AS, Rusia & Prancis akan Bahas Konflik Suriah
http://kabarperang.blogspot.com/2013/05/as-rusia-prancis-akan-bahas-konflik.html
Paris: Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry
akan melakukan pertemuan dengan mitra-mitranya dari Rusia dan Prancis di
Paris pada hari Senin mendatang, menjelang berlangsungnya konferensi
internasional tentang upaya mengakhiri konflik Suriah. Hal ini
disampaikan para pejabat, Jumat (24/5).
Kerry dan Menlu Rusia Sergei Lavror akan bertemu "untuk meneruskan pembahasan dari pertemuan mereka sebelumnya, hanya beberapa minggu lalu di Rusia, dan membawa informasi-informasi terbaru seperti yang mereka rencanakan menjelang konferensi internasional tentang Suriah," kata pejabat Departemen Luar Negeri AS dalam sebuah pernyataan.
Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius juga akan mengambil bagian dalam apa yang disebut sumber diplomatik Barat sebagai "tugas makan malam" di sebuah restoran di Paris.
Rusia pada Jumat mengatakan bahwa rezim Damaskus "secara prinsip" telah setuju untuk hadir pada konferensi perdamaian internasional soal konflik Suriah itu, yang diharapkan negara-negara berpengaruh akan berlangsung di Jenewa bulan Juni mendatang.
Sementara itu, kelompok oposisi utama Suriah telah memasuki hari kedua rangkaian pembicaraan yang ditujukan untuk menemukan pendekatan bagi dorongan perdamaian oleh Rusia dan AS --yaitu agar semua pihak dapat berpartisipasi dalam pembicaraan internasional yang disebut dengan "Geneva 2".
Menyusul pengumuman yang dilakukan oleh Rusia, pihak oposisi mendesak pemerintahan Assad untuk berbicara tentang apakah mereka akan mengambil bagian dalam konferensi.
"Pertemuan (Senin) ini akan menghadirkan langkah lainnya menuju pelaksanaan konferensi, namun perlu ada kejelasan menyangkut delegasi-delegasi Suriah dan mandat yang akan diberikan kepada mereka," kata seorang sumber diplomatik.
"Moskow, misalnya, harus memberikan penjelasan mengenai persetujuan "secara prinsip" yang diberikan oleh Damaskus." Pertemuan pertama di Jenewa pada Juni tahun lalu berakhir dengan kesepakatan luas yang ditujukan untuk membentuk pemerintahan peralihan di Suriah dan memperkenalkan gencatan senjata yang berlaku dalam waktu panjang.
Namun, kesepakatan itu tidak pernah diterapkan karena adanya ketidaksepakatan soal peran apa yang akan dimiliki Presiden Suriah Bashar Al-Assad dalam pemerintahan baru.
Kesepakatan juga tidak berhasil diterapkan karena tidak adanya keputusan dari kedua belah pihak di Suriah --pihak pemerintah dan oposisi-- untuk meletakkan senjata.
Kerry dan Menlu Rusia Sergei Lavror akan bertemu "untuk meneruskan pembahasan dari pertemuan mereka sebelumnya, hanya beberapa minggu lalu di Rusia, dan membawa informasi-informasi terbaru seperti yang mereka rencanakan menjelang konferensi internasional tentang Suriah," kata pejabat Departemen Luar Negeri AS dalam sebuah pernyataan.
Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius juga akan mengambil bagian dalam apa yang disebut sumber diplomatik Barat sebagai "tugas makan malam" di sebuah restoran di Paris.
Rusia pada Jumat mengatakan bahwa rezim Damaskus "secara prinsip" telah setuju untuk hadir pada konferensi perdamaian internasional soal konflik Suriah itu, yang diharapkan negara-negara berpengaruh akan berlangsung di Jenewa bulan Juni mendatang.
Sementara itu, kelompok oposisi utama Suriah telah memasuki hari kedua rangkaian pembicaraan yang ditujukan untuk menemukan pendekatan bagi dorongan perdamaian oleh Rusia dan AS --yaitu agar semua pihak dapat berpartisipasi dalam pembicaraan internasional yang disebut dengan "Geneva 2".
Menyusul pengumuman yang dilakukan oleh Rusia, pihak oposisi mendesak pemerintahan Assad untuk berbicara tentang apakah mereka akan mengambil bagian dalam konferensi.
"Pertemuan (Senin) ini akan menghadirkan langkah lainnya menuju pelaksanaan konferensi, namun perlu ada kejelasan menyangkut delegasi-delegasi Suriah dan mandat yang akan diberikan kepada mereka," kata seorang sumber diplomatik.
"Moskow, misalnya, harus memberikan penjelasan mengenai persetujuan "secara prinsip" yang diberikan oleh Damaskus." Pertemuan pertama di Jenewa pada Juni tahun lalu berakhir dengan kesepakatan luas yang ditujukan untuk membentuk pemerintahan peralihan di Suriah dan memperkenalkan gencatan senjata yang berlaku dalam waktu panjang.
Namun, kesepakatan itu tidak pernah diterapkan karena adanya ketidaksepakatan soal peran apa yang akan dimiliki Presiden Suriah Bashar Al-Assad dalam pemerintahan baru.
Kesepakatan juga tidak berhasil diterapkan karena tidak adanya keputusan dari kedua belah pihak di Suriah --pihak pemerintah dan oposisi-- untuk meletakkan senjata.
Konferensi perdamaian yang diusulkan itu, yang menurut laporan sejumlah media telah dijadwalkan akan berlangsung pada 10 Juni, ditujukan untuk mengakhiri pertumpahan darah yang telah berlangsung lebih dari dua tahun di Suriah dan telah menewaskan 90.000 orang.
Konferensi itu diusulkan secara bersama-sama oleh Rusia --pendukung utama Assad-- dan Amerika Serikat, yang mendukung para pemberontak melancarkan perlawanan untuk menggulingkan Assad.
Emir Qatar:
Arab Harus Konfrontasi Langsung Dengan Israel
Wednesday, May 22, 2013
http://beritapohuwato.blogspot.com/2013/05/emir-qatar-arab-harus-konfrontasi.html
POHUWATO ONLINE, Musim semi Arab (Arab Spring) memaksa Israel berhadap-hadapan langsung dengan rakyat negara-negara Arab.
Kantor berita Perancis, Reuters sebagaimana dikutip Qodsna melaporkan, Syeikh Hamad din Khalifa Al Thani, Emir Qatar dalam sebuah pertemuan yang digelar di Doha, ibu kota Qatar dan dihadiri oleh sebagian pemimpin negara Arab termasuk Perdana Menteri Tunisia, mengatakan, "Munculnya Kebangkitan Rakyat menyebabkan negara-negara Arab harus melakukan konfrontasi langsung dengan Israel, dan penyelesaian konflik Israel-Palestina menjadi semakin urgen."
Ditambahkannya, "Di masa lalu, untuk melakukan rekonsiliasi di dunia Arab kita harus bersabar sehingga solusi damai dengan Israel dapat dicapai. Namun pasca bergulirnya revolusi-revolusi bangsa Arab, keyakinan semacam ini sudah tidak berdasar lagi."
Alasannya, kata Emir Qatar, karena Arab Spring, hari ini telah mendorong rakyat Arab, tidak hanya pemimpin-pemimpinnya, untuk berhadap-hadapan langsung dengan Israel. Rakyat Arab tidak lagi menerima bahwa hanya negosiasi tujuan mereka. "Kawasan kita tidak akan pernah mencium bau perdamaian, kecuali ditemukan solusi masalah Palestina," tandasnya.
Lebih lanjut Syeikh Hamad bin Khalifa Al Thani mendesak dibentuknya negara Palestina dengan ibu kota Baitul Maqdis. Menurut Hamad, Israel tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan penting demi terciptanya perdamaian, dan mereka harus mundur ke perbatasan tahun 1967.
Kantor berita Perancis, Reuters sebagaimana dikutip Qodsna melaporkan, Syeikh Hamad din Khalifa Al Thani, Emir Qatar dalam sebuah pertemuan yang digelar di Doha, ibu kota Qatar dan dihadiri oleh sebagian pemimpin negara Arab termasuk Perdana Menteri Tunisia, mengatakan, "Munculnya Kebangkitan Rakyat menyebabkan negara-negara Arab harus melakukan konfrontasi langsung dengan Israel, dan penyelesaian konflik Israel-Palestina menjadi semakin urgen."
Ditambahkannya, "Di masa lalu, untuk melakukan rekonsiliasi di dunia Arab kita harus bersabar sehingga solusi damai dengan Israel dapat dicapai. Namun pasca bergulirnya revolusi-revolusi bangsa Arab, keyakinan semacam ini sudah tidak berdasar lagi."
Alasannya, kata Emir Qatar, karena Arab Spring, hari ini telah mendorong rakyat Arab, tidak hanya pemimpin-pemimpinnya, untuk berhadap-hadapan langsung dengan Israel. Rakyat Arab tidak lagi menerima bahwa hanya negosiasi tujuan mereka. "Kawasan kita tidak akan pernah mencium bau perdamaian, kecuali ditemukan solusi masalah Palestina," tandasnya.
Lebih lanjut Syeikh Hamad bin Khalifa Al Thani mendesak dibentuknya negara Palestina dengan ibu kota Baitul Maqdis. Menurut Hamad, Israel tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan penting demi terciptanya perdamaian, dan mereka harus mundur ke perbatasan tahun 1967.
Read more: http://beritapohuwato.blogspot.com/2013/05/emir-qatar-arab-harus-konfrontasi.html#ixzz2UanVnMyK
Isreal Cegah Pengiriman Senjata ke Hizbullah
http://kabarperang.blogspot.com/2013/05/isreal-cegah-pengiriman-senjata-ke.html
Yerusalem: Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu,
Minggu (19/5) waktu setempat, mengatakan pemerintahnya tetap terikat
komitmen untuk mencegah pengiriman senjata canggih kepada kelompok
gerilyawan Lebanon, Hizbullah.
"Kami akan bertindak sejalan dengan kebijakan yang telah kami tetapkan untuk mencegah sekuat mungkin pengiriman senjata canggih kepada Hizbullah dan anasir teror," kata Radio Militer, yang mengutip Netanyahu.
"Pemerintah Israel beroperasi dengan cara yang bertanggung-jawab, penuh tekad guna menjamin kepentingan tertinggi negara, yaitu keselamatan warganya," kata Netanyahu, sebagaimana dikutip Xinhua, Senin (20/5) pagi. Ia berikrar akan terus menjamin kepentingan keamanan Israel.
Pernyataan itu dikeluarkan beberapa jam setelah Harian Inggris Sunday Times, melaporkan Suriah telah menyiagakan baterei rudal paling canggihnya secara tertata untuk menyerang Tel Aviv. Itu dilakukan guna mengantisipasi bila Israel melancarkan serangan lain terhadap wilayahnya.
Hizbullah dilaporkan telah memiliki persenjataannya sendiri, rudal Tishreen, buatan Suriah, yang dikenal dengan nama M-600. Rudal tersebut memiliki jangkauan lebih dari 200 kilometer hingga Israel Tengah dan masing-masing dapat membawa hulu ledak seberat setengah ton.
"Kami akan bertindak sejalan dengan kebijakan yang telah kami tetapkan untuk mencegah sekuat mungkin pengiriman senjata canggih kepada Hizbullah dan anasir teror," kata Radio Militer, yang mengutip Netanyahu.
"Pemerintah Israel beroperasi dengan cara yang bertanggung-jawab, penuh tekad guna menjamin kepentingan tertinggi negara, yaitu keselamatan warganya," kata Netanyahu, sebagaimana dikutip Xinhua, Senin (20/5) pagi. Ia berikrar akan terus menjamin kepentingan keamanan Israel.
Pernyataan itu dikeluarkan beberapa jam setelah Harian Inggris Sunday Times, melaporkan Suriah telah menyiagakan baterei rudal paling canggihnya secara tertata untuk menyerang Tel Aviv. Itu dilakukan guna mengantisipasi bila Israel melancarkan serangan lain terhadap wilayahnya.
Hizbullah dilaporkan telah memiliki persenjataannya sendiri, rudal Tishreen, buatan Suriah, yang dikenal dengan nama M-600. Rudal tersebut memiliki jangkauan lebih dari 200 kilometer hingga Israel Tengah dan masing-masing dapat membawa hulu ledak seberat setengah ton.
Perwakilan politik Hamas di Libanon
mengatakan kelompok perlawanan Palestina akan berjuang bersama Hizbullah
seandainya Israel meluncurkan serangan baru terhadap Libanon.
"Kita adalah tamu di Libanon dan kebijakan kami tidak akan berubah,"
kata Ali Baraka saat upacara peringatan diselenggarakan pada hari Minggu
untuk menandai satu minggu sejak kematian dua anggota Hamas dalam
sebuah ledakan di pinggiran selatan Beirut.
"Namun, kami berkomitmen untuk melawan pasukan pendudukan Israel," tambahnya.
"Israel harus tahu bahwa jika meluncurkan sebuah serangan baru terhadap Libanon, kami tidak akan berpangku tangan. Kami akan menghadapi agresi itu berdampingan dengan saudara-saudara kita di Libanon - entah itu pejuang perlawanan, tentara, atau orang-orang, untuk mengusir agresi," Baraka menyatakan.
Pada Juli 2006, pasukan perlawanan Hizbullah menembaki patroli Israel di daerah perbatasan, menewaskan tiga tentara Israel dan menangkap dua dari mereka. Israel menanggapi dengan membombardir bagian selatan dan timur Libanon, kemudian melebarkan kampanye pemboman hingga meliputi sebagian besar dari Libanon pada apa yang menjadi 33 hari perang habis-habisan antara Hizbullah dan Israel. Hizbullah membalas dengan intens, rudal harian menghujani utara dan selatan Israel sejauh Haifa.
Perdana Menteri Israel pada saat itu, Ehud Olmert bersumpah untuk menghancurkan kemampuan militer Hizbullah. Hizbullah tidak berjanji untuk menghentikan serangan sampai Israel menghentikan operasinya, yang termasuk penyerangan ke Libanon selatan.
Barulah pada tanggal 14 Agustus sebuah gencatan senjata yang ditengahi oleh PBB mengakhiri permusuhan. Sekitar 1.000 orang, sebagian besar warga sipil Libanon, tewas, dan 1 juta warga sipil Libanon dan sekitar 300.000 hingga 400.000 orang Israel itu sementara mengungsi. Ekonomi kedua negara menderita, meskipun Libanon jauh lebih menderita karena banyak dari infrastruktur negara seperti, jalan, jembatan, pembangkit listrik dan pengolahan air, telah rusak oleh pengeboman Israel.
Sementara itu pada kesempatan yang terpisah, Hamas mengatakan pada hari Minggu bahwa kelompok Islam itu berada di tahap akhir berdamai dengan partai saingannya, Fatah, setelah pemimpinnya bertemu dengan para pejabat Saudi untuk mencoba mempersempit perpecahan.
"Kami membuat langkah besar untuk mencapai rekonsiliasi," pemimpin Hamas Khaled Meshaal mengatakan kepada wartawan di kementerian luar negeri Saudi selama kunjungannya ke Riyadh. "Kami sedang dalam tahap akhir sekarang."
Sebuah usulan dari Mesir untuk mempromosikan rekonsiliasi antara Hamas dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dari kelompok Fatah menyerukan pemilihan presiden dan legislatif yang akan diadakan di Tepi Barat dan Jalur Gaza Juni mendatang.
Meshaal mengatakan Hamas masih memiliki beberapa poin untuk diselesaikan proposal di Mesir.
Azzam al-Ahmad, seorang pejabat senior Fatah, mengatakan Fatah telah menyetujui usulan Mesir dan terserah kepada Hamas baik untuk mengikuti ataupun menolaknya.
"Kami mendesak Hamas untuk menandatanganinya sehingga kita dapat mulai menerapkan perjanjian," ujar Ahmad kepada Reuters.
Pertemuan Meshaal dengan Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Saud al-Faisal ini dirancang untuk membantu rekonsiliasi dari perselisihan yang ada, kata para pejabat Saudi.
Pejabat senior Fatah lain, Zeyad Abu Ein, berkata Meshaal sedang berusaha memasang wajah yang baik di Arab Saudi.
"Khaled Meshaal tidak datang dengan sesuatu yang baru. Rakyat Palestina dan Fatah sedang menunggu Hamas untuk menandatangani di perjanjian Mesir agar rekonsiliasi dapat berlangsung," katanya.
Meshaal mengatakan Hamas menginginkan Arab Saudi untuk memainkan peran khusus di samping Mesir dan negara-negara Arab lainnya untuk menyatukan posisi Palestina dan juga untuk mendorong orang-orang Arab untuk menghadapi pemerintah Israel.
Ini adalah pertemuan pertama yang diketahui antara Saudi dan pejabat Hamas sejak Perjanjian Mekkah pada tahun 2007 antara Hamas dan Fatah yang ditengahi Arab Saudi.
Setelah kesepakatan Mekkah, Hamas mengusir gerakan Fatah keluar dari Jalur Gaza. Abbas menjalankan Otorita Palestina di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Pejabat Saudi mengatakan dukungan Iran kepada Hamas telah memperluas keretakan dengan Fatah dan menghambat yang dimulainya perundingan damai.
"Pertemuan ini harus menghilangkan keraguan tentang peran yang dimainkan di kawasan kita," kata Faisal Saudi itu. "Kita harus memperjelas gambar, khususnya kepada para pejabat Palestina, dan juga memahami dari mereka apa orientasi dan tujuan mereka."
Seorang diplomat Barat mengatakan Hamas juga berharap Riyadh akan meyakinkan Kairo untuk meninggalkan rencana untuk membangun tembok baja penghalang bawah tanah di sepanjang perbatasan dengan Jalur Gaza.
Hamas menyebut proyek itu sebagai "dinding kematian" yang bisa menyegel blokade yang dipimpin oleh Israel dengan menyesakkan penyelundup terowongan dari semenanjung Sinai Mesir.
"Dinding bisa membalikkan nasib Hamas," kata diplomat.
Hamas tidak mengakui hak Israel untuk eksis dan menentang strategi Fatah yang berusaha untuk menegosiasikan kesepakatan damai permanen dengan Israel. (iw/ptv/rts) www.suaramedia.com
"Namun, kami berkomitmen untuk melawan pasukan pendudukan Israel," tambahnya.
"Israel harus tahu bahwa jika meluncurkan sebuah serangan baru terhadap Libanon, kami tidak akan berpangku tangan. Kami akan menghadapi agresi itu berdampingan dengan saudara-saudara kita di Libanon - entah itu pejuang perlawanan, tentara, atau orang-orang, untuk mengusir agresi," Baraka menyatakan.
Pada Juli 2006, pasukan perlawanan Hizbullah menembaki patroli Israel di daerah perbatasan, menewaskan tiga tentara Israel dan menangkap dua dari mereka. Israel menanggapi dengan membombardir bagian selatan dan timur Libanon, kemudian melebarkan kampanye pemboman hingga meliputi sebagian besar dari Libanon pada apa yang menjadi 33 hari perang habis-habisan antara Hizbullah dan Israel. Hizbullah membalas dengan intens, rudal harian menghujani utara dan selatan Israel sejauh Haifa.
Perdana Menteri Israel pada saat itu, Ehud Olmert bersumpah untuk menghancurkan kemampuan militer Hizbullah. Hizbullah tidak berjanji untuk menghentikan serangan sampai Israel menghentikan operasinya, yang termasuk penyerangan ke Libanon selatan.
Barulah pada tanggal 14 Agustus sebuah gencatan senjata yang ditengahi oleh PBB mengakhiri permusuhan. Sekitar 1.000 orang, sebagian besar warga sipil Libanon, tewas, dan 1 juta warga sipil Libanon dan sekitar 300.000 hingga 400.000 orang Israel itu sementara mengungsi. Ekonomi kedua negara menderita, meskipun Libanon jauh lebih menderita karena banyak dari infrastruktur negara seperti, jalan, jembatan, pembangkit listrik dan pengolahan air, telah rusak oleh pengeboman Israel.
Sementara itu pada kesempatan yang terpisah, Hamas mengatakan pada hari Minggu bahwa kelompok Islam itu berada di tahap akhir berdamai dengan partai saingannya, Fatah, setelah pemimpinnya bertemu dengan para pejabat Saudi untuk mencoba mempersempit perpecahan.
"Kami membuat langkah besar untuk mencapai rekonsiliasi," pemimpin Hamas Khaled Meshaal mengatakan kepada wartawan di kementerian luar negeri Saudi selama kunjungannya ke Riyadh. "Kami sedang dalam tahap akhir sekarang."
Sebuah usulan dari Mesir untuk mempromosikan rekonsiliasi antara Hamas dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dari kelompok Fatah menyerukan pemilihan presiden dan legislatif yang akan diadakan di Tepi Barat dan Jalur Gaza Juni mendatang.
Meshaal mengatakan Hamas masih memiliki beberapa poin untuk diselesaikan proposal di Mesir.
Azzam al-Ahmad, seorang pejabat senior Fatah, mengatakan Fatah telah menyetujui usulan Mesir dan terserah kepada Hamas baik untuk mengikuti ataupun menolaknya.
"Kami mendesak Hamas untuk menandatanganinya sehingga kita dapat mulai menerapkan perjanjian," ujar Ahmad kepada Reuters.
Pertemuan Meshaal dengan Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Saud al-Faisal ini dirancang untuk membantu rekonsiliasi dari perselisihan yang ada, kata para pejabat Saudi.
Pejabat senior Fatah lain, Zeyad Abu Ein, berkata Meshaal sedang berusaha memasang wajah yang baik di Arab Saudi.
"Khaled Meshaal tidak datang dengan sesuatu yang baru. Rakyat Palestina dan Fatah sedang menunggu Hamas untuk menandatangani di perjanjian Mesir agar rekonsiliasi dapat berlangsung," katanya.
Meshaal mengatakan Hamas menginginkan Arab Saudi untuk memainkan peran khusus di samping Mesir dan negara-negara Arab lainnya untuk menyatukan posisi Palestina dan juga untuk mendorong orang-orang Arab untuk menghadapi pemerintah Israel.
Ini adalah pertemuan pertama yang diketahui antara Saudi dan pejabat Hamas sejak Perjanjian Mekkah pada tahun 2007 antara Hamas dan Fatah yang ditengahi Arab Saudi.
Setelah kesepakatan Mekkah, Hamas mengusir gerakan Fatah keluar dari Jalur Gaza. Abbas menjalankan Otorita Palestina di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Pejabat Saudi mengatakan dukungan Iran kepada Hamas telah memperluas keretakan dengan Fatah dan menghambat yang dimulainya perundingan damai.
"Pertemuan ini harus menghilangkan keraguan tentang peran yang dimainkan di kawasan kita," kata Faisal Saudi itu. "Kita harus memperjelas gambar, khususnya kepada para pejabat Palestina, dan juga memahami dari mereka apa orientasi dan tujuan mereka."
Seorang diplomat Barat mengatakan Hamas juga berharap Riyadh akan meyakinkan Kairo untuk meninggalkan rencana untuk membangun tembok baja penghalang bawah tanah di sepanjang perbatasan dengan Jalur Gaza.
Hamas menyebut proyek itu sebagai "dinding kematian" yang bisa menyegel blokade yang dipimpin oleh Israel dengan menyesakkan penyelundup terowongan dari semenanjung Sinai Mesir.
"Dinding bisa membalikkan nasib Hamas," kata diplomat.
Hamas tidak mengakui hak Israel untuk eksis dan menentang strategi Fatah yang berusaha untuk menegosiasikan kesepakatan damai permanen dengan Israel. (iw/ptv/rts) www.suaramedia.com
Tokoh Militer Israel Salut dengan Kekuatan Militer Hizbullah dan Palestina
M. Lili Nur Aulia – Selasa, 21 Jumadil Akhir 1427 H / 18 Juli 2006 13:38 WIB
Beberapa
hari balasan sengit yang dilakukan pasukan Hizbullah Libanon terhadap
Israel, media-media Israel mulai melansir sejumlah kesaksian prajurit
dan pimpinan intelejen Israel tentang kekuatan perang Hizbullah dan
kecanggihan strategi yang tampak jelas dalam variasi serangan yang
dilakukan ke sejumlah titik Israel.
Islamonline, melansir pernyataan pengamat politik Palestina sekaligus pakar masalah Israel, Shalih Naami. Ia mengatakan, “Kaum Muslimin Arab dan dunia penting sekali mendengarkan kesaksian yang disampaikan para prajurit dan pimpinan intelejen Israel tentang kesuksesan perlawanan Palestina dan Libanon. Bagaimana mereka bisa membongkar sikap diam dunia Arab dan mendorong munculnya semangat perlawanan sebagai alternatif.”
Dalam satu pekan, Hizbullah minimal telah menawan dua serdadu Israel, menewaskan 12 orang militer Israel lainnya, meledakkan kapal perang Israel di pantai Beirut, dan melontarkan berbagai rudal ke kota Haifa yang berjarak kurang lebih 35 km dari perbatasan Libanon dan merupakan kota ketiga terbesar di Israel.
Harian Maarev berbahasa Ibrani menuliskan pernyataan Jendral Ame Ayalon, mantan kepala intelejen Israel Shabak, sekaligus mantan kepala marinir Israel. Ia menyebut aksi penangkapan dua serdadu Israel itu dengan ungkapan ‘operasi militer jitu, strategis dan cerdas.’ Ayalon juga mengatakan ungkapan yang sama terhadap aksi yang dilakukan pada 25 juni oleh tiga unit pejuang Palestina, hingga menewaskan dua orang prajurit dan menahan satu orang lainnya. “Saya seorang tentara, dan saya salut dengan apa yang dilakukan oleh mereka (Hizbullah dan Hamas),” ujarnya.
Seorang pakar militer Israel menyebut serangan Hizbullah yang meledakkan sebuah kapal perang Israel, dan menewaskan empat awaknya, sebagai ‘prestasi’ kelompok perlawanan. “Tidak diragukan lagi meledakkan sebuah kapal perang modern itu adalah prestasi, sebagaimana juga serangan yang dilakukan ke Haifa dengan rudal,” ujarnya.
Ayalon mengatakan adanya ketidakmampuan sayap keamanan Israel dalam masalah ini. Karena itu ia menyerukan program untuk mempersenjatai angkatan laut secara lebih menyeluruh untuk mengambil pelajaran dari serangan Hizbullah.
Sedangkan Karame Gilon, juga mantan ketua Shabak, mengatakan pada Channel 1 televisi Israel, “Saya yakin bahwa Zionis tidak mampu mendirikan negara Israel tahun 1948 jika saat itu sudah ada kekuatan perlawanan sebagaimana pejuang Palestina dan Libanon.”
Seperti diberitakan sebelumnya, Hizbullah telah menangkap dua orang prajurit Israel dan menewaskan 8 orang lainnya dalam sebuah serangan pagi hari Rabu (12/7) di perbatasan Israel. Selanjutnya Israel mengintensifkan serangan militer nya melalui darat, udara maupun laut ke Libanon sebagai pembalasan. Tetapi Hizbullah mampu membalasnya dengan melontarkan sejumlah rudal ke kota-kota Israel yang dekat dengan perbatasan.
Jum’at sore lalu, Hizbullah berhasil meledakkan sebuah kapal perang Israel yang mulai mendekat di pantai Libanon hingga menewaskan empat orang Israel. Inilah serangan pertama kali bagi Israel yang mampu meledakkan sebuah kapal perang mereka sejak perang Arab-Israel tahun 1969. (na-str/iol)
Islamonline, melansir pernyataan pengamat politik Palestina sekaligus pakar masalah Israel, Shalih Naami. Ia mengatakan, “Kaum Muslimin Arab dan dunia penting sekali mendengarkan kesaksian yang disampaikan para prajurit dan pimpinan intelejen Israel tentang kesuksesan perlawanan Palestina dan Libanon. Bagaimana mereka bisa membongkar sikap diam dunia Arab dan mendorong munculnya semangat perlawanan sebagai alternatif.”
Dalam satu pekan, Hizbullah minimal telah menawan dua serdadu Israel, menewaskan 12 orang militer Israel lainnya, meledakkan kapal perang Israel di pantai Beirut, dan melontarkan berbagai rudal ke kota Haifa yang berjarak kurang lebih 35 km dari perbatasan Libanon dan merupakan kota ketiga terbesar di Israel.
Harian Maarev berbahasa Ibrani menuliskan pernyataan Jendral Ame Ayalon, mantan kepala intelejen Israel Shabak, sekaligus mantan kepala marinir Israel. Ia menyebut aksi penangkapan dua serdadu Israel itu dengan ungkapan ‘operasi militer jitu, strategis dan cerdas.’ Ayalon juga mengatakan ungkapan yang sama terhadap aksi yang dilakukan pada 25 juni oleh tiga unit pejuang Palestina, hingga menewaskan dua orang prajurit dan menahan satu orang lainnya. “Saya seorang tentara, dan saya salut dengan apa yang dilakukan oleh mereka (Hizbullah dan Hamas),” ujarnya.
Seorang pakar militer Israel menyebut serangan Hizbullah yang meledakkan sebuah kapal perang Israel, dan menewaskan empat awaknya, sebagai ‘prestasi’ kelompok perlawanan. “Tidak diragukan lagi meledakkan sebuah kapal perang modern itu adalah prestasi, sebagaimana juga serangan yang dilakukan ke Haifa dengan rudal,” ujarnya.
Ayalon mengatakan adanya ketidakmampuan sayap keamanan Israel dalam masalah ini. Karena itu ia menyerukan program untuk mempersenjatai angkatan laut secara lebih menyeluruh untuk mengambil pelajaran dari serangan Hizbullah.
Sedangkan Karame Gilon, juga mantan ketua Shabak, mengatakan pada Channel 1 televisi Israel, “Saya yakin bahwa Zionis tidak mampu mendirikan negara Israel tahun 1948 jika saat itu sudah ada kekuatan perlawanan sebagaimana pejuang Palestina dan Libanon.”
Seperti diberitakan sebelumnya, Hizbullah telah menangkap dua orang prajurit Israel dan menewaskan 8 orang lainnya dalam sebuah serangan pagi hari Rabu (12/7) di perbatasan Israel. Selanjutnya Israel mengintensifkan serangan militer nya melalui darat, udara maupun laut ke Libanon sebagai pembalasan. Tetapi Hizbullah mampu membalasnya dengan melontarkan sejumlah rudal ke kota-kota Israel yang dekat dengan perbatasan.
Jum’at sore lalu, Hizbullah berhasil meledakkan sebuah kapal perang Israel yang mulai mendekat di pantai Libanon hingga menewaskan empat orang Israel. Inilah serangan pertama kali bagi Israel yang mampu meledakkan sebuah kapal perang mereka sejak perang Arab-Israel tahun 1969. (na-str/iol)
Oposisi Suriah Tuntut Detail Rencana Konferensi Perdamaian
http://kabarperang.blogspot.com/2013/05/oposisi-suriah-tuntut-detail-rencana.html
Istanbul: Pembicaraan konflik Suriah di Istanbul,
Turki, Sabtu (25/5), memasuki hari kedua. Namun keputusan menghadiri
konferensi perdamaian kedua di Jenewa masih belum tercapai. Pihak
oposisi menyatakan menunggu itikad baik pemerintah Suriah.
"Kami ingin menghentikan pertumpahan darah, jadi sangat penting untuk memiliki isyarat itikad baik dari kedua pihak," kata Juru Bicara Koalisi Nasional Suriah (SNC) Khaled Saleh dalam pertemuan tersebut.
"Kami ingin membuat kepastian bahwa jika kami memasuki perundingan ini, pertumpahan darah di Suriah akan berhenti," tambah dia.
Saleh juga mengatakan pihaknya memerlukan detail lebih lanjut terkait konferensi, dan yang terpenting ialah undangan langsung dari PBB.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Rusia mengumumkan bahwa pemerintah Suriah mengonfirmasi menghadiri konferensi perdamian kedua di Jenewa pada Juni mendatang. Pertemuan tersebut diprakarsai Rusia dan Amerika Serikat.
Juru bicara Koalisi Nasional Suriah (SNC) Louay Safi mengatakan bahwa, "Kami ingin memperjelas bahwa Rusia tidak mendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad. Jika permintaan itu disepakati, kami akan buka solusi politik."
SNC meragukan itikad baik pemerintah Suriah. "Pernyataan ini masih belum jelas. Pertama, kami ingin mendengar dari juru bicara pemerintah Suriah mengenai alasan Rusia berbicara atas nama Suriah," tutur Safi.
Konflik Suriah telah berlangsung sejak dua tahun lalu, yang menewaskan lebih dari 80.000 orang dari kedua belah pihak. Konflik ini memaksa ribuan orang mengungsi ke negera tetangga.\
"Kami ingin menghentikan pertumpahan darah, jadi sangat penting untuk memiliki isyarat itikad baik dari kedua pihak," kata Juru Bicara Koalisi Nasional Suriah (SNC) Khaled Saleh dalam pertemuan tersebut.
"Kami ingin membuat kepastian bahwa jika kami memasuki perundingan ini, pertumpahan darah di Suriah akan berhenti," tambah dia.
Saleh juga mengatakan pihaknya memerlukan detail lebih lanjut terkait konferensi, dan yang terpenting ialah undangan langsung dari PBB.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Rusia mengumumkan bahwa pemerintah Suriah mengonfirmasi menghadiri konferensi perdamian kedua di Jenewa pada Juni mendatang. Pertemuan tersebut diprakarsai Rusia dan Amerika Serikat.
Juru bicara Koalisi Nasional Suriah (SNC) Louay Safi mengatakan bahwa, "Kami ingin memperjelas bahwa Rusia tidak mendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad. Jika permintaan itu disepakati, kami akan buka solusi politik."
SNC meragukan itikad baik pemerintah Suriah. "Pernyataan ini masih belum jelas. Pertama, kami ingin mendengar dari juru bicara pemerintah Suriah mengenai alasan Rusia berbicara atas nama Suriah," tutur Safi.
Konflik Suriah telah berlangsung sejak dua tahun lalu, yang menewaskan lebih dari 80.000 orang dari kedua belah pihak. Konflik ini memaksa ribuan orang mengungsi ke negera tetangga.\
Mengintip Kekuatan Nuklir dan Bom Atom Iran
BERANEKA kamera pengawas dan senjata otomatis tersebar di sejumlah sudut kompleks bangunan kelabu di belahan utara Kota Tel Aviv. 'Institut', demikian warga setempat menyebut kompleks tersebut, yang tak lain adalah kantor badan intelijen Israel, Mossad.
Di tempat itulah perencanaan serangkaian serangan terhadap sejumlah ilmuwan nuklir Iran diduga berlangsung. Korban terkini ialah Mostafa Ahmadi-Roshan, 31, salah seorang petinggi fasilitas pengayaan uranium Natanz yang tewas akibat bom mobil di Teheran, 12 Januari lalu.
Kematian Ahmadi-Roshan ditengarai hanyalah awal dari serangan terbuka 'Negeri Yahudi' ke sejumlah fasilitas nuklir Iran. Target mereka beragam, mulai lokasi pengayaan uranium dekat Kota Natanz dan Qom, reaktor nuklir yang sedang dibangun di Arak, hingga pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr.
Soal waktu, majalah Jerman Der Spiegel punya estimasi. Berdasarkan rekaman pembicaraan antara politisi Israel, pejabat militer, dan pejabat Mossad, serangan ke Iran bakal direalisasikan dalam kurun Juni hingga November nanti. Di sisi lain, sejumlah pejabat Amerika Serikat menduga serangan Israel mungkin diwujudkan pada Mei mendatang.
Kecepatan serangan ke fasilitas nuklir Iran sangat mungkin didasari prinsip 'serangan pendahuluan' (preemptive strike) yang terangkum dalam literatur Yudaisme, Talmud. Salah satunya berbunyi, 'Jika seseorang akan membunuhmu, bunuhlah orang tersebut terlebih dulu'.
Adolf Hitler
Prinsip tersebut diresapi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pria yang akrab disapa 'Bibi' itu menuding klaim Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad tentang penggunaan nuklir bagi kepentingan energi sipil hanyalah isapan jempol belaka.
Apalagi, laporan terkini Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyebutkan betapa kemampuan pengayaan uranium Iran telah berkembang pesat. Hal itu sejalan dengan laporan National Intelligence Estimate bertajuk Iran: Nuclear Intentions and Capabilities.
Dokumen kumpulan badan intelijen Amerika Serikat pada November 2007 silam itu mengklaim Iran dapat memproduksi senjata nuklir pada periode 2010 hingga 2015. Iran, tulis laporan tersebut, telah memiliki ribuan mesin pemutar (centrifuge) yang sanggup memperkaya uranium sehingga dapat dijadikan senjata nuklir.
Selain menyitir soal teknis, Netanyahu menyeriusi ucapan Ahmadinejad mengenai penghapusan Israel dari peta dunia. Baginya, situasi saat ini mirip ketika rakyat Eropa meremehkan
propaganda Adolf Hitler pada era 1930-an. "Sekarang 1938 dan Iran adalah Jerman," cetusnya.
Lain dengan Netanyahu, alasan Menteri Pertahanan Ehud Barak lebih taktis. Menurut dia, Israel harus cepat mengambil tindakan lantaran program nuklir Iran akan memicu persaingan senjata di kawasan Timur Tengah. Apa yang terjadi, tanya Barak, jika Iran menempatkan senjata nuklir mereka di Libanon untuk melindungi Hezbollah?
Dengan menggunakan argumentasi tersebut, militer Israel mulai mengambil ancang-ancang. Pada November lalu, pilot-pilot terbaik dari skuadron 117 angkatan udara Israel membawa 16 pesawat pengebom untuk berlatih di pesisir Laut Mediterania.
Program latihan meliputi pengisian bahan bakar di udara, terbang rendah dalam berbagai formasi, dan simulasi menjatuhkan bom penghancur bungker. Ikut diuji pula rudal balistik Jericho III yang berdaya jelajah 6.500 kilometer dan mampu membawa hulu ledak nuklir.
Dari sisi diplomasi, Israel diduga telah melobi Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk memberikan izin pemakaian ruang udara bagi pesawat-pesawat tempur 'Negeri Bintang Daud' yang menuju Iran. Sebagaimana dipaparkan laman Wikileaks yang membocorkan pesan rahasia Kedutaan Besar AS di Arab Saudi, Raja Abdullah mengatakan kepada Dubes AS di Riyadh, "Sudah saatnya memotong kepala sang ular (Iran)."
Kekuatan Iran
Sejak menumbangkan Shah melalui revolusi Islam pada 1979, kekuatan para mullah di Iran jelas tidak bisa dipandang sebelah mata. Untuk menggempur 'Negeri Persia', militer Israel harus berhadapan dengan dua organisasi berani mati, yakni milisi Basij dan Pasdaran atau 'laskar pelindung revolusi Islam'.
Yang terakhir disebut merupakan organisasi penting pemegang kekuatan ekonomi dan politik Iran. Anggota-anggota Pasdaran pun menduduki sejumlah jabatan penting di berbagai bidang, termasuk pemerintahan. Fokus mereka saat ini berpusat kepada program nuklir.
Perusahaan-perusahaan yang dimiliki Pasdaran membangun terowongan rahasia, semisal lorong fasilitas nuklir Fordo dekat Kota Qom yang tersembunyi di perut pegunungan. Ilmuwan-ilmuwan anggota Pasdaran terlibat dalam proses pengayaan uranium. Bahkan, pasukan elite Pasdaran bertugas melindungi fasilitas nuklir Iran.
"Jika pesawat-pesawat jet mereka (Israel) bisa menghindari sistem pertahanan udara Iran, rudal darat kami akan menghancurkan markas mereka sebelum rudal mereka mendarat," tegas Amir Ali Hajizadeh, komandan angkatan udara Pasdaran.
Berbicara soal rudal, koleksi Iran cukup bervariasi. Sebut saja rudal Shahab 3 dengan jangkauan hingga 2.000 km, rudal Ghadr 1 yang berdaya jelajah mencapai 1.800 km, dan rudal Sejjil dengan cakupan sejauh 2.000 km. Itu belum termasuk sistem pertahanan udara mumpuni yang diduga dipasok Rusia.
Menurut Abdullah Toukan dari Center for Strategic and International Studies, Iran sanggup menangkal serangan udara berkat peranti Antey-2500 Mobile System buatan Rusia. Dalam makalah berjudul Study on a Possible Israeli Strike on Iran’s Nuclear Development Facilities, Toukan berargumen perkakas itu sanggup menembak jatuh rudal Israel yang berdaya jelajah 2.000 km-2.500 km.
Berisiko besar
Selain kemampuan Iran untuk membalas serangan Israel, terdapat sedikitnya tiga faktor lain yang membuat Netanyahu harus berpikir ulang untuk melaksanakan aksinya.
"Seluruh Iran begitu rentan," kata Deputi Perdana Menteri Israel Dan Meridor. "Mereka tidak akan hanya menyasar serdadu Israel. Tujuan utama mereka adalah warga sipil."
Analisis tersebut diamini mantan pejabat Gedung Putih untuk urusan pemberantasan terorisme, Richard Clarke. Menurut dia, Israel akan jadi sasaran empuk kelompok Hezbollah di Libanon yang terbukti perkasa pada perang 2006 lalu. "Jika Hezbollah meluncurkan ribuan roket ke Israel, ratusan warga akan tewas. Untuk negara kecil, itu sangat menghancurkan."
Risiko berikut ialah kenaikan harga minyak. Serangan Israel bakal mendorong Iran menutup Selat Hormuz yang dilalui 20% dari seluruh kapal tanker minyak dunia. Tak hanya itu, serangan akan membuat produksi minyak di Iran terhenti. Imbasnya, harga minyak dunia akan melonjak naik.
Faktor selanjutnya ialah determinasi Iran. Yossi Melman, pengamat keamanan dan strategi Israel, menilai serangan Israel hanya akan melecut Teheran untuk memproduksi senjata nuklir besar-besaran.
"Katakanlah beberapa fasilitas nuklir berhasil dihancurkan. Iran hanya perlu beberapa tahun untuk membangunnya kembali dan mereka punya legitimasi untuk mengatakan, 'Kami diserang oleh negara yang punya senjata nuklir dan kami harus mempertahankan diri kami'," papar Melman.
Bila itu terjadi, perimbangan kekuatan Timur Tengah praktis terancam lantaran AS, Rusia, dan Eropa akan terseret ke kancah peperangan.
"Kejelekan terbesar adalah perang. Begitu Anda memulai perang, Anda tidak akan tahu bagaimana akhirnya," pungkas Melman.
SUmber : MediaIndonesia.com
Publishing by Jekethek-:-Blog Berita Indonesia Terbaru Hari ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar