Snouck Hurgronje, Seorang Agnostik & Munafik Tulen (bag 1)
SALAM-ONLINE: Mei 124 tahun silam, tepatnya pada 1889, Abdul Ghafar berlayar dengan kapal uap bernama “Japara” dari Singapura menuju Batavia.
Ya, dia adalah Abdul Ghafar alias Snouck Hurgronje, seorang
orientalis Belanda yang berhasil menginjakkan kaki di kota suci Makkah.
Kota yang dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam haram
dimasuki orang kafir.
Snouck Hurgronje adalah contoh bagi kita betapa antara ilmu dan
hidayah adalah sesuatu yang berbeda. Orang bisa saja menguasai berbagai
ilmu ke-Islam-an dan menampakkan tampilan luar (lahiriyah) sebagai
seorang Muslim sejati, namun semua ilmu itu tidak bermanfaat sedikit pun
mendatangkan sinar hidayah ke dalam hatinya.
Snouck Hurgronje lahir di Ossterhout, 8 Februari 1857 dan meninggal
di Leiden pada 16 Juni 1936. Keluarga Snouck Hurgronje berdarah Yahudi
namun telah berasimilasi menjadi penganut Protestan yang ortodoks dan
fanatik di Belanda.
Ibunda Snouck adalah Anna Maria de Visser, putri hasil pernikahan
pendeta Christian de Visser dan Anna Catherina Scharp (anak DS. J.
Scharp). Ayah Snouck, Christian de Visser, adalah seorang pendeta di
Gereja Hervmond di Tholen, namun kemudian dipecat pada 1849 karena suatu
kasus.
Ayah dari Ibunya (kakek Snouck) bernama DS. J. Scharp adalah
penginjil fanatik di Rotterdam. Tahun 1824 kakeknya ini menyelesaikan
buku berjudul “Korte schets over Mohammed en de Mohammadanen Handleiding
voor de kwekelingen van het Nederlanche Zendelinggenootscap (sketsa
ringkas tentang Muhammad dan pengikut Muhammad, pegangan bagi pengabar
Injil Belanda). Buku ini merupakan pegangan wajib bagi calon penginjil
Protestan yang akan diutus dalam misi ke Hindia Belanda.
DS. J. Scharp juga menulis buku Mohammedanismus. Kakek Snouck ini
menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana mengkristenkan kaum Muslimin
dan bagaimana menjawab tuduhan lancung mereka terhadap iman kristiani.
Tahun 1877 Snouck masih memperhitungkan karirnya sebagai pendeta di
Gereja Hervormd. Dan nama Snouck masih diumumkan sebagai kandidat
pendeta di Kerkelijk Album Universitas Leiden.
Namun tahun 1879 Snouck melakukan korespondensi dengan teolog
Protestan dari Jerman bernama Herman Bavinck. Di situ Snouck mengatakan,
“Anda memang seroang yang yakin pada Tuhan sedangkan saya orang yang skeptis pada segala hal.” Perkataan Snouck ini menegaskan pandangannya yang agnostik (percaya Tuhan namun tidak percaya pada satu agama pun).
Pada 1880 ia menyelesaikan studi bahasa semit di Universitas Leiden,
dengan tesisnya berjudul Het Mekkaansche Feest (Festival Mekah),
maksudnya adalah ibadah haji. Pada masa itu, marak berkembang studi
orientalisme, yaitu studi mengenai agama-agama timur.
Pasa masa itu ilmu perbandingan agama dan perbandingan budaya
berkembang di bawah pengaruh teori Darwin yang memandang bahwa agama
adalah produk evolusi budaya manusia, yang mengalami evolusi dari bentuk
primitif menjadi modern. Dan mereka memandang bahwa Kristen adalah
puncak dari proses evolusi budaya manusia, sedangkan Islam dianggap
sebagai tahapan evolusi yang tertinggal jauh ter belakang dibandingkan
Kristen.
Dengan kata lain, studi orientalisme didasari hipotesis awal bahwa
budaya Eropa lebih unggul dari semua budaya timur (oriental). Dr Snouck
kemudian mengajar di Leiden & Delf Akademie, tempat semua pejabat
pemerintah Belanda dilatih sebelum ditempatkan di daerah
jajahan,termasuk di Hindia Belanda (Indonesia).
Snouck semakin menonjol dan menarik perhatian Konsul Belanda di
Jeddah bernama J.A. Kruyt. Belanda merasa perlu membuka Konsul di Jeddah
karena banyak pelarian dari Hindia Belanda, yang mengompori
pemberontakan pada Belanda, ternyata bersembunyi di Makkah. Dan melalui
ibadah Haji, orang orang Indonesia mendapat pengaruh agitasi melawan
Belanda.
Pemerintah Belanda juga menyadari bahwa ibadah haji merupakan
momentum menggalang paham Pan Islamisme (paham persatuan Islam sedunia
yang saat itu dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani) yang kemungkinan
bisa membahayakan kelangsungan penjajahan Belanda di Nusantara.
Untuk itu J.A. Kuryt pernah mengusulkan agar direkrut seorang Muslim
Indonesia atau Arab yang ada di Makkah, dan dilatih sebagai agen rahasia
Belanda. Namun jawaban Kementerian Urusan Daerah Jajahan yang berpusat
di Den Haag menyatakan tidak bisa menemukan orang Indonesia atau Arab
yang bisa dipercaya dalam urusan rahasia ini.
Lalu J.A. Kuryt menyarankan agar setiap kali berangkat rombongan haji
dari Indonesia, disusupkan 2 orang Muslim dari kalangan ningrat Jawa
yang setia pada Belanda, agar bisa diperoleh informasi mengenai gerakan
politik orang-orang Indonesia di Makkah. Namun usul ini pun ditolak.
Maka ketika muncul anak muda bernama Snouck Hurgronje yang menulis
tesis tentang ‘Festival Mekah’, ia berinisiatif menawarkan Snouck untuk
datang ke Jeddah guna mempelajari Islam secara langsung.
Sebelum berangkat ke Arab Snouck sempat menulis di De Indische Gids.
membantah pendapat L.W.C. Van den Berg tentang istilah Mohamedaanshce
Priesters (kaum pendeta Muhammad), karena menurut Snouck, tidak ada
sistem kependetaan dalam Islam. Dan tak ada upacara pentasbihan pendeta
sebagaimana dalam gereja. Dalam sistem masyarakat Islam, siapa saja bisa
menjadi ulama dan Imam karena masyarakat sendirilah yang menilai dan
mentasbihkan mereka sebagai ulama.
Agaknya celah inilah yang dilihat oleh Snouck bahwa dirinya pun bisa
menyusup ke dalam masyarakat Islam dan mendapat predikat ulama.
Maka Snouck pun berangkat, berlayar ke Jeddah 1884. Ketika tinggal di
Jeddah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Aboe Bakar
Djajadiningrat (dari Pandeglang) dan Haji Hasan Moestapha (dari Garut).
Snouck belajar bahasa melayu dari Raden Aboe Bakar Djajadiningrat yang
bermukim di lingkungan orang Aceh yang tinggal di Makkah.
Selama di Jeddah, Snouck tidak melupakan misinya untuk juga
mempelajari mengenai orang Aceh terkait dengan perang Aceh yang sedang
digencarkan Belanda. Maka, Snouck juga belajar dari ulama Arab yang
pernah mengunjungi Aceh dan tinggal di Makkah bernama Habib Abdoerahman
Az-Zahir.
Prof. Hasjmy (guru di IAIN Jamiyah Ar-Raniry Banda Aceh) mengatakan,
dari dokumen yang ada, Snouck mengaku kepada Habib Abdoerahman bahwa ia
ingin membantu orang Aceh melawan Belanda. Wajar jika Habib Abdoerahman
sepenuh hati membantu Snouck.
Dalam buku catatan kecil Snouck, ia menceritakan bahwa di Jeddah ia
bertemu seorang ulama Maroko yang mengajar kuliah di Makkah bernama
Abdullah Zawawi pada 14 September 1884. Dialah yang kelak mengawal
dirinya untuk memasuki kota Makkah. (Arsip Surat Menyurat Snouck
Perpustakaan Universtias Leiden Cod Or 7112 hal 11).
Snouck juga belajar kepada Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan, ulama ahli
tarikh (sejarah). Dari sini Snouck belajar mengenai berbagai ilmu Islam.
Tidak mustahil Snouck terinspirasi dari Ignaz Goldziher yang belajar
tentang Islam dari ulama Al Azhar di Kairo, mengingat Snouck memang
bersahabat erat dengan Goldziher. (Arsip Surat Ahmad bin Zaini kepada
Snouck di Perpustakaan Universtias Leiden Cod Or 7111).
Pada 16 Januari 1885 Snouck bersyahadat di hadapan Qadi Jeddah
bernama Isma’il Agha dan dua orang saksi yang ditunjuk oleh Gubernur
Hijaz. Pada tanggal ini juga ia menulis surat pada teolog asal Hongaria,
Ignaz Goldziher yang memberitahukan bahwa ia akan memasuki kota suci
Makkah. Surat itu berbunyi sebagai berikut:
“Ihnen will ich nicht verhehlen (abber bitte keinem auch nurdie
leisesye Andeutung daruber zun geben!!) dass ich mÖglich order vielmehr
wahrscheinlicherweise demnächst nach Mekka übersiedele um dort einige
Zeit Vorlesungen zu hÖren und im Verkher mit meinen schon zahlreichen
mekkanischen Bekannten Belehrung zu suchen. Ich habe einen einfachen
Weg gefunden, der mir insha’ Allah die Thore der H Stadt entschliessen
wird. Ganz ohne ihzaar oel Islam geht dast natürlich nich.”
(Kepada Tuan saya tidak menyembunyikan [namun saya mohon secara
hati-hati tidak membuka mengenai hal ini] bahwa saya mungkin atau bahkan
boleh jadi tidak lama lagi akan pindah ke Makkah untuk mengikuti
kuliah-kuliah di sana selama beberapa waktu. Dan dalam pergaulan dengan banyak orang Makkah
kenalan saya, saya berusaha mencari pengajaran. Saya telah menemukan
pintu gerbang Kota Suci itu. Tanpa sikap izharul Islam [menampakkan
lahiriyah sebagai orang Islam] sudah tentu saya tidak mungkin
berangkat). (Dikutip dari Surat Snouck kepada Ignaz Golziher yang disimpan pada Akademi Ilmu Pengetahuan Budapest Hongaria).
Ketika snouck berhasil memasuki Masjidil Haram, ia pun menulis surat
lagi kepada teman kuliahnya, Carl Bezold, yang menunjukkan sejati
dirinya yang berpura=pura masuk Islam. Surat tersebut sebagai berikut:
“Die frage wiefen man in dieser accomodation gehen kann, sei
jeder,amms privatsache, wie alle gewissensfragen. Solite aber wegen
annehmung des muslimischen characters die glaubwürdigkeit und der werth
des ehrenworts einer person in frage gestellt werden, so hatte ich in
dieser beziehung berühmte genossen : Burchardt, Burton und
monsieur Leon Roches, ministre plénipotentiare de la France en retarite
welcher neulich in seinem ‘Trente deux ans á traves l’Islam’ beschrieben
hat, wie er Nordafrika, Egypten und Arabien als Muhammedaner.”
(Pertanyaan sejauh mana orang dapat melangkah menyesuaikan diri
merupakan urusan pribadi masing masing, sebagaimana semua masalah
keinsafan batin. Namun karena penerimaan sebagai Muslim
bisa dipercaya, dan nilai sumpah (syahadat) saya tidak dipertanyakan,
maka dalam hal ini saya punya kawan termasyhur seperti Burckhardt,
Burton dan Leon Roches, mantan menteri Prancis yang baru menulis buku ‘Trente Deux Ans A Travers l’Islam [Tiga Puluh Dua Tahun Menjalajahi Dunia Islam] bagaimana ia menjelajahi Afrika Utara, Mesir dan negeri Arab dengan menyamar sebagai seorang pengikut Muhammad). (Surat Snouck pada Carl Bezold tanggal 18 Februari 1886 yang disimpan di Arsip Perpustakaan Heidelberg).
Maka jelas di sini, Snouck menyejajarkan ke-Islam-an dirinya sama dengan Johann Ludwig Burckhardt yang masuk Islam di Kairo dan berganti nama menjadi Ibrahim Al-Mahdi dan Sir Richard Burton, dimana keduanya berhasil masuk dan naik haji ke Makkah yang sebenarnya dalam rangka menulis tentang negeri Arab.
Demikian pula ia menyamakan dirinya dengan Leon Roches, mantan menteri Prancis yang menjadi agen rahasia Prancis di Afrika Utara dengan berpura pura masuk Islam. (bersambung)
(abu akmal mubarok/salam-online)
Snouck Hurgronje, Seorang Munafik Tulen (bag 2)
SALAM-ONLINE:
Dari sini snouck semakin mendalami ajaran Islam dan mahir dalam ilmu
fiqih. Bahkan sahabatnya, yaitu teolog Theodore Noldeke di Strassbourg
Jerman, yang sedang terbaring di rumah sakit sempat mengetes ilmu fiqih
Snouck dengan bertanya tentang hukum berdoa dan mengucapkan nama Allah.
Maka Snouck pun menuliskan fatwa fiqihnya sepanjang dua halaman dalam
bahasa Arab. (Teks fatwa ini masih disimpan di Perpustakaan
Universitas Tübingen Jerman). Dalam teks fatwa tersebut Snouck secara
fasih mengawali dengan hamdalah dan shalawat kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan konon Snouck pun berhasil membuat
takjub para ulama dalam sebuah diskusi. Ia mendapat gelar Al-Syaikh
Al-Allama Maulana Abdoel Ghaffar Moefti Adh-Dhiyar Al-Djawiya.
Setelah merasa cukup mempelajari Islam selama 1 tahun di Jazirah
Arab, Snouck kembali ke Belanda. Kepada Ignaz Goldziher ia menulit
surat:
“Dengan mengamati itu saya mulai mencintai beberapa segi dari
Islam sebagaimana belum pernah saya rasakan keberatan yang berarti pada
bagian agama yang sesungguhnya dari tatanan yang meliputi segalanya itu
(diin). Menurut saya, hanya pengaruh politik Islam sajalah yang
dapat membawa akibat buruk. Sebagai orang Belanda saya merasa wajib
untuk senantiasa mengingatkan terlebih dahulu dengan tegas.” (Surat Snouck kepada Goldziher 11 Juni 1886).
Pada tahun 1887 Snouck mengusulkan pada pemerintah Belanda untuk
membiayai studinya lebih lanjut mengenai Islam di daerah jajahan Hindia
Belanda. Usul ini didukung oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (lembaga Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan).
Karena tidak mendapat tanggapan, kembali pada 9 Februari 1888, Snouck
menulis surat kepada Gubernur Hindia Belanda. Pada 2 Juli 1988 Snouck
juga menulis surat kepada Menteri Urusan Jajahan mengenai pentinganya
studi ini.
Akhirnya baru pada 1 April 1889 Snouck berlayar dari Brindisi menuju
Penang Malaysia. Kepada Jenderal Van der Maaten, Snouck menulis surat:
“Karena pemerintah berminat pada politik Islam, maka Aceh
merupakan tempat utama yang menjadi sasaran penelitian saya. Akan saya
tunjukkan bahwa saya di Makkah telah belajar mengenal
orang Aceh dari dekat, sementara tidak ada satu orang Eropa pun yang
bisa melakukan hal itu. Saya bermaksud dengan cara saya sendiri menyamar
pergi ke Penang untuk berjumpa dengan para pelarian Aceh di sana.
Barang kali dari situ saya dapat menyusup ke istana Sultan Aceh di
Keumala. Saya yakin dengan cara ini saya akan dapat berbuat banyak untuk
menjernihkan keadaan.” (Snouck Hurgronje en de Atjeh Oorlog Jilid 2 hal 100).
Namun karena Malaysia di bawah jajahan Inggris, maka Jenderal Van
Tijn khawatir terjadi insiden dengan Inggris dan menulis keberatan
kepada Gubernur Hindia Belanda di Batavia. Maka, ketika Snouck tiba di
Penang ia dijemput Konsul Belanda di Penang dan diperintahkan segera
melanjutkan ke Batavia. Pada 11 Mei 1889 Snouck naik kapal uap Japara
dari Singapura menuju Batavia.
Setelah mendarat di Batavia, Gubernur Hindia Belanda saat itu yaitu
Jenderal C. Pijnacker Hordijk menunjuk beberapa orang untuk menjadi
asisten Snouck. Salah satunya adalah Habib Othman bin Jahja bin Aqil Al
Alawi Al-Hadrami. Dia adalah ulama asal Hadramaut Yaman, yang tinggal di
Batavia dan menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda dalam masalah
ke-Islam-an dengan gaji 100 gulden per bulan.
Tugas penting Snouck adalah mencari cara penyelesaian perang Aceh
yang telah berlarut larut. Perlu diketahui, Belanda telah berusaha
menaklukkan aceh sejak 1873 dan sampai tahun 1889 saat Snouck dikirim ke
Batavia, Belanda belum berhasil menaklukkan Aceh.
Snouck menduduki jabatan resmi sebagai Officieel Adviseur voor
Oostersche Talen en Mohammedaans Rechts (Penasihat resmi bidang bahasa
timur dan hukum Islam). Segera saja pada 20 Juni 1889 Snouck menulis
nasihat berjudul “Bedevaart en Pelgrims” yang mengusulkan pada
konsul Belanda di Jeddah agar membatasi dan jangan mempermudah kepergian
penduduk Hindia Belanda ke Makkah.
Berada di Batavia, Snouck segera mengontak Haji Hasan Moestapha
(ulama Garut yang dikenalnya di Jeddah). Didampingi Hasan Moestapha, ia
berkeliling ke pesantren- pesantren di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Pada 16 Juli 1889 ia ke Sukabumi, lalu ke Cilincing. Pada 8 Agustus
berada di Cirebon dan 10 Agustus di Mangunreja, 15 Agustus ia
mengunjungi Ciamis. Di situ ia mencatat upacara perkawinan adat Sunda di
luar masjid Ciamis.
Pada 23 Agustus 1889 ia kembali ke Cirebon dan tinggal sampai 30
Agustus. Dari 6 September s/d 17 Oktober 1889 ia berkeliling dari Tegal,
Pekalongan, Wiradesa, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo dan Purworejo.
Pada bulan Desember Snouck dilaporkan berada di Cianjur namun catatannya
terputus.
Tiba-tiba harian Soerabaja Courant menulis pada 2 Januari 1890
bahwa Snouck menikahi anak penghulu besar Ciamis secara Islam. Berita
ini menjadi heboh karena pada masa itu hukum yang berlaku bagi Boemi
Putra berbeda dengan hukum bagi orang Eropa.
Jika seseorang laki-laki Eropa menikahi wanita Boemi Putra maka
baginya akan berlaku hukum Boemi Putra. Maka 10 Februari 1890
Kementerian Urusan Jajahan di Belanda mengirim telegram menanyakan
kepastian berita ini kepada Gubernur Hindia Belanda. Pada 12 Februari
1890, Gubernur Hindia Belanda membantah berita ini dan menyatakan
sebagai gosip wartawan saja.
Padahal kejadian sebenarnya adalah memang Snouck menikah dengan
“Sangkana”, anak perempuan satu-satunya dari Raden Haji Muhammad Ta’ib
penghulu besar Ciamis dari istrinya Nata Rasmi.
H. Muh Ta’ib ini kerabat Lasmitakusuma, istri Bupati Ciamis saat itu
bernama Kusuma Subrata. Ketika itu, karena Lasmitakusuma hidup kaya raya
sebagai istri Bupati Ciamis, ia memelihara keponakan-keponakan wanita
di rumah Bupati Ciamis, di antaranya adalah “Sangkana”.
Ketika Snouck menginap di rumah Bupati Ciamis inilah, Lasmitakusuma
menawarkan pada Snouck untuk memilih salah satu dari gadis-gadis yang
dibesarkan oleh dirinya itu agar menjadi istrinya. Dan Snouck memilih
Sangkana.
Sebenarnya Raden Haji Muhammad Ta’ib kurang setuju Sangkana
diinikahkan dengan Snouck, karena ia adalah anak satu-satunya sehingga
pernikahannya sangat berarti. Ia tidak mau Sangkana dijadikan sebagai
“Nyai” Belanda.
Sebagaimana diketahui pada masa itu lelaki Eropa dilarang menjadikan
istri resmi wanita Boemi Putra, namun dibolehkan menjadikan mereka
sebagai selir atau gundik.
Namun atas tekanan dari Haji Hasan Moestapha yang bersaksi bahwa
Snouck seorang Muslim ketka dikenalnya di Arab, juga desakan dari
Lasmitakusuma istri Bupati Ciamis, mengingat kedudukannya sebagai
penghulu besar Ciamis juga bergantung pada keputusan Bupati, maka Raden
Haji Muhammad Ta’ib pun menyetuji pernikahan ini. Dari pernikahan ini
lahirlah 4 anak bernama Salmah Emah, Aminah, Umar dan Ibrahim.
Ketika berkunjung ke Bandung, Snouck menikah lagi dengan Siti Sajidah
anak perempuan Raden Kalipah Apo, ulama terkemuka di Bandung. Namun
ketika berita ini dimuat di koran, dan ditanya oleh seorang teolog
Protestan di Leiden, ia tidak mengakui perkawinan ini dan berkilah bahwa
itu hanya ulah wartawan saja yang mengawinkan dirinya dengan putri
seorang ulama.
Padahal dari hasil perkawinan itu lahirlah seorang putra bernama
Raden Yoesoef, yang menceritakan bahwa Raden Kalipah Apo (mertua Snouck
meninggal 1922) dan Siti Sajidah (mininggal 1974) sangat yakin hingga
akhir hayatnya bahwa Abdoel Ghaffar Snouck ini seorang Muslim, karena
selalu rajin shalat, berpuasa dan juga disunat.
Pada 1891 s/d 1892 dan 1893 s/d 1903 Snouck telah 7 kali mengunjungi
Aceh. Dan total ia tinggal di sana selama 40 bulan (ada yang mengatakan
33 bulan). Pada 1893 Snouck kembali ditugaskan ke Aceh guna menyusun
saran penyelesaian perang Aceh.
Menurut Prof Hasjmy ketika Snouck tiba di Aceh pada 1893 ia disambut
sebagai seorang ulama karena menguasai bahasa Arab dan ilmu fiqih. Dari
penduduk Oleueh-leueh (baca: Oléh-leu) Snouck dibimbing belajar bahasa
Aceh. Kemudian ia juga dibantu oleh Teuku Nurdin yang juga abang dari
penghulu besar Oleueh-leueh bernama Akoeb. Snouck berhasil menyusun
laporan mengenai kondisi politik dan keagamaan masyarakat Aceh berjudul Atjeh Verslag.
Pada 1898 Snouck dibantu oleh Djambek atau Nyak Puteh dari Gayo,
membuat peta pegunungan Aceh Gayo. Berdasarkan peta ini, Snouck
mendampingi Jenderal Van Heutz mengejar pejuang Aceh hingga berhasil
menangkap 100 orang di Beuronoen Pantai Aceh Utara pada 5 September
1898.
Mengenai peranannya ini Snouck menulis surat lagi pada Ignaz
Goldziher tanggal 15 Juli 1898. Ia mengatakan: “Apa yang pertama-tama
menjadi soal adalah memberikan bantuan pada penaklukan melalui sarana
pengumpulan keterangan dan bertindak sebagai penghubung antara pimpinan
tentara dengan penduduk.”
Dalam catatan masyarakat Gayo, Snouck dikenal dengan julukan “habib
kulit putih” mengimami orang shalat di masjid serta melakukan khutbah
Jum’at. Ia sering mengenakan pakaian Arab dan serban berwarna hijau.
Namun sedikit demi sedikit fatwa-fatwa Snouck merusak Umat Islam dari
dalam. Snouck selalu menulis usulan rahasia kepada Gubernur Hindia
Belanda agar membuat kebijakan yang merugikan Islam.
Sebagai
contoh, Snouck menyadari bahwa imigran Arab dari Hadramaut (Yaman)
merupakan tokoh yang berperan dalam kebangkitan perlawanan bangsa
Indonesia. Maka pada 22 Desember 1902 Snouck menentang kebijakan “eijken en passentelsel” yang melonggarkan masuknya imigran Arab dan mencabut pemisahan pemukiman orang Arab di Indonesia. Snouck mengatakan:
“Adanya orang Hadramaut di negeri ini dipandang dari sudut politik
selalu merugikan dan menjadi suatu bahaya. Jika batas yang sekarang
berlaku bagi mereka mengenai tempat tinggal dan kebebasan bepergian
dicabut, dan pulau Jawa terbuka bagi mereka, maka jumlah mereka akan
menjadi puluhan ribu dan tidak mungkin lagi mengawasi mereka.” (bersambung)–abu akmal mubarok/salam-online
Snouck Hurgronje, Si Munafik Tulen (bag 3)
SALAM-ONLINE:
Sikap dan sokongan Snouck kepada pemerintah kolonial Belanda membuat
banyak ulama Arab di Indonesia yang menulis di surat kabar Mesir, Hijaz
dan Suriah, memperingatkan akan bahaya Snouck Hurgronje.
Lalu, apakah Snouck benar seorang mualaf Muslim yang kemudian menjadi
“habib kulit putih” namun ia masih mendukung kolonialisme Belanda,
ataukah ia memang benar-benar seorang munafik sejati yang berhasil
mengelabui dan meyakinkan semua orang tentang ke-Islam-annya?
Tak heran jika terjadi kesimpangsiuran apakah Snouck benar-benar
masuk Islam (namun masih bekerja pada kepentingan pemerintah Belanda)
ataukah sesungguhnya ia seorang munafik sejati. G.H. Bousquet dan J.
Schacht pada 1957 mengatakan:
“Snouck hidup di tengah masyarakat Arab bahkan seperti keluarganya
sendiri, hidup seperti Islam menurut ketentuan Al-Qur’an yang tidak
dikenal dalam tatanan kehidupan kita.” (Oeuvres choisies de C. Snouck Hurgronje, Leiden 1957).
Demikian pula artikel Schröderdi NRC Handelsblad 10 Maret 1984. Ia
mengajukan argumen yang membela Snouck bahwa ia sungguh-sungguh seorang
Muslim dengan mengajukan bukti surat-surat dan fatwa Snouck yang fasih
mendoakan orang dan sahabatnya secara Islam.
Sejarawan O. Hasem dalam buku “Menundukkan Dunia Islam” (1968) juga
meyakini serta mempertahankan pendapatnya bahwa Snouck benar-benar masuk
Islam walaupun mendukung penaklukan Aceh oleh Belanda.
Namun agaknya bukti ke-pura-pura-an Snouck itu sungguh nyata terang
benderang, tak bisa disamarkan. Perkara penggunaan istilah-istilah Arab
sudah sering dilakukan Snouck dalam surat-suratnya kepada rekan-rekan
penginjil atau teolog. Namun dalam surat itu nyata terasa bahwa istilah
Arab itu ia gunakan secara “sinis” atau “ledekan”.
Sebagai contoh ketika Comte Carlo Landberg, seorang ahli sastra Arab
yang menjadi saingannya dan sangat dibencinya meninggal, Snouck menulis
sebagai berikut:
“Agaknya ia mengangkat Zettersteen sebagai khalifah (penggantinya)
bagi karya ilmiahnya. Saya khawatir al mizan di akhirat –walau dengan
kemurah-hatian Allah namun bagi Carlo tetap akan keliru dan ia akan masuk ash-habul masy-amah
(golongan kiri yang masuk neraka). Jika ternyata tidak begitu, saya
ingin dalam pembagian ini termasuk pada golongan kiri supaya tidak
bertemu dengan Don Carlos, ab’adahu Allah (semoga Allah menyingkirkannya).”
Di sini jelas sekali penggunaan istilah-istilah Arab yang biasa
terdapat dalam Al-Qur’an bukan untu menunjukkan ia Islam namun sekadar
pamer pada rekan teolog lainnya bahwa ia menguasai istilah Islam dan
menjadikan hal itu sebagai ledekan. (surat Snouck kepada Theodore
Noldeke 6 Agustus 1924).
Dalam buku tentang masyarakat Aceh tahun 1894 Snouck menulis:
“Tidak ada peralihan agama. Bagi bangsa-bangsa dan individu-individu
lebih mudah berpura-pura daripada sungguh sungguh masuk Islam. Orang
dapat menjadi dan tetap merupakan anggota jamaah tanpa perlu memberikan
bukti apapun tentang kedalaman iman, tentang syariat atau kesetiaan
dalam pengamalannya. Mengucapkan dua kalimat syahadat membuat orang
menjadi umat Muhammad, tiada seorang pun teman seimannya yang berhak
memeriksa atau mempertanyakan ketulisan kesaksiannya.” (De Atjehers Jilid 2 hal 305).
Di sini Snouck melihat celah mudahnya berpura pura menjadi Islam
karena tidak ada yang berhak mempertanyakan keimanannya setelah
bersyahadat.
Perlu diketahui, laporan Snouck (secara rahasia) kepada pemerintah Hindia Belanda tentang masyarakat Aceh dibukukan dalam Atjeh Verslag. Namun isi laporan ini setelah di-edit sana sini diterbitkan kepada publik umum dengan judul De Atjehers. Keduanya sama-sama dua jilid. Namun pendirian dan kebencian Snouck pada Islam dan Aceh lebih nampak pada Atjeh Verslag yang bersifat rahasia pada pemerintah Hindia Belanda.
Sedangkan pada buku De Atjehers nada kebencian ini diedit. Hal
ini baru terungkap ketika Dr E Gobeé menerbitkan surat-surat rahasia
Snouck dengan buku berjudul Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgornje pada tahun 1965.
Lalu Van Koningsveld pada 16 November 1979 membuka rahasia tulisan
Snouck Hurgronje lainnya. Hal ini menimbulkan kehebohan di negeri
Belanda dan terjadi perdebatan dengan sejarawan yang selama ini
menutup-nutupi (atau tidak tahu) atas kepalsuan Snouck Hurgronje.
Tahun 1905 ternyata Snouck masih menjadi seorang agnostik (percaya
Tuhan namun tidak percaya pada satu agama pun), dan mengatakan pada
Theodore Nöldeke:
“Saya tidak yakin bahwa dalam Injil terdapat lebih banyak ucapan
ucapan pribadi Yesus apa adanya dibandingkan dalam hadits terdapat
ucapan-ucapan asli Muhammad” (surat Snouck kepada Th. Nöldeke tanggal 9 Februari 1905, disimpan di perpustakaan Universitas Tübingen).
Ungkapan Snouck di atas mengandung arti, ia menganggap Injil ucapan
Yesus sejajar dengan Hadits dalam Islam yang berisi ucapan Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia tidak yakin asli sebagaimana
pula ia tak yakin keaslian ucapan Yesus.
Tahun 1906 Snouck Hurgronje pulang ke Belanda karena telah pensiun
dan berniat menghabiskan masa tuanya di tanah kelahirannya. Dari 1.000
lebih surat Snouck pada semua sahabatnya, sama sekali tidak
menyebut-nyebut keberadaan dua perkawinannya (atau mungkin lebih?) dan
anak-anaknya selama di Hindia Belanda.
Istri pertamanya, ‘Sangkana’, meninggal tahun 1896 ketika melahirkan
anak ke-5 dari Snouck Hurgronje. Dan keempat anaknya dipelihara oleh
Lasmitakusuma istri bupati Ciamis. Salmah Emah sering menulis surat
kepada Bapaknya di Belanda tapi Snouck jarang menjawabnya. Namun satu
dua surat jawaban Snouck ada disimpan oleh anak perempuan Emah bernama
T. Subrata yang masih hidup hingga kini di Bandung.
Sedangkan anak Snouck lainnya, Jusuf, dari istri keduanya bernama
Siti Sadijah sempat diajak tinggal di Jakarta di jalan Kramat Sentiong,
lalu menjadi polisi di Surabaya. Dr Van Der Meulen bercerita bahwa ia
mempunyai seorang staf di Palembang yang bercerita bahwa saudara
laki-laki tirinya yang menjadi polisi di Surabaya adalah anak Snouck
Hurgronje.
Ternyata yang bekerja dengan Dr Van Der Meulen di Palembang adalah
Ibrahim, anak keempat Snouck dari Sangkana. Dan yang menjadi polisi di
Surabaya adalah Raden Jusuf, anak dari Siti Sadijah. Konon ketika hendak
pulang ke Belanda, anak-anak Snouck sempat dibawa jalan-jalan ke mesium
Gambir (sekarang Musium Gajah), kemudian Snouck berkata:
“Nak, papa akan kembali ke negeri Belanda untuk selamanya,
keperluan kamu akan Papa kirim dari negeri Belanda dan kamu semua akan
Papa ikutkan dalam asuransi jiwa. Bila besar kelak janganlah menggunakan nama famili Hurgronje karena mungkin dampaknya tidak bagus untuk kamu.”
Snouck rupanya menyadari, namanya akan dikenal jelek, sebagai seorang nifaq
dan salah seorang sosok yang menjadi musuh Islam. Maka, ucapan terakhir
Snouck pada anak-anaknya itu dapat dimengerti, kenapa
dia berpesan seperti itu.
Begitulah pesan terakhir Snouck pada anak-anaknya, dan sejak itu
mereka tidak pernah lagi melihat sang ayah si munafik tulen itu sampai
akhir hayatnya.
Ketika kembali ke Belanda, Snouck membujang selama 4 tahun sampai
akhirnya ia menikah lagi pada 1910 dengan Maria otter, seorang gadis
Roma Katolik di Belanda. Dari Maria ini, tahun 1912, Snouck mendapat 1
orang anak perempuan bernama Christien.
Ia menikah secara Katolik dan dimakamkan di Leiden tahun 1936 secara
Katolik pula. Hal ini membuktikan ia seorang agnostik dan munafik
sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar