Tak Adil, Pajak Rakyat untuk Bayar Utang Pengemplang BLBI

Kasus skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menyisakan ketidakadilan yang berkepanjangan bagi rakyat Indonesia.
Melalui skema penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI pada 1998, pemerintah lewat APBN "memaksakan" pajak rakyat miskin yang tidak bersalah digunakan untuk membayar utang ratusan triliun rupiah orang kaya pengemplang BLBI.
Setiap tahun rakyat membayar subsidi bunga obligasi rekap 80 triliun rupiah hingga jatuh tempo dan menebus pokok obligasi itu pada 2033 yang kemudian diperpnjang lagi menjadi 2043.
Utang BLBI itu juga dinilai sebagai biang membengkaknya utang negara hingga empat kali lipat sejak 1998 menjadi 2.000 triliun rupiah. Selama ini, pemerintah dan DPR mengabaikan desakan rakyat agar membuat kebijakan untuk membebaskan APBN dari kewajiban obligasi rekap warisan BLBI.
Publik menilai haram hukumnya pajak rakyat digunakan terus-menerus untuk menyubsidi bankir pengemplang BLBI yang kini makin kaya raya. Pengamat perbankan, Achmad Iskandar, mengemukakan hal itu di Jakarta, Senin (15/4).
"Saya kira perlu diubah mindset birokrasi kita yang tidak prorakyat itu. Ini kebijakan salah yang harus dikoreksi," tegas Iskandar. Menurut dia, belum terlambat bagi pemerintah mengoreksi total kebijakan obligasi rekap karena kebijakan pemerintah itu merugikan masyarakat Indonesia.
"Memang, mesti ada gerakan yang sifatnya masif," ujar Iskandar. Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Suroso Imam Zadjuli, menambahkan kebijakan pemerintah selama ini yang dipandang lunak bagi para obligor BLBI menyebabkan stagnasi pengembangan sektor riil akibat minimnya peran perbankan nasional.
"Rendahnya intermediasi perbankan dalam penyaluran dana ke sektor riil, seperti ke sektor UMKM, akibat mayoritas perbankan swasta telah dikuasai pemodal asing yang sebenarnya bekerja sama dengan para pengemplang dan buron BLBI. Perbankan swasta kita yang sudah go public, sahamnya banyak dikuasai para orang-orang dekat para obligor (BLBI)," jelas dia.
Iskandar menilai sudah waktunya bagi pemerintah untuk mengubah paradigma pembangunan ekonomi. Kebijakan yang selama ini memanjakan pengemplang BLBI harus diubah. Pemerintah semestinya lebih memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia.
"Sangat tidak adil jika uang pajak rakyat ini dipakai menyubsidi orang-orang kaya pengemplang BLBI," tegas dia. Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Hidayatullah Muttaqin, mengemukakan Indonesia kini terperangkap dalam kebijakan ekonomi yang salah sehingga tidak mampu tampil sebagai bangsa yang mandiri.
Kebijakan yang salah itu menyebabkan pemerintah terjepit dalam upaya menahan laju infl asi dan membendung aliran impor, khususnya komoditas pangan. Sebelum semuanya terlambat, perombakan kabinet harus secara total dilakukan karena selama ini pejabat tidak mau mengakui kesalahan.
Jika tidak diganti dengan pejabat yang reformis, tidak mau berubah. Contoh paling nyata adalah kasus BLBI yang tidak terselesaikan oleh empat presiden.
Ubah Paradigma
Iskandar yakin jika Presiden mengambil langkah tegas menghentikan subsidi obligasi rekap, beban APBN tidak terlalu berat.
"Jadi, kebijakan jangan parsial karena tidak akan menyelesaikan masalah. Perlu ada gerakan revolusioner mengubah paradigma pembantu presiden ini," jelas dia.
Beban utang, termasuk utang BLBI, menyebabkan anggaran negara selalu defi sit dan terus ditutup oleh utang. Akibatnya, utang membengkak karena tanggungan bunga-berbunga. Kondisi itu menyebabkan APBN yang semestinya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat gagal menjalankan fungsinya.
Melalui skema penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI pada 1998, pemerintah lewat APBN "memaksakan" pajak rakyat miskin yang tidak bersalah digunakan untuk membayar utang ratusan triliun rupiah orang kaya pengemplang BLBI.
Setiap tahun rakyat membayar subsidi bunga obligasi rekap 80 triliun rupiah hingga jatuh tempo dan menebus pokok obligasi itu pada 2033 yang kemudian diperpnjang lagi menjadi 2043.
Utang BLBI itu juga dinilai sebagai biang membengkaknya utang negara hingga empat kali lipat sejak 1998 menjadi 2.000 triliun rupiah. Selama ini, pemerintah dan DPR mengabaikan desakan rakyat agar membuat kebijakan untuk membebaskan APBN dari kewajiban obligasi rekap warisan BLBI.
Publik menilai haram hukumnya pajak rakyat digunakan terus-menerus untuk menyubsidi bankir pengemplang BLBI yang kini makin kaya raya. Pengamat perbankan, Achmad Iskandar, mengemukakan hal itu di Jakarta, Senin (15/4).
"Saya kira perlu diubah mindset birokrasi kita yang tidak prorakyat itu. Ini kebijakan salah yang harus dikoreksi," tegas Iskandar. Menurut dia, belum terlambat bagi pemerintah mengoreksi total kebijakan obligasi rekap karena kebijakan pemerintah itu merugikan masyarakat Indonesia.
"Memang, mesti ada gerakan yang sifatnya masif," ujar Iskandar. Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Suroso Imam Zadjuli, menambahkan kebijakan pemerintah selama ini yang dipandang lunak bagi para obligor BLBI menyebabkan stagnasi pengembangan sektor riil akibat minimnya peran perbankan nasional.
"Rendahnya intermediasi perbankan dalam penyaluran dana ke sektor riil, seperti ke sektor UMKM, akibat mayoritas perbankan swasta telah dikuasai pemodal asing yang sebenarnya bekerja sama dengan para pengemplang dan buron BLBI. Perbankan swasta kita yang sudah go public, sahamnya banyak dikuasai para orang-orang dekat para obligor (BLBI)," jelas dia.
Iskandar menilai sudah waktunya bagi pemerintah untuk mengubah paradigma pembangunan ekonomi. Kebijakan yang selama ini memanjakan pengemplang BLBI harus diubah. Pemerintah semestinya lebih memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia.
"Sangat tidak adil jika uang pajak rakyat ini dipakai menyubsidi orang-orang kaya pengemplang BLBI," tegas dia. Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Hidayatullah Muttaqin, mengemukakan Indonesia kini terperangkap dalam kebijakan ekonomi yang salah sehingga tidak mampu tampil sebagai bangsa yang mandiri.
Kebijakan yang salah itu menyebabkan pemerintah terjepit dalam upaya menahan laju infl asi dan membendung aliran impor, khususnya komoditas pangan. Sebelum semuanya terlambat, perombakan kabinet harus secara total dilakukan karena selama ini pejabat tidak mau mengakui kesalahan.
Jika tidak diganti dengan pejabat yang reformis, tidak mau berubah. Contoh paling nyata adalah kasus BLBI yang tidak terselesaikan oleh empat presiden.
Ubah Paradigma
Iskandar yakin jika Presiden mengambil langkah tegas menghentikan subsidi obligasi rekap, beban APBN tidak terlalu berat.
"Jadi, kebijakan jangan parsial karena tidak akan menyelesaikan masalah. Perlu ada gerakan revolusioner mengubah paradigma pembantu presiden ini," jelas dia.
Beban utang, termasuk utang BLBI, menyebabkan anggaran negara selalu defi sit dan terus ditutup oleh utang. Akibatnya, utang membengkak karena tanggungan bunga-berbunga. Kondisi itu menyebabkan APBN yang semestinya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat gagal menjalankan fungsinya.
BLBI = 600 TRILYUN & CENTURY = 6,7 TRILYUN.
.KPK SEBAIKNYA FOKUS PADA DUA- DUANYA
Keberhasilan untuk menyita aset aset pelakunya akan dapat memulihkan ekonomi Bangsa. Bahkan bisa jadi akan merubah arah politik dan peta politik di negeri ini.
https://www.facebook.com/notes/hidayat-hasibuan/blbi-600-trilyun-century-67-trilyun-kpk-sebaiknya-fokus-pada-duaduanya/10151158028796723
SELAMATKAN UANG NEGARA 6OO TRILYUN......?
TULISAN SESEORANG YANG MENGGUGAH RAKYAT INDONESIA
********************************************
YANG SELALU DITUTUPI DENGAN RAPI OLEH ENTAH SIAPA...?
BAHKAN KITA SEMUA SELALU DISUGUHI DENGAN KASUS KASUS KECIL, DAN KASUS CENTURY YANG 6,7 TRILYUN
SALAM BUAT KPK JIKA INGIN SERIUS BEKERJA....! SELAMAT BEKERJA...!
Tangkap Perampok Obligor BLBI; Selamatkan Uang Rakyat 600 Triliun! SEBUAH buku pemberian seorang teman tentang “Skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)”, mengusik saya untuk menuliskan tulisan ini. Lembar demi lembar buku yang ditulis oleh Marwan Batubara, dkk. sungguh menyeruak kasus BLBI yang sudah 10 tahun berlangsung namun kasus hukumnya belum selesai juga. Para perampok uang Negara tersebut masih berkeliaran menghirup udara bebas, bahkan beberapa orang diantaranya dipublikasikan oleh Majalah Forbes dan Globe Asia masuk daftar sederetan orang-orang terkaya di Indonesia, sungguh ironis!
Tulisan ini tidak bermaksud menyaingi para senior saya seperti Marwan Batubara, Kwik Kian Gie, Hendri Saparini, Fadhil Hasan dan para ekonom lainnya yang berkontribusi menulis buku “Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Negara.” Tentunya kapasitas saya sangat jauh dengan mereka. Bagaikan langit dan bumi, karena mereka adalah orang-orang hebat yang sangat expert di bidangnya. Saya hanya sederetan orang pengagum kehebatan mereka. Jujur saja tulisan ini hanya resume dari buku yang mereka tulis dan hanya sekedar untuk menambah koleksi tulisan diblog pribadi saya, namun semoga bisa menjadi edukasi dan informasi bagi khalayak.
Apa sebenarnya BLBI tersebut? Mantan Gubernur Bank Indonesia Prof. Dr. Soedrajad Djiwandono pada sebuah tulisannya tentang “Permasalahan BLBI” mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai fasilitas yang diberikan BI untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena ketidakseimbangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank baik jangka pendek maupun panjang.
Menurut Soedrajad, bantuan likuiditas dari Bank Indonesia (BI) kepada pihak perbankan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Namun, istilah BLBI baru dipergunakan khusus sejak 1998 untuk merujuk pada bantuan likuiditas yang diberikan BI kepada pihak perbankan disaat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Istilah BLBI sendiri diambil dari istilah liquidity supports, yang dipergunakan dalam Letter of Intent (LoI) antara IMF dengan pemerintah Indonesia di jaman pemerintahan rezim Soeharto sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi.
Secara sederhana dapat dinyatakan BLBI adalah bantuan pinjaman dana yang diberikan BI kepada sejumlah bank yang mengalami krisis likuiditas atau krisis persediaan uang saat terjadinya krisis moneter akibat konstelasi politik yang tidak menentu di Indonesia pada tahun 1997. Bantuan dana itu disalurkan melalui mekanisme yang disebut dengan kliring, yaitu penalangan yang dilakukan oleh BI terhadap pembayaran kewajiban-kewajiban bank yang tidak mampu melunasi kewajibannya. Dengan demikian, melalui pengucuran BLBI, bank-bank swasta dibantu untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban pembayarannya kepada pihak ketiga, khususnya nasabah.
Kucuran dana bantuan likuiditas dari Bank Indonesia kepada bank-bank yang sedang menghadapi rush adalah hal yang sangat wajar, bahkan harus menurut Kwik Kian Gie. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral berfungsi sebagai bank of the last resort harus memberikan bantuannya untuk menghentikan rush. Lalu dimana letak kesalahannya? Sehingga mengakibatkan kerugian Negara yang nilainya sekitar 600 Triliun, bahkan nilainya sebanding dengan utang luar negeri Indonesia. Jika dana ini bisa dikembalikan oleh para konglomerat hitam yang mendapat bantuan dana tersebut maka bukan tidak mungkin Indonesia bisa melunasi seluruh hutang luar negerinya.
Kesalahan dalam Kasus Dana BLBI
Kesalahan fatal yang dilakukan ramai-ramai secara konspiratif oleh pejabat Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Pemerintahan Soeharto dan Pemerintahan Megawati dalam kasus dana BLBI adalah:
1] Kesalahan Pertama,
saat terjadinya krisis moneter pemerintah melakukan perjanjian yang menyesatkan dengan IMF. Pada tanggal 31 Oktober 1997, perjanjian pemerintah dengan IMF disepakati dengan komitmen pinjaman senilai 7,3 miliar SDR (Special Drawing Rights) atau setara dengan US$ 9,709 miliar dolar. Pinjaman sejumlah ini dikucurkan dalam beberapa tahap. Untuk tahap awal, dana yang dikucurkan dalam beberapa tahap. Untuk tahap awal, dana yang dikucurkan sebesar 2,202 miliar SDR (US$ 2,92 miliar).
Pinjaman ini tidak diperoleh begitu saja dengan cuma-cuma. Sebagai kompensasinya pemerintah Indonesia harus setuju untuk mengimplementasikan resep sesat ekonomi ala IMF, diantaranya seperti privatisasi, pengurangan subsidi, liberalisasi keuangan, dan reformasi sistem perbankan. Sejumlah program ini dituangkan dalam bentuk kesepakatan yang dinamakan Memorandum on Economic and Financial Policies (MEFP) atau lebih dikenal dengan Letter of Intent (LoI) yang berjumlah 1301 kesepakatan. Kebijakan-kebijakan itu secara garis besar meliputi kebijakan pengetatan likuiditas, penutupan 16 bank nasional, peninjauan BI sebagai the lender of the last resort, pengucuran obligasi rekap perbankan dan penjualan asset-aset Negara (khususnya bank-bank yang diambil alih oleh pemerintah dan berkinerja baik).
2] Kesalahan kedua,
liberalisasi perbankan yang kita kenal dengan nama Kebijakan Paket oktober 1998 (PAKTO). Kebijakan liberalisasi ini menghasilkan ratusan bank yang berhasil menghimpun dana masyarakat dalam jumlah sangat besar yang dikelola sembarangan. Akibatnya banyak bank yang kalah kliring. Di sinilah cikal bakal kesulitan yang kita hadapi. Bank yang kalah kliring tidak dihukum oleh BI, tetapi justru tetap ditolong dengan likuiditas yang dinamakan Fasilitas Diskonto sampai berkali-kali. Kebijakan ini merupakan turunan dari kesepakatan pemerintahan Soeharto dengan IMF.
3] Kesalahan Ketiga,
dalam pengucuran dana BLBI Bank Indonesia tidak menghentikan proses kliring (pencairan dana simpanan) pada bank-bank yang rekening gironya di BI sudah bersaldo negatif (overdraft), bahkan hingga kekurangan saldo tersebut sudah melampaui jumlah asset yang dimiliki bank. Dengan alasan menghindari efek domino krisis perbankan, BI terus mengizinkan proses kliring tanpa memberi batas nilai overdraft. Hal ini akhirnya dimanfaatkan bankir nakal untuk melakukan penarikan tunai dan transfer dana ke cabang-cabang sampai kondisi pasar uang mereka.
4] Kesalahan Keempat,
Penyaluran BLBI melalui mekanisme kliring menyebabkan BI tidak dapat mengetahui apakah BLBI digunakan sepenuhnya untuk menanggulangi kesulitan likuiditas akibat rush nasabah, atau justru untuk kepentingan grup pemilik bank. Lembaga kliring yang semula hanya sebagai media tukar menukar surat berharga (warkat) dalam rangka memperlancar sistem pembayaran dan lalu-lintas giral, berubah menjadi saran penyediaan dana bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. BI dinilai tidak konsisten melaksanakan Program Penjaminan Kewajiban Bank Umum sebagaimana ditetapkan dalam Keppres No. 26/1998, dan justru bertahan memberi bantuan likuiditas kepada perbankan melalui mekanisme kliring.
5] Kesalahan Kelima,
BPPN melakukan kesalahan dalam penilaian asset-aset perbankan pengemplang BLBI. BPPN memiliki fungsi dan kewenangan yang sangat luas, mencakup menyelesaikan kewajiban pembayaran utang obligor BLBI, mengelola aset-aset perusahaan dan kredit yang diserahkan obligor, dan menjual asset-aset yang dikelolanya. Karena itupula, atas berbagai kerugian Negara dan penyelewengan yang terjadi dalam penyelesaian kasus ini, BPPN sangat layak dituntut pertanggungjawabannya karena koruptif dan tidak transparan.
6] Kesalahan keenam,
Pemerintahan Megawati pada tahun 2002 menerbitkan Inpres No. 8/2002 yang berisi kebijakan pemerintah untuk memilih penyelesaian kasus BLBI melalui out of court settlement, yaitu dengan memberi landasan hukum penghapusan hutang para obligor BLBI.
Kecuali satu orang Menteri yakni Kwik Kian Gie yang saat pemerintahan Megawati menjabat sebagai Menko Perekonomian. Kwik Kian Gie sudah mengingatkan Presiden Megawati untuk tidak menerbitkan Kepres tersebut, karena akan menjadi gugatan dikemudian hari dan benar atas munculnya Inpres tersebut justru menghambat proses hukum para pengemplang BLBI.
Seruan Rakyat terhadap Pemerintah untuk Kasus BLBI
Sebagai rakyat kami menuntut Pemerintahan SBY-JK, DPR, serta institusi penegak hukum untuk melaksanakan 10 tuntutan kami dibawah ini segera:
1. Menuntaskan penyelesaian kasus BLBI secara hukum melalui proses yang objektif, berkeadilan, dan berpihak pada kepentingan publik, serta di sisi lain bebas dari konspirasi, negoisasi-negoisasi rahasia, deal-deal politik, dan berboncengan kepentingan-kepentingan tertentu yang menjadikan para obligator/debitur sebagai objek pemerasan belaka. Kasus BLBI harus dituntaskan sekali untuk selamanya.
Pemerintah dan DPR harus menjaga diri, aparatnya, dan semua pihak terkait dari sikap KKN yang memanfaatkan kasus BLBI untuk kepentingan picik semata (demi uang), sehingga penyelsaian kasusnya teromabng-ambing dalam perangkap ketidakpastian hukum.
2. Mencabut Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang release and discharge dan meninjau ulang seluruh perangkat kebijakan lainnya terkait penyelesaian kewajiban BLBI yang tidak adil dan hanya member keuntungan sepihak bagi obligor. Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang release and discharge selama ini menjadi hambatan bagi dilakukannya pengusutan tuntas terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan obligor BLBI. Pemerintah juga harus meninjau ulang MSAA, MRNIA, APU, pemberian SKL/SKPK, dan kebijakan lain terkait penyelesaian kasus BLBI yang hanya menguntungkan obligor secara sepihak.
3. Menuntut IMF untuk bertanggung jawab atas manipulasi dan tekanan yang dilakukannya terhadap pemerintah Indonesia di saat krisis, sehingga menyebabkan lahirnya berbagai kebijakan yang justru menghancurkan sendi-sendi perekonomian Indonesia. Diantara dosa besar yang harus dipertanggungjawabkan IMF adalah memaksakan pengucuran obligasi rekap ratusan triliun rupiah kepada perbankan, mendesak divestasi saham pemerintah di bank-bank rekap dalam waktu singkat (sehingga harga jualnya sangat rendah), dan penutupan 16 bank tanpa persiapan (sehingga memicu terjadinya krisis perbankan). Termasuk pula, keterlibatan oknumnya dalam konspirasi pembelian asset perbankan dengan harga murah.
4. Menciptakan terobosan untuk mempercepat proses penyelesaian kasus BLBI dengan membentuk pengadilan Ad-Hoc dan menerbitkan PP atau Perpu yang mengatur pemberlakuan asas pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi. Kasus-kasus korupsi BLBI dapat disidangkan secara khusus melalui Pengadilan Ad-Hoc untuk mempercepat pengungkapan dan penyelesaian kasus ini. Para pengemplang BLBI, yang kini masih berlindung dibalik berbagai celah hukum, juga perlu dijerat dengan asas pembuktian terbalik.
5. Mendesak jaksa Agung agar segera menuntaskan skandal korupsi BLBI dan menyeret pelaku-pelakunya ke pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pelaku-pelaku korupsi BLBI harus diseret ke pengadilan agar ada keputusan hukum yang tegas dan jelas tentang status kasus mereka. Proses penyelesaian di tingkat perdata selama ini tidak boleh menghapus aspek tindak pidana yang dilakukan para obligor dalam menyalahgunakan BLBI ketika terjadi krisis.
6. Menyita asset dan kekayaan obligor yang hingga kini tidak menyelesaikan kewajibannya. Hal ini wajar dilakukan, terutama kepada mereka yang dengan sengaja mangkir, untuk menjamin kembalinya uang Negara yang telah mereka nikmati. Apalagi, sejumlah obligor kini diketahui telah berhasil menjadi orang-orang terkaya di Indonesia.
7. Mengusut tuntas dan mengadili semua pejabat Negara yang terlibat dalam berbagai penyimpangan yang terjadi dalam kasus BLBI, mulai dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan pengucuran, hingga penggunaan BLBI. Pengusutan harus dilakukan setuntas-tuntasnya kepada semua pejabat Negara yang terlibat, mencakup pemerintah, BPPN, maupun BI, sehingga masing-masing pihak dapat dituntut pertanggungjawabannya sesuai dengan porsi kesalahan yang dilakukan.
8. Mengupayakan seoptimal mungkin pengembalian uang Negara yang telah terkucur melalui BLBI dan berbagai kebijakan penggelontoran uang Negara lainnya ke sector perbankan di saat krisis. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan menuntut kekurangan pembayaran sejumlah obligor BLBI yang nilai asetnya ternyata lebih rendah dari nilai asset yang tercantum ketika asset tersebut diserahkan.
9. Melakukan upaya untuk menghentikan pemberian subsidi bagi pihak perbankan melalui penghentian pembayaran bunga obligasi rekap. Mengingat pengucuran obligasi rekap merupakan kebijakan darurat untuk menyelamatkan bank disaat krisis, maka, setelah krisis berlalu dan bank pun telah meraup laba, tidak selayaknya bank terus menikmati penghasilan cuma-cuma tiap tahun melalui pembayaran bunga obligasi rekap. Apalagi, sebagian dari bank-bank tersebut telah dikuasai asing atau pengusaha swasta yang membelinya secara konspiratif berkolaborasi dengan IMF.
10. Menghentikan divestasi saham-saham pemerintah pada bank-bank rekap, sampai obligasi rekap yang berada pada bank bersangkutan berhasil ditarik seluruhnya oleh pemerintah. Pemerintah harus menghentikan proses divestasi atas saham-sahamnya di bank-bank rekap, kecuali dengan harga jual yang sebanding dengan obligasi rekap yang telah dikucurkan atau obligasi rekap tersebut berhasil ditarik keluar seluruhnya oleh pemerintah.
Secara khusus, kami menghimbau para pengemplang BLBI untuk menggunakan hati nuraninya dan mempertanggung-jawabkan perbuatannya secara hukum serta mengembalikan uang Negara yang telah dinikmatinya kepada pemerintah. Berhentilah membebani rakyat Indonesia dengan pembayaran kewajiban utang yang bahkan tidak sedikitpun mereka rasakan.
Kerugian yang dialami Negara akibat dari BLBI diperkirakan 600 Triliun. Sangat memprihatinkan apabila pemerintahan SBY-JK hanya berdiam diri dan tidak mengambil tindakan konkret untuk menuntaskan kasus BLBI. Seandainya pemerintah dapat menuntaskan kasus BLBI, maka tidak mustahil bagi pemerintah untuk mengantar bangsa ini keluar dari krisis yang berkepanjangan. Uang sebesar 600 Triliun dapat digunakan untuk menutupi utang luar negeri, menambah anggaran pendidikan, membangun infrastruktur, dan lain-lain yang dapat menggerakkan roda perekonomian bangsa. Wallahualam
Sumber foto: www.detiknews.com/13 OKTOBER 2008
( Bersambung....)
( Bersambung....)
KETUA KPK
BURON BLBI 600 TRILYUN
600.000.000.000.000
CENTURI 6,7 TRILYUN
6.700.000.000.000
Campur Tangan IMF dan Asing Hambat Penuntasan Skandal BLBI, Century, Boediono dan Kasus Alstom ?
25 Jan 2013 06:53:48

Wakil Presiden Boediono (Foto: Aktual.co/Amir Hamzah)
Jakarta, http://m.aktual.co/aktualreview/205323campur-tangan-imf-dan-asing-hambat-penuntasan-skandal-blbi-boediono-dan-kasus-alstro
Aktual.Co -- Pengakuan Ketua KPK Abraham Samad yang meminta dukungan diplomasi penuh
ke Pemerintah Amerika Serikat guna mengungkap kasus korupsi yang
melibatkan PT Alstom Indonesia, ditambah sinyalemen Anggota Komisi I
DPR-RI Lily Chadidjah Wahid tentang campur tangan asing yang memaksakan
Boediono harus terbebas dari jerat hukum dalam pengungkapan mega
skandal korupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), semakin
menghempas harga diri bangsa Indonesia,
Kedongkolan rakyat akibat rasa keadilan masyarakat tidak diindahkan oleh para aparat penegak hukum yang memantek asas praduga tidak bersalah dan saling sengkarut kerumitan prosedur hukum, mulai membara kembali akibat campur tangan asing di dalam proses penegakkan hukum terhadap para koruptor.
Samad sebagaimana diberitakan Aktual. Co Rabu (23/1) mengaku bahwa kepelikan hubungan diplomasi Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi tembok penghalang KPK untuk menjerat PT Alstom Indonesia, penyuap 300 ribu dollar AS lebih Ketua Komisi XI DPR-RI Izedrik Emir Moeis,dalam kasus dugaan korupsi Pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap ) Tarahan di Lampung, tahun 2004.
Kepentingan Multi Nasional
Aneh, KPK pada Kamis 25 Juli 2012 menetapkan Emir Moeis,politisi kawakan ini menjadi tersangka karena diduga telah menerima suap, sehingga politisi PDI Perjuangan ini pun dicekal tidak boleh berpergian ke luar negeri. Namun sampai awal tahun ini, kasus Korupsi PLTU Tarahan bagai membeku. Bahkan PT Alstom pun tak kunjung dijerat sebagai tersangka pemberi suap,
Entah mana yang benar, apa karena ada hambatan berupa jarak fisik antar kedua negara yang terentang jauh seluas Samudra Pasifik, dan kerumitan diplomasi yang menuntut penciptaan kesefahaman antar dua negara dulu, sebagaimana kilah Ketua KPK. Atau memang ada upaya diplomatik dan penekanan halus terhadap Indonesia agar perusahaan multinasional asal Amerika Serikat ini tidak terkena sanksi hukum? Wallahua'lam bishawab.
Permainan Jaringan IMF
Yang lebih memprihatinkan, justru sinyalemen wakil rakyat di Komisi I DPR-RI. Lily Wahid. Adik Gus Dur ini yakin, Boediono, mantan Direktur Analisis Kredit BI meski pernah dipecat Presiden Soeharto karena dinilai tidak bertanggungjawab, memang diloloskan dari jerat hukum mega skandal BLBI, karena ada campur tangan asing. Terbukti di samping Boediono bisa kembali ke BI bahkan dipromosi oleh SBY menjadi Gubernur Bank Sentral, bahkan teknokrat ini pun kemudian menjadi Wakil Presiden,.
“Ada campur tangan jaringan dia (Boediono). Ini permainan jaringan, karena yang diuntungkan dari bunga rekap BLBI sebesar Rp60 triliun pertahun dan diserahkan kepada IMF (Dana Moneter Internasional),” kata Lili.
Bagi wakil rakyat vokalis Komisi I yang membidangi pertahanan, luar negeri, intelejen, dan komunikasi ini, rasanya ada yang janggal. Sehingga harus dicari sebab musabab kenapa Boediono bisa bebas dari jerat hukum, Sebaliknya, sejumlah enioren “Atasan Boediono kok malah terjerat? Kata Lili Wahid di DPR-RI Senayan, Jakarta, Senin (21/1)
Campur tangan asing dalam bidang penegakkan hukum oleh permainan jaringan di belakang Boediono yang melibatkan IMF itu, menurut Lily memang sulit dibuktikaan, Namun mengingat ada berbagai kejanggalan, tentu bisa dirunut ditelisik dan diuraikan. Contoh, yang bisa ditarik sekarang, adalah BI bayar iuran Rp150 trilliun dan sampai saat ini masih berlangsung “Saya sedang cari bukti, dan Insya Allah ada buktinya,” Ujar Lily,
Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPR
Lebih aneh lagi, Lily menengarai kok ada semacam ke-terlena-an DPR sebagai lembaga pengawas yang tak pernah memperkarakan keterlibatan Boediono dalam mega skandal BLBI sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomer 979 dan 981 Tahun 2004, “Mungkin DPR dibakarin menyan oleh Boediono,” kata Lily.
Keheranan Lily kian bertambah, mengingat Ketua DPR RI, Marzuki Alie dalam suatu kesempatan menanggapi Skandal Century, juga telah mempersilahkan anggota untuk menggunakan HMP (Hak Menyatakan Pendapat) terhadap Boediono. Padahal dengan HMP itu, DPR bisa melakukan penyelidikan kasus BLBI, sehingga Boediono pasti bisa terseret. Tetapi kok belum tergerak juga hati para wakil rakyat itu.
Kedongkolan rakyat akibat rasa keadilan masyarakat tidak diindahkan oleh para aparat penegak hukum yang memantek asas praduga tidak bersalah dan saling sengkarut kerumitan prosedur hukum, mulai membara kembali akibat campur tangan asing di dalam proses penegakkan hukum terhadap para koruptor.
Samad sebagaimana diberitakan Aktual. Co Rabu (23/1) mengaku bahwa kepelikan hubungan diplomasi Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi tembok penghalang KPK untuk menjerat PT Alstom Indonesia, penyuap 300 ribu dollar AS lebih Ketua Komisi XI DPR-RI Izedrik Emir Moeis,dalam kasus dugaan korupsi Pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap ) Tarahan di Lampung, tahun 2004.
Kepentingan Multi Nasional
Aneh, KPK pada Kamis 25 Juli 2012 menetapkan Emir Moeis,politisi kawakan ini menjadi tersangka karena diduga telah menerima suap, sehingga politisi PDI Perjuangan ini pun dicekal tidak boleh berpergian ke luar negeri. Namun sampai awal tahun ini, kasus Korupsi PLTU Tarahan bagai membeku. Bahkan PT Alstom pun tak kunjung dijerat sebagai tersangka pemberi suap,
Entah mana yang benar, apa karena ada hambatan berupa jarak fisik antar kedua negara yang terentang jauh seluas Samudra Pasifik, dan kerumitan diplomasi yang menuntut penciptaan kesefahaman antar dua negara dulu, sebagaimana kilah Ketua KPK. Atau memang ada upaya diplomatik dan penekanan halus terhadap Indonesia agar perusahaan multinasional asal Amerika Serikat ini tidak terkena sanksi hukum? Wallahua'lam bishawab.
Permainan Jaringan IMF
Yang lebih memprihatinkan, justru sinyalemen wakil rakyat di Komisi I DPR-RI. Lily Wahid. Adik Gus Dur ini yakin, Boediono, mantan Direktur Analisis Kredit BI meski pernah dipecat Presiden Soeharto karena dinilai tidak bertanggungjawab, memang diloloskan dari jerat hukum mega skandal BLBI, karena ada campur tangan asing. Terbukti di samping Boediono bisa kembali ke BI bahkan dipromosi oleh SBY menjadi Gubernur Bank Sentral, bahkan teknokrat ini pun kemudian menjadi Wakil Presiden,.
“Ada campur tangan jaringan dia (Boediono). Ini permainan jaringan, karena yang diuntungkan dari bunga rekap BLBI sebesar Rp60 triliun pertahun dan diserahkan kepada IMF (Dana Moneter Internasional),” kata Lili.
Bagi wakil rakyat vokalis Komisi I yang membidangi pertahanan, luar negeri, intelejen, dan komunikasi ini, rasanya ada yang janggal. Sehingga harus dicari sebab musabab kenapa Boediono bisa bebas dari jerat hukum, Sebaliknya, sejumlah enioren “Atasan Boediono kok malah terjerat? Kata Lili Wahid di DPR-RI Senayan, Jakarta, Senin (21/1)
Campur tangan asing dalam bidang penegakkan hukum oleh permainan jaringan di belakang Boediono yang melibatkan IMF itu, menurut Lily memang sulit dibuktikaan, Namun mengingat ada berbagai kejanggalan, tentu bisa dirunut ditelisik dan diuraikan. Contoh, yang bisa ditarik sekarang, adalah BI bayar iuran Rp150 trilliun dan sampai saat ini masih berlangsung “Saya sedang cari bukti, dan Insya Allah ada buktinya,” Ujar Lily,
Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPR
Lebih aneh lagi, Lily menengarai kok ada semacam ke-terlena-an DPR sebagai lembaga pengawas yang tak pernah memperkarakan keterlibatan Boediono dalam mega skandal BLBI sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomer 979 dan 981 Tahun 2004, “Mungkin DPR dibakarin menyan oleh Boediono,” kata Lily.
Keheranan Lily kian bertambah, mengingat Ketua DPR RI, Marzuki Alie dalam suatu kesempatan menanggapi Skandal Century, juga telah mempersilahkan anggota untuk menggunakan HMP (Hak Menyatakan Pendapat) terhadap Boediono. Padahal dengan HMP itu, DPR bisa melakukan penyelidikan kasus BLBI, sehingga Boediono pasti bisa terseret. Tetapi kok belum tergerak juga hati para wakil rakyat itu.
Bahkan
Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI komisi III dari Fraksi Golkar ini
menyatakan, Aneh jika Penegak hukum melakukan pembiaran dan tidak segera
menindaklanjuti keputusan Mahkamah Agung terkait BLBI. Mengingat amar
putusan tersebut jelas menjerat Boediono terkait kasus BLBI dengan pasal
55 KUHP. Yakni turut serta melakukan tindak pidana.
Untuk
itu, Bambang Soesatyo mendesak Polri, Kejaksaan Agung serta KPK segera
berkoordinasi dan menindaklanjuti keputusan MA tersebut atas
keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus pengucuran Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Jadi, jika
dikaitkan dengan kasus Bank Century yang kini telah masuk ke tingkat
penyidikan di KPK dimana Boediono diduga kuat berperan besar dalam
penggelontoran dana talangan ke Bank Century Rp.6,7 triliun. Maka,
seharusnya DPR segera melakukan langkah-langkah yang seharusnya. Yakni
Hak Menyatakan Pendapat (HMP).
Antek Neolib
Mengenai kaitan tali temali Boediono selaku salah seorang kader teknokrat ekonomi di Indonesia dengan IMF maupun kepentingan asing, sesungguhnya bukan hal baru. Pada tahun 2009 saat SBY akan memilih Boediono sebagai cawapres pendampingnya, marak sejumlah protes dan aksi demo yang dilancarkan oleh sejumlah partai mitra koalisi partai demokrat pengusung SBY, seperti PAN dan PKS.
Ratusan orang yang tergabung dalam Komando Rakyat Anti Neolib pada hari Kamis 14 Mei 2009 mendatangi Istana Negara menuntut pembatalan Boediono sebagai bakal Wapres 2009-2014. “Dia antek asing dan pendukung neoliberal” kata Chaerudin, Koordinator Aksi tersebut yang menuding Boediono juga sebagai motor privatisasi perusahaan-perusahaan nasional.
Demo serupa juga digelar sehari sebelumnya oleh Komite Muda Indonesia (KMI) di Monas hari Rabu (13/5) yang menyatakan Boediono sebagai antek neoliob, dalam arti berpihak kepada kepentingan IMF, Bank Dunia, dan WTO. Sodikin Korlap aksi tersebut menyatakan, mereka menolak Boediono, karena risau perekonomian Indonesia akan semakin ke pasar bebas, mengedepankan swastanisasi, sehingga akan semakin banyak aset negara yang jatuh dikuasai ke swasta asing.
Neoliberalisme adalah Sistem Ekonomi dengan agenda Penjualan BUMN (Privatisasi), penghapusan subsidi pada barang dan jasa, deregulasi, pasar bebas, penyerahan kekayaan strategis sumber daya alam kepada pihak swasta/asing, dan bertumpu pada pinjaman hutang luar negeri.
Dhia Prekasha Yoedha
Kegaduhan Politik Bisa Merusak
http://independentpolling.com/news_id.html
Wakil Presiden Boediono mengakui bahwa tahun 2013 merupakan
tahun politik sehingga dinamika politik pun akan meningkat. Situasi akan
semakin hangat saat memasuki tahun 2014, yang merupakan tahun
penyelenggaraan pemilihan umum. Namun, Wapres mengingatkan semua pihak
agar tetap menaati rambu-rambu.
”Tahun 2013 merupakan tahun politik, apalagi tahun 2014. Ada banyak sekali kegiatan politik. Itu oke dan penting. Namun, kalau bisa, semua itu dilakukan dalam rambu-rambu untuk menjaga ketenangan dan kestabilan bahtera,” ujar Boediono, di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta.
Wapres mengungkapkan hal itu ketika memberikan sambutan seusai membuka perdagangan hari pertama BEI pada tahun 2013. Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D Hadad hadir dalam acara itu.
Tahun 2013 memang akan disibukkan dengan aktivitas politik karena setahun sebelum Pemilu 2014. Partai politik akan menguras energi untuk merebut suara rakyat. Aktivitas politik yang marak itu diduga akan menimbulkan friksi atau konflik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan mengingatkan menterinya untuk bekerja tuntas dalam dua tahun terakhir ini. Kerja partai agar tidak mengganggu kerja kabinet. Belum lagi beberapa kasus korupsi yang belum selesai sampai saat ini.
Soal politik yang gaduh juga pernah diungkapkan Boediono saat berbicara dalam acara Kompas100 CEO Forum di Jakarta, akhir November 2012. Menurut Boediono, jangan sampai terjadi kegaduhan politik. Belajar dari pengalaman negara lain, kegaduhan politik hanya akan menyebabkan kebuntuan politik hingga berujung pada konflik yang akhirnya menimbulkan keguncangan domestik.
Saat di BEI kemarin, Boediono mengatakan, Indonesia memiliki kondisi makroekonomi yang positif sehingga bisa bertahan menghadapi krisis global. Hal itu dimungkinkan berkat konsistensi Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi makro yang prudent atau hati-hati.
Namun, kata Boediono, bangsa Indonesia juga harus mampu menjaga situasi di dalam negeri. Artinya, jangan sampai keributan atau kegaduhan yang diciptakan orang Indonesia sendiri membuat bahtera rusak.
”Kalau kita menghadapi situasi badai dari luar dan kita tidak mampu 100 persen berhasil, mungkin masih bisa dimaafkan. Namun, kalau kita merusak bahtera kita sendiri, dosanya dua kali. Sangat menyesakkan kalau kita melakukan hal seperti itu. Bayangkan seandainya cuaca cerah tetapi kapal gaduh. Nanti kapal tetap akan karam. Keributan di dalam membuat kapal karam,” kata Wapres.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Saan Mustopa menyadari intensitas politik tahun 2013 akan meningkat. Kompetisi antarparpol juga akan semakin ketat sehingga ada kemungkinan timbul kegaduhan. Apalagi, potensi kegaduhan politik masih ada. Salah satunya adalah kasus dana talangan Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun. Kasus tersebut berpotensi dimanfaatkan oleh parpol-parpol tertentu untuk menyerang parpol lainnya.
Meski demikian, Saan berharap, tingginya dinamika dan intensitas politik tidak sampai menimbulkan kegaduhan. Salah satu caranya adalah dengan tidak memolitisasi kasus-kasus hukum. ”Kami meminta agar kasus Century tetap ditangani secara hukum. Jangan ditarik kembali ke ranah politik. Kami tidak ingin kasus itu dipolitisasi,” katanya. Begitu pula kasus-kasus hukum lainnya diharapkan tidak ditarik ke ranah politik. Saan berharap, semua kalangan membiarkan proses hukum yang dilakukan lembaga penegak hukum berjalan secara independen tanpa ada intervensi.
Kekhawatiran
Peneliti politik dari The Indonesian Institute, Hanta Yuda, menilai, peringatan yang disampaikan Boediono sebenarnya mencerminkan kekhawatirannya terhadap kegaduhan politik yang akan timbul pada 2013 dan 2014. Kegaduhan itu terutama disebabkan oleh koalisi gemuk yang dibangun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang terbukti tidak efektif.
Ketidakefektifan koalisi terlihat dari munculnya sejumlah isu, seperti isu Bank Century yang mengiringi perjalanan pemerintahan Yudhoyono-Boediono sejak mereka terpilih pada 2009. Koalisi menjadi tidak efektif karena partai-partai koalisi bertumpu di atas dua pijakan.
Hal kedua yang menjadi kekhawatiran Boediono, menurut Hanta, adalah ancaman terhadap kekompakan kabinet pada 2013 dan 2014. Manuver sejumlah menteri dari parpol untuk mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2014 dapat menimbulkan kegaduhan yang mengganggu efektivitas pemerintahan. Hanta mengatakan, kegaduhan merupakan bagian dari persoalan demokrasi yang belum mapan dan sistem presidensial yang berdiri di atas struktur multipartai. Namun, bagaimanapun, situasi gaduh juga dipengaruhi faktor gaya kepemimpinan Yudhoyono yang terkesan kurang tegas.
Bagi pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, sebaiknya parpol berpegang pada variabel politik yang sehat dan etis. Variabel sehat tentu bertolak pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan kelompok. ”Saya tidak mengerti mengapa pimpinan parpol atau politisi tidak belajar dari kehidupan politik kita,” katanya.
Kegaduhan politik itu adalah kegagalan sistem demokrasi internal parpol sehingga kekecewaan dan ketidakpuasan disalurkan secara publik. ”Mestinya yang namanya parpol itu harus tampak kompak dalam gagasan dan langkah-langkah politik yang diambil,” kata Syamsuddin.
”Tahun 2013 merupakan tahun politik, apalagi tahun 2014. Ada banyak sekali kegiatan politik. Itu oke dan penting. Namun, kalau bisa, semua itu dilakukan dalam rambu-rambu untuk menjaga ketenangan dan kestabilan bahtera,” ujar Boediono, di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta.
Wapres mengungkapkan hal itu ketika memberikan sambutan seusai membuka perdagangan hari pertama BEI pada tahun 2013. Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D Hadad hadir dalam acara itu.
Tahun 2013 memang akan disibukkan dengan aktivitas politik karena setahun sebelum Pemilu 2014. Partai politik akan menguras energi untuk merebut suara rakyat. Aktivitas politik yang marak itu diduga akan menimbulkan friksi atau konflik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan mengingatkan menterinya untuk bekerja tuntas dalam dua tahun terakhir ini. Kerja partai agar tidak mengganggu kerja kabinet. Belum lagi beberapa kasus korupsi yang belum selesai sampai saat ini.
Soal politik yang gaduh juga pernah diungkapkan Boediono saat berbicara dalam acara Kompas100 CEO Forum di Jakarta, akhir November 2012. Menurut Boediono, jangan sampai terjadi kegaduhan politik. Belajar dari pengalaman negara lain, kegaduhan politik hanya akan menyebabkan kebuntuan politik hingga berujung pada konflik yang akhirnya menimbulkan keguncangan domestik.
Saat di BEI kemarin, Boediono mengatakan, Indonesia memiliki kondisi makroekonomi yang positif sehingga bisa bertahan menghadapi krisis global. Hal itu dimungkinkan berkat konsistensi Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi makro yang prudent atau hati-hati.
Namun, kata Boediono, bangsa Indonesia juga harus mampu menjaga situasi di dalam negeri. Artinya, jangan sampai keributan atau kegaduhan yang diciptakan orang Indonesia sendiri membuat bahtera rusak.
”Kalau kita menghadapi situasi badai dari luar dan kita tidak mampu 100 persen berhasil, mungkin masih bisa dimaafkan. Namun, kalau kita merusak bahtera kita sendiri, dosanya dua kali. Sangat menyesakkan kalau kita melakukan hal seperti itu. Bayangkan seandainya cuaca cerah tetapi kapal gaduh. Nanti kapal tetap akan karam. Keributan di dalam membuat kapal karam,” kata Wapres.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Saan Mustopa menyadari intensitas politik tahun 2013 akan meningkat. Kompetisi antarparpol juga akan semakin ketat sehingga ada kemungkinan timbul kegaduhan. Apalagi, potensi kegaduhan politik masih ada. Salah satunya adalah kasus dana talangan Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun. Kasus tersebut berpotensi dimanfaatkan oleh parpol-parpol tertentu untuk menyerang parpol lainnya.
Meski demikian, Saan berharap, tingginya dinamika dan intensitas politik tidak sampai menimbulkan kegaduhan. Salah satu caranya adalah dengan tidak memolitisasi kasus-kasus hukum. ”Kami meminta agar kasus Century tetap ditangani secara hukum. Jangan ditarik kembali ke ranah politik. Kami tidak ingin kasus itu dipolitisasi,” katanya. Begitu pula kasus-kasus hukum lainnya diharapkan tidak ditarik ke ranah politik. Saan berharap, semua kalangan membiarkan proses hukum yang dilakukan lembaga penegak hukum berjalan secara independen tanpa ada intervensi.
Kekhawatiran
Peneliti politik dari The Indonesian Institute, Hanta Yuda, menilai, peringatan yang disampaikan Boediono sebenarnya mencerminkan kekhawatirannya terhadap kegaduhan politik yang akan timbul pada 2013 dan 2014. Kegaduhan itu terutama disebabkan oleh koalisi gemuk yang dibangun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang terbukti tidak efektif.
Ketidakefektifan koalisi terlihat dari munculnya sejumlah isu, seperti isu Bank Century yang mengiringi perjalanan pemerintahan Yudhoyono-Boediono sejak mereka terpilih pada 2009. Koalisi menjadi tidak efektif karena partai-partai koalisi bertumpu di atas dua pijakan.
Hal kedua yang menjadi kekhawatiran Boediono, menurut Hanta, adalah ancaman terhadap kekompakan kabinet pada 2013 dan 2014. Manuver sejumlah menteri dari parpol untuk mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2014 dapat menimbulkan kegaduhan yang mengganggu efektivitas pemerintahan. Hanta mengatakan, kegaduhan merupakan bagian dari persoalan demokrasi yang belum mapan dan sistem presidensial yang berdiri di atas struktur multipartai. Namun, bagaimanapun, situasi gaduh juga dipengaruhi faktor gaya kepemimpinan Yudhoyono yang terkesan kurang tegas.
Bagi pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, sebaiknya parpol berpegang pada variabel politik yang sehat dan etis. Variabel sehat tentu bertolak pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan kelompok. ”Saya tidak mengerti mengapa pimpinan parpol atau politisi tidak belajar dari kehidupan politik kita,” katanya.
Kegaduhan politik itu adalah kegagalan sistem demokrasi internal parpol sehingga kekecewaan dan ketidakpuasan disalurkan secara publik. ”Mestinya yang namanya parpol itu harus tampak kompak dalam gagasan dan langkah-langkah politik yang diambil,” kata Syamsuddin.
Sumber : Kompas
RI Terperangkap Kebijakan Ekonomi Yang Salah
http://independentpolling.com/news_id.html

Indonesia kini terperangkap dalam kebijakan ekonomi yang salah
sehingga tidak mampu tampil sebagai bangsa yang mandiri. Kebijakan yang
salah itu menyebabkan pemerintah terjepit dalam upaya menahan laju
inflasi dan membendung aliran impor, khususnya komoditas pangan.
Sebelum semuanya terlambat, perombakan kabinet harus secara total dilakukan karena selama ini pejabat tidak mau mengakui kesalahan dan, jika tidak diganti dengan pejabat yang reformis, tidak mau berubah. Contoh paling nyata adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tidak terselesaikan oleh empat presiden.
Pengamat ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Hidayatullah Muttaqin, menilai pemerintah telah terjebak kebijakan ekonomi warisan masa lalu yang salah sehingga ekonomi Indonesia sulit bangkit.
“Tetapi kesalahan rezim sekarang justru mengambil kebijakan dan melahirkan produk undang-undang yang lebih liberal dan memarjinalkan rakyat," jelas dia ketika dihubungi, Minggu (14/4).
Oleh karena itu, apabila pemerintah tidak segera bertindak, tren kebergantungan pada impor pangan seperti gandum, kedelai, dan jagung terus berlanjut. Di sisi lain, ekspor Indonesia yang cenderung mengandalkan komoditas primer tengah menurun akibat penurunan drastis harga sawit dan baru bara. Akibatnya, defisit perdagangan dan transaksi berjalan akan membengkak.
“Pemerintah terjepit menahan inflasi dan impor. Posisi menteri perdagangan terjepit dalam upaya menahan impor dan kebijakan salah sektor lain," kata Hidayatullah. Untuk memperbaiki kebergantungan pada impor pangan, pemerintah mesti segera menjalankan fungsi badan khusus pangan. Pemerintah harus mewaspadai bahwa dana konsumsi nasional terbatas sehingga suatu saat akan kering. “Kebijakan ekonomi yang salah ini dibiarkan bertahun-tahun dengan prioritas yang selalu salah. MP3EI tidak akan menyelesaikan masalah ini karena dana yang ditanam tidak bisa kembali dalam waktu singkat. Kalau pengembangan hortikultura bisa balik modal dalam dua tahun," papar dia.
Oleh karena itu, jika tidak ada prioritas alokasi modal, pemerintah akan kehabisan napas karena devisa untuk impor mengering, kehilangan daya saing di pasar global, dan kehilangan waktu yang disia-siakan selama ini.
“Kebijakan yang salah ini akan menjadi fatal. Walau pemerintah sekarang merasa ini bukan kesalahannya, itulah yang diwariskan. Dia tidak bisa cuci tangan karena telah kerap kali diperingatkan," tegas Hidayatullah.
Titik Nadir
Peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Awan Santosa, menambahkan ketika titik nadir perekomian RI datang bersamaan, guncangan ekonomi bakal lebih dahsyat ketimbang krisis 1998 karena kini utang negara mencapai empat kali lipat dari 1998 menjadi 2.000 triliun rupiah akibat skandal BLBI.
"Ironisnya, pengemplang dana BLBI semakin kaya karena utangnya ditanggung rakyat yang tidak bersalah dalam bentuk pajak. Utang itu tidak akan lunas dibayar pajak oleh anak dan cucunya. BLBI merupakan korupsi dan kolusi yang superdahsyat," papar Awan.
Terkait dengan perombakan kabinet, pengamat pemerintahan dari Universitas Airlangga Surabaya, I Wayan Titib Sulaksana, mengatakan hasil perombakan kabinet yang akan dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semestinya tetap menjaga agar pemerintahan ini mengusut tuntas skandal BLBI.
Wayan berharap kabinet hasil perombakan itu lebih fokus menuntaskan persoalan hukum dan pengembalian uang negara akibat skandal perbankan yang menyebabkan utang ratusan triliun rupiah itu.
“Artinya kabinet hasil perombakan itu jangan terjebak mengambil kebijakan serupa. Yang lebih penting, penegak hukum dalam kabinet nanti harus berupaya mengembalikan kerugian negara, semaksimal mungkin memburu aset pengemplang BLBI, sekaligus membantu KPK menyeret mereka ke pengadilan," kata Wayan. YK/SB/lex/WP
Seharusnya Wewenang Gita Diperluas
Kegusaran Gita Wirjawan terhadap banjir barang impor sudah terungkap sejak awal dipercaya menjadi menteri perdagangan. Karena itu, dia langsung berjanji akan membuat kebijakan yang bisa menekan laju impor barang sekaligus melindungi industri dalam negeri (safeguard).
Bulan berganti bulan, ternyata upaya Gita menekan laju impor belum juga berhasil. Bahkan, Badan Pusat Statistik melaporkan neraca perdagangan Indonesia dalam kondisi mengkhawatirkan karena sepanjang 2012 mengalami defisit sehingga akan berlanjut pada 2013.
Runyamnya lagi, upaya Gita menahan laju impor tidak diimbangi dengan kebijakan di kementerian lainnya. Dengan kata lain, Gita harus berusaha keras menahan “air kiriman" impor yang difasilitasi teman sejawatnya di kabinet. Posisi Gita pun menjadi terpejit.
Tak cuma itu, Gita dianggap negara-negara importir sebagai penghambat. Itulah sebabnya Amerika Serikat mengancam kebijakan Gita yang membatasi impor sayur, buah, dan daging dari luar negeri untuk dibawa ke Badan Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Padahal, menurut Gita, pemerintah akan memastikan bahwa kebijakan membatasi pelabuhan impor hortikultura tidak hanya ditujukan bagi produk Amerika, tapi juga kepada negara-negara lain. Alasan lain AS memerkarakan Indonesia karena merasa disepelekan pemerintah sebab produk sayur dan buah AS harus diperiksa berulang kali di pelabuhan.
Gita sesungguhnya hanyalah meneruskan kebijakan menteri sebelumnya yang gemar dengan produk impor. Gita akhirnya tidak bisa optimal mengembangkan produk nasional yang berdaya saing tinggi sesuai dengan pengalamannya sebagai pengusaha.
Lebih dari itu, seharusnya posisi Gita tidak cukup hanya sebagai menteri perdagangan yang wewenangnya terbatas. Mengacu pada pengalamannya sebagai kepala BKPM, adalah wajar peran Gita dalam Kabinet Indonesia Bersatu II diperluas lagi.
Nah, bersamaan dengan rencana SBY melakukan reorganisasi kabinet, kini saat yang tepat untuk menempatkan Gita pada posisi yang memunyai wewenang lebih besar, yakni sebagai menteri negara perencanaan pembangunan nasional/kepala Bappenas.
Sebelum semuanya terlambat, perombakan kabinet harus secara total dilakukan karena selama ini pejabat tidak mau mengakui kesalahan dan, jika tidak diganti dengan pejabat yang reformis, tidak mau berubah. Contoh paling nyata adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tidak terselesaikan oleh empat presiden.
Pengamat ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Hidayatullah Muttaqin, menilai pemerintah telah terjebak kebijakan ekonomi warisan masa lalu yang salah sehingga ekonomi Indonesia sulit bangkit.
“Tetapi kesalahan rezim sekarang justru mengambil kebijakan dan melahirkan produk undang-undang yang lebih liberal dan memarjinalkan rakyat," jelas dia ketika dihubungi, Minggu (14/4).
Oleh karena itu, apabila pemerintah tidak segera bertindak, tren kebergantungan pada impor pangan seperti gandum, kedelai, dan jagung terus berlanjut. Di sisi lain, ekspor Indonesia yang cenderung mengandalkan komoditas primer tengah menurun akibat penurunan drastis harga sawit dan baru bara. Akibatnya, defisit perdagangan dan transaksi berjalan akan membengkak.
“Pemerintah terjepit menahan inflasi dan impor. Posisi menteri perdagangan terjepit dalam upaya menahan impor dan kebijakan salah sektor lain," kata Hidayatullah. Untuk memperbaiki kebergantungan pada impor pangan, pemerintah mesti segera menjalankan fungsi badan khusus pangan. Pemerintah harus mewaspadai bahwa dana konsumsi nasional terbatas sehingga suatu saat akan kering. “Kebijakan ekonomi yang salah ini dibiarkan bertahun-tahun dengan prioritas yang selalu salah. MP3EI tidak akan menyelesaikan masalah ini karena dana yang ditanam tidak bisa kembali dalam waktu singkat. Kalau pengembangan hortikultura bisa balik modal dalam dua tahun," papar dia.
Oleh karena itu, jika tidak ada prioritas alokasi modal, pemerintah akan kehabisan napas karena devisa untuk impor mengering, kehilangan daya saing di pasar global, dan kehilangan waktu yang disia-siakan selama ini.
“Kebijakan yang salah ini akan menjadi fatal. Walau pemerintah sekarang merasa ini bukan kesalahannya, itulah yang diwariskan. Dia tidak bisa cuci tangan karena telah kerap kali diperingatkan," tegas Hidayatullah.
Titik Nadir
Peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Awan Santosa, menambahkan ketika titik nadir perekomian RI datang bersamaan, guncangan ekonomi bakal lebih dahsyat ketimbang krisis 1998 karena kini utang negara mencapai empat kali lipat dari 1998 menjadi 2.000 triliun rupiah akibat skandal BLBI.
"Ironisnya, pengemplang dana BLBI semakin kaya karena utangnya ditanggung rakyat yang tidak bersalah dalam bentuk pajak. Utang itu tidak akan lunas dibayar pajak oleh anak dan cucunya. BLBI merupakan korupsi dan kolusi yang superdahsyat," papar Awan.
Terkait dengan perombakan kabinet, pengamat pemerintahan dari Universitas Airlangga Surabaya, I Wayan Titib Sulaksana, mengatakan hasil perombakan kabinet yang akan dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semestinya tetap menjaga agar pemerintahan ini mengusut tuntas skandal BLBI.
Wayan berharap kabinet hasil perombakan itu lebih fokus menuntaskan persoalan hukum dan pengembalian uang negara akibat skandal perbankan yang menyebabkan utang ratusan triliun rupiah itu.
“Artinya kabinet hasil perombakan itu jangan terjebak mengambil kebijakan serupa. Yang lebih penting, penegak hukum dalam kabinet nanti harus berupaya mengembalikan kerugian negara, semaksimal mungkin memburu aset pengemplang BLBI, sekaligus membantu KPK menyeret mereka ke pengadilan," kata Wayan. YK/SB/lex/WP
Seharusnya Wewenang Gita Diperluas
Kegusaran Gita Wirjawan terhadap banjir barang impor sudah terungkap sejak awal dipercaya menjadi menteri perdagangan. Karena itu, dia langsung berjanji akan membuat kebijakan yang bisa menekan laju impor barang sekaligus melindungi industri dalam negeri (safeguard).
Bulan berganti bulan, ternyata upaya Gita menekan laju impor belum juga berhasil. Bahkan, Badan Pusat Statistik melaporkan neraca perdagangan Indonesia dalam kondisi mengkhawatirkan karena sepanjang 2012 mengalami defisit sehingga akan berlanjut pada 2013.
Runyamnya lagi, upaya Gita menahan laju impor tidak diimbangi dengan kebijakan di kementerian lainnya. Dengan kata lain, Gita harus berusaha keras menahan “air kiriman" impor yang difasilitasi teman sejawatnya di kabinet. Posisi Gita pun menjadi terpejit.
Tak cuma itu, Gita dianggap negara-negara importir sebagai penghambat. Itulah sebabnya Amerika Serikat mengancam kebijakan Gita yang membatasi impor sayur, buah, dan daging dari luar negeri untuk dibawa ke Badan Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Padahal, menurut Gita, pemerintah akan memastikan bahwa kebijakan membatasi pelabuhan impor hortikultura tidak hanya ditujukan bagi produk Amerika, tapi juga kepada negara-negara lain. Alasan lain AS memerkarakan Indonesia karena merasa disepelekan pemerintah sebab produk sayur dan buah AS harus diperiksa berulang kali di pelabuhan.
Gita sesungguhnya hanyalah meneruskan kebijakan menteri sebelumnya yang gemar dengan produk impor. Gita akhirnya tidak bisa optimal mengembangkan produk nasional yang berdaya saing tinggi sesuai dengan pengalamannya sebagai pengusaha.
Lebih dari itu, seharusnya posisi Gita tidak cukup hanya sebagai menteri perdagangan yang wewenangnya terbatas. Mengacu pada pengalamannya sebagai kepala BKPM, adalah wajar peran Gita dalam Kabinet Indonesia Bersatu II diperluas lagi.
Nah, bersamaan dengan rencana SBY melakukan reorganisasi kabinet, kini saat yang tepat untuk menempatkan Gita pada posisi yang memunyai wewenang lebih besar, yakni sebagai menteri negara perencanaan pembangunan nasional/kepala Bappenas.
Sumber : koran-jakarta.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar