Perang Kepentingan AS dan Israel di Perang Suriah
http://www.eramuslim.com/editorial/perang-kepentingan-as-dan-israel-di-perang-suriah.htm#.UY0Bh1IxVkg
Perang
sipil di Suriah akan terus berkecamuk, akan berisiko Israel suka atau
tidak suka akan ditarik ke dalam kerusuhan yang semakin meningkat.
Hari Jumat pekan lalu, roket yang ditembakkan dari Suriah kembali
menghajar Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, dan Israel
menembak kembali serangan tersebut. Ini bukan pertama kalinya ketegangan
di daerah yang telah berkobar sejak lama.
Pada 30 Januari 2013 , Israel melancarkan serangan udara terhadap
sebuah konvoi senjata Hizbullah di Suriah, entah salah sasaran atau
tidak , dilaporkan oleh Hizbullah di Libanon tanpa adanya balasan
serangan dari Hizbullah. Pada tanggal 6 Maret, militan jihadi menculik
21 penjaga perdamaian kewarga-negaraan Filipina di Dataran Tinggi Golan.
Risiko akan pembalasan Israel sangat mungkin terjadi untuk daerah
perbatasan bila daerah tersebut menjadi ajang pertempuran besar, atau
bahkan campur tangan Israel akan mendirikan zona penyangga di Suriah,
adalah nyata. Untuk mencegahnya, Amerika Serikat akan menjadi mediator
kesepakatan diam-diam antara Israel dan unsur-unsur moderat dari oposisi
Suriah.
Ini perang kepentingan yang akan juga menekan peran Amerika untuk
partisipasi secara diam-diam mencari kesepakatan antara Israel dan
pimpinan oposisi Suriah pro barat: Israel harus setuju untuk menahan
diri untuk mempersenjatai pasukannya di Suriah untuk melindungi
perbatasannya, dan oposisi Suriah juga harus bekerja untuk menjaga dan
mempengaruhi kelompok militan Islam seperti Jabhat al-Nusra dan
afiliasi lainnya dari Al Qaeda agar menjauh dari perbatasan Israel. Ini
hal yang diminta dari oposisi Suriah agar dapat dukungan Barat dan
sebaliknya barat menghalangi Israel dari intervensi atau mempersenjatai
pasukannya di perbatasan Suriah.
Tentara rezim Assad, semakin tertekan karena SDM tempurnya semakin
melemah . karena itu baru-baru ini Rezim Assad menarik banyak tentara
dari perbatasan Israel, dan meninggalkan lapangan terbuka , dan dengan
mudah daerah yang ditinggalkan terkuasai oleh kelompok-kelompok Jihadi
seperti al-Jabhat Nusra.
Kunjungan baru-baru ini oleh Menteri Pertahanan Israel, Moshe Yaalon,
ke garis depan di Golan Heights menyebabkan rumor di Suriah bahwa
Israel berencana untuk membuat dan membentuk tentaranya di perbatasan
ini.
Tetapi jika Israel mencoba untuk membangun kekuatan militernya di
zona penyangga di sepanjang perbatasan, itu akan hampir pasti menjadi
bumerang. Langkah tersebut akan mengundang Militan Islam untuk segera
bergabung untuk panaskan konflik. Itu akan sangat mirip dengan apa yang
terjadi di Lebanon, dengan bencana konsekuensi jangka panjang, dimulai
pada akhir 1970-an ketika Israel menginvasi Lebanon selatan dan
mendirikan Tentara Lebanon Selatan untuk melindungi perbatasannya
sebelum melakukan invasi, kedua yang lebih besar pada tahun 1982.
Hasilnya adalah penciptaan militan lainnya sebagai penyeimbang untuk
melawan tentara bentukkan Israel ini.
Selama 18 bulan terakhir, rekan-rekan dan saya telah bepergian di
wilayah tersebut dan melakukan wawancara dengan ratusan militan
bersenjata dan tidak bersenjata, dan juga para pemimpin oposisi Suriah
dan aktivis pembebasan Suriah. Semua survei kami , menunjukkan Polling
yang mengungkapkan mereka tidak menyukai Iran dan Hizbullah.
AS memang berkeinginan agar terjadi jarak antara oposisi Suriah dari
militan jihadis seperti Al Nusra dan lain lainnya, karena jarak
hubungan yang jauh tersebut akan mengamankan dan menghindari campur
tangan Israel di tanah Suriah. AS akan mengarahkan agar oposisi hanya
memfokuskan upaya-upaya agar rezim Assad mundur dengan cara damai. Hal
ini juga akan mememudahkan dan menghindari intervensi militer AS secara
langsung: menstabilkan garis depan yang semakin genting, mencegah
konflik regional lebih lanjut; membantu meringankan krisis kemanusiaan,
dan akhirnya menetapkan panggung (dien) demokrasi untuk masa depan
pasca-Assad di negeri muslim Suriah tersebut.
- DP , analisa Kebijakan Timur Tengah.
Israel Persenjatai Kapal Selam dengan Nuklir
Mike Portal | Meskipun
Jerman cuma sebagai produsen kapal selam non-nuklir di dunia, tapi
tanpa disengaja Jerman telah membantu Israel untuk mengembangkan
kemampuan nuklir militer mereka. Jerman saat ini memang tengah
membuatkan kapal selam untuk Israel di kota Kiel, Jerman Utara dan kapal
selam tersebut akan dilengkapi dengan sistem rudal jelajah canggih yang
dimungkinkan dapat dilengkapi dengan senjata nuklir. Rudal-rudal
tersebut dapat diluncurkan dari sistem ejeksi hidrolik.
Di masa lalu, pemerintah Jerman "tidak menyadari" bahwa kapal-kapal selam buatan mereka telah dipasangi nuklir oleh penggunanya. Sekarang Jerman telah "menyadari" hal tersebut, mantan pejabat tinggi dari Departemen Pertahanan Jerman, yang juga mantan Sekretaris Negara Lothar Ruhl dan mantan Kepala Staf Perencanaan Hans Ruhle, selalu beranggapan bahwa Israel akan mempersenjatai kapal-kapal selam yang mereka beli dari Jerman dengan senjata nuklir. Ruhl bahkan membahas masalah tersebut dengan pihak militer di Tel Aviv.
Tapi Israel memiliki kebijakan untuk tidak mengomentari secara resmi untuk program senjata nuklirnya. Sebenarnya dokumen dari arsip di Departemen Luar Negeri Jerman telah membuat semuanya jelas, bahwa pemerintah Jerman telah mengetahui program nuklir Israel sejak tahun 1961. Bukti terakhir adalah pada tahun 1977, ketika Kanselir Jerman Helmut Schmidt berbicara dengan Menteri Luar Negeri Israel tentang masalah ini.
Di masa lalu, pemerintah Jerman "tidak menyadari" bahwa kapal-kapal selam buatan mereka telah dipasangi nuklir oleh penggunanya. Sekarang Jerman telah "menyadari" hal tersebut, mantan pejabat tinggi dari Departemen Pertahanan Jerman, yang juga mantan Sekretaris Negara Lothar Ruhl dan mantan Kepala Staf Perencanaan Hans Ruhle, selalu beranggapan bahwa Israel akan mempersenjatai kapal-kapal selam yang mereka beli dari Jerman dengan senjata nuklir. Ruhl bahkan membahas masalah tersebut dengan pihak militer di Tel Aviv.
Tapi Israel memiliki kebijakan untuk tidak mengomentari secara resmi untuk program senjata nuklirnya. Sebenarnya dokumen dari arsip di Departemen Luar Negeri Jerman telah membuat semuanya jelas, bahwa pemerintah Jerman telah mengetahui program nuklir Israel sejak tahun 1961. Bukti terakhir adalah pada tahun 1977, ketika Kanselir Jerman Helmut Schmidt berbicara dengan Menteri Luar Negeri Israel tentang masalah ini.
"Tiga kapal selam telah dikirimkan ke Israel, dan tiga lagi akan dikirimkan pada 2017"
Kapal selam Israel tersebut dibangun di galangan kapal HDW di Kiel, Jerman. Tiga kapal selam telah dikirimkan ke Israel, dan tiga lagi akan dikirimkan pada 2017. Selain itu, Israel tengah mempetimbangkan untuk memesan kapal selam yang ketujuh, kedelapan dan kesembilan dari Jerman.
Pemerintah Jerman baru-baru ini menandatangani kontrak untuk pengiriman kapal selam keenam. Merkel telah mensyaratkan pengiriman kapal selam keenam dengan beberapa syarat, termasuk permintaan bahwa Israel akan menghentikan kebijakan ekspansionis mereka terutama terhadap wilayah Palestina.
Read more: Israel Persenjatai Kapal Selam dengan Nuklir | Mike Portal
Tidak Lama Lagi, Perang Dunia ke-3 Akan Terjadi
Perang Dunia-3 (PD-3) meskipun semua kita tidak menghendakinya,
dilain pihak para penguasa yang haus dengan kekuasaan terhadap kawasan
regional dan global telah menciptakan benih-benih terjadinya PD-3 dalam
waktu dekat ini.
Banyak sudah prediksi atau ekspektasi saat terjadinya PD-3 (peristiwa yang lebih mengerikan dari PD-1 dan PD-2) yang pada umumnya diprediksi akan terjadi pada tahun 2012. Ekspektasi tersebut bukan tanpa alasan sebab dapat dibuktikan secara logis berdasarkan perkembangan situasi politik, militer dan pengaruh ekonomi Global yang terjadi saat ini.
AS dan sekutunya. Tak heran, kini di Suriah sikap Rusia dan China adalah berkomitmen saling mengisi "kekuatan" mereka agar potensi AS dan sekutunya menuju cita-cita Globalisasi sedikitnya tidak semudah yang dibayangkan AS, NATO dan sekutu dekat AS.
Iran, telah mengirimkan 15 ribu pasukan elit dari divisi Quds untuk membantu tegaknya pemerintahan Suriah di bawah rezim Assad.
Rusia telah mengirimkan 36 kapal perang dan 120 pesawat tempur untuk Suriah dalam kontrak senilai $.550.000.000, sebagaimana dilaporkan oleh surat kabar Kommersant (24/1), mengutip sumber mereka pedagang senjata Rosoboronexport. Tentunya pemerintah Rusia menolak memberikan kebenaran berita tersebut karena sama halnya menentang terang-terangan embargo senjata yang diterapkan oleh PBB dan Uni Eropa terhadap Suriah.
Pasukan Suriah sendiri diberitakan telah berada pada posisi di perbatasan Israel. Meskipun tujuannya adalah untuk mengejar pasukan pembebasan suriah (FSA) namun posisi mereka di dataran tinggi Golan telah membuat Israel menyiapkan ratusan pasukan dan menebar ranjau-ranjau di perbatasan. Dalam prinsip hubungan internasional, menggelar pasukan dalam jumlah besar ke perbatasan negara lainnya dapat diartikan sebagai sebuah provokasi dan menantang.
Turki telah didesak oleh Uni Eropa agar dikeluarkan dari organisasi tersebut. Turki dianggap terlalu memanfaatkan organisasi itu untuk kepentingan politiknya ketimbang ekonominya terutama dalam memandang Israel sebagai musuh baru mereka, namun sebaliknya mulai merapat ke Iran.
China, telah memberikan signal pada AS bahwa mereka memiliki hubungan dengan Suriah dari era Hafiz al Assad (ayah Bashir al Assad). China berpendapat, Suriah adalah terminal dagang penting. Tentu China tidak akan melepas hancurnya Suriah begitu saja karena China melihat pemerintah Suriah yang baru nanti adalah berhaluan ke Barat.
Mesir, telah memperlihatkan sikap kurang bersahabat dengan Israel dan terindikasi menhancurkan perjanjian Camp David yang dirilis oleh mantan presdien Anwar Sadat, Jimy Carter dan Manachem Begin (1972). Banyak ekspektasi melihat bahwa usia perjanjian tersebut -dikaitkan dengan dominasi anti rezim Hosni Mobarak- akan segara tamat riwayatnya.
Rusia telah menegur Perancis akibat terlalu keras dan "berlebihan" menentang Rusia dalam sikapnya terhadap Suriah. Presiden Rusia Dimitri Medvedev sebagaimana dilansir dalam "Breaking News" Press TV (10/2) menulis ukuran besar betapa marahnya Rusia terhadap Sarkozi yang terus mengomel seperti Nyonya besar terhadap pembantu rumah tangganya yang berbuat salah.
India dan Pakistan akan terlibat perang rudal. India telah mendapat pasokan militer dari AS akan berada di atas angin karena unggul dalam kualitas teknologi. Sebaliknya Pakistan akan meminta bantuan Iran dan China serta Rusia.
Iraq kembali bergolak. Kelompok perlawanan yang hancur dalam pendudukan AS akan muncul kembali melawan pemerintahan bentukan AS. Kelompok perlawanan tersebut dari berbagai lapisan yang bertujuan menggulingkan pemerintahan bentukan AS.
Afghanistan kembali marak. Kelompok Al-Qaeda dan Taliban akan berjuang bersama-sama mengguling pemerintahan bentukan AS. Setalah itu antara Talbiban dan Al-qaeda akan terlibat "adu jotos" . Kondisi ini jelas memperburuk kawasan Pakistan, Iran, Irak dan Afghanistan sendiri.
Korea Utara jelas beraliansi dengan Suriah. Menurut Fidel Castro, AS cepat atau lambat pasti akan menyerang Korut. Israel menduga bahwa Korea Utara telah memberikan bantuan penting pada program rudal Iran dan Suriah.
Sikap Mesir kali ini lebih memihak kepada rezim Assad telah membuat opisisi Suriah dan Barat sedikit kuatir dengan Mesir. Baru-baru ini Mesir bahkan telah mengirimkan Dubesnya yang baru untuk Suriah yang memberi pesan secara implisit kepada dunia bahwa mereka mendukung eksistensi dengan Suriah. Hubungan historis penuh damai antara Mesir dan Suriah tidak diragukan lagi.
Libya kembali bergolak dimana pendukung setia Khadafi akan melakukan pembalasan.
Libanon akan membara kembali karena Israel akan menusuk dari Lebanon Utara untuk melumpuhkan perlawanan dendam melawan Hezbollah. Setelah itu Israel menganeksasi Suriah dengan alasan mengurangi determinasi Iran di kawasan tersebut.
Organisasi Al-Qaeda disusupkan ke Suriah untuk melakukan sabotase dan serangan terhadap legiun Iran dan Rusia.
Perancis akan melakukan peran penting di Suriah terutama sekali adalah corong AS dalam memberitakan informasi dan menciptakan kondisi sesuai "strategi khusus" dalam rencana penegakan Demokrasi untuk Suriah.
Negara-negara Arab terpecah karena tekanan dan pengaruh kelompok Ihwanul Muslimin yang meminta dukungan AS dalam mematahkan dominasi penguasa setempat. Demi eksistensi dan terjaminnya kekuasaan mereka, para pemimpin Arab setuju memberikan dukungan kepada Ikhwanul Muslimin dan AS.
Korea Utara dan Korea Selatan terlibat perang terbuka di Laut Kuning. China memainkan peranan pentng membela Korut. Korea Selatan kemungkinan besar akan kewalahan menghadapi tekanan hebat dari Korut dan China.'
Australia menebarkan teror di kawasan Asia Tenggara khususnya dengan Indonesia. Beberapa pulai terluar terpaksa diserahkan dengan alasan menjadi basis militer dan logisitik untuk membantu Korea Selatan dari terkaman China dan Korea Utara.
Melihat fakta dan data di atas, bersiap-siaplah menghadapi PD-3 karena PD-3 memang merupakan skenario yang dibuat oleh AS dalam program New World Order atau One World Goverment disebutkan di atas. Dengan program tersebut dapat dilihat eskalasi militer terjadi mulai dari Mediterania (Libya, Suriah, Lebanon, Iran) sampai ke Laut Cina Selatan (RRC, Korut dan Rusia) telah menjadi target AS untuk mewujudkan pemerintahan satu dunia (Globalisasi) melalui pengaruh politik dengan cara perang.
Sayangnya tujuan tersebut ternyata hanya menyengsarakan manusia di atas muka bumi akibat penggunaan senjata berteknologi tinggi. Tidak ada yang tersisa untuk dunia setelah itu. Maka tak heran Alber Einsten yang mengetahui persis dampak penggunaan teknologi nuklir untuk bererang hanya bisa memberi analisa singkatnya saja : "Saya tidak tahu dengan senjata apa Perang Dunia III akan dipertarungkan, tetapi Perang Dunia IV akan dipertarungkan dengan tongkat dan batu."
Jadi darimanakah awalnya PD-3 itu terjadi? Dari program NWO/ OWG (sebuah proyek dominasi politik dan ekonomi berbasis perang), ataukah karena semakin banyak negara-negara yang menentang kedigdayaan AS NATO dan Sekutu dekatnya?
Jangan-jangan inikah yang dimaksud oleh suku Maya, bahwa dunia akan "kiamat" pada tanggal 21/12/2012…? Semoga peprangan mematikan itu tidak akan pernah terjadi. Sulit membayangkan orang tua kita, anak-anak dan cucu serta saudara yang kita cintai menjadi korban sia-sia akibat kebuasan politik dan ekonomi pihak-pihak yang tamak dan rakus untuk kepentingan hedonisme semata.
Seandainya memang benar Perang Dunia ketiga terjadi, dunia seperti apa yg diharapkan oleh mereka ???
Klo menurut agan apa mungkin perang dunia ke 3 nnti bisa terjadi?Banyak sudah prediksi atau ekspektasi saat terjadinya PD-3 (peristiwa yang lebih mengerikan dari PD-1 dan PD-2) yang pada umumnya diprediksi akan terjadi pada tahun 2012. Ekspektasi tersebut bukan tanpa alasan sebab dapat dibuktikan secara logis berdasarkan perkembangan situasi politik, militer dan pengaruh ekonomi Global yang terjadi saat ini.
AS dan sekutunya. Tak heran, kini di Suriah sikap Rusia dan China adalah berkomitmen saling mengisi "kekuatan" mereka agar potensi AS dan sekutunya menuju cita-cita Globalisasi sedikitnya tidak semudah yang dibayangkan AS, NATO dan sekutu dekat AS.
Iran, telah mengirimkan 15 ribu pasukan elit dari divisi Quds untuk membantu tegaknya pemerintahan Suriah di bawah rezim Assad.
Rusia telah mengirimkan 36 kapal perang dan 120 pesawat tempur untuk Suriah dalam kontrak senilai $.550.000.000, sebagaimana dilaporkan oleh surat kabar Kommersant (24/1), mengutip sumber mereka pedagang senjata Rosoboronexport. Tentunya pemerintah Rusia menolak memberikan kebenaran berita tersebut karena sama halnya menentang terang-terangan embargo senjata yang diterapkan oleh PBB dan Uni Eropa terhadap Suriah.
Pasukan Suriah sendiri diberitakan telah berada pada posisi di perbatasan Israel. Meskipun tujuannya adalah untuk mengejar pasukan pembebasan suriah (FSA) namun posisi mereka di dataran tinggi Golan telah membuat Israel menyiapkan ratusan pasukan dan menebar ranjau-ranjau di perbatasan. Dalam prinsip hubungan internasional, menggelar pasukan dalam jumlah besar ke perbatasan negara lainnya dapat diartikan sebagai sebuah provokasi dan menantang.
Turki telah didesak oleh Uni Eropa agar dikeluarkan dari organisasi tersebut. Turki dianggap terlalu memanfaatkan organisasi itu untuk kepentingan politiknya ketimbang ekonominya terutama dalam memandang Israel sebagai musuh baru mereka, namun sebaliknya mulai merapat ke Iran.
China, telah memberikan signal pada AS bahwa mereka memiliki hubungan dengan Suriah dari era Hafiz al Assad (ayah Bashir al Assad). China berpendapat, Suriah adalah terminal dagang penting. Tentu China tidak akan melepas hancurnya Suriah begitu saja karena China melihat pemerintah Suriah yang baru nanti adalah berhaluan ke Barat.
Mesir, telah memperlihatkan sikap kurang bersahabat dengan Israel dan terindikasi menhancurkan perjanjian Camp David yang dirilis oleh mantan presdien Anwar Sadat, Jimy Carter dan Manachem Begin (1972). Banyak ekspektasi melihat bahwa usia perjanjian tersebut -dikaitkan dengan dominasi anti rezim Hosni Mobarak- akan segara tamat riwayatnya.
Rusia telah menegur Perancis akibat terlalu keras dan "berlebihan" menentang Rusia dalam sikapnya terhadap Suriah. Presiden Rusia Dimitri Medvedev sebagaimana dilansir dalam "Breaking News" Press TV (10/2) menulis ukuran besar betapa marahnya Rusia terhadap Sarkozi yang terus mengomel seperti Nyonya besar terhadap pembantu rumah tangganya yang berbuat salah.
India dan Pakistan akan terlibat perang rudal. India telah mendapat pasokan militer dari AS akan berada di atas angin karena unggul dalam kualitas teknologi. Sebaliknya Pakistan akan meminta bantuan Iran dan China serta Rusia.
Iraq kembali bergolak. Kelompok perlawanan yang hancur dalam pendudukan AS akan muncul kembali melawan pemerintahan bentukan AS. Kelompok perlawanan tersebut dari berbagai lapisan yang bertujuan menggulingkan pemerintahan bentukan AS.
Afghanistan kembali marak. Kelompok Al-Qaeda dan Taliban akan berjuang bersama-sama mengguling pemerintahan bentukan AS. Setalah itu antara Talbiban dan Al-qaeda akan terlibat "adu jotos" . Kondisi ini jelas memperburuk kawasan Pakistan, Iran, Irak dan Afghanistan sendiri.
Korea Utara jelas beraliansi dengan Suriah. Menurut Fidel Castro, AS cepat atau lambat pasti akan menyerang Korut. Israel menduga bahwa Korea Utara telah memberikan bantuan penting pada program rudal Iran dan Suriah.
Sikap Mesir kali ini lebih memihak kepada rezim Assad telah membuat opisisi Suriah dan Barat sedikit kuatir dengan Mesir. Baru-baru ini Mesir bahkan telah mengirimkan Dubesnya yang baru untuk Suriah yang memberi pesan secara implisit kepada dunia bahwa mereka mendukung eksistensi dengan Suriah. Hubungan historis penuh damai antara Mesir dan Suriah tidak diragukan lagi.
Libya kembali bergolak dimana pendukung setia Khadafi akan melakukan pembalasan.
Libanon akan membara kembali karena Israel akan menusuk dari Lebanon Utara untuk melumpuhkan perlawanan dendam melawan Hezbollah. Setelah itu Israel menganeksasi Suriah dengan alasan mengurangi determinasi Iran di kawasan tersebut.
Organisasi Al-Qaeda disusupkan ke Suriah untuk melakukan sabotase dan serangan terhadap legiun Iran dan Rusia.
Perancis akan melakukan peran penting di Suriah terutama sekali adalah corong AS dalam memberitakan informasi dan menciptakan kondisi sesuai "strategi khusus" dalam rencana penegakan Demokrasi untuk Suriah.
Negara-negara Arab terpecah karena tekanan dan pengaruh kelompok Ihwanul Muslimin yang meminta dukungan AS dalam mematahkan dominasi penguasa setempat. Demi eksistensi dan terjaminnya kekuasaan mereka, para pemimpin Arab setuju memberikan dukungan kepada Ikhwanul Muslimin dan AS.
Korea Utara dan Korea Selatan terlibat perang terbuka di Laut Kuning. China memainkan peranan pentng membela Korut. Korea Selatan kemungkinan besar akan kewalahan menghadapi tekanan hebat dari Korut dan China.'
Australia menebarkan teror di kawasan Asia Tenggara khususnya dengan Indonesia. Beberapa pulai terluar terpaksa diserahkan dengan alasan menjadi basis militer dan logisitik untuk membantu Korea Selatan dari terkaman China dan Korea Utara.
Melihat fakta dan data di atas, bersiap-siaplah menghadapi PD-3 karena PD-3 memang merupakan skenario yang dibuat oleh AS dalam program New World Order atau One World Goverment disebutkan di atas. Dengan program tersebut dapat dilihat eskalasi militer terjadi mulai dari Mediterania (Libya, Suriah, Lebanon, Iran) sampai ke Laut Cina Selatan (RRC, Korut dan Rusia) telah menjadi target AS untuk mewujudkan pemerintahan satu dunia (Globalisasi) melalui pengaruh politik dengan cara perang.
Sayangnya tujuan tersebut ternyata hanya menyengsarakan manusia di atas muka bumi akibat penggunaan senjata berteknologi tinggi. Tidak ada yang tersisa untuk dunia setelah itu. Maka tak heran Alber Einsten yang mengetahui persis dampak penggunaan teknologi nuklir untuk bererang hanya bisa memberi analisa singkatnya saja : "Saya tidak tahu dengan senjata apa Perang Dunia III akan dipertarungkan, tetapi Perang Dunia IV akan dipertarungkan dengan tongkat dan batu."
Jadi darimanakah awalnya PD-3 itu terjadi? Dari program NWO/ OWG (sebuah proyek dominasi politik dan ekonomi berbasis perang), ataukah karena semakin banyak negara-negara yang menentang kedigdayaan AS NATO dan Sekutu dekatnya?
Jangan-jangan inikah yang dimaksud oleh suku Maya, bahwa dunia akan "kiamat" pada tanggal 21/12/2012…? Semoga peprangan mematikan itu tidak akan pernah terjadi. Sulit membayangkan orang tua kita, anak-anak dan cucu serta saudara yang kita cintai menjadi korban sia-sia akibat kebuasan politik dan ekonomi pihak-pihak yang tamak dan rakus untuk kepentingan hedonisme semata.
Seandainya memang benar Perang Dunia ketiga terjadi, dunia seperti apa yg diharapkan oleh mereka ???
Mike Portal | sumber : new-kaskus.blogspot.com
Isu Hangat: Menaksir China Bertarung di Perang Dunia III
Mike Portal | Latar
belakang tulisan ini ialah pro-kontra prakiraan Perang Dunia (PD) III
yang semakin mengental auranya, entah di Jalur Sutra (Selat Hormuz) atau
bergeser di Laut China Selatan dan lainnya. Entahlah. Telah banyak
telaah tentang trend, mapping dan negara mana kelak terlibat di dalamya.
Global Future Institute (GFI), Jakarta perlu menurunkan artikel tentang
kekuatan para adidaya atau negara yang akan terlibat, baik sisi
peluang, ancaman, kekuatan maupun kelemahanya. China sebagai adidaya
baru dipastikan ---baik langsung maupun tak langsung--- bakal terlibat
secara masif dalam PD nanti. Dengan merujuk berbagai sumber pustaka baik
buku, diskusi-diskusi di internal GFI maupun data yang berserak di
dunia maya, maka inilah ulasan kami sesuai judul di atas
Mengurai China memang panjang, namun catatan ini dimulai sejak awal abad ke-20, ketika ia mencoba melibatkan diri dalam kancah perdagangan global, maka wilayah pesisir menjadi makmur sedangkan daerah pedalaman ---sekitar 160 km dari pantai dan 1.600 km arah barat--- masih melarat. Inilah persoalan mapping kependudukan yang mendasar. Keberadaan kaum miskin sebagian besar di sebelah barat wilayah pesisir yang memang lebih kaya. Perbedaan kekayaan ini berdampak pada “ketegangan sosial” antara kaum pesisir dengan orang-orang dari pedalaman.
Sukses China kini tak lepas dari kiprah Mao Zedong dekade 1927-an. Ia melakukan long march ke pedalaman-pedalaman guna mencairkan “ketegangan” kedua golongan tersebut. Mao meningkatkan jiwa juang kaum pedalaman untuk mampu bersaing dan “menaklukkan” wilayah pesisir. Pada akhirnya ia pun mengambil keputusan menutup China dari dunia luar (perdagangan internasional) agar lebih bersatu dan setara. Mungkin inilah titik awal kenapa ia dijuluki sebagai Tirai Bambu, negeri yang tertutup bagi dunia luar!
Agaknya untuk saat ini, pemerintah telah mempunyai format cocok tentang kekayaan dalam mencapai stabilitas. Menurut George Friedman, ada tiga kepentingan inti yang dianggap strategis oleh China karena bermuara kepada perwujudan kesejahteraan (kepentingan nasional) di dalam negeri.
Stategi pertama ialah membangkitkan dan “membeli” loyalitas warganya melalui kerja massal; rencana ekspansi industri dengan cara memaksimalkan kerja sebagai tujuan namun sedikit pemikiran soal pasar, karena pemasaran menjadi domain atau urusan negara; tabungan swasta dimanfaatkan untuk membiayai industri, meninggalkan sedikit modal dalam negeri untuk membeli output; dan terutama ekspor harus sesuai permintaan pasar dunia.
Strategi kedua bahwa desain industri China berbasis produksi yang lebih daripada kebutuhan (konsumsi) nasional. Artinya kegiatan ekspor dilakukan setelah tercukupi dahulu konsumsi internal. Kemudian impor bahan baku dilakukan manakala ia mengekspor barang-barang ke seluruh dunia. Dengan demikian, China memastikan dahulu permintaan internasional atas ekspornya, termasuk berbagai kegiatan investasi uang di negara-negara konsumen guna membangun akses hingga ke jalur global.
Strategi ketiga ialah kontrol stabilitas atas empat “wilayah penyangga” yang meliputi Mongolia Dalam, Manchuria, Xinjiang dan Tibet. Mengamankan daerah penyangga identik dengan melindungi China dari serangan Rusia, India atau negara lain di Asia Tenggara, kendati rata-rata daerah penyangga telah memiliki “hambatan” baik hutan, gunung, padang rumput maupun gurun Siberia ---- dimana tercipta pertahanan secara alami yang membuat setiap upaya penyerangan dari luar selalu dalam posisi lemah.
Adapun urgensi wilayah penyangga berdasar mapping kependudukan, selain suku Han yang mendominir China, ada empat suku lain non-Han yang tersebar serta merupakan kelompok mayoritas di daerah penyangga.
Antara Krisis, Masalah Pedalaman dan Wilayah Peyangga
Tampaknya krisis ekonomi global yang menimpa Uni Eropa (EU) dan Amerika Serikat (AS) selaku pelanggan utamanya, berimbas sangat negatif terhadap ekspor barang di kedua kawasan tadi. Di satu sisi, ia belum mampu secara maksimal meningkatkan permintaan domestik dan jaminan akses global terutama melalui perairan, sedang di sisi lain intensitas kepentingan AS terlihat mulai hilir-mudik dan “mancing-mancing” di Laut China dan sekitarnya.
Tekanan ekonomi menjadi tantangan tersendiri bagi China. Misalnya kekayaan laut yang melimpah pun ternyata tergantung dari perdagangan yang kini mulai goyah. Maraknya kemiskinan di daerah pedalaman membutuhkan banyak subsidi, tetapi karena pertumbuhan ekonomi melambat secara substansial akibat krisis, maka bantuan pun sulit direalisasi.
Ada dua wilayah penyangga China yang hingga sekarang masih dikategorikan “rawan”. Terdapat unsur-unsur perlawanan, di Tibet dan Xinjiang gigih menentang “pendudukan” suku Han yang sengaja di-drop oleh pusat. Dalam perspektif stabilitas, lepasnya kedua daerah ini dapat menimbulkan gangguan bagi kedaulatan China. Misalnya, ancaman India melalui utara Himalaya bisa menciptakan radikalisme Islam di Xinjiang; Tibet pun berpotensi membuat “kegaduhan” internal dan lainnya.
Memang perang terbuka antara China dan India akan sulit terjadi karena hambatan Himalaya. Dalam logika militer modern, droppinglogistik dalam skala besar dalam peperangan relatif lama akan mengalami hambatan dengan kondisi medan seperti itu. Bila kelak terjadi clash, maka pertempuran-pertempuran kecil mungkin lebih efektif. Kedua negara telah “saling mengancam”, apalagi coba-coba hendak membangun kekuatan militer di sekitar gunung dan menyeberangi Himalaya.
Bagi India, gangguan akan muncul jika pasukan China memasuki Pakistan dalam jumlah besar, sebaliknya bagi China gangguan timbul bila pasukan India masuk melalui Tibet. Yang berlangsung sekarang ialah saling intip dan waspada. China menciptakan “skenario” seolah-olah mengirim pasukan via Pakistan, meskipun Pakistan sendiri sesungguhnya tidak memiliki kepentingan dengan pendudukan China bila kelak ia mampu menduduki India. China pun demikian, tidak ada minat untuk melakukan operasi keamanan di Pakistan
Berbeda dengan China, justru India memiliki minat mengirimkan pasukan ke Tibet bila terjadi revolusi nanti. Karena bagi India, kemerdekaan Tibet tanpa kehadiran tentara Beijing akan menarik perhatian dunia. Dalam perspektif hegemoni India, persoalan Tibet sebenarnya hanya masalah pengelolaan saja. Dan disinyalir pemberontak-pemberontakan Tibet mendapat dukungan dari India meski dalam skala minimal sehingga tidak akan mengancam kendali China.
Persoalan dominasi suku Han di wilayah-wilayah penyangga sebenarnya bisa direduksi dengan pengelolaaan yang baik melalui beberapa upaya sehingga bisa memperbaiki reputasi China di forum internasional. Kuncinya adalah stabilitas wilayah pedalaman. Tetapi bila porsi ini diserahkan sepenuhnya kepada suku Han maka kontrol terhadap daerah penyangga justru melonggar. Itulah dilematisnya.
Memelihara wilayah pedalaman memerlukan transfer berbagai sumberdaya. Hal ini bermakna harus menumbuhkan ekonomi pesisir guna menghasilkan modal untuk transfer (subsidi) daerah pedalaman. China memang jauh dari revolusi namun dekade ini ketegangan sosial terus meningkat.
Mempertahankan kestabilan pedalaman merupakan tantangan besar. Ritme antara model kerja, pasar profibialitas, sumberdaya dan jaringan antara supply and demand mutlak harus dikendalikan. Faktor yang akan mengganggu ialah inflasi karena meningkatnya subsidi bagi kaum pedalaman, otomatis mengurangi daya saingnya terhadap eksportir lain di tingkat global.
Inilah tantangan strategis China. Tantangan yang hanya dapat diatasi dengan meningkatkan profibilitas pada aktivitas ekonomi, sehingga mustahil dihadapi dengan produk yang bernilai rendah. Solusinya barangkali ialah memulai dengan manufaktur dan produk yang memiliki nilai tambah (sepatu, motor, mobil dll). Tetapi konsekuensi yang muncul perlu tenaga kerja terdidik dan terlatih. Selain butuh waktu yang relatif lama juga akan bersaing secara langsung melawan negara-negara industri mapan seperti Jepang, Jerman, AS dan lainnya. Inilah medan tempur strategis bagi China yang mutlak harus direbutnya bila ingin mempertahankan stabilitas.
Mengurai China memang panjang, namun catatan ini dimulai sejak awal abad ke-20, ketika ia mencoba melibatkan diri dalam kancah perdagangan global, maka wilayah pesisir menjadi makmur sedangkan daerah pedalaman ---sekitar 160 km dari pantai dan 1.600 km arah barat--- masih melarat. Inilah persoalan mapping kependudukan yang mendasar. Keberadaan kaum miskin sebagian besar di sebelah barat wilayah pesisir yang memang lebih kaya. Perbedaan kekayaan ini berdampak pada “ketegangan sosial” antara kaum pesisir dengan orang-orang dari pedalaman.
Sukses China kini tak lepas dari kiprah Mao Zedong dekade 1927-an. Ia melakukan long march ke pedalaman-pedalaman guna mencairkan “ketegangan” kedua golongan tersebut. Mao meningkatkan jiwa juang kaum pedalaman untuk mampu bersaing dan “menaklukkan” wilayah pesisir. Pada akhirnya ia pun mengambil keputusan menutup China dari dunia luar (perdagangan internasional) agar lebih bersatu dan setara. Mungkin inilah titik awal kenapa ia dijuluki sebagai Tirai Bambu, negeri yang tertutup bagi dunia luar!
Agaknya untuk saat ini, pemerintah telah mempunyai format cocok tentang kekayaan dalam mencapai stabilitas. Menurut George Friedman, ada tiga kepentingan inti yang dianggap strategis oleh China karena bermuara kepada perwujudan kesejahteraan (kepentingan nasional) di dalam negeri.
Stategi pertama ialah membangkitkan dan “membeli” loyalitas warganya melalui kerja massal; rencana ekspansi industri dengan cara memaksimalkan kerja sebagai tujuan namun sedikit pemikiran soal pasar, karena pemasaran menjadi domain atau urusan negara; tabungan swasta dimanfaatkan untuk membiayai industri, meninggalkan sedikit modal dalam negeri untuk membeli output; dan terutama ekspor harus sesuai permintaan pasar dunia.
Strategi kedua bahwa desain industri China berbasis produksi yang lebih daripada kebutuhan (konsumsi) nasional. Artinya kegiatan ekspor dilakukan setelah tercukupi dahulu konsumsi internal. Kemudian impor bahan baku dilakukan manakala ia mengekspor barang-barang ke seluruh dunia. Dengan demikian, China memastikan dahulu permintaan internasional atas ekspornya, termasuk berbagai kegiatan investasi uang di negara-negara konsumen guna membangun akses hingga ke jalur global.
Strategi ketiga ialah kontrol stabilitas atas empat “wilayah penyangga” yang meliputi Mongolia Dalam, Manchuria, Xinjiang dan Tibet. Mengamankan daerah penyangga identik dengan melindungi China dari serangan Rusia, India atau negara lain di Asia Tenggara, kendati rata-rata daerah penyangga telah memiliki “hambatan” baik hutan, gunung, padang rumput maupun gurun Siberia ---- dimana tercipta pertahanan secara alami yang membuat setiap upaya penyerangan dari luar selalu dalam posisi lemah.
Adapun urgensi wilayah penyangga berdasar mapping kependudukan, selain suku Han yang mendominir China, ada empat suku lain non-Han yang tersebar serta merupakan kelompok mayoritas di daerah penyangga.
Antara Krisis, Masalah Pedalaman dan Wilayah Peyangga
Tampaknya krisis ekonomi global yang menimpa Uni Eropa (EU) dan Amerika Serikat (AS) selaku pelanggan utamanya, berimbas sangat negatif terhadap ekspor barang di kedua kawasan tadi. Di satu sisi, ia belum mampu secara maksimal meningkatkan permintaan domestik dan jaminan akses global terutama melalui perairan, sedang di sisi lain intensitas kepentingan AS terlihat mulai hilir-mudik dan “mancing-mancing” di Laut China dan sekitarnya.
Tekanan ekonomi menjadi tantangan tersendiri bagi China. Misalnya kekayaan laut yang melimpah pun ternyata tergantung dari perdagangan yang kini mulai goyah. Maraknya kemiskinan di daerah pedalaman membutuhkan banyak subsidi, tetapi karena pertumbuhan ekonomi melambat secara substansial akibat krisis, maka bantuan pun sulit direalisasi.
Ada dua wilayah penyangga China yang hingga sekarang masih dikategorikan “rawan”. Terdapat unsur-unsur perlawanan, di Tibet dan Xinjiang gigih menentang “pendudukan” suku Han yang sengaja di-drop oleh pusat. Dalam perspektif stabilitas, lepasnya kedua daerah ini dapat menimbulkan gangguan bagi kedaulatan China. Misalnya, ancaman India melalui utara Himalaya bisa menciptakan radikalisme Islam di Xinjiang; Tibet pun berpotensi membuat “kegaduhan” internal dan lainnya.
Memang perang terbuka antara China dan India akan sulit terjadi karena hambatan Himalaya. Dalam logika militer modern, droppinglogistik dalam skala besar dalam peperangan relatif lama akan mengalami hambatan dengan kondisi medan seperti itu. Bila kelak terjadi clash, maka pertempuran-pertempuran kecil mungkin lebih efektif. Kedua negara telah “saling mengancam”, apalagi coba-coba hendak membangun kekuatan militer di sekitar gunung dan menyeberangi Himalaya.
Bagi India, gangguan akan muncul jika pasukan China memasuki Pakistan dalam jumlah besar, sebaliknya bagi China gangguan timbul bila pasukan India masuk melalui Tibet. Yang berlangsung sekarang ialah saling intip dan waspada. China menciptakan “skenario” seolah-olah mengirim pasukan via Pakistan, meskipun Pakistan sendiri sesungguhnya tidak memiliki kepentingan dengan pendudukan China bila kelak ia mampu menduduki India. China pun demikian, tidak ada minat untuk melakukan operasi keamanan di Pakistan
Berbeda dengan China, justru India memiliki minat mengirimkan pasukan ke Tibet bila terjadi revolusi nanti. Karena bagi India, kemerdekaan Tibet tanpa kehadiran tentara Beijing akan menarik perhatian dunia. Dalam perspektif hegemoni India, persoalan Tibet sebenarnya hanya masalah pengelolaan saja. Dan disinyalir pemberontak-pemberontakan Tibet mendapat dukungan dari India meski dalam skala minimal sehingga tidak akan mengancam kendali China.
Persoalan dominasi suku Han di wilayah-wilayah penyangga sebenarnya bisa direduksi dengan pengelolaaan yang baik melalui beberapa upaya sehingga bisa memperbaiki reputasi China di forum internasional. Kuncinya adalah stabilitas wilayah pedalaman. Tetapi bila porsi ini diserahkan sepenuhnya kepada suku Han maka kontrol terhadap daerah penyangga justru melonggar. Itulah dilematisnya.
Memelihara wilayah pedalaman memerlukan transfer berbagai sumberdaya. Hal ini bermakna harus menumbuhkan ekonomi pesisir guna menghasilkan modal untuk transfer (subsidi) daerah pedalaman. China memang jauh dari revolusi namun dekade ini ketegangan sosial terus meningkat.
Mempertahankan kestabilan pedalaman merupakan tantangan besar. Ritme antara model kerja, pasar profibialitas, sumberdaya dan jaringan antara supply and demand mutlak harus dikendalikan. Faktor yang akan mengganggu ialah inflasi karena meningkatnya subsidi bagi kaum pedalaman, otomatis mengurangi daya saingnya terhadap eksportir lain di tingkat global.
Inilah tantangan strategis China. Tantangan yang hanya dapat diatasi dengan meningkatkan profibilitas pada aktivitas ekonomi, sehingga mustahil dihadapi dengan produk yang bernilai rendah. Solusinya barangkali ialah memulai dengan manufaktur dan produk yang memiliki nilai tambah (sepatu, motor, mobil dll). Tetapi konsekuensi yang muncul perlu tenaga kerja terdidik dan terlatih. Selain butuh waktu yang relatif lama juga akan bersaing secara langsung melawan negara-negara industri mapan seperti Jepang, Jerman, AS dan lainnya. Inilah medan tempur strategis bagi China yang mutlak harus direbutnya bila ingin mempertahankan stabilitas.
Kelemahan dan Kekuatan Militer
Selain terdapat masalah ekonomi, persoalan militer pun tak kalah pelik. Misalnya dari aspek geostrategi, sistem pertahanannya sangat tergantung pada laut lepas, sedang konfigurasi Laut China Selatan dan Laut China Timur sangat mudah diblokade dari luar. Laut Timur terbentang di antara pulau-pulau Korea, Jepang dan Taiwan, kemudian Laut China Selatan lebih tertutup lagi yakni pada bentangan antara Taiwan, Filipina, Indonesia dan Singapura. Keprihatinan besar Beijing saat ini adalah rencana blokade oleh AS yang akan berdampak signifikan terhadap perekonomian China secara menyeluruh. Barangkali inilah shock and awe yang tengah dijalankan oleh AS dalam rangka “melemahkan” China, belum lagi bakal muncul ancaman dari Taiwan, Korea Selatan, Philipina dan lainnya.
Dekade 2008-an kekuatan militernya memang terbesar kedua setelah AS, namun pada tahun 2011-an Rusia mampu menyalip sehingga kini menempati urutan ketiga. Menurut Dewi Fortuna Anwar dalam diskusi ASEAN-US Relations: What Are the Talking Points? yang digelar di @america Mall Pacific Place Jakarta, Senin (5/3/2012). “Hingga saat ini anggaran militer AS jauh lebih besar dari jumlah anggaran sebagian negara-negara besar," katanya, sekalipun anggaran belanja militer sebagian negara-negara besar seperti Jepang, Inggris, Rusia ditambah dengan anggaran militer ke sepuluh negara ASEAN bahkan anggaran militer AS masih tetap yang tertinggi.
Data 2011 anggaran militer AS berjumlah 692 milyar USD, bandingkan dengan China sekitar 100 milyar USD, Rusia 56 milyar USD, India 36,030 milyar USD, atau Iran 9,174 milyar USD dan sebagainya (www.globalfirepower.com).
Rincian selanjutnya adalah sebagai berikut. Saat ini, The People’s Liberation Army (PLAN) memiliki 250.000 tentara yang didalamnya termasuk 35.000 tentara Coastal Defense Force (Pasukan Pertahanan Lepas Pantai). Sedangkan infantri marinir lautnya berjumlah 56.000 tentara. Belum lagi termasuk 56.000 Aviation Naval Air (Pasukan Unit Udara Angkatan Laut).
Bukan itu saja. Jumlah kapal selam milik PLAN pun boleh dibilang cukup fantastis. Saat ini China memiliki 972 unit kapal selam. Kemajuan yang sangat pesat mengingat sebelummnya PLAN hanya memiliki 35 unit kapal selam. Sedangkan kapal pembawa rudal juga meningkat dari 20 menjadi 100 buah.
Dengan demikian, postur angkatan bersenjata China diprediksi akan semakin meningkat, sehingga pada 2015 mendatang, China diyakini akan memiliki anggaran militer dua kali lipat dari yang saat ini sebesar 100 miliar dolar AS. Suatu fakta yang tentunya mencemaskan bagi Amerika dan Uni Eropa, apalagi bagi berbagai elemen yang meyakini prediksi Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization. Dalam bukunya tersebut, pakar politik Amerika dari Universitas Harvard tersebut memprediksi akan meletus perang terbuka AS-China, dan melibatkan polarisasi baru antara AS-Uni Eropa versus China-Negara-negara Islam.
Begitupun,dengan data yang tersaji tersebut di atas, tetap saja China belum bisa dikatakan telah memiliki angkatan laut handal. Hingga saat ini China masih dalam proses penyelesaian kapal induk pertama. Angkatan lautnya tidak cukup kualitas, kuantitas dan pengalaman untuk bertempur melawan militer AS dan sekutu. Sejak usai Perang Dunia II, geliat militer China belum memiliki kelompok tempur kapal perang yang teruji dan tidak pernah lagi memiliki laksamana tangguh seperti kisah Cheng Ho dulu.
Strategi Kontra
Tampaknya China memahami masalah ini. Dalam rangka mencegah blokade laut oleh AS, selain tahun ini (2012) menaikkan budget militernya hingga 11% lebih, ia juga membangun kapal selam besar sebagai strategi kontra. Kemudian mengembangkan rudal anti kapal yang mampu menembus kapal perang bahkan kapal induk sekalipun.
Pada satu sisi, China juga memiliki sistem rudal darat yang mampu menangkis serangan rudal jelajah, kemudian kini mempunyai pesawat terbang siluman, pesawat tanpa awak saat ini masih dalam pengembangan, namun di sisi lain strategi rudal akan bekerja dengan baik bila memiliki kemampuan intai efektif. Artinya rudal tidak dapat menghancurkan kapal jika tidak tahu posisinya, lalu ia pun membangun teknologi smart satelit sebagai supporting system dalam perang rudal kelak.
Selain itu kemampuan China dalam pertempuran jangka lama masih belum teruji. Kendati kekalahannya sewaktu ia menyerang Vietnam tahun 1979-an tidak boleh dijadikan patokan, karena kemampuan militernya telah melesat jauh daripada sebelumnya, kini terbesar ketiga setelah AS dan Rusia.
Strategi kontra lain ialah berusaha mendapat akses pelabuhan di beberapa negara di kawasan Lautan Hindia dengan membangun pelabuhan di Myanmar, Pakistan, Kolombo dan Sri Lanka, termasuk membangun rel serta sistem transportasi jalan sebagai infrastruktur menuju pelabuhan-pelabuhan tersebut. Tetapi yang urgen ialah memelihara hubungan politik dengan negara yang diakses terutama beberapa negara yang memiliki kadar ketidakstabilan tinggi seperti di Myanmar, Pakistan dan lainnya.
Inilah salah satu kepentingan stategis lagi fundamental bagi China. Ia pun tidak boleh berasumsi bahwa dengan membangun sebuah pelabuhan akan memberikan akses tak terbatas di negara tersebut, sebab jalan dan jalur rel mudah disabotase gerilyawan suatu negara, atau mudah dihancurkan melalui serangan udara. Dengan demikian, Beijing harus mampu mengendalikan situasi politik di negara tuan rumah dalam waktu lama. Dan jaminan atas kendali pada negara lain mutlak harus memiliki kekuatan besar untuk memaksa akses ke pelabuhan dan sistem transportasi.
Semenjak Komunis mengambil alih kekuasaan, China jarang bahkan hampir tidak pernah melakukan operasi militer secara ofensif. Hanya sekali-sekali saja. Suksesnya invasi ke Tibet bukan jaminan kehebatan militernya, karena daya tempur unsur-usur perlawanan memang tidak maksimal. Demikian pula intervensi ke Korea mengalami kerugian karena biaya relatif besar namun menemui jalan buntu. Hal ini membuat ia harus berhati-hati di masa depan. Yang memalukan ketika ia menyerang Vietnam tetapi menderita kekalahan (1979). Dengan demikian, setidaknya “bangunan militer”-nya kini telah mengadopsi beberapa pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu.
Semenjak dekade 1980-an, China telah menyerahkan tanggung jawab internalnya kepada polisi, pasukan perbatasan dan pasukan keamanan internal lainnya yang telah diperluas serta terlatih dalam rangka menangani ketidakstabilan sosial. Pengalaman atas konflik internal di masa lalu telah meletakkan pula The Peoples’s Liberation Army (PLA) atau Tentara Pembebasan Rakyat sebagai organ yang ditunjuk dalam rangka mengendalikan konfigurasi sosial di dalam negeri hingga level terburuk. PLA adalah secondery force selain militer, ia dipersiapkan dalam rangka menghadapi tantangan pendudukan dari Myanmar, atau Pakistan misalnya, intinya adalah mengendalikan situasi internal bukan untuk proyeksi keluar.
Secara fisik ia mampu mengendalikan di dalam tetapi kontrol terhadap negara-negara tetangganya sangat terbatas. Salah satu kelemahanya ialah ketidakmampuan dalam penyediaan logistik perang jarak jauh dengan waktu lama disebabkan faktor alam, infrastruktur transportasi, serta dikelilingi oleh negara-negara yang secara politis berseberangan. Solusi sederhana bagi China, terutama untuk kontrol eksternal ialah membuka jalur-jalur laut dan metode gerilya bersenjatakan rudal, ranjau dan kalal selam. Ini yang seharusnya dibangunnya.
Strategi Politik
Melihat fakta di atas, tampaknya China menghadapi masalah strategi yang cukup signifikan. Sepertinya ia belum mampu jika melawan AS dan sekutu di perairan. Kontra strategi yang diterapkan pun belum sepenuhnya efektif mengingat biaya besar dan kondisi akses politik yang tidak pasti di negara-negara di sekitar Lautan Hindia. Apa boleh buat. Tuntutan menciptakan kekuatan guna mampu menjamin akses politik diluar, justru bertentangan dengan persyaratan keamanan dalam negerinya sendiri. Ya. Kekuatan dominan angkatan laut dunia saat ini adalah Paman Sam beserta koalisi dengan puluhan kapal induk diiringi kapal freegat serta ratusan kapal selam siap tempur, belum lagi pangkalan militer yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Upaya menetralisir kelemahan strateginya, China mencoba melibatkan sebagai bagian yang urgen bagi AS itu sendiri. Misalnya surat utang sebesar 1,107 triliun USD per September 2011 milik AS (CNBC, 2/2/2012) yang dipegang oleh China memang bisa menjadi kartu truf dalam satu sisi, kendati belum menjamin sepenuhnya terutama sisi politik global.
Pengalaman Libya merupakan contoh riil. Kepercayaan diri Gaddafi yang berbasis keyakinan bahwa ia tidak akan diserang oleh AS dan NATO karena disamping tengah menjalin konsesi minyak beberapa perusahaan minyak milik Barat, juga Barat memiliki utang sekitar 600 milyar USD kepada Libya. Dari aspek politik ternyata bertolak belakang. Resolusi PBB nomor 1973 tentang No Fly Zone merupakan jawaban fatal atas “kesalahan keyakinan”-nya Gaddafi kepada Barat. Seri baru perang kolonial yakni utang dibayar bom dan perampokan internasional berkedok pembekuan aset-aset di luar negeri pun diterapkan oleh AS dan sekutu terhadap Libya (baca: Perampok Internasional dan Utang Dibayar Bom, di www.theglobal-review.com). Libya kini porak-poranda.
Persepsi kebangkitan China memang tak bisa dipungkiri siapapun, namun mengingat masih besarnya tantangan internal sementara postur militernya tengah berformat mencari bentuk ideal merujuk geostrategi dan geopolitik, maka dibutuhkan kajian secara mendalam oleh think-tank Beijing jika memutuskan hendak melawan AS dan sekutu di wilayah perairan.
Rekomendasi
“Setiap sistem dominasi tergantung kekuatan militer, tetapi selalu membutuhkan pembenaran ideologis” (Jean Bricmont).
Menaksir kemampuan China dari teori ini, tampaknya kedua elemen sebagai syarat pokok yakni power militer dan senjata ideologis belum dimilikinya. Jujur saja, China tidak punya citra ideologis guna “menerobos” lorong-lorong politis negara lain dan juga belum memiliki power militer dalam rangka akses politis di luar kendati kekuatan militernya ketiga terbesar di dunia. Berbeda dengan AS yang mampu menebar ideologis melalui paket demokrasi, HAM dan lingkungan (DHL) serta para personel dan pangkalan militer, capacity building bahkan doktrin militernya bertebaran di banyak negara.
Pendekatan asimetris (non militer) China dianggap luar biasa, bahkan ditakuti oleh jajaran negara Barat di Afrika, Asia, Timor Leste dan lainnya. Hal ini menjadikan China lebih populer daripada kelompok negara Barat yang sering usil dengan urusan internal negeri lain. Namun langkah asimetris bukanlah jaminan, selain tidak memiliki efek signifikan bila terjadi perang terbuka nanti, niscaya akan mengendala ketika merambah suatu negara yang secara ekonomi telah mapan serta sudah mampu mengelola “jati diri”-nya secara berkelanjutan seperti Brazil, Venezuela, Bolivia, Iran dan lainnya.
Namun demikian ada beberapa hal yang kiranya perlu mendapat perhatian kita secara seksama terkait postur kekuatan angkatan bersenjata China yang cenderung kian meningkat dari waktu ke waktu. Berdasarkan data kekuatan militer China yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute(GFI), kekuatan angkatan bersenjata China bagaimanapun juga tetap tidak boleh diremehkan, bahkan oleh Amerika Serikat sekalipun.
Tentara Aktif berjumlah 2.255.000 (dua juta duaratus limapuluh lima ribu) orang. Tentara cadangan, 800.000(delapan ratus ribu) orang. Paramiliter aktif 3.969.000(tiga juta sembilanratus enampuluh sembilan ribu) orang.
Angkatan Darat, China memiliki senjata berbasis darat sejumlah 31.300, tank sejumlah 8200, kendaraan pengangkut pasukan sebesar 5000, meriam sejumlah 14.000, senjata pendorong 1.700, sistem peluncur roket 2.400, mortir sejumlah 16.000, senjata kendali anti tank 6500, dan senjata anti-pesawat 7.700.
Di matra laut, China pun cukup berjaya. Kapal perang, berjumlah 760 unit, kapal pengangkut 1822 unit, pelabuhan utama 8, pengangkut pesawat 1 unit, kapal penghancur 21 unit, kapal selam 68 unit, fregat 42, kapal patroli pantai 368 unit 6, kapal penyapu ranjau sekitar 39 unit, dan kapal amphibi sekitar 121 unit.
Angkatan Udara, China punya jumlah pesawat 1900 unit. Cukup menakjubkan. Helikopter 491 unit, lapangan udara 67 unit.
Mengakhiri catatan ini, rekomendasi yang diberikan ialah agar pancingan AS dan kelompok negara proxy-nya sekutu terhadap China supaya masuk ke lingkaran tema PD III di Laut China Selatan sebaiknya dihindari sementara ---diulur-ulur waktu--- sambil ia terus membangun kontra strategi dan meningkatkan kemampuan “gerilya”-nya guna menaklukkan negara di sekelilingnya. Akan tetapi rekomendasi ini boleh saja diabaikan apabila telah ada komitmen jelas, bahwa Rusia pun terlibat langsung bersama-sama China melawan AS dan sekutu. Itu baru imbang!
(Analisa ini disarikan dari berbagai sumber)
DATA TAMBAHAH TERKAIT KEKUATAN ANGKATAN BERSENJATA CHINA TERKINI:
Total Navy Ships: 972
Merchant Marine Strength: 2,012 [2012]
Major Ports & Terminals: 8
Aircraft Carriers: 1 [2012]
Destroyers: 25 [2012]
Submarines: 63 [2012]
Frigates: 47 [2012]
Patrol Craft: 332 [2012]
Mine Warfare Craft: 52 [2012]
Amphibious Assault Craft: 233 [2012]NI;
sumber : www.globalfirepower.com
Penulis : M Arief Pranoto dan Hendrajit, Peneliti Senior Global Future Institute
Read more: Isu Hangat: Menaksir China Bertarung di Perang Dunia III | Mike Portal
Konflik Suriah dalam Tinjauan Keamanan Internasional (Suatu Kajian “Wacana” Posmodernisme)
OPINI | 26 April 2013 | 14:23http://politik.kompasiana.com/2013/04/26/konflik-suriah-dalam-tinjauan-keamanan-internasional-suatu-kajian-wacana-posmodernisme-554693.html
Konflik Suriah telah
berlangsung selama hampir dua tahun dan tak ada tanda-tanda akan
berakhir. Analisis pun sudah banyak dilakukan untuk memberikan gambaran
tentang kondisi konflik yang sedang terjadi. Tulisan ini berusaha untuk
melakukan telaah terhadap konflik Suriah dalam tinjauan keamanan
internasional dengan mempergunakan perangkat analisis teori wacana yang
dipopulerkan oleh Foucault yang berbasis pada perspektif posmodernisme.
Pada akhirnya tulisan ini akan memberikan sebuah pemahaman akan
pluralitas wacana di Suriah dalam rangka pembentukan kembali negara
Suriah dan pertarungan wacana yang terjadi.
A. Pendahuluan
Gejolak yang terjadi di Timur Tengah
merupakan sebuah gejolak dahsyat yang meruntuhkan struktur politik
nasional beberapa negara, kejadian tersebut berlangsung secara berurutan
yang di mulai dari Tunisia, selanjutnya satu demi satu negara-negara
Timur Tengah mengalami pergolakan antara lain Mesir, Maroko, Algeria,
Yaman, Bahrain, Libya dan yang belum juga usai sampai saat ini adalah
Suriah. Kejadian ini merupakan sebuah rangkaian kejadian yang
selanjutnya disebut dengan “Arab Spring”, yang menandai suatu
penciptaan kondisi yang baru bagi negara-negara yang tengah bergejolak.
Kondisi gejolak ini nampaknya belum menemui titik penyelesaian untuk
konflik yang terjadi di Suriah, karena pada faktanya sampai dengan saat
ini Suriah masih mengalami gejolak yang belum nampak titik penyelesaian
dan berhentinya konflik. Hal itulah yang akan kami elaborasi secara
lebih mendalam dalam tulisan ini, yakni bagaimana kita meninjau konflik
yang terjadi di Suriah dalam pendekatan keamanan internasional dengan
mendasarkannya pada analisa wacana yang dikembangkan oleh kaum
posmodernisme.
Tentunya banyak pespektif yang bisa
bermain untuk menjelaskan kasus konflik Suriah ini, namun kami lebih
tertarik untuk menganalisanya dalam perspektif posmodernisme dengan
menyandarkannya pada teori wacana yang dikemukakan oleh Foucault. Namun,
sebelum terlebih jauh membahas tentang perkara tersebut alangkah lebih
baiknya ketika kita terlebih dahulu memahami kondisi riil yang terjadi
di Suriah tentang hakekat konflik tersebut, bagaimana pemetaan aktor
dalam konflik yang terjadi dalam internal Suriah tersebut,
kepentingan-kepentingan apa saja yang bermain di dalamnya, bagaimana
proses untuk membangun isu tersebut sebagai bagian integral dalam proses
keamanan internasional atau dengan kata lain proses sekuritisasi isu
ini, dan penerapan teori wacana yang dikemukakan oleh Foucault untuk
menjelaskan fenomena konflik Suriah.
B. Hakekat Konflik Suriah
Perkara utama yang harus
kita telusuri secara lebih mendalam ketika membahas konflik Suriah
adalah hakekat dari konflik Suriah itu sendiri. Konflik di Suriah pada
hakekatnya adalah konflik kepentingan dan ideologis yang melibatkan
berbagai macam aktor baik state maupun non-state.
Konflik ini terjadi karena rezim penguasa yakni Bashar al-Assad telah
kehilangan legitimasi politiknya, hal tersebut ditengarai karena rezim
pemerintahan Bassar al-Assad menggunakan kekuasaan yang dimilikinya
secara otoriter, kekuasaan politik tersebut malah dipergunakan untuk
menindas rakyatnya. Implikasi dari penggunaan kekuasaan yang cenderung
menindas mengarah pada suatu kondisi dimana masyarakat mulai merasa
tidak senang atas tindakan represif dari penguasa tersebut yang akhirnya
menimbulkan pergerakan pada level masyarakat yang menuntut agar Bashar
al-Assad turun dari tampuk kekuasaan. Kondisi pergerakan dan perlawanan
yang mulai tumbuh dari masyarakat yang menuntut agar Assad turun dari
kekuasaannya akhirnya semakin meluas, disisi lain pergerakan rakyat ini
menemukan momentumnya bersamaan dengan “Arab Spring”.
Terkait dengan persoalan
yang berkenaan dengan pemetaan aktor yang bermain dalam konflik Suriah,
maka setidaknya dapat kita petakan dalam beberapa kerangka aktor. Aktor
yang sifatnya internal antara lain terdiri dari rezim penguasa Bashar
al-Assad, dewan koalisi nasional Suriah, dan kelompok militan Suriah.
Secara eksternal maka kita dapat menemukan beberapa aktor lainnya antara
lain Rusia, China, Iran, dan Amerika Serikat beserta dengan sekutu
Baratnya. Dengan beragamnya aktor yang terlibat dalam konflik internal
Suriah ini, yang bukan hanya berasal dari kekuatan di dalam negeri
tetapi juga meliputi kekuatan di luar negeri. Maka, memang dapat kita
simpulkan bahwa persoalan Suriah ini melibatkan gesekan kepentingan yang
bermuatan ideologis yang senantiasa beradu dalam rangka memenangkan
wacana. Dari sinilah kami akan menganalisis perkara ini dalam konteks
perspektif posmodernisme dengan menggunakan analisa wacana Foucault
untuk menjelaskan pertarungan wacana yang terjadi di Suriah dalam rangka
perebutan kekuasaan untuk membangun kembali format negara Suriah pasca
Assad. Yakni pertarungan wacana antara kelompok-kelompok yang
berkepentingan untuk memenangkan wacana dalam bentuk relasi antara power (kekuasaan) dan knowledge (ilmu pengetahuan).
C. Teori Wacana Foucault
Salah satu konsep Foucault yang terkenal adalah wacana atau discourse. Istilah wacana merupakan praktik bahasa yang biasa dikaitkan dengan istilah diskursus.[1] Dalam bahasa Indonesia, istilah diskursus belum ada, tetapi kata yang mendekati istilah itu hanyalah diskursif.[2]
Diskursif berkaitan dengan kata nomina seperti nalar berupa kemampuan,
kecerdasan, dan pemikiran yang logis. Wacana atau diskursif dikenalkan
oleh Foucault untuk dijadikan sebagai analisis yang sangat mendalam
tentang fenomena struktur relasi antara power (kekuasaan) dan knowledge
(ilmu pengetahuan). Danaher-Schirato-Webb (DSW) mengatakan bahwa wacana
adalah format bahasa yang berhubungan dengan ide-ide dan
lontaran-lontaran pernyataan yang menampakkan nilai-nilai dasar. Wacana
berguna untuk melukiskan nilai-nilai dasar kata-kata pelaku bahasa.
Kata-kata tersebut memberikan kita sesuatu yang masuk akal dalam
‘melihat’ sesuatu.[3]
Di balik wacana terdapat kuasa (material force)
yang ditampilkan oleh penutur teks-teks bahasa atau praktik-praktik
bahasa yang ditentukan sepenuhnya oleh keterbatasan kemampuan nalar,
kecerdasan, dan pemikiran logis dirinya, yakni pengetahuannya. Mills
menekankan bahwa hanya dalam teks-teks bahasa dan aksi-praktis bahasa
saja, pengetahuan dapat ditampilkan. Sedangkan dibalik semua itu adalah
kuasa (material force) yang dapat dilihat, dijelaskan, dan dimengerti.[4]
Kuasa ini hadir di balik arsip pidato, laporan (dokumen), ide-ide,
manifesto, peristiwa bersejarah, wawancara, kebijakan, dan organisasi
atau institusi. Semua itu ditampilkan dalam format bahasa teks
(inter-tekstualitas) dan tulisan.[5]
Studi Foucault ini tidak mencari benar-salah, baik-buruk suatu
pengetahuan seperti pencarian kebenaran yang dilakukan oleh ilmu
pengetahuan ilmiah (sains) dan sejarahwan, tetapi studi Foucault justru
melihat proses penjelajahan wacana (relasi pengetahuan/kuasa) yang
berbeda-beda ditiap zaman dalam kerangka struktur pengetahuan/kuasa yang
mereproduksi kebenaran.[6] Tidak ada ‘kebenaran’, yang ada hanyalah perspektif dan ‘rejim kebenaran’ yang saling bersaing.[7]
Foucault menciptakan istilah ‘rejim
kebenaran’ sebagai kata kunci untuk merujuk atas hal ketika kebenaran
dan kekuasaan sama-sama dihasilkan dan bertahan. Istilah tersebut
berkaitan dengan apa yang diyakini sebagai kebenaran, sesuai dengan
aturan atau kriteria yang menentukan proposisi yang benar dari yang
salah, serta menunjukkan bagaimana keyakinan yang memiliki status
kebenaran membentuk praktik dan institusi sosial. Kajian atas ‘rejim
kebenaran’ ini berbeda dengan pencarian akan kebenaran itu sendiri,
seperti halnya penekanan mengenai bagaimana ‘rejim kebenaran’ yang ada
berlaku hanya dengan menaklukkan rejim lainnya. Terdapat pertempuran
antara dan di dalam rejim kebenaran, dimana hierarki dibangun dan
kekuasaan mempengaruhi klaim pengetahuan. Posmodernisme membahas
persoalan bagaimana sebuah perspektif menghasilkan representasi yang
mencapai legitimasi dominan dan monopolit dengan memarginalisasi yang
lainnya.[8]
Poin dari posmodernisme adalah tidak menawarkan sebuah representasi
hubungan internasional yang ‘benar’, namun menawarkan sebuah pandangan
kritis atas bagaimana representasi-representasi itu berkiprah dan secara
tetap menghasilkan efek-efek politik praktis.[9] Tidak ada suatu citra diri yang tunggal, yang ada hanyalah citra-citra diri yang saling bersaing.[10]
D. Proses Sekuritisasi Konflik Suriah sebagai Sebuah Isu Keamanan
Mengingat bahwa tulisan ini merupakan sebuah
tinjauan keamanan internasional, maka menjadi penting untuk
mengungkapkan bagaimana proses sekuritisasi isu ini menjadi sebuah
bagian yang integral dalam sebuah isu keamanan. Oleh sebab itu, sebelum
mempergunakan teori wacana Foucault dalam menganalisis konflik Suriah,
ada baiknya kita menelaah terlebih dahulu tentang proses sekuritisasi
isu konflik Suriah ini yang nantinya akan kita kaitkan dengan Teori
wacana Foucault.
Secara sederhana sekuritisasi berarti, usaha-usaha untuk menjadikan sebuah isu menjadi bagian dari isu keamanan, Security. Proses sekuritisasi melibatkan dua hal penting, yakni : Securitizing Actor yaitu aktor yang mengangkat atau mensekuritisasi sebuah isu dan Referent Object
yaitu objek yang dipandang mengancam secara nyata dan butuh direspon
untuk menghindari bahayanya. Menurut Buzan, meski secara teoritis proses
sekuritisasi bisa dilakukan oleh siapa saja. Namun, pada faktanya yang
umum terjadi adalah securitizing actors kebanyakan dilakukan para pemimpin politik (politisi), birokrasi, pemerintah, kelompok lobi, dan kelompok-kelompok penekan.[11]
Teori tentang sekuritisasi ini sebenarnya merupakan sebuah teori yang
lahir atas sumbangan dari perspektif konstruktivisme, namun dalam
tulisan ini teori tersebut dipinjam dalam rangka pemetaan aktor secara
jelas yang domainnya tidak hanya pada tataran ‘ide yang melahirkan sikap
atau tindakan’, tetapi lebih daripada itu analisis posmodernisme akan
bermain pada ranah ‘pembongkaran wacana’ bagaimana ide itu membentuk
sebuah wacana yang didalamnya terdapat relasi antara power (kekuasaan) dan knowledge (ilmu pengetahuan). Atas dasar itulah mengapa teori sekuritisasi ini, juga menjadi perkara yang kami gunakan dalam tulisan ini.
Berbicara mengenai konteks pemetaan aktor
dalam konflik di Suriah, nampaknya terjadi sebuah proses pembangunan
identitas antara pihak-pihak yang memproduksi wacana sebagai pembenaran
atas tindakan mereka. Hal tersebut dapat kita lihat dari diproduksinya
sebuah pemahaman ancaman oleh aktor-aktor tertentu. Dalam konteks aktor
eksternal, Amerika Serikat berupaya membangun sebuah wacana akan
pentingnya proses demokratisasi bagi konflik yang terjadi di Suriah.
Amerika Serikat telah sangat terus terang mengatakan bahwa hasil yang
mereka harapkan bagi penyelesaian konflik Suriah adalah transisi politik
menuju sebuah negara demokratis. Solusi tersebut dianggap sebagai
solusi terbaik bagi konflik Suriah. Oleh sebab itu, mereka mendukung
untuk tercapainya hal tersebut dan menciptakan sebuah pemahaman umum
dalam konteks ancaman, bahwa siapa saja yang menginginkan selain itu
adalah ancaman bagi proses perdamaian Suriah. Berdasarkan hal tersebut
Amerika Serikat beserta dengan sekutu Barat yang lain sangat mendukung
Dewan Koalisi Nasional Suriah yang bertindak sebagai lembaga oposisi
pemerintahan Assad untuk mengawal proses demokratisasi tersebut. Disisi
lain Amerika Serikat beserta dengan sekutu Barat lainnya dengan melalui
media dan berdasar kepada organisasi dunia yaitu PBB. Dalam laporannya,
Komisi PBB yang melakukan penyelidikan di Suriah mengatakan kehadiran
para militan asing, Islam Radikal atau para jihadi, membuat mereka
khawatir akan proses perdamaian di Suriah. Kepala Komisi Sergio Pinheiro
kepada wartawan hari Selasa (16/10/2012) memperkirakan ada ratusan
kombatan asing yang ikut bertempur di Suriah. Pinheiro menambahkan bahwa
komisi itu khawatir para kombatan asing ini tidak berjuang untuk
“membangun negara demokratis di Suriah”, tetapi “untuk agenda mereka
sendiri”.[12]
Pernyataan ini menunjukkan seakan-akan PBB beserta dengan Amerika dan
sekutu Baratnya memiliki agenda untuk kepentingan rakyat Suriah.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hilary
Clinton secara terbuka memperingatkan kecenderungan Suriah ini. Amerika
dengan teknik propagandanya membangun sebuah persepsi ancaman bahwa para
mujahidin merupakan “ekstrimisme dan terorisme”, melalui upaya
mengaitkan mereka dengan al-Qaida. Tidak hanya itu Amerika malah
membangun sebuah opini bahwa para mujahidin adalah ekstrimis dan
terorisme yang ingin membajak perjuangan rakyat Suriah. Menteri Luar
Negeri AS Hilary Clinton mendesak oposisi Suriah agar melawan berbagai
upaya oleh kelompok ekstrimis untuk “membajak revolusi”. Berbicara dalam
perjalanan ke Kroasia, ia mengatakan kepemimpinan pemberontak harus
lebih inklusif terhadap mereka yang bertempur di Suriah. Ia juga
mengatakan ada sejumlah “laporan yang merisaukan” mengenai ekstrimis
Islam memasuki Suriah untuk mengambil keuntungan dari pemberontakan
melawan Presiden Bashar al-Assad. Pemberontak harus “dengan tegas
menolak segala upaya oleh ekstrimis untuk membajak revolusi Suriah”,
demikian peringatan Clinton.[13]
Tampak jelas Amerika ingin melakukan pemetaan ancaman antara apa yang
disebut pemberontak dengan para ekstrimis. Amerika Serikat juga berupaya
melakukan kriminalisasi perjuangan para mujahidin dengan bukti video
yang diklaim merupakan bentuk kejahatan. Menurut PBB video semacam itu
bisa dipakai sebagai bukti kejahatan perang. Sementara pemerintah AS
menyatakan “mengutuk pelanggaran HAM oleh pihak mana pun di Suriah”.
Upaya kriminalisasi mujahidin ini akhirnya terbukti, pada Rabu
(5/12/2012) Presiden Obama secara resmi memasukkan kelompok mujahidin
Jabhat al-Nushrah di Suriah dalam daftar baru organisasi terorisme.
Jabhat al-Nushrah selama ini dikenal sebagai kelompok jihad yang paling
keras menghantam militer rezim Nushairiyah Suriah, yang ingin
menggulingkan kekuasaan rezim Assad yang berkuasa selama 40 tahun untuk
menggantikannya menjadi sebuah negara Islam di bawah hukum Syariah
Islam.
Berdasarkan pada pemaparan di atas, ketika
kita menggunakan teori sekuritisasi untuk mengidentifikasi isu konflik
Suriah ini agar dapat dikategorikan sebagi sebuah isu keamanan. Maka,
ada pihak yang menjadi Securitizing Actor yakni Amerika Serikat
melalui Menteri Luar Negerinya Hilary Clinton termasuk pula presiden
Amerika Serikat Obama, yang menjadikan kelompok militan dan mujahidin
semacam Jabhat al-Nushrah dengan identitas Islam ideologis yang mereka
bawa, dimana mereka berkeinginan untuk menegakkan negara Islam di bawah
hukum Syariah Islam sebagai kelompok terorisme yang memiliki afiliasi
dengan al-Qaidah, itu artinya mereka dijadikan sebagai Referent Object. Atas
dasar itu, pada hakekatnya isu Konflik Suriah dapat dikategorisasikan
sebagai sebuah isu keamanan pada tingkat regional Timur Tengah yang
menyita perhatian masyarakat internasional, dan dapat berkembang menjadi
isu keamanan internasional yang mengundang pihak di luar kawasan Timur
Tengah untuk melakukan intervensi terhadap konflik Suriah, dengan dalih
pelanggaran HAM, menghentikan perang saudara, dan juga penggunaan
senjata kimia. Di sisi lain perkembangan tersebut menunjukkan sebuah
kenyataan bahwa kekuatan-kekuatan Barat menghadapi “ancaman
eksistensial” dari jaringan transnasional ketimbang dari negara
berdaulat seperti masa lalu.[14]
Al-Qaeda atau kelompok-kelompok teroris lainnya semacam Jabhat
al-Nushrah, muncul sebagai ancaman non-negara. Mereka merupakan kelompok
perlawanan transnasional baik di tingkat global maupun lokal, yang
memiliki agenda untuk menegakkan negara Islam yang akan mengancam
eksistensi Barat.
Berangkat dari penjelasan inilah maka kami
berkesimpulan bahwa ada sebuah konstruksi wacana yang sedang bermain
dalam konteks konflik Suriah, dimana bangunan wacana tersebut sangat
dipengaruhi oleh relasi antara kuasa dan pengetahuan, yang pada akhirnya
akan mengarahkan pada membangun kembali format negara Suriah pasca
Assad. Dari sinilah selanjutnya akan kami bahas tentang pluralitas
wacana yang bermain dalam konflik Suriah tersebut dengan mempergunakan
analisis wacana Foucault
.
.
E. Implementasi Teori Wacana Foucault dalam Menganalisis Konflik Suriah
Pada bagian ini secara spesifik akan dibahas
tentang implementasi teori wacana yang dimiliki oleh Foucault untuk
dipergunakan dalam menganalisis konflik Suriah. Sebagaimana yang telah
disinggung sebelumnya bahwa wacana atau diskursif sangat berkaitan
dengan nalar yang berupa kemampuan, kecerdasan, dan pemikiran yang
logis. Dimana wacana dijadikan sebagai analisis yang sangat mendalam
tentang fenomena struktur relasi antara pengetahuan dan kuasa. Di balik
wacana terdapat kuasa (material force) yang ditampilkan oleh
penutur teks-teks bahasa atau praktik-praktik bahasa yang ditentukan
sepenuhnya oleh keterbatasan kemampuan nalar, kecerdasan, dan pemikiran
logis dirinya, yakni pengetahuannya. Kuasa ini hadir dibalik arsip
pidato, laporan (dokumen), ide-ide, manifesto, peristiwa bersejarah,
wawancara, kebijakan, dan organisasi atau institusi. Kesemua hal
tersebut ditampilkan dalam format bahasa teks (inter-tekstualitas) dan
tulisan.
Untuk konteks konflik Suriah, situasi saat
ini di negara itu adalah bahwa rezim al-Assad yang mengendalikan setiap
lapisan masyarakat telah gagal untuk mengakhiri perlawanan masyarakat,
hingga pada suatu kondisi al-Assad menggunakan tindakan represif untuk
memadamkan permintaan perubahan dari masyarakat. Situasi ini dipersulit
oleh kekuatan-kekuatan internasional yang semuanya punya andil dan yang
telah melakukan manuver untuk mempengaruhi hasil-hasil yang didapatkan.
Strategi yang dilakukan oleh Amerika Serikat beserta dengan sekutu
Baratnya secara berturut-turut telah gagal membendung seruan bagi
perubahan oleh rakyat Suriah. Hingga apa yang berlangsung saat ini
setidaknya dapat kita petakan kedalam kerangka analisis wacana antara
Umat Muslim Suriah dan Amerika Serikat. Pluralisme wacana pasca al-Assad
inilah yang menarik untuk kita lihat lebih dalam lagi dalam konflik
Suriah, mengenai pertentangan wacana antara demokrasi dan negara Islam
sebagai format negara Suriah pasca al-Assad.
Meskipun al-Assad masih memegang kekuasaan
hingga saat ini, tetapi ia telah kehilangan legitimasinya mengingat
maraknya aksi masyarakat Suriah yang menginginkan agar ia melepaskan
kekuasaannya. Demokrasi sebagai sebuah alternatif solusi menjadi perkara
yang ditawarkan untuk menggantikan rezim al-Assad yang despotik, wacana
tentang demokratisasi ini memang telah menjadi sebuah wacana global
untuk solusi bagi sebuah negara yang otoriter dan hal inilah yang
ditawarkan oleh Amerika Serikat untuk Suriah. Namun, ketika kita melihat
dengan sudut pandang posmodernisme untuk melihat hal tersebut, maka
demokrasi dapat dikatakan sebagai sebuah wacana dominan yang pada saat
ini menguasai “rejim kebenaran” yang dibaliknya terdapat relasi antara
kuasa dan pengetahuan yang menopangnya.
Wacana demokratisasi ini memproduksi sebuah
pembenaran akan kondisi terbaik bagi Suriah pasca al-Assad. Oleh sebab
itu, pihak-pihak yang menginginkan selain itu akan dianggap sebagai
ancaman, hal tersebutlah yang dilekatkan kepada kelompok mujahidin
Suriah semacam Jabhat al-Nushrah yang selanjutnya disebut sebagai
terorisme yang mempunyai agenda radikal untuk menegakkan negara Islam di
Suriah. Wacana tersebut pada hakekatnya merupakan sebuah wacana yang
ditopang oleh kekuasaan dan legitimasi masyarakat internasional sehingga
mampu menjadi sebuah pembenaran untuk kondisi terbaik bagi Suriah. Oleh
sebab itulah, maka Amerika beserta sekutu Barat lainnya sangat
mendukung Dewan Koalisi Nasional Suriah yang diproyeksikan sebagai
lembaga yang akan mengawal proses transisi Suriah menuju pada suatu
proses demokratisasi.
Presiden Barack Obama mengatakan bahwa
Amerika saat ini menganggap kelompok oposisi utama Suriah sebagai “wakil
sah” satu-satunya rakyat Suriah, suatu hal yang dianggap sebagai sebuah
“langkah besar” dalam upaya diplomatik internasional untuk mengakhiri
pemerintahan Presiden Bashar al-Assad. Obama mengatakan Koalisi Nasional
Suriah yang baru dibentuk “saat ini cukup inklusif” untuk bisa
diberikan peningkatan statusnya. Obama menjelaskan bahwa pengakuan itu
harus diikuti dengan tanggung jawab dan bahwa mereka harus “bisa
memastikan untuk mengorganisir diri secara efektif, mewakili semua
pihak, dan berkomitmen bagi transisi politik yang menghormati hak-hak
kaum perempuan dan kaum minoritas”, katanya dalam wawancaranya dengan
ABC News.
Langkah itu, yang diterima secara luas, bisa
memberikan legitimasi internasional baru bagi para pemberontak yang
berjuang menggulingkan Assad. Pengakuan terhadap dewan itu sebagai
satu-satunya wakil rakyat Suriah menjadikan Amerika sejalan dengan
Inggris, Prancis dan beberapa sekutu Arab Amerika, yang mengambil
langkah yang sama tak lama setelah lembaga itu didirikan pada pertemuan
perwakilan oposisi di Qatar. Para menteri luar negeri Eropa bertemu
dengan pemimpin Dewan Koalisi Nasional Suriah, Ahmed al-Khatib Mouaz, di
Brussels dan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Uni Eropa
menerima kelompok itu sebagai “wakil sah rakyat Suriah”.[15]
Koalisi nasional ini merupakan lembaga baru
front oposisi yang dibentuk dalam pertemuan Qatar 11 November 2012.
Pertemuan yang digagas Amerika dan negara-negara Teluk ini dilakukan
untuk menyatukan oposisi Suriah setelah dewan yang dibentuk sebelumnya
dianggap gagal. Pertanyaan besarnya adalah sampai sejauh mana front baru
oposisi ini mampu menyatukan dan mewakili rakyat Suriah ?, mengingat
front ini sejak awal diragukan independensinya, akibat campur tangan
Barat dalam pembentukannya.
Disisi lain tindakan kejam rezim Al-Assad Suriah telah mengundang perlawanan rakyat Suriah dengan dorongan jihad fi Sabilillah.
Panggilan jihad membantu rakyat Suriah pun menggema di seluruh dunia.
Belum ada data yang pasti berapa pasukan perlawanan yang berasal dari
luar Suriah masuk ke medan perang. Yang pasti, tulang punggung dari
perjuangan Suriah adalah rakyat Suriah sendiri. Inilah yang
dikhawatirkan oleh Amerika, yakni perjuangan rakyat Suriah didasarkan
pada Islam. Seruan-seruan mereka pun jelas menolak bersikap kompromi
dengan Bashar al-Assad, menolak solusi demokrasi Amerika, dan
menginginkan tegaknya Syariah dan Khilafah. Para mujahidin inilah yang
di wacanakan oleh Amerika dengan kuasa atas pengetahuan yang mereka
miliki untuk menyebut mereka sebagai ekstrimis dan “terorisme” yang
ingin membajak perjuangan rakyat Suriah.
Hal yang menarik kemudian muncul ketika Obama
memasukkan Jabhat al-Nushrah dalam daftar organisasi teroris
internasional, maka beberapa hari selanjutnya umat Islam Suriah tumpah
ruah ke jalanan dalam aksi-aksi demonstrasi mendukung mujahidin Jabhat
al-Nushrah dan menolak pasukan “Penjaga Perdamaian PBB”. Di kota
Binniys, propinsi Deir Ezzur, ribuan kaum muslimin turun dalam aksi
demonstrasi. Mereka mengelu-elukan mujahidin Jabhat al-Nushrah. Mereka
serentak memekikkan yel-yel Jabhat al-Nushrah, Allah yahmikum.
Jabhat al-Nushrah, Allah melindungi kalian. Allahu Akbar, kejayaan hanya
milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dukungan
terhadap Jabhat al-Nushrah meluas di tengah masyarakat. Sebagaimana yang
dilansir The Telegraph online (10/12/2012), sebanyak 29 kelompok
oposisi termasuk brigade-brigade tempur dan komite sipil telah
menandatangani petisi yang menyerukan demonstrasi massal mendukung
Jabhat al-Nushrah, sebuah kelompok Islam yang oleh Gedung Putih diklaim
merupakan cabang dari al-Qaeda di Irak. Masyarakat juga diminta untuk
mengkampanyekan slogan “Tidak untuk intervensi Amerika, karena kita
semua pendukung Jabhat al-Nushrah”.[16]
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa ada wacana lain yang berkembang
dalam konteks masyarakat Suriah di tengah konflik yang mereka hadapi.
Tawaran demokrasi dari Amerika beserta sekutunya ternyata menemui wacana
tandingan dalam konteks masyarakat Suriah yang menjunjung tinggi
nilai-nilai keislaman mereka yakni wacana negara dalam konteks Islam
yaitu Syariah dan Khilafah.
Posisi alami masyarakat Suriah yang
konservatif akan menuntut peran Islam dalam rezim pasca-Assad. Musim
semi Arab telah menunjukkan bahwa ada kebangkitan dalam dunia Muslim
pada umumnya, dimana kelompok mayoritas menuntut Islam agar bisa
memainkan peran yang lebih besar dalam politik. Suatu studi yang
dilakukan oleh PEW Research Center pada bulan Juli 2012 menyebutkan :
“Banyak dari negara-negara mayoritas Muslim yang disurvei yang
menginginkan Islam agar memiliki pengaruh yang besar dalam politik”.[17]
Kecenderungan ini telah memberikan suatu pengaruh kelompok-kelompok
Islam yang lebih besar yang membawa mereka ke tampuk kekuasaan. Hal
tersebut tampak jelas pada kelompok-kelompok Islam di Suriah yang
menyerukan didirikannya sebuah negara Islam, yang merupakan sebuah
wacana yang mereka kembangkan, tentunya perkara tersebut ditopang oleh
identitas dan nilai-nilai keislaman yang mereka pegang teguh. Disisi
lain banyak brigade tempur pembebasan Suriah yang menunjukkan dukungan
mereka atas tujuan tersebut seperti yang mereka umumkan di Aleppo,
sementara mereka mengkritik Koalisi Nasional Suriah baru yang
menginginkan demokratisasi.
Fenomena di atas semakin memperkuat analisis
kami tentang pluralisme wacana untuk membangun format negara Suriah
pasca al-Assad. Analisis wacana Foucault yang menekankan pada analisis
yang sangat mendalam tentang fenomena struktur relasi antara pengetahuan
dan kuasa, dapat memberikan penjelasan bahwa di balik wacana demokrasi
sebagai sebuah ilmu pengetahuan terdapat kuasa yang menopang
eksistensinya sebagai sebuah sistem politik terbaik bagi sebuah negara.
Namun, hal tersebut tidak menghilangkan wacana-wacana pemikiran
alternatif yang bukan berasal dari tradisi pemikiran rasionalisme Barat
atas dasar permainan bahasa teks/intertekstualitas. Fenomena diatas
setidaknya dapat kita pahami sebagai sebuah pintu keluar bagi narasi
kecil yang telah terkubur, tersembunyi atau tenggelam oleh narasi besar
pengetahuan/kekuasaan Barat. Implikasinya, muncul sebuah pemahaman baru
yang tidak hanya sekedar menekankan pada representasi
pengetahuan/kekuasaan Barat, yakni fondasi eksistensi Barat sebagai
satu-satunya kebenaran, keilmiahan sebuah disiplin ilmu, obyektif dan
bebas nilai, tetapi hadir pula eksistensi dan representasi suara yang
sebelumnya terbungkam, untuk konteks Suriah adalah nilai-nilai yang
mereka pegang sebagai wilayah kawasan yang sangat kental nilai-nilai
Islam di dalamnya yakni wacana negara Khilafah yang akan menegakkan
hukum Syariah.
F. Kesimpulan
Pada bagian akhir tulisan
ini kami ingin mengungkapkan kesimpulan tentang apa yang telah
diungkapkan sebelumnya bahwa konflik Suriah merupakan bagian integral
dari isu keamanan yang sangat hangat pembicaraannya dalam kurun waktu
sekitar dua tahun ini, sejak dimulainya perlawanan dari rakyat melawan
pemerintahan Bashar al-Assad. Konflik Suriah ini melibatkan berbagai
macam bentuk kepentingan di dalamnya baik oleh state actor maupun non-state actor.
Proses sekuritisasi terhadap isu ini dilakukan oleh Amerika melalui
Menteri Luar Negerinya Hillary Clinton dan juga Presiden Amerika Serikat
Barack Obama yang menganggap bahwa kehadiran para militan dan mujahidin
di Suriah sebagai sebuah ancaman. Atas dasar itu, Amerika memasukkan
kelompok militan Islam semacam Jabhat al-Nushrah sebagai kelompok
terorisme yang dapat mengancam proses perdamaian Suriah. Dalam hal ini,
Amerika Serikat melalui Hilary Clinton dan Barack Obama bertindak
sebagai Securitizing Actor dalam proses sekuritisasi konflik Suriah dan kelompok mujahidin dengan identitas Islam Ideologi yang dibawanya menjadi Referent Object bagi proses perdamaian Suriah.
Proses pembangunan identitas
ini menyebabkan berkembangnya wacana yang dibaliknya terdapat relasi
antara kuasa dan pengetahuan. Dimana demokrasi dianggap sebagai sebuah
solusi terbaik bagi pemerintahan pasca al-Assad, namun disisi lain
muncul wacana tandingan yang dibawa oleh kalangan mujahidin semacam
Jabhat al-Nushrah yang menginginkan format negara pasca al-Assad adalah
format negara Islam berdasarkan hukum Syariah. Kondisi tersebut
menunjukkan adanya pluralitas wacana untuk konflik Suriah yang saling
bersaing untuk mendapatkan posisi kekuasaan pasca al-Assad.***
Referensi :
[1] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta : Jalasutra, 2003. Lihat Sub-bab “Diskursus Posmodernisme”. Lihat juga dalam Asrudin & Mirza Jaka Suryana, Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009, Hal. 323-324.
[2] Yasraf Amir Piliang, Ibid, Hal. 119. Lihat juga dalam Asrudin & Mirza Jaka Suryana, Ibid, Hal. 324
[3] Geoff Danaher, Tony Schirota, dan Jen Webb. Understanding Foucault, Bab Glossary, Hal. X. Lihat juga dalam Asrudin & Mirza Jaka Suryana, ibid, Hal. 324
[4] Sara Mills, Discourse, London : Routledge, 1997, Hal. 17-22. Lihat juga dalam Asrudin & Mirza Jaka Suryana, Ibid.
[5] David Howarth, Discourse, Philadelphia : Open University Press, 2000, hal. 10. Lihat Juga dalam Asrudin & Mirza Jaka Suryana, Ibid.
[6] David Howarth, Ibid, Hal. 77-79. Lihat juga dalam Asrudin & Mirza Jaka Suryana, Ibid.
[7]Scott
Burchill & Andrew Linklater, Theories of International Relation
(Edisi Indonesia : Teori-Teori Hubungan Internasional), Bandung : Nusa
Media, 2011. Hal. 249
[8] Scott Burchill & Andrew Linklater, Ibid, Bandung : Nusa Media, 2011. Hal. 249
[9] Scott Burchill & Andrew Linklater, ibid.
[10] Ibid
[11]
Barry Buzan and Lene Hansen, The Evolution of International Security
Studies. New York : Cambridge University Press, 2009, Hal. 214.
[12]http://hizbut-tahrir.or.id/, diakses tanggal 31 Desember 2012
[13] http://www.bbc.co.uk/, diakses tanggal 31 Desember 2012
[14]Asrudin & Mirza Jaka Suryana, Op.Cit. Hal. 375
[15] http://www.aljazeera.com, diakses tanggal 31 Desember 2012
[16] http://www.nytimes.com/2012/12/09/world/middleeast/syrian-rebels-tied-to-al-qaeda-play-key-role-in-war.html, diakses tanggal 31 Desember 2012
[17] http://www.pewglobal.org/2012/07/10/chapter-3-role-of-islam-in-politics/, diakses tanggal 31 des 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar