Tak Adil, Pajak Rakyat untuk Bayar Utang Pengemplang BLBI
Kasus skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menyisakan ketidakadilan yang berkepanjangan bagi rakyat Indonesia.
Melalui skema penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI pada 1998, pemerintah lewat APBN "memaksakan" pajak rakyat miskin yang tidak bersalah digunakan untuk membayar utang ratusan triliun rupiah orang kaya pengemplang BLBI.
Setiap tahun rakyat membayar subsidi bunga obligasi rekap 80 triliun rupiah hingga jatuh tempo dan menebus pokok obligasi itu pada 2033 yang kemudian diperpnjang lagi menjadi 2043.
Utang BLBI itu juga dinilai sebagai biang membengkaknya utang negara hingga empat kali lipat sejak 1998 menjadi 2.000 triliun rupiah. Selama ini, pemerintah dan DPR mengabaikan desakan rakyat agar membuat kebijakan untuk membebaskan APBN dari kewajiban obligasi rekap warisan BLBI.
Publik menilai haram hukumnya pajak rakyat digunakan terus-menerus untuk menyubsidi bankir pengemplang BLBI yang kini makin kaya raya. Pengamat perbankan, Achmad Iskandar, mengemukakan hal itu di Jakarta, Senin (15/4).
"Saya kira perlu diubah mindset birokrasi kita yang tidak prorakyat itu. Ini kebijakan salah yang harus dikoreksi," tegas Iskandar. Menurut dia, belum terlambat bagi pemerintah mengoreksi total kebijakan obligasi rekap karena kebijakan pemerintah itu merugikan masyarakat Indonesia.
"Memang, mesti ada gerakan yang sifatnya masif," ujar Iskandar. Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Suroso Imam Zadjuli, menambahkan kebijakan pemerintah selama ini yang dipandang lunak bagi para obligor BLBI menyebabkan stagnasi pengembangan sektor riil akibat minimnya peran perbankan nasional.
"Rendahnya intermediasi perbankan dalam penyaluran dana ke sektor riil, seperti ke sektor UMKM, akibat mayoritas perbankan swasta telah dikuasai pemodal asing yang sebenarnya bekerja sama dengan para pengemplang dan buron BLBI. Perbankan swasta kita yang sudah go public, sahamnya banyak dikuasai para orang-orang dekat para obligor (BLBI)," jelas dia.
Iskandar menilai sudah waktunya bagi pemerintah untuk mengubah paradigma pembangunan ekonomi. Kebijakan yang selama ini memanjakan pengemplang BLBI harus diubah. Pemerintah semestinya lebih memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia.
"Sangat tidak adil jika uang pajak rakyat ini dipakai menyubsidi orang-orang kaya pengemplang BLBI," tegas dia. Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Hidayatullah Muttaqin, mengemukakan Indonesia kini terperangkap dalam kebijakan ekonomi yang salah sehingga tidak mampu tampil sebagai bangsa yang mandiri.
Kebijakan yang salah itu menyebabkan pemerintah terjepit dalam upaya menahan laju infl asi dan membendung aliran impor, khususnya komoditas pangan. Sebelum semuanya terlambat, perombakan kabinet harus secara total dilakukan karena selama ini pejabat tidak mau mengakui kesalahan.
Jika tidak diganti dengan pejabat yang reformis, tidak mau berubah. Contoh paling nyata adalah kasus BLBI yang tidak terselesaikan oleh empat presiden.
Ubah Paradigma
Iskandar yakin jika Presiden mengambil langkah tegas menghentikan subsidi obligasi rekap, beban APBN tidak terlalu berat.
"Jadi, kebijakan jangan parsial karena tidak akan menyelesaikan masalah. Perlu ada gerakan revolusioner mengubah paradigma pembantu presiden ini," jelas dia.
Beban utang, termasuk utang BLBI, menyebabkan anggaran negara selalu defi sit dan terus ditutup oleh utang. Akibatnya, utang membengkak karena tanggungan bunga-berbunga. Kondisi itu menyebabkan APBN yang semestinya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat gagal menjalankan fungsinya.
Melalui skema penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI pada 1998, pemerintah lewat APBN "memaksakan" pajak rakyat miskin yang tidak bersalah digunakan untuk membayar utang ratusan triliun rupiah orang kaya pengemplang BLBI.
Setiap tahun rakyat membayar subsidi bunga obligasi rekap 80 triliun rupiah hingga jatuh tempo dan menebus pokok obligasi itu pada 2033 yang kemudian diperpnjang lagi menjadi 2043.
Utang BLBI itu juga dinilai sebagai biang membengkaknya utang negara hingga empat kali lipat sejak 1998 menjadi 2.000 triliun rupiah. Selama ini, pemerintah dan DPR mengabaikan desakan rakyat agar membuat kebijakan untuk membebaskan APBN dari kewajiban obligasi rekap warisan BLBI.
Publik menilai haram hukumnya pajak rakyat digunakan terus-menerus untuk menyubsidi bankir pengemplang BLBI yang kini makin kaya raya. Pengamat perbankan, Achmad Iskandar, mengemukakan hal itu di Jakarta, Senin (15/4).
"Saya kira perlu diubah mindset birokrasi kita yang tidak prorakyat itu. Ini kebijakan salah yang harus dikoreksi," tegas Iskandar. Menurut dia, belum terlambat bagi pemerintah mengoreksi total kebijakan obligasi rekap karena kebijakan pemerintah itu merugikan masyarakat Indonesia.
"Memang, mesti ada gerakan yang sifatnya masif," ujar Iskandar. Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Suroso Imam Zadjuli, menambahkan kebijakan pemerintah selama ini yang dipandang lunak bagi para obligor BLBI menyebabkan stagnasi pengembangan sektor riil akibat minimnya peran perbankan nasional.
"Rendahnya intermediasi perbankan dalam penyaluran dana ke sektor riil, seperti ke sektor UMKM, akibat mayoritas perbankan swasta telah dikuasai pemodal asing yang sebenarnya bekerja sama dengan para pengemplang dan buron BLBI. Perbankan swasta kita yang sudah go public, sahamnya banyak dikuasai para orang-orang dekat para obligor (BLBI)," jelas dia.
Iskandar menilai sudah waktunya bagi pemerintah untuk mengubah paradigma pembangunan ekonomi. Kebijakan yang selama ini memanjakan pengemplang BLBI harus diubah. Pemerintah semestinya lebih memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia.
"Sangat tidak adil jika uang pajak rakyat ini dipakai menyubsidi orang-orang kaya pengemplang BLBI," tegas dia. Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Hidayatullah Muttaqin, mengemukakan Indonesia kini terperangkap dalam kebijakan ekonomi yang salah sehingga tidak mampu tampil sebagai bangsa yang mandiri.
Kebijakan yang salah itu menyebabkan pemerintah terjepit dalam upaya menahan laju infl asi dan membendung aliran impor, khususnya komoditas pangan. Sebelum semuanya terlambat, perombakan kabinet harus secara total dilakukan karena selama ini pejabat tidak mau mengakui kesalahan.
Jika tidak diganti dengan pejabat yang reformis, tidak mau berubah. Contoh paling nyata adalah kasus BLBI yang tidak terselesaikan oleh empat presiden.
Ubah Paradigma
Iskandar yakin jika Presiden mengambil langkah tegas menghentikan subsidi obligasi rekap, beban APBN tidak terlalu berat.
"Jadi, kebijakan jangan parsial karena tidak akan menyelesaikan masalah. Perlu ada gerakan revolusioner mengubah paradigma pembantu presiden ini," jelas dia.
Beban utang, termasuk utang BLBI, menyebabkan anggaran negara selalu defi sit dan terus ditutup oleh utang. Akibatnya, utang membengkak karena tanggungan bunga-berbunga. Kondisi itu menyebabkan APBN yang semestinya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat gagal menjalankan fungsinya.
BLBI = 600 TRILYUN & CENTURY = 6,7 TRILYUN.
.KPK SEBAIKNYA FOKUS PADA DUA- DUANYA
Keberhasilan untuk menyita aset aset pelakunya akan dapat memulihkan ekonomi Bangsa. Bahkan bisa jadi akan merubah arah politik dan peta politik di negeri ini.
https://www.facebook.com/notes/hidayat-hasibuan/blbi-600-trilyun-century-67-trilyun-kpk-sebaiknya-fokus-pada-duaduanya/10151158028796723
SELAMATKAN UANG NEGARA 6OO TRILYUN......?
TULISAN SESEORANG YANG MENGGUGAH RAKYAT INDONESIA
********************************************
YANG SELALU DITUTUPI DENGAN RAPI OLEH ENTAH SIAPA...?
BAHKAN KITA SEMUA SELALU DISUGUHI DENGAN KASUS KASUS KECIL, DAN KASUS CENTURY YANG 6,7 TRILYUN
SALAM BUAT KPK JIKA INGIN SERIUS BEKERJA....! SELAMAT BEKERJA...!
Tangkap Perampok Obligor BLBI; Selamatkan Uang Rakyat 600 Triliun! SEBUAH buku pemberian seorang teman tentang “Skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)”, mengusik saya untuk menuliskan tulisan ini. Lembar demi lembar buku yang ditulis oleh Marwan Batubara, dkk. sungguh menyeruak kasus BLBI yang sudah 10 tahun berlangsung namun kasus hukumnya belum selesai juga. Para perampok uang Negara tersebut masih berkeliaran menghirup udara bebas, bahkan beberapa orang diantaranya dipublikasikan oleh Majalah Forbes dan Globe Asia masuk daftar sederetan orang-orang terkaya di Indonesia, sungguh ironis!
Tulisan ini tidak bermaksud menyaingi para senior saya seperti Marwan Batubara, Kwik Kian Gie, Hendri Saparini, Fadhil Hasan dan para ekonom lainnya yang berkontribusi menulis buku “Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Negara.” Tentunya kapasitas saya sangat jauh dengan mereka. Bagaikan langit dan bumi, karena mereka adalah orang-orang hebat yang sangat expert di bidangnya. Saya hanya sederetan orang pengagum kehebatan mereka. Jujur saja tulisan ini hanya resume dari buku yang mereka tulis dan hanya sekedar untuk menambah koleksi tulisan diblog pribadi saya, namun semoga bisa menjadi edukasi dan informasi bagi khalayak.
Apa sebenarnya BLBI tersebut? Mantan Gubernur Bank Indonesia Prof. Dr. Soedrajad Djiwandono pada sebuah tulisannya tentang “Permasalahan BLBI” mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai fasilitas yang diberikan BI untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena ketidakseimbangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank baik jangka pendek maupun panjang.
Menurut Soedrajad, bantuan likuiditas dari Bank Indonesia (BI) kepada pihak perbankan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Namun, istilah BLBI baru dipergunakan khusus sejak 1998 untuk merujuk pada bantuan likuiditas yang diberikan BI kepada pihak perbankan disaat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Istilah BLBI sendiri diambil dari istilah liquidity supports, yang dipergunakan dalam Letter of Intent (LoI) antara IMF dengan pemerintah Indonesia di jaman pemerintahan rezim Soeharto sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi.
Secara sederhana dapat dinyatakan BLBI adalah bantuan pinjaman dana yang diberikan BI kepada sejumlah bank yang mengalami krisis likuiditas atau krisis persediaan uang saat terjadinya krisis moneter akibat konstelasi politik yang tidak menentu di Indonesia pada tahun 1997. Bantuan dana itu disalurkan melalui mekanisme yang disebut dengan kliring, yaitu penalangan yang dilakukan oleh BI terhadap pembayaran kewajiban-kewajiban bank yang tidak mampu melunasi kewajibannya. Dengan demikian, melalui pengucuran BLBI, bank-bank swasta dibantu untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban pembayarannya kepada pihak ketiga, khususnya nasabah.
Kucuran dana bantuan likuiditas dari Bank Indonesia kepada bank-bank yang sedang menghadapi rush adalah hal yang sangat wajar, bahkan harus menurut Kwik Kian Gie. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral berfungsi sebagai bank of the last resort harus memberikan bantuannya untuk menghentikan rush. Lalu dimana letak kesalahannya? Sehingga mengakibatkan kerugian Negara yang nilainya sekitar 600 Triliun, bahkan nilainya sebanding dengan utang luar negeri Indonesia. Jika dana ini bisa dikembalikan oleh para konglomerat hitam yang mendapat bantuan dana tersebut maka bukan tidak mungkin Indonesia bisa melunasi seluruh hutang luar negerinya.
Kesalahan dalam Kasus Dana BLBI
Kesalahan fatal yang dilakukan ramai-ramai secara konspiratif oleh pejabat Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Pemerintahan Soeharto dan Pemerintahan Megawati dalam kasus dana BLBI adalah:
1] Kesalahan Pertama,
saat terjadinya krisis moneter pemerintah melakukan perjanjian yang menyesatkan dengan IMF. Pada tanggal 31 Oktober 1997, perjanjian pemerintah dengan IMF disepakati dengan komitmen pinjaman senilai 7,3 miliar SDR (Special Drawing Rights) atau setara dengan US$ 9,709 miliar dolar. Pinjaman sejumlah ini dikucurkan dalam beberapa tahap. Untuk tahap awal, dana yang dikucurkan dalam beberapa tahap. Untuk tahap awal, dana yang dikucurkan sebesar 2,202 miliar SDR (US$ 2,92 miliar).
Pinjaman ini tidak diperoleh begitu saja dengan cuma-cuma. Sebagai kompensasinya pemerintah Indonesia harus setuju untuk mengimplementasikan resep sesat ekonomi ala IMF, diantaranya seperti privatisasi, pengurangan subsidi, liberalisasi keuangan, dan reformasi sistem perbankan. Sejumlah program ini dituangkan dalam bentuk kesepakatan yang dinamakan Memorandum on Economic and Financial Policies (MEFP) atau lebih dikenal dengan Letter of Intent (LoI) yang berjumlah 1301 kesepakatan. Kebijakan-kebijakan itu secara garis besar meliputi kebijakan pengetatan likuiditas, penutupan 16 bank nasional, peninjauan BI sebagai the lender of the last resort, pengucuran obligasi rekap perbankan dan penjualan asset-aset Negara (khususnya bank-bank yang diambil alih oleh pemerintah dan berkinerja baik).
2] Kesalahan kedua,
liberalisasi perbankan yang kita kenal dengan nama Kebijakan Paket oktober 1998 (PAKTO). Kebijakan liberalisasi ini menghasilkan ratusan bank yang berhasil menghimpun dana masyarakat dalam jumlah sangat besar yang dikelola sembarangan. Akibatnya banyak bank yang kalah kliring. Di sinilah cikal bakal kesulitan yang kita hadapi. Bank yang kalah kliring tidak dihukum oleh BI, tetapi justru tetap ditolong dengan likuiditas yang dinamakan Fasilitas Diskonto sampai berkali-kali. Kebijakan ini merupakan turunan dari kesepakatan pemerintahan Soeharto dengan IMF.
3] Kesalahan Ketiga,
dalam pengucuran dana BLBI Bank Indonesia tidak menghentikan proses kliring (pencairan dana simpanan) pada bank-bank yang rekening gironya di BI sudah bersaldo negatif (overdraft), bahkan hingga kekurangan saldo tersebut sudah melampaui jumlah asset yang dimiliki bank. Dengan alasan menghindari efek domino krisis perbankan, BI terus mengizinkan proses kliring tanpa memberi batas nilai overdraft. Hal ini akhirnya dimanfaatkan bankir nakal untuk melakukan penarikan tunai dan transfer dana ke cabang-cabang sampai kondisi pasar uang mereka.
4] Kesalahan Keempat,
Penyaluran BLBI melalui mekanisme kliring menyebabkan BI tidak dapat mengetahui apakah BLBI digunakan sepenuhnya untuk menanggulangi kesulitan likuiditas akibat rush nasabah, atau justru untuk kepentingan grup pemilik bank. Lembaga kliring yang semula hanya sebagai media tukar menukar surat berharga (warkat) dalam rangka memperlancar sistem pembayaran dan lalu-lintas giral, berubah menjadi saran penyediaan dana bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. BI dinilai tidak konsisten melaksanakan Program Penjaminan Kewajiban Bank Umum sebagaimana ditetapkan dalam Keppres No. 26/1998, dan justru bertahan memberi bantuan likuiditas kepada perbankan melalui mekanisme kliring.
5] Kesalahan Kelima,
BPPN melakukan kesalahan dalam penilaian asset-aset perbankan pengemplang BLBI. BPPN memiliki fungsi dan kewenangan yang sangat luas, mencakup menyelesaikan kewajiban pembayaran utang obligor BLBI, mengelola aset-aset perusahaan dan kredit yang diserahkan obligor, dan menjual asset-aset yang dikelolanya. Karena itupula, atas berbagai kerugian Negara dan penyelewengan yang terjadi dalam penyelesaian kasus ini, BPPN sangat layak dituntut pertanggungjawabannya karena koruptif dan tidak transparan.
6] Kesalahan keenam,
Pemerintahan Megawati pada tahun 2002 menerbitkan Inpres No. 8/2002 yang berisi kebijakan pemerintah untuk memilih penyelesaian kasus BLBI melalui out of court settlement, yaitu dengan memberi landasan hukum penghapusan hutang para obligor BLBI.
Kecuali satu orang Menteri yakni Kwik Kian Gie yang saat pemerintahan Megawati menjabat sebagai Menko Perekonomian. Kwik Kian Gie sudah mengingatkan Presiden Megawati untuk tidak menerbitkan Kepres tersebut, karena akan menjadi gugatan dikemudian hari dan benar atas munculnya Inpres tersebut justru menghambat proses hukum para pengemplang BLBI.
Seruan Rakyat terhadap Pemerintah untuk Kasus BLBI
Sebagai rakyat kami menuntut Pemerintahan SBY-JK, DPR, serta institusi penegak hukum untuk melaksanakan 10 tuntutan kami dibawah ini segera:
1. Menuntaskan penyelesaian kasus BLBI secara hukum melalui proses yang objektif, berkeadilan, dan berpihak pada kepentingan publik, serta di sisi lain bebas dari konspirasi, negoisasi-negoisasi rahasia, deal-deal politik, dan berboncengan kepentingan-kepentingan tertentu yang menjadikan para obligator/debitur sebagai objek pemerasan belaka. Kasus BLBI harus dituntaskan sekali untuk selamanya.
Pemerintah dan DPR harus menjaga diri, aparatnya, dan semua pihak terkait dari sikap KKN yang memanfaatkan kasus BLBI untuk kepentingan picik semata (demi uang), sehingga penyelsaian kasusnya teromabng-ambing dalam perangkap ketidakpastian hukum.
2. Mencabut Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang release and discharge dan meninjau ulang seluruh perangkat kebijakan lainnya terkait penyelesaian kewajiban BLBI yang tidak adil dan hanya member keuntungan sepihak bagi obligor. Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang release and discharge selama ini menjadi hambatan bagi dilakukannya pengusutan tuntas terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan obligor BLBI. Pemerintah juga harus meninjau ulang MSAA, MRNIA, APU, pemberian SKL/SKPK, dan kebijakan lain terkait penyelesaian kasus BLBI yang hanya menguntungkan obligor secara sepihak.
3. Menuntut IMF untuk bertanggung jawab atas manipulasi dan tekanan yang dilakukannya terhadap pemerintah Indonesia di saat krisis, sehingga menyebabkan lahirnya berbagai kebijakan yang justru menghancurkan sendi-sendi perekonomian Indonesia. Diantara dosa besar yang harus dipertanggungjawabkan IMF adalah memaksakan pengucuran obligasi rekap ratusan triliun rupiah kepada perbankan, mendesak divestasi saham pemerintah di bank-bank rekap dalam waktu singkat (sehingga harga jualnya sangat rendah), dan penutupan 16 bank tanpa persiapan (sehingga memicu terjadinya krisis perbankan). Termasuk pula, keterlibatan oknumnya dalam konspirasi pembelian asset perbankan dengan harga murah.
4. Menciptakan terobosan untuk mempercepat proses penyelesaian kasus BLBI dengan membentuk pengadilan Ad-Hoc dan menerbitkan PP atau Perpu yang mengatur pemberlakuan asas pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi. Kasus-kasus korupsi BLBI dapat disidangkan secara khusus melalui Pengadilan Ad-Hoc untuk mempercepat pengungkapan dan penyelesaian kasus ini. Para pengemplang BLBI, yang kini masih berlindung dibalik berbagai celah hukum, juga perlu dijerat dengan asas pembuktian terbalik.
5. Mendesak jaksa Agung agar segera menuntaskan skandal korupsi BLBI dan menyeret pelaku-pelakunya ke pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pelaku-pelaku korupsi BLBI harus diseret ke pengadilan agar ada keputusan hukum yang tegas dan jelas tentang status kasus mereka. Proses penyelesaian di tingkat perdata selama ini tidak boleh menghapus aspek tindak pidana yang dilakukan para obligor dalam menyalahgunakan BLBI ketika terjadi krisis.
6. Menyita asset dan kekayaan obligor yang hingga kini tidak menyelesaikan kewajibannya. Hal ini wajar dilakukan, terutama kepada mereka yang dengan sengaja mangkir, untuk menjamin kembalinya uang Negara yang telah mereka nikmati. Apalagi, sejumlah obligor kini diketahui telah berhasil menjadi orang-orang terkaya di Indonesia.
7. Mengusut tuntas dan mengadili semua pejabat Negara yang terlibat dalam berbagai penyimpangan yang terjadi dalam kasus BLBI, mulai dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan pengucuran, hingga penggunaan BLBI. Pengusutan harus dilakukan setuntas-tuntasnya kepada semua pejabat Negara yang terlibat, mencakup pemerintah, BPPN, maupun BI, sehingga masing-masing pihak dapat dituntut pertanggungjawabannya sesuai dengan porsi kesalahan yang dilakukan.
8. Mengupayakan seoptimal mungkin pengembalian uang Negara yang telah terkucur melalui BLBI dan berbagai kebijakan penggelontoran uang Negara lainnya ke sector perbankan di saat krisis. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan menuntut kekurangan pembayaran sejumlah obligor BLBI yang nilai asetnya ternyata lebih rendah dari nilai asset yang tercantum ketika asset tersebut diserahkan.
9. Melakukan upaya untuk menghentikan pemberian subsidi bagi pihak perbankan melalui penghentian pembayaran bunga obligasi rekap. Mengingat pengucuran obligasi rekap merupakan kebijakan darurat untuk menyelamatkan bank disaat krisis, maka, setelah krisis berlalu dan bank pun telah meraup laba, tidak selayaknya bank terus menikmati penghasilan cuma-cuma tiap tahun melalui pembayaran bunga obligasi rekap. Apalagi, sebagian dari bank-bank tersebut telah dikuasai asing atau pengusaha swasta yang membelinya secara konspiratif berkolaborasi dengan IMF.
10. Menghentikan divestasi saham-saham pemerintah pada bank-bank rekap, sampai obligasi rekap yang berada pada bank bersangkutan berhasil ditarik seluruhnya oleh pemerintah. Pemerintah harus menghentikan proses divestasi atas saham-sahamnya di bank-bank rekap, kecuali dengan harga jual yang sebanding dengan obligasi rekap yang telah dikucurkan atau obligasi rekap tersebut berhasil ditarik keluar seluruhnya oleh pemerintah.
Secara khusus, kami menghimbau para pengemplang BLBI untuk menggunakan hati nuraninya dan mempertanggung-jawabkan perbuatannya secara hukum serta mengembalikan uang Negara yang telah dinikmatinya kepada pemerintah. Berhentilah membebani rakyat Indonesia dengan pembayaran kewajiban utang yang bahkan tidak sedikitpun mereka rasakan.
Kerugian yang dialami Negara akibat dari BLBI diperkirakan 600 Triliun. Sangat memprihatinkan apabila pemerintahan SBY-JK hanya berdiam diri dan tidak mengambil tindakan konkret untuk menuntaskan kasus BLBI. Seandainya pemerintah dapat menuntaskan kasus BLBI, maka tidak mustahil bagi pemerintah untuk mengantar bangsa ini keluar dari krisis yang berkepanjangan. Uang sebesar 600 Triliun dapat digunakan untuk menutupi utang luar negeri, menambah anggaran pendidikan, membangun infrastruktur, dan lain-lain yang dapat menggerakkan roda perekonomian bangsa. Wallahualam
Sumber foto: www.detiknews.com/13 OKTOBER 2008
( Bersambung....)
( Bersambung....)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar