PANCASILA & UUD 1945 & PROKLAMASI 17.81945.
Rumusan-rumusan Pancasila
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumusan-rumusan_Pancasila
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
|
Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diterima secara luas
dan telah bersifat final. Hal ini kembali ditegaskan dalam Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998
tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar
Negara jo Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan
Tahun 2002. Selain itu Pancasila sebagai dasar negara merupakan hasil
kesepakatan bersama para Pendiri Bangsa yang kemudian sering disebut sebagai
sebuah “Perjanjian Luhur” bangsa Indonesia.
Namun dibalik itu terdapat sejarah panjang
perumusan sila-sila Pancasila dalam perjalanan ketata negaraan Indonesia.
Sejarah ini begitu sensitif dan salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal
ini dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan
berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan pencetus
istilah Pancasila. Artikel ini sedapat mungkin menghindari polemik dan
kontroversi tersebut. Oleh karena itu artikel ini lebih bersifat suatu
"perbandingan" (bukan "pertandingan") antara rumusan satu
dengan yang lain yang terdapat dalam dokumen-dokumen yang berbeda. Penempatan
rumusan yang lebih awal tidak mengurangi kedudukan rumusan yang lebih akhir.
Dari kronik sejarah setidaknya ada beberapa
rumusan Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu
dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara
berturut turut akan dikemukakan rumusan dari Muh Yamin, Sukarno, Piagam
Jakarta, Hasil BPUPKI,
Hasil PPKI,
Konstitusi RIS, UUD
Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda,
dan Versi populer yang berkembang di masyarakat.
Rumusan I: Moh. Yamin, Mr.
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang
dilaksanakan pada 29
Mei – 1 Juni
1945 beberapa
anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan
konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan
didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Mohammad Yamin menyampaikan usul dasar negara
dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang
disampaikan kepada BPUPKI.
Rumusan Pidato
Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam
presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima
calon dasar negara yaitu[1]:
- Peri Kebangsaan
- Peri Kemanusiaan
- Peri ke-Tuhanan
- Peri Kerakyatan
- Kesejahteraan Rakyat
Rumusan Tertulis
Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat
menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis
yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata
dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu[2]:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kebangsaan Persatuan Indonesia
- Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
- Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan II: Soekarno, Ir.
Selain Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga
menyampaikan usul dasar negara, diantaranya adalah Ir Sukarno[3].
Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir
Pancasila. Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan
calon dasar negara yaitu lima
prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula-lah yang mengemukakan dan
menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran
seorang ahli bahasa (Muhammad Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena
itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila[4].
Rumusan Pancasila [5]
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
- Mufakat,-atau demokrasi
- Kesejahteraan sosial
- ke-Tuhanan yang maha esa
Rumusan Trisila [6]
- Socio-nationalisme
- Socio-demokratis
- ke-Tuhanan
Rumusan Ekasila [7]
- Gotong-Royong
Rumusan III: Piagam Jakarta
Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah
dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni 1945. Selama reses
antara 2 Juni
– 9 Juli 1945, delapan orang
anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan
menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk. Pada 22 Juni 1945 panitia kecil
tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal.
Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian
dikenal dengan sebutan "Panitia Sembilan") yang bertugas untuk
menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan agama
anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang
menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki
bentuk negara sekuler
dimana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama.
Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan
tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”. Dokumen ini
pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin.
Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari
dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan
pernyataan kemerdekaan/proklamasi/declaration of independence). Rumusan ini
merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para "Pendiri
Bangsa".
Rumusan kalimat [8]
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Alternatif pembacaan
Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan
dasar negara pada Piagam Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas
persetujuan kedua golongan dalam BPUPKI sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan
anak kalimat terakhir dalam paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak
kalimat.
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan,
[A] dengan
kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar[:]
[A.1]
kemanusiaan yang adil dan beradab,
[A.2]
persatuan Indonesia,
dan
[A.3]
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan[;]
serta
[B] dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan populer
Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut
Piagam Jakarta yang beredar di masyarakat adalah:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan IV: BPUPKI
Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang
berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”
(baca Piagam Jakarta) dibahas kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10
dan 14 Juli 1945. Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah
dan diperluas menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu Declaration of
Independence (berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan
Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan sedikitpun). Rumusan yang
diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya sedikit berbeda
dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan menghilangkan kata “serta” dalam sub
anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang
merupakan rumusan resmi pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas[9].
Rumusan kalimat [10]
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan V: PPKI
Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan
diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal dari
kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI Jepang) menimbulkan
situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus
1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara,
Sulawesi, dan Kalimantan), diantaranya A. A.
Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi
bagian dasar negara. Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan,
Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula,
wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul
penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui
penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sebuah “emergency
exit” yang hanya bersifat sementara dan demi keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul
penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat
pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus
Hadikusumo. Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan dipakai
oleh bangsa Indonesia
hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal dengan UUD 1945.
Rumusan kalimat [11]
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha
Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan VI: Konstitusi RIS
Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah
Republik Indonesi semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949 Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta
(RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk negara federal yang disodorkan
pemerintah kolonial Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan
hanya menjadi sebuah negara bagian saja. Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI
pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri
mempunyai sebuah Konstitusi Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan
seluruh negara bagian dari RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara
terdapat dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui
pada 14
Desember 1949
oleh enam belas negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS.
Rumusan kalimat [12]
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan keadilan sosial
Rumusan VII: UUD Sementara
Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai
menempuh jalan kehancuran. Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS
membubarkan diri dan bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta.
Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI
Yogyakarta, NIT[13],
dan NST[14].
Setelah melalui beberapa pertemuan yang intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai
kuasa dari NIT dan NST, menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan
perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara. Perubahan tersebut dilakukan
dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi
Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN
RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No 37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950.
Rumusan dasar negara kesatuan ini terdapat dalam paragraf keempat dari
Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara Tahun 1950.
Rumusan kalimat[15]
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan keadilan sosial
Rumusan VIII: UUD 1945
Kegagalan Konstituante
untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15
Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli
1959 Presiden Indonesia saat itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan
Dekrit Kepala Negara yang salah satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD
yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia
menggantikan UUD Sementara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan
Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang
digunakan.
Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang
pernah menjadi lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat
antara tahun 1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, diantaranya:
- Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
- Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Rumusan kalimat [16]
“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan IX: Versi Berbeda[17]
Selain mengutip secara utuh rumusan dalam UUD
1945, MPR pernah membuat rumusan yang agak sedikit berbeda. Rumusan ini
terdapat dalam lampiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia
dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
Rumusan
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan sosial.
Rumusan X: Versi Populer[18]
Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah
rumusan yang beredar dan diterima secara luas oleh masyarakat. Rumusan
Pancasila versi populer inilah yang dikenal secara umum dan diajarkan secara
luas di dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada
dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata
“dan” serta frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat terakhir.
Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap
MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa)
Rumusan
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Epilog
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal
1 Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 jo Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 jo Pasal I
Aturan Tambahan UUD 1945).
Catatan kaki
1.
^
Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang
BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RIselanjutnya disebut Risalah
2
3.
^
Sidang Sesi I BPUPKI tidak hanya membahas mengenai
calon dasar negara namun juga membahas hal yang lain. Tercatat dua anggota Moh.
Hatta, Drs. dan Supomo,
Mr. mendapat kesempatan berpidato yang agak panjang. Hatta berpidato
mengenai perekonomian Indonesia
sedangkan Supomo yang kelak menjadi arsitek UUD berbicara mengenai corak Negara
Integralistik
13.
^
Negara Indonesia Timur, wilayahnya meliputi Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya, Kepulauan Nusa
Tenggara, dan seluruh kepulauan Maluku
16.
^
UUD 1945 (dekrit 1959), Tap MPR No XVIII/MPR/1998,
Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan
Referensi
- UUD 1945
- Konstitusi RIS (1949)
- UUD Sementara (1950)
- Berbagai Ketetapan MPRS dan MPR RI
- Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RI
- Tim Fakultas Filsafat UGM (2005) Pendidikan Pancasila. Edisi 2. Jakarta: Universitas Terbuka
Lihat pula
- Garuda Pancasila
- Pancasila sebagai FIlsafat dan Ideologi Negara Indonesia
Sejarah | ||
---|---|---|
Tokoh terkait | ||
Badan terkait | ||
Hal terkait |
|
Menu navigasi
Komunitas
Wikipedia
Bagikan
Cetak/ekspor
Peralatan
- Halaman ini terakhir diubah pada 04.14, 14 April 2013.
- Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creative Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.
Revitalisasi Pancasila di Tengah Dua Fundamentalisme
13 Apr 2013 11:21:57
http://www.aktual.co/kakihari/160836revitalisasi-pancasila-ditengah-dua-fundamentalisme-bagian-ke-2
Yudi Latif (Foto: Aktual.co/Istimewa)
Jakarta, Aktual.co ---
Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja daripada dunia!
Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: ‘Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan,
My nationalism is humanity’….
Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka,
tetapi harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa….
Inilah filosofisch principle yang nomor dua, …yang boleh saya namakan ‘internasionalisme.
Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme,
yang tidak mau adanya kebangsaan….
(Soekarno, 1 Juni 1945)
Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: ‘Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan,
My nationalism is humanity’….
Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka,
tetapi harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa….
Inilah filosofisch principle yang nomor dua, …yang boleh saya namakan ‘internasionalisme.
Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme,
yang tidak mau adanya kebangsaan….
(Soekarno, 1 Juni 1945)
Dengan
berlalunya perang dingin, dua ekstrem fundamentalisme menebar ancaman
baru bagi masa depan bangsa dan kemanusian: fundamentalisme agama dan
fundamentalisme pasar. Keduanya merupakan dua sisi dari koin yang sama,
bernama “globalisme triumphalis”, yang berlomba menaklukan setiap
jengkal dunia hidup atas dasar hegemoni penunggalan agama dan pasar.
Kedua jenis fundamentalisme ini membonceng arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya. Situasi demikian memungkinkan keduanya menjelma menjada fenomena yang serba hadir (ubiquitous) yang dapat merusak tatanan perikemanusian dan perikebangsaan.
Dalam konteks Indonesia, dasar falsafah bernegara, Pancasila, sesungguhnya telah mengantisipasi dampak buruk dari globalisasi itu. Secara umum, sila kedua. “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, menekankan prinsip agar globalisasi (internasionalisme) yang dikembangkan hendaknya memuliakan nilai-nilai keadilan dan keberadaban. Secara khusus, sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menekankan prinsip ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran, yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sedangkan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, menekankan prinsip yang menolak dominasi pasar dengan mengupayakan keseimbangan antara peran negara, komunitas (koperasi), dan pasar (swasta).
Untuk mencegah dampak buruk dari ancaman fundamentalisme agama dan pasar, tulisan ini menganjurkan perlunya melakukan revitalisasi Pancasila dalam memuliakan hak-hak azasi manusia dalam kerangka negara-bangsa, dengan memahami dan mengaktualkan ide-ide pokoknya.
Globalisasi dan Dampak Ideologisnya
Globalisasi modern dan pasca-modern menemukan pijakannya dari perlombaan gengsi antarnegara adikuasa yang mengarah pada penemuan-penemuan teknologi mutakhir, terutama dalam bidang persenjataan yang kemudian berkelindan dengan bidang telematika. Pada 4 Oktober 1957, satelit pertama buatan manusia, “Sputnik 1”, diluncurkan oleh Uni Soviet. Peluncuran ini memicu lomba ruang angkasa (space race) antara Soviet dan Amerika. Pada 31 Juli 1958, AS berhasil meluncurkan satelit pertamanya, “Explorer 1”. Pada Juni 1961, Angkatan Udara Amerika menggunakan berbagai fasilitas dari Jaringan Mata Angkasa Amerika (the United States Space Surveillance Network) untuk mengkatalogkan sejumlah 115 satelit yang mengorbit bumi.
Keberadaan satelit ini, yang kemudian disusul oleh penemuan fiber optic, serta aneka kecanggihan teknologi informasi dan telekomunikasi, menandai era baru dalam komunikasi antarmanusia yang melampaui hambatan-hambatan ruang dan waktu. Dengan berbagai penemuan mutakhir dalam bidang komunikasi dan informatika, dunia mengalami arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya. Yang dimaksud dengan globalisasi dini, seperti kata Anthony Giddens (1990), ”adalah intensifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh di seberang dan begitupun sebaliknya” (Globalization is the intensivication of world-wide social relations Which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice versa).
Revolusi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi membawa ’distansiasi ruang-waktu’ (time-space distanciation) sekaligus ’pemadatan ruang-waktu’ (time-space compression) yang merobohkan batas-batas ruang dan waktu konvensional (Giddens, 1999; Harvey, 1989). Dengan fenomena ini, globalisasi merestukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan.
Kedua jenis fundamentalisme ini membonceng arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya. Situasi demikian memungkinkan keduanya menjelma menjada fenomena yang serba hadir (ubiquitous) yang dapat merusak tatanan perikemanusian dan perikebangsaan.
Dalam konteks Indonesia, dasar falsafah bernegara, Pancasila, sesungguhnya telah mengantisipasi dampak buruk dari globalisasi itu. Secara umum, sila kedua. “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, menekankan prinsip agar globalisasi (internasionalisme) yang dikembangkan hendaknya memuliakan nilai-nilai keadilan dan keberadaban. Secara khusus, sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menekankan prinsip ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran, yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sedangkan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, menekankan prinsip yang menolak dominasi pasar dengan mengupayakan keseimbangan antara peran negara, komunitas (koperasi), dan pasar (swasta).
Untuk mencegah dampak buruk dari ancaman fundamentalisme agama dan pasar, tulisan ini menganjurkan perlunya melakukan revitalisasi Pancasila dalam memuliakan hak-hak azasi manusia dalam kerangka negara-bangsa, dengan memahami dan mengaktualkan ide-ide pokoknya.
Globalisasi dan Dampak Ideologisnya
Globalisasi modern dan pasca-modern menemukan pijakannya dari perlombaan gengsi antarnegara adikuasa yang mengarah pada penemuan-penemuan teknologi mutakhir, terutama dalam bidang persenjataan yang kemudian berkelindan dengan bidang telematika. Pada 4 Oktober 1957, satelit pertama buatan manusia, “Sputnik 1”, diluncurkan oleh Uni Soviet. Peluncuran ini memicu lomba ruang angkasa (space race) antara Soviet dan Amerika. Pada 31 Juli 1958, AS berhasil meluncurkan satelit pertamanya, “Explorer 1”. Pada Juni 1961, Angkatan Udara Amerika menggunakan berbagai fasilitas dari Jaringan Mata Angkasa Amerika (the United States Space Surveillance Network) untuk mengkatalogkan sejumlah 115 satelit yang mengorbit bumi.
Keberadaan satelit ini, yang kemudian disusul oleh penemuan fiber optic, serta aneka kecanggihan teknologi informasi dan telekomunikasi, menandai era baru dalam komunikasi antarmanusia yang melampaui hambatan-hambatan ruang dan waktu. Dengan berbagai penemuan mutakhir dalam bidang komunikasi dan informatika, dunia mengalami arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya. Yang dimaksud dengan globalisasi dini, seperti kata Anthony Giddens (1990), ”adalah intensifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh di seberang dan begitupun sebaliknya” (Globalization is the intensivication of world-wide social relations Which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice versa).
Revolusi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi membawa ’distansiasi ruang-waktu’ (time-space distanciation) sekaligus ’pemadatan ruang-waktu’ (time-space compression) yang merobohkan batas-batas ruang dan waktu konvensional (Giddens, 1999; Harvey, 1989). Dengan fenomena ini, globalisasi merestukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan.
Berhembus pertama kali dari pusat-pusat adidaya, globalisasi
pada akhirnya menerpa semua bagian dunia, tak terkecuali negara adikuasa
sendiri, meskipun dengan konsekuensi yang tak merata. Dengan perluasan,
pendalaman dan percepatan globalisasi ini, lingkungan strategik yang
mempengaruhi perkembangan negara-bangsa merupakan resultante dari
kesalingterkaitan antar berbagai elemen terpenting dalam lingkungan
global, regional, nasional, dan lokal. Dampak yang ditimbulkannya
bersifat mendua, yang dikenal dengan istilah ’global paradox’: memberi
peluang dan hambatan, positif dan negatif
Pada ranah negara-bangsa (nation-state) di satu sisi, globalisasi menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal, tunduk pada arus global interdependence, yang membuat negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi (secara sendirian) tantangan-tantangan global. Dalam situasi kesalingtergantungan, tidak ada negara yang bisa mengisolasi dirinya. Kelemahan suatu elemen negara terhadap penetrasi kekuatan global ini bisa melumpuhkan dirinya. Bahkan negara adikuasa seperti Uni Soviet menjadi korban globaliasi yang didorong temuan-temuan teknologinya sendiri. Kesulitan-kesulitan ekonomis yang ditimbulkan oleh mismanajemen yang bertaut dengan tekanan globalisasi memaksa Pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev meluncurkan program reformasi, perestroika dan glasnost. Secara konstan, Uni Soviet kehilangan kekuatan dan kekuasaannya terhadap Eropa Timur dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1991. Meski dalam kadar dan implikasi yang tak sama, krisis perekonomian sebagai konsekuenasi globalisasi juga melanda Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya pada awal milinium baru.
Di sisi lain, globalisasi juga menekan (push down) negara-bangsa, yang mendorong ledakan ke arah desentralisasi dan otonomisasi. Negara-bangsa menjadi dirasa terlalu besar untuk menyelesaikan renik-renik masalah di tingkal lokal, yang menyulut merebaknya etno-nasionalisme dan tuntutan otonomi lokal beriringan dengan revivalisme identitas-indentitas kultural.
Pada ranah negara-bangsa (nation-state) di satu sisi, globalisasi menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal, tunduk pada arus global interdependence, yang membuat negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi (secara sendirian) tantangan-tantangan global. Dalam situasi kesalingtergantungan, tidak ada negara yang bisa mengisolasi dirinya. Kelemahan suatu elemen negara terhadap penetrasi kekuatan global ini bisa melumpuhkan dirinya. Bahkan negara adikuasa seperti Uni Soviet menjadi korban globaliasi yang didorong temuan-temuan teknologinya sendiri. Kesulitan-kesulitan ekonomis yang ditimbulkan oleh mismanajemen yang bertaut dengan tekanan globalisasi memaksa Pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev meluncurkan program reformasi, perestroika dan glasnost. Secara konstan, Uni Soviet kehilangan kekuatan dan kekuasaannya terhadap Eropa Timur dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1991. Meski dalam kadar dan implikasi yang tak sama, krisis perekonomian sebagai konsekuenasi globalisasi juga melanda Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya pada awal milinium baru.
Di sisi lain, globalisasi juga menekan (push down) negara-bangsa, yang mendorong ledakan ke arah desentralisasi dan otonomisasi. Negara-bangsa menjadi dirasa terlalu besar untuk menyelesaikan renik-renik masalah di tingkal lokal, yang menyulut merebaknya etno-nasionalisme dan tuntutan otonomi lokal beriringan dengan revivalisme identitas-indentitas kultural.
Dalam planet bumi yang
dirasa kian ”mengecil”, jumlah negara bangsa justru kian bertambah.
Antara 1960 dan 2006, anggota PBB bertambah hampir dua kali lipat dari
99 menjadi 192, dengan pertambahan cepat terjadi menyusul kehancuran
Blok-Timur (antara 1992-2006 terjadi penambahan sekitar 13 anggota
baru). Seiring dengan itu, antara 1975 dan 2002, lebih dari 60
(asosiasi) kebangsaan diterima sebagai anggota baru Federation of
International Football Association (FIFA). Bagi Indonesia sendiri,
tekanan globalisasi yang bertaut dengan demokratisasi ini mendorong
otonomisasi daerah dan pemekaran wilayah disertai kecenderungan
revivalisme etno-religius.
Pada ranah ekonomi, di satu sisi, pergerakan global dari ide-ide, orang, teknologi dan barang memberi peluang-peluang baru dalam perekonomian, terutama bagi negara-bangsa dan pelaku ekonomi yang memiliki keunggulan kompetitif. Perdagangan dunia saat ini jauh lebih luas cakupannya dan instan kecepatannya di banding periode mana pun dalam sejarah umat manusia. Yang paling menonjol adalah lonjakan dalam tingkat arus finansial dan kapital yang difasilitasi oleh perekonomian elektronik (economy electronic). Intensifikasi penguasaan ruang dan waktu lewat arus globalisasi berpengaruh besar bagi perilaku dunia usaha.
Pada ranah ekonomi, di satu sisi, pergerakan global dari ide-ide, orang, teknologi dan barang memberi peluang-peluang baru dalam perekonomian, terutama bagi negara-bangsa dan pelaku ekonomi yang memiliki keunggulan kompetitif. Perdagangan dunia saat ini jauh lebih luas cakupannya dan instan kecepatannya di banding periode mana pun dalam sejarah umat manusia. Yang paling menonjol adalah lonjakan dalam tingkat arus finansial dan kapital yang difasilitasi oleh perekonomian elektronik (economy electronic). Intensifikasi penguasaan ruang dan waktu lewat arus globalisasi berpengaruh besar bagi perilaku dunia usaha.
Pergeseran modus produksi Fordisme (yang kaku dan kurang mobil) ke sistem akumulasi fleksibel (yang beroperasi dengan kelenturan dan layanan just-in-time)
merupakan eksemplar bagaimana pengolalaan atas ruang dan waktu semakin
signifikan dalam kapitalisme lanjut di era globalisasi ini.
Di sini lain, dengan posisi awal dan konsekuensinya yang tidak sama, globalisasi membelah dunia ke dalam pihak ”yang menang” (winners) dan ”yang kalah” (losers), serta menumbuhkan ketidaksetaraan baik secara internasional maupun dalam negara-bangsa (Hobsbawm, 2007: 3). Selain itu, kecenderungan negara-negara terbelakang untuk terjerat utang luar negeri, korupsi dan lemah dalam kontrol regulasi memudahkan penetrasi korporasi-korporasi internasional (dengan jejak rekam yang buruk dalam soal lingkungan) untuk merelokasi usahanya ke negara-negara tersebut. Akibatnya, globalisasi bukan saja menimbulkan ”global village” (dusun dunia), tetapi juga ”global pillage” (perampasan dunia).
Globalisasi juga menjadi kendaraan emas bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi dalam skala mondial. Kecenderungan ini mengakibatkan pasar menjadi berkembang begitu bebas tanpa ada satu kekuatan pun yang dapat memastikan apa yang akan terjadi, yang akan mempengaruhi kemandirian perekonomian nasional. Pasar bebas dunia pada gilirannya melemahkan kemampuan negara-bangsa dan sistem-sistem kesejahteraan untuk melindungi jalan hidupnya (Hobsbawm, 2007: 4).
Globalisasi dan perdagangan bebas juga mengandung kemungkinan gejala ”penunggang bebasnya” (free-riders) tersendiri. Bahwa suatu organisme bisa melakukan tindakan di luar tujuan aslinya, bahkan melakukan sesuatu yang berkebalikan dari niat awalnya.
Di sini lain, dengan posisi awal dan konsekuensinya yang tidak sama, globalisasi membelah dunia ke dalam pihak ”yang menang” (winners) dan ”yang kalah” (losers), serta menumbuhkan ketidaksetaraan baik secara internasional maupun dalam negara-bangsa (Hobsbawm, 2007: 3). Selain itu, kecenderungan negara-negara terbelakang untuk terjerat utang luar negeri, korupsi dan lemah dalam kontrol regulasi memudahkan penetrasi korporasi-korporasi internasional (dengan jejak rekam yang buruk dalam soal lingkungan) untuk merelokasi usahanya ke negara-negara tersebut. Akibatnya, globalisasi bukan saja menimbulkan ”global village” (dusun dunia), tetapi juga ”global pillage” (perampasan dunia).
Globalisasi juga menjadi kendaraan emas bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi dalam skala mondial. Kecenderungan ini mengakibatkan pasar menjadi berkembang begitu bebas tanpa ada satu kekuatan pun yang dapat memastikan apa yang akan terjadi, yang akan mempengaruhi kemandirian perekonomian nasional. Pasar bebas dunia pada gilirannya melemahkan kemampuan negara-bangsa dan sistem-sistem kesejahteraan untuk melindungi jalan hidupnya (Hobsbawm, 2007: 4).
Globalisasi dan perdagangan bebas juga mengandung kemungkinan gejala ”penunggang bebasnya” (free-riders) tersendiri. Bahwa suatu organisme bisa melakukan tindakan di luar tujuan aslinya, bahkan melakukan sesuatu yang berkebalikan dari niat awalnya.
Dalam konteks kelembagaan antarbangsa, ada beberapa institusi
yang semula didirikan dengan tujuan menolong, justru digunakan untuk
tujuan sebaliknya. Hal inilah yang terjadi dengan IMF dan World Bank.
Ketika didirikan, premis kebijakannya diletakkan pada
pengandaian-pengandaian John Maynard Keynes. Tetapi kemudian IMF menjadi
pintu bagi terjadinya globalisasi korporasi dan juga kegiatan spekulasi
tingkat dunia, tanpa memperhatikan dampak tingkah lakunya.
Pemiskinan global mengalami percepatan terutama dengan rejim pemotongan pajak dan minimal state sejak tahun ’80-an, yang kemudian mendorong korporasi-korporasi swasta (internasional) mengambil alih hampir semua kegiatan ekonomi, dan mengambil keuntungan dengan persentasi yang luar biasa besar.
Pemiskinan global mengalami percepatan terutama dengan rejim pemotongan pajak dan minimal state sejak tahun ’80-an, yang kemudian mendorong korporasi-korporasi swasta (internasional) mengambil alih hampir semua kegiatan ekonomi, dan mengambil keuntungan dengan persentasi yang luar biasa besar.
Pada saat yang sama, IMF dan World Bank tidak dapat
dijangkau dengan alat kedaulatan hukum apapun, bahkan hukum
internasional. Dengan kata lain, liberalisasi perdagangan diikuti oleh
kecenderungan berkurangnya kebebasan pemerintahan nasional untuk
menentukan kebijakannya, akibat dari adanya pengaruh kekuatan-kekuatan
komersial (keuangan internasional dan multinasional) dan lembaga-lembaga
supra-nasional (Bank Dunia, IMF, dll).
(Bersambung)
Ditulis oleh: Yudi Latif, Chairman INSIDe (Institute for National Strategic Interest and Development)
Ismed Eka Kusuma -
Revitalisasi Pancasila di Tengah Dua Fundamentalisme (Bagian ke-2)
19 Apr 2013 16:20:34
Yudi Latif (Foto: Aktual.co/Istimewa)
Jakarta, Aktual.co ---
..... Pemiskinan global mengalami percepatan terutama dengan rejim pemotongan pajak dan minimal state sejak tahun ’80-an, yang kemudian mendorong korporasi-korporasi swasta (internasional) mengambil alih hampir semua kegiatan ekonomi, dan mengambil keuntungan dengan persentasi yang luar biasa besar. Pada saat yang sama, IMF dan World Bank tidak dapat dijangkau dengan alat kedaulatan hukum apapun, bahkan hukum internasional. Dengan kata lain, liberalisasi perdagangan diikuti oleh kecenderungan berkurangnya kebebasan pemerintahan nasional untuk menentukan kebijakannya, akibat dari adanya pengaruh kekuatan-kekuatan komersial (keuangan internasional dan multinasional) dan lembaga-lembaga supra-nasional (Bank Dunia, IMF, dll).... (bagian 1)
Implikasinya bagi Indonesia
Bagi Indonesia sendiri, globalisasi modern membawa politik nasional ke pusaran glombang demokratisasi ketiga di dunia, yang menurut Hungtington bermula pada 1974 dan menerpa Indonesia melalui gerakan reformasi pada akhir 1990-an. Gelombang demokratisasi ini melanda Indonesia ketika otoritas negara mendapatkan tekanan yang serius dari penetrasi kekuatan-kekuatan global, yang setelah perang dingin berakhir, terutama dari gerakan-gerakan trans-nasional keagamaan dan modal.
Padahal, usaha demokratisasi memerlukan menghendaki penguatan kedaulatan negara guna merespon meluasnya tuntutan rakyat di dalam negeri. Tanpa kedaulatan negara, transisi menuju demokrasi, seperti yang berlangsung di Indonesia, kerapkali hanyalah membuat pendulum sejarah berayun dari situasi otoriter menuju situasi tanpa otoritas. Demokrasi memang bermaksud menghilangkan yang pertama, namun tak bisa ditegakkan tanpa yang kedua. Dan hari-hari ini, kita menyaksikan aneka peraturan dan pembangunan tak jalan karena lemahnya wibawa otoritas negara.
Lemahnya wibawa otoritas ini ditandai oleh tiadanya aparatur penggaransi kepastian, akibat terjadinya pengembangbiakkan kelembagaan negara serta penyebaran pusat-pusat kekuasaan dengan sistem checks and balances dan batas kewenangan yang kabur. Selain itu, berbagai undang-undang dibuat secara tumpang tindih dengan diwarnai oleh konflik horizontal dan vertikal antara lembaga-lembaga kenegaraan.
Melemahnya otoritas negara ini antara lain karena kita tidak cukup konsisten dengan prinsip-prinsip reformasi itu sendiri. Istilah ”reform” menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1978) berarti ”make or become better by removing or putting right what is bad or wrong.” Dengan demikian, reformasi pada dasarnya usaha gradual untuk mengubah atau membuat sesuatu lebih baik dari keadaan sebelumnya. Reformasi tidak bermaksud menghancurkan segala tatanan yang telah ada, melainkan berusaha menyempurnakannya, dengan membuang yang buruk dan meningkatkan yang baik.
Dalam hal ini, ada baiknya kita berpaling pada pandangan Joseph Stiglitz, peraih hadiah nobel untuk bidang ekonomi pada 2001. Beliau berkata, “I had been a strong advocate of the gradualist policies adopted by the Chinese, policies that have proven their merit over the past two decades; and I have been a strong critic of some of the extreme reform strategies such as ‘shock’ therapy that have failed so miserably in Russia and some of the other countries of the former Soviet Union” (Stiglitz, 2002: x-xi).
Stiglitz menekankan perlunya kehati-hatian dan langkah bertahap dalam usaha reformasi. Karena reformasi yang dijalankan secara tergesa-gesa dalam skala yang massif akan melampaui kepasitas administrasi negara untuk menanganinya, yang pada akhirnya akan memunculkan “negara lemah” (weak sate) yang mudah tunduk pada dikte-dikte pasar dan kekuatan-kekuatan internasional.
..... Pemiskinan global mengalami percepatan terutama dengan rejim pemotongan pajak dan minimal state sejak tahun ’80-an, yang kemudian mendorong korporasi-korporasi swasta (internasional) mengambil alih hampir semua kegiatan ekonomi, dan mengambil keuntungan dengan persentasi yang luar biasa besar. Pada saat yang sama, IMF dan World Bank tidak dapat dijangkau dengan alat kedaulatan hukum apapun, bahkan hukum internasional. Dengan kata lain, liberalisasi perdagangan diikuti oleh kecenderungan berkurangnya kebebasan pemerintahan nasional untuk menentukan kebijakannya, akibat dari adanya pengaruh kekuatan-kekuatan komersial (keuangan internasional dan multinasional) dan lembaga-lembaga supra-nasional (Bank Dunia, IMF, dll).... (bagian 1)
Implikasinya bagi Indonesia
Bagi Indonesia sendiri, globalisasi modern membawa politik nasional ke pusaran glombang demokratisasi ketiga di dunia, yang menurut Hungtington bermula pada 1974 dan menerpa Indonesia melalui gerakan reformasi pada akhir 1990-an. Gelombang demokratisasi ini melanda Indonesia ketika otoritas negara mendapatkan tekanan yang serius dari penetrasi kekuatan-kekuatan global, yang setelah perang dingin berakhir, terutama dari gerakan-gerakan trans-nasional keagamaan dan modal.
Padahal, usaha demokratisasi memerlukan menghendaki penguatan kedaulatan negara guna merespon meluasnya tuntutan rakyat di dalam negeri. Tanpa kedaulatan negara, transisi menuju demokrasi, seperti yang berlangsung di Indonesia, kerapkali hanyalah membuat pendulum sejarah berayun dari situasi otoriter menuju situasi tanpa otoritas. Demokrasi memang bermaksud menghilangkan yang pertama, namun tak bisa ditegakkan tanpa yang kedua. Dan hari-hari ini, kita menyaksikan aneka peraturan dan pembangunan tak jalan karena lemahnya wibawa otoritas negara.
Lemahnya wibawa otoritas ini ditandai oleh tiadanya aparatur penggaransi kepastian, akibat terjadinya pengembangbiakkan kelembagaan negara serta penyebaran pusat-pusat kekuasaan dengan sistem checks and balances dan batas kewenangan yang kabur. Selain itu, berbagai undang-undang dibuat secara tumpang tindih dengan diwarnai oleh konflik horizontal dan vertikal antara lembaga-lembaga kenegaraan.
Melemahnya otoritas negara ini antara lain karena kita tidak cukup konsisten dengan prinsip-prinsip reformasi itu sendiri. Istilah ”reform” menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1978) berarti ”make or become better by removing or putting right what is bad or wrong.” Dengan demikian, reformasi pada dasarnya usaha gradual untuk mengubah atau membuat sesuatu lebih baik dari keadaan sebelumnya. Reformasi tidak bermaksud menghancurkan segala tatanan yang telah ada, melainkan berusaha menyempurnakannya, dengan membuang yang buruk dan meningkatkan yang baik.
Dalam hal ini, ada baiknya kita berpaling pada pandangan Joseph Stiglitz, peraih hadiah nobel untuk bidang ekonomi pada 2001. Beliau berkata, “I had been a strong advocate of the gradualist policies adopted by the Chinese, policies that have proven their merit over the past two decades; and I have been a strong critic of some of the extreme reform strategies such as ‘shock’ therapy that have failed so miserably in Russia and some of the other countries of the former Soviet Union” (Stiglitz, 2002: x-xi).
Stiglitz menekankan perlunya kehati-hatian dan langkah bertahap dalam usaha reformasi. Karena reformasi yang dijalankan secara tergesa-gesa dalam skala yang massif akan melampaui kepasitas administrasi negara untuk menanganinya, yang pada akhirnya akan memunculkan “negara lemah” (weak sate) yang mudah tunduk pada dikte-dikte pasar dan kekuatan-kekuatan internasional.
Dalam banyak hal, gerakan reformasi di Indonesia justru terlalu luas cakupannya, terlalu dalam penetrasinya, dan terlalu cepat pelaksanannya; tanpa perhitungan yang matang mengenai dampak ikutan, prasyarat yang mesti dipenuhinya, serta kecocokan institusi-institusi baru bagi sistem sosial-budaya Indonesia.
Secara kumulatif, hal ini memperlemah otoritas negara Indonesia dalam situasi ketika negara dihadapkan pada aneka rongrongan yang membonceng arus globalisasi dan lokalisasi.
Arus globalisasi yang bersanding dengan lokalisasi membawa paradoks global dalam kehidupan berbangsa. Tarikan global ke arah demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi memang menguat. Tetapi oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga terjadi. Di seluruh dunia, ”politik identitas” (identity politics) yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif—etnis, bahasa, agama, bahasa dan bangsa—mengalami gelombang pasang.
Karena setiap pencarian identitas memerlukan garis perbedaan dengan yang lain, maka politik identitas senantiasa merupakan politik penciptaan perbedaan. Apa yang harus diwaspadai dari kecenderungan ini bukanlah dialektika yang tak terhindarkan dari identitas/perbedaan, melainkan suatu kemungkinan munculnya keyakinan atavistik bahwa identitas hanya bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi perbedaan dan keberlainan (otherness). Tantangan berat terhadap nasionalisme politikal datang dari persenyawaan antara pengekspresian politik identitas yang bersifat trans-nasional dengan revivalisme sentimen kedaerahan. Komitmen kebangsaan bisa dilampaui oleh komitmen etno-komunal yang mendapatkan sumber-sumber moralitas dan idealitasnya dari gerakan-gerakan kebudayaan dan keagamaan trans-nasional.
Persenyawaan keyakinan atavistik ini melahirkan tuntutan ke arah entitas politik mondial berbasis keagamaan (seperti gagasan kekhalifahan Islam), revivalisme ide negara Islam (NII), syariahisasi politik lokal (perda syariah), fatwa-fatwa keagamaan yang ekslusif (seperti banyak fatwa MUI). Lebih dari itu, tuntutan ini juga mengarah pada gejala kekerasan keagamaan: aksi terorisme, persekusi pengikut agama atau sekte keagamaan tertentu.
Dihadapkan pada ancaman pelanggaran kak asasi manusia (HAM) seperti itu, Indonesia sebagai negara lemah justru seringkali mengeluarkan kebijakan politik yang melanggar prinsip-prinsip penegakkan (HAM). Setidaknya ada dua jenis pelanggaran HAM yang sering dilakukan oleh negara. Pertama, pelanggaran terhadap hak dan keadilan sipil yang bersifat setara (equal) dan tak dapat dikurangi (non-derogable) . Bahwa kebebasan beragama merupakan hak dasar utama yang dijamin konstitusi, yang tanpa hal itu semua kebebasan lainnya tak bermakna.
Tidak ada konstitusi yang sempurna. Tapi, dalam persoalan perlindungah hak berkeyakinan, konstitusi kita, bahkan sebelum amandemen, tidak bersifat ambigu, melainkan mendasar dan jelas (unequivocal). Sejak awal, hal ini tertuang dalam pasal 29 UUD 1945, yang kemudian lebih diperjelas dalam konsitusi versi amandemen keempat, terutama pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Pada pasal 28E, misalnya, disebutkan bahwa ”setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (ayat 1); dan juga ”berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” (ayat 2).
Pada tahun 2005, pemerintah meratifikasi kovenan PBB mengenai hak-hak sipil yang kemudian diakomasi dalam Undang-undang no 12 tahun 2005. Pada Bab III, pasal 18 dari Kovenan ini disebutkan:
1. “Everyone shall have the right of freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching; 2. “No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.”Baik konstitusi kita maupun kovenan ini secara nyata menjamin kebebasan beragama sebagai prinsip yang absah. Hal ini mengimplikasikan suatu afirmasi yang konkrit bahwa Negara dalam kondisi apapun, bahkan dalam tuntutan untuk menjaga ketertiban umum, tak boleh mengurangi hak kebebasan beragama sebagai hak intrinsik dari setiap orang.
Kedua, negara juga melakukan pelanggaran terhadap hak komunitarian (communitarian right) karena kegagalannya melakukan proteksi terhadap hak untuk berbeda. Memang tidak semua perbedaan harus diakomodasi karena bisa melumpuhkan prinsip kesetaraan dari hak sipil itu sendiri. Tetapi ada perbedaan yang relevan (relevant difference), yang memerlukan pengakuan dan representasi, yang diakui keabsahannya bahkan oleh paham liberalisme. Yakni perbedaan yang ditimbulkan atau dikonstruksikan oleh diskriminasi dan marjinalisasi.
Proteksi dan representasi khusus kelompok yang dimarjinalkan dan didiskriminasikan ini dibenarkan, karena tanpa pengakuan terhadap hak untuk berbeda diskriminasi bisa berlanjut yang berakibat pada pengabaian secara permanen hak-hak sipil dari anggota komunitas tersebut. Ambillah contoh kasus pemberian kuota khusus bagi representasi kaum perempuan.
Dengan prinsip yang sama, Jamaah Ahmadiyah—yang sering mengalami persekusi—pun layak memperoleh jaminan hak untuk berbeda. Dalam hal ini, tugas negara adalah melakukan proteksi terhadap kelompok yang lemah dan didiskriminasikan, bukannya malah semakin menguatkan diskriminasi.
Jika fundamentalisme agama membawa ancaman terhadap hak sipil dan politik, ancaman terhadap hak ekonomi –cum hak sosial dan budaya—datang dari fundamentalisme pasar. Halangan dalam promosi HAM muncul sejak tahun ’80-an dari hegemoni ideologi neo-liberalisme yang menyerang pondasi dasar pada sistem hak asasi manusia yang telah dibangun: kombinasi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan perluasan pasar tanpa kepedulian sosial, globalisasi pasar meningkatkan ketaksetaraan di dalam negara, dan jurang pemisah yang makin lebar antara negara maju dan berkembang.
Badan hak asasi manusia PBB telah mencermati dampak negatif dari globalisasi pasar neo-liberalisme atas hak asasi manusia, secara khusus pada hak ekonomi, sosial, dan budaya. Studi penting telah dihasilkan dalam kerja Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities (disebut Sub-Komisi), Commission on Human Rights (disebut Komisi), UN High Commissioner for Human Rights (UNHCHR) atau oleh Secretariat of the United Nations (Sekretariat PBB).
Studi pionir disiapkan oleh Danilo Türk (1992) untuk Sub-Komisi, menunjukan tidak adanya perhatian yang serius pada hak ekonomi dan sosial dan peran problematis dari lembaga Bretton Woods (Sub-Commission, 1992). Beberapa studi lanjutan yang disiapkan oleh Sub-Komisi, Special Rapporteur Jose Bengoa membuat penilaian atas meningkatnya perbedaan pendapatan yang timbul seiring dengan gelombang globalisasi korporasi, dan akibat negatifnya pada perlindungan hak asasi manusia (Sub-Commission, 1997).
Tidak satupun studi ini yang menolak pentingnya kerjasama dan perdagangan global, tetapi studi ini lebih mengarahkan perhatian pada ancaman terhadap kemanusiaan dan HAM yang ditimbulkan oleh globalisasi pasar yang berbasis ideologi neo-liberalisme. Studi-studi ini mengandung saran-saran yang bagus bagi reorientasi dan perbaikan arah globalisasi, dengan mengubah kebijakan neo-liberal di masa mendatang menuju pembangunan berbasis-hak (right-based development).
Dalam konteks Indonesia, ancaman neoliberalisme terhadap hak ekosob dan ekosok bisa dijejekan mulai dari kasus kejahatan perusahaan-perusahaan multinasional mapun nasional dalam penjarahan sumberdaya alam dan perusakan ekosistem, penetrasi kepentingan korporasi dalam penyusunan perundang-undangan, intervensi korporasi dalam pemilihan aparatur negara, hingga kekerasan dan pembunuhan warga di sekitar areal perusahaan.
Ancaman terhadap HAM yang datang dari fundamentalisme agama dan pasar itu mengisyaratkan betapa pemahaman warga dan aparatur negara tentang prinsip-prinsip demokrasi konstitusional masih sangat lemah. Hal ini memperkuat tuntutan agar Indonesia sebagai republik harus berdiri kokoh di atas prinsip dasarnya. Ide sentral dari republikanisme menegaskan bahwa proses demokrasi bisa melayani sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang makin mengalami ragam perbedaan golongan dan kelas sosial.
Penegakan prinsip republikanisme terasa penting, terutama bagi masyarakat plural dengan tantangan globalisasi yang meluas dan dalam. Dengan intensifikasi hubungan sosial berskala global, bangsa-multikultural tak hanya menghadapi potensi ledakan pluralisme dari dalam, tetapi juga tekanan keragaman dari luar. Oleh karena itu, tantangan demokrasi ke depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya, sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam suatu Republik.
(Bersambung)
Ditulis oleh: Yudi Latif, Chairman INSIDe (Institute for National Strategic Interest and Development)
Ismed Eka Kusuma -
Revitalisasi Pancasila di Tengah Dua Fundamentalisme (Bagian ke-3)
24 Apr 2013 10:10:48
Yudi Latif (Foto: Aktual.co/Istimewa)
Jakarta, Aktual.co ---
......Penegakan prinsip republikanisme terasa penting, terutama bagi masyarakat plural dengan tantangan globalisasi yang meluas dan dalam. Dengan intensifikasi hubungan sosial berskala global, bangsa-multikultural tak hanya menghadapi potensi ledakan pluralisme dari dalam, tetapi juga tekanan keragaman dari luar. Oleh karena itu, tantangan demokrasi ke depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya, sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam suatu Republik..... (Bagian 2)
Perlu Revitalisasi Pancasila
Apakah dengan tekanan globalisasi dan internasionalisme nasib negara-bangsa akan sekadar menjadi sebuah ’fiksi’ sebagaimana dikatakan baik oleh Kenichi Ohmae? Lantas muncul pertanyaan pula bagaimana peran pemerintah di tengah arus globalisasi? Apakah pemerintah akan menjadi usang?
Tentu saja, tidak! ”They are not, but their shape is being altered,” ujar Giddens (1999: 32). Negara tidak akan usang, akan tetapi bentuknya sedang berubah. Seiring dengan itu, nasionalisme pun menemukan konteks baru (Hobsbawm, 2007: 2). Menurut Paul Kennedy (1994), negara-bangsa akan tetap bertahan asal para pemimpin dan warganya responsif terhadap globalisasi.
Munculnya organisasi-organisasi supranasional dan perusahaan-perusahaan multinasional dengan kekuatan modal raksasa memang semakin menyurutkan peran pemerintah dalam suatu negara-bangsa. Akan tetapi, negara-bangsa akan tetap berperan sebagai lokus utama bagi identitas para warganya, sejauh belum ada institusi lain yang secara adekuat dapat menggantikannya sebagai unit kunci dalam merespon perubahan global. Seperti dikemukakan oleh Paul Kennedy:
Barangkali memang ada erosi tertentu dari kekuasaan negara-bangsa dalam dekade-dekade terakhir, namun negara-bangsa masih tetap sebagai lokus utama identitas dari kebanyakan orang; tak peduli siapapun majikannya dan apapun yang mereka kerjakan untuk hidup; individu-individu membayar pajak pada negara, tunduk pada hukum-hukumnya, dan bertugas (jika dibutuhkan) dalam angkatan bersenjatanya, dan hanya dapat bepergian ke luar negeri dengan memiliki paspornya…
Kesimpulannya, bahkan jika otonomi dan fungsi negara mengalami erosi oleh kecenderungan transnasional, belum ada penggantinya yang adekuat sebagai unit kunci dalam menjawab perubahan global. Bagaimanapun, kepemimpinan politik suatu bangsa dalam mempersiapkan rakyatnya untuk menghadapi abad ke-21 masih amat penting bahkan ketika instrumen-instrumen tradisional negara mulai memudar—itulah sebabnya mengapa sekarang perlu untuk mempertibangkan prospek masing-masing negara dan kawasan berdasarkan kemampuannya merespon, atau gagal merespon, terhadap tantangan abad baru (Kennedy, 1994: 134).
Negara-bangsa juga masih memiliki peran sentral dalam penegakan HAM internasional. Menurut hukum hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam International Bill of Human Rights, pertanggungjawaban untuk pewujudan hak asasi manusia dalam hukum internasional berada di tangan negara. Pengertian kebebasan negatif yang dianut oleh liberalisme ekstrem–otonomi maksimum individu dari komunitas dan negara—adalah asing bagi UDHR. Untuk menghidupkan tanggungjawab itu, negara harus memikul 3 perangkat kewajiban: untuk menghormati (respect) kebebasan individu; untuk memenuhi (fulfill) hak tersebut baik melalui fasilitasi (facilitation) atau melalui penyediaan (providing) akses pada kesejahteraan yang mencakup kebutuhan dasar seperti pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.
Peran negara pun masih penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, seperti tercermin dari kegagalan ideologi dan proyek neo-liberalisme yang membawa krisis Amerika Serikat dan dunia pada awal milenium baru. Tendensi neoliberalisme untuk mengecilkan peran Negara membuat pasar bebas melenggang tanpa aturan maupun pengawasan, yang memunculkan aneka kebobrokan pelaku pasar (moral hazard), yang berujung pada krisis perekonomian. Lebih dari itu, Naomi Klein (2007) mendokumentasikan bagaimana kebijakan neoliberalisme menyumbang pada tumbuhnya otoritarianisme, eksploitasi, ketidaksetaraan, dan pengrusakan lingkungan. Bahkan sekalipun neoliberalisme sering mengabaikan peran Negara, dalam praktiknya, seperti ditunjukkan Robert Kuttner (2007), neoliberalisme Amerika Serikat acapkali menggunakan kekuatan negara untuk menderegulasikan industri keuangan.
Akhirnya ada perkembangan yang bersifat paradoks. Di satu sisi, globalisasi mengurangi otoritas negara-bangsa. Di sini lain, negara yang mampu mengambil keuntungan dari globalisasi justru negara yang kuat, seperti ditujukan oleh Cina. Akan tetapi perlu dicatat, pengertian kuat di sini tidaklah sebangun dengan otoritarianisme, melainkan merujuk pada kapasitas negara untuk mempertahankan otoritasnya melalui regulasi dan penegakan hukum (law enforcement).
Dengan demikian, harus ada keseimbangan antara komitmen internasionalisme dan nasionalisme, pemberdayaan international governance dan pemberdayaan negara-bangsa. Pada titik ini, antisipasi sila kedua Pancasila seperti dikemukakan oleh Soekarno sudah tepat.
“Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme.”
Dalam konteks ini, nilai-nilai universal dalam wacana kemanusiaan harus didialogkan dengan khazanah kearifan lokal, visi global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal. Dalam perjuangan kemanusiaan bangsa Indonesia, proses dialogis ini dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar, bangsa kita harus menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya untuk secara bebas-aktif ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’, sebagaimana tertera pada (aline 4) Pembukaan UUD 1945. Kedalam, bangsa kita harus menerima, apa yang disebut Muhammad Yamin, ‘benda ruhani berupa pengakuan dan pemuliaan hak-azasi kemanusiaan’ (Yamin, 1956: 186-187).
Menyadari relevansi dan aktualitas visi Pancasila dalam mengantisipasi ancaman globalisasi terhadap HAM, terasa perlu melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai kerangka konsepsional penegakkan HAM dalam konteks negara bangsa. Dalam kaitan ini, perlu disadari bahwa sila-sila Pancasila secara keseluruhan maupun sendiri-sendiri tidaklah bertentangan, bahkan mendukung prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Pancasila dapat dikatakan sebagai prinsip kontekstualisasi HAM dalam kenyataan Indonesia sebagai bangsa multikultural dengan kesenjangan sosial-ekonomi yang tajam. Dihadapkan pada realitas seperti itu, negara ingin memenuhi HAM dengan mengembangkan dua prinsip pokok: negara kekeluargaan dan negara keadilan (kesejahteraan).
Negara kekeluargaan adalah negara yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Dalam ungkapan Soekarno, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, ‘satu buat semua, semua buat satu’.”
Negara keadilan (kesejahteraan) mengadung arti bahwa peran negara bukan hanya sebagai ‘penjaga malam’, melainkan memainkan peran aktif dalam usaha menyelenggarakan keadilan dan kesejahteraan sosial, melalui penguasaan, regulasi, fasilitasi, dan penyediaan akses pada kesejahteraan yang mencakup kebutuhan dasar seperti pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.
Perpaduan antara negara kekeluargaan dan negara keadilan itu dilukiskan dalam pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam ungkapan: “Negara”—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dengan basis konsepsi kenegaraan seperti itu, Pancasila mampu mengantisipsi berbagai tantangan global dalam perlindungan HAM. Dalam mengantisipasi kemungkinan menguatnya fundamentalisme agama, sila pertama menekankan prinsip ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Seperti dinyatakan Bung Karno, “Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya ‘egoisme-agama’…Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.”
Dalam mengantisipasi dampak-dampak destruktif dari globalisasi dan lokalisasi, dalam bentuk homogenisasi dan partikularisasi identitas, prinsip “sosio-nasionalisme” yang tertuang dalam sila kedua dan ketiga Pancasila telah memberikan jawaban yang jitu.
Dalam prinsip “sosio-nasionalisme”, kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, berdiri atas prinsip semua untuk semua. Saat yang sama, kebangsaan Indonesia juga kebangsaan yang berperikemanusiaan, yang mengarah pada persaudaraan, keadilan dan keadaban dunia. Dikatakan Bung Karno, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme”.
Dalam mengantisipasi tirani dan ketidakadilan dalam politik dan ekonomi, prinsip “sosio-demokrasi” yang tertuang dalam sila keempat dan kelima Pancasila, memberi solusi yang andal. Menurut prinsip ini, demokrasi politik harus bersejalan dengan demokrasi ekonomi. Pada ranah politik, demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy) yang bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangan pendapat semua pihak secara inklusif. Pada ranah ekonomi, negara harus aktif mengupayakan keadilan sosial, dalam rangka mengatasi dan mengimbangi ketidaksetaraan yang yang terjadi di pasar, dengan jalan menjaga iklim kompetisi yang sehat, membela yang lemah, serta berinvestasi dalam public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dengan semangat dasar kelima prinsip Pancasila, negara/bangsa Indonesia memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan tahan banting. Prinsip-prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan, antara paham kebangsaan homogenis dengan tribalisme atavisitis, antara kebangsaan yang chauvinis dengan globalisme triumphalis, antara pemerintahan autokratik dengan demokrasi pasar-individualis, antara ekonomi etatisme dengan kapitalisme predatoris.
Diperlukan puluhan tahun sejak perang dunia kedua bagi bangsa-bangsa lain untuk memasuki jalan tengah keemasan itu. Adapun bangsa Indonesia telah meletakkannya di titik awal berdirinya Republik. Sayang, masalah bangsa ini memang kerap pandai memulai namun gagal memelihara dan mengakhiri. Tatkala bangsa-bangsa lain mulai mengengok warisan pemikiran terbaik bangsa ini, bangsa Indonesia sendiri mulai mengabaikannya.
(Bersambung)
......Penegakan prinsip republikanisme terasa penting, terutama bagi masyarakat plural dengan tantangan globalisasi yang meluas dan dalam. Dengan intensifikasi hubungan sosial berskala global, bangsa-multikultural tak hanya menghadapi potensi ledakan pluralisme dari dalam, tetapi juga tekanan keragaman dari luar. Oleh karena itu, tantangan demokrasi ke depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya, sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam suatu Republik..... (Bagian 2)
Perlu Revitalisasi Pancasila
Apakah dengan tekanan globalisasi dan internasionalisme nasib negara-bangsa akan sekadar menjadi sebuah ’fiksi’ sebagaimana dikatakan baik oleh Kenichi Ohmae? Lantas muncul pertanyaan pula bagaimana peran pemerintah di tengah arus globalisasi? Apakah pemerintah akan menjadi usang?
Tentu saja, tidak! ”They are not, but their shape is being altered,” ujar Giddens (1999: 32). Negara tidak akan usang, akan tetapi bentuknya sedang berubah. Seiring dengan itu, nasionalisme pun menemukan konteks baru (Hobsbawm, 2007: 2). Menurut Paul Kennedy (1994), negara-bangsa akan tetap bertahan asal para pemimpin dan warganya responsif terhadap globalisasi.
Munculnya organisasi-organisasi supranasional dan perusahaan-perusahaan multinasional dengan kekuatan modal raksasa memang semakin menyurutkan peran pemerintah dalam suatu negara-bangsa. Akan tetapi, negara-bangsa akan tetap berperan sebagai lokus utama bagi identitas para warganya, sejauh belum ada institusi lain yang secara adekuat dapat menggantikannya sebagai unit kunci dalam merespon perubahan global. Seperti dikemukakan oleh Paul Kennedy:
Barangkali memang ada erosi tertentu dari kekuasaan negara-bangsa dalam dekade-dekade terakhir, namun negara-bangsa masih tetap sebagai lokus utama identitas dari kebanyakan orang; tak peduli siapapun majikannya dan apapun yang mereka kerjakan untuk hidup; individu-individu membayar pajak pada negara, tunduk pada hukum-hukumnya, dan bertugas (jika dibutuhkan) dalam angkatan bersenjatanya, dan hanya dapat bepergian ke luar negeri dengan memiliki paspornya…
Kesimpulannya, bahkan jika otonomi dan fungsi negara mengalami erosi oleh kecenderungan transnasional, belum ada penggantinya yang adekuat sebagai unit kunci dalam menjawab perubahan global. Bagaimanapun, kepemimpinan politik suatu bangsa dalam mempersiapkan rakyatnya untuk menghadapi abad ke-21 masih amat penting bahkan ketika instrumen-instrumen tradisional negara mulai memudar—itulah sebabnya mengapa sekarang perlu untuk mempertibangkan prospek masing-masing negara dan kawasan berdasarkan kemampuannya merespon, atau gagal merespon, terhadap tantangan abad baru (Kennedy, 1994: 134).
Negara-bangsa juga masih memiliki peran sentral dalam penegakan HAM internasional. Menurut hukum hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam International Bill of Human Rights, pertanggungjawaban untuk pewujudan hak asasi manusia dalam hukum internasional berada di tangan negara. Pengertian kebebasan negatif yang dianut oleh liberalisme ekstrem–otonomi maksimum individu dari komunitas dan negara—adalah asing bagi UDHR. Untuk menghidupkan tanggungjawab itu, negara harus memikul 3 perangkat kewajiban: untuk menghormati (respect) kebebasan individu; untuk memenuhi (fulfill) hak tersebut baik melalui fasilitasi (facilitation) atau melalui penyediaan (providing) akses pada kesejahteraan yang mencakup kebutuhan dasar seperti pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.
Peran negara pun masih penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, seperti tercermin dari kegagalan ideologi dan proyek neo-liberalisme yang membawa krisis Amerika Serikat dan dunia pada awal milenium baru. Tendensi neoliberalisme untuk mengecilkan peran Negara membuat pasar bebas melenggang tanpa aturan maupun pengawasan, yang memunculkan aneka kebobrokan pelaku pasar (moral hazard), yang berujung pada krisis perekonomian. Lebih dari itu, Naomi Klein (2007) mendokumentasikan bagaimana kebijakan neoliberalisme menyumbang pada tumbuhnya otoritarianisme, eksploitasi, ketidaksetaraan, dan pengrusakan lingkungan. Bahkan sekalipun neoliberalisme sering mengabaikan peran Negara, dalam praktiknya, seperti ditunjukkan Robert Kuttner (2007), neoliberalisme Amerika Serikat acapkali menggunakan kekuatan negara untuk menderegulasikan industri keuangan.
Akhirnya ada perkembangan yang bersifat paradoks. Di satu sisi, globalisasi mengurangi otoritas negara-bangsa. Di sini lain, negara yang mampu mengambil keuntungan dari globalisasi justru negara yang kuat, seperti ditujukan oleh Cina. Akan tetapi perlu dicatat, pengertian kuat di sini tidaklah sebangun dengan otoritarianisme, melainkan merujuk pada kapasitas negara untuk mempertahankan otoritasnya melalui regulasi dan penegakan hukum (law enforcement).
Dengan demikian, harus ada keseimbangan antara komitmen internasionalisme dan nasionalisme, pemberdayaan international governance dan pemberdayaan negara-bangsa. Pada titik ini, antisipasi sila kedua Pancasila seperti dikemukakan oleh Soekarno sudah tepat.
“Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme.”
Dalam konteks ini, nilai-nilai universal dalam wacana kemanusiaan harus didialogkan dengan khazanah kearifan lokal, visi global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal. Dalam perjuangan kemanusiaan bangsa Indonesia, proses dialogis ini dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar, bangsa kita harus menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya untuk secara bebas-aktif ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’, sebagaimana tertera pada (aline 4) Pembukaan UUD 1945. Kedalam, bangsa kita harus menerima, apa yang disebut Muhammad Yamin, ‘benda ruhani berupa pengakuan dan pemuliaan hak-azasi kemanusiaan’ (Yamin, 1956: 186-187).
Menyadari relevansi dan aktualitas visi Pancasila dalam mengantisipasi ancaman globalisasi terhadap HAM, terasa perlu melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai kerangka konsepsional penegakkan HAM dalam konteks negara bangsa. Dalam kaitan ini, perlu disadari bahwa sila-sila Pancasila secara keseluruhan maupun sendiri-sendiri tidaklah bertentangan, bahkan mendukung prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Pancasila dapat dikatakan sebagai prinsip kontekstualisasi HAM dalam kenyataan Indonesia sebagai bangsa multikultural dengan kesenjangan sosial-ekonomi yang tajam. Dihadapkan pada realitas seperti itu, negara ingin memenuhi HAM dengan mengembangkan dua prinsip pokok: negara kekeluargaan dan negara keadilan (kesejahteraan).
Negara kekeluargaan adalah negara yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Dalam ungkapan Soekarno, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, ‘satu buat semua, semua buat satu’.”
Negara keadilan (kesejahteraan) mengadung arti bahwa peran negara bukan hanya sebagai ‘penjaga malam’, melainkan memainkan peran aktif dalam usaha menyelenggarakan keadilan dan kesejahteraan sosial, melalui penguasaan, regulasi, fasilitasi, dan penyediaan akses pada kesejahteraan yang mencakup kebutuhan dasar seperti pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.
Perpaduan antara negara kekeluargaan dan negara keadilan itu dilukiskan dalam pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam ungkapan: “Negara”—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dengan basis konsepsi kenegaraan seperti itu, Pancasila mampu mengantisipsi berbagai tantangan global dalam perlindungan HAM. Dalam mengantisipasi kemungkinan menguatnya fundamentalisme agama, sila pertama menekankan prinsip ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Seperti dinyatakan Bung Karno, “Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya ‘egoisme-agama’…Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.”
Dalam mengantisipasi dampak-dampak destruktif dari globalisasi dan lokalisasi, dalam bentuk homogenisasi dan partikularisasi identitas, prinsip “sosio-nasionalisme” yang tertuang dalam sila kedua dan ketiga Pancasila telah memberikan jawaban yang jitu.
Dalam prinsip “sosio-nasionalisme”, kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, berdiri atas prinsip semua untuk semua. Saat yang sama, kebangsaan Indonesia juga kebangsaan yang berperikemanusiaan, yang mengarah pada persaudaraan, keadilan dan keadaban dunia. Dikatakan Bung Karno, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme”.
Dalam mengantisipasi tirani dan ketidakadilan dalam politik dan ekonomi, prinsip “sosio-demokrasi” yang tertuang dalam sila keempat dan kelima Pancasila, memberi solusi yang andal. Menurut prinsip ini, demokrasi politik harus bersejalan dengan demokrasi ekonomi. Pada ranah politik, demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy) yang bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangan pendapat semua pihak secara inklusif. Pada ranah ekonomi, negara harus aktif mengupayakan keadilan sosial, dalam rangka mengatasi dan mengimbangi ketidaksetaraan yang yang terjadi di pasar, dengan jalan menjaga iklim kompetisi yang sehat, membela yang lemah, serta berinvestasi dalam public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dengan semangat dasar kelima prinsip Pancasila, negara/bangsa Indonesia memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan tahan banting. Prinsip-prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan, antara paham kebangsaan homogenis dengan tribalisme atavisitis, antara kebangsaan yang chauvinis dengan globalisme triumphalis, antara pemerintahan autokratik dengan demokrasi pasar-individualis, antara ekonomi etatisme dengan kapitalisme predatoris.
Diperlukan puluhan tahun sejak perang dunia kedua bagi bangsa-bangsa lain untuk memasuki jalan tengah keemasan itu. Adapun bangsa Indonesia telah meletakkannya di titik awal berdirinya Republik. Sayang, masalah bangsa ini memang kerap pandai memulai namun gagal memelihara dan mengakhiri. Tatkala bangsa-bangsa lain mulai mengengok warisan pemikiran terbaik bangsa ini, bangsa Indonesia sendiri mulai mengabaikannya.
(Bersambung)
Ditulis oleh: Yudi Latif, Chairman INSIDe (Institute for National Strategic Interest and Development)
Ismed Eka Kusuma -
Mari Kembali Ke Rumah Pancasila
26 Feb 2013 12:16:52
Yudi Latif (Foto: Aktual.co/Istimewa)
Jakarta, Aktual.co, — Usaha memulihkan krisis nasional memerlukan
usaha menghadirkan kepemimpinan nasional yang berkarakter Pancasila.
Bahwa segala sikap, perilaku dan pilihan-pilihan kebijakan para pemimpin dan penyelenggara negara harus senantiasa mencerminkan Pancasila dalam keadaan bergerak. Dalam ikhtiar untuk mengembangkan kepemimpinan negara berdasarkan Pancasila, hendaknya disadari bahwa arsitektur politik kenegaraan yang secara tepat-guna sanggup mempertautkan kemajemukan Indonesia sebagai nations-in-nation adalah desain negara kekeluargaan.
Secara bertepatan, pendiri bangsa, dengan keragaman garis ideologisnya, memiliki pertautan dalam idealisasi terhadap nilai kekeluargaan. Konsepsi negara kekeluargaan ini tidaklah bercorak tunggal, tetapi adalah perpaduan dari banyak unsur: paham kesatuan kawula dan gusti dalam konsepsi tradisi (khususnya Jawa), konsepsi kekeluargaan Hakkoo Itjiu Jepang, perspektif Islam tentang ketidakterpisahan individu dan masyarakat (fardu ain dan fardu kifayah), perspektif sosialis kasih Kristiani, populisme radikal ala Soekarno maupun demokrasi sosial ala Hatta, dan terlebih lagi paham integralisme konservatif ala Soepomo.
Dengan demikian, semangat kekeluargaan merupakan cetakan dasar (archetype) dan karakter ideal keindonesiaan. Ia bukan saja dasar statis yang mempersatukan, melainkan juga dasar dinamis yang menuntun ke arah mana bangsa ini harus berjalan. Dalam istilah Soekarno, kekeluargaan adalah ”meja statis” dan ”leitstar dinamis”, yang mempersatukan dan memandukan.
Dalam konteks Soekarno menyimpulkan bahwa dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong-royong. Maknanya adalah: Prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran); bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Prinsip intenasionalismenya harus berjiwa gotong-royong (yang berprikemanusian dan berprikeadilan); bukan internasionalisme yang menjajah dan eksploitatif. Prinsip kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong (mampu mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, “bhineka tunggal ika”); bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan. Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas (mayorokrasi) atau minoritas elit penguasa-pemodal (minorokrasi). Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.
Risiko Kehilangan Karakter Pancasila
Oleh karena kekeluargaan merupakan jantung keindonesiaan, kehilangan semangat kekeluargaan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia merupakan kehilangan segala-galanya. Kehilangan yang membuat biduk perahu kebangsaan limbung, terombang-ambing gelombang perubahan tanpa jangkar dan arah-tujuan.
Jika demokrasi Indonesia kian diragukan kemaslahatannya, tak lain karena perkembangan demokrasi itu cenderung tercerabut dari jiwa kekeluargaan. Peraturan daerah berbasis eksklusivisme keagamaan bersitumbuh menikam jiwa ketuhanan yang berkebudayaan; lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab; tribalisme, nepotisme, dan pemujaan putra daerah menguat dalam pemilu kepala daerah melemahkan persatuan kebangsaan; anggota parlemen bergotong royong menjarah keuangan rakyat, memperjuangan ”dana aspirasi” seraya mengabaikan aspirasi rakyat, melupakan kegotongroyongan berdasarkan hikmah kebijaksanaan; ekspansi neoliberalisme, kesenjangan sosial dan tindak korupsi melebar menjegal keadilan sosial.
Demokrasi yang dijalankan justru memutar jarum jam ke belakang, membawa kembali rakyat pada periode prapolitik, saat terkungkung dalam hukum besi sejarah survival of the fittest dan idol of the tribe. Ada jarak yang lebar antara voices dan choices; antara apa yang diargumentasikan dengan pilihan institusi dan kebijakan yang diambil. Demokrasi yang diidealkan sebagai wahana untuk memperjuangkan kesetaraan dan persaudaraan lewat pengorganisasian kepentingan kolektif justru menjadi instrumen bagi kepentingan privat.
Distorsi ini terjadi karena orang-orang bekerja dari politik, bukan untuk politik. Di sinilah pintu masuk bagi persekongkolan antara pengusaha hitam dan politisi hitam dalam proses institutional crafting dan legal drafting. Suatu penyanderaan demokrasi yang mengarah pada legalisasi kejahatan. Tiba-tiba saja nubuat Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca menjadi kenyataan, ”Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik.”
Demokrasi yang dikembangkan tanpa mempertimbangkan sistem pencernaan kebudayaan dan karakter keindonesiaan, seperti biduk yang limbung. Dalam satu dekade terakhir, kita seakan-akan telah mengalami begitu banyak perubahan. Namun, perubahan yang terjadi tidak membawa kita ke mana pun. ”Change alone is unchanging,” ujar Heraclitus.
Krisis yang melanda negara ini begitu luas cakupannya dan begitu dalam penetrasinya, tetapi yang dijumpai adalah mentalitas para pemimpin yang sempit dan cetek. Dalam kesempitan dan kedangkalan mentalitas pemimpin itulah jangkauan kekuatan luar yang memiliki keluasan dan kedalaman mendikte agenda perubahan, mulai dari amandemen konstitusi, draf perundang-undangan, rekayasa institusi, hingga formasi jabatan.
Dalam situasi seperti itu, transformasi kehidupan kenegaraan tidak bisa disandarkan pada perubahan tambal sulam pada tingkat prosedur dan perundang-undangan. Transformasi substantif memerlukan suatu revolusi mental-kebudayaan.
Revolusi mental-kebudayaan itu bisa dilakukan dengan menghidupkan kembali karakter (kedalaman dan keluasan) para pendiri bangsa dan semangat dasar pendirian negara. Kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi atau tak ada tokoh menonjol, melainkan kehilangan harga diri karena diabaikannya semangat dasar kehidupan bernegara. Mengutip Juvenalis, ”Aib terbesar ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”
Kembali ke Rumah Pancasila
Secara singkat dapat dikatakan bahwa sebagian besar ketidakmampuan kita memecahkan masalah hari ini disebabkan ketidakmampuan kita merawat warisan terbaik dari masa lalu. Adapun warisan termahal para pendiri bangsa yang merosot saat ini adalah karakter. Ketika suatu golongan dibiarkan dicincang di altar kebencian golongan lain, dan ketika elit negeri berpesta pora memakan bangkai daging rakyatnya sendiri kita mengalami amnesia yang parah tentang makna kemerdekaan.
Bung Karno berkata, “Aku, ya Tuhan, telah Engkau beri kesempatan melihat penderitaan-penderitaan rakyat untuk mendatangkan negara Indonesia yang merdeka itu. Aku melihat pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu, meringkuk di dalam penjara. Aku melihat rakyat menderita. Aku melihat orang-orang mengorbankan ia punya harta benda untuk tercapainya cita-cita ini. Aku melihat orang-orang didrel mati. Aku melihat orang naik tiang penggantungan. Bahkan aku pernah menerima surat daripada seorang Indonesia yang keesokan harinya akan naik tiang penggantungan. Dalam surat itu dia mengamanatkan kepada saya sebagai berikut: ‘Bung Karno, besok aku akan meninggalkan dunia ini. Lanjutkanlah perjuangan kita ini’.”
Empati terhadap sejarah pengorbanan itulah yang membuat para pendiri bangsa memiliki jiwa kepahlawanan. Kenanglah heroisme para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia saat berpidato dengan menyerukan kemerdekaan dengan dasar negara yang diidealisasikan di tengah opsir-opsir bala tentara Jepang bersenjatakan bayonet.
Bung Karno mengakui, “Saya sadar, Saudara-saudara, bahwa ucapan yang hendak saya ucapkan mungkin adalah satu ucapan yang berbahaya bagi diriku, sebab ini adalah zaman perang, kita pada waktu itu di bawah kekuasaan imperialis Jepang, tetapi juga pada waktu itu, Saudara-saudara, aku sadar akan kewajiban seorang pemimpin. Kerjakanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu, tanpa menghitung-hitung akan akibatnya.”
Ketika para anggota DPR lebih sibuk mempermahal ruang kerja seraya mempermurah nilai keseriusan penyusunan rancangan undang-undang, kita mengalami kemerosotan begitu dalam dari jiwa pertanggungjawaban. Kenanglah rasa tanggung jawab para pendiri bangsa!
Dalam membincangkan hukum dasar, Mohammad Yamin mengingatkan, “Saya hanya minta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik.”
Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan, untuk memulihkannya perlu lebih dari sekadar politics as usual. Kita perlu visi politik baru yang mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional itu berakar jauh pada krisis moralitas dan etos yang melanda jiwa bangsa. Usaha “penyembuhan” perlu dilakukan dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan bangsa Indonesia.
Ibarat pohon, sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar kesejarahannya, ekosistem sosial-budaya, sistem pemaknaan, dan pandangan dunianya tersendiri. Pancasila dirumuskan oleh pendiri bangsa sebagai dasar dan tuntutan bernegara dengan mempertimbangkan aspek-aspek itu, lewat usaha penggalian, penyerapan, kontekstualisasi, rasionalisasi, dan aktualisasinya dalam rangka menopang keberlangsungan dan kejayaan bangsa.
Sebagai warisan yang digali dan dirumuskan bersama, Bung Karno meyakini keampuhan Pancasila sebagai bintang pimpinan (leitstar). “Kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan negara RI, melainkan juga pada hakikatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit yang kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu penyakit terutama sekali, imperialisme. Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan bangsa yang membawa corak sendiri- sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan sebagainya.”
Akibat keteledoran, ketidaktaatan, dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila, terutama oleh penyelenggara negara, Pancasila sebagai bintang pimpinan itu pun redup tertutup kabut; menimbulkan kegelapan dalam rumah kebangsaan. Lantas anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya di luar “rumah”. Seseorang bertanya, “Apa gerangan yang kalian cari?” Anak-anak negeri itu pun menjawab, “kunci rumah”. “Memangnya di mana hilangnya kunci itu?” “Di dalam rumah kami sendiri”. “Mengapa kalian cari di luar rumahmu?” “Karena rumah kami gelap”.
Kunci jawaban atas krisis kebangsaan itu sesungguhnya bisa ditemukan dari dasar falsafah dan pandangan hidup Indonesia sendiri. Yang diperlukan adalah mengikuti cara Bung Karno, menggali kembali mutiara terpendam itu. Marilah kembali ke rumah Pancasila!
Bahwa segala sikap, perilaku dan pilihan-pilihan kebijakan para pemimpin dan penyelenggara negara harus senantiasa mencerminkan Pancasila dalam keadaan bergerak. Dalam ikhtiar untuk mengembangkan kepemimpinan negara berdasarkan Pancasila, hendaknya disadari bahwa arsitektur politik kenegaraan yang secara tepat-guna sanggup mempertautkan kemajemukan Indonesia sebagai nations-in-nation adalah desain negara kekeluargaan.
Secara bertepatan, pendiri bangsa, dengan keragaman garis ideologisnya, memiliki pertautan dalam idealisasi terhadap nilai kekeluargaan. Konsepsi negara kekeluargaan ini tidaklah bercorak tunggal, tetapi adalah perpaduan dari banyak unsur: paham kesatuan kawula dan gusti dalam konsepsi tradisi (khususnya Jawa), konsepsi kekeluargaan Hakkoo Itjiu Jepang, perspektif Islam tentang ketidakterpisahan individu dan masyarakat (fardu ain dan fardu kifayah), perspektif sosialis kasih Kristiani, populisme radikal ala Soekarno maupun demokrasi sosial ala Hatta, dan terlebih lagi paham integralisme konservatif ala Soepomo.
Dengan demikian, semangat kekeluargaan merupakan cetakan dasar (archetype) dan karakter ideal keindonesiaan. Ia bukan saja dasar statis yang mempersatukan, melainkan juga dasar dinamis yang menuntun ke arah mana bangsa ini harus berjalan. Dalam istilah Soekarno, kekeluargaan adalah ”meja statis” dan ”leitstar dinamis”, yang mempersatukan dan memandukan.
Dalam konteks Soekarno menyimpulkan bahwa dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong-royong. Maknanya adalah: Prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran); bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Prinsip intenasionalismenya harus berjiwa gotong-royong (yang berprikemanusian dan berprikeadilan); bukan internasionalisme yang menjajah dan eksploitatif. Prinsip kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong (mampu mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, “bhineka tunggal ika”); bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan. Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas (mayorokrasi) atau minoritas elit penguasa-pemodal (minorokrasi). Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.
Risiko Kehilangan Karakter Pancasila
Oleh karena kekeluargaan merupakan jantung keindonesiaan, kehilangan semangat kekeluargaan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia merupakan kehilangan segala-galanya. Kehilangan yang membuat biduk perahu kebangsaan limbung, terombang-ambing gelombang perubahan tanpa jangkar dan arah-tujuan.
Jika demokrasi Indonesia kian diragukan kemaslahatannya, tak lain karena perkembangan demokrasi itu cenderung tercerabut dari jiwa kekeluargaan. Peraturan daerah berbasis eksklusivisme keagamaan bersitumbuh menikam jiwa ketuhanan yang berkebudayaan; lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab; tribalisme, nepotisme, dan pemujaan putra daerah menguat dalam pemilu kepala daerah melemahkan persatuan kebangsaan; anggota parlemen bergotong royong menjarah keuangan rakyat, memperjuangan ”dana aspirasi” seraya mengabaikan aspirasi rakyat, melupakan kegotongroyongan berdasarkan hikmah kebijaksanaan; ekspansi neoliberalisme, kesenjangan sosial dan tindak korupsi melebar menjegal keadilan sosial.
Demokrasi yang dijalankan justru memutar jarum jam ke belakang, membawa kembali rakyat pada periode prapolitik, saat terkungkung dalam hukum besi sejarah survival of the fittest dan idol of the tribe. Ada jarak yang lebar antara voices dan choices; antara apa yang diargumentasikan dengan pilihan institusi dan kebijakan yang diambil. Demokrasi yang diidealkan sebagai wahana untuk memperjuangkan kesetaraan dan persaudaraan lewat pengorganisasian kepentingan kolektif justru menjadi instrumen bagi kepentingan privat.
Distorsi ini terjadi karena orang-orang bekerja dari politik, bukan untuk politik. Di sinilah pintu masuk bagi persekongkolan antara pengusaha hitam dan politisi hitam dalam proses institutional crafting dan legal drafting. Suatu penyanderaan demokrasi yang mengarah pada legalisasi kejahatan. Tiba-tiba saja nubuat Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca menjadi kenyataan, ”Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik.”
Demokrasi yang dikembangkan tanpa mempertimbangkan sistem pencernaan kebudayaan dan karakter keindonesiaan, seperti biduk yang limbung. Dalam satu dekade terakhir, kita seakan-akan telah mengalami begitu banyak perubahan. Namun, perubahan yang terjadi tidak membawa kita ke mana pun. ”Change alone is unchanging,” ujar Heraclitus.
Krisis yang melanda negara ini begitu luas cakupannya dan begitu dalam penetrasinya, tetapi yang dijumpai adalah mentalitas para pemimpin yang sempit dan cetek. Dalam kesempitan dan kedangkalan mentalitas pemimpin itulah jangkauan kekuatan luar yang memiliki keluasan dan kedalaman mendikte agenda perubahan, mulai dari amandemen konstitusi, draf perundang-undangan, rekayasa institusi, hingga formasi jabatan.
Dalam situasi seperti itu, transformasi kehidupan kenegaraan tidak bisa disandarkan pada perubahan tambal sulam pada tingkat prosedur dan perundang-undangan. Transformasi substantif memerlukan suatu revolusi mental-kebudayaan.
Revolusi mental-kebudayaan itu bisa dilakukan dengan menghidupkan kembali karakter (kedalaman dan keluasan) para pendiri bangsa dan semangat dasar pendirian negara. Kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi atau tak ada tokoh menonjol, melainkan kehilangan harga diri karena diabaikannya semangat dasar kehidupan bernegara. Mengutip Juvenalis, ”Aib terbesar ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”
Kembali ke Rumah Pancasila
Secara singkat dapat dikatakan bahwa sebagian besar ketidakmampuan kita memecahkan masalah hari ini disebabkan ketidakmampuan kita merawat warisan terbaik dari masa lalu. Adapun warisan termahal para pendiri bangsa yang merosot saat ini adalah karakter. Ketika suatu golongan dibiarkan dicincang di altar kebencian golongan lain, dan ketika elit negeri berpesta pora memakan bangkai daging rakyatnya sendiri kita mengalami amnesia yang parah tentang makna kemerdekaan.
Bung Karno berkata, “Aku, ya Tuhan, telah Engkau beri kesempatan melihat penderitaan-penderitaan rakyat untuk mendatangkan negara Indonesia yang merdeka itu. Aku melihat pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu, meringkuk di dalam penjara. Aku melihat rakyat menderita. Aku melihat orang-orang mengorbankan ia punya harta benda untuk tercapainya cita-cita ini. Aku melihat orang-orang didrel mati. Aku melihat orang naik tiang penggantungan. Bahkan aku pernah menerima surat daripada seorang Indonesia yang keesokan harinya akan naik tiang penggantungan. Dalam surat itu dia mengamanatkan kepada saya sebagai berikut: ‘Bung Karno, besok aku akan meninggalkan dunia ini. Lanjutkanlah perjuangan kita ini’.”
Empati terhadap sejarah pengorbanan itulah yang membuat para pendiri bangsa memiliki jiwa kepahlawanan. Kenanglah heroisme para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia saat berpidato dengan menyerukan kemerdekaan dengan dasar negara yang diidealisasikan di tengah opsir-opsir bala tentara Jepang bersenjatakan bayonet.
Bung Karno mengakui, “Saya sadar, Saudara-saudara, bahwa ucapan yang hendak saya ucapkan mungkin adalah satu ucapan yang berbahaya bagi diriku, sebab ini adalah zaman perang, kita pada waktu itu di bawah kekuasaan imperialis Jepang, tetapi juga pada waktu itu, Saudara-saudara, aku sadar akan kewajiban seorang pemimpin. Kerjakanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu, tanpa menghitung-hitung akan akibatnya.”
Ketika para anggota DPR lebih sibuk mempermahal ruang kerja seraya mempermurah nilai keseriusan penyusunan rancangan undang-undang, kita mengalami kemerosotan begitu dalam dari jiwa pertanggungjawaban. Kenanglah rasa tanggung jawab para pendiri bangsa!
Dalam membincangkan hukum dasar, Mohammad Yamin mengingatkan, “Saya hanya minta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik.”
Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan, untuk memulihkannya perlu lebih dari sekadar politics as usual. Kita perlu visi politik baru yang mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional itu berakar jauh pada krisis moralitas dan etos yang melanda jiwa bangsa. Usaha “penyembuhan” perlu dilakukan dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan bangsa Indonesia.
Ibarat pohon, sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar kesejarahannya, ekosistem sosial-budaya, sistem pemaknaan, dan pandangan dunianya tersendiri. Pancasila dirumuskan oleh pendiri bangsa sebagai dasar dan tuntutan bernegara dengan mempertimbangkan aspek-aspek itu, lewat usaha penggalian, penyerapan, kontekstualisasi, rasionalisasi, dan aktualisasinya dalam rangka menopang keberlangsungan dan kejayaan bangsa.
Sebagai warisan yang digali dan dirumuskan bersama, Bung Karno meyakini keampuhan Pancasila sebagai bintang pimpinan (leitstar). “Kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan negara RI, melainkan juga pada hakikatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit yang kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu penyakit terutama sekali, imperialisme. Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan bangsa yang membawa corak sendiri- sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan sebagainya.”
Akibat keteledoran, ketidaktaatan, dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila, terutama oleh penyelenggara negara, Pancasila sebagai bintang pimpinan itu pun redup tertutup kabut; menimbulkan kegelapan dalam rumah kebangsaan. Lantas anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya di luar “rumah”. Seseorang bertanya, “Apa gerangan yang kalian cari?” Anak-anak negeri itu pun menjawab, “kunci rumah”. “Memangnya di mana hilangnya kunci itu?” “Di dalam rumah kami sendiri”. “Mengapa kalian cari di luar rumahmu?” “Karena rumah kami gelap”.
Kunci jawaban atas krisis kebangsaan itu sesungguhnya bisa ditemukan dari dasar falsafah dan pandangan hidup Indonesia sendiri. Yang diperlukan adalah mengikuti cara Bung Karno, menggali kembali mutiara terpendam itu. Marilah kembali ke rumah Pancasila!
Ditulis oleh: Yudi Latif, Chairman INSIDe (Institute for National Strategic Interest and Development)
Faizal Rizki
Teks Pembukaan UUD 1945
http://jamarisonline.blogspot.com/2011/05/teks-pembukaan-uud-1945.html
Pembukaan
UUD 1945 memuat rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Rumusan
Pansasila merupakan hasil kerja dari panitia sembilan yang diketuai
oleh Ir. Sukarno. Teks Pembukaan UUD 1945 terdapat dalam Piagam Jakarta
atau Jakarta Charter yang dikeluarkan tanggal 22 Juni 1945. Rumusan nama
Piagam Jakarta itu diusulkan oleh Mr. Moh. Yamin.
Berikut bunyi naskah Piagam Jakarta:
Piagam Jakarta |
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan menyatakan kemerdekaanya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. |
Bila diperhatikan Piagam Jakarta terdapat kalimat yang ditandai warna merah ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Kalimat tersebut dirasa kurang tepat karena menyebutkan agama tertentu
(Islam), padahal di Indonesia terdapat bermacam-macam agama. Maka
kemudian Pada sidang pertama PPKI rancangan UUD hasil kerja BPUPKI
dibahas kembali. Kalimat di atas diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Semua itu diterima peserta sidang. Hal itu menunjukkan mereka sangat
memperhatikan persatuan dan kesatuan bangsa. Piagam Jakarta yang telah
mengalami perbaikan ini akhirnya menjadi Pembukaan (mukadimah) UUD 1945
yang terdiri atas empat alinea.
Berikut adalah Pembukaan (mukadimah) UUD 1945:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pembukaan |
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan menyatakan kemerdekaanya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilansosial bagi seluruh rakyat Indonesia. |
Demikianlah Pembukaan UUD 1945 yang memuat rumusan Pancasila sebagai
dasar negara, dan perubahannya setelah Piagam Jakarta. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar