky, tidak lebih dari seorang "kapiten" yang menguasai sebagian wilayah kota Chicago.
Dalam biografi Lansky, "Meyer Lansky: Mogul of the Mob", penulis Dennis Eisenberg menyebutkan bahwa Benjamin Siegel menyelamatkan Capone saat menjadi buron kasus pembunuhan di New York. Selanjutnya Lansky dan Siegel mengirim Capone ke Chicago untuk bergabung dengan kaki tangan Lansky di sana, Johny Torrio. Pimpinan gangster di Chicago, “Big Jim” Colosimo, adalah mitra sekaligus saingan Lansky. Suatu saat Collosimo, yang tidak menyukai orang Yahudi dan sering menyatakannya secara terbuka, memutuskan pisah dengan gang Bronfman-Lansky dan mendirikan bisnisnya sendiri dengan terkonsentrasi pada perdagangan obat bius dan prostisusi serta meninggalkan bisnis minuman ilegal. Keputusan itu memukul bisnis minuman Bronsfman-Lansky sehingga mereka mengirimkan Capone untuk menghabisinya. Sejak saat itulah Al Capone muncul sebagai pimpinan mafia Chicago dan menjadi sosok yang terkenal.
Pimpinan keluarga Bronfman saat ini adalah Edgar Bronfman yang lama menjadi ketua World Jewish Congress. Pada tahun 1990-an ia mengetuai proyek ”holocoust industry”, yaitu upaya sistematis yang dilakukan orang-orang yahudi internasional untuk ”memeras” para bankir Eropa karena alasan keterlibatan mereka dalam perampasan harta orang-orang yahudi pada Perang Dunia II. Edgar dan kawan-kawan telah mendapatkan ”kompensasi” senilai miliaran dolar dari para bankir Eropa untuk orang-orang yahudi korban Perang Dunia II yang hanya sebagian kecil benar-benar disalurkan kepada yang berhak. Kini ia masih terlibat tarik ulur penarikan dana simpanan senilai miliaran dolar lainnya di perbankan Swiss. Banyak orang di Amerika juga mengetahui, sindikat mafia menggunakan perbankan Swiss untuk menyembunyikan kekayaannya. Singkat kata, harta yang diklaim Bronfman tidak lain adalah “pencucian uang” hasil bisnis ilegal.
Edgar Bronfman lebih berkuasa dibandingkan ayahnya, Sam Bronfman. Ia menguasai Universal Studios dan Paramount Pictures, dua raksasa dalam industri film dan musik, beserta anak-anak perusahaannya. Kekayaan lain keluarga Bronfman selain perusahaan minuman Seagram adalah Du Pont, salah satu perusahaan raksasa di Amerika. Selain itu adalah: Campbell Soup, Schlitz Brewing, Colgate-Palmolive, Kellog, Nabisco, Norton Simon, Quaker Oats, dan Warrington Products. Keluarga Bronfman juga bergerak di bidang ritel dan developer yang berserak di seluruh Amerika dan Kanada.
Di bidang politik keluarga ini berada di belakang kesuksesan karier senator terkenal asal Arizona, John McCain.
McCain memulai karier politiknya setelah menjadi menantu Jim Hensley, seorang tokoh kontroversial yang bekerja untuk keluarga Bronfman dengan menjadi pimpinan perusahaan distributor minuman bir di kota Phoenix, Anheuser-Busch. Hansley memulai kariernya di kerajaan Bronfman dengan menjadi pegawainya Kemper Marley yang sampai meninggal tahun 1990 dalam usia 84 tahun merupakan figur penting penentu kebijakan politik di Arizona. Namun sebenarnya Marley tidak lain salah satu tangan kanan bos mafia Meyer Lansky di Arizona, bersama-sama dengan Gus Greenbaum. Pada tahun 1941 Greenbaum mendirikan Transamerica Publishing and News Service, yaitu perusahaan jaringan penerbit dan suratkabar yang melayani seluruh negara. Pada tahun 1946 Greenbaum menyerahkan urusan operasionalnya kepada Marley dan mulai fokus pada pengembangan bisnis kasino di Las Vegas setelah Lanksy mengeksekusi Benjamin “the Bugsy” Siegel karena kecurangannya. Namun nasib Greebaum pun setali tiga uang. Setahun kemudian ia dan istrinya dibunuh dengan cara mafia: digorok lehernya. Sementara itu Marley mengembangkan bisnis minuman kerasnya hingga menjadi usaha monopoli di Arizona. Namun usaha itu sudah pasti tidak akan berhasil tanpa dukungan keluarga Bronfman yang menjadi supplier dan penyandang dananya.
Pada tahun 1948 polisi menangkap 52 anggota bisnis Marley, termasuk sang mertua McCain, namun Marley dan Bronfman tidak tersentuh. Penjara bagi Hensley rupanya menjadi “hikmah” baginya. Sekeluarnya dari penjara Marley membalas kesetiaannya dengan mendirikan perusahaan Anheuser-Busch untuk Hensley. Selain bisnis minuman keras, Helsey juga mengembangkan bisnis judi lomba balap anjing dan membangun stadion balap anjing bersama Emprise Corp milik keluarga Jacobs, tangan kanan keluarga Bronfman lainnya yang berbasis di kota Buffalo. Jadi meskipun John McCain secara langsung tidak terkait dengan bisnis ilegal mertuanya, tidak bisa tidak ia berhutang jasa kepada mertuanya itu sebagimana juga kepada keluarga Bronfman. Sebagai imbalannya, McCain menjadi seorang politisi yang sangat vokal mendukung Israel dan Yahudi.
Yang mungkin paling mengejutkan adalah bahwa keluarga Bronfman juga terkait dengan pembunuhan presiden John F Kennedy. Kematian Kennedy sendiri sampai sekarang masih menjadi pertanyaan meskipun Komisi Warren yang ditunjukan pemerintah untuk menyidiki telah memutuskan Lee Harvey Oswald sebagai pembunuh tunggal Kennedy. Beberapa penyidikan tidak resmi menemukan fakta-fakta lain yang tidak diungkapkan Komisi Warren dan mengambil kesimpulan yang berbeda dengan komisi resmi itu. Kasus itu sendiri berjalan sangat aneh. Lee Harvey Oswald yang ditangkap seusai penembakan dan tengah dalam perjalanan mengikuti penyidikan ditembak mati di depan petugas keamanan oleh anggota mafia Jack Rubi. Jack Rubi pun langsung meninggal ditembak petugas keamanan setelah melaksanakan “tugasnya”.
Mc Cain memang dikenal luas sebagai pendukung radikal Israel, namun tidak banyak orang yang mengetahui latar belakang yang menjadikannya demikian. Tulisan ini berusaha menjelaskan hal itu, berdasarkan buku The New Jerussalem karya Michael Collins Piper terbitan American Free Press. Berikut ringkasannya:
Keluarga Bronfman, sebagaimana sebagian besar Yahudi Amerika lainnya, bermigrasi dari Eropa di bawah perlindungan keluarga bankir internasional asal Jerman, Rothschild. Di bawah pimpinan Sam Bronfman, keluarga ini memulai bisnisnya dengan membuat dan memperdagangkan minuman keras, termasuk pada masa dimana minuman keras masih dilarang di Amerika pada tahun 1920-an hingga 1930-an. Dengan kata lain, keluarga ini menjalin hubungan dekat dengan kelompok mafia Amerika pengedar minuman keras yang saat itu dipimpin oleh Yahudi kelahiran Rusia, Meyer Lanski dan mitra Yahudinya Benjamin “the Bugsy” Siegel serta dua mitra Italia-nya, Charles Luciano dan Frank Costello. (Kiprah gang mafia ini bisa dilihat dalam film The Mobster dan Bugsy yang cukup populer pada tahun 1990-an karena dibintangi oleh bintang-bintang top Hollywood).
Koneksi Bronfman-Lansky begitu kuatnya sehingga hampir tidak ada seorangpun bisa sukses bisnisnya di sebagian besar kota metropolitan di Amerika, tanpa bantuan mereka. Bahkan bandit legendaris Al Capone pun, dalam jaringan bisnis Bronfman-Lansky, tidak lebih dari seorang "kapiten" yang menguasai sebagian wilayah kota Chicago.
Dalam biografi Lansky, "Meyer Lansky: Mogul of the Mob", penulis Dennis Eisenberg menyebutkan bahwa Benjamin Siegel menyelamatkan Capone saat menjadi buron kasus pembunuhan di New York. Selanjutnya Lansky dan Siegel mengirim Capone ke Chicago untuk bergabung dengan kaki tangan Lansky di sana, Johny Torrio. Pimpinan gangster di Chicago, “Big Jim” Colosimo, adalah mitra sekaligus saingan Lansky. Suatu saat Collosimo, yang tidak menyukai orang Yahudi dan sering menyatakannya secara terbuka, memutuskan pisah dengan gang Bronfman-Lansky dan mendirikan bisnisnya sendiri dengan terkonsentrasi pada perdagangan obat bius dan prostisusi serta meninggalkan bisnis minuman ilegal. Keputusan itu memukul bisnis minuman Bronsfman-Lansky sehingga mereka mengirimkan Capone untuk menghabisinya. Sejak saat itulah Al Capone muncul sebagai pimpinan mafia Chicago dan menjadi sosok yang terkenal.
Pimpinan keluarga Bronfman saat ini adalah Edgar Bronfman yang lama menjadi ketua World Jewish Congress. Pada tahun 1990-an ia mengetuai proyek ”holocoust industry”, yaitu upaya sistematis yang dilakukan orang-orang yahudi internasional untuk ”memeras” para bankir Eropa karena alasan keterlibatan mereka dalam perampasan harta orang-orang yahudi pada Perang Dunia II. Edgar dan kawan-kawan telah mendapatkan ”kompensasi” senilai miliaran dolar dari para bankir Eropa untuk orang-orang yahudi korban Perang Dunia II yang hanya sebagian kecil benar-benar disalurkan kepada yang berhak. Kini ia masih terlibat tarik ulur penarikan dana simpanan senilai miliaran dolar lainnya di perbankan Swiss. Banyak orang di Amerika juga mengetahui, sindikat mafia menggunakan perbankan Swiss untuk menyembunyikan kekayaannya. Singkat kata, harta yang diklaim Bronfman tidak lain adalah “pencucian uang” hasil bisnis ilegal.
Edgar Bronfman lebih berkuasa dibandingkan ayahnya, Sam Bronfman. Ia menguasai Universal Studios dan Paramount Pictures, dua raksasa dalam industri film dan musik, beserta anak-anak perusahaannya. Kekayaan lain keluarga Bronfman selain perusahaan minuman Seagram adalah Du Pont, salah satu perusahaan raksasa di Amerika. Selain itu adalah: Campbell Soup, Schlitz Brewing, Colgate-Palmolive, Kellog, Nabisco, Norton Simon, Quaker Oats, dan Warrington Products. Keluarga Bronfman juga bergerak di bidang ritel dan developer yang berserak di seluruh Amerika dan Kanada.
Di bidang politik keluarga ini berada di belakang kesuksesan karier senator terkenal asal Arizona, John McCain.
McCain memulai karier politiknya setelah menjadi menantu Jim Hensley, seorang tokoh kontroversial yang bekerja untuk keluarga Bronfman dengan menjadi pimpinan perusahaan distributor minuman bir di kota Phoenix, Anheuser-Busch. Hansley memulai kariernya di kerajaan Bronfman dengan menjadi pegawainya Kemper Marley yang sampai meninggal tahun 1990 dalam usia 84 tahun merupakan figur penting penentu kebijakan politik di Arizona. Namun sebenarnya Marley tidak lain salah satu tangan kanan bos mafia Meyer Lansky di Arizona, bersama-sama dengan Gus Greenbaum. Pada tahun 1941 Greenbaum mendirikan Transamerica Publishing and News Service, yaitu perusahaan jaringan penerbit dan suratkabar yang melayani seluruh negara. Pada tahun 1946 Greenbaum menyerahkan urusan operasionalnya kepada Marley dan mulai fokus pada pengembangan bisnis kasino di Las Vegas setelah Lanksy mengeksekusi Benjamin “the Bugsy” Siegel karena kecurangannya. Namun nasib Greebaum pun setali tiga uang. Setahun kemudian ia dan istrinya dibunuh dengan cara mafia: digorok lehernya. Sementara itu Marley mengembangkan bisnis minuman kerasnya hingga menjadi usaha monopoli di Arizona. Namun usaha itu sudah pasti tidak akan berhasil tanpa dukungan keluarga Bronfman yang menjadi supplier dan penyandang dananya.
Pada tahun 1948 polisi menangkap 52 anggota bisnis Marley, termasuk sang mertua McCain, namun Marley dan Bronfman tidak tersentuh. Penjara bagi Hensley rupanya menjadi “hikmah” baginya. Sekeluarnya dari penjara Marley membalas kesetiaannya dengan mendirikan perusahaan Anheuser-Busch untuk Hensley. Selain bisnis minuman keras, Helsey juga mengembangkan bisnis judi lomba balap anjing dan membangun stadion balap anjing bersama Emprise Corp milik keluarga Jacobs, tangan kanan keluarga Bronfman lainnya yang berbasis di kota Buffalo. Jadi meskipun John McCain secara langsung tidak terkait dengan bisnis ilegal mertuanya, tidak bisa tidak ia berhutang jasa kepada mertuanya itu sebagimana juga kepada keluarga Bronfman. Sebagai imbalannya, McCain menjadi seorang politisi yang sangat vokal mendukung Israel dan Yahudi.
Yang mungkin paling mengejutkan adalah bahwa keluarga Bronfman juga terkait dengan pembunuhan presiden John F Kennedy. Kematian Kennedy sendiri sampai sekarang masih menjadi pertanyaan meskipun Komisi Warren yang ditunjukan pemerintah untuk menyidiki telah memutuskan Lee Harvey Oswald sebagai pembunuh tunggal Kennedy. Beberapa penyidikan tidak resmi menemukan fakta-fakta lain yang tidak diungkapkan Komisi Warren dan mengambil kesimpulan yang berbeda dengan komisi resmi itu. Kasus itu sendiri berjalan sangat aneh. Lee Harvey Oswald yang ditangkap seusai penembakan dan tengah dalam perjalanan mengikuti penyidikan ditembak mati di depan petugas keamanan oleh anggota mafia Jack Rubi. Jack Rubi pun langsung meninggal ditembak petugas keamanan setelah melaksanakan “tugasnya”.
Faktanya adalah Clay Shaw, seorang direktur Permindex, perusahaan bentukan Israel di Amerika dan dipimpin tangan kanan keluarga Bronfman, Louis Bloomfield, menjadi salah satu tersangka kasus tersebut. Selain itu Jack Rubi sendiri adalah seorang pegawai keluarga Bronfman. Fakta lainnya adalah pengusaha minyak, Jack Crichton, salah seorang mitra dekat keluarga Bronfman, menjalin hubungan dengan janda mendiang Lee Harvey Oswald. Sementara itu lawyer John McCloy, salah seorang anggota Komisi Warren adalah seorang direktur Empire Trust, salah satu perusahaan milik keluarga Bronfman.
Para penyidik kasus Kennedy sempat mengindikasikan adanya seorang misterius yang disebut “Bos Minyak Texas” sebagai salah satu dalang pembunuhan Kennedy. Kenyataannya adalah Sam Bronfman adalah seorang “Raja Minyak Texas” yang membeli Texas Pacific Oil tahun 1963. Sedangkan salah seorang anggota Komisi Warren lainnya, Allen Dulles, mantan Direktur CIA serta saudara mantan Menlu John Foster Dulles, adalah penasihat hukum perusahaan milik putri Sam Bronfman, Phyllis.
Upaya penggelapan kasus Kennedy, selain di oleh Komisi Warren, juga didukung oleh media-media massa yang notabene milik orang-orang Yahudi, di antaranya surat kabar milik keluarga Newhouse, The New Orleans Times Picayune. Surat kabar ini gencar menyerang jaksa wilayah distrik New Orleans, Jim Garrison, yang dengan berani memeriksa Clay Shaw, eksekutif perusahaan milik orang-orang Yahudi, Permindex berkaitan dengan kasus pembunuhan Kennedy. Selain itu penerbit Random House, juga milik keluarga Newhouse, menerbitkan buku yang mendukung kesimpulan Komisi Warren karangan Gerald Posner, Case Closed.
Kasusnya semakin menarik karena selain dimiliki oleh keluarga Bronfman, Permindex juga dimiliki bersama oleh Banque De Credit Internationale yang dimiliki oleh Tibor Rosenbaum, boss dinas intelegen Israel, Mossad. Bank yang berbasis di Swiss itu juga merupakan “mesin pencuci uang” bagi sindikat mafia pimpinan Meyer Lanski dan keluarga Bronfman. Sedangkan CEO Permindex, Louis Bloomfield adalah salah seorang tangan kanan keluarga Bronfman dan Lanski.
Ahli hukum asal New York, John Klotz, menulis dalam majalah Spy edisi Maret/April 1995 sebuah pertanyaan: Apakah Newhouse memiliki informasi sebenarnya tentang pembunuhan Kennedy? Selama 30 tahun lebih Newhouse dan kerajaan medianya telah memaiankan peran yang unik atas kontroversi kejadian pembunuhan Kennedy. Tulisan itu diakhiri dengan pertanyaan: Apakah yang menyebabkan Newhouse begitu gigih meng-cover kasus Kennedy? Alasan “mencurigai” keterlibatan Newhouse dalam pembentukan dan pembelokan opini tentang kematian Kennedy setidaknya ada satu hal: Random House sering menerbitkan buku-buku CIA terutama yang terkait dengan kasus Kennedy.
Adapun motif pembunuhan terhadap Kennedy tidak lain adalah karena
menentang usaha Israel untuk membuat bom nuklir. Hal itu tentu saja
membuat orang-orang Yahudi sangat marah. Tidak kurang Perdana Menteri
Israel Ben Gurion sendiri mengatakan keberadaan Kennedy adalah bahaya
bagi Israel.
Film box office berjudul JFK garapan sutradara kenamaan, Oliver Stone, tidak menyebutkan detil dari fakta-fakta tersebut di atas. Hal ini, menurut Michael Collins Piper dalam bukunya Final Judgement, tidak lain karena film tersebut dibiayai oleh Arnon Milchan, keturunan Yahudi yang terlibat dalam penyelundupan material nuklir ke Israel.
Saat rekan-rekan mereka mafia Italia diberangus oleh aparat keamanan Amerika, Meyer “Sang Raja Gangster” Lanski dengan mudahnya memindahkan bisnisnya ke Israel. Adapun keluarga Bronfman, tetap tinggal sebagai keluarga terhormat dan berpengaruh di Amerika, hingga sekarang. Bahkan kekuasaan Bronfman seakan tidak terhingga karena ternyata ia adalah anggota “The Billionaire Gang of Four”, gang empat keluarga Yahudi yang menguasai media massa dunia dengan Rupert Mucdoch sebagai operatornya. Anggota gang itu, selain Murdoch adalah Rothschild, Oppenheimer, dan Bronfman. Gang ini menguasai saham media-media massa besar di dunia, termasuk New York Times, Time, Newsweek, Washington Post, Weekly Standard, US New & World Report. Di Indonesia gang itu telah menguasai beberapa media massa nasional.
Dan kini, setelah Tragedi WTC, sepak terjang keluarga Bronfman dalam pemerintahan semakin merajalela. Beberapa waktu lalu Stephen Herbits, mantan eksekutif perusahaan milik keluarga Bronfman, Seagram, telah ditunjuk pemerintah Amerika dengan tugas khusus: menyeleksi promosi dan penunjukan pejabat-pejabat pertahanan Amerika dalam rangka mengontrol para jendral Amerika agar tetap loyal kepada kebijakan pro-Israel.
Film box office berjudul JFK garapan sutradara kenamaan, Oliver Stone, tidak menyebutkan detil dari fakta-fakta tersebut di atas. Hal ini, menurut Michael Collins Piper dalam bukunya Final Judgement, tidak lain karena film tersebut dibiayai oleh Arnon Milchan, keturunan Yahudi yang terlibat dalam penyelundupan material nuklir ke Israel.
Saat rekan-rekan mereka mafia Italia diberangus oleh aparat keamanan Amerika, Meyer “Sang Raja Gangster” Lanski dengan mudahnya memindahkan bisnisnya ke Israel. Adapun keluarga Bronfman, tetap tinggal sebagai keluarga terhormat dan berpengaruh di Amerika, hingga sekarang. Bahkan kekuasaan Bronfman seakan tidak terhingga karena ternyata ia adalah anggota “The Billionaire Gang of Four”, gang empat keluarga Yahudi yang menguasai media massa dunia dengan Rupert Mucdoch sebagai operatornya. Anggota gang itu, selain Murdoch adalah Rothschild, Oppenheimer, dan Bronfman. Gang ini menguasai saham media-media massa besar di dunia, termasuk New York Times, Time, Newsweek, Washington Post, Weekly Standard, US New & World Report. Di Indonesia gang itu telah menguasai beberapa media massa nasional.
Dan kini, setelah Tragedi WTC, sepak terjang keluarga Bronfman dalam pemerintahan semakin merajalela. Beberapa waktu lalu Stephen Herbits, mantan eksekutif perusahaan milik keluarga Bronfman, Seagram, telah ditunjuk pemerintah Amerika dengan tugas khusus: menyeleksi promosi dan penunjukan pejabat-pejabat pertahanan Amerika dalam rangka mengontrol para jendral Amerika agar tetap loyal kepada kebijakan pro-Israel.
http://warofweekly.blogspot.com/2012/04/konspirasi-cia-dan-nazi.html
Di mana ada
peperangan, di situ biasanya ada agenda tersembunyi yang telah diatur
“pemain belakang layar”. Sementara prajurit bertempur mati-matian,
mereka putar otak menangguk uang di tengah kesusahan orang. Mencuri
tambang berharga, menyelundupkan peralatan perang, mencari posisi kunci
dari pemerintahan baru, atau bisa saja diam-diam memutar uang di
industri kemiliteran lawan.
PERANG DAN BISNIS, Sebenarnya semua demi uang. Buruh Yahudi yang bisa dibayar murah tentu saja jadi alasan. Karna itu holocaust banyak disebut sebagai persekongkolan jahat. Selain itu, mesin-mesin perang Jerman Nazi juga banyak ditopang oleh pasokan dana yang besar dari konglomerat AS.
Dalam Kedigdayaan Nazi Jerman, diutarakan bagaimana pengusaha AS dan Jerman memutar uang membangun bisnis patungan, sementara jutaan prajurit kedua negara meregang nyawa di medan pertempuran. Kali ini diketengahkan seputar sepak terjang agen-agen khusus CIA dan SS yang di lapangan ternyata berkonspirasi mengamankan bisnis miliaran dollar para pengusaha papan atas kedua negara. Beberapa tahun lalu rahasia ini terbongkar sehingga kontan banyak pihak dikecewakan.
Agenda tersembunyi itu terbongkar bertahap, diawali dengan mencuatnya bukti-bukti keterlibatan tak langsung Inggris-AS dalam tragedi holocaust. Di permukaan baik London maupun Washington, begitu menentang tekanan dan pembantaian yang dilakukan tentara Nazi terhadap puluhan ribu kaum minoritas. Namun, di belakang, mereka ternyata tak pemah benar-benar berupaya membebaskan mereka, meski upaya pelarian sudah di depan mata. Diduga, keengganan membebaskan itu karena mereka inilah para pekerja paksa kunci penggerak industri patungan AS-Jerman.
Di Auschwitz, misalnya, pabrik bom, kimia dan persenjataan utama Jerman milik IG Farben — yang disokong penuh raja minyak AS, Rockefeller – selama PD II meraup untung besar karena digerakkan oleh ribuan orang Yahudi yang tak perlu diupah. Selain Rockefeller yang masuk dengan bendera Standard Oil, di lingkup industri vital lainnya ditanam pula uang milik General Motors, IBM, Ford, The Chase and National City Bank, ITT dan masih banyak lagi lainnya Jumlah awal uang yang diputar mencapai delapan miliar dollar.
John D. Rockefeller
Tak heran jika lalu muncul sindiran sinis, bahwa para prajurit AS yang bertempur mati-matian di Jerman benar-benar menyedihkan. Mereka tak tahu bahwa pesawat yang mengebomi mereka sebenarnya dibuat dari uang orang-orang negaranya.” Baik Standard Oil maupun IG Farben sendiri sama-sama kartel di bidang industri strategis. IG Farben memonopoli industri kimia, film dan farmasi di Jerman. Sementara Standard Oil, di AS, merupakan penguasa ladang minyak. Berkat dukungan Rockefeller, IG Farben menyuplai 85 persen kebutuhan amunisi Jerman selama PD II.
Rockefeller dan pengusaha AS lainnya itu diam-diam sudah menanam saham dan membangun usaha patungan di Jerman sejak 1926. Jerman sendiri bagi Rockefeller ibarat “rumah kedua”, karena kakek moyangnya, yakni Johann Rockefeller, adalah imigran asal Jerman.
Ditengarai, CIA dan Waffen SS disewa khusus melakukan penjagaan mengingat industri patungan tersebut kian menggurita dan melibatkan banyak orang berpengaruh. Di antaranya adalah Averell Harriman (raja kereta AS), Fritz Thyssen (industrialis, penyokong utama keuangan Nazi), serta bankir AS — George Herbert Walker dan Prescott Bush. Uniknya lagi, di dalam kompleks industri militer ini masuk pula kepentingan Joseph Stalin, pimpinan Rusia yang juga musuh besar Nazi Jerman. Kompleks industri ini agaknya sengaja dilokalisir di Polandia agar terhindar dari campur-tangan Hitler dan para kroninya.
UU Trading with the Enemy Act yang diterbitkan badan legislatif AS seolah tak bergigi menghadapi praktik gelap Rockefeller. Boleh jadi itu karena Standard Oil memberi imbalan karet sintetis yang amat diperlukan kendaraan perang AS. Kebanyakan petinggi AS juga segan berurusan dengan keluarga Rockefeller karena ia menguasai banyak ladang minyak di seantero AS.
Sangat tak mungkin jika Pemerintah AS tak mengetahui atau memberi izin berkaitan dengan ekspor barang-barang tersebut. Sebaliknya, mudah dipahami jika kemudian pemboman yang dilakukan AS tak pernah menjamah Auschwitz. Paling dekat bom jatuh 14 mil dari komplek pabrik dan kamp konsentrasi yang ada di sana. Penempatan kompleks vital ini di luar wilayah Jerman ditengarai juga dimungkinkan atas saran dari pejabat CIA. Dan, merupakan suatu fakta yang konyol ketika baru saja perang usai, CIA langsung berkantor pusat di gedung pencakar langit milik Farben di Frankfurt.
Deretan fakta tersebut kontan menguatkan tuduhan bahwa holocaust tak lebih dari persekongkolan jahat. Orang-orang Yahudi itu pun kemudian berkilah. Memasuki dasawarsa 1930-an, mereka seperti diberi angin dalam membangun pabrik bir, bank, pabrik dan pertokoan. Namun setelah itu mereka dipaksa mendukung proyek Aryanisasi dengan menyerahkan aset-aset mereka untuk ongkos memulai perang.
Mereka lalu dijadikan sapi perahan. Sekitar sepuluh juta orang dieksploitir di pabrik-pabrik sebagai budak dan buruh kerja paksa. Mereka yang sudah tak mampu lagi bekerja akan segera digiring ke kamp-kamp eksperimen sebagai final solution. Enam juta orang Yahudi dan warga minoritas lain dilaporkan mati dalam proyek penyiksaan yang dipimpin Reinhard Heydrich.
Persekongkolan Pasca-Perang
PERANG DAN BISNIS, Sebenarnya semua demi uang. Buruh Yahudi yang bisa dibayar murah tentu saja jadi alasan. Karna itu holocaust banyak disebut sebagai persekongkolan jahat. Selain itu, mesin-mesin perang Jerman Nazi juga banyak ditopang oleh pasokan dana yang besar dari konglomerat AS.
Dalam Kedigdayaan Nazi Jerman, diutarakan bagaimana pengusaha AS dan Jerman memutar uang membangun bisnis patungan, sementara jutaan prajurit kedua negara meregang nyawa di medan pertempuran. Kali ini diketengahkan seputar sepak terjang agen-agen khusus CIA dan SS yang di lapangan ternyata berkonspirasi mengamankan bisnis miliaran dollar para pengusaha papan atas kedua negara. Beberapa tahun lalu rahasia ini terbongkar sehingga kontan banyak pihak dikecewakan.
Agenda tersembunyi itu terbongkar bertahap, diawali dengan mencuatnya bukti-bukti keterlibatan tak langsung Inggris-AS dalam tragedi holocaust. Di permukaan baik London maupun Washington, begitu menentang tekanan dan pembantaian yang dilakukan tentara Nazi terhadap puluhan ribu kaum minoritas. Namun, di belakang, mereka ternyata tak pemah benar-benar berupaya membebaskan mereka, meski upaya pelarian sudah di depan mata. Diduga, keengganan membebaskan itu karena mereka inilah para pekerja paksa kunci penggerak industri patungan AS-Jerman.
Di Auschwitz, misalnya, pabrik bom, kimia dan persenjataan utama Jerman milik IG Farben — yang disokong penuh raja minyak AS, Rockefeller – selama PD II meraup untung besar karena digerakkan oleh ribuan orang Yahudi yang tak perlu diupah. Selain Rockefeller yang masuk dengan bendera Standard Oil, di lingkup industri vital lainnya ditanam pula uang milik General Motors, IBM, Ford, The Chase and National City Bank, ITT dan masih banyak lagi lainnya Jumlah awal uang yang diputar mencapai delapan miliar dollar.
John D. Rockefeller
Tak heran jika lalu muncul sindiran sinis, bahwa para prajurit AS yang bertempur mati-matian di Jerman benar-benar menyedihkan. Mereka tak tahu bahwa pesawat yang mengebomi mereka sebenarnya dibuat dari uang orang-orang negaranya.” Baik Standard Oil maupun IG Farben sendiri sama-sama kartel di bidang industri strategis. IG Farben memonopoli industri kimia, film dan farmasi di Jerman. Sementara Standard Oil, di AS, merupakan penguasa ladang minyak. Berkat dukungan Rockefeller, IG Farben menyuplai 85 persen kebutuhan amunisi Jerman selama PD II.
Rockefeller dan pengusaha AS lainnya itu diam-diam sudah menanam saham dan membangun usaha patungan di Jerman sejak 1926. Jerman sendiri bagi Rockefeller ibarat “rumah kedua”, karena kakek moyangnya, yakni Johann Rockefeller, adalah imigran asal Jerman.
Ditengarai, CIA dan Waffen SS disewa khusus melakukan penjagaan mengingat industri patungan tersebut kian menggurita dan melibatkan banyak orang berpengaruh. Di antaranya adalah Averell Harriman (raja kereta AS), Fritz Thyssen (industrialis, penyokong utama keuangan Nazi), serta bankir AS — George Herbert Walker dan Prescott Bush. Uniknya lagi, di dalam kompleks industri militer ini masuk pula kepentingan Joseph Stalin, pimpinan Rusia yang juga musuh besar Nazi Jerman. Kompleks industri ini agaknya sengaja dilokalisir di Polandia agar terhindar dari campur-tangan Hitler dan para kroninya.
UU Trading with the Enemy Act yang diterbitkan badan legislatif AS seolah tak bergigi menghadapi praktik gelap Rockefeller. Boleh jadi itu karena Standard Oil memberi imbalan karet sintetis yang amat diperlukan kendaraan perang AS. Kebanyakan petinggi AS juga segan berurusan dengan keluarga Rockefeller karena ia menguasai banyak ladang minyak di seantero AS.
Sangat tak mungkin jika Pemerintah AS tak mengetahui atau memberi izin berkaitan dengan ekspor barang-barang tersebut. Sebaliknya, mudah dipahami jika kemudian pemboman yang dilakukan AS tak pernah menjamah Auschwitz. Paling dekat bom jatuh 14 mil dari komplek pabrik dan kamp konsentrasi yang ada di sana. Penempatan kompleks vital ini di luar wilayah Jerman ditengarai juga dimungkinkan atas saran dari pejabat CIA. Dan, merupakan suatu fakta yang konyol ketika baru saja perang usai, CIA langsung berkantor pusat di gedung pencakar langit milik Farben di Frankfurt.
Deretan fakta tersebut kontan menguatkan tuduhan bahwa holocaust tak lebih dari persekongkolan jahat. Orang-orang Yahudi itu pun kemudian berkilah. Memasuki dasawarsa 1930-an, mereka seperti diberi angin dalam membangun pabrik bir, bank, pabrik dan pertokoan. Namun setelah itu mereka dipaksa mendukung proyek Aryanisasi dengan menyerahkan aset-aset mereka untuk ongkos memulai perang.
Mereka lalu dijadikan sapi perahan. Sekitar sepuluh juta orang dieksploitir di pabrik-pabrik sebagai budak dan buruh kerja paksa. Mereka yang sudah tak mampu lagi bekerja akan segera digiring ke kamp-kamp eksperimen sebagai final solution. Enam juta orang Yahudi dan warga minoritas lain dilaporkan mati dalam proyek penyiksaan yang dipimpin Reinhard Heydrich.
Persekongkolan Pasca-Perang
Ketika perang baru saja pecah, tak sedikit warga Yahudi sudah mengetahui prahara apa yang bakal menimpa. Mereka kemudian berupaya menyewa kapal laut dan melarikan diri ke Palestina. Upaya pelarian ini ironisnya digagalkan oleh tentara Inggris dan AS.
William R. Perl, mantan aktivis yang kemudian direkrut menjadi perwira intelijen AD AS, ingat betul bagaimana kapal perang Inggris, HMS Lorna menembaki kapal penumpang Tiger Hill hingga terbakar dan tenggelam begitu mendekati tanah Palestina. Lima belas ribu imigran Yahudi yang terperangkap di dalamnya menjadi tumbal pelarian sementara kapal-kapal lain dengan terpaksa kembali ke Jerman. Tembakan juga dilancarkan dari intelijen Inggris Mi-6 ke arah kapal “The Struma”.
Untuk apa mereka mengusir balik para pengungsi itu jika tak ada maksud tertentu? Pertanyaan ini sama sinisnya dengan pernyataan yang kemudian mengemuka. Yakni, bahwa korban pertama tentara Inggris semasa PD II sebenamya bukanlah orang Jerman, melainkan justru para imigran Yahudi tak bersenjata.
Persekongkolan CIA dengan pasukan rahasia Jerman yang sulit dipercaya masih dijalin hingga perang usai. Sudah bukan rahasia lagi bahwa begitu Jerman menyerah, pemerintah AS dan Rusia segera mengirim tim khusus untuk memburu ilmuwan Jerman yang terkenal pintar berikut senjata dan temuan rahasia yang telah mereka buat. Masing-masing berusaha membawa pulang sebanyak-banyaknya, dan masing-masing tentu saja melibatkan satuan intelijen dan pasukan elit.
Intelijen Nazi sendiri lebih berpihak ke AS ketimbang Rusia. Hal ini ditandai dengan kasak-kusuk Jenderal Reinhard Gehlen, pimpinan intelijen Nazi. Alih-alih agar reputasi kejahatannya selama di SS lolos dari perangkap Pengadilan Nuremberg, ia buru-buru mengontak Direktur CIA Allen Dulles dan mengajukan tawaran. Ia siap menyerahkan ratusan cendekiawan kunci Jerman asalkan CIA mau menghapus track record intelijen Nazi dan mau menerimanya sebagai bagian dari CIA. Jika tawaran ini ditolak ia sudah siap berafiliasi dengan KGB dan menyerahkan seluruh aset berharga itu ke tangan Rusia.
Menghadapi tawaran tersebut, Dulles tak berkutik. Ia pun “menyerah” dan mau menutup seluruh kisah kejahatan intelijen Nazi, bahkan kalau perlu CIA akan menulis ulang sejarah masa lalu unit ini. Dulles menjamin seluruh rahasia unit ini aman ditangannya dan unit Gehlen bisa langsung menginduk di bawah naungan CIA. Sikap terbuka ini kontan “dibayar” dengan 760 cendekiawan Jerman Nazi yang langsung dikirim bertahap ke AS hingga 1955 memperkuat komunitas ilmuwan di negeri tersebut.
Presiden Harry S. Truman sadar betul, paket cendekiawan ini dapat menjadi sasaran celaan kaum oposan karena melapangkan hak keimigrasian bagi tokoh Nazi amat dilarang UU. Untuk itu ia memberanikan diri memberi hak khusus kepada CIA untuk mengeksekusi proyek ini dalam operasi khusus berkode Paperclip. Dalam operasi ini, mereka masuk ke AS melalui gerbang khusus yang diawasi Agen Obyek Intelijen Gabungan Departemen Peperangan.
Diantara yang lolos seleksi ada nama-nama seperti Arthur Rudolph dan Wernher von Braun. Rudolph tak lain adalah direktur operasi pabrik Mittlewerk di kompleks kamp konsentrasi Dora-Nordhausen. Ia dianggap bertanggung-jawab terhadap penyiksaan 20.000 pekerja paksa. Catatan awal menunjukkan, Rudolph 100 persen Nazi, berbahaya dan mengancam. Namun, catatan terbaru CIA menyatakan: tak ada satu pun dalam jejak kehidupannya tersangkut kriminal atau kegiatan Nazi. Di AS, Rudolph dan Braun mengembangkan roket Saturn 5 yang berhasil mengantar modul Apollo ke bulan.
Selain mereka juga ada Kurt Blome, pembuat vaksin; Walter Schreiber, dokter psikopat di kamp konsentrasi; Klaus Barbie, SS penjagal ribuan warga Prancis; Heinrich Rupp, agen SS yang kemudian menjadi tokoh belakang layar kasus Iran-Kontra; Licio Gelli, agen rahasia Italia pendukung fanatik Nazi yang kemudian atas persetujuan AS jadi penyuplai rudal Exocet ke Argentina.
Di antara sekian banyak tokoh. Gelli dinilai sebagai tokoh paling berharga bagi CIA karena punya pengaruh lugs. Selain punya hubungan dekat dengan George H. Bush, Paus Paulus VI dan Juan Peron (Argentina), ia juga menjalin kedekatan dengan pimpinan Libya Muammar Khadafy dan menjadi agen ganda CIA-KGB. Gelli juga ikut mendirikan Brigade Merah di Italia. (US National Archieve, http://www.nara.gov)
Operasi Paperclip akhirnya dihentikan pada 1957 menyusul protes keras yang dilancarkan pemerintah Jerman Barat. Pemerintah Jerman Barat jengah terhadap ekploitasi yang dikerjakan CIA terhadap orang-orang Jerman. Terlebih karena sebagai pendiri kantor intelijen Bundesnarichtensdient (BND), Gehlen menjadi sulit memihak kepada negaranya. Namun, di luar proyek ini, orang-orang ini toh tak pernah bisa seratus persen melepas kebiasaan buruknya. Mereka masih suka bermain di belakang layar dan tetap saja suka menyiksa orang.
http://warofweekly.blogspot.com/2012/04/syiah-holocaust-dan-clash-of.html
Bahkan, korban
kekejaman Hitler yang selama ini dipatok pada angka 6 juta, sebenarnya
jauh lebih kecil, yaitu di bawah angka satu juta jiwa.
Angka itu (di bawah satu juta jiwa) bagi kita umat Islam yang menjunjung
tinggi syari’at Allah dan kemanusiaan, tetap masih sangat banyak.
Namun
yang jauh lebih banyak lagi adalah kebohongan Yahudi yang membentuk
opini bahwa bangsa Yahudi korban kekejaman Hitler berjumlah 6 juta jiwa.
Sehingga, dengan alasan itu mereka merasa ‘berhak’ membunuhi bangsa Palestina, dan orang-orang Islam pada umumnya di seluruh permukaan bumi.
Padahal, ketika Yahudi dikejar-kejar rezim Hitler, mereka justru berlindung di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Selain holocaust, gaya berkelit ala Yahudi juga bisa ditemukan pada wacana benturan antarperadaban yang dipopulerkan oleh Samuel Phillips Huntington (kelahiran New York City, 18 April 1927) setidaknya sejak 1998, satu dekade sebelum ia akhirnya meninggal dunia pada 24 Desember 2008. Wacana itu ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia).
Intinya, setelah komunisme yang menjadi musuh utama Amerika Serikat dan negara-negara Barat pada umumnya, tumbang, maka musuh berikutnya adalah peradaban Islam. Menurut Huntington, di antara berbagai peradaban besar yang tetap tegak hingga kini adalah peradaban Islam. Sebagai peradaban yang terus tegak, Islam dinilai menjadi peradaban yang paling berpotensi mengancam peradaban Barat.
Wacana benturan antarperadaban yang diusung Huntington itu bisa merupakan fakta sahih, atau analisa semata, atau justru merupakan sebuah skenario politik Barat (Amerika dan sekutunya), untuk mempunyai landasan bertindak memerangi Islam. Sebagaimana sudah diketahui umum, setiap kebijakan politik Amerika Serikat pastilah dilahirkan oleh kepentingan politik Yahudi ‘perantauan’ yang berada di Amerika Serikat dan di belahan negara Barat lainnya.
Apalagi, kemudian wacana benturan antarperadaban Huntington itu tak berapa lama mendapat pembenaran melalui kasus WTC 911 yang terjadi pada 11 September 2001, yang konon dilakukan oleh organisasi teroris Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden, yang merupakan salah satu anak keluarga bin Laden yang selama ini menjadi mitra bisnis AS. Osama dan Al-Qaeda kemudian menjadi icon peradaban Islam yang menggoyang peradaban Barat. Al-Qaeda regional dan lokal pun muncul, termasuk di Indonesia.
Sejumlah tokoh atau oknum JI (Jama’ah Islamiyah) yang keberadaannya disangkal oleh Abu Bakar Ba’asyir, pun turut melaksanakan ‘serangan’ terhadap peradaban Barat, antara lain berupa Bom Bali I, Bom Bali II, Bom JW Marriott dan sebagainya. Maka, sempurnalah alasan yang diperlukan untuk menjalakankan skenario menggempur peradaban Islam melalui perang melawan terorisme.
Kemudian dalam rangka memerangi peradaban Islam yang dikesankan keras ala Al-Qaeda dan JI, muncullah JIL (Jaringan Islam Liberal) dan sejumlah tokoh anak wayang seperti Ulil, Musdah, Maarif, dan sebagainya. Belakangan muncul pula program deradikalisasi yang menguntungkan Said Agil Siradj. Fenomena inilah yang dimanfaatkan oleh kalangan syi’ah untuk dijadikan momentum menjual paham sesat syi’ah laknatullah. Misionaris syi’ah seperti Zen Al-Hadi narasumber Radio Silaturahim (Rasil) dan Jalaluddin Rakhmat dari IJABI, selalu menjadikan tindakan oknum JI sebagai contoh paham wahabi yang sebaiknya dijadikan musuh bersama umat Islam dan syi’ah. Daripada berpaham wahabi yang keras mendingan syi’ah. Daripada atheis mendingan syi’ah. Pernyataan itu seolah-olah benar padahal keliru.
Categories: Label: Fakta Perang
http://warofweekly.blogspot.com/2011/04/turki-rusia-poros-baru-kekuatan-dunia.html
Stasiun
televisi ABC pada bulan Maret 2003 menyiarkan program bertajuk
"American Dreamers" yang isinya membongkar agenda jaringan neokon
(neo-konservatif) dan kalangan Republikan garis keras yang sebenarnya
menjadi "dalang" invasi AS ke Irak.
Dari agenda mereka diketahui, bahwa
invasi AS ke Irak bukan semata-mata demi minyak tapi untuk kepentingan
yang lebih besar yaitu untuk mewujudkan sebuah imperium dunia di bawah
kekuasaan AS yang tentu saja akan dikendalikan kaum neokon ini. Di AS,
kelompok neokon sudah membentuk jaringan yang sangat sistematis dan
ketat, di mana anggota-anggotanya menyusup ke Kongres, lembaga-lembaga
think-tank, media massa bahkan menguasai acara-acara talk-show di
televisi.
Kelompok
neokon di AS kebanyakan--atau mereka sendiri--adalah imigran Yahudi
dari Eropa Timur yang sangat anti-komunis dan pro-Israel. Tak heran
kalau AS tak pernah bisa melepaskan diri dari dukungan butanya terhadap
Israel, salah satunya karena pengaruh kelompok neokon yang demikian
kuat.
Kelompok ini pula yang mendorong AS menjadi negara yang ambisius
untuk menguasai Timur Tengah dan Asia Tengah. Mereka menginginkan
kawasan itu menjadi bagian dari imperium AS. Namun ternyata tidak mudah
bagi AS untuk mewujudkan ambisi itu, terutama setelah munculnya
kekuatan-kekuatan baru, seperti Turki, Rusia dan Iran. Alih-alih
menguasai, AS malah harus menghadapi perlawanan yang kuat misalnya dalam
konflik Palestina, perang di Irak maupun di Afghanistan.
Sejak
Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (AKP) yang berbasis Islam
berkuasa, Turki muncul menjadi kekuatan yang tak terduga dan
mengingatkan kembali masa-masa kejayaan Dinasti Ustmaniyah yang
memerintah hampir seluruh wilayah Timur Tengah dengan damai. Turki
dibawah kepemimpinan Presiden Abdullah Gul dan Perdana Menteri Recep
Tayyib Erdogan menjadi negara yang dinamis dan mampu mengambil hati
negara-negara yang cukup berpengaruh di Timur Tengah, lewat strategi
diplomasi dengan cara membuka kembali hubungan kerjasama bebas visa
antara lain dengan Lebanon, Yordania, Libya dan Suriah dan Mesir. Turki
ingin menciptakan Persatuan Timur Tengah yang sama kuatnya dengan Uni
Eropa.
Yang
mengejutkan, Turki lebih cenderung membangun kerjasama strategis dengan
Rusia dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya atau AS. Turki
mengaktifkan kembali hubungan perdagangan, investasi, pembangunan
jaringan pipa-pipa gas dan pembangunan fasilitas energi nuklir. Jika
Turki mewarisi kejayaan Dinasti Utsmaniyah, Rusia merupakan warisan
kejayaan Bizantium yang sama-sama pernah menguasai Timur Tengah. Di masa
sekarang, hubungan Turki-Rusia yang kembali mesra ibarat "poros" yang
bakal mengulang kembali "hegemoni" mereka di Timur Tengah, bahkan lebih
berpengaruh dibandingkan hegemoni negara-negara "perampok"
Inggris-Amerika di abad 20 ini.
Invasi
keji AS ( di Irak dan Afghanistan) dan Israel ( di Palestina) tidak
membuat negara-negara yang terkena dampak invasi itu takut, tapi malah
membuat mereka berani dan mendorong mereka untuk membentuk sebuah
aliansi kekuatan baru, seperti yang dilakukan Turki, Rusia, Iran dan
Suriah. Aliansi antara Suriah, Turki dan Iran bukan hanya atas dasar
tradisi, agama dan resistensi mereka pada sepak terjang AS-Israel, tapi
karena atas dasar kepentingan yang sama dalam menghadapi kelompok
separatis Kurdi yang menerima dukungan dari AS dan Israel. Masuknya
Rusia, menambah aliansi Turki, Iran dan Suriah itu menjadi tambah kuat
di kawasan.
Kekuatan
aliansi itu secara geopolitis regional lebih alami dan logis, tidak
semu seperti kekuatan yang dibangun oleh imperium Inggris dan AS sejak
150 tahun yang lalu hingga sekarang. Imperium Inggris-AS lebih mirip
para prajurit Perang Salib yang menimbulkan bencana, mereka memaksa
penduduk setempat untuk mengusir penjajah, tapi akhirnya tindakan itu
yang mematikan gerak para prajurit Perang Salib sehingga mereka harus
menelan kekalahan. Keberanian Turki melawan arogansi Barat, seperti
halnya Iran, serta keberanian Turki mengecam Israel setelah peristiwa
serangan ke kapal Fredom Flotilla, membuat dunia tercengang, termasuk
negara-negara Arab. Rusia, sebagai bagian dari aliansi ini, memang tidak
seberani Turki, terutama dalam isu-isu konflik di Timur Tengah.
Harus
diakui bahwa perekonomian Rusia yang sedang terpuruk dan lemahnya
angkatan bersenjata Rusia telah memicu perbedaan pandangan di kalangan
elit Rusia terkait seberapa jauh Rusia harus mengakomodasi kerjasama
dengan AS. Selain itu, catatan sejarah Rusia di Afghanistan dan Chechnya
menjadi penghalang bagi hubungan Rusia dengan kaum Muslimin di Timur
Tengah. Sejak pasukan Rusia angkat kaki dari Mesir pada tahun 1972,
pengaruh Rusia di Timur Tengah makin melemah. Rusia juga harus
menghadapi kenyataan emigrasi jutaan warganya ke Israel di era tahun
1980-an.
Saat
ini, tak bisa dipungkiri bahwa Rusia sudah dibawah pengaruh lobi-lobi
Israel, banyak warga negara Rusia yang memiliki dua kewarganegaraan,
yaitu kewarganegaraan Israel dan Rusia juga menerapkan kerjasama bebas
visa dengan Israel. Persoalan lainnya yang dihadapi Rusia adalah
hubungan dekatnya dengan Iran, terutama dalam kerjasama energi nuklir
yang membuat Rusia menjadi target "serangan" dan kecaman Barat. Namun
Rusia berhasil menunjukkan dirinya sebagai negara yang tidak mudah
ditekan. Rusia telah melanjutkan kerjasama pembangunan fasilitas nuklir
untuk kebutuhan energi dengan Iran, Turki, Suriah dan Mesir. Belum lama
ini, Rusia bahkan menandatangani kesepakatan penjualan misil jelajah
terbaru jenis P-800 ke Suriah, yang membuat AS dan sekutunya, Israel
bertambah berang.
Ada
alasan lain bagi Rusia sehingga negara ini dianggap bisa menjadi
"penengah" di Timur Tengah, seperti halnya Turki adalah fakta bahwa
Yahudi Rusia yang dulu pindah ke Israel, merasa tidak nyaman dibawah
rezim Israel dan akhirnya kembali ke Rusia. Kondisi ini berpengaruh pada
hubungan Rusia-Israel, karena Israel justru sedang berusaha untuk
memulangkan sebanyak mungkin orang-orang Yahudi diaspora agar mau
menetap di Israel. Di Rusia sendiri, terdapat kawasan kaya bahan mentah
yang menjadi "negara kecil" orang-orang Yahudi dan keberadaannya diakui
oleh Rusia, yaitu Birobidjan Rusia yang menganut konsep sekular
nasionalis.
Tidak
ada "tangan-tangan ajaib" yang mengarahkan terbentuknya poros
Turki-Rusia sebagai formasi politik baru di tengah panggung politik
internasional. Tapi keberadaan poros itu direngarai akan memberi
ketahanan bagi dunia Islam untuk menghadapi arogansi Barat. Turki yang
dulu dipandang sebelah mata sebagai "orang sakit di Eropa" kini menjadi
"satu-satunya orang sehat di Eropa". Dalam pertemuan tingkat tinggi
"Millenium Goals" PBB pekan kemarin, Presiden Turki Abdullah Gul
menegaskan posisi Turki bersama Rusia serta sahabat-sahabat Turki
lainnya seperti Iran dan Suriah, untuk membersihkan "kotoran-kotoran"
akibat kekacauan yang dilakukan oleh imperium Inggris dan persekutuan
AS-Israel yang mengklaim sebagai negara demokratis.
Di
tengah ambisi AS dan Israel untuk melakukan serangan militer ke Iran,
pemimpin negara Turki dan Rusia terus meningkatkan kerjasamanya di
berbagai bidang dengan Timur Tengah, termasuk Iran. Timur Tengah
berpandangan, keinginan Rusia untuk membangun sumber-sumber energi di
Iran, Turki, Suriah dan Mesir bertujuan untuk membuka akselerasi bagi
pembangunan ekonomi di Timur Tengah yang selama ini selalu
dihalang-halangi Barat yang cenderung lebih mementingkan kemajuan
ekonomi Israel.
Rusia
bersama aliansinya, Turki terus berusaha menjadi penengah dalam konflik
Timur Tengah, khususnya konflik di Palestina dan konflik antara Iran
dan Barat. "Perdamaian di Timur Tengah menjadi kunci perdamaian dan
stabilitas dunia di masa depan," tukas Abdullah Gul dalam pidatonya di
pertemuan tingkat tinggi PBB. Sampai sejauh mana aliansi Turki-Rusia
bisa bertahan dari gempuran Barat dan mampukah aliansi ini menyatukan
Timur Tengah untuk membendung ambisi kaum neokon? Waktu yang akan
menjawabnya. (Eric Walberg-wb/ln)
Sumber: http://www.eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar