Minggu, 19 Mei 2013

ADA YANG TERSELUBUNG DAN SANGAT ANEH BAGI AWAM.... KAMI.... BANGSA INDONESIA...>> DIMANA KPK [KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI-KONON SUDAH LAMA BEKERJASAMA ATAU DISUPERVISI OLEH CIA [CENTRAL INTELIGENT AGENCY-AS].....??? >> INI SANGAT BERBAHAYA..DAN BISA JADI KPK BUKAN LAGI LEMBAGA ANTI KORUPSI..TETAPI MENJADI ALAT ASING MENGENDALIKAN POLITIK NEGERI INI ...... DENGAN TOPENG PEMBERANTASAN KORUPSI..?? . MENGAPA KPK HARUS MENJALIN KERJASAMA DENGAN CIA....?? INI ANEH DAN SANGAT MENGUSIK KEDAULATAN DAN MARTABAT... NEGARA DAN BANGSA INDONESIA..?? >> BUKANKAH SUDAH DIKENAL SEJAK LAMA BAGAIMANA CIA ME-MATA2 I BUNG KARNO...DAN KEMUDIAN BEKERJASAMA DENGAN INTEL2 BAYANGAN SUHARTO UNTUK... MENGGULINGKAN BUNG KARNO...DAN DENGAN SELUBUNG G30S-... MEMBUNUH SEMUA PENDUKUNG BUNG KARNO...BAIK DI JAJARAN MILITER [AHMAD YANI CS-] DAN SIPIL SERTA GERAKAN POLITIK..?? >> BAGIMANA SUHARTO BERKUASA 32 TAHUN DENGAN BANTUAN AS-YANG TENTU CIA..DIBELAKANGNYA..DENGAN MENJERUMUSKAN BANGSA DAN NEGARA RI KEDALAM HUTANGAN2..DAN MANIPULASI..DAN DUSTA2 PEMBANGUNAN...SERTA BANTUAN LUAR NEGERI..?? INGATLAH... BAGIMANA AS DAN NEGARA2 YANG DIKEMDALIKAN ZIONIST INTERNASIONAL SERTA NEOKONS DAN NEOLIBS SANGAT BERKUASA DINEGERI INI... MELALUI SEGALA JARINGAN..POLITIK-EKONOMI-KEUANGAN-DAN JERAT2 HUTANGAN2...>> BAGIMANA FREEPORT-LADANG2 MIGAS-TAMBANG2 MINERAL-KENDALI KEAMANAN DAN PERTAHANAN TNI-PENGATURAN UU-DAN PENGKHIANATAN UUD 1945...SERTA MENIPULASI2..- BLBI-KEPPRES-CENTURY-DAN PERLINDUNGAN ORANG2 JAHAT YANG KABUR KE LUAR NEGERI...SERTA PERAN ASING YANG DENGAN SEGALA KEPINTARAN..MEMAINKAN AYAT2 HUKUM... MEMANIPULASI..DAN MENJARAH HARTA NEGARA...DAN PERMAINAN POLITIK...SINGAPURA DA MALAYSIA... YANG MELECEHKAN KEKDAULATAN NKRI..?? >> SEMUA INI...... TIDAK TERJADI DEMIKIAN SAJA... DAN TENTU ADA TANGAN2 TERSELUBUNG DARI PARA PENJAJAH KRIMINAL INTERNASIONAL..DANNJARINGAN2NYA... YANG MEMANG BERKOSNPIRASI DAN BERKOLABORASI DENGAN AGEN2NYA- DAN ANTEK2NYA DI INDONESIA..??>> NAH..INILAH MENGAPA KPK..JADI SASARAN..CIA-FBI-DLL YANG INTERVENSI..TERLALU DALAM..?? INIKAH KEBUSUKAN PEMERINTAHAN SBY-BUDIONO..DAN ANTEK2..ASING..YANG MENJAJAH DAN MERAYAH NEGARA DAN KEDAULATAN RAKYAT INDONESIA..?? .. MENGAPA DPR-MPR-DAN PARTA12 POLITIK SERTA MAINSTREAM MEDIA NASIONAL BUNGKAM..DAN TUTUP MATA... ??>> ADA APA DENGAN KPK-KEPOLISIIAN- BIN-TNI-DAN TOKOH2 MASYARAKAT...DAN TOKOH2 PARTAI..KOK DIAM..SERIBU BAHASA..?? >> ADA APA DENGAN HUKUM DAN KEDAULATAN NEGARA DAN BANGSA INI..??>> MENGAPA...?? MENGAPA..???>> MANA DADAMU..MANA HATIMU...MANA..MARTABAT KEBANGSAANMU..?? MANA JIWA KEMERDEKAANMU..?? KON BENAR2..DIINJAK2..DAN DIJAJAH..SAMPAI2..... KEPADA KPK...DAN HUKUM NEGARA KITA..??>> PAK SBY-PK BUDIONO..DPR-DAN MPR...JANGAN DIAAAMMMM..??? ..HAYYOOO RAKYAT-DAN MAHASISWA ...BANGKIT...PEMUDA DAN ULAMA...HAYYOO BANGKIT...??? HENTIKAN...CAMPUR TANGAN ASING..DAN JANGAN MAU DIJAJAH..DAN DIBODOHI..??? .......HAYYOO STOP INTERVENSI..INI... JANGAN MAU DIJAJAH DAN DIRAYAH SEPERTI INI....BANGKILAH BANGSAKU .........BANGSA INDONESIA..>> BANGSA...YANG BERJUANG ......DENGAN JIWA RAGA...DAN BANGSA YANG..... MERDEKA..MERDEKA..!!! DAN HARUS MANDIRI.... TEGAKKAN JIWA DAN KEKUATAN DENGAN..KEKUATAN BANGSA SENDIRI...>> ..JANGAN MENIPU RAKYAT...LAGI..???>> HENTIKAN DUSTA..DAN MENIPULASI..INI..???>> HANYA DENGAN KEKUATAN BANGS ASENDIRI DAN TIEKAD MAU MEMBANGUN BANGSA DAN NEGARA DENGAN KEMANDIRIAN DAN JIWA MERDEKA..MAKA BANGS AINI BISA BERDAULAT DAN MEMPERSATUKAN MEMBERDAYAKAN BANGSA SENDIRI..BUKAN JADI BUDAK DAN ANTEK2 BANGSA ASING..??>> ....YA PAK ANDRY KAMBA.YTH....>> .. NEGARA INI BUKAN LAHAN PERMAINAN CIA...DAN. KPK HARUS MEMPUNYAI HARGA DIRI DAN MENJAGA MERTABAT BANGSA...DAN JANGAN MAU DONG KAYA BEGITU...>> INI MENUNJUKKAN PIMPINAN KPK BAGIAN DARI CIA..?? ATAU SEKURANG-KURANGNYA... PIMPINAN KPK ITU TAK MALU DAN TAK TAHU HARGA DIRI ATAU TAK MENGERTI DIPERCAYA RAKYAT..>> ANDA TAHUKAN SIAPA CIA ITU...?? ZAMAN BK..DAHULU MEREKA INI ..SANGATLAH DI CEGAH IKUT2AN....NGATUR2 DAN INREVENSI SEMACAM ITU..?? SAYANG DONG PAK SAMAD YANG DIPERCAYA RAKYAT JADI ANTEK2 MEREKA..??>>. KESUKSESAN SUATU BANGSA HANYA BISA TERWUJUD DENGAN BERSATU DAN BERSAUDARANYA SEMUA KOMPONEN BANGSA..DAN TIDAK TERGANTUNG DENGAN BANGSA LAIN...>> BANGSA INDONESIA HARUS SANGGUP MELEPASKAN DIRI DARI CAMPUR TANGAN BANGSA LAIN..>> TERLEBIH YANG SELALU MENJAJAH DAN MENJARAH NEGARA INI..KARENA KETOLOLAN DAN KELEMAHAN JIWA PEMIMPIN BANGSA INI..>> BANGSA INDONESIA ADALAH BANGSA YANG PINTAR...DAN MAMPU..TAPI SAYANG SELAMA INI PEMIMPINNYA ADALAH SANGAT LEMAH JIWA PERJUANGANNYA..>>...DAN BARU BK YANG MAMPU MENUNJUKKAN JATI DIRI BANGSA INI DENGAN LEBIH UTUH..??>> .>>Brennan harus mampu membawa langkah-langkah CIA ke arah yang lebih prosedural dan penuh tanggung-jawab di hadapan rakyat Amerika dan Senator yang tak akan pernah lalai mengawasi operasi-operasi CIA. Brennan boleh saja membawa langkah CIA kepada misi-misi yang lebih agresif dalam perang melawan segala macam bentuk terorisme dan kelompok-kelompok ekstrim (terutama Al Qaeda) di berbagai belahan dunia. Ingatlah satu hal, meminjam dan mengutip yang pernah dituliskan oleh Presiden Jimmy Carter yaitu : “Hargailah selalu hak asasi manusia dan jangan meninggalkan jatidiri Amerika Serikat sebagai sebuah bangsa yang senantiasa mempelopori penghormatan terhadap hak asasi manusia”. Hanya tinggal selangkah lagi Brennan bisa duduk manis di kantor pusat CIA yang berkedudukan di Langley, Virginia...>> ..Senat belum mengambil keputusan tentang disetujui atau tidak disetujuinya Hagel untuk menjadi Menteri Pertahanan. Pengambilan suara (voting) yang dijadwalkan untuk dilakukan pada hari Jumat (8/2/2013), ditunda menjadi pekan depan yaitu pada hari Selasa (12/2/2013) mendatang. Hagel diserang habis-habisan di Senat (terutama dari Partai Republik). Bahkan sampai ada yang menghitung secara khusus bahwa isu tentang Iran disinggung sebagai 144 kali dalam rapat pengujian terhadap Hagel di Senat. Dan isu tentang Israel, disinggung sebanyak 166 kali. Lalu bagaimana dengan Brennan, calon Direktur Dinas Rahasia CIA ? Rencananya, Brennan akan menghadapi Komisi Intelijen Senat Amerika pada hari ini, Kamis (7/2/2013) waktu setempat...>> ...INI PERLU HATI2...KARENA SANGAT BERBAHAYA.......!!! DAN MEREKA SADAR...BAHWA BILA TERJADI EXPLOSIF DI SURIAH... MAKA AKIBAT LANJUTANNYA AKAN SANGAT JAUH DAN BISA MENJADI LEBIH LIAR... YANG MEMUNGKINKAN PERANG TERBUKA SECARA REGIONAL BAHKAN PD III??? DAN BUKAN SAJA SURIAH YANG MENJADI MEDAN PERANG... ..TETAPI ISRAEL ... -TURKI DAN ARAB SAUDI SERTA EMIRATE ARAB..BISA JADI BAGIAN DARI KANCAH PERANG..YANG TAK TERKENDALI.. DAN... APAKAH RUSIA CHINA-AS-NATO-IRAN- IRAQ AKAN DIAM..??.... ]..>>



KPK dan FBI Kerjasama Berantas Korupsi

oleh KPK - Komisi Pemberantasan Korupsi (Catatan) pada 3 Februari 2009 pukul 16:39
Jakarta, 18 November 2008. https://www.facebook.com/notes/kpk-komisi-pemberantasan-korupsi/kpk-dan-fbi-kerjasama-berantas-korupsi/52731207790

Dalam rangka lebih mengefektifkan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) giat menjalin kerja sama dengan berbagai organisasi, baik dalam maupun luar negeri. Kali ini, KPK menjalin kerja sama Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika Serikat. Penandatanganan nota kesepahaman dilakukan oleh Ketua KPK, Antasari Azhar dan Wakil Direktur FBI, John Pistole pada Selasa, 18 November 2008 di Kantor KPK Jl. HR Rasuna Said Kavling C-1, Kuningan, Jakarta Selatan.

Nota kesepahaman ini dilandasi semangat yang tinggi untuk memperkuat kerja sama antara kedua belah pihak dan berkolaborasi dalam aksi melawan korupsi, baik di Indonesia maupun Amerika Serikat.

Kerja sama KPK dan FBI mencakup, antara lain: saling berbagi dan bertukar informasi dalam kerangka kepentingan bersama; mengembangkan dan mengimplementasikan program-program pemberantasan korupsi, bertukar informasi dan pengalaman seputar penanganan tindak pidana korupsi dengan berbagai modus operandinya; menyelenggarakan pelatihan, kursus, dan pertukaran ahli dalam hal intelejen dan investigasi; serta menyediakan bimbingan teknis dalam berbagai aktivitas operasional.

”Setelah penandatanganan nota kesepahaman ini, FBI dan KPK bagaikan saudara dalam penegakan hukum, terutama dalam perang global melawan korupsi. Saling mendukung dan membantu demi terciptanya tatanan hukum yang berkeadilan di Indonesia dan di Amerika,” ujar Antasari Azhar.


FBI merupakan lembaga penegak hukum Amerika Serikat yang mencantumkan perang terhadap korupsi publik di segala level dan kejahatan kerah putih sebagai salah satu prioritas kerjanya.

Menjalin kerja sama bilateral dan multilateral dalam pemberantasan korupsi merupakan salah satu wewenang KPK sebagai bagian dari tugas pencegahan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi:
Johan Budi SP
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl HR Rasuna Said Kav C-1 Jakarta Selatan
(021) 2557-8300

Pendahuluan
Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia, masalah penataan kelembagaan menjadi salah satu prioritas bagi transisi demokrasi yang tengah berjalan. Kelembagaan politik yang menjadi satu dari pilar bagi liberalisasi politik pasca kejatuhan Orde Baru membuktikan bahwa hal tersebut tidak mudah. Penataan kelembagaan politik memberikan satu garansi bagi mulusnya proses demokrasi transisional dan reformasi yang diharapkan. Permasalahan yang muncul kemudian adalah setelah delapan tahun reformasi berjalan, belum semua kelembagaan politik dan Negara tertata dan sesuai dengan nilai dan prinsip demokrasi. Salah satunya adalah komunitas intelijen, khususnya lembaga intelijen Negara dan intelijen Polri. Sampai saat ini, ruang lingkup dan batasan-batasan mengenai wilayah kerja dari masing-masing intelejen tersebut belum secara jelas diatur. Bahkan berulang kali, baik lembaga intelijen negara, dalam hal ini Badan Intilejen Negara (BIN), dan intelijen keamanan, yakni Intelkam Polri masih saling tumpang tindih, serta minim koordinasi. Salah satu permasalahan yang kemudian mengemuka adalah langkah menginteli sejumlah aggota parlemen terkait dengan impor beras dari Vietnam. Anggota Intelkam Polda Metro Jaya tersebut ditugaskan mengawasi gerak-gerik dan langkah politik terkait aktifitas para anggota DPR dari F-PDI Perjuangan dan F-PKS dalam mengusut adanya kejanggalan impor beras dari Vietnam. Tentu saja banyak persoalan lain yang kemudian menjadi landasan bagi kita untuk juga menata lembaga intelijen dan komunitas intelijen lainnya agar satu dengan yang lainnya bisa sinergis dan tidak berlawanan dengan nilai dan prinsip demokrasi.

Di samping itu, yang tidak kalah menariknya adalah carut-marutnya koordinasi antar lembaga intelijen, yang berimplikasi pada kinerja masing-masing lembaga. BIN, yang ditunjuk pemerintah sebagai lembaga intelijen yang mengkoordinatori semua lembaga dan komunitas intelijen yang ada juga tidak maksimal dalam memposisikan perannya. Bahkan terkadang karena merasa menjadi koordinator dari komunitas intelijen tersebut, kerap kali BIN bertindak superior dan mem-by pass banyak pekerjaan yang menjadi lahan bagi komunitas intelijen lainnya.

Ketidakadaan legalitas perundang-undangan menjadi penegas dari problematika yang dikemukakan di atas. Masing-masing memang mengantungi legalitas, baik berupa surat keputusan, surat penugasan, maupun yang setingkat dengan peraturan presiden, namun tidak ada legalitas yang mengikat satu dengan yang lainnya. Masalah yang muncul kemudian keberadaan legalitas dari masing-masing komunitas intelejen tersebut belum sepenuhnya memenuhi asas profesionalisme dan pengorganisassian lembaga demokratik lainnya. Yang muncul justru terjadi banyak silang cemarut pekerjaan intelijen yang menjadi kontra produktif bagi penataan kelembagaan demokratik. 

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tulisan ini akan membahas mengenai BIN dan Intelkam Polri, dilihat dari sejarah pembentukannya kedua organisasi tersebut. Di samping itu, akan juga dibahas lintasan intelijen negara dan Polri dari persfektif kepemimpinan politik di Indonesia, serta bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan agar efektifitas lembaga intelijen dan komunitasnya tersebut dapat terkoordinasi dengan baik. 

Intelijen Dalam Kilasan Sejarah
”Intelejen ada seumur dengan keberadaan manusia”. Idiom ini menjadi satu pembenaran bagi banyak lembaga intelijen untuk menegaskan keberadaannya. Intelijen tidak hanya dibutuhkan oleh negara-negara yang secara definitif sudah merdeka, tapi juga badan-badan perjuangan kemerdekaan seperti Ireland Republic Army (IRA) di Irlandia Utara, Pathani Union Liberation Organisastion (PULO) di Thailand Selatan, Macan Tamil di Srilangka, lain sebagainya. Badan-badan perjuangan kemerdekaan tersebut memiliki juga fungsi-fungsi keintelijenan untuk menopang keberhasilan perjuangannya. 

Dalam konteks Indonesia, misalnya masa kerajaan nusantara ada dikenal dengan Telik Sandi, yang menjadi mata-mata kerajaan untuk mengawasi kerajaan lainnya. Pada masa penjajahan Belanda, Pemerintah Kolonial melihat bahwa potensi ancaman dari gerakan politik makin besar pasca pendirian Budi Utomo, maka fungsi intelijen masuk ke dalam Dinas Reserse Umum, yang juga baru dibentuk tahun 1920-an, terpisah dari Dinas Polisi Umum sebagai induknya. Menariknya, pembentukan Dinas Reserse Umum tersebut sangat sarat dengan kegiatan memata-matai kegiatan politik, dari pada kegiatan kriminal lainnya. Tak heran, karena pasca pembentukan Budi Utomo, lahir kemudian organisasi pergerakan bumi putera yang lebih terorganisir dan modern, serta lebih radikal. Tercatat beberapa organisasi yang lebih terorganisir dan radikal Sarekat Islam (SI), PKI, PNI, PNI Pendidikan, dan lain-lain. Bahkan proses penangannya langsung dipegang oleh para pejabat dan pelaksana di dinas tersebut, hal ini menandakan bahwa pergerakan nasional anak negeri menjadi satu target dari kerja dan fungsi intelijen ketika itu.

Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, peran dan fungsi keintelijenan berubah. Menariknya, Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia membangun fungsi keintelijenan tidak menyatu dengan Pemerintahan Militer. Pemerintahan Penjajahan Jepang mengembangkan fungsi kepolisian, yang berorientasi pada pembangunan keamanan dalam negeri (Kamdagri) yang lebih menitikberatkan pada kegiatan preventif. Hanya saja dalam pelaksanaannya pendekatan militeristik justru lebih mengemuka dari pada pendekatan khas kepolisian. Hal ini terlihat dari upaya yang sangat keras dalam pemberantasan kegiatan politik, serta anasir-anasir lainnya yang menentang pemerintahan dan kebijakannya. Pendekatan kekerasan menjadi citra Kempetai dan Tokko-koto (Bagian Spesial) , yang mengemban fungsi keintelijenan dalam struktur Pemerintahan Pendudukan Jepang. Upaya pengungkapan dan pemeriksaan di arahkan selalu pada pertanyaan upaya pergerakan politik melawan Jepang. Salah satu tokoh pergerakan nasional yang ditahan Kempetai dan Tokko-koto adalah Amir Sjarifuddin, mantan perdana menteri kedua setelah Sjahrir, dan tokoh dibalik pemberontakan PKI Madiun 1948 bersama Muso.

Satu hal yang menarik dari Kempetai dan Tokko-koto ini adalah pengembangan manajemen krisis dan perencanaan darurat (contengency plan) bagi internal kedua lembaga tersebut. Bentuk manajemen krisis dan perencanaan darurat dalam bentuk pembelajaran tekhnik keintelijenan juga menjadi satu bagian yang wajib diikuti oleh semua pegawai dan anggotanya. Pegawai dan perwira diberikan pelatihan khusus tentang taktik dan strategi provokasi, infiltrasi, sabotase, dan taktik perang bawah tanah. Karena turunan dari pelatihan tersebut, adalah semua pegawai di dua lembaga tersebut wajib menyebarkan propaganda dan mendorong agar penduduk pada masa penjahan Jepang harus ikut memberantas semua aktivitas yang merugikan Pemerintahan Pendudukan Jepang. Salah satu yang mendapatkan pelatihan tersebut adalah Zulkifli Lubis, dan R. Moch. Oemargatab, keduanya merupakan pencetus dan pemimpin pertama lembaga intelejen negara, yang ketika itu bernama Badan Istimewa, sebagai cikal bakal Badan Intelejen Negara (BIN) dan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), sebagai organisasi keintelijenan polisi pertama, yang sekarang dikenal dengan Intelpam Polri. 

Pada masa perjuangan kemerdekaan aktivitas keintelijenan di badan-badan perjuangan juga marak dan aktif , metode telik sandi, yang digunakan dalam proses pengintaian juga digunakan untuk mengawasi dan memata-matai aktivitas Belanda dan Jepang ketika itu. Hanya saja polanya lebih sederhana, dengan memanfaatkan masyarakat umum yang bersimpati bagi perjuangan kemerdekaan. Meski juga tak menutup kemungkinan fungsi keinteliejenan diemban oleh anggota laskar perjuangan dan tentara nasional, tapi bila ditelusuri lebih mendalam, penggunaan masyarakat umum sebagai mata dan telinga laskar perjuangan dan tentara nasional lebih efektif ketimbang dari anggota laskar atau tentara nasional itu sendiri. Hal ini terkait dengan kebutuhan informasi bagi perjuangan kemerdekaan yang masih terbatas pada numerik dan informasi ringan. Sehingga fungsi tersebut tidak sulit dilakukan oleh masyarakat umum sekalipun. 

Akan tetapi kebutuhan informasi yang makin kompleks, membuat tugas-tugas keintelijenan harus pula terstruktur dan mengedepankan pola-pola kontra intelejen lainnya. Dengan memanfaatkan pendidikan dan latihan yang diberikan oleh Jepang pada organisasi Pembela Tanah Air (PETA). Apalagi pasca Jepang kalah dalam Perang Pasifik, Belanda dan tentara Sekutu berusaha kembali masuk ke Indonesia dan menguasai. Dalam situasi tersebut sebenarnya peran dari intelijen terstruktur dan modern menjadi penting. Berbekal pelatihan dan keterampilan yang didapat sewaktu di PETA dan Kempetai, Zulkifli Lubis kemudian berinisiatif membentuk Badan Istimewa (BI), pada September 1945. dengan organisasi yang sederhana, dan bekal keterampilan intelijen yang minim, BI harus memposisikan diri sebagai badan intelijen yang menopang keajegan republik, yang baru merdeka. Keterbatasan ini makin kentara ketika cakupan wilayah operasi BI hanya terbatas pada Pulau Jawa saja. Kecenderungan dan melekatnya BI sebagai intelijen tempur makin kentara ketika banyak dari jaringan intelejen yang dimiliki masih memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di banyak wilayah. Meski harus diakui bahwa produk intelijen yang dihasilkan terbatas pada deteksi dini dan kontra intelijen, namun telah dimanfaatkan benar oleh Perdana Menteri Sjahrir melalui Menteri Pertahanan. Artinya secara prinsip, produk yang dihasilkan relatif digunakan untuk penegas kebijakan yang akan dan telah dibuat. Meski kurang optimal, BI relatif mampu menjalankan fungsi intelejen modern. tumpang-tindih antara BI dengan kepentingan tentara pada saat itu lebih disebabkan oleh ancaman yang dihadapi oleh republik ini. 

Sehingga sangat sulit membedakan mana intelijen nasional, mana intelijen tempur, karena sama-sama berasal dari unsur TNI juga. Masalah yang kemudian mengekor adalah lemahnya efektifitas kontrol dan kendali BI oleh pemerintah. Menariknya, pemberian otoritas dan semua surat-surat tugas bagi kelancaran tugas-tugas keintelijenan, Soekarno tidak memiliki kendali atas BI. Bahkan secara prinsip, keberadaan BI justru makin memperkeruh hubungan yang kurang harmonis antara Soekarno dengan Sjahrir, yang mengemuka karena alasan-alasan personal yang tidak substansi. Alhasil efektifitas kerja, dan koordinasi menjadi permasalahan bagi BI untuk dapat memposisikan diri sebagai organisasi intelijen.

BI dianggap sebagai lembaga intelijen yang kurang layak, selain masalah kinerja dan koordinasi yang buruk. BI menjadi bagian dari konflik yang membesar antara Soekarno dan Sjahrir. Sehingga perlu dilakukan perubahan bentuk, agar mampu memenuhi kebutuhan pemerintahan Perdana Menteri Sjahrir dan Presiden Soekarno-Hatta terhadap perumusan kebijakan politik yang jitu. Konflik antara Soekarno dan Sjahrir, serta ketidaksukaan tentara terhadap performa Kabinet Sjahrir, yang cenderung anti militer menjadi landasan perubahan BI menjadi Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI). BRANI dibentuk pada 7 Mei 1946, dan diharapkan menjadi lembaga intelijen payung yang membawahi berbagai organisasi intelijen di tingkat satuan militer. Langkah tersebut guna mengantisipasi kemungkinan Aksi Polisionil Belanda yang menguat pasca kekalahan Jepang. BRANI ini masih di bawah kendali Zulkifli Lubis, perwira didikan PETA Jepang ini masih berharap agar BRANI menjadi organisasi yang kuat, dan di bawah kontrol militer. Akan tetapi, seperti diulas di atas, keberadaan BRANI justru makin memperbesar konflik, yang bermuara pada strategi pergerakan militer, apakah memilih melawan setiap upaya Belanda dan Sekutunya yang ingin masuk ke Indonesia, atau mengupayakan diplomasi gaya Sjahrir, yang dianggap mampu meredam upaya Belanda menduduki lagi Indonesia. Besaran konflik ini juga melibatkan permasalahan pribadi antara Soekarno dan Sjahrir. 

Ketidaksukaan Kabinet Sjahrir atas dominasi tentara di struktur BRANI, kemudian melahirkan dualisme lembaga intelijen. Amir Sjarifuddin, yang menjadi Menteri Pertahanan kemudian mengambil inisiatif membentuk lembaga baru yang murni sipil, guna menandingi keberadaan BRANI. Lembaga intelejen baru tersebut bernama Lembaga Pertahanan B. Menariknya, upaya memposisikan BRANI sebagai lembaga intelejen yang terbebas dari dominasi militer, adalah dengan merekrut banyak mantan laskar, serta kalangan sipil yang cakap untuk duduk di dalam lembaga intelijen tersebut. Langkah ini didukung oleh Soekarno, meski keberadaan Lembaga Pertahanan B juga merupakan antitesis dari dominasi militer di BRANI, namun bisa dikatakan terlambat. Sebab kalangan militer sudah mencium gelagat tersebut, kalangan militer masih menginginkan dominasinya pada lembaga intelijen nasional tersebut. Upaya pendekatan dan lobi yang kuat militer ke Soekarno membuahkan hasil, dengan restu politik dari Soekarno, pada akhirnya BRANI dibubarkan dan diganti dengan Bagian V, di bawah Departemen Pertahanan yang menjadi koordinator dari operasi intelijen nasional. Pendirian Bagian V ini masih belum memuaskan kalangan militer, karena masih didominasi kalangan sipil, yang mengontrol lembaga tersebut di bawah Departemen Pertahanan, yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin, yang merupakan salah satu elit politik dari Sayap Kiri, sebuah koalisi organisasi dan partai politik kiri, di antaranya Partai Rakyat Sosialis (Paras), Partai Sosialis Indonesia (Parsi), dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Hal yang perlu dicatat di sini adalah sejak awal pemerintahan Perdana Menteri Sjahrir berkuasa, kalangan militer tidak menyukai gaya kepemimpinan Sjahrir yang kebarat-baratan, serta inskonstitusional, karena sistem parlementer yang dijalankan oleh Sjahrir tidak sesuai dengan UUD 1945, yang mengamanatkan sistem presidensial. Sementara kelompok Kiri, yang sejak proklamasi sudah menolak dominasi tentara, yang sebagian besar didikan Jepang, hanya sedikit perwira yang didikan Belanda, antara lain Nasution, T.B. Simatupang, dan Urip Sumohardjo. Sjahrir beranggapan bahwa para perwira didikan Jepang tersebut tidak cukup memiliki keterampilan tempur, dan cenderung fasis.

Satu dari sekian peristiwa politik yang juga menjadi batu sandungan bagi eksistensi lembaga intelijen adalah adanya konspirasi kalangan militer dan oposisi sipil yang menculik Perdana Menteri Sjahrir, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Dalam pandangan Anderson, penculikan tersebut merupakan kegagalan kabinet Sjahrir untuk mengontrol tentara di bawah kendalinya. Proses penculikan tersebut disinyalir melibatkan intelijen Bagian V, yang mengambil inisiatif dalam kebuntuan politik atas permasalahan kebangsaan ketika itu.

Konflik politik maupun proses perundingan dan pertempuran dengan Belanda menjadi sebab lembaga intelijen nasional yang ada tidak mampu mewujudkan organisasi yang efektif. Perubahan dari BI kemudian BRANI, hingga Bagian V hanya merupakan pemanis bagi perubahan struktur politik dan konflik yang mengemuka. Alhasil, keberadaan lembaga intelijen nasional ketika itu lebih banyak menjadi kepanjangan tangan dari elit politik. 

Sementara lembaga intelijen di Kepolisian juga didirikan, pasca terbentuknya Djawatan Kepolisian Negara (DKN) pada 19 Agustus 1945, yang ditetapkan oleh Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Penetapan RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Nasional (KKN), yang berada di bawah kendali Departemen Dalam Negeri. Lahirnya Maklumat X tanggal 3 November 1945 yang membebaskan masyarakat untuk membentuk organisasi dan partai politik, menjadi titik awal intelejen Kepolisian berdiri. Lonjakan aspirasi dan kepentingan masyarakat diasumsikan akan membangun situasi yang tidak kondusif bagi penegakan keamanan dalam negeri, yang menjadi tugas dari DKN. Apalagi di saat yang sama lembaga dan departemen, serta kantor kementerian juga membentuk berbagai pasukan perjuangan yang melakukan penyelidikan, dan melakukan fungsi intelijen. 

Hal ini sangat mengganggu pola pengamanan dan menjalankan fungsi intelijen yabg lebih sistematis dan terukur. Sehingga pada awal tahun 1946, dibentuklah kekuatan intelijen yang mampu mengatasi gangguan keamanan yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat. Fungsi intelejen Kepolisian ini diberi nama Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), pimpinan R. Moch. Oemargatab. Tugas pokok dari PAM ini memang lebih spesifik pada pengawasan aktivitas masyarakat dibandingkan Badan Istimewa (BI) pimpinan Zulkifli Lubis yang lebih mengarah kepada dinamika politik dan pengembangan kontra intelijen terhadap Belanda dan Sekutunya.

Seiring dengan perjalanan waktu, DKN kemudian dikeluarkan dari lingkungan Departemen Dalam Negeri, dengan diterbitkannya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, 1 Juli 1946 dan langsung di bawah Perdana Menteri. Perubahan ini juga berimplikasi pada keberadaan PAM, sebagai satuan intelijen di Kepolisian, yang mengalami pemekaran tugas pokok dari yang sangat umum menjadi lebih khusus. Pada PAM sebelum terbitnya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, tugas pokoknya sebagai berikut:
”Mengawasi semua aliran dan memusatkan segala minatnya kepada hajat-hajat dan tujuan-tujuan dari seseorang atau golongan penduduk yang ada atau timbul di daerah Republik Indonesia atau yang datang dari luar, yang dianggap dapat membahayakan kesentausaan Negara Indonesia dan sebaliknya membantu hajat dan cita-cita seseorang atau golongan penduduk yang bermaksud menyentausakan negara dan keamanan Republik Indonesia serta tugas riset dan analisis lainnya” 

Sedangkan tugas pokok PAM setelah terbitnya penetapan pemerintah, justru makin memperluas cakupan tugas pokok, dengan terbitnya Surat Kepala Kepolisian Negara (KKN) No: Pol. 68/Staf/PAM tanggal 22 September 1949, yang isinya sebagai berikut:

a. Mengawasi aliran-aliran politik, pergerakan-pergerakan buruh, wanita, pemuda, dan lain-lainnya.
b. Mengawasi aliran agama, ketahayulan, kepercayaan-kepercayaan lain dan lain sebagainya.
c. Mengawasi pendapat umum dalam pers, radio dan masyarakat (pergaulan umum dari segala lapisan masyarakat/rakyat).
d. Mengawasi kebudayaan, pertunjukan-pertunjukan bioskop dan kesusasteraan.
e. Mengawasi pergerakan sosial, yakni soal-soal kemasyarakatan yang timbul karenakurang sempurnanya susunan masyarakat, cara mengerjakan anak-anak dan perempuan, perdagangan anak, pelacuran, pemberantasan pemadatan, perdagangan minuman keras, pemilihan orang-orang terlantar lainnya. Semuanya dilihat dari politik polisionil tekhnis.
f. Mengawasi keadaan ekonomi, soal-soal yang timbul karena kurang sempurnanya susunan ekonomi.
g. Mengawasi bangsa asing, terutama yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa politik di luar negeri yang dapat mempengaruhi masyarakat/bangsa asing di Indonesia.
h. Mengawasi gerak gerik mata-mata musuh, dan pergerakan/tindakan ilegal yang menentang/membahayakan pemerintah.

Dan bila disimpulkan dari uraian tersebut, maka tugas bagian PAM adalah: Menjalankan kontra intelijen dan kontra spionase demi keamanan nasional serta melaksanakan riset dan analisis untuk kepentingan pimpinan c.q. Perdana Menteri dalam menentukan kebijakan politik polisional. Dengan gambaran proses kelahiran kedua lembaga intelijen tersebut di atas, maka sejatinya ada benang merah yang sama perihal latar belakang dan situasi serta kondisi yang dihadapi oleh lembaga intelijen negara dan Kepolisian. Adapun persamaannya terletak pada empat hal. Pertama, lembaga intelijen negara dan intelijen Kepolisian memiliki latar belakang pembentukan yang terkondisikan oleh situasi yang kurang kondusif bagi penataan bentuk organisasi intelijen yang ideal. Sehingga tampak sekali kedua lembaga tersebut mengadopsi banyak hal dari prilaku kelembagaan yang ditinggalkan oleh Belanda dan Jepang. Indikatornya adalah melakukan generalisir pada tugas pokok dari masing-masing lembaga, serta menonjolkan metode pendekatan verbal dan kekerasan dalam melakukan penyelidikan dan pengawasan.

Kedua, lembaga-lembaga tersebut merumuskan tugas pokok yang relatif umum dibandingkan dengan yang seharusnya. 

Sehingga beberapa kali terjadi kesalahpahaman satu dengan yang lain ketika beroperasi di lapangan, karena ketidakadaan batasan wilayah kerja satu dengan yang lainnya. Salah satu contohnya adalah pada operasi kontra intelijen terhadap propaganda Pemberontakan PKI Madiun, 1948. di mana masing-masing melakukan upaya untuk mengambil hati masyarakat Madiun untuk memilih Soekarno-Hatta dari pada Muso-Amir Sjarifuddin. Ketiga, lembaga-lembaga tersebut dibentuk dari semangat untuk mempertahankan kemerdekaan dan republik. Sehingga ketika didirikan cenderung mengedepankan semangat dari pada keterampilan intelijen. Kondisi tersebut mengarah kepada kekurangmampuan dalam menindaklanjuti setiap permasalahan yang ada. Bahkan semangat itu pula yang menegaskan pentingnya keberadaan intelijen dalam pemerintahan republik. Keempat, karena tidak ada legalitas yang dapat dijadikan acuan perihal keberadaan lembaga intelijen dan koordinasinya, maka gambaran kerja yang dibuat banyak mengadopsi pola dan gaya dari Kempetai dan Tokko-toko, serta polisi rahasia Pemerintahan Kolonial Belanda, yang mencakup seluruh permasalahan yang mengancam eksistensi pemerintahan.

Otoritas Negara
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda, dan bubarnya Republik Indonesia Serikat, lembaga intelijen sudah mulai mampu melakukan akselerasi pada tugas pokok yang diembannya. Hal ini terkait dengan berbagai manuver dari elit politik yang memandang lembaga intelijen sebagai lembaga strategis bagi kekuasaan politiknya. Pada lembaga intelijen Kepolisian ada perubahan yang signifikan pada diubahnya nama Bagian PAM menjadi Bagian Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN). Perubahan ini berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah No. Pol: 4/2/28/UM, tertanggal 13 Maret 1951, agar DPKN juga melakukan penjagaan terhadap keselamatan pribadi Presiden dan Wakil Presiden, serta pejabat tinggi negara. Di samping itu juga melakukan penjagaan terhadap tamu negara dan perwakilan asing. Sementara itu di lembaba intelejen negara juga terjadi penegasan adanya intelejen tempur, yakni dengan didirikannya lembaga intelejen dari ketentaraan yang bernama Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP), lembaga intelejen ini merupakan bentukan baru atas inisiatif T.B Simatupang yang menganggap perlunya keikutsertaan militer dalam kebijakan politik nasional. Simatupang merupakan perwira yang memimpin Kepala Staf Angkatan Perang dari garis Kadet Belanda yang bersinar bersama Nasution. Langkah ini sebenarnya mengundang permasalahan kala terjadi konflik antara Soekarno dengan militer yang melibatkan juga Zulkifli Lubis, dan sejumlah perwira senior dalam Peristiwa 17 Oktober 1952. keberadaan BISAP memang diasumsikan untuk dapat memberikan satu masukan bagi perwira dan komandan di militer perihal dinamika politik yang terjadi. 

Hanya saja, BISAP secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penggalangan massa untuk demonstrasi menentang campur tangan eksekutif dalam konflik di TNI di depan Istana, serta pengarahan meriam ke Istana. Di sinilah kemudian patut dipertanyakan efektifitas BISAP sebagai intelijen tempur. Hanya saja perdebatan campur tangan Soekarno dan kalangan sipil dalam regenerasi dan penataan kelembagaan militer terasa kental. Sehingga langkah untuk mengarahkan meriam ke Istana Negara, dan unjuk rasa yang digalang militer dan BISAP menjadi satu penegasan bahwa sebagai institusi, TNI ingin menata dirinya sendiri.
Konflik antara Soekarno dan TNI perihal ketidaknetralannya dalam konflik internal TNI menjadi catatan sejarah keberadaan intelejen militer lainnya. Setidaknya hal ini dapat terlihat pada pecahnya konsolidasi internal TNI. Selain masalah eks PETA ataupun Kadet Belanda, yang mengemuka juga adalah sentimen Jawa dan non-Jawa. Berbagai pemberontakan pasca Pemberontakan PKI Madiun 1948 silih berganti menyibukkan TNI dan BISAP untuk melakukan pemadaman, serta langkah-langkah yang strategis lainnya. Bukan hanya itu pasang surut hubungan Soekarno dan TNI juga mempengaruhi akselerasi kinerja Bagian V dan BISAP sendiri. Sebagaimana diketahui posisi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai Menteri Pertahanan juga ikut terlibat dalam konflik tarik menarik kepentingan tersebut.

Di sisi lain, Soekarno membutuhkan lembaga intelijen yang dapat dikontrol dirinya. Selama ini bahkan kontrol atas Bagian V dan BISAP sendiri hanya berhenti di Menteri Pertahanan ataupun Perdana Menteri. Dirinya yang memposisikan Kepala Negara, menjadi sekedar simbol belaka. Sehingga upaya untuk mendorong pembentukan lembaga intelejen baru yang dapat mengkoordinasikan lembaga intelijen lainnya, dan yang benar-benar lepas dari pengaruh militer perlu dilakukan. Awalnya dibentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI) pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun langkah tersebut menemui kegagalan. Hal ini disebabkan karena kesulitan dalam melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen militer. Harus diakui sejak Indonesia merdeka, kontrol lembaga intelijen memang di dalam genggaman tentara, baik yang langsung, seperti BISAP, maupun yang berada di bawah Departemen Pertahanan.

Setelah percaya diri semua kekuasaan ada dalam genggamannya, maka dibentuklah Badan Pusat Intelijen (BPI) pada 10 November 1959 yang langsung bertanggung jawab kepada dirinya, dan melakukan pembelahan secara ekstrim terhadap lembaga intelijen yang telah ada, dengan mengangkat Subandrio, Menteri Luar Negeri ketika itu untuk memimpin lembaga baru tersebut. Sebagai lembaga yang mengkoordinasikan lembaga intelijen lainnya, BPI menjadi satu alat yang efektif bagi Soekarno untuk menandingi perwira TNI tersebut. Bahkan langkah yang sangat berani dilakukan Subandrio dan BPI atas restu Soekarno membangun kontak yang serius dengan PKI, yang telah menjadi organisasi besar pasca kegagalannya pada Pemberontakan PKI Madiun. Bak simbiosis mutualisme, kerekatan politik keduanya menjadi makin kuat karena Soekarno mencari lawan sepadan untuk menandingi TNI, terutama Angkatan Darat. 

Sejak saat itulah dimulai konsolidasi politik antara Soekarno, Subandrio, dan Aidit untuk bersama-sama melawan hegemoni tentara, khususnya Angkatan Darat. Berbagai aksi kontra intelijen dan kontra teror, tidak hanya dilakukan di luar negeri dan yang mengancam eksistensi bangsa, tapi juga antar lembaga intelijen lainnya. Puncak ’pertempuran’ antar BPI dengan intelijen militer sebenarnya terjadi saat eskalasi konflik antara tentara dengan simpatisan, anggota dan kader PKI yang di back up BPI , baik langsung maupun tidak langsung meninggi antara tahun 1962 hingga kejatuhan Soekarno. Infiltrasi ke tubuh PKI juga dilakukan, baik oleh intelijen militer maupun BPI. Hal ini mengingatkan konflik dan persaingan antara intel berlatar belakang tentara dan intel yang berlatar belakang sipil, yang banyak berasal dari kelompok Kiri pada awal pembentukan lembaga intelijen.

Dalam perjalanan waktu, secara realitas bisa dikatakan bahwa intelijen militer lebih ampuh dibanding dengan BPI yang terkesan elitis dan menciptakan budaya Asal Bung Karno Senang (ABS). Sehingga olahan dan data intelijen yang masuk memiliki tingkat kebenaran yang kurang valid. Sementara intelijen militer memanfaatkan jaringan CIA agar didukung oleh Amerika untuk menjatuhkan Soekarno. Langkah ini digarap secara serius pasca Pemberontakan PKI Madiun, namun kemudian lebih intensif lagi pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. salah satu indikatornya adalah garapan intelijen militer dengan merekrut mahasiswa menjadi ’dinamisator’ untuk menolak dan menandingi gerakan massa yang dikoordinir oleh Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi payung PKI, serta Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), organisasi payung PNI ASU. Salah satu mahasiswa binaan dari intelijen militer adalah Suripto, dan Nugroho Notosusanto. 

Sementara itu, seiring dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, DPKN sebagai intelijen Kepolisian juga melakukan metamorfosis dengan nama Korps Polisi Dinas Security (Korpolsec). Pergantian nama ini lebih banyak terkondisikan karena tantangan dan ancaman yang lebih konpleks, disertai ledakan jumlah penduduk yang membuat rasio polisi dan penduduk makin tidak ideal. Korpolsec dilandasi dengan terbitnya Order Menteri/Kepala Kepolisian Negara No: 37/4/1960, tertanggal 24 Juni 1960, dengan rincian pokok kerja sebagai berikut:

a. Mengatur pelaksanaan Security Intelijen.
b. Mengatur pelaksanaan pengumpulan, penyusunan, penilaian dan pengolahan bahan-bahan informasi mengenai persoalan-persoalan dalam masyarakat untuk menentukan kebijaksanaan dalam rangka kepentingan keamanan nasional.
c. Menyelesaikan masalah-masalah tentang persoalan-persoalan dalam masyarakat termasuk dalam point b di atas. Yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah KepolisianKomisariat.
d. Memberi pimpinan dalam penjagaan keselamatan orang-orang penting dan perwakilan kenegaraan dalam kerja sama dengan instansi-instansi yang bersangkutan, yang tidak dapat diselesaikan oleh Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah Kepolisian Komisariat.

Seiring dengan proses perbaikan yang terjadi di internal intelijen Kepolisian, pucuk pimpinan beralih dari R. Oemargatab ke M. Soekardjo. Pergantian ini juga bernuansa sangat politis. Pergantian tersebut sejalan dengan pergantian Kepala Kepolisian Nasional, dari RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo ke Soekarno Djojoegoro, yang merupakan pilihan Soekarno. Soekanto diganti karena menolak gagasan Presiden Soekarno untuk mengintegrasikan Kepolisian Nasional dengan Angkatan Perang. Langkah ini juga mengganggu tingkat konsolidasi di lembaga intelijen Kepolisian. Soekarno Djojoegoro cenderung sangat politis dalam melihat hal yang ada di Kepolisian. Tak heran karena sosok Ketua Polisi Nasional kedua tersebut dekat dengan Presiden Soekarno. Langkah yang dilakukannya adalah memasukkan Soetarto menjabat ketua Intelejenan Kepolisian menggantikan M. Soekardjo, yang baru seumur jagung menggantikan Oemargatab.

Namun demikian, permasalahan yang muncul sebagai akibat dari konflik internal terus mengemuka. Pergantian Soekarno Djojoegoro dari Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) dan Soetarto dari jabatan Kepala Intelijen Kepolisian tidak menyelesaikan masalah. Hal ini terkait keputusan kontroversial dari pemerintah yang menunjuk Soetjipto Danukusumo menjadi pengganti Soekarno Djojoegoro. Sebagaimana diketahui bahwa kepangkatan Soetjipto baru AKBP (setingkat Letnan Kolonel), namun kemudian dinaikkan dengan cepat menjadi Inspektur Jenderal. Naiknya Soetjipto menjadi Pangak menambah riak-riak baru bagi konflik di internal Polri. Selain karena alasan kenaikan pangkat kilat, juga disebabkan karena proses naiknya Soetjipto menjadi Pangak sangat sarat bernuansa politik. 

Akan tetapi secara kasat mata, proses tersebut juga memiliki implikasi bagi pembenahan internal Kepolisian, meski tidak lama menjabat, Soetjipto telah membersihkan unsur politik dari Korpolsec, dengan memindahkan Soetarto ke BPI, dan menjadi orang kedua setelah Soebandrio. Kepindahan Soetarto ke BPI memberikan angin segar bagi perbaikan kinerja Korpolsec, yang kemudian berganti lagi menjadi Korps Intelejen dan Security, dan kemudian berubah lagi menjadi Direktorat Intelijen dan Security hingga berakhirnya kekuasaan Orde Lama. Pasca Soetarto memimpin lembaga tersebut, sesungguhnya lembaga intelijen Kepolisian mulai dipimpin oleh perwira didikan PAM, sebut saja Soemartono, Poerwata, dan Soetomo. Tiga orang ini berturut-turut saling menggantikan hingga kejatuhan Presiden Soekarno dan Orde Lama-nya dari tapuk pemerintahan. Satu produk perundang-undangan terakhir di masa Presiden Soekarno, untuk menegaskan tugas pokok Direktorat Intelijen dan Security Departemen Angkatan Kepolisian adalah terbitnya Surat Keputusan No. Pol: 11/SK/MK/1964, tanggal 14 Feberuari 1964, yang berisi sebagai berikut:

1. Tugas Umum: Menciptakan ketertiban dan ketentraman lahir dan bathin untuk menuju masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, tata tentrem kerta raharja, serta mengamankan/menyelamatkan dan aktif merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, sesuai dengan kerangka Tujuan Revolusi Nasional.
2. Tugas Khusus: Menjalankan tugas yang bersifat preventif dan represif dengan cara positif dan aktif di bidang intelijen dan security. 

Harus diakui bahwa konflik internal di Kepolisian sangat mempengaruhi eksistensi dan kinerja dari lembaga intelijen tersebut. Bahkan dapat dikatakan konflik yang terjadi di internal Kepolisian mampu membangun kesadaran bagi para perwira Kepolisian untuk lebih mengedepankan tugas dan tanggung jawab terhadap negara dari pada perebutan jabatan dan posisi yang memberi cela bagi banyak pihak untuk melakukan penyusupan di tubuh Polri. Di sinilah sesungguhnya peran intelijen harus diperkuat untuk menolak segala bentuk campur tangan dan penyusupan, dengan kontra intelijen. Permasalahannya, dalam kasus ini intelijen Kepolisian menjadi bagian dari konflik, sebab ada satu wacana yang berkembang ketika itu untuk mengendalikan Kepolisian, salah satunya dengan menumpulkan peran intelijennya. Dan langkah tersebut terbilang sukses. Indikator yang paling mudah adalah pasca Dekrit Presiden 1959 hingga pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto, bisa dikatakan peran intelijen Kepolisian terbilang minim. 

Ketika Soekarno dan Orde Lama turun tahta, dan digantikan oleh Soeharto, dan instrumen Orde Baru-nya, maka dimulai satu fase ’Kegelapan’ bagi dunia intelijen di Indonesia, khususnya intelijen Kepolisian. Seperti dapat diduga, Soeharto melakukan konsolidasi politik ke semua lini kekuasaan agar patuh dan loyal kepadanya. Gagasan Soekarno untuk menempatkan Polri agar masuk dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dterapkan Soeharto guna mengikat Polri agar terbebas dari anasir-anasir PKI dan faksi anti pemerintah. Badan Pusat Intelijen (BPI), yang merupakan lembaga koordinasi antar lembaga intelijen buatan Soekarno segera dibubarkan,dan digantikan Komando Intelijen Negara (KIN). Rasa militeristiknya kental sekali, mulai dari penamaan dan dominasi pejabat dan anggota KIN. Hal tersebut dilakukan guna memberikan penegasan bahwa KIN harus patuh dan loyal kepada dirinya, yang selain menjadi Presiden, juga merangkap menjadi Panglima Kopkamtib. Lembaga yang terbentuk sebagai langkah untuk membersihkan negara dari kader-kader PKI dan anasir-anasirnya ini merupakan lembaga darurat, yang dibentuk untuk tugas-tugas khusus.

Harapan Soeharto agar KIN dapat bekerja lebih efektif menopang pemerintahannya makin kentara dan kuat, ketika kerja sama antara CIA dengan KIN makin terbuka. Hal ini didasar oleh upaya pengasahan keterampilan keintelijenan, dan kepentingan Amerika Serikat yang tidak menginginkan Indonesia menjadi negara komunis. KIN dipecayakan kepada orang-orang kepercayan dan terdekatnya, yakni Yoga Soegama, perwira yang sangat loyal dan salah satu pendukung utama kepemimpinan Soeharto bekerja dengan cepat, taktis, dan sesuai dengan harapan. Yoga, yang merupakan satu dari perwira intelijen terbaik yang dimiliki oleh TNI ini membangun KIN menjadi organisasi yang mampu mengefektifkan seluruh lembaga intelijen yang ada di Indonesia. Intelijen Kepolisian yang menjadi bagian dari KIN, serta anggota terbaru dari ABRI, yang meleburkan Kepolisian menjadi satu angkatan bersama tiga matra lainnya, makin sulit memposisikan diri.

Tahun 1967, KIN berubah menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Perubahan nama ini makin menancapkan kuku dan hegemoni BAKIN sebagai lembaga koordinasi intelijen, di samping menjadi ’mata-mata’ dan kepanjangan tangan penguasa. Berbagai lembaga ekstra yudisial, yang tidak ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan dibentuk guna memperkuat barisan lembaga intelijen yang menjadi bagian dari kekuasaan Soeharto, seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Operasi Tertib Pusat (Optibpus), Lembaga Penelitian Khusus (Litsus), Asisten Pribadi (Aspri) Presiden, Operasi Khusus (Opsus), dan lain sebagainya. Dan semua lembaga tersebut memiliki perwakilannya di daerah-daerah, baik inheren dengan komando teritorial (Koter),dari mulai Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil, maupun yang secara mandiri membentuk perwakilannya seperti Laksusda, Sospolda, dan lain sebagainya.

Penegasan dominasi intelijen militer adalah keberadaan intelijen militer, dalam hal ini Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), yang kemudian berubah menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS) di bawah Jenderal L.B. Moerdani, salah satu perwira tinggi intelijen TNI yang sangat kampiun dan dihormati oleh komunitas intelijen, baik dalam maupun luar negeri. BAIS bahkan memiliki struktur dan jaringan yang paling lengkap, dari mulai jaringan di daerah-daerah melalui Kodam-kodam, juga perwakilan di luar negeri, termasuk atase pertahanan. Apalagi perubahan dari Kopkamtib menjadi Bakortanas juga tak lain untuk membangun pencitraan yang lebih lunak, perihal represifitas yang dilakukan lembaga tersebut di masa lalu.

Praktis, peran dan fungsi keintelijenan dilakukan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk tersebut di atas. Berbagai kegiatan masyarakat yang mengancam eksistensi kekuasaan Soeharto langsung di cap sebagai PKI, kader PKI, disusupi PKI, dan kata-kata yang menyudutkan masyarakat. Intelijen Kepolisian, yang di masa pemerintahan Soekarno memainkan peran yang cukup signifikan, dan diberi berbagai peluang dan mengembangkan diri, pada masa Soeharto justru hanya menjadi sub ordinasi dari pemenuhan informasi dan data dari lembaga-lembaga bentukan Soeharto tersebut. Hampir tidak ada satu agregasi kinerja intelijen Polri yang benar-benar mandiri dan mencitrakan satu profesionalisme sebagaimana yang menjadi tugas dan fungsinya. Hampir semua tugas dan fungsi intelijen Polri diambil alih dan dikerjakan oleh lembaga-lembaga tersebut. 

Secara sistematis bahkan marjinalisasi peran dan fungsi Intelejen Polri makin menjadi-jadi. Dan turunan dari berbagai kasus yang melibatkan intelijen Polri pun sangat kentara. Misalnya pada kasus Pembunuhan Marsinah yang melibatkan pejabat setingkat Kodim dan Koramil, yang mencoba menyeret-nyeret intelijen Polri, atau bahkan kasus pembunuhan Wartawan Bernas, Udin yang melibatkan intelijen Polri, bahkan sebagai tersangka. Hal ini menandakan bahwa intelijen Polri dalam berbagai kasus telah dilemahkan. Bahkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan Polri dalam penanganan kasus kriminal, seperti pada kasus Penembak Misterius (Petrus). Penegasan yang perlu dikemukakan adalah bahwa selama Soeharto dan Orde Baru berkuasa, peran dan fungsi Polri menjadi sub ordinat dari kerja-kerja keintelijenan secara luas. Bahkan idiom yang mengemuka di internal Polri ketika itu, Polri sebagai ’tukang cuci piring’ dari berbagai kasus dan permasalahan yang melibatkan Polri selama kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa.

Dukungan pendanaan dan SDM membuat BAIS menjadi satu organisasi yang begitu dominan, bahkan dibandingan dengan BAKIN. Masa Pemerintahan Habibie dan menjelang kejatuhan Soeharto BAIS memainkan peran yang begitu dominan. Unjuk rasa disertai aksi kerusuhan dan penembakan pada Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II tidak lepas dari peran intelijen militer tersebut. Bahkan pada Referendum di Timor Timur, BAIS memainkan perannya untuk mempertahankan provinsi termuda tersebut memilih NKRI. Meski kalah telak, namun pemanfaatan dana tak terbatas dari ’uang asli tapi palsu/aspal’ sempat menjadi isu hangat, di luar tindakan kontra intelijen dan aksi bumi hangus di wilayah bekas jajahan Portugis tersebut.

Yang cukup menarik adalah, meski TNI dan Polri disorot banyak pihak seputar kinerja dan perannya di masa lalu, lembaga intelijen hampir luput dari perhatian. BAKIN bahkan baru melakukan perubahan ketika Megawati menjabat sebagai Presiden, dengan nama Badan Intelijen Negara (BIN), dengan landasan legalitas Instruksi Presiden No. 5 tahun 2002, dan diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 9 tahun 2004 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan Non Departemen, yang memiliki tugas untuk mengkoordinasikann komunitas intelijen lainnya. Perubahan tersebut hanya penegasan dari peran dan fungsi dari BAKIN yang dianggap pencitraannya kurang baik di masa lalu. 

Perubahan tersebut harus dipahami sebagai upaya untuk ’mikul duwur mendem jero’, yang mencoba menetralkan BIN sebagai lembaga intelijen negara dari dosa-dosa masa lalu pendahulunya. Meski juga disadari benar bahwa perubahan nama tersebut tidak juga mengubah karakter dan budaya kerja yang ada di BIN. BIN hanya berganti baju dari intelijen produk lama. Hal ini memang disadari betul mengingat perubahan paradigmatik di lembaga intelijen tersebut belum terjadi. Sehingga keberadaan BIN hanya menjadi pelengkap dari keberadaan lembaga-lembaga intelijen lainnya sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan. Apalagi A.M. Hendropriyono, yang dinilai dekat dengan Presiden Megawati makin memperkuat asumsi tersebut. Secara terbuka, bahkan Hendropriyono berulang kali mengungkapkan bahwa BIN merupakan bagian dari pemerintahan Megawati.

Di masa kepemimpinan Hendropriyono juga terjadi eksodus besar-besaran intel-intel sipil dan Polri dari BIN, karena adanya upaya mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut melakukan militerisasi di BIN. Proses tersebut juga disebabkan karena adanya faksionis di internal BIN ketika krisis politik perihal ancaman Dekrit Presiden oleh Abdurrahman Wahid. Sehingga, ketika kalangan intel sipil dan Polri yang merasa diuntungkan dengan berbagai kebijakan Wahid cenderung mendukung kepemimpinan Wahid, dan mencegah upaya sebagian intel berlatar belakang militer melakukan manuver mendukung penjatuhan Wahid dari kursi kepresidenan. Sebenarnya, kepemimpinan yang agak menyejukkan ketika BIN masih bernama BAKIN adalah saat Z.A. Maulani memimpin. Hanya teman dekat B.J. Habibie tersebut, melakukan blunder ketika mengamini kebijakan Habibie untuk melakukan referendum di Timor Timur. 

Sedangkan Intelijen Polri kemudian mengubah namanya seiring dengan reformasi kelembagaan yang harus dijalani Polri. Dengan menyandang nama Badan Intelijen Keamanan Polri (Intelkam) Polri. Titik tekannya pada intelijen keamanan, yang tertuang pada Keputusan Presiden (Perpres) No. 70 tahun 2002 tentang Organisasi Tata Kerja Kepolisian Negara RI Pasal 21, yang berbunyi:

a. Badan Intelijen Keamanan Polri, disingkat Baintelkam adalah unsur pelaksana utama pusat bidang intelijen keamanan di bawah Polri.
b. Baintelkam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen dalam bidang keamanan bagi kepentingan tugas operasional dan manajemen Polri maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri).

Sama seperti yang terjadi di BIN, ternyata perubahan menjadi Badan Intelkam Polri tidak juga merubah paradigmatik berpikir, dan budaya lembaga yang ada. Bahkan untuk kasus Badan Intelkam Polri, ternyata ekspektasi yang luar biasa dari internal Polri membuat setiap perubahan yang ada menjadi semacam kemenangan bagi Polri setelah lebih dari 30 tahun terbelenggu dalam format matra angkatan. Sikap defensif dan menolak berbagai upaya penataan, khususnya penataan koordinasi intelijen tidak terlalu disikapi serius oleh Polri. Bahkan ada kesan, Polri menolak upaya untuk menata kelembagaan pertahanan dan keamanan dalam berbagai sikap dan cara. 

Permasalahan yang juga muncul berkaitan dengan respon Polri, khususnya Badan Intelkam terhadap krisis politik di masa Presiden Wahid terjadi juga. Dualisme kepemimpinan Polri saat S. Bimantoro dan Chaeruddin Ismail satu dengan yang lain merasa menjadi Kapolri. Ada keragu-raguan juga ketika Keluarga Besar Polri harus memilih S. Bimantoro atau Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri. Situasi ini pada akhirnya direspon oleh delapan perwira menengah Polri dengan mendukung Chaeruddin Ismail, dan menolak kepemimpinan S. Bimantoro. Permasalahan yang kemudian muncul adalah Badan Intelkam Polri juga bermain dengan melakukan kontra intelijen dan menyebarkan informasi bahwa delapan orang ini akan melakukan kudeta, dan akan menangkap Ketua DPR, Akbar Tandjung, dan Ketua MPR, Amien Rais. Isu tersebut disebarkan agar kedelapan perwira menengah tersebut dapat di tangkap, selain alasan indisipliner

Otoritas negara dan koordinasi antar lembaga intelijen sejak bangsa ini merdeka, hingga Orde Reformasi menjadi satu permasalahan yang serius. Bukan itu saja, bahkan negara yang berperan sebagai end user ternyata juga melakukan langkah-langkah yang tidak sinergis dengan penegakan otoritas negara. pada berbagai masa kepresidenan, baik Soekarno, Soeharto, Habibie, Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki berbagai persamaan dan perbedaan menyangkut keotoritasan negara dan koordinasi antar lembaga. Pada masa Orde Lama justru yang terjadi adalah meningkatkanya konflik antara Presiden Soekarno dengan TNI, khususnya Angkatan Darat. Konflik ini bermuara pada terbangunnya ketidakpercayaan Soekarno terhadap semua produk intelijen negara, yang kebetulan didominasi oleh militer. Sementara pada masa Orde Baru, semua produk intelijen digunakan oleh Presiden Soeharto, dan ia memposisikan dirinya pusat dari lingkaran komunitas intelijen lainnya. Bahkan dengan berbagai cara, yang salah satunya mendirikan lembaga intelijen yang ekstra yudisial, bersifat khusus, namun memiliki kekuasaan yang sangat besar dan melebihi wewenang lembaga intelijen yang ada. Pada masa Orde Reformasi, Habibie, Wahid, Megawati, dan SBY lebih hati-hati dalam menentukan kebijakan mengenai intelijen. Namun kesamaan dari empat presiden tersebut adalah mengangkat kepala badan intelijen negara dari orang terdekat.

Sementara pada masa Orde Lama dan Orde Reformasi kendali atas lembaga-lembaga intelijen bersifat longgar, maka pada masa Orde Baru justru cenderung ketat. Kelonggaran kendali dan kontrol Soekarno, terhadap berbagai lembaga intelijen disebabkan oleh terbangunnya asumsi di kepala Soekarno mengenai dominasi militer di tubuh intelijen. Sehingga akan beresiko apabila produk yang dihasilkan oleh lembaga intelijen, khususnya intelijen negara digunakan sebagai pijakan untuk perumusan kebijakan. Ketatnya kendali atas komunitas intelijen di masa Orde Baru dilakukan oleh Soeharto dengan sadar. Sebab, kendali yang efektif atas lembaga intelijen yang ada akan mengurangi distorsi informasi yang merupakan produk intelijen tersebut. Sedangkan Presiden masa Orde Reformasi disebabkan adanya satu asumsi bahwa dengan memegang pimpinan atau kepala BAKIN atau BIN sudah cukup mengontrol lembaga tersebut untuk memberikan produk dari lembaga hanya kepada mereka.

Ketika Soekarno merasa tidak lagi mampu mengendalikan dominasi militer di lembaga intelijen negara, maka ia kemudian membentuk BPI, yang diharapkan mampu menjadi lembaga koordinasi antar lembaga intelijen lainnya. Dengan sepenuhnya dapat dikontrol dan loyal kepada dirinya, BPI kemudian saling berhadap-hadapan dengan kepentingan TNI di lapangan. Langkah Soekarno tersebut menjadi satu titik balik pengkubuan konflik antara dirinya dengan militer. Bahkan pengkubuan tersebut makin membesar ketika Soekarno merangkul PKI melalui jaringan BPI, dan Subandrio. Langkah Soeharto lebih elegan, ketika konflik antar perwira intel terjadi menjelang peristiwa Malari, yang dilakukan oleh Soeharto adalah menggantinya, serta keduanya kemudian ’diistirahatkan’ dan ditempatkan di pos tidak penting. Sedangkan pada Orde Reformasi kontrol negara hanya sebatas pada kepemimpinan level puncak lembaga intelijen negara. asumsi dasarnya, ketika Kepala Bakin atau BIN merupakan loyalis ataupun orang dekat kekuasaan maka kendali atas lembaga intelijen dalam genggaman.

Keberadaan komunitas intelijen lain, pada masa Orde Lama hampir tidak diganggu, kecuali aroma persaingan antara BPI dengan intelijen militer. Indikator yang paling kelihatan adalah dinamisasi dan perkembangan intelijen Kepolisian yang dapat menjalankan berbagai tugas dan fungsinya tanpa ada intervensi dan gangguan dari Soekarno. Bahkan mantan petinggi intelijen Kepolisian menjadi orang kedua di BPI, yang dipimpin Subandrio. Berbeda pada masa Orde Baru, marjinalisasi lembaga intelijen di luar intelijen militer begitu kentara. Bahkan melakukan sub ordinasi berbagai lembaga intelijen oleh lembaga-lembaga ekstra yudisial lain yang memiliki fungsi intelijen sering dilakukan, hal tersebut terjadi pada intelijen Polri. Fungsi koordinasi pada lembaga KIN ataupun BAKIN hanya untuk mengontrol komunitas intelijen lain, agar sejalan dengan kebijakan Soeharto. Pada Orde Reformasi terjadi penyimpangan ketika penangkapan Omar Al Farouk, salah satu gembong terorisme dilakukan oleh BIN, dan langsung diserahkan ke Amerika Serikat. Penyimpangan koordinasi ini menegasikan peran intelijen Polri dalam fungsi penegakan hukum.

Dalam membangun otoritas negara atas intelijen pun masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi menemui kendala. Satu persamaan yang paling kelihatan pada masa pemerintahan enam presiden tersebut adalah upaya membawa komunitas intelijen menopang pemerintahan mereka. Soekarno berupaya mengembangkan BPI sebagai ujung tombak bagi pemerintahannya, dengan melakukan kontra intelijen dan kontra teror terhadap musuh Soekarno, TNI Angkatan Darat. Efektifitas kontrol terhadap lembaga-lembaga intelijen lain terganggu oleh manuver intelijen militer yang keluar dari koordinasi BPI. Sementara pada masa Orde Baru, Soeharto bisa dibilang efektif, meski jauh dari prinsip dan nilai demokrasi. Semua lembaga intelijen ada dalam genggamannya. Bahkan sangat efektif menopang pemerintahannya. Sedangkan pada Orde Reformasi mengangkat ketua dan pimpinan BAKIN, atau BIN berasal dari orang terdekat di lingkaran kekuasaan.

Penataan Koordinasi
Menyangkut koordinasi antar lembaga intelijen, hampir tidak efektif di masa Orde Lama dan Orde Baru, serta Orde Reformasi. Keefektifan koordinasi, antara lembaga intelijen negara dengan lembaga intelijen Polri menjadi permasalahan tersendiri. Tidak ada perundang-undangan yang mengikat satu dengan yang lainnya. Yang ada hanya keputusan setingkat Kepres, maupun produk hukum di bawahnya. Bahkan perumusan tugas dan fungsi terkesan sangat umum, seperti pada Intelijen Polri. Sebaliknya, inherenitas lembaga intelijen negara yang juga menjalankan fungsi koordinasi seperti pada BPI, BAKIN, atau BIN makin menyulitkan upaya koordinasi satu lembaga intelijen dengan yang lainnya. Yang muncul justru aroma persaingan dan esprit de corp yang meninggi. Bahkan dapat disimpulkan bahwa fungsi koordinasi yang melekat pada fungsi intelijen negara pada masa Soekarno dan Soeharto justru menjadi bumerang bagi efektifitas koordinasi dan kinerja lembaga tersebut. Sementara tidak berjalannya koordinasi antar lembaga intelijen di era Reformasi, disebabkan karena upaya penataan kelembagaan tersebut berjalan sangat lamban

Ada enam penegasan mengapa koordinasi antara lembaga intelijen menjadi permasalahan serius dari dahulu hingga sekarang, khususnya antara lembaga intelijen negara dan intelijen keamanan, yakni: 

Pertama, otoritas negara atas lembaga-lembaga intelijen cenderung rendah. Otoritas dalam hal ini diasumsikan sebagai kontrol negara atas kinerja dari lembaga intelijen yang mengemban fungsi koordinasi. Kontrol tersebut menjadi sulit dilakukan ketika ketua ataupun pimpinan dari BAKIN atau BIN, yang mengemban fungsi intelijen negara dan fungsi koordinasi merupakan orang terdekat dengan kekuasaan.

Kedua, tidak adanya aturan hukum yang mengatur batasan dan wewenang kerja antara lembaga intelijen negara dengan intelijen Kepolisian. Aturan yang ada hanya terbatas mengikat satu organisasi saja, itupun sebatas Keputusan Presiden (Kepres), Intruksi Presiden (Inpres), Keputusan Menteri, maupun Keputusan Kapolri. Ketidakadaan aturan yang mengikat koordinasi antar lembaga intelijen tersebut menyebabkan batasan wilayah dan wewenang tugas juga makin rancu dan kabur. 

Ketiga, dinamika internal masing-masing lembaga yang memiliki ekspektasi yang berbeda, baik berupa esprit de corps, maupun sentimen kelembagan. Hal ini terlihat pada semangat membangun dan menjaga negara dalam kondisi dan situasi yang utuh. Indikator yang mudah dikedepankan adalah rumusan tugas dan fungsi yang secara umum dibuat mencakup keindonesiaan.

Keempat, budaya di internal lembaga intelejen belum mengedepankan semangat kebersamaan dan profesionalisme. Satu filosofis kelembagaan yang bersifat koordinatif adalah memahami posisi, peran, dan fungsinya secara sadar. Dalam pengertian keberadaan setiap lembaga intelijen harus terkait dengan peran dan fungsinya secara tegas. Di sinilah kemudian akan mampu menstimulasi profesionalitas kelembagaan.

Kelima, masih kuatnya semangat superioritas antara lembaga satu dengan lembaga lain. Superioritas tersebut tercermin dari keengganan melakukan koordinasi. Sehingga koordinasi dapat diasumsikan membuka strategi dan berujung pada wan prestasi dari masing-masing lembaga tersebut. Tak heran apabila koordinasi hanya dianggap sebagai hal yang tidak terlalu penting. Padahal dalam konteks deteksi dini dari berbagai ancaman, koordinasi mampu menutup cela kemungkinan berubahnya ancaman menjadi tragedi.

Keenam, sentimen kelembagaan yang satu dengan yang lain merasa lebih baik dari lembaga lain. Berbeda pada kasus kebanggaan pada lembaga, pada sentimen yang merasa lebih baik menjadi pemicu terjadinya keengganan dari masing-masing lembaga intelejen untuk membuka hal-hal yang menjadi kerja-kerja keseharian. Tak heran pula kerap kali terjadi bentrok kerja antara lembaga intelejen tersebut di lapangan, misalnya pada kasus penggrebekan pelaku teroris di Tangerang yang membuka kedok dan mencederai intel yang tengah melakukan covert action.

Permasalahan koordinasi antara lembaga intelijen negara dengan intelijen Kepolisian, khususnya, maupun komunitas intelijen lainnya hampir pasti tidak akan terselesaikan apabila belum ada perundang-undangan yang mengatur komunitas tersebut. Koordinasi menjadi kata kunci bagi upaya mendorong agar lembaga intelijen, serta komunitas intelijen lainnya dapat mengefektifkan kinerja dan lebih profesional. Guna mereformasi lembaga intelijen secara umum, di mana di dalamnya akan menata pula permasalahan koordinasi, yang menjadi titik krusial bagi upaya mengefektifkan kinerja komunitas intelijen sesuai dengan porsi dan wewenangnya membutuhkan delapan prasyarat yang harus terpenuhi, yaitu: 

Pertama, Upaya untuk menata koordinasi harus diawali dengan adanya legalitas yang mengikat seluruh komponen dan lembaga intelijen dalam satu irama yang selaras dengan tujuan berbangsa dan bernegara. Dengan memperhatikan pada jenis dan karakteristik dari masing-masing lembaga.
Sehingga penataan koordinasi intelijen tersebut dapat terukur dan mampu membagi habis kewenangan secara proporsional. Akan tetapi perundang-undangan yang ada selain masalah koordinasi antar lembaga, juga harus memuat setidaknya berbagai komunitas intelijen yang ada dengan mengeksplisitkan pada: Hakikat dan tujuan intelijen; Ruang lingkup intelijen; Tugas, fungsi, serta wewenang; Organisasi dan prinsip-prinsip pengaturan. Dan yang tidak kalah seriusnya adalah penegasan bahwa lembaga intelijen harus tunduk pada otoritas sipil, dengan mengedepankan pada penghormatan pada HAM dan nilai serta prinsip demokrasi. Sementara perundang-undangan intelijen yang secara eksplisit dan sangat jelas menguraikan koordinasi antar lembaga intelijen, khususnya lembaga intelijen negara dengan intelijen Kepolisian adalah Law on Security Services of The Federal Republic of Yugoslavia, namun sayangnya negara tersebut tidak lagi eksis, karena hanya menyisakan Republik Serbia, setelah terakhir Montenegro juga menyatakan kemerdekaannya melalui referendum. 

Kedua, otoritas negara dan kontrol yang berlapis pada efektifitas kinerja dan koordinasi komunitas intelijen. Otoritas negara dalam hal ini dapat dilihat dalam pengembangan kelembagaan dan pemakai produk intelijen terakhir. Dengan mengedepankan adanya otoritas negara setidaknya lembaga intelijen yang terkoordinir melalui keapala atau pimpinan lembaga koordinasi intelijen yang dipilih secara politis oleh Presiden. Bila kepala lembaga intelijen lainnya dipilih karena bersifat karier, maka upaya membangun otoritas negara atas lembaga intelijen tercermin dari pemilihan kepala lembaga koordinasi intelijen oleh Presiden. Adapun yang harus diperhatikan oleh negara dalam mengembangkan dan mengefektifkan otoritasnya tidak melakukan politisasi, dan sentimen antar lembaga. Karena hal tersebut hanya akan membuat koordinasi dan konerja tidak akan efektif. Sedangkan pengawasan dan kontrol berlapis akan mendorong komunitas intelijen bekerja dengan efektif dan efisien, dengan memperhatikan berbagai rambu-rambu di dalam negara demokratik. Sementara khusus koordinasi antara BIN dan Baintelkam Polri, peran negara sebagai policy maker dan pemilik fungsi kontrol dan pengawasan harus lebih diuraikan secara detail dengan memperhatikan batasan-batasan wewenang antar keduanya. Dengan menegaskan efektifita kode etik lembaga intelijen, serta turunan dari tugas, dan fungsi di masing-masing lembaga, yang biasanya dikeluarkan melalui keputusan kepala masing-masing lembaga yang menaunginya.

Ketiga, pengembangan budaya kerja yang profesional dan efektif dalam menjalankan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan. Budaya di masing-masing internal lembaga cenderung menahan diri dan mengambil jarak antar lembaga intelijen lainnya. Hal ini tidak akan menguntungkan bagi penataan lembaga intelijen, tidak hanya BIN dan Baintelkam Polri, yang banyak menangani permasalahan domestik dan dalam negeri, tapi juga lembaga intelijen lainnya. Salah satu yang harus ditegaskan mengenai budaya internal lembaga yang baik adalah, bagaimana mengembangkan cakupan kerja yang sesuai dengan batasan dan wewenangnya. Artinya bila Baintelkam Polri harus mampu mengembangkan segenap potensi untuk melakukan kerja-kerja yang berkaitan dengan ancaman keamanan dan kriminalitas.

Keempat, membangun kesadaran kepada masing-masing anggota intel perihal realitas yang dihadapi sebagai bagian dari pelaksana fungsi keintelijenan. Artinya, kebanggaan dan ekspektasi yang berlebihan tidak lagi menjadi satu kendala bagi pengembangan koordinasi. Kebanggaan semu dan ekspetasi yang berlebihan memang akan makin mencerminkan kedangkalan produk yang dihasilkan, sebab identitas dan pola akan mudah diketahui lawan, maupun masyarakat yang akhirnya enggan membagi informasinya. Citra dan intel kita memang sudah diambang kronis, contoh yang paling kentara adalah mudahnya anggota intel teridentifikasi oleh masyarakat saat melakukan covert operation. Bayangkan bagaimana mudahnya intel lawan dalam mengidentifikasi pola dan cara yang dilakukan oleh intel kita.

Kelima, terbangunnya semangat kebersamaan dan penghargaan terhadap batasan dan wewenang lembaga intelijen lainnya, serta tidak berusaha melakukan penyabotan. Semangat kebersamaan ini mungkin akan sulit diwujudkan apabila melihat trauma masa lalu yang dirasakan oleh lembaga intelijen di luar intelijen militer, seperti intelijen Polri misalnya. Artinya perlu ada alat untuk memaksa lembaga-lembaga intelijen lainnya agar duduk bersama untuk melakukan koordinasi dengan payung perundang-undangan yang mengikat semua komunitas intelijen.

Keenam, mengembangkan kerja koordinasi, baik dalam bentuk yang formal seperti pada upaya pemberantasan tindak pidana terorisme, yang payung undang-undangnya ada pada UU No. 15 Tahun 2003, maupun yang informal, seperti operasi intelijen gabungan yang bersifat insidental di perbatasan Timor Leste, yang tengah bergolak dan mengancam integritas nasional, baik bersifat politis, maupun kriminal. 

Ketujuh, pemenuhan anggaran intelijen yang efektif, transparan, dan bertanggung jawab, sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi. Prasyarat ini menjadi bagian yang akan mempengaruhi tingkat koordinasi antar lembaga. Sekedar gambaran, BIN dan Baintelkam Polri mendapatkan kucuran anggaran yang mungkin saja berbeda satu dengan yang lain, baik asal anggaran, maupun besaran anggarannya. BIN, bila statusnya tetap setingkat kementerian seperti sekarang, jelas akan memiliki anggaran yang cukup besar dibandingkan dengan Baintelkam Polri yang berasal dari Mabes Polri. Satu kelemahan yang disebabkan kurangnya anggaran adalah prilaku menyimpang yang membuat tingkat koordinasi menjadi lemah, seperti pada kasus beking oknum intel satu lembaga intelijen terhadap perjudian dan prostitusi beberapa waktu lalu. Padahal permasalah perjudian dan prostitusi merupakan bagian dari tugas Baintelkam Polri, sehingga bentrok dan konflik tidak dapat dihindarkan, yang berujung pada tidak efektifnya kerja-kerja keintelijenan.

Kedelapan, selain adanya aturan legal formal dalam bentuk undang-undang, dibutuhkan juga satu kesepakatan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU), ataupun keputusan bersama antara Kementerian yang membawahi BIN ataupun kepala BIN sendiri dengan Kapolri perihal batasan dan cakupan wewenang keamanan dalam negeri. Di mana BIN maupun Polri menegaskan hal tersebut, baik dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, ataupun Inpres No. 5 Tahun 2002, serta Kepres No. 103 Tahun 2001. artinya perlu ada batasan formal, antara cakupan Keamanan Dalam Negeri versi Polri, dengan batasan Keamanan Nasional dalam persfektif BIN. Masalah-masalah keamanan dalam negeri harus jelas antara keduanya, sehingga permasalahan koordinasi yang menjadi permasalahan antara kedua lembaga tersebut di masa akan datang tidak lagi terjadi. 

Koordinasi antar lembaga intelijen, khususnya pada intelijen negara, yakni BIN dan intelijen Kepolisian, yang terepresentasi dalam Baintelkam Polri diharapkan akan membaik dengan terpenuhinya prasyarat-prasyarat tersebut di atas. Artinya koordinasi yang efektif akan memberikan satu produk intelijen yang komprehensif bagi pemerintah, sebagai end user. BIN harus menegaskan dirinya sebagai intelijen yang menjalankan fungsi intelijen keamanan dalam negeri, yang bertanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah keamanan dalam negeri, yang terkait dengan pembentukan sistem peringatan dini serta sistem analisis informasi strategis guna menghadapi ancaman terhadap keamanan nasional. Sebaliknya, di Baintelkam Polri harus menyadari bahwa tugas dan wewenangnya hanya terbatas pada intelijen keamanan, yang lebih khusus pada intelijen kriminal, sebagaimana yang tertuang dalam Kepres No. 70 Tahun 2002. Sehingga, keinginan untuk menjadi semacam Special Branch dalam Scotland Yard harus dikubur dalam-dalam, dengan lebih mengedepankan efektifitas dan penguatan tugas dan fungsi yang ada sekarang. 

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa koordinasi antara lembaga intelijen negara dan intelijen keamanan menjadi sesuatu yang mendesak. Selain masalah pembatasan ’wilayah’, juga terkait dengan efektifitas kedua lembaga intelijen untuk mewujudkan keamanan dalam negeri, juga terkait dengan pembangunan dan penataan kelembagaan intelijen yang efektif, profesionalisme, dan sesuai dengan nilai dan prinsip demokrasi. Kedua hal tersebut terkait dengan transisi demokrasi yang tengah berjalan. Bahwa lembaga intelijen terkesan terlambat dalam penataan tersebut, dikarenakan pembangunan dan penataan kelembagaan yang bertindak sebagai policy maker menjadi satu agenda terlebih dahulu dilakukan. Menyangkut soal koordinasi kedua lembaga intelijen tersebut, khususnya dan lembaga intelijen memiliki tingkat urgenitas yang tinggi. Urgenitas tersebut terletak pada upaya untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang berorientasi pada pembentukan sistem deteksi dini bagi upaya untuk mengancam keamanan dalam negeri. Polri di satu sisi mengemban tugas yang berat untuk mewujudkan Kamdagri dalam bentuk tanggung jawab mewujudkan keamanan dalam negeri, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Sementara BIN, tidak lagi harus memiliki dualisme fungsi, sebagai intelijen yang bertanggung jawab pada masalah-masalah keamanan nasional, di luar yang dikerjakan Polri. Dualisme fungsi, sebagaimana diurai di atas, menjadi titik permasalahan tersendiri. 

Sehingga membutuhkan satu penegasan agar BIN dan Baintelkam Polri mampu memerankan perannya secara sinergis, komprehensif, serta berlandas pada prinsip dan nilai demokrasi. Penyimpangan dan gesekan kepentingan masing-masing lembaga pada operasional dapat diminimalisir dengan mempertegas aturan main, berupa perundang-undangan, dan berbagai kesepakatan antar keduanya. Sebab, menghilangkan sama sekali citra lembaga intelijen dalam berbagai peristiwa yang melanggar HAM, menunjukkan saling sikut dan mengorbankan lembaga lain demi menjaga citra dan nama baik di masyarakat pernah terjadi di masa lalu. Intelijen memang bukan lembaga normal biasa dalam praktik operasionalnya, sehingga pengetatan aturan main, dan kode etik operasionalnya menjadi penegas bagi keberadaan BIN, sebagai lembaga intelijen negara, dan Baintelkam Polri, sebagai intelijen Kepolisian untuk membangun koordinasi yang baik. Dan indikator yang paling kentara adalah terbangunnya koordinasi yang baik adalah efektifitas operasional masing-masing lembaga dengan tetap memperhatikan penegakkan HAM, dan nilai serta prinsip demokrasi.

Calon Direktur CIA John Brennan Uji Nyali Di Hadapan Senat

Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan John Brennan
Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan John Brennan

Menlu Amerika John Kerry Siap Bertandang Ke Israel Dan Palestina

Jakarta, 7 Februari 2013 (KATAKAMI.COM)   —  Sepekan terakhir ini, pastilah menjadi pekan yang paling memusingkan untuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama.
Sebab, dari 3 kandidat pejabat penting yang telah dinominasikannya, baru satu orang saja yang lolos dari “lubang jarum” yaitu John Kerry yang telah dilantik secara resmi menjadi Menteri Luar Negeri.
Baik Partai Demokrat, terutama Partai Republik yang menjadi “lawan politik” Presiden Barack Obama, mayoritas menyetujui dan melapangkan jalan Kerry menuju posisi yang sangat bergengsi sebagai Menteri Luar Negeri.
Senat Komite Hubungan Luar Negeri menyetujui dan memberikan KONFIRMASI bahwa John Kerry lolos uji dan layak menjadi Menlu menggantikan Hillary Clinton.
Kerry mendapat dukungan mayoritas Senat dengan perolehan 94 suara, sementara hanya tiga Senator yang menolaknya di hari Selasa, 29 Januari 2013 lalu.
Ketiga orang yang menolak pencalonan Kerry merupakan Senator dari Partai Republik, yaitu James Inhofe dari Oklahoma, Ted Cruz, dan John Cornyn dari Texas.
Dua pejabat lainnya yang saat ini masih terkatung-katung nasibnya yaitu :
1. Chuck Hagel, calon Menteri Pertahanan Amerika, yang akan menggantikan Leon Panetta.
2. John Brennan, calon Direktur Dinas Rahasia CIA, yang akan menggantikan Pejabat Sementara Direktur CIA Michael J. Morell.

Calon Menteri Pertahanan Amerika, Chuck Hagel, saat diuji di Senat Amerika, 31 Januari 2013
Calon Menteri Pertahanan Amerika, Chuck Hagel, saat diuji di Senat Amerika, 31 Januari 2013

Hagel, sesungguhnya telah diuji oleh Senat pada hari Kamis, 29 Januari 2013 lalu.
Nama Hagel telah mencuat sebagai calon kuat Menteri Pertahanan pada Desember, tapi dia ditentang kelompok pro-Israel.

Beberapa senator Republik juga menyampaikan penentangan mereka.
Hagel telah mengeluarkan komentar bahwa lobi Yahudi mengintimidasi Gedung Kongres, dan telah menyampaikan kesediaan untuk terlibat secara diplomatik dengan HAMAS serta Iran.

Hagel (66) adalah tokoh moderat dari Partai Republik. Ia menjadi senator selama dua masa jabatan 1997 sampai 2009 untuk wilayah Nebraska, dan sekarang menjadi pemimpin Dewan Penasehat Intelijen Presiden.
Langkah Hagel menuju Pentagon tersendat karena ia dituduh Anti-Israel.

Tetapi Senat belum mengambil keputusan tentang disetujui atau tidak disetujuinya Hagel untuk menjadi Menteri Pertahanan.

Pengambilan suara (voting) yang dijadwalkan untuk dilakukan pada hari Jumat (8/2/2013), ditunda menjadi pekan depan yaitu pada hari Selasa (12/2/2013) mendatang.
Hagel diserang habis-habisan di Senat (terutama dari Partai Republik).
Bahkan sampai ada yang menghitung secara khusus bahwa isu tentang Iran disinggung sebagai 144 kali dalam rapat pengujian terhadap Hagel di Senat.
Dan isu tentang Israel, disinggung sebanyak 166 kali.
Lalu bagaimana dengan Brennan, calon Direktur Dinas Rahasia CIA ?
Rencananya, Brennan akan menghadapi Komisi Intelijen Senat Amerika pada hari ini, Kamis (7/2/2013) waktu setempat.

John Brennan
John Brennan

Calon Direktur Dinas Rahasia CIA ini bernama lengkap John Owen Brennan.
Wajahnya sangat dingin dan lebih tepat disebut berwajah angker.
Sekilas tampaknya Brennan memang sulit sekali untuk bisa tersenyum.
Tetapi, Brennan disebut-sebut sebagai orang yang sangat dipercaya oleh Presiden Obama, terutama karena posisi jabatannya selama 4 tahun terakhir ini memang memungkinkan dirinya menjadi orang yang ada dalam “ring satu” Obama.
Tahun 2009, Obama menunjuk Brennan sebagai Deputi Penasehat Keamanan Nasional.
Ia disebut-sebut sebagai “bayangan” dari Obama sebab hampir setiap hari, Brennan akan selalu ada mendampingi Obama.
Di lingkungan Gedung Putih, John Brennan adalah orang yang paling mengetahui semua program intelijen paling rahasia Amerika Serikat.
Sementara di luar, dia adalah figur pemerintah yang membela dengan gigih salah satu praktik paling kontroversial pemerintah Presiden Barack Obama yaitu penggunaan pesawat tak berawak untuk membunuh terduga teroris di luar negeri.
Pencalonan Brennan oleh Obama untuk kursi tertinggi di lembaga intelejen CIA ini adalah untuk yang kedua kalinya.
Sebelumnya pada 2008 lalu, Brennan yang bekerja di CIA selama 25 tahun itu mengundurkan dari pencalonan direktur utama agen itu.
Dia mundur karena kritik dari kaum liberal yang menyatakan bahwa Brennan tidak melakukan upaya pencegahan yang cukup terhadap penggunaan teknik interogasi yang melibatkan penyiksaan.
Brennan (57) setelah pengunduran itu justru kemudian menjadi penasihat terdekat Obama dalam soal terorisme dan keamanan negara.
Dan kini, setelah 4 tahun menjadi Deputi Penasehat Keamanan Nasional untuk Presiden Amerika Serikat, Brennan akan naik kelas menjadi Direktur CIA.
Tetapi sebelum ia menduduki kursi sebagai Direktur CIA, Brennan harus menghadapi terlebih dahulu Komisi Intelijen Senat Amerika, untuk mendapatkan konfirmasi dari para senator atas pencalonannya.

Presiden Barack Obama dan John Brennan
Presiden Barack Obama dan John Brennan

Menyimak perjalanan hidup dan karier Brennan, sesungguhnya ia jauh lebih beruntung dibandingkan Hagel.
Artinya, tak tercatat Brennan pernah keseleo lidah dalam mengomentari hal-hal yang sangat sensitif untuk ukuran Amerika dengan berbagai kepentingannya.
Sebagai figur yang sudah ditempa di CIA selama 25 tahun — dimana itu artinya Brennan sudah “ngendon” di CIA sejak tahun 1988 (dimana pada tahun itu yang menjadi Presiden Amerika adalah George H.W. Bush atau Bush Senior).
Satu-satunya yang layak disebut sebagai kelemahan Brennan dari sudut pandang hak asasi manusia adalah dukungan Brennan pada cara investigasi CIA yang menggunakan kekerasan terhadap para terduga pelaku terorisme.
Tetapi, bukankah untuk urusan WAR ON TERROR ( apalagi di Amerika Serikat ), segala sesuatu yang dijalankan perangkat keamanan di negara adidaya ini adalah atas perintah COMMANDER-IN CHIEF atau Panglima Tertinggi mereka yaitu atas perintah Sang Presiden ?
Sepanjang Panglima Tertinggi mereka menyetujui maka para pelaku di lapangan (termasuk CIA) tak bisa dipaksakan untuk bertanggung-jawab atas kebijakan seperti itu.
Topik yang paling besar kemungkinan ditanyakan kepada Brennan dalam hearing dengan Komisi Intelijen Senat terkait nominasinya sebagai calon Direktur CIA adalah seputar masalah DRONES (pesawat tanpa awak) yang paling diandalkan Amerika memerangi kalangan ekstrim dan kelompok teror, terutama Al Qaeda, di berbagai negara.
Brennan sangat mendukung penggunaan DRONES dalam misi perang melawan teror.
Satu hal yang sesungguhnya dapat menolong Brennan dalam situasi ini adalah penggunaan DRONES itu sangat tergantung pada kebijakan COMMANDER-IN CHIEF atau Panglima Tertinggi Amerika.
Dimana saat ini yang menjadi Commander-in Chief adalah Barack Obama.
Kurang bijaksana jika Senat Amerika meminta Brennan untuk wajib mempertanggung-jawabkan penggunaan DRONES dalam kaitan perang melawan teror sebab kebijakan itu turun atau datang dari Panglima Tertinggi Amerika.

Ilustrasi gambar : Salah satu pesawat tanpa awak milik Amerika (Drone)
Ilustrasi gambar : Salah satu pesawat tanpa awak milik Amerika (Drone)

A Cruel and Unusual Record by JIMMY CARTER

Komisi Intelijen Senat Amerika, paling banter hanya perlu mengingatkan Brennan agar sepanjang ia menjadi Direktur CIA, penggunaan DRONES haruslah lebih terkendali, lebih proporsional, tidak main hantam kromo dan tidak boleh semena-mena menghajar negara sahabat yang dicurigai Amerika bahwa disana ada pergerakan kelompok teror.
Drones, jangan sampai seliweran seenaknya di negara lain (terutama di Pakistan, Somalia dan Yaman).
Drones, diharapkan oleh banyak pihak di Amerika, jangan lagi menghantam dan memakan korban dari kalangan sendiri yaitu warga negara Amerika.
Walaupun Gedung Putih akan dengan sangat sepenuh hati menolong Brennan menjelang pengujiannya di hadapan Senat (antara lain dengan memaparkan apa saja landasan hukum penggunaan DRONES), setidaknya ada masukan dan kritikan yang datang dari mantan Presiden Amerika Jimmy Carter terkait penggunaan DRONES.
Masukan dan kritikan dari Presiden Carter itulah yang hendaknya harus tetap diingat dan diperhatikan oleh perangkat keamanan Amerika, dalam hal ini Pentagon dan CIA.
Presiden Jimmy Carter mengecam penggunaan pesawat tanpa awak Amerika ( DRONES) yang oleh era kepemimpinan Presiden George W. Bush dan Barack Obama kerap digunakan.
Menurut Carter, penggunaan DRONES bertentangan dengan hak asasi manusia .
Carter mengkritik bahwa dalam berbagai pengoperasiannya dalam medan perang di beberapa negara,  yang digunakannya untuk membombardir sasaran yang dianggap musuh, justru telah menjauhkan AS dari sekutunya.

Foto kombinasi : Mantan Presiden Jimmy Carter, dan pesawat tanpa awak milik Amerika (DRONE)
Foto kombinasi : Mantan Presiden Jimmy Carter, dan pesawat tanpa awak milik Amerika (DRONE)

Dalam pernyatannya Jimmy Carter mengecam keras pula atas pembuatan aturan-aturan oleh legislatif AS yang melanggar hak asasi manusia,terutama tentang aturan aturan yang memmbolehkan penahanan tanpa batas, serta tanpa didampingi pengacara sebagaimana terjadi terhadap tahanan sipil di penjara Guantanamo.
Kemudian, tindakan-tindakan CIA yang menggunakan tempat-tempat tahanan  rahasia di Rumania, Polandia seperti dialami juga oleh tahanan sipil Afghanistan dan negara lainnya sebelum dibawa ke Guantanamo tersebut.
Tetapi sesungguhnya kalau ingin didalami lagi, tentang kebijakan mengapa DRONES masih digunakan oleh pemerintahan Obama dalam perang melawan teror, bukan Pentagon atau CIA yang harus ditanya atau diminta pertanggung-jawabannya melainkan Presiden Amerika.

Kebijakan penggunaan itu ada di tangan COMMANDER-IN CHIEF atau Panglima Tertinggi.

Sedangkan untuk teknis penggunaan di lapangan, barulah Pentagon dan CIA, yang harus dikawal dan diingatkan terus menerus agar tidak digunakan dengan salah kaprah.
Brennan sangat layak untuk menduduki jabatan Direktur CIA sebab ia memang “lahir, dibesarkan dan telah ditempa” oleh CIA selama 25 tahun.
Ia orang yang tepat menduduki posisi sepenting itu.
Dengan satu catatan, walau ia terhitung sangat amat dekat sekali dengan Presiden Obama, Brennan harus tetap menjaga independensi dirinya.
Ia harus menjalankan tugasnya kelak sebagai Direktur CIA dalam koridor yang memang bisa ia pertanggung-jawabkan di kemudian hari.

Brennan harus mampu membawa langkah-langkah CIA ke arah yang lebih prosedural dan penuh tanggung-jawab di hadapan rakyat Amerika dan Senator yang tak akan pernah lalai mengawasi operasi-operasi CIA.
Brennan boleh saja membawa langkah CIA kepada misi-misi yang lebih agresif dalam perang melawan segala macam bentuk terorisme dan kelompok-kelompok ekstrim (terutama Al Qaeda) di berbagai belahan dunia.
Ingatlah satu hal, meminjam dan mengutip yang pernah dituliskan oleh Presiden Jimmy Carter yaitu :
“Hargailah selalu hak asasi manusia dan jangan meninggalkan jatidiri Amerika Serikat sebagai sebuah bangsa yang senantiasa mempelopori penghormatan terhadap hak asasi manusia”.
Hanya tinggal selangkah lagi Brennan bisa duduk manis di kantor pusat CIA yang berkedudukan di Langley, Virginia.

Tapi sebelum Brennan berkantor disana, ia harus siap “dihajar” dulu lewat pertanyaan-pertanyaan yang keras dan sengit dari para Senator.
Jangan pelit untuk tersenyum, Mr Brennan.
Tinggalkanlah dulu wajah yang sangat dingin plus angker itu, bila nanti “uji nyali” di hadapan para senator.
Semoga berhasil !
http://indonesiakatakami.wordpress.com/2013/02/07/calon-direktur-cia-john-brennan-uji-nyali-di-hadapan-komisi-intelijen-senat/

Walau Dirayu CIA, Mossad Dilarang Menyerbu  Suriah

Presiden Shimon Peres, didampingi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Direktur Mossad Tamir Pardo, menyalakan lilin untuk merayakan Pesta Cahaya (Hanukkah) yang diadakan di kediaman Shimon Peres di Yerusalem, 13 Desember 2012 (Foto : Israel Hayom)
Presiden Shimon Peres, didampingi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Direktur Mossad Tamir Pardo, menyalakan lilin untuk merayakan Pesta Cahaya (Hanukkah) yang diadakan di kediaman Shimon Peres di Yerusalem, 13 Desember 2012 (Foto : Israel Hayom)

Pasca Pertemuan Putin-Netanyahu, Perdamaian Suriah Harus Terwujud

Jakarta, 17 Mei 2013 (KATAKAMI.COM)  — Tampaknya Amerika Serikat belum menyerah untuk menggoyang Suriah lewat tangan Israel.
Bertubi-tubi pejabat-pejabat sangat penting Amerika bertandang ke Israel akhir-akhir ini hanya untuk membahas masalah Suriah.
Sebutlah misalnya Menteri Pertahanan Chuck Hagel, disusul dalam pekan ini kunjungan Direktur Dinas Rahasia CIA John Brennan, dan rencananya pekan depan akan datang juga ke Israel Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry.
Ibarat paduan suara yang kompak suaranya, setiap agenda kunjungan pejabat-pejabat Amerika ini membawa topik pembahasan yang sama yaitu soal Suriah.
Dan tampaknya Israel memang menjadi tempat bincang-bincang yang paling nyaman buat Amerika jika ingin membicarakan masalah Suriah.
Saat Hagel berkunjung ke Israel tanggal 21 April lalu misalnya.
Tak lama setelah kunjungan itu, Israel melakukan serangan udara ke Suriah.
Pekan ini, Direktur CIA John Brennan yang bertandang ke Israel tanpa diinformasikan secara detail tentang kunjungan itu.
Brennan dikabarkan telah bertemu dengan Presiden Shimon Peres, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Moshe “Bogie” Yaalon, Kepala Staf IDF Letnan Jenderal Benny Gantz, dan sudah barang tentu bertemu dengan mitra kerjanya yaitu Direktur Dinas Rahasia Mossad, Tamir Pardo.

Tamir Pardo
Tamir Pardo dicari dan diwawancarai sejumlah wartawan didepan rumahnya di wilayah Nirit, Israel, (30/10.2010), sesaat setelah namanya diumumkan oleh Kantor Perdana Menteri Israel untuk menempati posisi sebagai Direktur Mossad yang baru. Tetapi saat itu, Tamir Pardo sama sekali tidak mau samasekali menjawab pertanyaan wartawan dan hanya tersenyum.

Pasca kedatangan Direktur CIA menemui Direktur Mossad, pertanyaan besarnya adalah apa yang akan terjadi dalam beberapa waktu mendatang ini terhadap Suriah ?
Mengapa kali ini Mossad yang terkesan ingin didorong dan dimajukan untuk masuk ke dalam konflik Suriah ?
Sebelum masuk pada pertanyaan yang seperti itu, ada baiknya kita mencermati siapa Direktur Mossad yang saat ini menjabat.
Tamir Pardo namanya.
Rubrik Kompasiana yang dimuat di Harian Kompas edisi 4 Januari 2011 pernah menurunkan artikel seputar sosok Tamir Pardo.
Kalau membaca biodatanya yang sangat minim informasi di Wikipedia, mantan pasukan elite Israel Sayeret Matkal ini kelahiran 1953.
Berarti tahun 2013 ini, usianya genap 60 tahun.
Kompasiana menulis bahwa sepanjang hidupnya berkarir, Tamir Pardo banyak menghabiskan waktunya  di dunia militer dan intelejen.
Tahun 1980 ia bergabung ke Dinas Rahasia Mossad ditempatkan sebagai anggota kesatuan tempur dengan sandi ‘caesar’.
Sehingga sampai tahun 2013 ini, sudah 33 tahun Tamir Pardo bergabung dalam dinas rahasia Mossad.
Agen T disebutkan sangat menguasai Teknologi Informatika dan menusuk ke wilayah pertahahan lawan dengan sedikit korban manusia.
Karena itu, sudah menjadi keahliannya diutus ke berbagai negara Arab bila ada ‘target’ yang harus dihabisi nyawanya.
Pengetahuannya mengenai seluk beluk wilayah Arab tidak disangsikan lagi.
Bahkan Komandan Operasi Pasukan Utara Jend. Gadi Eizenkot mengangkatnya sebagai penasehatnya pada saat pecah perang Lebanon ke-2, bahkan dipercaya menjadi Kepala Operasi pada sergapan Baalbak tahun 2006.
Informasi lain yang bisa diketahui mengenai Direktur Mossad ini, oleh para tetangganya ia dikenal sebagai ayah dan kakek.
Dari sejumlah referensi yang bisa dibaca di internet, Tamir Pardo dikenal sebagai sosok sangat amat cerdas, berimbang, tidak pernah panik dan mampu mengambil keputusan dalam situasi sesulit apapun.
Sebagai pasukan elite khusus Israel Sayeret Matkal, Tamir Pardo adalah salah satu pasukan yang ikut ditugaskan dalam Operasi Entebbe yang sangat melegenda.
Operasi Entebbe adalah operasi khusus yang digelar pada tanggal 4 Juli 1976, Pasukan Elite Israel Sayeret Matkal berhasil membebaskan sandera yang disekap dalam Pesawat Air France di Bandara Entebbe, Uganda.
Operasi Entebbe bermula pada tanggal 27 Juni 1976.
Sebuah pesawat Airbus milik Air France yang sebagaian besar berpenumpang warga negara Israel dibajak ketika berada diatas udara Eropa.
Pesawat ini berangkat dari Tel Aviv menuju Paris.
Pelaku pembajakan kemudian diketahui berjumlah 4 orang, 2 orang Palestina dan 2 orang Jerman yang salah satunya perempuan.
Pembajak selanjutnya mengarahkan pesawat ke Benghazi, Libya. Setelah mengisi bahan bakar mereka lantas membawa pesawat mengarah ke selatan menuju Uganda dan mendarat di bandara Entebbe. Idi Amin, penguasa Uganda waktu itu ternyata malah memberikan perlindungan. Di Entebbe lantas bergabung pula 4 anggota pembajak lain.
Pemerintah Israel memutuskan operasi penyelamatan harus dilakukan melalui darat dengan menugaskan unit penyerbu yang terdiri dari 30 orang pasukan elite Israel, Sayeret Matkal, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Yoni Netanyahu.
Tugas ini ternyata dapat dituntaskan baik oleh Sayeret Matkal tepat pada tanggal 4 Juli 1976.
Semua pembajak akhirnya tertembak mati plus 45 tentara Uganda juga tercatat tewas.
Selain itu, pasukan pendukung yang mengamankan bandara juga berhasil meledakkan 11 pesawat tempur jenis MiG-17 milik angkatan udara Uganda.
Dari 105 sandera, 3 dinyatakan tewas dan 10 lainnya luka-luka.
Dari pasukan Israel hanya 1 korban tewas.
Ironisnya, korban tewas ini adalah komandan Sayeret Matkal sendiri yaitu Letnan Kolonel Yoni Netanyahu yang kala itu baru berusia 30 tahun.
Sebuah peluru menembus dada Yoni Netanyahu.
Tamir Pardo juga yang disebut melakukan pertolongan pertama untuk menyelamatkan Yoni saat tertembak tetapi nyawa dari sang komandan tidak tertolong.

Tamir Pardo
Tamir Pardo

Tamir Pardo dipilih menjadi Direktur Mossad per tanggal 1 Januari 2011 menggantikan Meir Dagan yang sudah 8 tahun memimpin Mossad.
Sebuah ungkapan yang sangat dikenang dari Tamir Pardo saat ia ditunjuk menjadi Direktur Mossad adalah, “Kaki saya terlalu kecil untuk sepatu Mossad”.
Wajar jika saat ini ia bisa bekerja dengan baik untuk Shimon Peres dan Benjamin Netanyahu.
Saat Operasi Entebbe digelar tahun 1976, jabatan Shimon Peres pada saat itu adalah Menteri Pertahanan Israel.
Sedangkan Perdana Menteri Netanyahu, adalah adik kandung dari Yoni Netanyahu yang menjadi komandan Tamir Pardo saat melaksanakan Operasi Entebbe di Uganda.
Kalau misalnya ada spekulasi yang memprediksi bahwa kali ini Mossad yang tampaknya dirayu untuk melakukan sebuah operasi khusus menyerbu Suriah, apa yang akan terjadi terhadap Suriah ?
Tanpa ada campur tangan Mossad, serangan militer dari Angkatan Udara Israel (IAF) pada awal bulan Mei ini, sudah menghancurkan sejumlah lokasi.

Bahkan menewaskan 42 orang Pasukan Elite Suriah.
Bagaimana kalau Mossad yang dimajukan ?
Dinas Rahasia Israel, Mossad, didirikan tanggal 13 Desember 1949 oleh Presiden Israel saat itu, Ben Gurion.
Mossad bertanggung jawab atas pengumpulan intelijen dan operasi-operasi rahasia termasuk kegiatan paramiliter. Ini adalah salah satu perusahaan yang utama dalam Komunitas Intelijen Israel, bersama dengan Aman (intelijen militer) dan Shin Bet (keamanan internal), tetapi direktur yang melapor langsung kepada Perdana Menteri.
Dalam lambang mereka yang tertulis “Ha-Mossad le-Modiin ule-Tafkidim Meyuhadim” yang berarti “Institut Intelijen dan Operasi Khusus”.
Pada awal pembentukan Mossad, Presiden Ben Gurion mengatakan bahwa tujuan Mossad adalah, “Untuk negara kita yang sejak berdirinya telah berada di bawah ancaman musuh-musuhnya. Konstitusi intelijen ialah garis terdepan pertahanan…Kita harus belajar dengan cara yang baik untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di sekeliling kita.”
Dari informasi yang bisa dibaca melalui website Badan Intelijen Negara (BIN), dituliskan disana bahwa Mossad sendiri mempunyai bermarkas pusat di Tel Aviv.
Motto Mossad merupakan kutipan Alkitab yang berbunyi “Karena hanya dengan perencanaan engkau dapat berperang” (Amsal 24:6).
Tetapi kemudian dirubah menjadi   “ Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasehat banyak, keselamatan ada.” (Amsal 11:14)

Peta Suriah
Peta Suriah

Dan ada sebuah lembaran sejarah di masa lalu yang menghubungkan Mossad dengan Suriah secara sangat dekat.
Salah seorang agen Mossad yang kemudian diangkat menjadi Pahlawan Nasional Israel, Eli Cohen, pernah sangat sukses menyamar dan berdinas di dalam lingkaran kekuasaan Suriah.
Eli Cohen (26 Desember 1924 – 18 Mei 1965) adalah seorang agen rahasia Mossad, Israel dan diangggap sebagai salah satu mata-mata paling sukses setelah perang dunia II.
Cohen pindah ke Damaskus, Suriah dengan nama alias Kamel Amin Tsa’abet (nama panggilannya Sa’bet atau Tha’bet).
Cohen berhasil memperoleh kepercayaan dikalangan pejabat militer Suriah dan juga pejabat pemerintahan.
Secara berkala ia mengirim informasi intelijen ke Israel lewat radio, surat rahasia dan kadangkala pada saat ia berkunjung ke Israel. Informasi yang sangat berharga yang berhasil ia kirimkan ke Israel pada tahun 1964 adalah data tentang kubu pertahanan Suriah di dataran tinggi Golan.

Akhirnya pada bulan Januari 1965, seorang ahli dari Uni Soviet yang disewa oleh dinas intelijen Suriah berhasil menyadap pesan yang sedang dikirimkan Cohen ke Israel.

Setelah dihadapkan ke pengadilan, ia diputuskan bersalah terlibat mata-mata dan dijatuhi hukuman mati.

Banyak kepala negara barat (Perancis, Belgia, Kanada) yang meminta pemerintah Suriah untuk memperingan hukumannya bahkan Paus Paulus VI ikut bersuara, tetapi ia tetap digantung oleh pemerintah Suriah pada tanggal 18 Mei 1965.

Dan sampai dengan hari ini, Pemerintah Suriah yang dipimpin Bashar Al Assad menolak untuk memulangkan jenazah Eli Cohen untuk dimakamkan di Israel.

Jika mencermati sejarah kelam hubungan Mossad dan Suriah, bisa dispekulasikan bahwa Tamir Pardo sebagai Direktur Mossad punya kewajiban moril untuk tetap mengupayakan kepulangan jenazah pahlawan nasional mereka.

Saat Pemerintah Israel berembuk tentang bagaimana formula terbaik mengupayakan kepulangan prajurit IDF yang bernama Gilad Shalit untuk bisa segera dipulangkan ke Israel, Mossad termasuk yang menyarankan agar Israel tidak menggunakan serangan militer.

Gilad Shalit ditawan oleh Kelompok Militan Hamas di Jalur Gaza selama 5 tahun yaitu dari tahun 2006 sampai 2011.

Mossad termasuk dalam barisan yang ikut menyarankan bahwa cara terbaik untuk memulangkan Gilad Shalit adalah dengan menyetujui usulan pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas.

Pada akhirnya, Perdana Menteri Netanyahu menyetujui pertukaran Gilad Shalit dengan 1047 orang tahanan Palestina pada tanggal 18 Oktober 2011.

Jika terhadap Gilad Shalit saja, Mossad punya hitung-hitungan yang penuh kehati-hatian, maka sangat wajar jika ada keterikatan batin antara Mossad dengan pahlawan nasional mereka yang jenazahnya masih ditahan oleh Pemerintah Suriah.

Mungkinkah kondisi batiniah Mossad menyangkut Eli Cohen ini yang mau digugah agar dinas rahasia Israel ini mau bergerak masuk menerobos Suriah untuk melakukan guncangan dashyat ?

Presiden Suriah Bashar Al Assad
Presiden Suriah Bashar Al Assad

Tetapi tanpa perlu berandai-andai tentang apa sebenarnya yang sudah dan akan terjadi dalam pembahasan antara CIA dan Mossad menyangkut Suriah, satu hal yang perlu diingatkan kepada Tamir Pardo sebagai Direktur Mossad.
Konflik di Suriah tak akan bisa diselesaikan dengan serangan militer asing dalam bentuk apapun.
Konflik di Suriah hanya bisa diselesaikan dengan solusi politik, dimana jika solusinya adalah dengan saluran-saluran diplomatik dan politik, maka dinas rahasia seperti Mossad tidak perlu repot-repot turun tangan menyelesaikan konflik tersebut.
Kondisi di Suriah sudah begitu carut marut dan sangat mengerikan.
Tidak dibutuhkan serangan militer asing dalam bentuk apapun didalam negeri Suriah.
Mossad harus diingatkan untuk menahan diri dan tidak mudah dirayu (bahkan jika yang merayu itu adalah CIA) agar mereka melakukan operasi penyerbuan ke Suriah.
Tak ada yang meragukan bagaimana kehebatan Mossad.
Dinas Rahasia Mossad di akui oleh siapapun didunia ini sebagai dinas intelijen terbaik, terhebat dan tersukses peringkat pertama dunia.
Tak ada juga yang meragukan bagaimana kekejaman dan kesadisan Mossad dalam operasi-operasi mereka didunia ini.
Tetapi, sehebat apapun Mossad, konflik di Suriah jangan dan tidak boleh dimasuki.
Beri ruang dan waktu untuk Pemerintah Suriah menyelesaikan persoalan internal negara mereka sebab yang saling berperang adalah antar rakyat Suriah yaitu yang pro dan kontra terhadap Presiden Bashar Al Assad.
Sederhana saja dasar pemikirannya bahwa rakyat Suriah membutuhkan secepatnya stabilitas keamanan dan perdamaian yang bisa segera membawa mereka kepada kehidupan yang semula.
Jika dihancurkan, maka otomatis harapan untuk membuat Suriah menjadi lebih baik — terutama harapan agar perdamaian dan rekonsiliasi itu segera terwujud — akan ikut hancur tak terselamatkan.
Jangan, sekali lagi jangan.
Jangan sampai konflik di Suriah sampai harus melibatkan Mossad untuk mengakhiri perang yang sangat berkepanjangan di Suriah.
Urusan diplomasi dan politik di negara lain (dalam hal ini Suriah), maaf, sepertinya hal itu bukan urusan Mossad.
Mossad jangan mau dirayu, entah oleh siapapun ….

MS

Setelah Putin Bertemu Netanyahu, Perdamaian Suriah Harus Terwujud

[INI PERLU HATI2...KARENA SANGAT BERBAHAYA.......!!!   DAN MEREKA SADAR...BAHWA BILA TERJADI EXPLOSIF DI SURIAH... MAKA AKIBAT LANJUTANNYA AKAN SANGAT JAUH DAN BISA MENJADI LEBIH LIAR... YANG MEMUNGKINKAN PERANG TERBUKA SECARA REGIONAL BAHKAN PD III??? 

DAN BUKAN SAJA SURIAH YANG MENJADI MEDAN PERANG...  ..TETAPI ISRAEL ...  -TURKI DAN ARAB SAUDI SERTA EMIRATE ARAB..BISA JADI BAGIAN DARI KANCAH PERANG..YANG TAK TERKENDALI..   DAN... APAKAH RUSIA CHINA-AS-NATO-IRAN- IRAQ AKAN DIAM..??.... ]

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berjabatan tangan di awal perjumpaan mereka di Sochi, Rusia, pada hari Selasa (14/5/2013)

Isu Suriah Pertemukan Putin-Netanyahu Di Kota Sochi Rusia

Jakarta, 15 Mei 2013 (KATAKAMI.COM)  —  Pertemuan antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Selasa (14/5/2013) kemarin berlangsung sekitar 3 jam.

Dari media, terutama dari jejaring sosial (twitter misalnya), siapa saja dapat mengikuti perkembangan pertemuan mereka dari jam ke jam.

Termasuk foto-foto dan hasil jumpa pers antara kedua pemimpin ini.
Kantor Kepresidenan Rusia (Kremlin) mempublikasikan secara cepat detail dari hasil perjumpaan Putin dan Netanyahu, termasuk transkrip jumpa pers mereka kepada media setempat.

Walaupun kalau disimak secara cermat pernyataan dari kedua pemimpin ini, baik Putin dan Netanyahu, sama-sama menunjukkan kemahiran dan kepiawaian mereka merangkai kata-kata sehingga semua kata-kata terkemas menjadi serangkaian kalimat basa-basi politik yang barangkali memang mengharuskan keduanya menjaga kesantunan diplomasi.

Bahwa pertemuan itu membahas konflik Suriah secara khusus, media dan semua pihak sudah mengetahuinya sejak pertemuan itu belum berlangsung.
Tetapi tak dijumpai detail pembahasan mereka terkait Suriah.
Hanya sedikit sekali yang bisa diketahui dari omong-omong Putin dan Netanyahu soal Suriah.
Padahal sepekan sebelum pertemuan ini berlangsung, Kremlin dan Kantor Perdana Menteri Israel sudah saling menyerang melalui pernyataan mereka di media.
Kremlin mengingatkan Israel untuk  tidak lagi melakukan serangan militer ke Suriah.
Sedangkan Kantor Perdana Menteri Israel mengingatkan Kremlin agar Rusia tidak menjual  sistem peluru kendali anti-serangan udara S-300 yang canggih kepada Suriah.
Sebagai catatan, hanya beberapa jam sebelum Netanyahu melakukan kunjungan kenegaraannya ke China pekan lalu, ia memerintahkan Angkatan Udara Israel (IAF) untuk melakukan serangan udara ke Suriah.
Pesawat tempur Israel menyerang pusat penelitian sains Jamraya di Damaskus, Sabtu (5/5/2013), demikian laporan kantor berita SANA.

Serangan itu merupakan serangan kedua Israel ke Suriah dalam kurun waktu satu pekan.
Pertemuan kedua pemimpin ini memang ditujukan untuk membicarakan kemelut Suriah ditengah kekhawatiran akan peningkatan pengiriman senjata dari Moskow ke Damaskus dan peningkatan jumlah korban.
“Saya tentu mengharapkan pembicaraan dengan Anda tentang keadaan di kawasan itu, termasuk Suriah,” kata Putin kepada Netanyahu pada awal perundingan di kediaman pemimpin Rusia itu di kota Sochi, Laut Hitam, Selasa.
“Kita bersama dapat memikirkan tentang bagaimana membuat kawasan Timur Tengah lebih aman dan stabil,” kata Netanyahu, demikian dilaporkan AFP.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Rusia Vladimir Putin saat memberikan keterangan pers seusai pertemuan bilateral mereka di Sochi, Rusia, untuk membahas konflik Suriah, 14 Mei 2013
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Rusia Vladimir Putin saat memberikan keterangan pers seusai pertemuan bilateral mereka di Sochi, Rusia, untuk membahas konflik Suriah, 14 Mei 2013

Berdasarkan rilis yang dikeluarkan Kantor Kepresidenan Rusia (Kremlin) melalui website mereka, inilah transkrip jumpa pers dari Presiden Putin dan Perdana Menteri Netanyahu :
PRESIDENT OF RUSSIA VLADIMIR PUTIN:
Good afternoon ladies and gentlemen,
Our talks with Prime Minister of Israel, Mr Netanyahu, just ended. I can say at once that they took place in a very open, trusting atmosphere. We discussed both our bilateral contacts and intergovernmental ones, as well as the situation in the Middle East.
I would like to point out immediately that our relationship with Israel is both friendly and mutually beneficial. You know that just recently, on May 9, we celebrated Victory over Nazism Day. We are grateful to Israel’s leaders for their nation’s attitude to the memory of victims who died fighting Nazism, including those who lived in the Soviet Union.
Our bilateral economic ties are growing stronger. There are problems in this respect, first and foremost relating to insufficient mutual investments; those can certainly increase significantly. In this respect we have good prospects in the wide variety of areas in which we cooperate. Our agencies and ministries – emergencies ministries, health ministries and others – work closely together.
Tourist visits are increasing. After the abolition of visa requirements, the number of Russian tourists increased many times over, and last year it reached 300,000.
Our relations in the humanitarian, educational and cultural spheres are developing. In February 2013 a successful Russian culture festival was held in Tel Aviv and Haifa.
Ties between our various regions are growing stronger. In February 2013, the Russian city of Gelendzhik, close to Sochi (where we are today), was twinned with the Israeli city of Netanya.
Of course today we talked a lot about regional security problems. The situation in Syria is a particular concern. My colleague and I agree that continuing the armed conflict in the country is fraught with disastrous consequences for both Syria and the region. Only by quickly ending the armed struggle and arriving at a political settlement can we prevent a very negative outcome.
In this crucial period it is especially important to avoid actions that could destabilise the situation. Mr Prime Minister and I agreed to stay in contact: both in personal contact and via our organisations and special services.
I am grateful to Mr Prime Minister for accepting our invitation and travelling to Russia today. Thank you.
PRIME MINISTER OF ISRAEL BENJAMIN NETANYAHU (re-translated):
Thank you Mr President for your invitation and the warm welcome.
You described relations between Israel and Russia absolutely correctly. Our various relationships are getting closer and stronger all the time.
We discussed developing and strengthening our ties in science, culture and economics. Jews, immigrants from the CIS countries living in Israel, play an important part in these relations and their future. And the great role the Russian people played in stopping Nazi Germany and facilitating victory over it is our shared history. A great many Jews fought in the Red Army. So when you celebrate Victory Day here on May 9, in our country, in another part of the world, we also celebrate that day and salute your contribution to the victory over Nazi Germany.
The fact that the State of Israel was founded is what enables Jews to defend themselves against those who continue to try to destroy us. We aspire to peace with all our neighbours. We managed to reach peace agreements with two of them, and I hope that this will be the case with others too; naturally, we also want to preserve what we already have. But unfortunately, we have learned from experience, and you also know, that peace can only be concluded with the strong, only with those who are able to defend themselves. Our job is to protect our citizens, and we always do so.
We had very detailed and in-depth conversations about the situation in our region. Together we are trying to find a way to strengthen stability and security there. This is important to us, and it is important to you. And we have a wonderful, historically-founded opportunity to talk directly with one another, to explain our position clearly, and to try and realise common goals.
I very much appreciate the time you devoted to us, the very warm and friendly welcome, and the great opportunity to come here, two hours away from Tel Aviv, to where you will soon host the next Winter Olympics. And I want to take this opportunity to wish you every success.
From what I saw during my short visit, I want to say that you could not have chosen a better place to hold the Olympics.
Thank you very much.

Foto kombinasi : Foto para pimpinan militer Israel (yang sedang berjalan adalah Kepala Staf IDF Letnan Jenderal Benny Gantz, Kepala Angkatan Udara Israel Mayor Jenderal Amir Eshel dan Menteri Pertahanan Israel Moshe Bogie Yaalon), kemudian foto Kepala Intelijen Militer Israel Mayor Jenderal Aviv Kochavi yang ikut menyertai PM Netanyahu ke Rusia.
Foto kombinasi : 
Foto para pimpinan militer Israel (yang sedang berjalan adalah Kepala Staf IDF Letnan Jenderal Benny Gantz, Kepala Angkatan Udara Israel Mayor Jenderal Amir Eshel dan Menteri Pertahanan Israel Moshe Bogie Yaalon), kemudian foto Kepala Intelijen Militer Israel Mayor Jenderal Aviv Kochavi yang ikut menyertai PM Netanyahu ke Rusia.

Dan dalam situasi-situasi tertentu di belahan dunia ini, untunglah ada media yang akan selalu menunjukkan kemampuan untuk menggali informasi-informasi yang tak akan mungkin bisa didapatkan dari jalur dan cara-cara yang formal.
Salah satu media Israel, Haaretz melaporkan bahwa sesungguhnya dalam kunjungan PM Netanyahu ke Rusia, salah seorang yang ikut mendampingi adalah Kepala Intelijen IDF (Israel Defense Forces) Mayor Jenderal Aviv Kochavi.
Tak ada informasi yang lebih detail tentang apa yang dipresentasikan atau disampaikan Kepala Intelijen IDF ini saat berlangsung pertemuan Putin dan Netanyahu.
Tetapi ini menguatkan spekulasi bahwa tampaknya Netanyahu hanya sebatas ingin menjelaskan latar belakang serangan militer mereka ke Syria yang dilakukan secara beruntun sepekan sebelum pertemuan Putin dan Netanyahu berlangsung di Sochi hari Selasa (14/5/2013) kemarin.
Secara hirarki, Mayor Jenderal Aviv Kochavi ada dibawah komando Kepala Staf IDF Letnan Jenderal Benny Gantz.
Serangan militer Israel ke Suriah dilakukan oleh Angkatan Udara Israel (IAF) yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Amir Eshel, dimana dalam struktur organisasi, pimpinan IAF ini ada dibawah Kepala Staf IDF.
Dan secara organisasi, Kepala Staf IDF ada di bawah komando Menteri Pertahanan Israel Moshe Bogie Yaalon.
Oleh karena serangan militer Israel ke Suriah dilakukan oleh Angkatan Udara Israel (IAF), maka yang dapat memberikan perintah penyerangan itu secara hirarki adalah :
1. Kepala IAF Mayor Jenderal Amir Eshel
2. Diatasnya, ada Kepala Staf IDF Letnan Jenderal Benny Gantz.
3. Diatasnya lagi, ada Menteri Pertahanan Moshe “Bogie” Yaalon.
4. Baru setelah itu, yang menduduki posisi paling atasnya lagi adalah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Presiden Shimon Peres.
Diikut-sertakannya Kepala Intelijen IDF ini dalam pertemuan Putin dan Netanyahu, sepertinya untuk bisa membantu menjelaskan kepada Putin, mengapa Israel menyerang Suriah.
Putin, tak bisa dipandang sebelah mata dalam urusan militer dan intelijen.
Putin adalah mantan agen rahasia KGB.
Sehingga pasti ia akan sangat menghargai setiap detail data, analisa dan laporan-laporan intelijen, sebab pada masa lalunya ia pun bekerja sebagai seorang agen rahasia yang sangat handal.
Tampaknya Netanyahu menyadari bahwa dibalik sikap hangat dan bersahabat yang ditunjukkan Putin, jika ingin berbicara tentang kondisi keamanan di negara lain (dimana dalam kondisi tersebut, militer Israel terlibat dalam beberapa kali serangan militer sepihak) maka hal terbaik yang bisa digunakan adalah penjelasan dari sudut pandang intelijen militer.
Dan strategi yang digunakan Netanyahu, disambut baik oleh Putin.
Dalam pertemuannya dengan Netanyahu, ke depannya nanti Putin menyambut baik kerjasama di bidang intelijen antara Israel dan Rusia menyangkut penyelesaian konflik Suriah.
Tak ada penjelasan apapun (baik dari Rusia ataupun Israel), apakah presentasi Kepala Intelijen Militer Israel ini hanya sebatas menjelaskan latar belakang serangan militer Israel ke Suriah yang terjadi selama ini.
Tapi besar kemungkinan, dalam penjelasan itu diuraikan juga informasi intelijen apa yang didapat Israel tentang kecurigaan mereka pada Iran dan Hizbullah yang memanfaatkan konflik Suriah untuk memasok rudal yang dapat mengancam keamanan Israel.
Dari berbagai penjelasan mereka di media sepekan lalu, berulang kali Israel mengatakan bahwa serangan ke Suriah adalah untuk menghentikan rencana pengiriman rudal Iran kepada Hizbullah melalui Suriah.

Peace
Peace

Sebuah pernyataan dari Presiden Putin harus digaris-bawahi disini bahwa gerakan apapun yang dilakukan di Suriah yang dapat menimbulkan ketidakstabilan, memang harus dihindari.

Sebab, kata Putin, satu-satunya cara untuk menghindari skenario yang negatif di Suriah adalah dengan mengakhiri konflik bersenjata di Suriah dan mulai dilakukannya penyelesaian secara politik.

Sesungguhnya pernyataan Putin inipun sejalan dan senafas dengan apa yang disampaikan Perdana Menteri Inggris David Cameron baru-baru ini bahwa yang sangat penting untuk segera dilakukan adalah mengakhiri konflik bersenjata di Suriah.

Tetapi kalau Rusia didorong dan dipaksa untuk ikut bergabung ke dalam barisan sejumlah negara yang mendirikan “Friends of Syria”, hal tersebut tidak tepat.

Rusia berhak menentukan dimana dan bagaimana posisi mereka dalam permasalahan ini.
Semua negara, termasuk Rusia, tentu sama-sama berharap agar konflik bersenjata di Suriah bisa segera diakhiri dan perdamaian terwujud antara kelompok yang bertikai di dalam internal negara Suriah.

Sialnya, kelompok yang sedang bertikai di dalam domestik Suriah ini (khususnya kelompok pemberontak bersenjata Suriah), mempunyai dan memboncengkan ambisi-ambisi liar mereka atas nama misi mewujudkan perdamaian.

Misalnya, kalau puluhan sumur-sumur minyak dikuasai untuk kemudian diklaim menjadi milik kelompok pemberontak bersenjata Suriah, itu namanya menjarah aset negara.
Dan negara manapun, tidak akan ada yang bisa membenarkan penjarahan aset-aset resmi negara oleh pihak lain.

Disinilah komunitas internasional kesulitan untuk bisa menyatukan langkah dan suara.

Lalu disisi lain, Israel yang memang sangat amat tegas dan benar-benar concern menjaga keamanan nasional mereka, memang tak bisa mentolerir setiap bentuk ancaman yang bisa membahayakan rakyat mereka.

Untuk itulah Iran dan Hizbullah perlu dihimbau untuk tidak memanfaatkan situasi yang sangat kacau balau di Suriah untuk kepentingan pasok memasok rudal yang ujung-ujungnya bisa membahayakan keamanan dan keselamatan negara lain.

Suriah sudah begitu kacau dan benar-benar sangat mengerikan kondisinya.

Sangat tidak masuk diakal jika kondisi yang sudah seburuk ini masih dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan yang sama sekali tidak ada manfaatnya untuk rakyat Suriah yang sudah sangat mendesak membutuhkan perdamaian antar mereka.

Presiden Bashar Al Assad dan Perdana Menteri Wael al-Halqi harus mampu merealisasikan konsep-konsep perdamaian yang nyata.

Lakukan secara cepat, tepat dan memang benar-benar ampuh untuk menciptakan kestabilan dan keamanan yang membuka jalan bagi terwujudnya perdamaian di Suriah.

Masa depan Suriah, bukan tergantung dari negara lain atau kelompok manapun yang datang dari luar Suriah.
Masa depan Suriah, ada di tangan rakyat Suriah sendiri.

Rasa senasib, sepenanggungan, cinta kasih dan nasionalisme harus dibangun kembali oleh rakyat Suriah agar hari-hari baru yang akan datang di kemudian hari bisa menjadi lebih baik.

Bukan justru semakin memburuk dan bisa lebih menghancurkan Suriah secara total.  (*)

Ketum Nasdem Surya Paloh: By Design

Semua yang Mengurus Harus Mundur

Harian Detik - detikNews
http://news.detik.com/read/2013/03/04/171912/2185336/158/ketum-nasdem-surya-paloh-by-design-semua-yang-mengurus-harus-mundur
 
Jakarta - Secara fenomenal, Partai Nasional Demokrat menjadi satu-satunya partai baru yang lolos ke Pemilihan Umum 2014 saat banyak partai lain berguguran. Tapi, bak pepatah, makin tinggi makin kencang angin yang bertiup, NasDem pun langsung dilanda gonjang-ganjing.

Diawali dengan keputusan pergantian pengurus, yang mengantarkan pengusaha dan pemilik kelompok Media Indonesia, Surya Paloh, menjadi ketua umum. Lantas disusul mundurnya Ketua Dewan Pakar Hary Tanoesoedibjo dan sejumlah pengurus pusat serta daerah.

Tapi Surya mengatakan partai ini didirikan dengan grand design oleh dirinya. By design pula, semua orang yang mengurus harus mengundurkan diri. “Ada teken yang kita tidak bisa published itu, dan ini baru pertama kali saya ucapkan kepada kalian,” kata Surya kepada Andree Priyanto, Dimas Adityo, Basuki Nugroho, Raisya Maharani, Choirul Anam, dan pewarta foto Ary Saputra dari Harian Detik pada pekan lalu.

Kini, dengan kepengurusan baru, bagaimana cara NasDem mewujudkan targetnya sebagai pemenang pemilu? Berikut ini petikan lengkap wawancara dengan Surya yang didampingi Ketua Dewan Redaksi Media Indonesia Saur Hutabarat dan Redaktur Senior Elman Saragih. Wawancara yang digelar di ruang kerjanya yang lapang di gedung Prioritas, Jakarta, ini dimuat di Harian Detik edisi Senin 4 Maret 2013:

Apa persiapan yang telah dilakukan oleh NasDem terkait dengan Pemilu 2014?

Saya pikir memang selayaknya partai yang secara resmi ditetapkan oleh KPU ikut Pemilu 2014 harus segera melakukan konsolidasi secara efektif. Sebab, kalau tidak, waktu yang sudah ditetapkan itu tidak mungkin diisi dengan sesuatu yang tidak memberikan asas manfaat sepenuhnya bagi tujuan keikutsertaan partai dalam pemilu. Konsolidasi tersebut, ya, dengan rapat kerja di setiap wilayah. Persiapan penjaringan calon legislator juga dimulai.

Progresnya sudah sejauh mana?

Pertama, partai ini sudah mampu melakukan penetrasi dalam memiliki kemampuan jaringan dan infrastruktur partai yang bukan terbatas di pusat, tapi juga di kecamatan. Bahkan kita targetkan hingga April ini tak ada satu desa pun yang tidak memiliki kantor kepengurusan NasDem di Indonesia. Kurang-lebih ada 79 ribu desa ada di Indonesia. Jadi, kalau bisa dicapai pada akhir April ini, akan menjadi prestasi dalam penetrasi konsolidasi partai.

Yang kedua, bagaimanapun, kita memahami budaya bangsa kita yang belum bergeser dari budaya paternalistik. Suka atau tidak suka, kita tidak bisa mengesampingkan faktor ketokohan atau figur yang kita ajak serta di setiap strata dalam kehadiran partai di setiap wilayah kabupaten dan kota. Tentunya kita harus mengedepankan aspek elektabilitas tokoh itu.

Ketiga, kita berjuang mengajak pihak-pihak membentuk opini, apakah itu media konvensional, dunia pertelevisian, cetak, dan social media. Karena, sebagai partai baru dengan tema gerakan perubahan restorasi Indonesia ini, bolehlah asam-asam pedas. Kadang orang akan berpikir, ini jangan-jangan hanya akan berhenti pada jargon semata. Tidak lebih dari itu, sama dengan sembilan partai yang sudah eksis selama ini, habis manis sepah dibuang, janji-janji di bibirmu semata.

Nah, ini yang sedang diperjuangkan NasDem untuk menjelaskan bahwa arti keberadaan partai ini tidak dimaksudkan menambah jumlah partai yang sudah ada, juga bukan hanya ikut peserta pemilu. Bahkan bukan dengan mimpi yang hanya lolos parliament threshold 3,5 persen supaya ada sejumlah anggota parlemen.

Partai ini sadar bahwa situasi dan tantangan bangsa ini sudah mengarah pada national distrust. Masyarakat kecewa terhadap partai politik. Mereka memiliki judgment bahwa partai politik ini hanya ingin mengambil hak protokoler yang ada pada mereka, fungsi-fungsi konstitusional itulah yang berhak mereka miliki tapi tidak menyertakan kewajiban-kewajiban.

Bagaimana kewajiban melihat proses kemajuan berbangsa dan bernegara, melihat kemampauan peran partisipasi publik semakin hari semakin melemah terhadap semua kebijakan formal dan kebijakan publik. Partai politik tidak risau dengan hal ini. Orang tidak bayar pajak, partai politik tidak risau, bahkan tidak risau ketika KPK perlu mengutus timnya ke luar negeri untuk memeriksa Sri Mulyani, urusannya apa?

Di mana equality before the law, kalau Sri Mulyani orang biasa, pertanyaannya, KPK datang atau enggak ke sana? Ini kan seharusnya menambah kerisauan kita.

Tiba-tiba tokoh politik dijadikan tersangka korupsi, berbondong bondong seluruh tokoh masyarakat datang ke rumahnya memberi empati. Ada apa di negeri ini?


Sebelum dia kena kasus, tidak ada empati itu. Ini fenomena baru di negeri ini, dan NasDem mencatat ini sebagai pemikiran yang harusnya menjadi perenungan, kontemplasi, ada apa?

Lalu apa strategi Anda supaya masyarakat tak berpandangan NasDem sama saja dengan yang lain?

Di samping adanya langkah atau program konkret NasDem dalam mendeskripsikan gerakan perubahan yang dilakukan, ada unsur-unsur keteladanan yang harus diberikan oleh pemimpin partai ini. Keteladanan yang dimaksudkan adalah memberikan konsekuensi bahwa ucapan dan perbuatan itu sejalan, tidak bertentangan. Jangan terlalu mudah mengobral janji ketika tidak bisa menepati itu. Jangan sok moralis ketika kita masih suka bermain dengan hipokrasi.

Apa perubahan spesifik yang ditawarkan NasDem?

Yang barangkali perlu kita jelaskan kepada masyarakat, mereka mau berubah atau tidak? Jangan tanya apa yang harus diubah. Kalau masyarakat sudah merasa nyaman, apa yang ingin diubah? Karena ini bagian dari misi partai politik, salah satunya upaya konsisten dari waktu ke waktu untuk melaksanakan apa yang dimaksudkan dengan political education. Pendidikan politik tidak meng-entertain masyarakat, tidak hanya ingin mengejar popularitas. Kadang- kadang memang harus menanggung risiko sebagai hal yang kontroversial, bahkan menimbulkan polemik, tapi itu adalah risiko.

Apa langkah konkret Partai NasDem? Bagaimana dengan kontrak politik untuk para calon legislator agar tak melenceng dari tujuan utama?

Berdasarkan pengalaman yang ada, apakah itu kontrak politik ataupun pakta integritas akan berhenti di situ saja. Kita ingin menyentuh mata hati dan nurani para calon legislator. NasDem adalah partai kaum pergerakan, yang harus menyeimbangkan profesionalitas dan moralitas. Tak ada artinya cendekiawan, doktor, ulama, atau bergelar PhD kalau tidak memiliki konsistensi dan semangat moralitas yang menyertai profesionalitas.

Bagaimanapun, dibutuhkan keteladanan dari siapa pun yang menjadi pemimpin. Keteladanan itu ketika dia siap memberikan semangat pengorbanan yang lebih besar daripada orang yang dipimpin.

Berarti enggak ada semacam kontrak politik atau pakta integritas?

Ada pasti. Tapi sudah cukup kan peraturan perundang-undangan. Kita sering main-main yang tambah-tambah pakai pakta integritaslah, apa ceritanya. Sebenarnya itu hanyalah kosmetik kulit. Pendidikan politik di NasDem yang pertama, dia tidak tertarik membicarakan masalah calon presiden atau calon wakil presiden.

Sebagai partai baru, NasDem harus melihat hasil elektabilitas pada pemilu legislatif. Kalau nomor 4, dipastikan NasDem tidak akan ikut mencalonkan presiden dan wakil presiden. Harus di antara 1, 2, atau maksimal 3. Ini pendidikan politik! Jangan baru 2,3 persen sudah sibuk dengan calon wakil presiden.

Parliamentary threshold seharusnya 5 persen ke atas, tapi kan mereka takut. Hasil rendah tapi dia ingin jadi capres dan dia adalah ketua umum partai, lalu majulah dia jadi calon. Apakah seperti ini pantas? Menurut saya, ini bagian dari asas kepantasan. Ini asas kepatutan.

Kalau seumpama presidential threshold diketok 20 persen?

Harusnya lebih tinggi dari 20 persen. Kalau partai enggak laku, masak mau jadi presiden. Ini kan moralitas kita.

Target Partai NasDem berapa persen?

Mungkin kalian bisa menertawakan, tapi sejujurnya NasDem menargetkan sebagai pemenang pemilu.

Agar cita-cita itu tercapai, apa langkah konkret NasDem?

Pertama, dia tidak boleh melakukan langkah-langkah yang sudah dijalankan partai terdahulu. Kedua, dia harus datang dengan inovasi yang lebih hebat. Langkah besar selanjutnya adalah infrastruktur partai.

Sekarang apakah sembilan partai yang lain itu sudah memiliki infrastruktur seperti infrastruktur yang dicapai oleh Partai NasDem? Apakah ada pengurus partai lain di 79 ribu desa 100 persen, mungkin 99 persen, karena mungkin ada yang terselip?

Siapa lawan politik yang paling berat?

Tidak elok kalau saya katakan. Kamu yang bertanya pasti sudah bisa menjawab pertanyaan kamu sendiri. Mana partai yang bisa bertahan dan tidak bisa bertahan pasti kamu tahu. Karena konsistensi NasDem ingin mengajak kompetisi dengan semangat harmoni, bukan saling melukai. Ketika Anda bertanya seperti itu, sudah bisa adinda jawab sendiri.

Tentang mundurnya beberapa kader NasDem, apa tanggapan Anda?

Partai ini didirikan dengan grand design oleh Surya Paloh, yang 43 tahun berkiprah di Partai Golkar dari jabatan yang paling rendah sampai jabatan paling tinggi. Dia tidak pernah ke partai lain. Dia katakan goodbye ke Partai Golkar bukan dengan perasaan sukacita, tentu ada romantisisme di sana.

Bayangkan, anak usia 15 tahun sudah terjun di partai politik dari tingkat paling bawah posisi ranting, anak cabang, hingga ketua dewan penasihat partai, yang anggotanya Aburizal Bakrie, Prabowo, Fahmi Idris, ada juga Hamengku Buwono. Dia bertarung sebagai ketua umum karena ada yang harus diperjuangkan. Partai itu tidak boleh semakin hari semakin jauh dari cita-cita partai itu didirikan.

Situasi pada waktu itu, pemerintah juga beranggapan mungkin kurang pas kalau Surya Paloh menjadi Ketua Umum Golkar. Jadi Surya berhadapan dengan Aburizal, juga pemerintah. Bagi Surya, this is the end kepada Golkar. Tapi ada daya energi di diri saya yang saya pikir harus digunakan.

Saya berusia 61 tahun, dulu mundur dari Golkar saat 59 tahun. Makanya saya pikir harus ada saluran politik. Nah, karena itulah saya melahirkan Nasdem sebagai ormas. Sekarang pun Nasdem masih organisasi kemasyarakatan yang sampai saat ini masih ada anggota dari partai lain.

Ada keinginan gagasan besar ini disalurkan, tidak hanya berhenti pada organisasi kemasyarakatan, tapi harus bisa memiliki kewenangan dan itu hanya bisa ditemui di partai politik. Maka lahirlah Partai NasDem. Nah, karena dalam proses perjalanan ada keinginan konsep gagasan ada yang namanya tim untuk menghantarkan masa verifikasi, ada tim yang dipersiapkan menghadapi pemilu.

Jadi memang by design semua orang yang mengurus harus mengundurkan diri. Ada teken yang kita tidak bisa published itu, dan ini baru pertama kali saya ucapkan kepada kalian.

Kok, harus mundur?

Karena harus dicari ketokohan. Dalam waktu tiga bulan harus menyelesaikan administrasi. Tuan-tuan kita di DPR tidak mau ada partai baru. Mereka bikin persyaratan unlogic yang akhirnya membuat mereka mabuk sendiri. Seratus persen provinsi, satu saja kalah, gugur, 75 persen kota, 50 persen kecamatan, kalau 1 persen kalah, itu gagal.

Karena instruksi dari meja ini tidak boleh satu kecamatan pun yang tidak ada kepengurusan, 100 persen semuanya harus ada. Dan terbukti, NasDem nomor satu hasil verifikasi KPU. Karena diatur dan didesain seoptimal mungkin. Tim ini dipersiapkan sekuat- kuatnya untuk seprofesionalnya mengantarkan itu.

Jadi mundurnya HT (Hary Tanoesoedibjo) tidak ada pengaruhnya?

Kalau kita anggap HT itu berpengaruh besar, tentunya hari ini NasDem mengatakan sudah surrender dia, tidak perlu ikut pemilu lagi. Sudah keluar yang namanya “Mr in the rechten”, ketua dewan pakar. Lempar handuk saja kita.

Tapi kan bisa kalian lihat, Pak Hary Tanoe ada nafsu politik yang lebih tinggi, maka ke Partai Hanura, bikin Perindo dengan konsep yang sama. NasDem sedikit-banyak bolehlah sudah memberikan pelajaran berarti.

Pecah kongsi dengan HT dan kemudian diikuti dengan mundurnya pengurus lainnya menimbulkan pemikiran mengurus partai saja tidak bisa, bagaimana mengurus negara?

Saya terima itu. Kalau saya mau, HT bisa saja tidak keluar dari sini. Kenapa kok keluar? (Lebih lanjut Surya Paloh tak mau komentarnya dimuat. Off the record katanya).

Menyesal atau tidak HT telah bergabung ke NasDem?

Enggak boleh kita bicarakan itu. Urusan saya dan dia jangan kalian angkat. Enggak ada artinya. Itu namanya gorengan saham.

Sewaktu kampanye, dia mengklaim medianya banyak yang berjuang mengangkat partai lolos pemilu....

Ada. Tapi sebagian besar kan fotonya dia juga. Kalau itu yang diklaim, ada pengaruhnya. Kapan kau dikenal orang kalau enggak masuk NasDem?

Berapa cost politik Abang terkait dengan materi sehingga sampai semua kecamatan ada kepengurusan Partai NasDem?

Oh, tentu besar.

Soal NasDem yang katanya akan memberikan modal kepada calon legislator?

Yang pasti, tidak ada boleh sedikit pun pengeluaran biaya calon legislator dalam pencalonan mereka, tidak ada partai pungut biaya. Kasih tahu orangnya, maka akan saya kasih sanksi tegas, meskipun dari strata yang tinggi, baik DPR atau apa pun. Dulu pernah diutarakan caleg akan dibayar. Itu mispersepsi dalam pemikiran mereka bahwa seakan-akan caleg akan mendapatkan uang.

NasDem sedang berikhtiar bagaimana bisa membantu para caleg. Katakanlah alat peraga, metode kampanye, mempergunakan lembaga survei untuk mengetahui elektabilitas mereka. Terlalu dini kalau mengatakan ada Rp 5 miliar itu. Karena mungkin dulu ada tauke saja waktu itu makanya mikir gitu. Saya pikir itu sebenarnya adalah pendekatan yang salah jika dikonsumsi publik.

Partai ini adalah partai pergerakan, jadi tidak berpikir baru bisa jalan kalau ada uang. Logistik memang kita butuhkan. Kita tidak bisa mengingkari itu, tapi harus ada spirit, militansi, spirit, dan visi baru. Logistik itu akan memberikan sesuatu yang berarti bagi perjalanan partai politik.

Di NasDem sendiri apakah sudah ada rapat internal yang memutuskan nantinya siapa yang akan menjadi capres?

Belum, Abang belum terpikirkan itu. Di tengah-tengah ketidakpercayaan, saya ingin menyatakan saya tidak berpikir ke sana. Sejujurnya saya penuh konsentrasi memikirkan sebuah fenomena partai baru yang bisa masuk pemilu, dan nantinya toh pengakuan itu akan datang dengan sendirinya.

Kalau gagal, yang paling banyak harus mempertanggungjawabkan adalah pemimpin. Pemimpin tertinggi di partai ini adalah saya. Kalau berhasil, berarti keberhasilan ini karena kepemimpinan Bung Surya juga. Jangan pikirin capres.

Tapi kalau ternyata Partai NasDem dipercaya masyarakat dan mencapai tiga besar?

Kalau tiga besar, perlu kita pikirkan, tapi tidak otomatis. Saya harus melihat dulu elektabilitas dan kapabilitas. Kepentingan saya apa yang terbaik untuk Indonesia, bukan untuk Surya.

Apakah secara pribadi Abang punya?

Anggap saya ini sebagai capres, seumpama harga nominal itu cuma harga pas-pasan, kalau angka itu angka 6. Saya enggak mau negara ini dipimpin angka 6 kalau ternyata ada angka 7. Dan pasti saya akan marah jika dipimpin oleh yang di bawah angka 6. Cari yang lebih baik.

Ada upaya untuk meningkatkan dari 6 ke 7?

Ndak. Saya ingin berkonsentrasi di partai. Enggak bisa dua-duanya sekaligus. Saya sadar itu waktu terlalu singkat.

(nrl/nrl)

Penghancuran Anas Agenda Amerika Serikat ?

OPINI | 25 October 2012 | 21:00 
http://politik.kompasiana.com/2012/10/25/penghancuran-anas-agenda-amerika-serikat-498502.html#
Salam Republik Wayangku tercinta. Kali ini saya ingin mengemukakan uneg-uneg tentang keprihatinan saya terhadap bangsa ini yang juga disarikan dari beberapa sumber. Sebagaimana kita tahu bahwa bangsa kita adalah bangsa yang merdeka. Namun kemerdekaan yang diwacanakan dari dulu sampai sekarang terasa hanya seperti idiom belaka. Rakyat Indonesia tak benar-benar merasakan apa itu yang namanya kemerdekaan. Kemerdekaan boleh diproklamirkan sejak tahun 1945, namun intervensi bangsa asing terhadap Negara kita tercinta masih saja berjalan hingga detik ini. Amerika, begitulah namanya, sebuah nama yang sangat taka sing bagi kita. Itulah nama sebuah Negara adidaya yang saat ini menjadi kiblat dan majikan semua Negara di dunia, termasuk Negara kita tercinta Indonesia. Kita kembali teringat bagaimana pemerintahan di masa Soekarno berhasil menangkap basah penyusupan CIA di Maluku pada tahun 1958, yang menyamar sebagai pilot, dan kemudian diadili secara tertutup. Sebagian sejarawan menduga Amerika saat itu mendanai pemberontakan pemerintahan revolusioner republik Indonesia dan perjuangan Semesta di Maluku.

Ada pertanyaan kenapa sipil selalu ‘dikerjai’ militer dalam setiap pergolakan sosial politik. Sebenarnya anggapan atau penilaian tentang sipil yang selalu ‘dikerjai’ militer itu kurang tepat. Ada sesuatu atau latar belakangnya. Sesuatu atau latar belakang itu, kita sering sebut dengan “intervensi” barat atau AS yang merupakan sebuah kekuatan politik dominan di dunia. Intervensi barat/AS itu bisa dalam bentuk intervensi langsung yaitu AS secara aktif dan terbuka memainkan peranannya dalam sebuah negara. Bisa juga AS memainkan perannya melalui lembaga internasional seperti PBB. Atau AS memainkan peran sebagai dalang dibelakang layar. Peran AS yang selalu ikut campur dalam urusan rumah tangga negara lain ini merupakan “kebiasaan” atau tradisi yang selalu diperankan oleh AS. AS “selalu merasa terpanggil” jika ada situasi politik suatu negara yang khaos/chaos, terjadi pergolakan, pergantian /transisi rezim secara inkonstitusional, kudeta, perang saudara, konflik militer, pelanggaran HAM masif dan massal dan seterusnya disuatu negara. Konstitusi AS “mewajibkan” pemerintahnya untuk menjadi polisi dunia dan penegak keadilan, HAM dan demokrasi di seluruh dunia. “Kewajiban” dan tanggungjawab itu akan semakin besar jika AS menilai ada kepentingan AS dan sekutu-sekutunya yang terganggu atau terancam. Ini lah bentuk modern dari penerapan teori dependensia di jaman sekarang.

Intervensi kental AS terhadap Indonesia sebenarnya dimulai sejak era Soekarno, namun Soekarno dikenal sebagai sosok yang mampu mengatakan tidak bagi bangsa asing, termasuk Amerika. Nah, intervensi AS ini bisa dilihat secara penuh ketika jaman Soeharto memimpin hingga saat reformasi. Saat itu, AS melihat bahwa di RI sedang terjadi pergolakan politik yang berpotensi menjatuhkan rezim yang berkuasa dan munculnya rezim baru. Sebelum AS intervensi, akan ada analisa dulu terkait degan posisi rezim berkuasa dan posisi rezim yang berpotensi untuk menggantikannya. Tentu saja semua terkait dengan kepentingan AS. Mana yang lebih menguntungkan AS. Ikut membantu jatuhkan rezim atau mempertahankannya. Jika rezim yang akan tumbang adalah sekutu AS, maka rezim yang menggantikannya harus juga merupakan sekutu AS. Jika rezim pengganti tidak sejalan dengan kepentingan AS, maka operasi AWS akan diperluas dgn membelokan “rezim” yang akan berkuasa. AS akan mencari “tokoh” lain didalam pihak oposisi yang bisa “diorbitkan” untuk menyaingi “tokoh” oposisi terkuat yang dinilai tidak sejalan. Tokoh terkuat itu nantinya perlahan-lahan akan “dihabisi” baik secara langsung (dibunuh/ terbunuh) atau secara tidak langsung dengan menggerogoti legitimasi moral dan politiknya. Suharto yang merupakan sekutu terdekat AS di Asia Tenggara dinilai bakal jatuh. Sebenarnya AS punya kemampuan untuk mempertahankan Suharto. Tetapi, AS menilai Suharto bukan lagi “asset” yang layak dipertahankan. Suharto saat itu sudah terlalu dekat dengan kelompok Islam. AS menilai kedekatan dan hubungan Suharto dengan Islam sudah sangat dalam dan dapat membahayakan. Maka AS mengambil sikap untuk menyingkirkan Suharto dan mempercepat kejatuhannya. AS sangat paham bahwa kekuatan utama Suharto adalah ABRI. Menjatuhkan Suharto harus terlebih dahulu menghancurkan ABRI utamanya TNI AD. AS juga paham bahwa kekuatan inti TNI AD ada pada Kopassus. Kopassus yang pada saat itu dikuasai oleh Prabowo Subianto yang juga menantu Suharto. Sebab itu AS pertama-tama melalui AWS akan hancurkan kopassus. Namun, kepentingan AS dan operasi AWS CIA di RI tidak semata-mata hanya hancurkan Suharto tetapi juga TNI dan Prabowo. CIA tidak menghendaki Prabowo muncul ke permukaan dan menggantikan kedudukan Suharto. AS dan CIA sudah mengetahui persis orientasi politik Prabowo. Kedekatan dan hubungan mesra Islam dengan Suharto sejak era awal 90an dirintis dan pelopori oleh Prabowo sebagai menantu Suharto. 

Prabowo yang berasal dari keluarga sekuler, bapak kejawen, ibu katolik, lebih memilih mendukung kelompok Islam untuk mengimbangi kekuatan dan pengaruh LB Murdani yang menjadi rivalnya di tubuh TNI. Melalui seorang tokoh spritual islam, Prabowo berhasil mendekati ibu Tien suharto dan Suharto sendiri. Berkat bantuan Prabowo dan tokoh spiritual Islam itu Suharto dan Tien Suharto menjadi Islam. Hubungan yang mesra antara Suharto dan kelompok Islam menjadi pintu masuk untuk kekuasaan yang lebih besar bagi Habibie melalui ICMI nya. Sedangkan Prabowo sukses mendudukan jendral-jendral kelompok Islam dalam berbagai posisi strategis di tubuh TNI. Kekuasaan Prabowo berhenti membesar ketika Tien Suharto meninggal. Akses Prabowo ke suharto dihalang-halangi Tutut Suharto yang terpengaruh agenda Hartono cs. Singkatnya, Prabowo pada saat itu mendapatkan labeling pro Islam oleh AS dan CIA. Posisi Prabowo dinilai sama dengan posisi Suharto. Sebab itu, ketika terjadi isu dan propaganda bahwa Prabowo berada dibalik kerusuhan Mei dan akan kudeta rezim Habibie, Habibie yang naif secara politik langsung percaya dan tidak memberikan Prabowo akses atau kesempatan untuk mengklarifikasi. AH Nasution yang mencoba beri bantuan penjelasan kepada Habibie dan memberi dukungan penuh kepada Prabowo pun tidak dapat mempengaruhi sikap Habibie yang memang sudah “diracuni” oleh Wiranto cs & tokoh-tokoh politik yang cenderung “oposan” dengan Prabowo. Juga adanya alergi politik terhadap segala sesuatu yang berbau cendana. Amin Rais sebagai pemimpin gerakan reformasi sebenarnya paham betul terhadap posisi Prabowo. Tapi Amin gamang tentukan sikap. Dia tak mau konfrontasi langsung dengan Wiranto untuk menghindarkan front pertempuran yang terlalu lebar yang sulit dia kontrol nantinya. Amin main dua kaki.

Singkatnya, melalui asymetric warfare strategy, CIA atau AS berhasil menjatuhkan Suharto, menghancurkan Prabowo dan mendelegetimasi Amien. AS melalui CIA dan AWS nya berhasil juga mendudukan SBY sebagai presiden RI. Tokoh-tokoh yang kurang sejalan dengan AS tak akan direstui berkuasa. Saat ini AS melihat adanya urgensi dan kebutuhan untuk ikut campur/intervensi dalam politik domestik RI karena pemilu 2014 sudah semakin dekat dan SBY tak boleh mencalonkan diri lagi, sementara rezim SBY adalah rezim sekutu AS. SBY sendiri sangat patuh dan selalu jaga kepentingan AS di Indonesia. Bahkan SBY akui AS sebagai negara keduanya. Oleh sebab itu, jangan bermimpi AS akan ikut mendorong kejatuhan SBY meskipun misalnya rakyat sudah sangat tidak puas atau kecewa pada SBY. Sementara itu AS yang tidak pro dengan Islam berusaha mengintervensi SBY agar tidak terlalu dekat dengan golongan Islam dan berusaha menghancurkan tokoh-tokoh Islam yang dirasa bisa menjadi saingan SBY. Pemilihan Boediono sebagai wapres bisa memperlihatkan bahwa SBY tunduk terhadap kehendak AS, karena Boediono merupakan ‘orang asing’ di kalangan partai-partai berbasis massa Islam.

Lantas benarkah Anas menjadi korban karena Amerika Serikat tidak suka kepada sosoknya yang dari golongan muda Islam? Entahlah. Anas Urbaningrum mewakili tokoh muda Islam yang berpeluang terbesar menjadi presiden terpilih pada 2014. Karena berdasarkan survey beberapa lembaga survey Anas menjadi tokoh muda yang paling populer karena sepak terjangnya di politik yang begitu cepat seperti Obama, maka AS berpandangan bahwa Anas adalah sosok yang patut diperhitungkan. Menurut beberapa sumber, pihak Kedubes AS ketahuan sudah beberapa kali meminta waktu agar Anas dapat bertemu dengan Dubes AS tapi Anas menolak secara halus. Dubes AS sebenarnya bermaksud untuk “mengetahui” pandangan-pandangan dan visi Anas secara pribadi tentang masa depan RI & kaitannya dengan kepentingan AS. Namun penolakan halus Anas atas undangan Dubes AS ini menyebabkan terbentuknya keyakinan AS bahwa Anas bukan orang yang tepat untuk pimpin RI. Dari informasi yang beredar, Anas sudah menolak 4 kali undangan Dubes terhadap dirinya. Politik luar negeri AS terhadap RI sangatlah jelas. RI adalah sekutu utama yang harus menjaga kepentingan AS di RI dan Asia Tenggara. Penolakan Anas terhadap undangan bertemu dengan Dubes AS secara tidak langsung menegaskan bahwa tokoh muda Islam seperti Anas dianggap ancaman. Pemerintah AS berkepentingan agar RI dipimpin oleh “muslim moderat” yang setia dan patuh pada agenda-agenda AS. Semua capres-capres potensial dijajaki visinya. Hasilnya, dari penjajakan langsung dan tak langsung, AS punya kesimpulan bahwa JK, Prabowo, Mega, Anas, Mahfud bukan orang yang diinginkan AS.

Nasib Anas kini tak ubahnya seperti Prabowo ketika jaman reformasi seperti ulasan di awal. Sikap AS terhadap anas ternyata klop dengan sikap Cikeas terhadap masa depan Anas. RI harus dipimpin kolaborator AS. Kolaborator AS itu idealnya adalah suksesor SBY. AS sudah sangat nyaman dengan kebijakan-kebijakan SBY yang pro AS dan mampu meredam politik Islam. Kedubes AS dan Cikeas sepakat untuk melancarkan operasi bersama penghancuran Anas. AS berperan dengan membantu pembentukan opini dengan seluruh jaringannya. Maka dimulailah operasi penjeratan pada Anas Urbaningrum. Semua titik lemah Anas dikaji. Semua informasi dikumpulkan. Titik terlemah Anas adalah Nazaruddin. Bendum Partai Demokrat. Manuver-manuver Nazar dalam membangun imperium bisnisnya banyak menabrak hukum. Anas sendiri sudah tahu bahwa Nazar akan jadi masalah besar. Perlahan dia menjauhkan diri dari Nazar. Nazar lalu menyebrang ke faksi Andi/Cikeas. Nazar marah besar kepada Anas karena dia merasa banyak membantu Anas dalam politik termasuk dalam pemenangan kongres PD dibandung. Tetapi Anas tahu bahwa Nazar sudah menjadi target Cikeas untuk menjadi pintu masuk dalam menghancurkan Anas. Nazar akhirnya beursaha mencari cantelan baru pengganti Anas. Nazar mencoba mendekat ke Ibas, namun Ibas menghindar. Ibas lebih banyak mengikuti Anas kemana-kemana, sekalian untuk “memantau dan melaporkan” manuver-manuver Anas. Akhirnya harapan terakhir Nazar adalah bergantung pada Marzuki Ali dan Andi Malarangeng. Marzuki welcome, sedangkan Andi menjaga jarak. Sampai akhirnya Rosa ditangkap KPK, kemudian disuruh untuk mendendangkan nama Anas. Ini sesuai dengan hasil sidang KPK yang menemukan fakta bahwa keterangan Rosa seakan-akan dibuat-buat dan tidak pernah konsisten dalam membuat pengakuan. Bahkan Rosa mengakui bahwa ia juga yang memaksa Angie untuk meneriakkan nama Anas, meskipun Angie tak mau karena ia tahu bahwa Anas tak mengetahui proyek Hambalang sama sekali. Sekarang Anas sudah “dihukum” publik. Dicap sebagai koruptor dan harus diseret ke penjara. Siapa yang diuntungkan jika itu terjadi?. Siapa yang diuntungkan jika Anas diseret ke penjara meski bukti-bukti tidak kuat? SBY? Ical? Wiranto? Mega? Prabowo? JK ? Apa yang terjadi lagi jika pertahanan Anas hancur dan “melawan balik” SBY/Cikeas? Sebagai ketum PD dia tahu semua busuk SBY/Cikeas dan Demokrat. Jika hal itu yang terjadi, maka geger politik Indonesia yang terjadi sekarang ini akan berubah menjadi”kiamat politik” bagi rakyat. 

Terlepas dari itu semua, pihak yang diuntungkan tetaplah AS. Jika anteknya tetap menjadi tuan di negeri ini, maka eksistensi mereka tentu juga akan tetap bertahan. Sudah bukan menjadi sekedar opini jika negeri ini sangat mengiblat dan menghamba kepada AS, baik dari segi ekonomi, tatanan sosial maupun ­life style. Inilah bentuk kolonialisme modern yang diterapkan AS terhadap Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Negara yang katanya memiliki penduduk terbesar keempat di dunia, namun takluk pada hegemoni dollar. Bentuk penjajahan secara halus namun berdampak secara kasar bagi yang dijajah. Sebuak aksi pengeksploitasian sendi-sendi kehidupan dan proses mereduksi kekuatan Islam agar tetap menghamba kepada para manusia vampir. Jika ini terjadi maka rakyat kita tetap akan menjadi budak di negeri sendiri. Dan kata merdeka akan menjadi omong kosong yang tertelan oleh kiprah kapitalisme yang semakin mengakar. Ohh Indonesiaku, marilah sadar, marilah bergerak melawan kapitalisme. Jaya lah negeriku, jaya lah bangsaku. Mari menjadi pembaca yang cerdas yang tidak asal komentar, tapi solutif. Salam Negara Alengkaku !!


CIA- KPK Rutin Koordinasi Tiap 6 

Bulan? 
[SAYANG SAYA TAK DAPAT DATA FORUM DAN TAK BISA BACA APA YANG 
DIBAHAS DI FORUM..]
http://forum.detik.com/cia-kpk-rutin-koordinasi-tiap-6-bulan-t241539.html 

tadi baca status teman , saya copas disini...perhatikan komen dari Anry Kamba.

Kokko Andi:
Gue jadi NGAKAK...pagi ini kata berita Directur CIA mau ceramahi KPK...kok bisa negara RI sampai seRENDAH begini ya....!!! ...????...saran gue lebih baik Pemimpin dan pengelora negeri ini rame2 bunuh diri daripada menanggung malu buat turunannya !!!
Kirana Noer
Kyak kesulut api rokok om..
5 jam yang lalu · Suka

Andry Kamba
Koordinasi dan sharing setiap 6 bulan sekali...bukan ceramahin KPK Boss, ane tiap hari di KPK mungkin lebih tahu 'sedikit hehehehehee
5 jam yang lalu · Tidak Suka · 1 orang
 
YA PAK ANDRY KAMBA.YTH....>> .. NEGARA INI BUKAN LAHAN PERMAINAN CIA...DAN. KPK HARUS MEMPUNYAI HARGA DIRI DAN MENJAGA MERTABAT BANGSA...DAN  JANGAN MAU DONG KAYA BEGITU...>> INI MENUNJUKKAN PIMPINAN KPK BAGIAN DARI CIA..?? ATAU SEKURANG-KURANGNYA... PIMPINAN KPK ITU TAK MALU DAN TAK TAHU HARGA DIRI ATAU TAK MENGERTI DIPERCAYA RAKYAT..>> ANDA TAHUKAN SIAPA CIA ITU...?? ZAMAN BK..DAHULU MEREKA INI ..SANGATLAH DI CEGAH IKUT2AN....NGTUR2 DAN INREVENSI SEMACAM ITU..?? SAYANG DONG PAK SAMAD YANG DIPERCAYA RAKYAT JADI ANTEK2 MEREKA..??>>

Juswan Setyawan
apa urusannya CIA dgn KPK...? kalau BCA mungkin ada urusannya... untuk cek-ricek duit Gayus yg masuk-keluar...
5 jam yang lalu · Suka · 2 orang

Rozanil Imroni
Mungkin ceramah bagaimana CIA menangkap koruptor penting, agar koruptor bisa menghindari penangkapan. Tugas KPK dianggap sukses dan selesai kalau tidak ada lagi koruptor yang tertangkap dan diadili.
5 jam yang lalu · Suka

Antho Massardi
Itu makanya angket pajak dibungkam. Karena ada puluhan perusahaan AS dkk yang ngemplang pajak negara lewat Mafia Pajak RI-AS. Dusta busuk kalau presiden tidak tahu.
4 jam yang lalu · Suka · 2 orang

Kokko Andi
Jadi GELI semakin terungkap saja intelijen China Times mensinyalir bahwa AS kekurangan uang maka cara yg paling ampuh untuk meraup uang adalah mengejar para koruptor kelas kakap diberbagai negara salah satunya yg terjadi di dataran utara af...
Lihat Selengkapnya
4 jam yang lalu · Tidak Suka · 5 orang

Rozanil Imroni
Bagus dong kalau dia serius mengejar koruptor disini. Sekalian aja dikuasai, bagi2 paspor amerika...hahaha...
4 jam yang lalu · Suka

Juswan Setyawan
makanya negara yg mau ngembangkan teknologi nukenya selalu saja dibikin susah agar gak jadi-jadi... tapi uranium di papua dikeduk terus sampai kering kerontang... weleh weleh... SSS - super super ******...
4 jam yang lalu · Suka

Juswan Setyawan
satu paspor dihargai 1 miliar... yg bisa dikuras triliunan... kalau bisa dirampas khan dobel untungnya... SSS - super super ****** yg jadi korbannya.
4 jam yang lalu · Suka

Sukardi Tjik Ani
Bukan ceramahi tapi mengarahkan.....mana yg boleh danmana yg tdk supaya cowboy tdk marah.
4 jam yang lalu · Suka

Roedy L'Ode Rizalullah
Percaya diri bangsa ini sdh sedemikian terpuruknya shg kita sendiri tdk punya nyali dan cenderung menekan diri sendiri utk tdk mencurigai yg kemungkinan adanya intrik2 buruk buat negeri ini dibalik misi kehadiran CIA di KPK.
4 jam yang lalu · Suka

Ki Tanto Ap
Rendah Ilmu sih tdk terlalu wong pada bgelar DOKTOR kok di KPK,tapi kalo rendah HARGA DIRINYA itu hampir semua elite Indonesia, enak jadi bebek ada yg angon, lha kalo kebo diangon sopo yo?
3 jam yang lalu · Suka · 1 orang

Hendra Hermanto Zhang
soalnya negara ini pemimpin negaranya kan bentukan CIA juga... lebih halusnya sebagai abdi dalemnya CIA.
2 jam yang lalu · Suka · 1 orang

Andry Kamba
Direktur FBI Robert S Mueller bukan CIA
sekitar sejam yang lalu · Suka

Jusuf Suta
Ass.Wr.Wb.Itukan sdh diamanatkan oleh Suharto harus mengabdi ke onkel Samnya jika mau laris manis memimpin di Negara Tuyul dan tetap memilihara Freeport sebagai sapi perahannya si onkel. Jangan sekali2 melenceng bisa2 berakhir kaya Suharto.... hehehe.... dan tetap menerimo sambil menahan burung agar tdk terbang, dan tak usah malu2 "Just keep smiling, like the Jendral use to do.., just do it."
Wassalam

1 komentar:

  1. saya AHMAD SANI posisi sekarang di malaysia
    bekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
    setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
    sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
    sempat saya putus asah dan secara kebetulan
    saya buka FB ada seseorng berkomentar
    tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
    melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
    karna di malaysia ada pemasangan
    jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
    saya minta angka sama AKI NAWE
    angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
    terima kasih banyak AKI
    kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
    rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
    bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
    terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
    jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
    tak ada salahnya anda coba
    karna prediksi AKI tidak perna meleset
    saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan










    BalasHapus