Minggu, 26 Mei 2013

Snouck Hurgronje = AGNOSTIK DAN MUNAFIK ??>> Dari sini snouck semakin mendalami ajaran Islam dan mahir dalam ilmu fiqih. Bahkan sahabatnya, yaitu teolog Theodore Noldeke di Strassbourg Jerman, yang sedang terbaring di rumah sakit sempat mengetes ilmu fiqih Snouck dengan bertanya tentang hukum berdoa dan mengucapkan nama Allah. Maka Snouck pun menuliskan fatwa fiqihnya sepanjang dua halaman dalam bahasa Arab. (Teks fatwa ini masih disimpan di Perpustakaan Universitas Tübingen Jerman). Dalam teks fatwa tersebut Snouck secara fasih mengawali dengan hamdalah dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan konon Snouck pun berhasil membuat takjub para ulama dalam sebuah diskusi. Ia mendapat gelar Al-Syaikh Al-Allama Maulana Abdoel Ghaffar Moefti Adh-Dhiyar Al-Djawiya. ..>> ..Pada 23 Agustus 1889 ia kembali ke Cirebon dan tinggal sampai 30 Agustus. Dari 6 September s/d 17 Oktober 1889 ia berkeliling dari Tegal, Pekalongan, Wiradesa, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo dan Purworejo. Pada bulan Desember Snouck dilaporkan berada di Cianjur namun catatannya terputus. Tiba-tiba harian Soerabaja Courant menulis pada 2 Januari 1890 bahwa Snouck menikahi anak penghulu besar Ciamis secara Islam. Berita ini menjadi heboh karena pada masa itu hukum yang berlaku bagi Boemi Putra berbeda dengan hukum bagi orang Eropa...>> Ketika berkunjung ke Bandung, Snouck menikah lagi dengan Siti Sajidah anak perempuan Raden Kalipah Apo, ulama terkemuka di Bandung. Namun ketika berita ini dimuat di koran, dan ditanya oleh seorang teolog Protestan di Leiden, ia tidak mengakui perkawinan ini dan berkilah bahwa itu hanya ulah wartawan saja yang mengawinkan dirinya dengan putri seorang ulama. Padahal dari hasil perkawinan itu lahirlah seorang putra bernama Raden Yoesoef, yang menceritakan bahwa Raden Kalipah Apo (mertua Snouck meninggal 1922) dan Siti Sajidah (mininggal 1974) sangat yakin hingga akhir hayatnya bahwa Abdoel Ghaffar Snouck ini seorang Muslim, karena selalu rajin shalat, berpuasa dan juga disunat...>> “Nak, papa akan kembali ke negeri Belanda untuk selamanya, keperluan kamu akan Papa kirim dari negeri Belanda dan kamu semua akan Papa ikutkan dalam asuransi jiwa. Bila besar kelak janganlah menggunakan nama famili Hurgronje karena mungkin dampaknya tidak bagus untuk kamu.”..>> Dalam buku tentang masyarakat Aceh tahun 1894 Snouck menulis: “Tidak ada peralihan agama. Bagi bangsa-bangsa dan individu-individu lebih mudah berpura-pura daripada sungguh sungguh masuk Islam. Orang dapat menjadi dan tetap merupakan anggota jamaah tanpa perlu memberikan bukti apapun tentang kedalaman iman, tentang syariat atau kesetiaan dalam pengamalannya. Mengucapkan dua kalimat syahadat membuat orang menjadi umat Muhammad, tiada seorang pun teman seimannya yang berhak memeriksa atau mempertanyakan ketulisan kesaksiannya.” (De Atjehers Jilid 2 hal 305)..>> .Snouck pun berangkat, berlayar ke Jeddah 1884. Ketika tinggal di Jeddah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Aboe Bakar Djajadiningrat (dari Pandeglang) dan Haji Hasan Moestapha (dari Garut). Snouck belajar bahasa melayu dari Raden Aboe Bakar Djajadiningrat yang bermukim di lingkungan orang Aceh yang tinggal di Makkah...>> buku catatan kecil Snouck, ia menceritakan bahwa di Jeddah ia bertemu seorang ulama Maroko yang mengajar kuliah di Makkah bernama Abdullah Zawawi pada 14 September 1884. Dialah yang kelak mengawal dirinya untuk memasuki kota Makkah. (Arsip Surat Menyurat Snouck Perpustakaan Universtias Leiden Cod Or 7112 hal 11)...>> 16 Januari 1885 Snouck bersyahadat di hadapan Qadi Jeddah bernama Isma’il Agha dan dua orang saksi yang ditunjuk oleh Gubernur Hijaz. Pada tanggal ini juga ia menulis surat pada teolog asal Hongaria, Ignaz Goldziher yang memberitahukan bahwa ia akan memasuki kota suci Makkah. Surat itu berbunyi sebagai berikut:..>> “Ihnen will ich nicht verhehlen (abber bitte keinem auch nurdie leisesye Andeutung daruber zun geben!!) dass ich mÖglich order vielmehr wahrscheinlicherweise demnächst nach Mekka übersiedele um dort einige Zeit Vorlesungen zu hÖren und im Verkher mit meinen schon zahlreichen mekkanischen Bekannten Belehrung zu suchen. Ich habe einen einfachen Weg gefunden, der mir insha’ Allah die Thore der H Stadt entschliessen wird. Ganz ohne ihzaar oel Islam geht dast natürlich nich.” (Kepada Tuan saya tidak menyembunyikan [namun saya mohon secara hati-hati tidak membuka mengenai hal ini] bahwa saya mungkin atau bahkan boleh jadi tidak lama lagi akan pindah ke Makkah untuk mengikuti kuliah-kuliah di sana selama beberapa waktu. Dan dalam pergaulan dengan banyak orang Makkah kenalan saya, saya berusaha mencari pengajaran. Saya telah menemukan pintu gerbang Kota Suci itu. Tanpa sikap izharul Islam [menampakkan lahiriyah sebagai orang Islam] sudah tentu saya tidak mungkin berangkat). (Dikutip dari Surat Snouck kepada Ignaz Golziher yang disimpan pada Akademi Ilmu Pengetahuan Budapest Hongaria). ..>> “Die frage wiefen man in dieser accomodation gehen kann, sei jeder,amms privatsache, wie alle gewissensfragen. Solite aber wegen annehmung des muslimischen characters die glaubwürdigkeit und der werth des ehrenworts einer person in frage gestellt werden, so hatte ich in dieser beziehung berühmte genossen : Burchardt, Burton und monsieur Leon Roches, ministre plénipotentiare de la France en retarite welcher neulich in seinem ‘Trente deux ans á traves l’Islam’ beschrieben hat, wie er Nordafrika, Egypten und Arabien als Muhammedaner.” (Pertanyaan sejauh mana orang dapat melangkah menyesuaikan diri merupakan urusan pribadi masing masing, sebagaimana semua masalah keinsafan batin. Namun karena penerimaan sebagai Muslim bisa dipercaya, dan nilai sumpah (syahadat) saya tidak dipertanyakan, maka dalam hal ini saya punya kawan termasyhur seperti Burckhardt, Burton dan Leon Roches, mantan menteri Prancis yang baru menulis buku ‘Trente Deux Ans A Travers l’Islam [Tiga Puluh Dua Tahun Menjalajahi Dunia Islam] bagaimana ia menjelajahi Afrika Utara, Mesir dan negeri Arab dengan menyamar sebagai seorang pengikut Muhammad). (Surat Snouck pada Carl Bezold tanggal 18 Februari 1886 yang disimpan di Arsip Perpustakaan Heidelberg). ..>> Mei 124 tahun silam, tepatnya pada 1889, Abdul Ghafar berlayar dengan kapal uap bernama “Japara” dari Singapura menuju Batavia. Ya, dia adalah Abdul Ghafar alias Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang berhasil menginjakkan kaki di kota suci Makkah. Kota yang dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam haram dimasuki orang kafir. Snouck Hurgronje adalah contoh bagi kita betapa antara ilmu dan hidayah adalah sesuatu yang berbeda. Orang bisa saja menguasai berbagai ilmu ke-Islam-an dan menampakkan tampilan luar (lahiriyah) sebagai seorang Muslim sejati, namun semua ilmu itu tidak bermanfaat sedikit pun mendatangkan sinar hidayah ke dalam hatinya...>>



Snouck Hurgronje, Seorang Agnostik & Munafik Tulen (bag 1)


Snouck Hurgronje-6-jpeg.image 

SALAM-ONLINE: Mei 124 tahun silam, tepatnya pada 1889, Abdul Ghafar berlayar dengan kapal uap bernama “Japara” dari Singapura menuju Batavia.

Ya, dia adalah Abdul Ghafar alias Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang berhasil menginjakkan kaki di kota suci Makkah. Kota yang dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam haram dimasuki orang kafir.

Snouck Hurgronje adalah contoh bagi kita betapa antara ilmu dan hidayah adalah sesuatu yang berbeda. Orang bisa saja menguasai berbagai ilmu ke-Islam-an dan menampakkan tampilan luar (lahiriyah) sebagai seorang Muslim sejati, namun semua ilmu itu tidak bermanfaat sedikit pun mendatangkan sinar hidayah ke dalam hatinya.

Snouck Hurgronje lahir di Ossterhout, 8 Februari 1857 dan meninggal di Leiden pada 16 Juni 1936. Keluarga Snouck Hurgronje berdarah Yahudi namun telah berasimilasi menjadi penganut Protestan yang ortodoks dan fanatik di Belanda.

Ibunda Snouck adalah Anna Maria de Visser, putri hasil pernikahan pendeta Christian de Visser dan Anna Catherina Scharp (anak DS. J. Scharp). Ayah Snouck, Christian de Visser, adalah seorang pendeta di Gereja Hervmond di Tholen, namun kemudian dipecat pada 1849 karena suatu kasus.

Ayah dari Ibunya (kakek Snouck) bernama DS. J. Scharp adalah penginjil fanatik di Rotterdam. Tahun 1824 kakeknya ini menyelesaikan buku berjudul “Korte schets over Mohammed en de Mohammadanen Handleiding voor de kwekelingen van het Nederlanche Zendelinggenootscap (sketsa ringkas tentang Muhammad dan pengikut Muhammad, pegangan bagi pengabar Injil Belanda). Buku ini merupakan pegangan wajib bagi calon penginjil Protestan yang akan diutus dalam misi ke Hindia Belanda.

DS. J. Scharp juga menulis buku Mohammedanismus. Kakek Snouck ini menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana mengkristenkan kaum Muslimin dan bagaimana menjawab tuduhan lancung mereka terhadap iman kristiani.

Tahun 1877 Snouck masih memperhitungkan karirnya sebagai pendeta di Gereja Hervormd. Dan nama Snouck masih diumumkan sebagai kandidat pendeta di Kerkelijk Album Universitas Leiden.

Namun tahun 1879 Snouck melakukan korespondensi dengan teolog Protestan dari Jerman bernama Herman Bavinck. Di situ Snouck mengatakan, “Anda memang seroang yang yakin pada Tuhan sedangkan saya orang yang skeptis pada segala hal.” Perkataan Snouck ini menegaskan pandangannya yang agnostik (percaya Tuhan namun tidak percaya pada satu agama pun).

Pada 1880 ia menyelesaikan studi bahasa semit di Universitas Leiden, dengan tesisnya berjudul Het Mekkaansche Feest (Festival Mekah), maksudnya adalah ibadah haji. Pada masa itu, marak berkembang studi orientalisme, yaitu studi mengenai agama-agama timur.

Pasa masa itu ilmu perbandingan agama dan perbandingan budaya berkembang di bawah pengaruh teori Darwin yang memandang bahwa agama adalah produk evolusi budaya manusia, yang mengalami evolusi dari bentuk primitif menjadi modern. Dan mereka memandang bahwa Kristen adalah puncak dari proses evolusi budaya manusia, sedangkan Islam dianggap sebagai tahapan evolusi yang tertinggal jauh ter belakang dibandingkan Kristen.

Dengan kata lain, studi orientalisme didasari hipotesis awal bahwa budaya Eropa lebih unggul dari semua budaya timur (oriental). Dr Snouck kemudian mengajar di Leiden & Delf Akademie, tempat semua pejabat pemerintah Belanda dilatih sebelum ditempatkan di daerah jajahan,termasuk di Hindia Belanda (Indonesia).

Snouck semakin menonjol dan menarik perhatian Konsul Belanda di Jeddah bernama J.A. Kruyt. Belanda merasa perlu membuka Konsul di Jeddah karena banyak pelarian dari Hindia Belanda, yang mengompori pemberontakan pada Belanda, ternyata bersembunyi di Makkah. Dan melalui ibadah Haji, orang orang Indonesia mendapat pengaruh agitasi melawan Belanda.

Pemerintah Belanda juga menyadari bahwa ibadah haji merupakan momentum menggalang paham Pan Islamisme (paham persatuan Islam sedunia yang saat itu dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani) yang kemungkinan bisa membahayakan kelangsungan penjajahan Belanda di Nusantara.
Untuk itu J.A. Kuryt pernah mengusulkan agar direkrut seorang Muslim Indonesia atau Arab yang ada di Makkah, dan dilatih sebagai agen rahasia Belanda. Namun jawaban Kementerian Urusan Daerah Jajahan yang berpusat di Den Haag menyatakan tidak bisa menemukan orang Indonesia atau Arab yang bisa dipercaya dalam urusan rahasia ini.
Lalu J.A. Kuryt menyarankan agar setiap kali berangkat rombongan haji dari Indonesia, disusupkan 2 orang Muslim dari kalangan ningrat Jawa  yang setia pada Belanda, agar bisa diperoleh informasi mengenai gerakan politik orang-orang Indonesia di Makkah. Namun usul ini pun ditolak.

Maka ketika muncul anak muda bernama Snouck Hurgronje yang menulis tesis tentang ‘Festival Mekah’, ia berinisiatif menawarkan Snouck untuk datang ke Jeddah guna mempelajari Islam secara langsung.

Sebelum berangkat ke Arab Snouck sempat menulis di De Indische Gids. membantah pendapat L.W.C. Van den Berg tentang istilah Mohamedaanshce Priesters (kaum pendeta Muhammad), karena menurut Snouck, tidak ada sistem kependetaan dalam Islam. Dan tak ada upacara pentasbihan pendeta sebagaimana dalam gereja. Dalam sistem masyarakat Islam, siapa saja bisa menjadi ulama dan Imam karena masyarakat sendirilah yang menilai dan mentasbihkan mereka sebagai ulama.

Agaknya celah inilah yang dilihat oleh Snouck bahwa dirinya pun bisa menyusup ke dalam masyarakat Islam dan mendapat predikat ulama.

Maka Snouck pun berangkat, berlayar ke Jeddah 1884. Ketika tinggal di Jeddah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Aboe Bakar Djajadiningrat (dari Pandeglang) dan Haji Hasan Moestapha (dari Garut). Snouck belajar bahasa melayu dari Raden Aboe Bakar Djajadiningrat yang bermukim di lingkungan orang Aceh yang tinggal di Makkah.

Selama di Jeddah, Snouck tidak melupakan misinya untuk juga mempelajari mengenai orang Aceh terkait dengan perang Aceh yang sedang digencarkan Belanda. Maka, Snouck juga belajar dari ulama Arab yang pernah mengunjungi Aceh dan tinggal di Makkah bernama Habib Abdoerahman Az-Zahir.

Prof. Hasjmy (guru di IAIN Jamiyah Ar-Raniry Banda Aceh) mengatakan, dari dokumen yang ada, Snouck mengaku kepada Habib Abdoerahman bahwa ia ingin membantu orang Aceh melawan Belanda. Wajar jika Habib Abdoerahman sepenuh hati membantu Snouck.

Dalam buku catatan kecil Snouck, ia menceritakan bahwa di Jeddah ia bertemu seorang ulama Maroko yang mengajar kuliah di Makkah bernama Abdullah Zawawi pada 14 September 1884. Dialah yang kelak mengawal dirinya untuk memasuki kota Makkah. (Arsip Surat Menyurat Snouck Perpustakaan Universtias Leiden Cod Or 7112 hal 11).

Snouck juga belajar kepada Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan, ulama ahli tarikh (sejarah). Dari sini Snouck belajar mengenai berbagai ilmu Islam. Tidak mustahil Snouck terinspirasi dari Ignaz Goldziher yang belajar tentang Islam dari ulama Al Azhar di Kairo, mengingat Snouck memang bersahabat erat dengan Goldziher. (Arsip Surat Ahmad bin Zaini kepada Snouck di Perpustakaan Universtias Leiden Cod Or 7111).

Pada 16 Januari 1885 Snouck bersyahadat di hadapan Qadi Jeddah bernama Isma’il Agha dan dua orang saksi yang ditunjuk oleh Gubernur Hijaz. Pada tanggal ini juga ia menulis surat pada teolog asal Hongaria, Ignaz Goldziher yang memberitahukan bahwa ia akan memasuki kota suci Makkah. Surat itu berbunyi sebagai berikut:

Ihnen will ich nicht verhehlen (abber bitte keinem auch nurdie leisesye Andeutung daruber zun geben!!) dass ich mÖglich order vielmehr wahrscheinlicherweise demnächst nach Mekka übersiedele um dort einige Zeit Vorlesungen zu hÖren und im Verkher mit meinen schon zahlreichen mekkanischen Bekannten Belehrung zu suchen. Ich habe einen einfachen  Weg gefunden, der mir insha’ Allah die Thore der H Stadt entschliessen wird. Ganz ohne ihzaar oel Islam geht dast natürlich nich.

(Kepada Tuan saya tidak menyembunyikan [namun saya mohon secara hati-hati tidak membuka mengenai hal ini] bahwa saya mungkin atau bahkan boleh jadi tidak lama lagi akan pindah ke Makkah untuk mengikuti kuliah-kuliah di sana selama beberapa waktu. Dan dalam pergaulan dengan banyak orang Makkah kenalan saya, saya berusaha mencari pengajaran. Saya telah menemukan pintu gerbang Kota Suci itu. Tanpa sikap izharul Islam [menampakkan lahiriyah sebagai orang Islam] sudah tentu saya tidak mungkin berangkat). (Dikutip dari Surat Snouck kepada Ignaz Golziher yang disimpan pada Akademi Ilmu Pengetahuan Budapest Hongaria).

Ketika snouck berhasil memasuki Masjidil Haram, ia pun menulis surat lagi kepada teman kuliahnya, Carl Bezold, yang menunjukkan sejati dirinya yang berpura=pura masuk Islam. Surat tersebut sebagai berikut:

Die frage wiefen man in dieser accomodation gehen kann, sei jeder,amms privatsache, wie alle gewissensfragen. Solite aber wegen annehmung des muslimischen characters die glaubwürdigkeit und der werth des ehrenworts einer person in frage gestellt werden, so hatte ich in dieser beziehung berühmte genossen : Burchardt, Burton und monsieur Leon Roches, ministre plénipotentiare de la France en retarite welcher neulich in seinem ‘Trente deux ans á traves l’Islam’ beschrieben hat, wie er Nordafrika, Egypten und Arabien als Muhammedaner.”

(Pertanyaan sejauh mana orang dapat melangkah menyesuaikan diri merupakan urusan pribadi masing masing, sebagaimana semua masalah keinsafan batin. Namun karena penerimaan sebagai Muslim bisa dipercaya, dan nilai sumpah (syahadat) saya tidak dipertanyakan, maka dalam hal ini saya punya kawan termasyhur seperti Burckhardt, Burton dan Leon Roches, mantan menteri Prancis yang baru menulis buku ‘Trente Deux Ans A Travers l’Islam [Tiga Puluh Dua Tahun Menjalajahi Dunia Islam] bagaimana ia menjelajahi Afrika Utara, Mesir dan negeri Arab dengan menyamar sebagai seorang pengikut Muhammad). (Surat Snouck pada Carl Bezold tanggal 18 Februari 1886 yang disimpan di Arsip Perpustakaan Heidelberg).

Snouck-Hurgronje-2-jpeg.image 

Maka jelas di sini, Snouck menyejajarkan ke-Islam-an dirinya sama dengan Johann Ludwig Burckhardt yang masuk Islam di Kairo dan berganti nama menjadi Ibrahim Al-Mahdi dan Sir Richard Burton, dimana keduanya berhasil masuk dan naik haji ke Makkah yang sebenarnya dalam rangka menulis tentang negeri Arab.

Demikian pula ia menyamakan dirinya dengan Leon Roches, mantan menteri Prancis yang menjadi agen rahasia Prancis di Afrika Utara dengan berpura pura masuk Islam. (bersambung)
(abu akmal mubarok/salam-online)

Snouck Hurgronje, Seorang Munafik Tulen (bag 2)


Snouck Hurgronje-8-jpeg.image 

SALAM-ONLINE: Dari sini snouck semakin mendalami ajaran Islam dan mahir dalam ilmu fiqih. Bahkan sahabatnya, yaitu teolog Theodore Noldeke di Strassbourg Jerman, yang sedang terbaring di rumah sakit sempat mengetes ilmu fiqih Snouck dengan bertanya tentang hukum berdoa dan mengucapkan nama Allah.

Maka Snouck pun menuliskan fatwa fiqihnya sepanjang dua halaman dalam  bahasa Arab. (Teks fatwa ini masih disimpan di Perpustakaan Universitas Tübingen Jerman). Dalam teks fatwa tersebut Snouck secara fasih mengawali dengan hamdalah dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan konon Snouck pun berhasil membuat takjub para ulama dalam sebuah diskusi. Ia mendapat gelar Al-Syaikh Al-Allama Maulana Abdoel Ghaffar Moefti Adh-Dhiyar Al-Djawiya.

Setelah merasa cukup mempelajari Islam selama 1 tahun di Jazirah Arab, Snouck kembali ke Belanda. Kepada Ignaz Goldziher ia menulit surat:

Dengan mengamati itu saya mulai mencintai beberapa segi dari Islam sebagaimana belum pernah saya rasakan keberatan yang berarti pada bagian agama yang sesungguhnya dari tatanan yang meliputi segalanya itu (diin). Menurut saya, hanya pengaruh politik Islam sajalah yang dapat membawa akibat buruk. Sebagai orang Belanda saya merasa wajib untuk senantiasa mengingatkan terlebih dahulu dengan tegas.” (Surat Snouck kepada Goldziher 11 Juni 1886).

Pada tahun 1887 Snouck mengusulkan pada pemerintah Belanda untuk membiayai studinya lebih lanjut mengenai Islam di daerah jajahan Hindia Belanda. Usul ini didukung oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (lembaga Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan).

Karena tidak mendapat tanggapan, kembali pada 9 Februari 1888, Snouck menulis surat kepada Gubernur Hindia Belanda. Pada 2 Juli 1988 Snouck juga menulis surat kepada Menteri Urusan Jajahan mengenai pentinganya studi ini.

Akhirnya baru pada 1 April 1889 Snouck berlayar dari Brindisi menuju Penang Malaysia. Kepada Jenderal Van der Maaten, Snouck menulis surat:

Karena pemerintah berminat pada politik Islam, maka Aceh merupakan tempat utama yang menjadi sasaran penelitian saya. Akan saya tunjukkan bahwa saya di Makkah telah belajar mengenal orang Aceh dari dekat, sementara tidak ada satu orang Eropa pun yang bisa melakukan hal itu. Saya bermaksud dengan cara saya sendiri menyamar pergi ke Penang untuk berjumpa dengan para pelarian Aceh di sana. Barang kali dari situ saya dapat menyusup ke istana Sultan Aceh di Keumala. Saya yakin dengan cara ini saya akan dapat berbuat banyak untuk menjernihkan keadaan.” (Snouck Hurgronje en de Atjeh Oorlog Jilid 2 hal 100).

Namun karena Malaysia di bawah jajahan Inggris, maka Jenderal Van Tijn khawatir terjadi insiden dengan Inggris dan menulis keberatan kepada Gubernur Hindia Belanda di Batavia. Maka, ketika Snouck tiba di Penang ia dijemput Konsul Belanda di Penang dan diperintahkan segera melanjutkan ke Batavia. Pada 11 Mei 1889 Snouck naik kapal uap Japara dari Singapura menuju Batavia.

Setelah mendarat di Batavia, Gubernur Hindia Belanda saat itu yaitu Jenderal C. Pijnacker Hordijk menunjuk beberapa orang untuk menjadi asisten Snouck. Salah satunya adalah Habib Othman bin Jahja bin Aqil Al Alawi Al-Hadrami. Dia adalah ulama asal Hadramaut Yaman, yang tinggal di Batavia dan menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda dalam masalah ke-Islam-an  dengan gaji 100 gulden per bulan.
Tugas penting Snouck adalah mencari cara penyelesaian perang Aceh yang telah berlarut larut. Perlu diketahui, Belanda telah berusaha menaklukkan aceh sejak 1873 dan sampai tahun 1889 saat Snouck dikirim ke Batavia, Belanda belum berhasil menaklukkan Aceh.

Snouck menduduki jabatan resmi sebagai Officieel Adviseur voor Oostersche Talen en Mohammedaans Rechts (Penasihat resmi bidang bahasa timur dan hukum Islam). Segera saja pada 20 Juni 1889 Snouck menulis nasihat berjudul “Bedevaart en Pelgrims” yang mengusulkan pada konsul Belanda di Jeddah agar membatasi dan jangan mempermudah kepergian penduduk Hindia Belanda ke Makkah.

Berada di Batavia, Snouck segera mengontak Haji Hasan Moestapha (ulama Garut yang dikenalnya di Jeddah).  Didampingi Hasan Moestapha, ia berkeliling ke pesantren- pesantren di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Pada 16 Juli 1889 ia ke Sukabumi, lalu ke Cilincing. Pada 8 Agustus berada di Cirebon dan 10 Agustus di Mangunreja, 15 Agustus ia mengunjungi Ciamis. Di situ ia mencatat upacara perkawinan adat Sunda di luar masjid Ciamis.

Pada 23 Agustus 1889 ia kembali ke Cirebon dan tinggal sampai 30 Agustus. Dari 6 September s/d 17 Oktober 1889 ia berkeliling dari Tegal, Pekalongan, Wiradesa, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo dan Purworejo. Pada bulan Desember Snouck dilaporkan berada di Cianjur namun catatannya terputus.

Tiba-tiba harian Soerabaja Courant menulis pada 2 Januari 1890 bahwa Snouck menikahi anak penghulu besar Ciamis secara Islam. Berita ini menjadi heboh karena pada masa itu hukum yang berlaku bagi Boemi Putra berbeda dengan hukum bagi orang Eropa.

Jika seseorang laki-laki Eropa menikahi wanita Boemi Putra maka baginya akan berlaku hukum Boemi Putra. Maka 10 Februari 1890 Kementerian Urusan Jajahan di Belanda mengirim telegram menanyakan kepastian berita ini kepada Gubernur Hindia Belanda. Pada 12 Februari 1890, Gubernur Hindia Belanda membantah berita ini dan menyatakan sebagai gosip wartawan saja.

Padahal kejadian sebenarnya adalah memang Snouck menikah dengan “Sangkana”, anak perempuan satu-satunya dari Raden Haji Muhammad Ta’ib penghulu besar Ciamis dari istrinya Nata Rasmi.

H. Muh Ta’ib ini kerabat Lasmitakusuma, istri Bupati Ciamis saat itu bernama Kusuma Subrata. Ketika itu, karena Lasmitakusuma hidup kaya raya sebagai istri Bupati Ciamis, ia memelihara keponakan-keponakan wanita di rumah Bupati Ciamis, di antaranya adalah “Sangkana”.

Ketika Snouck menginap di rumah Bupati Ciamis inilah, Lasmitakusuma menawarkan pada Snouck untuk memilih salah satu dari gadis-gadis yang dibesarkan oleh dirinya itu agar menjadi istrinya. Dan Snouck memilih Sangkana.

Sebenarnya Raden Haji Muhammad Ta’ib kurang setuju Sangkana diinikahkan dengan Snouck, karena ia adalah anak satu-satunya sehingga pernikahannya sangat berarti. Ia tidak mau Sangkana dijadikan sebagai “Nyai” Belanda.

Sebagaimana diketahui pada masa itu lelaki Eropa dilarang menjadikan istri resmi wanita Boemi Putra, namun dibolehkan menjadikan mereka sebagai selir atau gundik.

Namun atas tekanan dari Haji Hasan Moestapha yang bersaksi bahwa Snouck seorang Muslim ketka dikenalnya di Arab, juga desakan dari Lasmitakusuma istri Bupati Ciamis, mengingat kedudukannya sebagai penghulu besar Ciamis juga bergantung pada keputusan Bupati, maka Raden Haji Muhammad Ta’ib pun menyetuji pernikahan ini. Dari pernikahan ini lahirlah 4 anak bernama Salmah Emah, Aminah, Umar dan Ibrahim.

Ketika berkunjung ke Bandung, Snouck menikah lagi dengan Siti Sajidah anak perempuan Raden Kalipah Apo, ulama terkemuka di Bandung. Namun ketika berita ini dimuat di koran, dan ditanya oleh seorang teolog Protestan di Leiden, ia tidak mengakui perkawinan ini dan berkilah bahwa itu hanya ulah wartawan saja yang mengawinkan dirinya dengan putri seorang ulama.

Padahal dari hasil perkawinan itu lahirlah seorang putra bernama Raden Yoesoef, yang menceritakan bahwa Raden Kalipah Apo (mertua Snouck meninggal 1922) dan Siti Sajidah (mininggal 1974) sangat yakin hingga akhir hayatnya bahwa Abdoel Ghaffar Snouck ini seorang Muslim, karena selalu rajin shalat, berpuasa dan juga disunat.

Pada 1891 s/d 1892 dan 1893 s/d 1903 Snouck telah 7 kali mengunjungi Aceh. Dan total ia tinggal di sana selama 40 bulan (ada yang mengatakan 33 bulan). Pada 1893 Snouck kembali ditugaskan ke Aceh guna menyusun saran penyelesaian perang Aceh.

Menurut Prof Hasjmy ketika Snouck tiba di Aceh pada 1893 ia disambut sebagai seorang ulama karena menguasai bahasa Arab dan ilmu fiqih. Dari penduduk Oleueh-leueh (baca: Oléh-leu) Snouck dibimbing belajar bahasa Aceh. Kemudian ia juga dibantu oleh Teuku Nurdin yang juga abang dari penghulu besar Oleueh-leueh bernama Akoeb. Snouck berhasil menyusun laporan mengenai kondisi politik dan keagamaan masyarakat Aceh berjudul Atjeh Verslag.

Pada 1898 Snouck dibantu oleh Djambek atau Nyak Puteh dari Gayo, membuat peta pegunungan Aceh Gayo. Berdasarkan peta ini, Snouck mendampingi Jenderal Van Heutz mengejar pejuang Aceh hingga berhasil menangkap 100 orang di Beuronoen Pantai Aceh Utara pada 5 September 1898.

Mengenai peranannya ini Snouck menulis surat lagi pada Ignaz Goldziher tanggal 15 Juli 1898. Ia mengatakan: “Apa yang pertama-tama menjadi soal adalah memberikan bantuan pada penaklukan melalui sarana pengumpulan keterangan dan bertindak sebagai penghubung antara pimpinan tentara dengan penduduk.”

Dalam catatan masyarakat Gayo, Snouck dikenal dengan julukan “habib kulit putih” mengimami orang shalat di masjid serta melakukan khutbah Jum’at. Ia sering mengenakan pakaian Arab dan serban berwarna hijau.
Namun sedikit demi sedikit fatwa-fatwa Snouck merusak Umat Islam dari dalam. Snouck selalu menulis usulan rahasia kepada Gubernur Hindia Belanda agar membuat kebijakan yang merugikan Islam.

Snouck Hurgronje-7-jpeg.image 

Sebagai contoh, Snouck menyadari bahwa imigran Arab dari Hadramaut (Yaman) merupakan tokoh yang berperan dalam kebangkitan perlawanan bangsa Indonesia. Maka pada 22 Desember 1902 Snouck menentang kebijakan “eijken en passentelsel” yang melonggarkan masuknya imigran Arab dan mencabut pemisahan pemukiman orang Arab di Indonesia. Snouck mengatakan:

Adanya orang Hadramaut di negeri ini dipandang dari sudut politik selalu merugikan dan menjadi suatu bahaya. Jika batas yang sekarang berlaku bagi mereka mengenai tempat tinggal dan kebebasan bepergian dicabut, dan pulau Jawa terbuka bagi mereka, maka jumlah mereka akan menjadi puluhan ribu dan tidak mungkin lagi mengawasi mereka.” (bersambung)–abu akmal mubarok/salam-online

Snouck Hurgronje, Si Munafik Tulen (bag 3)


Snouck Hurgronje-6-jpeg.image 

SALAM-ONLINE: Sikap dan sokongan Snouck kepada pemerintah kolonial Belanda membuat banyak ulama Arab di Indonesia yang menulis di surat kabar Mesir, Hijaz dan Suriah, memperingatkan akan bahaya Snouck  Hurgronje.

Lalu, apakah Snouck benar seorang mualaf Muslim yang kemudian menjadi “habib kulit putih” namun ia masih mendukung kolonialisme Belanda, ataukah ia memang benar-benar seorang munafik sejati yang berhasil mengelabui dan meyakinkan semua orang tentang ke-Islam-annya?

Tak heran jika terjadi kesimpangsiuran apakah Snouck benar-benar masuk Islam (namun masih bekerja pada kepentingan pemerintah Belanda) ataukah sesungguhnya ia seorang munafik sejati. G.H. Bousquet dan J. Schacht pada 1957 mengatakan:

Snouck hidup di tengah masyarakat Arab bahkan seperti keluarganya sendiri, hidup seperti Islam menurut ketentuan Al-Qur’an yang tidak dikenal dalam tatanan kehidupan kita.” (Oeuvres choisies de C. Snouck Hurgronje, Leiden 1957).

Demikian pula artikel Schröderdi NRC Handelsblad 10 Maret 1984. Ia mengajukan argumen yang membela Snouck bahwa ia sungguh-sungguh seorang Muslim dengan mengajukan bukti surat-surat dan fatwa Snouck yang fasih mendoakan orang dan sahabatnya secara Islam.

Sejarawan O. Hasem dalam buku “Menundukkan Dunia Islam” (1968) juga meyakini serta mempertahankan pendapatnya bahwa Snouck benar-benar masuk Islam walaupun mendukung penaklukan Aceh oleh Belanda.

Namun agaknya bukti ke-pura-pura-an Snouck itu sungguh nyata terang benderang, tak bisa disamarkan. Perkara penggunaan istilah-istilah Arab sudah sering dilakukan Snouck dalam surat-suratnya kepada rekan-rekan penginjil atau teolog. Namun dalam surat itu nyata terasa bahwa istilah Arab itu ia gunakan secara “sinis” atau “ledekan”.

Sebagai contoh ketika Comte Carlo Landberg, seorang ahli sastra Arab yang menjadi saingannya dan sangat dibencinya meninggal, Snouck menulis sebagai berikut:

Agaknya ia mengangkat Zettersteen sebagai khalifah (penggantinya) bagi karya ilmiahnya. Saya khawatir al mizan di akhirat –walau dengan kemurah-hatian Allah namun bagi Carlo tetap akan keliru dan ia akan masuk ash-habul masy-amah (golongan kiri yang masuk neraka). Jika ternyata tidak begitu, saya ingin dalam pembagian ini  termasuk pada golongan kiri supaya tidak bertemu dengan Don Carlos, ab’adahu Allah (semoga Allah menyingkirkannya).”

Di sini jelas sekali penggunaan istilah-istilah Arab yang biasa terdapat dalam Al-Qur’an bukan untu menunjukkan ia Islam namun sekadar pamer pada rekan teolog lainnya bahwa ia menguasai istilah Islam dan menjadikan hal itu sebagai ledekan. (surat Snouck kepada Theodore Noldeke 6 Agustus 1924).

Dalam buku tentang masyarakat Aceh tahun 1894 Snouck menulis:

Tidak ada peralihan agama. Bagi bangsa-bangsa dan individu-individu lebih mudah berpura-pura daripada sungguh sungguh masuk Islam. Orang dapat menjadi dan tetap merupakan anggota jamaah tanpa perlu memberikan bukti apapun tentang kedalaman iman, tentang syariat atau kesetiaan dalam pengamalannya. Mengucapkan dua kalimat syahadat membuat orang menjadi umat Muhammad, tiada seorang pun teman seimannya yang berhak memeriksa atau mempertanyakan ketulisan kesaksiannya.” (De Atjehers Jilid 2 hal 305).

Di sini Snouck melihat celah mudahnya berpura pura menjadi Islam karena tidak ada yang berhak mempertanyakan keimanannya setelah bersyahadat.

Perlu diketahui, laporan Snouck (secara rahasia) kepada pemerintah Hindia Belanda tentang masyarakat Aceh dibukukan dalam Atjeh Verslag. Namun isi laporan ini setelah di-edit sana sini diterbitkan kepada publik umum dengan judul De Atjehers. Keduanya sama-sama dua jilid. Namun pendirian dan kebencian Snouck pada Islam dan Aceh lebih nampak pada Atjeh Verslag yang bersifat rahasia pada pemerintah Hindia Belanda.

Sedangkan pada buku De Atjehers nada kebencian ini diedit. Hal ini baru terungkap ketika Dr E Gobeé menerbitkan surat-surat rahasia Snouck dengan buku berjudul Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgornje pada tahun 1965.

Lalu Van Koningsveld pada  16 November 1979 membuka rahasia tulisan Snouck Hurgronje lainnya. Hal ini menimbulkan kehebohan di negeri Belanda dan terjadi perdebatan dengan sejarawan yang selama ini menutup-nutupi (atau tidak tahu) atas kepalsuan Snouck Hurgronje.

Tahun 1905 ternyata Snouck masih menjadi seorang agnostik (percaya Tuhan namun tidak percaya pada satu agama pun), dan mengatakan pada Theodore Nöldeke:

Saya tidak yakin bahwa dalam Injil terdapat lebih banyak ucapan ucapan pribadi Yesus apa adanya dibandingkan dalam hadits terdapat ucapan-ucapan asli Muhammad” (surat Snouck kepada Th. Nöldeke tanggal 9 Februari 1905, disimpan di perpustakaan Universitas Tübingen).

Ungkapan Snouck di atas mengandung arti, ia menganggap Injil ucapan Yesus sejajar dengan Hadits dalam Islam yang berisi ucapan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia tidak yakin asli sebagaimana pula ia tak yakin keaslian ucapan Yesus.

Tahun 1906 Snouck Hurgronje pulang ke Belanda karena telah pensiun dan berniat menghabiskan masa tuanya di tanah kelahirannya. Dari 1.000 lebih surat Snouck pada semua sahabatnya, sama sekali tidak menyebut-nyebut keberadaan dua perkawinannya (atau mungkin lebih?) dan anak-anaknya selama di Hindia Belanda.

Istri pertamanya, ‘Sangkana’, meninggal tahun 1896 ketika melahirkan anak ke-5 dari Snouck Hurgronje. Dan keempat anaknya dipelihara oleh Lasmitakusuma istri bupati Ciamis. Salmah Emah sering menulis surat kepada Bapaknya di Belanda tapi Snouck jarang menjawabnya. Namun satu dua surat jawaban Snouck ada disimpan oleh anak perempuan Emah bernama T. Subrata yang masih hidup hingga kini di Bandung.

Sedangkan anak Snouck lainnya, Jusuf,  dari istri keduanya bernama Siti Sadijah sempat diajak tinggal di Jakarta di jalan Kramat Sentiong, lalu menjadi polisi di Surabaya. Dr Van Der Meulen bercerita bahwa ia mempunyai seorang staf di Palembang yang bercerita bahwa saudara laki-laki tirinya yang menjadi polisi di Surabaya adalah anak Snouck Hurgronje.

Ternyata yang bekerja dengan Dr Van Der Meulen di Palembang adalah Ibrahim, anak keempat Snouck dari Sangkana. Dan yang menjadi polisi di Surabaya adalah Raden Jusuf, anak dari Siti Sadijah. Konon ketika hendak pulang ke Belanda, anak-anak Snouck sempat dibawa jalan-jalan ke mesium Gambir (sekarang Musium Gajah), kemudian Snouck berkata:

Nak, papa akan kembali ke negeri Belanda untuk selamanya, keperluan kamu akan Papa kirim dari negeri Belanda dan kamu semua akan Papa ikutkan dalam asuransi jiwa. Bila besar kelak janganlah menggunakan nama  famili  Hurgronje karena mungkin dampaknya tidak bagus untuk kamu.

Snouck rupanya menyadari, namanya akan dikenal jelek, sebagai seorang nifaq dan salah seorang sosok yang menjadi musuh Islam. Maka, ucapan terakhir Snouck pada anak-anaknya itu dapat dimengerti, kenapa 


Snouck Hurgronje-bag 3-jpeg.image

dia berpesan seperti itu.

Begitulah pesan terakhir Snouck pada anak-anaknya, dan sejak itu mereka tidak pernah lagi melihat sang ayah si munafik tulen itu sampai akhir hayatnya.

Ketika kembali ke Belanda, Snouck membujang selama 4 tahun sampai akhirnya ia menikah lagi pada 1910 dengan Maria otter, seorang gadis Roma Katolik di Belanda. Dari Maria ini, tahun 1912, Snouck mendapat 1 orang anak perempuan bernama Christien.

Ia menikah secara Katolik dan dimakamkan di Leiden tahun 1936 secara Katolik pula. Hal ini membuktikan ia seorang agnostik dan munafik sejati.

Bagi Snouck tidak menjadi soal apakah menjalani prosesi Protestan, Katolik atau Islam, karena ia menganggap agama ini hanya sebagai produk budaya manusia. (abu akmal mubarok/salam-online)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar