Campur Tangan IMF dan Asing Hambat Penuntasan Skandal BLBI, Century, Boediono dan Kasus Alstom ?
25 Jan 2013 06:53:48
Wakil Presiden Boediono (Foto: Aktual.co/Amir Hamzah)
http://m.aktual.co/aktualreview/205323campur-tangan-imf-dan-asing-hambat-penuntasan-skandal-blbi-boediono-dan-kasus-alstro
Jakarta, Aktual.Co -- Pengakuan Ketua KPK Abraham Samad yang meminta dukungan diplomasi penuh
ke Pemerintah Amerika Serikat guna mengungkap kasus korupsi yang
melibatkan PT Alstom Indonesia, ditambah sinyalemen Anggota Komisi I
DPR-RI Lily Chadidjah Wahid tentang campur tangan asing yang memaksakan
Boediono harus terbebas dari jerat hukum dalam pengungkapan mega
skandal korupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), semakin
menghempas harga diri bangsa Indonesia,
Kedongkolan rakyat akibat rasa keadilan masyarakat tidak diindahkan
oleh para aparat penegak hukum yang memantek asas praduga tidak
bersalah dan saling sengkarut kerumitan prosedur hukum, mulai membara
kembali akibat campur tangan asing di dalam proses penegakkan hukum
terhadap para koruptor.
Samad sebagaimana diberitakan Aktual. Co Rabu (23/1) mengaku bahwa
kepelikan hubungan diplomasi Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi
tembok penghalang KPK untuk menjerat PT Alstom Indonesia, penyuap 300
ribu dollar AS lebih Ketua Komisi XI DPR-RI Izedrik Emir Moeis,dalam
kasus dugaan korupsi Pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap )
Tarahan di Lampung, tahun 2004.
Kepentingan Multi Nasional
Aneh, KPK pada Kamis 25 Juli 2012 menetapkan Emir Moeis, politisi kawakan ini menjadi
tersangka karena diduga telah menerima suap, sehingga politisi PDI
Perjuangan ini pun dicekal tidak boleh berpergian ke luar negeri. Namun
sampai awal tahun ini, kasus Korupsi PLTU Tarahan bagai membeku. Bahkan
PT Alstom pun tak kunjung dijerat sebagai tersangka pemberi suap,
Entah mana yang benar, apa karena ada hambatan berupa jarak fisik
antar kedua negara yang terentang jauh seluas Samudra Pasifik, dan
kerumitan diplomasi yang menuntut penciptaan kesefahaman antar dua
negara dulu, sebagaimana kilah Ketua KPK. Atau memang ada upaya
diplomatik dan penekanan halus terhadap Indonesia agar perusahaan
multinasional asal Amerika Serikat ini tidak terkena sanksi hukum?
Wallahua'lam bishawab.
Permainan Jaringan IMF
Yang lebih memprihatinkan,
justru sinyalemen wakil rakyat di Komisi I DPR-RI. Lily Wahid. Adik Gus
Dur ini yakin, Boediono, mantan Direktur Analisis Kredit BI meski pernah
dipecat Presiden Soeharto karena dinilai tidak bertanggungjawab, memang
diloloskan dari jerat hukum mega skandal BLBI, karena ada campur tangan
asing. Terbukti di samping Boediono bisa kembali ke BI bahkan dipromosi
oleh SBY menjadi Gubernur Bank Sentral, bahkan teknokrat ini pun
kemudian menjadi Wakil Presiden,.
“Ada campur tangan jaringan dia (Boediono). Ini permainan jaringan, karena yang
diuntungkan dari bunga rekap BLBI sebesar Rp60 triliun pertahun dan
diserahkan kepada IMF (Dana Moneter Internasional),” kata Lili.
Bagi
wakil rakyat vokalis Komisi I yang membidangi pertahanan, luar negeri,
intelejen, dan komunikasi ini, rasanya ada yang janggal. Sehingga harus
dicari sebab musabab kenapa Boediono bisa bebas dari jerat hukum,
Sebaliknya, sejumlah enioren “Atasan Boediono kok malah terjerat? Kata
Lili Wahid di DPR-RI Senayan, Jakarta, Senin (21/1)
Campur tangan asing
dalam bidang penegakkan hukum oleh permainan jaringan di belakang
Boediono yang melibatkan IMF itu, menurut Lily memang sulit dibuktikaan,
Namun mengingat ada berbagai kejanggalan, tentu bisa dirunut ditelisik
dan diuraikan. Contoh, yang bisa ditarik sekarang, adalah BI bayar iuran
Rp150 trilliun dan sampai saat ini masih berlangsung “Saya sedang cari
bukti, dan Insya Allah ada buktinya,” Ujar Lily,
Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPR
Lebih aneh lagi, Lily menengarai kok ada semacam ke-terlena-an DPR
sebagai lembaga pengawas yang tak pernah memperkarakan keterlibatan
Boediono dalam mega skandal BLBI sebagaimana Putusan Mahkamah Agung
Nomer 979 dan 981 Tahun 2004, “Mungkin DPR dibakarin menyan oleh
Boediono,” kata Lily.
Keheranan Lily kian bertambah, mengingat Ketua DPR RI, Marzuki Alie
dalam suatu kesempatan menanggapi Skandal Century, juga telah
mempersilahkan anggota untuk menggunakan HMP (Hak Menyatakan Pendapat)
terhadap Boediono. Padahal dengan HMP itu, DPR bisa melakukan
penyelidikan kasus BLBI, sehingga Boediono pasti bisa terseret. Tetapi
kok belum tergerak juga hati para wakil rakyat itu.
Bahkan
Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI komisi III dari Fraksi Golkar ini
menyatakan, Aneh jika Penegak hukum melakukan pembiaran dan tidak segera
menindaklanjuti keputusan Mahkamah Agung terkait BLBI. Mengingat amar
putusan tersebut jelas menjerat Boediono terkait kasus BLBI dengan pasal
55 KUHP. Yakni turut serta melakukan tindak pidana.
Untuk
itu, Bambang Soesatyo mendesak Polri, Kejaksaan Agung serta KPK segera
berkoordinasi dan menindaklanjuti keputusan MA tersebut atas
keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus pengucuran Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Jadi, jika
dikaitkan dengan kasus Bank Century yang kini telah masuk ke tingkat
penyidikan di KPK dimana Boediono diduga kuat berperan besar dalam
penggelontoran dana talangan ke Bank Century Rp.6,7 triliun. Maka,
seharusnya DPR segera melakukan langkah-langkah yang seharusnya. Yakni
Hak Menyatakan Pendapat (HMP).
Antek Neolib
Mengenai kaitan tali temali Boediono
selaku salah seorang kader teknokrat ekonomi di Indonesia dengan IMF
maupun kepentingan asing, sesungguhnya bukan hal baru. Pada tahun 2009
saat SBY akan memilih Boediono sebagai cawapres pendampingnya, marak
sejumlah protes dan aksi demo yang dilancarkan oleh sejumlah partai
mitra koalisi partai demokrat pengusung SBY, seperti PAN dan PKS.
Ratusan orang yang tergabung dalam Komando Rakyat Anti Neolib pada
hari Kamis 14 Mei 2009 mendatangi Istana Negara menuntut pembatalan
Boediono sebagai bakal Wapres 2009-2014. “Dia antek asing dan pendukung
neoliberal” kata Chaerudin, Koordinator Aksi tersebut yang menuding
Boediono juga sebagai motor privatisasi perusahaan-perusahaan nasional.
Demo serupa juga digelar sehari sebelumnya oleh Komite Muda
Indonesia (KMI) di Monas hari Rabu (13/5) yang menyatakan Boediono
sebagai antek neoliob, dalam arti berpihak kepada kepentingan IMF, Bank
Dunia, dan WTO. Sodikin Korlap aksi tersebut menyatakan, mereka menolak
Boediono, karena risau perekonomian Indonesia akan semakin ke pasar
bebas, mengedepankan swastanisasi, sehingga akan semakin banyak aset negara
yang jatuh dikuasai ke swasta asing.
Neoliberalisme adalah Sistem Ekonomi dengan agenda Penjualan BUMN
(Privatisasi), penghapusan subsidi pada barang dan jasa, deregulasi, pasar bebas,
penyerahan kekayaan strategis sumber daya alam kepada pihak swasta/asing, dan bertumpu pada
pinjaman hutang luar negeri.
Dhia Prekasha Yoedha
Kasus Bantuan [SUBSIDI] Likuiditas Bank Indonesia
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
“Ramai – ramai Merampok Negara”[1]
http://maspurba.wordpress.com/2009/12/05/kasus-bantuan-likuiditas-bank-indonesia/
Bab I
Pendahuluan
Sampe L. Purba
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang selanjutnya dalam paper
ini disingkat dengan BLBI adalah suatu kasus yang fenomenal dalam
sejarah perekonomian, perbankan, sistem serta praktek hukum yang
terjadi di Indonesia. Kasus tersebut dikualifikasikan sebagai kasus yang
sifatnya fenomenal, karena dalam penanganannya, yang semestinya murni
sebagai hal-hal yang bersifat biasa dalam sistem perbankan universal,
ternyata memiliki dimensi dimensi hukum, politis, perdata dan aspek
pidana.
Skandal BLBI adalah salah satu skandal keuangan terbesar di
Indonesia yang magnitudenya telah mendunia, melewati beberapa
rezim pemerintahan dengan berbagai perannya. Pemerintahan Soeharto (1997
– 1998) mengundang IMF (internasional Monetary Bank) untuk
merestrukturisasi perbankan yang mau kolaps dengan terms yang ketat melalui letter of intent.
Pemerintahan Habibie (1998 – 1999) berperan dalam memperkenalkan
assessmen untuk penanganannya antara lain dengan membentuk Badan
Penyehatan Perbankan (BPPN). Pemerintahan Gus Dur (1999 – 2000)
mengeksekusi penjualan aset aset di bawah BPPN. Pemerintahan Megawati
(2000 – 2004) menerbitkan Release and Discharge kepada para pengemplang
BLBI yang koperatif, dan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004 –
2009) secara aktif dan selektif mengundang dengan karpet merah mereka
mereka yang telah memperoleh Release and Discharge, tetapi kemudian
mempersoalkan, membatalkan bahkan menangkapi dan memenjarakan para
obligor BLBI yang telah dinyatakan sebelumnya tidak akan menghadapi
tuntutan hukum.
Kasus tersebut bermula dari terjadinya gejolak moneter, yaitu
merosotnya secara tajam kepercayaan terhadap rupiah, mulai sejak Juli
1997 yang diikuti dengan rumor penutupan perbankan yang kalah kliring.
Pemerintah pada 1 November 1997, menutup 16 bank. Tindakan pemerintah
ini mengakibatkan psikologi masyarakat terhadap kepercayaan perbankan
menurun drastis, sehingga masyarakat beramai ramai melakukan rush menarik simpanannya dari berbagai bank yang diisukan atau dipersepsikan akan ditutup oleh Pemerintah.
Akibat kepanikan masyarakat tersebut, untuk mengatasinya termasuk
untuk menjaga jangan sampai collapse sistem perbankan nasional,
bank-bank akhirnya meminta bantuan fasilitas Bank Indonesia sebagai lender of the last resort.
Namun capital flight tetap terjadi, BLBI meningkat karena rush
terus menerus, dan untuk menutupinya Bank Indonesia tetap menyuntikkan
pinjaman kepada perbankan, sehingga jumlah perbankan yang bersaldo
negatif bertambah banyak.
Berbagai skema dilakukan oleh Pemerintah untuk menyelamatkan sistem
perbankan nasional. Di antara skema-skema tersebut adalah PKPS
(Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham), penerbitan Surat Utang
Pemerintah untuk mengkonversi BLBI menjadi penyertaan modal sementara
Pemerintah, pemberlakuan klausul release and discharge pada 21 September
1998, yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum asalkan sudah
membayar utangnya melalui penyerahan asset hingga memperkenalkan
obligasi rekap.
Namun belakangan terungkap bahwa banyak ditengarai bahwa pemberian
BLBI oleh Pemerintah tidak digunakan sesuai peruntukannya, yang
potensial mengandung hal-hal yang bersifat kejahatan perbankan dan
berkualifikasi pidana. Demikian juga pemberian release and discharge
yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum, oleh sementara kalangan
dianggap telah melampaui kewenangan perdata untuk penyelesaian kasus
yang bersifat pidana.
Solusi yang diambil Pemerintah sebagai lanjutan dari kebijakan BLBI
adalah dengan menerbitkan obligasi rekap. Obligasi Rekap adalah
penambahan penyertaan modal pemerintah di perbankan dengan memperlakukan
penyertaan tersebut seperti pinjaman Pemerintah kepada perbankan (sisi
debet) dan Penyertaan Modal Pemerintah (sisi kredit). Atas penempatan
obligasi tersebut, Pemerintah menjadi pihak berhutang kepada perbankan
yang harus membayar bunga obligasi secara reguler kepada perbankan.
Pemerintah berharap bahwa dengan obligasi rekap tersebut, perbankan
memiliki kemampuan untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat, membiayai
operasional perusahaan, dan apabila telah beruntung dari selisih spread
(selisih bunga simpanan yang diterima dengan yang bunga pinjaman yang
disalurkan), pada waktunya perbankan akan mengembalikan Penyertaan Modal
Pemerintah. Namun dalam perjalanan waktu, ternyata penyertaan
Pemerintah dalam bentuk obligasi rekap justru menjadi menjerat
Pemerintah. Pemerintah terikat untuk membayar bunga obligasi secara
reguler dan melunasinya ke perbankan yang tercermin dalam beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Sebaliknya, bunga
maupun cicilan obligasi rekap yang diperoleh perbankan dari topangan
APBN, justru dipergunakan tidak sesuai peruntukannya untuk penyaluran
ke masyarakat dalam fungsi intermediaries perbankan. Dana segar yang
diterima perbankan yang telah menyalah gunakan BLBI, malah dilakukan
penyalah gunaan kedua dengan memanfaatkan dana segar tersebut untuk
keperluan sendiri dan afiliasinya yang tidak berkontribusi kepada
penyehatan perbankan.
Paper ini akan mengkaji empat hal sehubungan dengan hal tersebut di atas, yaitu :
- Apakah kebijakan BLBI yang diambil Pemerintah dan implementasi oleh Bank Sentral telah sesuai dengan lingkup kewenangannya
- Apakah penggunaan fasilitas BLBI telah sesuai dengan tujuan pemberiannya
- Apakah pemberian R&D tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia
- Apakah penyelesaian BLBI dengan penerbitan Obligasi Rekap merupakan solusi yang tepat
Bab II
Manajemen perbankan dalam perekonomian dan masalah hukum atas impelementasi kebijakan BLBI
BLBI adalah suatu kebijakan (policy) dari Pemerintah dan bank
Indonesia pada rezim orde baru di mana Bank Indonesia menyuntikkan dana
kepada bank-bank nasional yang dengan berada dalam kesulitan likuiditas
agari bank-bank tersebut dapat membayar kepada nasabah masing-masing,
untuk menghindari terjadinya kepanikan masyarakat dan gagal bayar dari
bank tersebut kepada nasabahnya.Pengucuran tersebut adalah semacam
sinyal dan
blanket guarantee dari Pemerintah bahwa simpanan nasabah mendapatkan jaminan dari Pemerintah.
[2]
Kebijakan yang demikian, dalam disiplin ilmu moneter dan perbankan
adalah sebuah keniscayaan sepanjang dilakukan dalam koridor
prudentiality dan mengikuti ketentuan perundang-undangan. Hubungan
perbankan, Pemerintahan, dan doktrin hukum bisnis yang terkait akan
dibahas pada bab ini, sebagai berikut :
- Perbankan dalam perekonomian
- Perbankan
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya
[3].
Bank adalah suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga
perantara keuangan (financial intermediaries) yang menyalurkan dana dari
pihak yang berkelebihan dana (
idle fund surplus unit) kepada pihak yang membutuhkan dana atau kekurangan dana (
deficit unit) pada waktu yang ditentukan
[4].
Undang-undang nomor 10 tahun 1998, menambahkan definisi bank dengan
anak kalimat “dalam rangka meningkatkan taraf hidpu rakyat banyak”,
sehingga selengkapnya berbunyi : Bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Unsur modal sendiri dalam perbankan adalah tidak dominan. Karena itu
Perbankan dalam melaksanakan operasinya harus disiplin dalam mengikuti
aturan aturan perbankan, mengingat dana yang disalurkan adalah dana
pihak ketiga. Disiplin ketat tersebut antara lain adalah dengan menjaga
rasio kecukupan modal tertentu (capital adequacy ratio), analisis spread,
manajemen durasi jatuh tempo penyaluran pinjaman dengan simpanan
masyarakat, kehati hatian dalam analisa pemberian kredit, baik dari sisi
kelayakan, keekonomian dan agunan kredit, maupun batas maksimum
pemberian kredit (legal lending limit), serta larangan penyaluran kredit secara eksesif kepada kelompok usaha sendiri.
Pelanggaran ketentuan perbankan, selain merupakan pelanggaran
administratif, pelanggaran perdata juga mengandung pelanggaran pidana.
[5]
- Bank Sentral
Bank Sentral, dalam dunia perbankan, di suatu negara lebih banyak
berperan sebagai institusi pemerintahan, atau kuasi institusi
pemerintahan yang tujuan utamanya bukan untuk tujuan komersial seperti
untuk maksimasi profit, tetapi yang umumnya dimaksudkan adalah untuk
mencapai tujuan tertentu pada perekonomian suatu negara secara umum.
Fungsi-fungsi tersebut antara lain adalah seperti pengendalian moneter,
menjaga berjalannya sistem pembayaran, pengawasan perbankan, menjadi
mitra Pemerintah dalam pengendalian indikator ekonomi makro dan
sejenisnya. Dalam pemahaman Keynessian dan aliran monetarist pada
umumnya, tugas utama bank sentral adalah :
to control the quantity of money and interest rates, to prevent massive bank failures and act as advisor to the government.
[6]
Beberapa ketentuan perundang-undangan mengenai fungsi bank sentral
dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang RI nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang
relevan dengan topik yang dibahas antara lain adalah :
Pasal 4
(1) Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia
(2) Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah
dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam undang-undang ini.
Pasal 7
(1) Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan,
konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum
pemerintah di bidang perekonomian
Pasal 8
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
- menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
- mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
- mengatur dan mengawasi Bank.
Pasal 11
(4) Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak
sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem
keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat
yang pendanaannya menjadi beban pemerintah
Ketentuan-ketentuan di atas merupakan revisi secara fundamental dari
Undang-undang tentang Bank Indonesia, sebelumnya yang menempatkan Bank
Indonesia sebagai bagian dari Pemerintahan, sebagaimana diatur dalam
Undang undang nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral
- Hubungan Bank Sentral dan Pemerintah
Hubungan Bank Sentral dan Pemerintah di berbagai negara adalah
bervariasi. Ada negara yang memasukkan Bank Sentral sebagai bagian dari
Pemerintahan (seperti Indonesia dalam rezim Undang-Undang nomor nomor 13
tahun 1968) , ada juga Negara seperti Jerman, yang memberi independensi
sepenuhnya kepada Bank Sentralnya serta tidak tidak merupakan bagian
dari institusi Pemerintahan ataupun politik, atau yang merupakan hybrid
dan perpaduan dari keduanya seperti Federal Reserve Bank di USA.
Di Indonesia, Hubungan Bank Sentral dengan Pemerintah adalah sebagai berikut
[7] :
HUBUNGAN BANK SENTRAL DENGAN PEMERINTAH.
Pasal 8.
(1) Bank menjalankan tugas pokok tersebut dalam Pasal 7, berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Dalam menetapkan kebijaksanaan tersebut pada ayat
(1) Pemerintah dibantu oleh suatu Dewan Moneter.
DEWAN MONETER.
Pasal 9.
(1) Dewan Moneter membantu Pemerintah dalam merencanakan dan
menetapkan kebijaksanaan moneter seperti termaksud dalam Pasal 8, dengan
mengajukan patokan-patokan dalam rangka usaha menjaga kestabilan
moneter, kepenuhan kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup rakyat.
(2) Dewan Moneter memimpin dan mengkoordinir pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 10.
(1) Dewan Moneter terdiri atas 3 (tiga) orang anggota, yaitu
Menteri-menteri yang membidang Keuangan dan Perekonomian serta Gubernur
Bank.
2) Antara Anggota-anggota Dewan Moneter dan Anggota-anggota Direksi
tidak boleh ada hubungan keluarga sampai dengan derajat ketiga menurut
garis lurus maupun garis ke samping, termasuk menantu dan ipar.
(3) Jika seorang Anggota Direksi sesudah pengangkatannya masuk hubungan
keluarga yang terlarang dengan seorang Anggota Dewan Moneter sebagai
dimaksudkan dalam ayat (2), maka Anggota Direksi yang bersangkutan tidak
boleh terus memangku jabatannya tanpa izin Presiden.
(4) Jika dipandang perlu, Pemerintah dapat, menambahkan beberapa orang Menteri sebagai Anggota penasehat kepada Dewan Moneter.
(5) Sekretariat Dewan Moneter diselenggarakan oleh Departemen Keuangan.
Pasal 11
(1) Dewan Moneter diketuai oleh Menteri Keuangan.
(2) Anggota Dewan Moneter pada tiap kali ia berhalangan, menunjuk
seorang wakil yang atas kuasanya dapat turut serta dalam Sidang-sidang
Dewan Moneter dengan mempunyai hak suara.
Salah satu tugas bank sentral adalah menjaga berjalannya sistem
pembayaran di suatu negara. Dalam hal suatu bank peserta kliring
mengalami kalah kliring (saldo tagihannya terhadap bank Indonesia lebih
kecil di banding saldo kewajibannya), maka untuk menjaga tetap
berjalannya sistem pembayaran, bank sentral mengharuskan bank yang kalah
kliring untuk menambah saldo rekeningnya di bank sentral. Penambahan
saldo tersebut dapat berupa pinjaman jangka pendek, kredit likuiditas
atau bantuan likuiditas.
Fungsi intermediaries perbankan didasarkan pada perhitungan
normal bahwa jatuh tempo pinjaman pihak ketiga di suatu bank tidak akan
mengganggu kemampuan membayar bank atas suatu tagihan yang dimintakan ke
bank itu secara langsung, ataupun yang penagihannya melalui mekanisme
kliring. Suatu perbankan akan tidak dapat bertahan apabila secara
serentak, para nasabah menarik uang dari sistem perbankan tersebut, dan
tidak ada simpanan baru di dalam sistem perbankan. Apabila suatu bank
tidak mampu membayar tagihan yang jatuh tempo, hal ini akan dapat
mendorong terjadinya rush, yaitu para nasabah akan ramai-ramai
menarik simpanannya dari sistem perbankan. Hal ini selanjutnya akan
memberikan efek menular (contagion effect) terhadap perbankan yang relatif masih sehat keuangannya.
Untuk menjaga agar tidak terjadi contagion effect tersebutlah, bank
sentral dengan berbagai instrumen yang dimilikinya dapat menginjeksikan
sejumlah likuiditas kepada perbankan, yang penyaluran, penggunaan dan
pelaporannya harus dilakukan dengan mengikuti kaidah tertentu atas dasar
prinsip kehati-hatian dan kepercayaan.
- B. Doktrin Keputusan Bisnis
Hukum bisnis sebagai bagian dari hukum perdata, menganut asas
kebebasan berkontrak. Asas tersebut sampai pada tingkat tertentu
memberikan kebebasan (partij authonomij) kepada para pihak
untuk merumuskan kesepakatan apapun yang mengikat para pihak sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan hukum memaksa (public law),
dilakukan dengan itikad baik serta tidak mengandung cacat tersembunyi.
Kebebasan para pihak tersebut tidak akan mengikat bagi publik apabila
ternyata bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
Dalam doktrin keputusan bisnis berlaku suatu asas yaitu bahwa suatu
keputusan yang diambil dalam rangka pelaksanaan tidak dapat dituntut
sepanjang dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, prudent, dalam
lingkungan kewenangannya serta tidak bertentangan dengan kaidah hukum
memaksa. Lingkup tugas manajemen dalam lingkup jabatannya yang harus
dilakukan dengan kejujuran dan ketekunan yang pantas, oleh Rai Widjaya
[8], dikenal dengan :
- Tugas yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary duties, trust and confidence)
- Tugas yang berdasarkan kecakapan, kehati-hatian dan ketekunan ( duties of skill, care and diligence)
- Tugas yang berdasarkan ketentuan undang-undang (statutory duties)
- C. Pendekatan ekonomi versus pendekatan moral dalam penyelesaian tindak pidana ekonomi[9]
Dalam dunia bisnis, pendekatan perdata lebih dikedepankan daripada
pendekatan pidana, sepanjang tingkat pelanggaran dan kerugian yang
diakibatkan suatu perbuatan tersebut masih dapat dikelola. Hukum pidana
sebagai sarana terakhir (ultimum remedium) dan bukan pilihan utama
(primum remedium) untuk penyelesaian suatu kasus. Pendekatan yang
konsisten memandang bahwa hukum pidana harus diterapkan secara konsisten
untuk memberi efek jera, didasari pada filsafat moral dari aliran
Imanuel Kant (Kantisme) yang memandang bahwa pelaku pelanggaran pidana,
melakukan perbuatannya adalah dengan kesadaran penuh ( a guilty mind = mens rea).
Sedangkan aliran utilitarianisme berpendapat bahwa penghukuman tidak
efektif untuk memberikan efek jera, karena itu lebih baik dicarikan
suatu tindakan yang dapat mengkompensir suatu pelanggaran dengan
memberikan kemanfaatan yang maksimal bagi masyarakat. Pemidanaan
hanyalah merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dalam hal pelanggar
hukum tidak koperatif terhadap kebijakan yang diambil otoritas suatu
negara untuk mengkompensir kesalahan tersebut.
Kedua pendekatan di atas masing-masing melihat pemenuhan unsur
keadilan dari sisi yang berbeda. Pendekatan pemidanaan sebagai sarana
utama, didasarkan pada konsep keadilan retributive. Konsep keadilan
retributive percaya bahwa semua orang harus mendapatkan keadilan yang
sama, dan keadilan hanya dapat diwujudkan manakala diberikan hukuman
yang setimpal sesuai dengan tingkat keseriusan dan akibat dari kesalahan
tersebut. Sedangkan pendekatan yang lebih melihat kepada suatu
pemulihan hubungan hukum dari akibat suatu kesalahan, dikenal dengan
pendekatan dengan konsep keadilan komutatif. Konsep keadilan komutatif
lebih banyak terdapat pada hubungan perikatan keperdataan, yang mencari
penyelesaian suatu sengketa dengan win-win solution biasanya melalui lembaga arbitrase.
Dalam
common law, dikenal juga penyelesaian kasus dengan pendekatan kompensasi komutatif yang disebut
injunction. Konsep
ini berupa penetapan pengadilan yang mengabulkan gugatan satu pihak,
dimana pihak yang kalah diwajibkan untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perbuatan tertentu untuk jangka waktu tertentu (
temporary restraining order)
[10].
- D. Aspek pidana dalam keputusan bisnis
Menurut Romli Atmasasmita
[11],
kejahatan bisnis dalam peraturan perundang-undangan dalam bidang
keuangan dan perbankan dapat diterapkan tiga sanksi yaitu sanksi
administratif, sanksi keperdataan dan sanksi pidana. Selanjutnya, Romli
Atmasasmita
[12]
juga menyatakan bahwa dalam hal terdapat suatu pelanggaran dalam
praktek hukum keuangan dan perbankan, tidak ada urutan preferensi atau
peraturan perundang-undangan yang menyatakan hukum manakah yang harus
diberlakukan untuk mengadili perbuatan tersebut. Pada hal, penegasan
mengenai preferensi tersebut adalah penting untuk mendapatkan dan
memberikan kepastian hukum bagi para penegak hukum, pelaku bisnis maupun
para
stake holder yang terkait. Romli Atmasmita juga
menyatakan bahwa penyelesaian secara keperdataan dalam kasus yang
mengandung unsur tindak pidana di Indonesia justru akan menimbulkan
ketidakpastian hukum dan ketidak adilan
[13].
Bab III
Analisis kebijakan, implementasi dan aspek hukum BLBI
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, pembahasan dalam bab ini akan meliputi :
- Apakah kebijakan BLBI yang diambil Pemerintah dan implementasi oleh Bank Sentral telah sesuai dengan lingkup kewenangannya
- Apakah penggunaan fasilitas BLBI telah sesuai dengan tujuan pemberiannya
- Apakah pemberian R&D tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia
- Apakah penyelesaian BLBI dengan penerbitan Obligasi Rekap merupakan solusi yang tepat
- Apakah kebijakan BLBI yang diambil Pemerintah dan implementasi oleh Bank Sentral telah sesuai dengan lingkup kewenangannya
Respon yang diberikan Pemerintah dalam menangani krisis perbankan
dalam bentuk BLBI berdasarkan ketentuan normatif perundang-undangan
masih berada dalam lingkup kewenangan Pemerintah. Namun demikian,
peristiwa tersebut bukan peristiwa yang lepas dari rentetan kebijakan
Pemerintah sebelumnya, seperti pelonggaran dan liberalisasi perbankan
yang dikenal dengan Paket Oktober 1988. Dalam paket tersebut, Pemerintah
memberi izin pendirian bank umum kepada masyarakat luas hanya dengan
modal Rp. 10 milyar. Kemudahan pendirian perbankan, yang lebih
menekankan kepada aspek perluasan (marketing), tanpa memperhatikan
prudentiality merupakan bibit lahirnya krisis perbankan.
[14]
Penyaluran kredit kepada kelompok usaha sendiri, assessmen kelayakan
pemberian kredit yang di bawah standar, serta fasilitasi yang diberikan
Pemerintah dan Bank Indonesia seperti fasilitas diskonto, Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk menutupi ketidak sehatan
perbankan, yang tidak disertai dengan sanksi yang tegas kepada manajemen
perbankan berakumulasi sedemikian rupa yang meledak tidak lebih dari 10
tahun sejak paket tersebut diperkenalkan Pemerintah.
BLBI adalah kebijakan Pemerintah. BLBI bukan kebijakan Bank
Indonesia. Bank Indonesia, semata-mata adalah pelaksana dari suatu
kebijakan Pemerintah. Sebagai bukti dari argumentasi di atas, adalah
bahwa atas penyaluran BLBI, Bank Indonesia mengalihkan tagihan
[15]
kepada penerima BLBI menjadi tagihan Pemerintah melalui Badan yang
khusus dibentuk Pemerintah untuk itu yang bernama Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) yang dibentuk oleh Pemerintah dengan Keppres
nomor 27 dan no. 34 tahun 1998. Tugas Pokok BPPN misalnya antara lain
adalah untuk merestruktusisasi sektor sperbankan secara keseluruhan
sejalan dengan program yang diformulasikan oleh Bank Indonesia. Dengan
demikian, tidak mudah untuk memilah antara tanggungjawab Pemerintah
maupun tanggungjawab Bank Sentral sehubungan dengan krisis yang terjadi
dengan BLBI.
Dalam hal penyaluran BLBI, bank Indonesia berkilah dan berlindung di balik berbagai aturan normatif sebagai berikut :
- Bank Indonesia merupakan lender of the last resort bagi bank nasional
- Rush terhadap salah satu bank dapat mengakibatkan berkurangnya dana
dalam sistem perbankan, yang pada gilirannya akan berpengaruh (contagion
effect) yang memberikan efek domino terhadap bank-bank lain dalam
sistem perbankan nasional
- Adanya program penjaminan pemerintah terhdapa simpanan nasabah di
bank-bank nasional memungkinkan Bank Indonesia secara otomatis
memberikan BLBI kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas
- Pemberian BLBI oleh Bank Indonesia kepada bank bank adalah untuk menolong sistem perbankan nasional.
Terhadap hal tersebut di atas, auditor yang ditugasi Pemerintah
melihat bahwa kesalahan dalam implementasi BLBI ada pada Bank Indonesia,
sebagai berikut :
a. Mengabaikan fungsi pengawasan
b. Mengabaikan penerapan sanksi secara tegas dan konsekuen terhadap para pelanggar
c. Mengabaikan langkah langkah pengamanan terhadap
penyimpangan oleh bank bank yang melanggar batas minimum pemberian
kredit (BMPK), melanggar prinsip prudential banking, mutasi akuntansi
yang merupakan financial engineering, membiarkan penggunaan BLBI tanpa
kendali, diskriminasi penyaluran BLBI, intervensi valas kepada bank
bersaldo debet, mengambaikan program penjaminan perbankan, membiarkan
penyelesaian jatuh tempo melalui mekanisme kliring
Penulis melihat ada ketidak seimbangan penilaian dan
pemberian beban tanggung jawab dalam hal ini. Auditor BPK maupun BPKP
tidak ada mengungkap apakah ada beban kesalahan atau kekeliruan pada
sisi Pemerintah, tetapi semata-mata ditekankan kepada Bank Indonesia
sebagai implementator kebijakan Pemerintah.
- Apakah penggunaan fasilitas BLBI telah sesuai dengan tujuan pemberiannya
Kebijakan pemberian BLBI sesuai dengan Keputusan Presiden nomor 26
tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 dimaksudkan Pemerintah adalah dalam
rangka penyelamatan perbankan nasional dari rush dan kolapsnya sistem
perbankan. Karena itu Keppres dimaksud adalah dalam rangka penjaminan
simpanan nasabah, untuk memberi ketenangan psikologis agar masyarakat
tidak ramai-ramai menarik uangnya dari sistem perbankan. Untuk tujuan
tersebut, maka penggunaan BLBI seyogianya mengikuti aturan, kriteria dan
mekanisme yang jelas untuk mencapai tujuannya.
Namun dalam prakteknya, hal tersebut tidak demikian. Penyaluran BLBI
oleh Bank Indonesia lebih banyak ditekankan untuk mengatasi kesulitan
likuiditas bank-bank yang disebabkan oleh penarikan dana pihak ketiga
dalam jumlah besar sehingga terjadi saldo giro debet di BI. BI
memutuskan akan tetap memberi kelonggaran berupa fasilitas saldo debet
dengan mekanisme kliring, tanpa memberikan dispensasi, batas jumlah dan
batas waktu yang jelas serta kriteria yang jelas. Hal ini tertuang dalam
Keputusan Rapat Direksi Bank Indonesia tanggal 15 Agustus 1997.
Auditor BPKP dan BPK menyatakan dari total BLBI yang disalurkan
sebesar Rp. 144,536 Triliun, terdapat sejumlah Rp. 138,442 Triliun atau
95.78 % yang menimbulkan potensi kerugian negara.
Penyimpangan dalam penggunaan BLBI tersebut adalah sebagai berikut[16] :
- Penggunaan BLBI untuk membayar/ melunasi modal pinjaman/ pinjaman subordinasi ( Rp. 46,08 M)
- Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya (Rp. 46,088 M)
- Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait/ kelompok terafiliasi (Rp. 20,36 T)
- Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak ketiga di luar ketentuan ( Rp. 4,47 T)
- Penggunaan BLBI untuk transaksi surat berharga (Rp. 136,90 M)
- Penggunaan BLBI untuk membiayai kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama jatuh tempo (Rp. 22,46 T)
- Penggunaan BLBI untuk membiayai placement/ penempatan baru di Pasar Uang Antar Bank (Rp. 9,82 T)
- Penggunaan BLBI untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap (aset
tak bergerak) seperti pembukaan cabang baru, rekrutmen karayawan,
peluncuran produk baru, penggantian sistem (Rp. 456,35 M)
- Penggunaan BLBI untuk membiayai ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada (Rp. 16,81 T)
- Penggunaan BLBI untuk membiayai overhead (biaya operasional) bank umum (Rp. 87,14 M)
- Penggunaan BLBI untuk keperluan lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (Rp. 10,06 T)
- Apakah pemberian R&D (release and discharge) tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia
Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan
Kepastian Hukum kepada Debitur yang telah menyelesaiakan kewajibannya
atau tidakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya
berdasarkan kewajiban pemegang saham, pada pasal-pasalnya antara lain
menyatakan :
Ayat 1.
Kepada para debitur yang telah menyelesaian kewajiban Pemegang Saham,
baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/ atau Akta Pengakuan Utang/ APU,
diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam
rangka jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam perjanjian
tersebut.
Ayat 4.
Dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1
menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung
dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam
tahap penyelidikan, penyidikan dan/ atau penuntutan oleh instansi
penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian
penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Instruksi Presiden di atas memberikan implikasi dan persoalan hukum yang luas yaitu :
- Pengakuan Pemerintah yang lebih tinggi kepada hukum privat
dibandingkan dengan hukum publik. Ayat 1 pasal tersebut memberikan
implikasi bahwa terhadap para debitur akan diberikan pelepasan dari
suatu tanggungjawab (release and discharge), tanpa mempersoalkan apakah
timbulnya kewajiban tersebut, karena suatu mismanagement, pelanggaran
hukum atau suatu perbuatan yang mungkin mengandung unsur pidana. Akta
pengakuan utang (APU) misalnya hanya menyangkut pengakuan berdasarkan
verifikasi atas jumlah utang BLBI seorang debitur. Akta itu telah
menjelma dan berubah menjadi suatu peniada terhadap apapun penyebab
timbulnya hutang maupun terhadap bagaimana BLBI tersebut dipergunakan.
- Hukum administrasi Negara, mengambil alih dan berdiri di atas hukum
publik. Adalah tidak lazim dan bertentangan dengan hukum positif,
manakala suatu instruksi administrasi (dalam hal ini berupa INPRES)
menyapu bersih dan meniadakan sama sekali aspek pidana.
Dalam hukum positif Indonesia, berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana), misalnya, penghentian penuntutan hanya dapat
dilakukan oleh penuntut umum karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara
ditutup demi hukum (pasal 140 ayat 2 a).
Sedangkan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), peniadaan
penuntutan atau penghapusan hak menuntut hanya dapat dilakukan apabila :
- Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap mengenai tindak pidana yang sama/ nebis in idem (pasal 76)
- Terdakwa meninggal dunia (pasal 77)
- Perkara telah dinyatakan telah lewat waktu/ kadaluwarsa (pasal 78)
- Pelanggaran yang diancam dengan denda saja (pasal 82)
- Tidak ada pengaduan dalam hal perkara yang dimaksud adalah berupa delik aduan (pasal 72 – 75)
Demikian juga dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada pasal 4 dinyatakan bahwa
pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapus dipidananya pelaku tindak pidana.
Memang, apabila ditinjau sepintas, pengeluaran Inpres tersebut sampai
pada tingkat tertentu dapat dipandang sebagai kemenangan hukum perdata
atau hukum privat atas hukum publik, yang memberi perlindungan dan
kepastian hukum bagi para pihak yang bersetuju dan bersepakat serta
koperatif terhadap kebijakan Pemerintah yang lebih mengutamakan recovery of asset daripada
penghukuman. Pendekatan yang lebih mengutamakan penyelesaian perdata
dibandingkan dengan penyelesaian pidana, dalam istilah hukum dikenal
dengan pilihan yang menggunakan hukum pidana sebagai ultimum remedium.
Sedangkan apabila pendekatan yang diambil adalah lebih menonjolkan
fungsi menghukum, dalam istilah hukum disebut menggunakan hukum sebagai primum remedium.
Gugatan atas INPRES nomor 8 tahun 2002
INPRES nomor 8 tahun 2002, mendapat gugatan dan perlawanan besar dari
sekelompok masyarakat. Inpres itu dianggap telah melukai rasa keadilan
masyarakat, dimana para pengemplang keuangan negara, dibebaskan dari
segala tuntutan hukum asal yang bersangkutan mau koperatif terhadap
skema penyelesaian yang disodorkan oleh Pemerintah. Kwik Kian Gie
[17],
sebagai Menteri Perekonomian pada masa dikeluarkannya Inpres tersebut
adalah salah satu penentang hebat dari kebijakan Presiden dimaksud, dan
bahkan telah memprediksi bahwa gugatan dari masyarakat di kemudian hari
akan timbul karena INPRES di atas dianggap terlalu memihak kepada para
pengemplang BLBI, tanpa mempersoalkan dan melihat adanya mismanagement
yang berbau tindak pidana yang mengancam kolapsnya sistem perbankan.
Demikian juga penggunaan BLBI maupun skema penyelesaiannya, serta akibat
dan beban luar biasa terhadap perekonomian negara, dipandang merupakan
pengkhianatan terhadap rasa keadilan masyarakat dan Presiden dianggap
telah bertekuk lutut di bawah jaring pendiktean kapitalis globalis.
Mahkamah Agung mengelak dari substansi persoalan
Keberadaan Inpres nomor 8 tahun 2002, oleh kalangan masyarakat yang
disponsori oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diajukan
gugatan judicial review ke pengadilan melalui mahkamah agung pada
tanggal 27 Mei 2003.
Pokok gugatan antara lain adalah sebagai berikut :
- Inpres nomor 8 tahun 2002 telah melanggar peraturan
perundang-undangan di atasnya, dimana menurut ketentuan pasal 4 ayat 1
Tap MPR no. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata urutan Peraturan
Perundang-undangan dinyatakan bahwa “ setiap atauran hukum yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi”.
- Pelanggaran terhadap ketentuan yang lebih tinggi itu antara lain adalah terhadap
Tap MPR IX/ MPR/1998 yang menugasi Presiden untuk konsisten dalam
memberantas korupsi, sesuai undang-undang; Undang-undang nomor 31 tahun
1999 yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana; Undang-undang nomor 8
tahun 1981, yang memberikan hak untuk penghentian penuntutan (SP3)
kepada penyidik, setelah melalui proses penuntutan ternyata tidak
ditemukan cukup bukti untuk melanjutkan penuntutan; Undang-undang nomor 5
tahun 1991 tentang kejaksaan yang memberi hak untuk menggunakan hak
oportunitasnya demi kepentingan umum; KUHP yang mengatur kriteria tetang
peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut.
Mahkamah Agung dengan putusan nomor 06G/HUM/2003 tanggal 30 Mei 2007
mengelak untuk membahas substansi yang digugat, dan menyatakan bahwa
Inpres nomor 8 tahun 2002 adalah merupakan kebijakan Pemerintah dan
tidak dapat dijadikan sebagai objek sengketa dalam judicial review.
Pertimbangan putusan hukum adalah sebagai berikut :
- Inpres tersebut merupakan kebijakan dalam rangka pelaksanaan
perjanjian PKPS, yang berbentuk MSAA, MRNIA dan/ atau APU. Kepada para
debitur yang patuh diberikan jaminan kepastian hukum berupa pembebasan
dari tuntutan pidana, dan kepada yang tidak patuh tetap diterapkan
proses hukum, termasuk tuntutan pidana
- Presiden berwenang menetapkan langkah kebijakan (beleid regels), demi kepastian hukum serta menyelamatkan aset negara
- Sebagai kebijakan, Inpres Release and Discharge tidak termasuk
sebagai obyek hak uji materiil. Oleh karena itu, MA menolak gugatan hak
uji materi Inpres No. 8 tahun 2002.
Putusan Mahkamah Agung tersebut, menurut penulis adalah tidak konsisten, kontroversial dan mengandung contradictio in terminus.
Di satu sisi MA menyatakan tidak berwenang melakukan uji material,
tetapi di sisi lain MA menyatakan bahwa Inpres dimaksud adalah semata
mata merupakan beleid Pemerintah, dan isi atau materinya adalah proper
dan masih dalam lingkup kewenangan kebijakan Pemerintah.
- Apakah penyelesaian BLBI dengan penerbitan Obligasi Rekap merupakan solusi yang tepat
Penyelesaian krisis perbankan dengan skema obligasi rekap
merupakan konsep yang disampaikan IMF (Internasional Monetary Fund) pada
tahun 2000 an kepada Pemerintahan Presiden Megawati. Jumlah OR yang
dipersiapkan adalah Rp. 432 Triliun, yang bersama bunga yang masih akan
digelontorkan Pemerintah berjumlah menjadi Rp. 600 Triliun
[18].
Cara kerja atau mekanisme bekerjanya obligasi rekap, secara teoretis adalah sebagai berikut :
- Kepada perbankan yang secara yuridis telah kolaps (saldo modal
negatif), ditopang Pemerintah dengan menempatkan obligasi rekap (sebagai
asset) seolah-olah pinjaman Pemerintah kepada perbankan. Atas pinjaman
tersebut Pemerintah membayar bunga secara reguler dan berjanji akan
menarik atau mencicil pinjamannya pada jangka waktu (schedule) yang
disepakati.
- Pembayaran bunga secara reguler ke pada perbankan, dan cicilan OR
nya merupakan beban Pemerintah yang tercermin pada sisi pengeluaran APBN
setiap tahun
- Perbankan mencatat pada sisi kredit OR yang diterima sebagai Tambahan Modal Perbankan (equity).
- Skeme tersebut memberi perbankan dua keuntungan sekaligus, yaitu
memenuhi ketentuan kesehatan perbankan secara internasional (Capital
Adequacy Ratio) yang mencukupi sesuai ketentuan Bank of Internasional
Settlement, dan memperoleh pendapatan secara teratur melalui bunga dan
cicilan OR dari Pemerintah
- Bank yang telah sehat, diharapkan dapat menjalankan fungsi
intermediaries secara normal. Hal ini akan ditandai dengan penyaluran
pinjaman dan penerimaan simpanan masyarakat. Selisih bunga (spread)
yang diperoleh, akan merupakan akumulasi keuntungan yang pada akhirnya
dapat dipergunakan oleh perbankan untuk mengembalikan penyertaan modal
pemerintah yang sebelumnya telah menjadi pemilik modal mayoritas
perbankan, melalui konversi BLBI menjadi penyertaan modal pemerintah.
- Pada akhirnya sistem perbankan akan pulih, Pemerintah mengembalikan
perbankan ke swasta dan menarik modalnya yang ada di perbankan.
Mengingat kebijakan OR pada dasarnya hanyalah financial engineering,
maka Pemerintah memberlakukan aturan yang ketat untuk memastikan agar
uang yang digelontorkan melalui APBN itu tidak disalah gunakan lagi oleh
pengelola perbankan. Aturan-aturan tersebut antara lain adalah sebagai
berikut :
- Pada dasarnya, secara hukum pemilik perbankan telah beralih kepada
Pemerintah, karena kepemilikan melalui BLBI dan OR. Pemilik lama, hanya
sekedar pengelola, dan Pemerintah menempatkan wakilnya untuk mengawasi
operasi perbankan
- Penjualan perbankan hanya akan dilakukan jika bank sudah sehat, mampu membuat laba dan telah mengembalikan OR kepada Pemerintah
- Penjualan bank-bank akan dilakukan dengan tender terbuka secara
transparan. Pemerintah akan mengumumkan secara terbuka kepada semua
pembeli potensial di seluruh dunia
- Pemerintah menentukan harga minimum bank, dan akan dirahasiakan
serta disimpan pada notaris yang ditunjuk bersama oleh Pemerintah
bersama IMF.
Kebijakan tersebut, baik dalam konsepnya maupun prakteknya dipandang
tidak mencerminkan keadilan dan bertentangan dengan logika hukum, serta
mengandung banyak penyelewengan antara lain sebagai berikut :
- Menyuntik perbankan yang kolaps karena mismanagement oleh
pengelolanya dengan topangan dana APBN dipandang melukai rasa keadilan
masyarakat. Management yang salah dalam mengelola tidak memperoleh
hukuman apapun sesuai dengan Undang-undang perbankan atau undang-undang
pemidanaan yang lain
- Pemerintah tidak menarik OR meskipun perbankan telah sehat dan
memiliki spread yang positif. Pemerintah tidak mempercepat batas waktu
penghentian subsidi pemerintah melalui OR.
- Obligasi belum ditarik pada saat bank dijual. Ini berarti, sekalipun
kepemilikan perbankan telah berpindah baik kepada swasta, mantan
pemilik atau asing, Pemerintah tetap akan membayar bunga dan cicilan
pokok melalui beban rakyat di APBN
- Penjualan bank tidak dilakukan secara transparan dan terbuka
Dalam kenyataannya bank-bank yang dijual jatuh kepada para pemilik
lama, atau mantan pejabat IMF, dengan skeme dan harga yang
justifikasinya tidak dapat dijelaskan dengan wajar
Bab IV
Simpulan
Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat diambil simpulan sebagai berikut :
- Kebijakan BLBI yang diambil oleh Pemerintah dan implementasi oleh
Bank Sentral, sepanjang mengenai kebijakan normatif dalam rangka
penyelamatan perbankan dalam sistem perekonomian masih berada dalam
lingkup kewenangan institusi masing-masing. Dalam sisi kebijakan, maka
beban pertanggungjawabannya lebih besar adalah pada Pemerintah
- Penggunanaan fasilitas BLBI dalam impementasinya tidak sesuai dengan
tujuan pemberiannya. Dari sisi implementasi, maka beban
pertanggungjawabannya lebih besar adalah pada Bank Indonesia sebagai
Bank Sentral
- Pemberian release and discharge bagi para obligor yang
berdasarkan penilaian Pemerintah telah kooperatif adalah bertentangan
dengan sistem hukum, logika hukum dan asas keadilan hukum di Indonesia
- Penyelesaian BLBI dengan penerbitan Obligasi Rekap merupakan solusi
yang salah baik dari segi konsep, implementasi maupun pertanggungjawaban
publik Pemerintah sebagai pemegang mandat kedaulatan kepada rakyat.
Mengalihkan akibat finansial dari kekeliruan dalam managemen perbankan
ke pada masyarakat melalui APBN adalah bertentangan dengan asas keadilan
masyarakat dan dapat dipandang sebagai tindakan yang melebihi
kewenangan dari Pemerintah.
Daftar Pustaka
I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007
Kwik Kian Gie, MSAA dan drama penerbitan R & D, dalam Marwan Batubara, dkk , Skandal BLBI : Ramai-ramai Merampok Negara, Haekal Media Center, Jakarta, 2008
Lukman Dendawijaya, Manajemen Perbankan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005
M. Rizal Alif, Penyalah gunaan dana BLBI sebagai kejahatan kerah putih di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, vol 27 tahun 2008,
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi 2, Predana Media,Jakarta, 2003
________________, Privatisasi BUMN terkait Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Unpublished paper, 2008
T. Mayer, J. Desenberry, RZ. Aliber, Money Banking and the Economy, fith ed. WW Norton coy, New York, USA, 1993
Tim Redaksi Pustaka Timur, Kasus BLBI, Tragedi Korupsi terbesar di Indonesia, Yogyakarta, 2007
Perundang-undangan
Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-undang nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral
Undang-undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
[1]
Referensi Utama penulisan paper ini, diambil dari : Marwan Batubara,
dkk. Skandal BLBI : Ramai-ramai Merampok Negara, Haekal Media Center,
Jakarta, 2008
[2]
M. Rizal Alif, Penyalah gunaan dana BLBI sebagai kejahatan kerah putih
di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, vel 27 tahun 2008, hal. 49
[3]Pasal 1 a Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
[4] Lukman Dendawijaya,
Manajemen Perbankan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal. 14
[5]
Pasal-pasal mengenai konsekuensi administratif, perdata atau pidana
tersebut antara lain terdapat pada pasal 48 – pasal 53 Undang-undang
nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang nomor 10 tahun
1998 tentang perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 (yang diterbitkan
sementara krisis perbankan sedang terjadi), sanksi-sanksi
administratif, perdata dan pidana tersebut ditambah dan disempurnakan
pada pasal 46 – 53.
[6] T. Mayer, J. Desenberry, RZ. Aliber, Money Banking and the Economy, fith ed. WW Norton coy, New York, USA, 1993, page. 179
[7]
Pasal-pasal yang diambil adalah dari Undang-undang lama (yaitu
Undang-undang nomor 13 tahun 1968 tentang bank Sentral), dan yang
dikaitkan dengan Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan,
karena kasus BLBI terjadi masih dalam rezim Undang-undang tersebut.
[8] I.G Rai Widjaya,
Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007, hal. 220
[9] Disarikan dari “ Romli Atmasasmita,
Privatisasi BUMN terkait Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Unpublished paper, 2008
[10]Injunction
: A prohibitive, equitable remedy issued or granted by a court at the
suit of a complanaint, directed to a party defendant in the action , or
to a party made defendant in the action..dst., Black’s Law Dictionary,
fifth ed. hal. 705
[11] Romli Atmasasmita,
Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi 2, Predana Media,Jakarta, 2003, hal. 25
[13] Romli Atmasasmita,
Privatisasi BUMN terkait Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, unpublished paper, 2008
[14] Tim Redaksi Pustaka Timur
, Kasus BLBI, Tragedi Korupsi terbesar di Indonesia, Yogyakarta, 2007, hal. 2
[15] Pengalihan Badan/ lembaga yang menerima pelunasan BLBI diatur dalam SK Direksi BI nomor 31/27/Kep/Dir.
[16] Dikutip dari Marwan Batubara, Skandal BLBI, Ramai-ramai Merampok Negara, Jakarta, 2008, hal. 28 – 29
[17]Lihat,
Kwik Kian Gie, MSAA dan drama penerbitan R & D, dalam Marwan
Batubara, dkk , Skandal BLBI : Ramai-ramai Merampok Negara, Haekal Media
Center, Jakarta, 2008
[18]
Beban Pemerintah melalui APBN ini terasa sangat memberatkan. Dalam APBN
tahun 2004, tercantum beban pembayaran bunga sebesar 62.5 Triliun dan
cicilan pokok sebesar 71.9 Triliun.
Boediono Sri Mulyani Sejoli Century dalam Intaian KPK
7 Mar 2013 14:02:58
http://m.aktual.co/aktualreview/141616boediono-sri-mulyani-sejoli-century-dalam-intaian-kpk-
Sri Mulyani Indrawati saat menjabat Menkeu dan Boediono saat menjadi Gubernur BI (Foto:politik.news.viva.co.id)
Jakarta.Aktual.co --
Seperti tidak pernah
bermimpi akan digandeng Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Wakil
Presiden RI, Boediono juga tidak pernah mimpi hari hari mendatang dia
bakal mengenakan jaket putih seragam tahanan Komisi Pembrantasan Korupsi
(KPK). Juga Sri Mulyani Indrawati (SMI) tak pernah membayangkan diri
jadi Direktur Eksekutif Bank Dunia di Washington, seperti tiba-tiba
kelak harus berjaket putih KPK bersama Boediono.
Sejoli penguasa
moneter Indonesia ini memang serba sepadan serasi. Santun dan manis.
Siapa pun tak bisa memungkiri bahwa sejoli duo ekonom ini memang cerdas.
Khalayak
pemerhati niscaya ingat begitu duet SBY – JK (Jusuf Kalla) retak
jelang Pilpres 2009, nama Ani --panggilan akrab SMI-- pun disebut
sebagai bakal cawapres pendamping SBY. Namun karena ada keberatan dari
Ani yang lain, SBY pun beralih memilih Boediono.
Tentang ihwal
siapa mendampingi SBY itu, petinggi Partai Demokrat tentu tahu. Lagi
pula perdebatan wacana bakal cawpres jelang Pilpres itu sempat direkam
siar Radio Elshinta. Saat itu para petinggi Demokrat kukuh menyangkal
bahwa SMI dan atau Boediono merupakan bakal cawapres terkuat di mata
Cikeas. Bagi mereka itu hak prerogatif SBY,
Entah apa karena para
petinggi itu wajib merahasiakan dulu kedua nama final bakal cawapres
yang sudah ditimang SBY? Atau justru akibat mereka memang tidak tahu
bahwa SBY lebih condong memilih teknokrat ekonomi itu sebagai
pendampingnya?
Yang pasti dalam acara bincang politik on air yang
disiarkan radio berita terkemuka itu ada satu pertanyaan yang saat itu
tersisa menanti jawaban. Yaitu, gerangan apa saham utama kedua sejoli
ini, hingga SBY bagai berkacamata kuda, enggan melirik nama-nama besar
bakal cawapres lain di luar SMI - Boediono.
De Javu.
Begitu
penyidikan dan wacana Kasus Hambalang merebak tidak terbendung, bagai
Keris Mpu Gandring yang mencari korban kelima, keenam, ketujuh, dan
seterusnya, khalayak saat ini bagai menemukan celah petunjuk baru juga
dalam menguak kasus Century. Yaitu setelah Anas Urbaningrum Ketua Umum
Partai Demokrat ‘terpaksa’ ditersangkakan oleh KPK, menyusul M.
Nazarudin, Angelina Sondakh, dan Andi Alfian Mallarangeng.
Kicauan
Anas selepas ‘berhenti dari posisi partai, kepada Timwas Century DPR
RI, ternyata menyeruak bukan hanya berkenaan dengan kandal Hambalang,
bahkan menyentuh juga berbagai tengara fakta baru seputar kasus bail out
(penanalangan) dana Bank Century. Penalangan yang dipaksa-paksakan
dengan dalih “ihwal dana bank ini berdmapak sistemik’
Meski
tidak mendapatkan novum atau data dari Anas. yang pasti kelima pimpinan
KPK akhir Februari lalu menandatangani surat pemeriksaan yang diajukan
Deputy Penindakan untuk memeriksa SMI di Washington. Mantan Menteri
Keuangan ini, menurut Ketua KPK, Abraham Samad, akan diperiksa dahulu
sebagai saksi kasus korups ‘bailout’ Bank Century.
Lengket Terkena Getah Hambalang
Ini
kali kedua SMI diperlakukan istimewa oleh KPK. dimintai keterangan
tanpa wajib ke KPK. Mirip hari Kamis 29 April 2010 saat KPK ke Lapangan
Banteng memeriksa SMI di kantor Kemenkeu. Kali ini, Tim KPK
mengagendakan agar seusai memeriksa SMI di Washington, mereka bisa
sekaligus singgah di Tokio untuk memeriksa saksi terkain Centuy yang
masih dianonimkan.
Kepada Timwas Century saat rapat di DPR, Rabu
27 Februari, Abraham Samad mengakui pemeriksaan SMI akan tertuju pada
dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian fasilitas pinjaman jangka
pendek (FPJP) bagi Bank Century. Sehingga, tahun 2008, Century mendapat
dana talangan sampai Rp6,7triliun hanya beberapa bulan jelang penetapan
duet capres cawapres. SMI akan diperkarakan atas penetapan Century
sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan pemberian FPJP tersebut.
Itulah
lakon yang tak terbayangkan oleh SMI. Apalagi saat menjabat Menkeu,
kulit halus SMI ternyata lengket terkena getah kasus Hambalang Ini
akibat ulah janggal SMI mengubah aturan pengajuan tahun jamak melalui
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2010 tentang Tata Cara Pengajuan
Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Data Terbaru Dari Anas
Anggota
Timwas Century, Syarifuddin Sudding di gedung DPR-RI, Selasa 5 Maret
usai bersama rekan satu tim menemui Anas Urbaningrum di rumahnya, Duren
Swit, mengaku ada empat nama baru yang muncul terkait dengan kasus
Century. Nama itu belum pernah terungkap di Pansus Hak Angket
Century.Padahal nama nama itu diduga kuat terlibat kasus century. Sesuai
dokumen yang disampaikan,Anas, nama-nama itu juga direkomendasikan Anas
untuk dipanggil Timwas, dan diharapkan bisa membuka tabir keterlibatan
yang bersangkutan.
Sudding, juga mengungkapkan bahwa dalam
pertemuan hari Senin di Duren Sawit, Anas sempat menyampaikan bahwa
empat nama baru itu telah meminta dia (Anas) untuk tidak melibatkan
Presiden SBY.
"Iya, saya ingat bahwa ada yang melobi agar tidak
melibatkan pak lurah (SBY)," demikian kata Anas sebagaimana disitir
Sudding.
Dari empat nama yang disebut Anas, dua adalah kader
Partai Demokrat, SHM alias Siti Hartati Mudaya mantan Dewan Pembina,
dan ZA alias Zainal Abidin mantan Bendahara Umum PD yang sudah meninggal
dunia. Nama lain ialah BT pengusaha tambang, yang disinyalir berperan
sebagai operator.
Menarik. Karena banyak orang penting partai
Demokrat yang terlibat alam kasus ini, boleh jadi skandal Bank Century
ini juga bisa berarti memang skenario besar terkait kepentingan partai
dan pemilihan umum.
Hatta Rajasa dan Tiga Surat SMI
Nama
lain yang disebut Anas adalah nama Ketua Umum Partai Amanat Nasional
(PAN), Hatta Rajasa, yang juga besan SBY. Hatta disebut karena terlibat
di dalam proses bailout atau pengucuran dana talangan Bank Century.
Wajar mengingat saat proses bail out, Hatta Rajasa menjabat Menteri
Sekretaris Negara (Mensesneg).
Apalagi dokumen hasil pemeriksaan
Kasus Bailout Bank Century, menyebutkan SMI ketika menjabat Menkeu
mengaku pernah mengirimkan tiga surat soal Bank Century --yang tak laik
dibailout-- kepada Presiden SBY. Ternyata ketiga surat tersebut, tidak
pernah sampai ke tangan SBY. Padahal tiap surat yang ditujukan kepada
Presiden, harus melalui Setneg.
Sedang yang berkenaan dengan
pemeriksaan SMI, Sudding menyebutkan, ada tiga dokumen terkait mantan
Menkeu SMI yang diserahkan Anas pada Timwas Century. "Pemeriksaan Sri
Mulyani ada kaitan dengan dokumen Anas tersebut," katanya.
Penjahat Kambuhan Perbankan
Lalu
bagaimana dengan Boediono, Wakil Presiden RI saat ini, yang ternyata
juga terduga skandal pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
tahun 2007 ?
Fuad Bawazier, Menteri Keuangan saat itu malah
menilai Boediono sebagai residivis perbankan. Terbukti tahun 1997
Boediono pernah dipecat Presiden Soeharto karena dia tidak
bertanggungjawab atas pengucuran BLBI. Fuad tahu persis sebab dia yang
mengeksekusi keppres pemecatan Direktur Analisis Perkreditan BI itu
Kesalahan
Boediono hingga dipecat oleh Soeharto itu terkait dengan kejadian pada
Tahun 1997. Saat itu Gubernur BI Soedrajat Djiwandono bersama enam
direktur BI Hendro Budiyanto, Heru Supraptomo, Paul Soetopo, Boediono,
Haryono, dan Muhlis Rasyid, berdasarkan keputusan kolegial dari rapat
tanggal 15 dan 20 Agustus 2007 setuju mengucurkan ratusan triliun rupiah
dana BLBI. Pengucuran yang ternyata tak bisa dipertanggungjawabkan oleh
para direksi BI itu kemudian dikenal sebagai Mega Skandal BLBI.
Hendrobudiyanto,
Heru Supraptomo dan Paul Soetopo kemudian diadili dan divonis bersalah.
Tetapi, jaksa tidak menyidik Soedrajat, karena kedudukan Gubernur BI
itu dianggap setingkat menteri yang kebijakannya tak bisa dipidana.
Namun
yang aneh kenapa atas perkara Boediono, Haryono dan Muhlis Rasyid, oleh
kejaksaan malah digantung terus tanpa pernah diajukan ke pengadilan
?.Gila.
Padahal tahun 2004, MA kemudian mengeluarkan keputusan No
977 K/Pid/2004 yang antara lain menyebut, Heru Soepratomo dinyatakan
terbukti korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Secara harafiah
penyebutan secara bersama itu berarti, Boediono yang sekarang jadi
Wapres, ikut bersalah.
Keanehan Perlakuan Atas Boediono
Ternyata
di balik keanehan sikap diskriminatif kejaksaan terhadap para direksi
BI itu yang sama-sama bersalah di dalam Mega Skandal BLBI , malah ada
hal yang lebih aneh lagi. Yaitu sikap SBY.
Semestinya SBY sudah
tahu bahwa Boediono itu pernah dipecat Soeharto karena merugikan
keuangan negara hingga rp138triliun, Lho Boediono kok malah diangkat SBY
menjadi Gubernur Bank Indonesia.
Lalu yang jauh lebih aneh ialah
mengapa semasa Boediono menjabat Gubernur BI, dan Sri Mulyani Indrawati
menjabat Menteri Keuangan, serta ketika Hatta Radjasa menjabat Menteri
Sekretaris Negara, justru terjadi skandal Century?
Kok bisa ya?
Ada apa sih? Heran. Sudah begitu kemudian Boediono dan SMI malah jadi
bakal caapres favorit yang ditimang-timang SBY?
Sekarang ini
yang tidak kalah menariknya, adalah sikap keukeuh Ketua DPR RI Marzuki
Alie yang menolak jika mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas
Urbaningrum dipanggil sebagai narasumber pada rapat Tim Pengawas Kasus
Bank Century (Timwas Century) di DPR RI.
Jika Timwas Century
tetap memanggil Anas, berarti menyalahi keputusan DPR RI. Karena
keputusan melalui rapat paripurna sebagai lembaga pengambil keputusan
tertinggi di DPR,. “Padahal rapat paripurna telah melimpahkan kasus Bank
Century itu kepada KPK untuk ditindaklanjuti," kata Marzuki Alie.
Timwas Century DPR RI berdasarkan keputusan paripurna DPR RI hanya bertugas mengawal proses penegakan hukum yang dilakukan KPK.
Wow ngeri ngeri sedap nih.
Dhia Prekasha Yoedha
'
http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/sri-mulyani-indrawati-smi-berkeley-mafia-organisasi-tanpa-bentuk-otb-imf-dan-world-bank-wb/
Sri Mulyani Indrawati (SMI), Berkeley Mafia, Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), IMF Dan World Bank (WB)
Mundurnya
Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebagai Menteri Keuangan RI menimbulkan
kehebohan dan banyak pertanyaan tentang penyebab yang sebenarnya. Ada
yang mengatakan bahwa perpindahannya pada pekerjaan yang baru di World
Bank (WB) adalah hal yang membanggakan. Tetapi ada yang berpendapat,
bahkan berkeyakinan tidak wajar, terutama kalau dikaitkan dengan skandal
Bank Century (Century).
Saya termasuk yang berpendapat, bahkan yakin sangat tidak wajar. Alasan-alasan saya sebagai berikut.
Beberapa ungkapan dan pernyataan dalam
berbagai pidato perpisahannya mengandung teka-teki dan mengundang banyak
pertanyaan, yaitu : “Jangan ada pemimpin yang mengorbankan anak
buahnya.” “Saya tidak bisa didikte”. “Saya menang”. “Saya tidak minggat,
saya akan kembali”. Dalam pidato serah terimanya kepada Menkeu yang
baru SMI menangis tidak wajar, berkali-kali dan sangat-sangat sedih.
Lucu, menyatakan menang kok menangis sampai seperti itu. Juga sangat
tidak wajar adanya sikap yang demikian fanatiknya dari staf Departemen
Keuangan dengan ungkapan belasungkawa, seolah-olah SMI sudah meninggal.
SMI sedang diperiksa oleh KPK sebagai
tindak lanjut dari penyelidikan tentang skandal Century. Dalam proses
yang sedang berjalan, Bank Dunia menawarkan jabatan dengan dimulainya
efektif pada tanggal 1 Juni 2010. Bank Dunia yang selalu mengajarkan
good governance dan supremasi hukum ternyata sama sekali tidak
mempedulikan adanya proses hukum yang sedang berlangsung terhadap diri
SMI.
Menurut Jakarta Post, yang memberitakan
melalui siaran pers tentang pengangkatan SMI sebagai managing director
di WB adalah WB sendiri. Setelah itu, melalui wawancara barulah SMI
mengakui bahwa berita itu benar. Itu terjadi pada tanggal 4 Mei 2010.
Juru bicara Presiden memberi pernyataan
bahwa Presiden SBY akan memberi konferensi pers setelah memperoleh
ketegasan dari Presiden WB Robert Zoelick. Namun sehari kemudian
diberitakan bahwa SBY telah menerima surat dari Presiden WB pada tanggal
25 April 2010. Mengapa SBY merasa perlu berpura-pura seperti ini?
Dalam konferensi persnya, SBY memuji SMI
sebagai salah seorang menteri terbaiknya yang disertai dengan rincian
prestasi dan capaian-capaiannya. Tetapi justru dengan bangga melepaskan
SMI supaya tidak melanjutkan baktinya kepada bangsa Indonesia.
SMI diberi waktu 72 jam untuk memberikan
jawabannya menerima atau menolak tawaran WB. Tetapi SMI tidak
membutuhkan waktu itu, karena dalam 24 jam langsung saja memberikan
jawaban bahwa dirinya menerima tawaran itu.
Dan antara penerimaan tawaran dan
efektifnya dia berfungsi di WB hanya 25 hari. Seorang sopir saja
membutuhkan waktu transisi yang lebih lama untuk majikannya perorangan.
Tetapi SMI dan SBY merasa tidak apa-apa kalau jangka waktu tersebut
hanyalah 25 hari.
Mustahil bahwa WB yang mempunyai kantor
perwakilan di Indonesia tidak mengetahui dan tidak mengikuti bekerjanya
Pansus Century di DPR. Mustahil juga bahwa kantor perwakilan WB di
Jakarta dan kantor pusatnya tidak mengetahui isi dari Laporan BPK.
Dengan sendirinya juga mustahil bahwa WB tidak mengetahui bahwa sampai
dibuktikan sebaliknya, SMI memang belum bersalah, tetapi jelas
bermasalah yang masih dalam proses penyelesaian dan kejelasan oleh KPK.
Tetapi WB yang di seluruh dunia
mengumandangkan dan mengajarkan Good Governance dan jagoan dalam
menegakkan supremasi hukum melakukan penginjak-injakan proses hukum yang
sedang berjalan di KPK.
Ketika itu, tindakan WB jelas melecehkan
dan bahkan menganggap keseluruhan proses yang telah berjalan di Pansus
Century DPR RI sebagai tidak ada atau hanya dagelan saja. Maka sangatlah
menyedihkan bahwa sikap yang demikian oleh WB didukung oleh Presiden RI, sedangkan SMI bersikap tidak akan ada siapapun di Indonesia yang bisa menyentuhnya selama WB ada di belakangnya.
Ketika berita itu meledak, banyak orang
termasuk saya sendiri yang bertanya-tanya, apakah pengangkatannya ini
tidak akan menimbulkan gejolak. Ternyata sama sekali tidak. Dalam waktu
10 hari sudah tidak ada lagi yang berbicara dengan nada kritis.
Sebaliknya, banyak sekali yang berbicara dengan nada memuji.
Yang lebih mengejutkan lagi ialah
praktis tidak ada elit politik Indonesia yang marah kepada WB.
Sebaliknya, dalam konferensi persnya Presiden RI SBY merasa berterima
kasih kepada WB yang telah memberikan penghargaan kepada Indonesia,
karena telah sudi memungut SMI menduduki jabatan yang terhormat di WB
sebagai Managing Director.
Ada suara dari DPR, terutama dari Faisal
Akbar (Hanura) yang menyerukan agar SMI dicekal sebelum pemeriksaannya
oleh KPK tuntas dengan kesimpulan bahwa SMI memang bersih dalam
kebijakannya bailout Century. Namun pernyataan yang sangat logis ini
tidak bergaung. Respons dari KPK justru mengatakan bahwa pemeriksaan
dapat dilanjutkan di Washington, DC. Langsung saja muncul reaksi yang
mengatakan bahwa pemeriksaan semacam ini akan sangat mahal, karena
jaraknya yang jauh, dan juga akan terkendala oleh tersedianya
dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Saya sendiri tidak dapat membayangkan
bahwa WB akan mengizinkan adanya seorang managing director–nya diperiksa
oleh KPK di markas WB di Washington, DC.
Tadinya saya berpikir bahwa kalau
dilakukan, pemeriksaan seorang managing director oleh KPK di Washington,
DC pasti akan menarik perhatian pers internasional. Ternyata salah.
Kenyataan adanya pengangkatan seorang MD WB yang bermasalah sama sekali
tidak menarik perhatian pers internasional, terutama pers AS. Masih
segar dalam ingatan kita betapa hebohnya reaksi pers internasional
ketika Paul Wlfowitz terlibat skandal, sehingga memaksanya mengundurkan
diri. Apa artinya? Begitu hebatkah SMI, atau begitu remehnya bangsa
Indonesia di mata pers internasional, sehingga peristiwa Century yang
sedang berlangsung dianggap tidak ada?
Episode paling akhir dari hijrahnya SMI
ke WB adalah penampilan SMI dalam pertemuan-pertemuan perpisahan.
Pidatonya yang mendapat tepuk tangan sambil berdiri (standing ovation)
dari orang-orang seperti Gunawan Mohammad, Marsilam Simanjuntak, Wimar
Witoelar mengundang renungan apa gerangan yang ada di belakang ucapannya
yang hanya sepotong tanpa penjelasan lanjutannya itu? Yaitu : “Saya
menang”, “Jangan lagi ada pemimpin yang tidak melindungi atau
mengorbankan anak buahnya.” “I will come back” yang sangat mirip dengan
ucapan Mac Arthur : “ I shall return”. Akankah SMI membentuk semacam
pemerintahan in exile yang akan kembali menjadi Presiden RI ? Sudah ada
yang menyuarakan bahwa SMI-lah yang paling cocok untuk menjadi Presiden
RI di tahun 2014.
Di satu pihak demikian gagah beraninya
sikap yang ditunjukkan oleh SMI dalam beberapa pidatonya, tetapi beliau
menangis berkali-kali dengan wajah yang sangat-sangat sedih ketika
berpidato dalam acara serah terima jabatan kepada Menteri Keuangan yang
baru. Ada apa ? Sedihkah ? Menurut SMI sendiri tidak, dia menangis
karena merasa “plong”, merasa lega. Bukankah orang menangis karena sedih
atau karena terharu ? Kalau lega, apalagi “plong” biasanya bersorak
sorai.
Apa pula yang menyebabkan Presiden SBY
menghapus pengangkatan Anggito Abimanyu sebagai Wakil Menteri Keuangan
tanpa yang bersangkutan diberitahu sebelumnya. Anggito mengetahuinya
dari media massa seperti kita semua. Maka demi harga diri profesional,
dia mengundurkan diri, membuang semua karir cemerlang yang dijalaninya.
Demikian kejam, manipulatif, raja tega, main diktator, ataukah ada
kekuatan besar, ada big stream that President SBY can not resist ?
METAFORSA BERKELEY MAFIA MENJADI ORGANISASI TANPA BENTUK (OTB)
Fenomena adanya sekelompok ekonom yang
dikenal dengan sebutan Berkeley Mafia sudah kita ketahui. Aliran pikiran
yang dihayati oleh kelompok ini juga sudah kita kenali. Komitmennya
membela rakyat Indonesia ataukah membela kepentingan-kepentingan yang
diwakili oleh 3 lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia dan IMF) juga sudah diketahui oleh masyarakat luas.
Pembentukan kelompok yang terkenal
dengan nama Berkeley Mafia sudah dimulai sejak lama. Namanya menjadi
terkenal dalam Konferensi Jenewa di bulan November 1967 yang akan
diuraikan lebih lanjut pada bagian akhir tulisan ini. Awalnya kelompok
ini adalah para ekonom dari FE UI yang disekolahkan di Universitas
Berkeley untuk meraih gelar Ph.D. Tetapi lambat laun menjadi sebuah
Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) yang sangat kompak dan kokoh ideologinya.
Ideologinya mentabukan campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi.
Afiliasinya dengan kekuatan asing yang diwakili oleh Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia dan IMF, sehingga sangat sering memenangkan kehendak
mereka yang merugikan bangsanya sendiri. Lambat laun para anggotanya
meluas dari siapa saja yang sepaham. Banyak ekonom yang tidak pernah
belajar di Universitas Berkeley, bahkan tidak pernah belajar di UI
menjadi anggota. Mereka membentuk keturunan-keturunannya.
Anggotanya ditambah dengan para sarjana
ilmu politik dari Ohio State University dengan Prof. Bill Liddle sebagai
tokohnya, karena dia merasa dirinya “Indonesianist” dan diterima oleh
murid-muridnya sebagai akhli tentang Indonesia. Paham dan ideologi yang
dihayatinya sama.
Kemudian diperkuat dengan orang-orang
yang merasa dirinya paling pandai di Indonesia, sedangkan rakyatnya
masih bodoh. Sikapnya seperti para pemimpin dan kader Partai Sosialis
Indonesia (PSI) dahulu, yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir.
Kecenderungannya memandang rendah dan sinis terhadap bangsanya sendiri,
dengan sikap yang selalu tidak mau menjawab kritikan terhadap dirinya,
melainkan disikapi dengan senyum yang khas, bagaikan dewa yang sedang
tersenyum sinis. Sikap ini terkenal dengan sikap “senyum dewata”. Dengan
senyum dewata banyak masalah sulit yang sedang menggantung memang
menjadi lenyap.
Dengan demikian sebutan Berkeley Mafia sebaiknya diganti dengan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).
Ilustratif tentang adanya OTB ini adalah
pidato Dorodjatun Kuntjorojakti yang pertama kali dalam forum CGI
sebagai Menko Perekonomian dalam kabinet Megawati. Kepada sidang CGI
diberikan gambaran tentang perekonomian Indonesia. Setelah itu dikatakan
olehnya bahwa dia mengetahui kondisi perekonomian Indonesia dengan
cepat karena dia selalu asistennya Prof. Ali Wardhana dan dekat dengan
Prof. Widjojo Nitisastro. Selanjutnya dikatakan bahwa “dirinya bukan
anggota partai politik. Tetapi kalau toh harus menyebut organisasinya,
sebut saja Partai UI Depok”. Setengah bercanda, setengah bangga, secara
tersirat Dorodjatun mengakui bahwa OTB memang ada, pandai, profesional
dan berkuasa.
KAITAN Sri Mulyani Idrawati (SMI), PERAN KELOMPOK “BERKELEY MAFIA” DAN PENGANGKATANNYA SEBAGAI MANAGING DIRECTOR DI BANK DUNIA.
Jauh sebelum SMI menjadi “orang”,
Berkeley Mafia sudah lahir dan sangat instrumental buat kekuatan asing.
SMI adalah salah satu kader yang berkembang menjadi “Don”.
Marilah kita telusuri sejarahnya.
Pencuatan Berkeley Mafia yang pertama kali dan fenomenal terjadi di
Jenewa di bulan November 1967, ketika mereka mendukung atau lebih tepat
“mengendalikan” pimpinan delegasi RI, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX
dan Adam Malik. Tentang hal ini akan saya kemukakan pada bagian akhir
tulisan ini dengan mengutip John Pilger, Jeffrey Winters dan Bradley
Simpson yang akan diuraikan pada bagian akhir tulisan ini. Kita fokus
terlebih dahulu pada jejak dan track record SMI.
JEJAK SMI DAN TRACK RECORD-NYA SEBAGAI KADER OTB YANG SANGAT GIGIH DAN MILITAN
SMI adalah orang yang sejak awal sudah
disiapkan sebagai kader yang militan dari OTB. Seperti yang
lain-lainnya, karir dimulai dari FE-UI. Karirnya yang menonjol tidak
sebagai dosen, tetapi sebagai Direktur Lembaga Penelitian Ekonomi dan
Masyarakat UI (LPEM UI). Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa FE UI
dan Departemen Keuangan adalah pusat pengkaderan OTB.
Ketika sudah terlihat jelas bahwa PDI-P
akan menang dalam pemilu tahun 1999, dan Ketua Umumnya Megawati
diperkirakan pasti akan menjadi Presiden, Kongres-nya di Bali menarik
perhatian dari seluruh dunia. Saya terkejut melihat beberapa ekonom
terkenal dari OTB hadir dalam pembukaan Kongres PDI-P di Bali tahun 1998
yang diselenggarakan di stadion. Mereka mendapat tempat khusus di
stadion berlangsungnya pidato pembukaan oleh Megawati, yaitu duduk di
kursi di bawah panggung. Tidak berdiri di depan panggung bersama-sama
dengan massa yang mendengarkan pidato Ketua Umum PDI-P. Kalau tidak
salah, SMI ada di antaranya.
Buat saya sangat mengherankan karena
Berkeley Mafia adalah arsitek pembangunan ekonomi di era Soeharto yang
dengan sendirinya bersikap berseberangan dan sangat melecehkan serta
memandang rendah PDI-P. Mengapa mereka sekarang hadir dalam Kongres
PDI-P ? Ternyata mereka dibawa oleh orang yang ketika itu sangat dekat
dengan Megawati. Mereka diperkenalkan kepada Megawati sebagai
calon-calon menteri dalam Kabinet Mega nantinya.
Dari sini sangatlah jelas bahwa buat
OTB, yang penting memegang kekuasaan ekonomi tanpa peduli siapa
Presidennya dan tanpa peduli apa ideologi Presidennya. Mereka mempunyai
organisasi sendiri yang saya sebut OTB tadi dengan kekuatan dan pengaruh
yang sangat besar. Sepanjang 32 tahun rezim Soeharto, mereka selalu
memegang tampuk kekuasaan ekonomi.
Ketika pak Harto mengundurkan diri dan
digantikan oleh Habibie, walaupun sudah tidak 100% lagi, kekuasaan
ekonomi ada di tangan para menteri OTB.
Sejak pak Harto berkuasa sampai dengan
Megawati, dua Don dari OTB, Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana selalu
secara resmi penasihat Presiden atas dasar Keputusan Presiden.
Habibie digantikan oleh Gus Dur sebagai
Presiden. Dalam kabinet Gus Dur tidak ada satupun menteri dari OTB.
Menko EKUIN dipegang oleh Kwik Kian Gie (KKG), Menteri Keuangannya
Bambang Sudibyo, Menteri Perdagangan dan Industri Jusuf Kalla. Tiga
orang ini jelas tidak ada sangkut pautnya dengan OTB dan sama sekali
tidak dapat dipengaruhi oleh OTB.
Dalam waktu singkat Gus Dur ditekan oleh
kekuatan internasional dan kekuatan para pengusaha besar di dalam
negeri untuk memecat KKG. Karena sudah lama bersahabat, Gus Dur
menceritakannya terus terang kepada KKG, sambil mengatakan bahwa beliau
telah mencapai kompromi dibentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dengan
Emil Salim sebagai Ketua dan SMI sebagai sekretarisnya. Di dalamnya ada
beberapa anggota yang hanya berfungsi sebagai embel-embel. Mereka tidak
pernah aktif kecuali SMI dan Emil Salim. DEN berhak menghadiri setiap
rapat koordinasi oleh Menko EKUIN. Sebelum dan setelah KKG menjabat
Menko EKUIN DEN tidak pernah ada. Jadi DEN memang khusus diciptakan
untuk menjaga, mengawasi dan memata-matai KKG supaya jangan neko-neko
terhadap OTB dan kepentingan World Bank, Bank Pembangunan Asia dan IMF.
Dalam rapat koordinasi yang pertama KKG
mengatakan kepada para menteri yang ada dalam koordinasinya bahwa kita
sedang berhadapan dengan IMF yang mengawasi dengan ketat pelaksanaan
Letter of Intent (LoI). Banyak dari butir-butir dalam LoI yang merugikan
bangsa Indonesia, antara lain, bea masuk untuk impor beras dan gula
harus nol persen, sedangkan ketika itu produksi dalam negeri melimpah.
Maka KKG mengatakan supaya para menteri bersikap membela kepentingan
bangsa Indonesia, kalau perlu menelikung, menghambat atau menyiasati LoI
yang merugikan bangsa kita. Kalau mereka menghadapi persoalan KKG
sebagai Menko EKUIN akan bertanggung jawab.
Beberapa hari kemudian Emil Salim
mendatangi KKG menegur dengan keras bahwa KKG tidak boleh bersikap
seperti itu. KKG harus taat melaksanakan semua butir yang ada di dalam
LoI, karena KKG sendirilah sebagai Menko EKUIN yang menandatangani LoI.
Beberapa hari lagi setelah itu, Bambang
Sudibyo (Menkeu), KKG dan Emil Salim dipanggil oleh Gus Dur. Gus Dur
mempersilakan Emil Salim mengkuliahi KKG dan Bambang Sudibyo yang isinya
tiada lain adalah butir-butir dari LoI.
Mungkin dirasakan tidak mempan, sidang
kabinet diselenggarakan secara khusus yang agendanya tunggal, yaitu
membahas LoI. Kepada setiap menteri diberikan selembar formulir yang
isinya butir-butir LoI yang harus dilaksanakan oleh masing-masing
menteri yang bersangkutan, dan kemudian harus ditandatangani.
Menteri-menteri menggerutu diperlakukan seperti anak SD.
Dalam sidang kabinet itu, Mensesneg
Bondan Gunawan membacakan uraiannya tentang butir-butir LoI yang mutlak
harus dilaksanakan oleh setiap menteri, lengkap dengan slides. SMI hadir
dalam sidang kabinet itu. Seusai membacakannya, Bondan sambil
berkeringat menggerutu kepada KKG sambil mengatakan “diamput” bahwa
dirinya tidak mengerti ekonomi kok disuruh memaparkan hal-hal seperti
itu. Ketika KKG menanyakannya siapa yang membuatnya, dijawab singkat :
SMI.
Sebagai Menko EKUIN KKG ex officio
menjabat Ketua KKSK yang memimpin dan memutuskan tentang rekapitalisasi
bank-bank seperti yang tercantum dalam LoI. Dalam rapat tentang rekap
BNI sebesar Rp. 60 trilyun, LoI mengatakan bahwa rekap dilakukan dalam
dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp. 30 trilyun, seluruh Direksi diganti
dan
dipantau apakah bekerja dengan baik menurut ukuran IMF.
Kalau ya, maka
Rekap. kedua sebesar Rp. 30 trilyun dilakukan. Darmin Nasution yang
ketika itu Direktur di Kementerian Keuangan hadir mewakili Depkeu. Dia
mengusulkan supaya Rekap. dilakukan sekaligus saja sebesar Rp. 60
trilyun, agar pemerintah tidak perlu dua kali minta izin/melaporkan
kepada DPR. SMI yang hadir protes, mengatakan bahwa dalam LoI tercantum
Rekap. dalam dua tahap. KKG merasa usulan Darmin Nasution masuk akal.
Maka diputuskan olehnya bahwa Rekap. dilakukan sekaligus. Terlihat SMI
sibuk dengan HP-nya.
Seusai rapat, begitu KKG tiba di ruang
kerjanya dari ruang rapat, telpon berdering dari John Dordsworth, Kepala
Perwakilan IMF di Jakarta yang marah-marah karena KKG memutuskan
tentang Rekap. BNI yang bertentangan dengan ketentuan LoI. Begitu telpon
diletakkan telpon berdering lagi dari Bambang Sudibyo yang
menceriterakan bahwa dirinya baru dimarah-marahi oleh Mark Baird, Kepala
Perwaklian Bank Dunia di Jakarta tentang hal yang sama. Sangat jelas
tugas SMI ternyata melaporkan segala sesuatu yang dilakukan oleh
Pemerintah dan dianggap menyimpang dari yang dikehendaki oleh IMF,
walaupun yang dikehendaki oleh IMF merugikan bangsa Indonesia.
Peristwa selanjutnya adalah ketika KKSK
harus merekap Bank Danamon. Bank Danamon diwakili oleh Dirutnya, seorang
Amerika bernama Milan Schuster dan Direkturnya puteranya Ali Wardhana,
Mahendra Wardhana. Mereka mengemukakan bahwa Bank Danamon menderita
kerugian setiap bulannya dan CAR-nya juga di bawah 8%. KKG bertitik
tolak dari jumlah kerugian setiap bulannya. Untuk menutup kerugian ini,
surat utang pemerintah yang bernama Obligasi Rekapitalisasi Perbankan
(OR) yang harus diinjeksikan haruslah Rp. X
yang harus memberikan pendapatan bunga sebesar kerugian Bank Danamon.
Maka keluarlah angka Rp. 18 trilyun. Dengan pendapatan bunga sebesar 1%
sebulan dari OR yang Rp. 18 trilyun, kerugian Bank Danamon akan
tertutup, atau Bank Danamon tidak akan bleeding lagi. SMI langsung
protes mengatakan bahwa menginjeksi OR sebesar Rp. 18 trilyun berarti
menjadikan CAR-nya sebesar 36%, sedangkan LoI memerintahkan merekap
bank-bank sampai CAR-nya menjadi 8% saja. KKG tidak peduli, karena yang
hendak dicapai adalah supaya Bank berhenti merugi. Kalau rekap dilakukan
dengan jumlah yang hanya cukup untuk menjadikan CAR 8% saja, pendapatan
bunganya akan jauh lebih kecil daripada kerugiannya, sehingga
rekapitalisasi tidak akan menghentikan kerugian-nya (masih tetap
bleeding).
Kebijakan KKG yang menyimpang dari LoI,
tetapi jelas-jelas lebih logis ini ternyata dilaporkan kepada IMF oleh
SMI. Saya mengetahui tentang hal ini, karena ketika melakukan kunjungan
kehormatan pada Menteri Keuangan Larry Summers di kantornya di
Washington, DC, saya diterima oleh Larry Summers sendiri sebagai Menteri
Keuangan, didampingi oleh Timothy Geithner selalu Deputy-nya plus
beberapa pejabat tinggi lainnya yang memarahi KKG bahwa KKG selalu
menelikung LoI-nya IMF. Ketika saya tanyakan tentang apa konkretnya
sebagai contoh, dia menceriterakan persis seperti yang dikatakan oleh
SMI dalam rapat KKSK.
Selaku Menko EKUIN KKG harus memimpin
delegasi RI ke Paris Club untuk berunding tentang penjadwalan kembali
pembayaran hutang yang sudah jatuh tempo, karena Pemerintah tidak mampu
membayarnya. KKG diundang ke Departemen Keuangan guna menerima
penjelasan-penjelasan tentang jalannya perundingan, dan juga diberikan
arahan-arahan oleh 3 perusahaan konsultan asing yang terkenal dengan
nama “Troika”. Saya lupa nama dari masing-masing perusahaan konsultan
tersebut. Dikatakan juga bahwa KKG beserta delegasinya (Dono Iskandar
dari BI dan Jusuf Anwar dari Depkeu) harus siap bahwa lamanya
perundingan 24 jam non stop tanpa dapat tidur, yaitu dari jam 10.00 pagi
sampai jam 10.00 pagi keesokan harinya.
KKG mengatakan bahwa dia tidak mau
mengikuti skenario yang seperti itu. KKG minta kepada para petinggi
Depkeu yang hadir agar mempersiapkan gambaran menyeluruh tentang posisi
hutang luar negeri RI. KKG akan mengatakan bahwa jumlah hutang yang
demikian besarnya adalah kesalahan negara-negara pemberi hutang juga,
yang sejak tahun 1967 menggerojok hutang kepada Indonesia melalui
IGGI/CGI. Setelah mengucapkan pidato singkat ini KKG akan tidur, dan
mempersilakan mereka berunding sesukanya. Apa yang merekaputuskan akan
dipenuhi oleh KKG kalau dianggap reasoanble dan fair, tetapi kalau
dianggap tidak fair akan ditolak dan KKG akan segera terbang kembali ke
Indonesia sambil mengatakan akan berani menghadapi resiko apapun.
Beberapa hari kemudian Marsilam
Simanjuntak (Mensesneg) menelpon KKG memberitahukan bahwa Presiden Gus
Dur telah menerbitkan Keputusan Presiden yang membentuk Tim Asistensi
pada Menko EKUIN yang harus mengawal (baca mengawasi dan mengendalikan)
Menko EKUIN selama perundingan Paris Club. Ketuanya Widjojo Nitisastro
dan Sekretarisnya SMI. Memang selama perundingan Widjojo N. dan SMI
mengapit KKG dan Bambang Sudibyo selama 24 jam, supaya mereka menjaga
bahwa KKG benar-benar menanggapi pasal demi pasal dari para anggota
Paris Club.
Ketika Megawati menjabat Presiden,
diberitakan di Kompas bahwa SMI akan menjabat sebagai anggota Board of
Directors IMF di Washington mewakili Indonesia. KKG menanyakan hal itu
kepada Mega. Beliau terkejut sambil mengatakan : “kok enak saja, kan
harus dengan persetujuan saya?”, sambil mengatakan juga bahwa beliau
tidak pernah mengetahuinya dan tidak pernah menandatangani Keppres untuk
itu. Beberapa hari kemudian diberitakan lagi di Kompas bahwa SMI sudah
akan efektif menjabat per tanggal tertentu. KKG menanyakan hal itu lagi
kepada Megawati, dan dijawab bahwa Keppresnya memang sudah
ditandatangani dengan alasan “…daripada, daripada ….”
Konon kabarnya, sebelum susunan Kabinet
Indonesia Bersatu (KIB) I terbentuk, SBY didatangi oleh Dubes AS Ralph
Boyce dan Kepala Perwakilan Bank Dunia di Jakarta Andrew Steer. Mereka
mengatakan bahwa kendali ekonomi hendaknya diberikan kepada SMI,
Boediono dan Mari Pangestu. Boediono menolak yang bisa dipahami. Seusai
sidang kabinet Megawati terakhir Boediono berpamitan dengan rekan-rekan
menterinya. Dia mengatakan bahwa salah satu dari kita bisa saja diminta
lagi oleh SBY untuk duduk dalam kabinetnya. Tetapi dia (Boediono) tidak
akan mau duduk dalam pemerintahan. Dia sudah fed up dan akan kembali ke
kampus saja. Saya termasuk yang diberitahu tentang hal ini. Maka saya
tidak heran mendengar bahwa Boediono menolak tawaran SBY untuk duduk
dalam KIB-nya. Namun ketika SBY tidak tahan tekanan publik, beliau
mengumumkan akan melakukan reshuffle kabinet. Saya mendengar bahwa
Boediono sedang “digarap” habis-habisan untuk mau menjadi Menko
Perekonomian, dan terjadilah itu. Ini saya gambarkan betapa mutlak
pengaruh kekuatan internasional dalam mengendalikan kebijakan ekonomi
Indonesia. Lebih hebat lagi, Jakarta Post tanggal 25 Mei 2009
memberitakan bahwa ketika Boediono ditanya, faktor apa yang mendorongnya
mau menerima pencalonan dirinya sebagai Wakil Presiden dijawab olehnya :
“because of a big stream that I can not resist”, yang berarti karena
arus (kekuatan) besar yang tidak dapat ditahannya. Saya merasa perlu
menceriterakan ini karena hubungannya antara SMI dan Boediono yang
sama-sama anggota senior OTB dan sama-sama disodorkan kepada SBY agar
mereka dan Mari Pangestu memegang kekuasaan ekonomi di Indonesia.
Kenyataan-kenyataan ini jelas relevan dalam menjelaskan mengapa
pengangkatan SMI sebagai managing director WB yang sangat tidak wajar
dan menghina bangsa Indonesia itu berjalan demikian mulusnya.
Di tengah-tengah menjalankan tugas
sebagai Menkeu yang dalam proses pemeriksaan oleh KPK sebagai tindak
lanjut dari hasil kerja Pansus DPR tentang Bank Century, SMI mengumumkan
pengunduran dirinya untuk menjabat sebagai managing director di WB
mulai tanggal 1 Juni 2010, seperti yang kita ketahui bersama.
Saya mempunyai pengalaman yang
menyangkut SMI dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Ceriteranya sebagai
berikut: hibah dari Uni Eropa kepada Indonesia menurut investigasi WB
dikorup. Karena pelaksananya Bappenas, maka saya “diperiksa” oleh
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Yang dipermasalahkan bukan KKG mengkorup,
tetapi mengapa KKG membayar kembali hibah yang dituntut oleh WB sebesar
USD 500 juta sedangkan yang dikorup hanyalah sekitar USD 30.000.
Mengembalikan hibah seluruhnya sebesar USD 500 juta dianggap merugikan
keuangan negara. Tetapi ketika salah paham, bahwa justru KKG yang
berkelahi tidak mau membayar dan SMI yang sebagai Menteri Keuangan yang
membayarnya, SMI-nya tidak diapa-apakan. KKG juga tidak diapa-apakan,
tetapi sempat diperiksa. Berkaitan dengan ini ada hal sejenis yang
terpublikasikan secara luas. Indonesia menerima hutang dari WB sebesar
USD 4,7 juta untuk membangun proyek infra struktur. Menurut WB lagi
sebagian dikorup, dan karena itu minta supaya seluruh hutang yang USD
4,7 juta dikembalikan. Tidak jelas dikembalikan atau tidak. Rasanya
dikembalikan dan tidak ada konsekwensinya, walaupun dianggap merugikan
dan mengacaukan perencanaan keuangan negara. Saya kemukakan ini karena
ada kecenderungan segala sesuatunya akan kebal hukum apabila WB ada di
belakangnya. Jelas ini merupakan faktor yang bisa menjelaskan mengapa
pengangkatan SMI oleh WB langsung saja mematikan urusannya dengan KPK
tentang Century yang sebelumnya demikian gegap gempitanya.
SMI, BERKELY MAFIA, KEKUATAN ASING DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA
Kekuatan asing yang boleh dikatakan
menentukan semua kebijakan ekonomi dan keuangan Indonesia diwakili oleh
tiga lembaga keuangan internasional, yaitu Bank Dunia, Bank Pembangunan
Asia dan IMF.
Ketika KKG sebagai Menko EKUIN pertama
kali harus mengucapkan pidato di depan CGI dalam pembukaan rapat
tahunannya, kepada KKG disodorkan naskah pidato oleh staf yang jelas
anggota OTB. Isinya sama sekali tidak disetujui oleh KKG, dan dia minta
kepada staf yang bersangkutan supaya diubah dengan arahan dari KKG. Dia
menolak sambil mengatakan bahwa sudah menjadi tradisi sejak dahulu kala
bahwa pidato pembukaan IGGI/CGI oleh Ketua Delegasi RI haruslah dibuat
oleh WB melalui staf Menko EKUIN. Akhirnya saya membuatnya sendiri yang
isinya sesuai dengan hati nurani dan keyakinan saya, yang ternyata
isinya mengejutkan pimpinan sidang, Wakil Presiden WB Dr. Kasum.
Pidato yang saya ucapkan mengandung tiga
inti. Yang pertama, kalau Indonesia tidak mampu membayar cicilan pokok
utang beserta bunga yang jatuh tempo, negara-negara IGGI/CGI ikut
bersalah, karena barang siapa memberi utang harus mengevaluasi apakah
yang diberi utang akan mampu membayar cicilan utang pokoknya beserta
bunganya tepat waktu. Kalau ternyata tidak bisa, negara-negara pemberi
utang harus ikut bertanggung jawab dalam bentuk hair cut. Bukan hanya
penundaan pembayaran cicilan utang pokoknya saja, yang sifatnya
menggeser beban di kemudian hari, sedangkan bunganya membengkak. Kedua,
KKG protes penggunaan istilah “negara donor”, dan minta supaya istilah
yang sudah dibakukan oleh WB bersama-sama dengan para ekonom OTB itu
diganti dengan istilah “negara kreditur” atau “negara pemberi utang”.
Ketiga, KKG juga protes digunakannya istilah “aid” atau bantuan, dan
minta diganti dengan “loan” atau kredit. Kesemuanya tidak dihiraukan.
Belakangan saya mendengar dari Dr. Satish Mishra yang khusus
diperbantukan pada Indonesia oleh PBB selama krisis. Dia memberitahukan
kepada saya bahwa walaupun segala sesuatu yang saya katakan masuk akal,
para ekonom OTB sendiri bersama-sama dengan WB, Bamk Pembangunan Asia
dan IMF menyikapinya dengan “let him talk”. Biarlah dia bicara, tidak
akan ada dampaknya sama sekali.
SEJARAH PENGUASAAN EKONOMI INDONESIA OLEH KEKUATAN ASING DAN KELOMPOK BERKELEY MAFIA
Mari sekarang kita telaah bagaimana
beberapa akhli dan pengamat asing melihat peran kekuatan asing dan
kelompok Berkeley Mafia dalam perekonomian Indonesia sejak tahun 1967.
Saya kutip apa yang ditulis oleh John
Pilger dalam bukunya yang berjudul “The New Rulers of the World.” Saya
terjemahkan seakurat mungkin ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :
“Dalam bulan November 1967, menyusul
tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The
Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang
dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan Indonesia. Para
pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia,
orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat
diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors,
Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco,
American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto
yang oleh Rockefeller disebut “ekonoom-ekonoom Indonesia yang top”.
“Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan
sebutan ‘the Berkeley Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah
menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di
Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta
yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir.
Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan
menawarkan : …… buruh murah yang melimpah….cadangan besar dari sumber
daya alam ….. pasar yang besar.”
Di halaman 39 ditulis : “Pada hari
kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini
dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar
pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang
sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari
dokumen-dokumen konferensi. ‘Mereka membaginya ke dalam lima seksi :
pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di
kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan
oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan
kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor
lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling
dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan :
ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infra struktur
hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar
situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para
wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan
merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya
sendiri.
Freeport mendapatkan bukit (mountain)
dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board).
Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa
mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok
perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan
tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang
tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada
Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya.
Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter
Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya
adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting,
Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.”
Demikian gambaran yang diberikan oleh
Brad Simpson, Jeffrey Winters dan John Pilger tentang suasana,
kesepakatan-kesepakatan dan jalannya sebuah konferensi yang merupakan
titik awal sangat penting buat nasib ekonomi bangsa Indonesia
selanjutnya.
Kalau baru sebelum krisis global
berlangsung kita mengenal istilah “korporatokrasi”, paham dan ideologi
ini sudah ditancapkan di Indonesia sejak tahun 1967. Delegasi Indonesia
adalah Pemerintah. Tetapi counter part-nya captain of industries atau
para korporatokrat.
PARA PERUSAK EKONOMI NEGARA-NEGARA MANGSA
Benarkah sinyalemen John Pilger, Joseph
Stiglitz dan masih banyak ekonom AS kenamaan lainnya bahwa hutanglah
yang dijadikan instrumen untuk mencengkeram Indonesia ?
Dalam rangka ini, saya kutip buku yang
menggemparkan. Buku ini ditulis oleh John Perkins dengan judul : “The
Confessions of an Economic Hit man”, atau “Pengakuan oleh seorang
Perusak Ekonomi”. Buku ini tercantum dalam New York Times bestseller
list selama 7 minggu.
Saya kutip sambil menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
Halaman 12 : “Saya hanya mengetahui
bahwa penugasan pertama saya di Indonesia, dan saya salah seorang dari
sebuah tim yang terdiri dari 11 orang yang dikirim untuk menciptakan
cetak biru rencana pembangunan pembangkit listrik buat pulau Jawa.”
Halaman 13 : “Saya tahu bahwa saya harus
menghasilkan model ekonometrik untuk Indonesia dan Jawa”. “Saya
mengetahui bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk menghasilkan banyak
kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki oleh analis atas dasar
statistik yang dibuatnya.”
Halaman 15 : “Pertama-tama saya harus
memberikan pembenaran (justification) untuk memberikan hutang yang
sangat besar jumlahnya yang akan disalurkan kembali ke MAIN (perusahaan
konsultan di mana John Perkins bekerja) dan perusahan-perusahaan Amerika
lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown
& Root) melalui penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang
rekayasa dan konstruksi. Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang
menerima pinjaman tersebut (tentunya setelah MAIN dan kontraktor Amerika
lainnya telah dibayar), agar negara target itu untuk selamanya
tercengkeram oleh kreditornya, sehingga negara penghutang (baca :
Indonesia) menjadi target yang empuk kalau kami membutuhkan favours,
termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan
sumber daya alam lainnya.”
Halaman 15-16 : “Aspek yang harus
disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah membuat laba sangat besar
buat para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga
dari negara-negara penerima hutang yang sudah kaya dan berpengaruh di
negaranya masing-masing. Dengan demikian ketergantungan keuangan negara
penerima hutang menjadi permanen sebagai instrumen untuk memperoleh
kesetiaan dari pemerintah-pemerintah penerima hutang. Maka semakin besar
jumlah hutang semakin baik. Kenyataan bahwa beban hutang yang sangat
besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam bidang
kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lainnya selama berpuluh-puluh
tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan.”
Halaman 15 : “Faktor yang paling
menentukan adalah Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Proyek yang memberi
kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun
hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa
membangun proyek yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada
pertumbuhan PDB.”
Halaman 16 : “Claudia dan saya
mendiskusikan karakteristik dari PDB yang menyesatkan. Misalnya
pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun hanya menguntungkan satu orang
saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani
hutang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang kaya menjadi semakin kaya
dan yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik akan mencatatnya
sebagai kemajuan ekonomi.”
Halaman 19 : “Sangat menguntungkan buat
para penyusun strategi karena di tahun-tahun enam puluhan terjadi
revolusi lainnya, yaitu pemberdayaan perusahaan-perusahaan internasional
dan organisasi-organisasi multinasional seperti Bank Dunia dan IMF.”
PENUTUP
Fokus tulisan ini adalah peran SMI dalam
perpspektif sejarah dan kaitannya dengan hubungan yang sangat erat dan
subordinatif pada kekuatan-kekuatan asing, mungkin kekuatan
corporatocracy yang diwakili oleh tiga lembaga keuangan internasional,
yaitu Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF.
Sejak Konferensi Jenewa bulan November
1967 yang digambarkan oleh John Pilger, dalam tahun itu juga lahir UU
no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang disusul dengan UU
No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan serangkaian
perundang-undangan dan peraturan beserta kebijakan-kebijakan yang sangat
jelas menjurus pada liberalsasi. Dalam berbagai perundang-undangan dan
peraturan tersebut, kedudukan asing semakin lama semakin bebas, sehingga
akhirnya praktis sama dengan kedudukan warga negara Indonesia. Kalau
kita perhatikan bidang-bidang yang diminati dalam melakukan investasi
besar di Indonesia, perhatian mereka tertuju pada pertumbuhan PDB
Indonesia yang produknya untuk mereka, sedangkan bangsa Indonesia hanya
memperoleh pajak dan royalti yang sangat minimal.
Bidang-bidang ini adalah pertambangan
dan infra struktur seperti listrik dan jalan tol yang dari tarif tinggi
yang dikenakan pada rakyat Indonesia mendatangkan laba baginya.
Bidang lain adalah memberikan kredit
yang sebesar-besarnya dengan tiga sasaran : pertama, memperoleh
pendapatan bunga, kedua, proyek yang dikaitkan dengan hutang yang
diberikan di mark up, dan dengan hutang kebijakan Indonesia dikendalikan
melalui anak bangsa sendiri, terutama yang termasuk kelompok OTB untuk
ekonomi dan kelompok The Ohio Boys untuk bidang politik.
Keseluruhan ini sendiri merupakan cerita
yang menarik dan bermanfaat sebagai bahan renungan introspeksi betapa
kita sejak tahun 1967 sudah dijajah kembali dengan cara dan teknologi
yang lebih dahsyat.
Para penjajah Belanda dahulu menanam
berbagai pohon yang buahnya bernilai tinggi. Kekejaman mereka terletak
pada eksploitasi manusia Indonesia bagaikan budak. Kebun-kebunnya sampai
sekarang menjadi PTP yang masih menguntungkan.
Sejak tahun 1967, pengerukan dan
penyedotan kekayaan alam Indonesia oleh kekuatan asing, terutama mineral
yang sangat mahal harganya dan sangat vital itu dilakukan secara
besar-besaran dengan modal besar dan teknologi tinggi. Para pembantunya
adalah bangsa sendiri yang berhasil dijadikan kroni-kroninya. Apakah
pengangkatan SMI menjadi managing director WB merupakan bagian dari
skenario ini saya tidak tahu.
2 responses to "Sri Mulyani Indrawati (SMI), Berkeley Mafia, Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), IMF Dan World Bank (WB)"
Kaum muda yang pragmatis banyak namun kaum muda dengan integritas yang siap mendarmabaktikan kemampuannya untuk negeri ini pun jg sangat banyak…
kapitalis, liberalis mampu mencengkram negeri ini karena bersinergi…
harus ada kaderisasi orang-orang seperti Pak Kwik…
demi bangsa ini…demi kemajuan yang berharkat dan bermartabat