KPK dan FBI Kerjasama Berantas Korupsi
oleh KPK - Komisi Pemberantasan Korupsi (Catatan) pada 3 Februari 2009 pukul 16:39
Jakarta,
18 November 2008. https://www.facebook.com/notes/kpk-komisi-pemberantasan-korupsi/kpk-dan-fbi-kerjasama-berantas-korupsi/52731207790
Dalam rangka lebih mengefektifkan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) giat menjalin kerja sama dengan berbagai organisasi, baik dalam maupun luar negeri. Kali ini, KPK menjalin kerja sama Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika Serikat. Penandatanganan nota kesepahaman dilakukan oleh Ketua KPK, Antasari Azhar dan Wakil Direktur FBI, John Pistole pada Selasa, 18 November 2008 di Kantor KPK Jl. HR Rasuna Said Kavling C-1, Kuningan, Jakarta Selatan.
Nota kesepahaman ini dilandasi semangat yang tinggi untuk memperkuat kerja sama antara kedua belah pihak dan berkolaborasi dalam aksi melawan korupsi, baik di Indonesia maupun Amerika Serikat.
Kerja sama KPK dan FBI mencakup, antara lain: saling berbagi dan bertukar informasi dalam kerangka kepentingan bersama; mengembangkan dan mengimplementasikan program-program pemberantasan korupsi, bertukar informasi dan pengalaman seputar penanganan tindak pidana korupsi dengan berbagai modus operandinya; menyelenggarakan pelatihan, kursus, dan pertukaran ahli dalam hal intelejen dan investigasi; serta menyediakan bimbingan teknis dalam berbagai aktivitas operasional.
”Setelah penandatanganan nota kesepahaman ini, FBI dan KPK bagaikan saudara dalam penegakan hukum, terutama dalam perang global melawan korupsi. Saling mendukung dan membantu demi terciptanya tatanan hukum yang berkeadilan di Indonesia dan di Amerika,” ujar Antasari Azhar.
FBI merupakan lembaga penegak hukum Amerika Serikat yang mencantumkan perang terhadap korupsi publik di segala level dan kejahatan kerah putih sebagai salah satu prioritas kerjanya.
Menjalin kerja sama bilateral dan multilateral dalam pemberantasan korupsi merupakan salah satu wewenang KPK sebagai bagian dari tugas pencegahan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi:
Johan Budi SP
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl HR Rasuna Said Kav C-1 Jakarta Selatan
(021) 2557-8300
Konflik politik maupun proses perundingan dan pertempuran dengan Belanda menjadi sebab lembaga intelijen nasional yang ada tidak mampu mewujudkan organisasi yang efektif. Perubahan dari BI kemudian BRANI, hingga Bagian V hanya merupakan pemanis bagi perubahan struktur politik dan konflik yang mengemuka. Alhasil, keberadaan lembaga intelijen nasional ketika itu lebih banyak menjadi kepanjangan tangan dari elit politik.
a. Mengawasi aliran-aliran politik, pergerakan-pergerakan buruh, wanita, pemuda, dan lain-lainnya.
b. Mengawasi aliran agama, ketahayulan, kepercayaan-kepercayaan lain dan lain sebagainya.
c. Mengawasi pendapat umum dalam pers, radio dan masyarakat (pergaulan umum dari segala lapisan masyarakat/rakyat).
d. Mengawasi kebudayaan, pertunjukan-pertunjukan bioskop dan kesusasteraan.
e. Mengawasi pergerakan sosial, yakni soal-soal kemasyarakatan yang timbul karenakurang sempurnanya susunan masyarakat, cara mengerjakan anak-anak dan perempuan, perdagangan anak, pelacuran, pemberantasan pemadatan, perdagangan minuman keras, pemilihan orang-orang terlantar lainnya. Semuanya dilihat dari politik polisionil tekhnis.
f. Mengawasi keadaan ekonomi, soal-soal yang timbul karena kurang sempurnanya susunan ekonomi.
g. Mengawasi bangsa asing, terutama yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa politik di luar negeri yang dapat mempengaruhi masyarakat/bangsa asing di Indonesia.
h. Mengawasi gerak gerik mata-mata musuh, dan pergerakan/tindakan ilegal yang menentang/membahayakan pemerintah.
Kedua, lembaga-lembaga tersebut merumuskan tugas pokok yang relatif umum dibandingkan dengan yang seharusnya.
Setelah percaya diri semua kekuasaan ada dalam genggamannya, maka dibentuklah Badan Pusat Intelijen (BPI) pada 10 November 1959 yang langsung bertanggung jawab kepada dirinya, dan melakukan pembelahan secara ekstrim terhadap lembaga intelijen yang telah ada, dengan mengangkat Subandrio, Menteri Luar Negeri ketika itu untuk memimpin lembaga baru tersebut. Sebagai lembaga yang mengkoordinasikan lembaga intelijen lainnya, BPI menjadi satu alat yang efektif bagi Soekarno untuk menandingi perwira TNI tersebut. Bahkan langkah yang sangat berani dilakukan Subandrio dan BPI atas restu Soekarno membangun kontak yang serius dengan PKI, yang telah menjadi organisasi besar pasca kegagalannya pada Pemberontakan PKI Madiun. Bak simbiosis mutualisme, kerekatan politik keduanya menjadi makin kuat karena Soekarno mencari lawan sepadan untuk menandingi TNI, terutama Angkatan Darat.
a. Mengatur pelaksanaan Security Intelijen.
b. Mengatur pelaksanaan pengumpulan, penyusunan, penilaian dan pengolahan bahan-bahan informasi mengenai persoalan-persoalan dalam masyarakat untuk menentukan kebijaksanaan dalam rangka kepentingan keamanan nasional.
c. Menyelesaikan masalah-masalah tentang persoalan-persoalan dalam masyarakat termasuk dalam point b di atas. Yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah KepolisianKomisariat.
d. Memberi pimpinan dalam penjagaan keselamatan orang-orang penting dan perwakilan kenegaraan dalam kerja sama dengan instansi-instansi yang bersangkutan, yang tidak dapat diselesaikan oleh Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah Kepolisian Komisariat.
Namun demikian, permasalahan yang muncul sebagai akibat dari konflik internal terus mengemuka. Pergantian Soekarno Djojoegoro dari Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) dan Soetarto dari jabatan Kepala Intelijen Kepolisian tidak menyelesaikan masalah. Hal ini terkait keputusan kontroversial dari pemerintah yang menunjuk Soetjipto Danukusumo menjadi pengganti Soekarno Djojoegoro. Sebagaimana diketahui bahwa kepangkatan Soetjipto baru AKBP (setingkat Letnan Kolonel), namun kemudian dinaikkan dengan cepat menjadi Inspektur Jenderal. Naiknya Soetjipto menjadi Pangak menambah riak-riak baru bagi konflik di internal Polri. Selain karena alasan kenaikan pangkat kilat, juga disebabkan karena proses naiknya Soetjipto menjadi Pangak sangat sarat bernuansa politik.
a. Badan Intelijen Keamanan Polri, disingkat Baintelkam adalah unsur
pelaksana utama pusat bidang intelijen keamanan di bawah Polri.
b. Baintelkam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen dalam bidang keamanan bagi kepentingan tugas operasional dan manajemen Polri maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri).
Menlu Amerika John Kerry Siap Bertandang Ke Israel Dan Palestina
Jakarta, 7 Februari 2013 (KATAKAMI.COM) — Sepekan terakhir ini, pastilah menjadi pekan yang paling memusingkan untuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama.
Sebab, dari 3 kandidat pejabat penting yang telah dinominasikannya, baru satu orang saja yang lolos dari “lubang jarum” yaitu John Kerry yang telah dilantik secara resmi menjadi Menteri Luar Negeri.
Baik Partai Demokrat, terutama Partai Republik yang menjadi “lawan politik” Presiden Barack Obama, mayoritas menyetujui dan melapangkan jalan Kerry menuju posisi yang sangat bergengsi sebagai Menteri Luar Negeri.
Senat Komite Hubungan Luar Negeri menyetujui dan memberikan KONFIRMASI bahwa John Kerry lolos uji dan layak menjadi Menlu menggantikan Hillary Clinton.
Kerry mendapat dukungan mayoritas Senat dengan perolehan 94 suara, sementara hanya tiga Senator yang menolaknya di hari Selasa, 29 Januari 2013 lalu.
Ketiga orang yang menolak pencalonan Kerry merupakan Senator dari Partai Republik, yaitu James Inhofe dari Oklahoma, Ted Cruz, dan John Cornyn dari Texas.
Dua pejabat lainnya yang saat ini masih terkatung-katung nasibnya yaitu :
1. Chuck Hagel, calon Menteri Pertahanan Amerika, yang akan menggantikan Leon Panetta.
2. John Brennan, calon Direktur Dinas Rahasia CIA, yang akan menggantikan Pejabat Sementara Direktur CIA Michael J. Morell.
A Cruel and Unusual Record by JIMMY CARTER
http://indonesiakatakami.wordpress.com/2013/02/07/calon-direktur-cia-john-brennan-uji-nyali-di-hadapan-komisi-intelijen-senat/
Pasca Pertemuan Putin-Netanyahu, Perdamaian Suriah Harus Terwujud
Isu Suriah Pertemukan Putin-Netanyahu Di Kota Sochi Rusia
(nrl/nrl)
Dalam rangka lebih mengefektifkan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) giat menjalin kerja sama dengan berbagai organisasi, baik dalam maupun luar negeri. Kali ini, KPK menjalin kerja sama Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika Serikat. Penandatanganan nota kesepahaman dilakukan oleh Ketua KPK, Antasari Azhar dan Wakil Direktur FBI, John Pistole pada Selasa, 18 November 2008 di Kantor KPK Jl. HR Rasuna Said Kavling C-1, Kuningan, Jakarta Selatan.
Nota kesepahaman ini dilandasi semangat yang tinggi untuk memperkuat kerja sama antara kedua belah pihak dan berkolaborasi dalam aksi melawan korupsi, baik di Indonesia maupun Amerika Serikat.
Kerja sama KPK dan FBI mencakup, antara lain: saling berbagi dan bertukar informasi dalam kerangka kepentingan bersama; mengembangkan dan mengimplementasikan program-program pemberantasan korupsi, bertukar informasi dan pengalaman seputar penanganan tindak pidana korupsi dengan berbagai modus operandinya; menyelenggarakan pelatihan, kursus, dan pertukaran ahli dalam hal intelejen dan investigasi; serta menyediakan bimbingan teknis dalam berbagai aktivitas operasional.
”Setelah penandatanganan nota kesepahaman ini, FBI dan KPK bagaikan saudara dalam penegakan hukum, terutama dalam perang global melawan korupsi. Saling mendukung dan membantu demi terciptanya tatanan hukum yang berkeadilan di Indonesia dan di Amerika,” ujar Antasari Azhar.
FBI merupakan lembaga penegak hukum Amerika Serikat yang mencantumkan perang terhadap korupsi publik di segala level dan kejahatan kerah putih sebagai salah satu prioritas kerjanya.
Menjalin kerja sama bilateral dan multilateral dalam pemberantasan korupsi merupakan salah satu wewenang KPK sebagai bagian dari tugas pencegahan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi:
Johan Budi SP
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl HR Rasuna Said Kav C-1 Jakarta Selatan
(021) 2557-8300
Pendahuluan
Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia, masalah penataan kelembagaan menjadi salah satu prioritas bagi transisi demokrasi yang tengah berjalan. Kelembagaan politik yang menjadi satu dari pilar bagi liberalisasi politik pasca kejatuhan Orde Baru membuktikan bahwa hal tersebut tidak mudah. Penataan kelembagaan politik memberikan satu garansi bagi mulusnya proses demokrasi transisional dan reformasi yang diharapkan. Permasalahan yang muncul kemudian adalah setelah delapan tahun reformasi berjalan, belum semua kelembagaan politik dan Negara tertata dan sesuai dengan nilai dan prinsip demokrasi. Salah satunya adalah komunitas intelijen, khususnya lembaga intelijen Negara dan intelijen Polri. Sampai saat ini, ruang lingkup dan batasan-batasan mengenai wilayah kerja dari masing-masing intelejen tersebut belum secara jelas diatur. Bahkan berulang kali, baik lembaga intelijen negara, dalam hal ini Badan Intilejen Negara (BIN), dan intelijen keamanan, yakni Intelkam Polri masih saling tumpang tindih, serta minim koordinasi. Salah satu permasalahan yang kemudian mengemuka adalah langkah menginteli sejumlah aggota parlemen terkait dengan impor beras dari Vietnam. Anggota Intelkam Polda Metro Jaya tersebut ditugaskan mengawasi gerak-gerik dan langkah politik terkait aktifitas para anggota DPR dari F-PDI Perjuangan dan F-PKS dalam mengusut adanya kejanggalan impor beras dari Vietnam. Tentu saja banyak persoalan lain yang kemudian menjadi landasan bagi kita untuk juga menata lembaga intelijen dan komunitas intelijen lainnya agar satu dengan yang lainnya bisa sinergis dan tidak berlawanan dengan nilai dan prinsip demokrasi.
Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia, masalah penataan kelembagaan menjadi salah satu prioritas bagi transisi demokrasi yang tengah berjalan. Kelembagaan politik yang menjadi satu dari pilar bagi liberalisasi politik pasca kejatuhan Orde Baru membuktikan bahwa hal tersebut tidak mudah. Penataan kelembagaan politik memberikan satu garansi bagi mulusnya proses demokrasi transisional dan reformasi yang diharapkan. Permasalahan yang muncul kemudian adalah setelah delapan tahun reformasi berjalan, belum semua kelembagaan politik dan Negara tertata dan sesuai dengan nilai dan prinsip demokrasi. Salah satunya adalah komunitas intelijen, khususnya lembaga intelijen Negara dan intelijen Polri. Sampai saat ini, ruang lingkup dan batasan-batasan mengenai wilayah kerja dari masing-masing intelejen tersebut belum secara jelas diatur. Bahkan berulang kali, baik lembaga intelijen negara, dalam hal ini Badan Intilejen Negara (BIN), dan intelijen keamanan, yakni Intelkam Polri masih saling tumpang tindih, serta minim koordinasi. Salah satu permasalahan yang kemudian mengemuka adalah langkah menginteli sejumlah aggota parlemen terkait dengan impor beras dari Vietnam. Anggota Intelkam Polda Metro Jaya tersebut ditugaskan mengawasi gerak-gerik dan langkah politik terkait aktifitas para anggota DPR dari F-PDI Perjuangan dan F-PKS dalam mengusut adanya kejanggalan impor beras dari Vietnam. Tentu saja banyak persoalan lain yang kemudian menjadi landasan bagi kita untuk juga menata lembaga intelijen dan komunitas intelijen lainnya agar satu dengan yang lainnya bisa sinergis dan tidak berlawanan dengan nilai dan prinsip demokrasi.
Di samping itu, yang tidak kalah menariknya adalah
carut-marutnya koordinasi antar lembaga intelijen, yang berimplikasi
pada kinerja masing-masing lembaga. BIN, yang ditunjuk pemerintah
sebagai lembaga intelijen yang mengkoordinatori semua lembaga dan
komunitas intelijen yang ada juga tidak maksimal dalam memposisikan
perannya. Bahkan terkadang karena merasa menjadi koordinator dari
komunitas intelijen tersebut, kerap kali BIN bertindak superior dan
mem-by pass banyak pekerjaan yang menjadi lahan bagi komunitas intelijen
lainnya.
Ketidakadaan legalitas perundang-undangan menjadi
penegas dari problematika yang dikemukakan di atas. Masing-masing memang
mengantungi legalitas, baik berupa surat keputusan, surat penugasan,
maupun yang setingkat dengan peraturan presiden, namun tidak ada
legalitas yang mengikat satu dengan yang lainnya. Masalah yang muncul
kemudian keberadaan legalitas dari masing-masing komunitas intelejen
tersebut belum sepenuhnya memenuhi asas profesionalisme dan
pengorganisassian lembaga demokratik lainnya. Yang muncul justru terjadi
banyak silang cemarut pekerjaan intelijen yang menjadi kontra produktif
bagi penataan kelembagaan demokratik.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tulisan ini
akan membahas mengenai BIN dan Intelkam Polri, dilihat dari sejarah
pembentukannya kedua organisasi tersebut. Di samping itu, akan juga
dibahas lintasan intelijen negara dan Polri dari persfektif kepemimpinan
politik di Indonesia, serta bagaimana langkah-langkah yang harus
dilakukan agar efektifitas lembaga intelijen dan komunitasnya tersebut
dapat terkoordinasi dengan baik.
Intelijen Dalam Kilasan Sejarah
”Intelejen ada seumur dengan keberadaan manusia”. Idiom ini menjadi satu pembenaran bagi banyak lembaga intelijen untuk menegaskan keberadaannya. Intelijen tidak hanya dibutuhkan oleh negara-negara yang secara definitif sudah merdeka, tapi juga badan-badan perjuangan kemerdekaan seperti Ireland Republic Army (IRA) di Irlandia Utara, Pathani Union Liberation Organisastion (PULO) di Thailand Selatan, Macan Tamil di Srilangka, lain sebagainya. Badan-badan perjuangan kemerdekaan tersebut memiliki juga fungsi-fungsi keintelijenan untuk menopang keberhasilan perjuangannya.
”Intelejen ada seumur dengan keberadaan manusia”. Idiom ini menjadi satu pembenaran bagi banyak lembaga intelijen untuk menegaskan keberadaannya. Intelijen tidak hanya dibutuhkan oleh negara-negara yang secara definitif sudah merdeka, tapi juga badan-badan perjuangan kemerdekaan seperti Ireland Republic Army (IRA) di Irlandia Utara, Pathani Union Liberation Organisastion (PULO) di Thailand Selatan, Macan Tamil di Srilangka, lain sebagainya. Badan-badan perjuangan kemerdekaan tersebut memiliki juga fungsi-fungsi keintelijenan untuk menopang keberhasilan perjuangannya.
Dalam konteks Indonesia, misalnya masa kerajaan
nusantara ada dikenal dengan Telik Sandi, yang menjadi mata-mata
kerajaan untuk mengawasi kerajaan lainnya. Pada masa penjajahan Belanda,
Pemerintah Kolonial melihat bahwa potensi ancaman dari gerakan politik
makin besar pasca pendirian Budi Utomo, maka fungsi intelijen masuk ke
dalam Dinas Reserse Umum, yang juga baru dibentuk tahun 1920-an,
terpisah dari Dinas Polisi Umum sebagai induknya. Menariknya,
pembentukan Dinas Reserse Umum tersebut sangat sarat dengan kegiatan
memata-matai kegiatan politik, dari pada kegiatan kriminal lainnya. Tak
heran, karena pasca pembentukan Budi Utomo, lahir kemudian organisasi
pergerakan bumi putera yang lebih terorganisir dan modern, serta lebih
radikal. Tercatat beberapa organisasi yang lebih terorganisir dan
radikal Sarekat Islam (SI), PKI, PNI, PNI Pendidikan, dan lain-lain.
Bahkan proses penangannya langsung dipegang oleh para pejabat dan
pelaksana di dinas tersebut, hal ini menandakan bahwa pergerakan
nasional anak negeri menjadi satu target dari kerja dan fungsi intelijen
ketika itu.
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, peran dan fungsi
keintelijenan berubah. Menariknya, Pemerintah Pendudukan Jepang di
Indonesia membangun fungsi keintelijenan tidak menyatu dengan
Pemerintahan Militer. Pemerintahan Penjajahan Jepang mengembangkan
fungsi kepolisian, yang berorientasi pada pembangunan keamanan dalam
negeri (Kamdagri) yang lebih menitikberatkan pada kegiatan preventif.
Hanya saja dalam pelaksanaannya pendekatan militeristik justru lebih
mengemuka dari pada pendekatan khas kepolisian. Hal ini terlihat dari
upaya yang sangat keras dalam pemberantasan kegiatan politik, serta
anasir-anasir lainnya yang menentang pemerintahan dan kebijakannya.
Pendekatan kekerasan menjadi citra Kempetai dan Tokko-koto (Bagian
Spesial) , yang mengemban fungsi keintelijenan dalam struktur
Pemerintahan Pendudukan Jepang. Upaya pengungkapan dan pemeriksaan di
arahkan selalu pada pertanyaan upaya pergerakan politik melawan Jepang.
Salah satu tokoh pergerakan nasional yang ditahan Kempetai dan
Tokko-koto adalah Amir Sjarifuddin, mantan perdana menteri kedua setelah
Sjahrir, dan tokoh dibalik pemberontakan PKI Madiun 1948 bersama Muso.
Satu hal yang menarik dari Kempetai dan Tokko-koto
ini adalah pengembangan manajemen krisis dan perencanaan darurat
(contengency plan) bagi internal kedua lembaga tersebut. Bentuk
manajemen krisis dan perencanaan darurat dalam bentuk pembelajaran
tekhnik keintelijenan juga menjadi satu bagian yang wajib diikuti oleh
semua pegawai dan anggotanya. Pegawai dan perwira diberikan pelatihan
khusus tentang taktik dan strategi provokasi, infiltrasi, sabotase, dan
taktik perang bawah tanah. Karena turunan dari pelatihan tersebut,
adalah semua pegawai di dua lembaga tersebut wajib menyebarkan
propaganda dan mendorong agar penduduk pada masa penjahan Jepang harus
ikut memberantas semua aktivitas yang merugikan Pemerintahan Pendudukan
Jepang. Salah satu yang mendapatkan pelatihan tersebut adalah Zulkifli
Lubis, dan R. Moch. Oemargatab, keduanya merupakan pencetus dan pemimpin
pertama lembaga intelejen negara, yang ketika itu bernama Badan
Istimewa, sebagai cikal bakal Badan Intelejen Negara (BIN) dan
Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), sebagai organisasi keintelijenan
polisi pertama, yang sekarang dikenal dengan Intelpam Polri.
Pada masa perjuangan kemerdekaan aktivitas
keintelijenan di badan-badan perjuangan juga marak dan aktif , metode
telik sandi, yang digunakan dalam proses pengintaian juga digunakan
untuk mengawasi dan memata-matai aktivitas Belanda dan Jepang ketika
itu. Hanya saja polanya lebih sederhana, dengan memanfaatkan masyarakat
umum yang bersimpati bagi perjuangan kemerdekaan. Meski juga tak menutup
kemungkinan fungsi keinteliejenan diemban oleh anggota laskar
perjuangan dan tentara nasional, tapi bila ditelusuri lebih mendalam,
penggunaan masyarakat umum sebagai mata dan telinga laskar perjuangan
dan tentara nasional lebih efektif ketimbang dari anggota laskar atau
tentara nasional itu sendiri. Hal ini terkait dengan kebutuhan informasi
bagi perjuangan kemerdekaan yang masih terbatas pada numerik dan
informasi ringan. Sehingga fungsi tersebut tidak sulit dilakukan oleh
masyarakat umum sekalipun.
Akan tetapi kebutuhan informasi yang makin kompleks,
membuat tugas-tugas keintelijenan harus pula terstruktur dan
mengedepankan pola-pola kontra intelejen lainnya. Dengan memanfaatkan
pendidikan dan latihan yang diberikan oleh Jepang pada organisasi
Pembela Tanah Air (PETA). Apalagi pasca Jepang kalah dalam Perang
Pasifik, Belanda dan tentara Sekutu berusaha kembali masuk ke Indonesia
dan menguasai. Dalam situasi tersebut sebenarnya peran dari intelijen
terstruktur dan modern menjadi penting. Berbekal pelatihan dan
keterampilan yang didapat sewaktu di PETA dan Kempetai, Zulkifli Lubis
kemudian berinisiatif membentuk Badan Istimewa (BI), pada September
1945. dengan organisasi yang sederhana, dan bekal keterampilan intelijen
yang minim, BI harus memposisikan diri sebagai badan intelijen yang
menopang keajegan republik, yang baru merdeka. Keterbatasan ini makin
kentara ketika cakupan wilayah operasi BI hanya terbatas pada Pulau Jawa
saja. Kecenderungan dan melekatnya BI sebagai intelijen tempur makin
kentara ketika banyak dari jaringan intelejen yang dimiliki masih
memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di banyak wilayah. Meski
harus diakui bahwa produk intelijen yang dihasilkan terbatas pada
deteksi dini dan kontra intelijen, namun telah dimanfaatkan benar oleh
Perdana Menteri Sjahrir melalui Menteri Pertahanan. Artinya secara
prinsip, produk yang dihasilkan relatif digunakan untuk penegas
kebijakan yang akan dan telah dibuat. Meski kurang optimal, BI relatif
mampu menjalankan fungsi intelejen modern. tumpang-tindih antara BI
dengan kepentingan tentara pada saat itu lebih disebabkan oleh ancaman
yang dihadapi oleh republik ini.
Sehingga sangat sulit membedakan mana intelijen
nasional, mana intelijen tempur, karena sama-sama berasal dari unsur TNI
juga. Masalah yang kemudian mengekor adalah lemahnya efektifitas
kontrol dan kendali BI oleh pemerintah. Menariknya, pemberian otoritas
dan semua surat-surat tugas bagi kelancaran tugas-tugas keintelijenan,
Soekarno tidak memiliki kendali atas BI. Bahkan secara prinsip,
keberadaan BI justru makin memperkeruh hubungan yang kurang harmonis
antara Soekarno dengan Sjahrir, yang mengemuka karena alasan-alasan
personal yang tidak substansi. Alhasil efektifitas kerja, dan koordinasi
menjadi permasalahan bagi BI untuk dapat memposisikan diri sebagai
organisasi intelijen.
BI dianggap sebagai lembaga intelijen yang kurang
layak, selain masalah kinerja dan koordinasi yang buruk. BI menjadi
bagian dari konflik yang membesar antara Soekarno dan Sjahrir. Sehingga
perlu dilakukan perubahan bentuk, agar mampu memenuhi kebutuhan
pemerintahan Perdana Menteri Sjahrir dan Presiden Soekarno-Hatta
terhadap perumusan kebijakan politik yang jitu. Konflik antara Soekarno
dan Sjahrir, serta ketidaksukaan tentara terhadap performa Kabinet
Sjahrir, yang cenderung anti militer menjadi landasan perubahan BI
menjadi Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI). BRANI dibentuk pada 7
Mei 1946, dan diharapkan menjadi lembaga intelijen payung yang membawahi
berbagai organisasi intelijen di tingkat satuan militer. Langkah
tersebut guna mengantisipasi kemungkinan Aksi Polisionil Belanda yang
menguat pasca kekalahan Jepang. BRANI ini masih di bawah kendali
Zulkifli Lubis, perwira didikan PETA Jepang ini masih berharap agar
BRANI menjadi organisasi yang kuat, dan di bawah kontrol militer. Akan
tetapi, seperti diulas di atas, keberadaan BRANI justru makin
memperbesar konflik, yang bermuara pada strategi pergerakan militer,
apakah memilih melawan setiap upaya Belanda dan Sekutunya yang ingin
masuk ke Indonesia, atau mengupayakan diplomasi gaya Sjahrir, yang
dianggap mampu meredam upaya Belanda menduduki lagi Indonesia. Besaran
konflik ini juga melibatkan permasalahan pribadi antara Soekarno dan
Sjahrir.
Ketidaksukaan Kabinet Sjahrir atas dominasi tentara
di struktur BRANI, kemudian melahirkan dualisme lembaga intelijen. Amir
Sjarifuddin, yang menjadi Menteri Pertahanan kemudian mengambil
inisiatif membentuk lembaga baru yang murni sipil, guna menandingi
keberadaan BRANI. Lembaga intelejen baru tersebut bernama Lembaga
Pertahanan B. Menariknya, upaya memposisikan BRANI sebagai lembaga
intelejen yang terbebas dari dominasi militer, adalah dengan merekrut
banyak mantan laskar, serta kalangan sipil yang cakap untuk duduk di
dalam lembaga intelijen tersebut. Langkah ini didukung oleh Soekarno,
meski keberadaan Lembaga Pertahanan B juga merupakan antitesis dari
dominasi militer di BRANI, namun bisa dikatakan terlambat. Sebab
kalangan militer sudah mencium gelagat tersebut, kalangan militer masih
menginginkan dominasinya pada lembaga intelijen nasional tersebut. Upaya
pendekatan dan lobi yang kuat militer ke Soekarno membuahkan hasil,
dengan restu politik dari Soekarno, pada akhirnya BRANI dibubarkan dan
diganti dengan Bagian V, di bawah Departemen Pertahanan yang menjadi
koordinator dari operasi intelijen nasional. Pendirian Bagian V ini
masih belum memuaskan kalangan militer, karena masih didominasi kalangan
sipil, yang mengontrol lembaga tersebut di bawah Departemen
Pertahanan, yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin, yang merupakan salah
satu elit politik dari Sayap Kiri, sebuah koalisi organisasi dan partai
politik kiri, di antaranya Partai Rakyat Sosialis (Paras), Partai
Sosialis Indonesia (Parsi), dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Hal
yang perlu dicatat di sini adalah sejak awal pemerintahan Perdana
Menteri Sjahrir berkuasa, kalangan militer tidak menyukai gaya
kepemimpinan Sjahrir yang kebarat-baratan, serta inskonstitusional,
karena sistem parlementer yang dijalankan oleh Sjahrir tidak sesuai
dengan UUD 1945, yang mengamanatkan sistem presidensial. Sementara
kelompok Kiri, yang sejak proklamasi sudah menolak dominasi tentara,
yang sebagian besar didikan Jepang, hanya sedikit perwira yang didikan
Belanda, antara lain Nasution, T.B. Simatupang, dan Urip Sumohardjo.
Sjahrir beranggapan bahwa para perwira didikan Jepang tersebut tidak
cukup memiliki keterampilan tempur, dan cenderung fasis.
Satu dari sekian peristiwa politik yang juga menjadi
batu sandungan bagi eksistensi lembaga intelijen adalah adanya
konspirasi kalangan militer dan oposisi sipil yang menculik Perdana
Menteri Sjahrir, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946.
Dalam pandangan Anderson, penculikan tersebut merupakan kegagalan
kabinet Sjahrir untuk mengontrol tentara di bawah kendalinya. Proses
penculikan tersebut disinyalir melibatkan intelijen Bagian V, yang
mengambil inisiatif dalam kebuntuan politik atas permasalahan kebangsaan
ketika itu.
Konflik politik maupun proses perundingan dan pertempuran dengan Belanda menjadi sebab lembaga intelijen nasional yang ada tidak mampu mewujudkan organisasi yang efektif. Perubahan dari BI kemudian BRANI, hingga Bagian V hanya merupakan pemanis bagi perubahan struktur politik dan konflik yang mengemuka. Alhasil, keberadaan lembaga intelijen nasional ketika itu lebih banyak menjadi kepanjangan tangan dari elit politik.
Sementara lembaga intelijen di Kepolisian juga
didirikan, pasca terbentuknya Djawatan Kepolisian Negara (DKN) pada 19
Agustus 1945, yang ditetapkan oleh Panitian Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Penetapan RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala
Kepolisian Nasional (KKN), yang berada di bawah kendali Departemen Dalam
Negeri. Lahirnya Maklumat X tanggal 3 November 1945 yang membebaskan
masyarakat untuk membentuk organisasi dan partai politik, menjadi titik
awal intelejen Kepolisian berdiri. Lonjakan aspirasi dan kepentingan
masyarakat diasumsikan akan membangun situasi yang tidak kondusif bagi
penegakan keamanan dalam negeri, yang menjadi tugas dari DKN. Apalagi di
saat yang sama lembaga dan departemen, serta kantor kementerian juga
membentuk berbagai pasukan perjuangan yang melakukan penyelidikan, dan
melakukan fungsi intelijen.
Hal ini sangat mengganggu pola pengamanan dan
menjalankan fungsi intelijen yabg lebih sistematis dan terukur. Sehingga
pada awal tahun 1946, dibentuklah kekuatan intelijen yang mampu
mengatasi gangguan keamanan yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat.
Fungsi intelejen Kepolisian ini diberi nama Pengawasan Aliran Masyarakat
(PAM), pimpinan R. Moch. Oemargatab. Tugas pokok dari PAM ini memang
lebih spesifik pada pengawasan aktivitas masyarakat dibandingkan Badan
Istimewa (BI) pimpinan Zulkifli Lubis yang lebih mengarah kepada
dinamika politik dan pengembangan kontra intelijen terhadap Belanda dan
Sekutunya.
Seiring dengan perjalanan waktu, DKN kemudian
dikeluarkan dari lingkungan Departemen Dalam Negeri, dengan
diterbitkannya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, 1 Juli 1946
dan langsung di bawah Perdana Menteri. Perubahan ini juga berimplikasi
pada keberadaan PAM, sebagai satuan intelijen di Kepolisian, yang
mengalami pemekaran tugas pokok dari yang sangat umum menjadi lebih
khusus. Pada PAM sebelum terbitnya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun
1946, tugas pokoknya sebagai berikut:
”Mengawasi semua aliran dan memusatkan segala
minatnya kepada hajat-hajat dan tujuan-tujuan dari seseorang atau
golongan penduduk yang ada atau timbul di daerah Republik Indonesia atau
yang datang dari luar, yang dianggap dapat membahayakan kesentausaan
Negara Indonesia dan sebaliknya membantu hajat dan cita-cita seseorang
atau golongan penduduk yang bermaksud menyentausakan negara dan keamanan
Republik Indonesia serta tugas riset dan analisis lainnya”
Sedangkan tugas pokok PAM setelah terbitnya penetapan
pemerintah, justru makin memperluas cakupan tugas pokok, dengan
terbitnya Surat Kepala Kepolisian Negara (KKN) No: Pol. 68/Staf/PAM
tanggal 22 September 1949, yang isinya sebagai berikut:
b. Mengawasi aliran agama, ketahayulan, kepercayaan-kepercayaan lain dan lain sebagainya.
c. Mengawasi pendapat umum dalam pers, radio dan masyarakat (pergaulan umum dari segala lapisan masyarakat/rakyat).
d. Mengawasi kebudayaan, pertunjukan-pertunjukan bioskop dan kesusasteraan.
e. Mengawasi pergerakan sosial, yakni soal-soal kemasyarakatan yang timbul karenakurang sempurnanya susunan masyarakat, cara mengerjakan anak-anak dan perempuan, perdagangan anak, pelacuran, pemberantasan pemadatan, perdagangan minuman keras, pemilihan orang-orang terlantar lainnya. Semuanya dilihat dari politik polisionil tekhnis.
f. Mengawasi keadaan ekonomi, soal-soal yang timbul karena kurang sempurnanya susunan ekonomi.
g. Mengawasi bangsa asing, terutama yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa politik di luar negeri yang dapat mempengaruhi masyarakat/bangsa asing di Indonesia.
h. Mengawasi gerak gerik mata-mata musuh, dan pergerakan/tindakan ilegal yang menentang/membahayakan pemerintah.
Dan bila disimpulkan dari uraian tersebut, maka tugas
bagian PAM adalah: Menjalankan kontra intelijen dan kontra spionase
demi keamanan nasional serta melaksanakan riset dan analisis untuk
kepentingan pimpinan c.q. Perdana Menteri dalam menentukan kebijakan
politik polisional. Dengan gambaran proses kelahiran kedua lembaga
intelijen tersebut di atas, maka sejatinya ada benang merah yang sama
perihal latar belakang dan situasi serta kondisi yang dihadapi oleh
lembaga intelijen negara dan Kepolisian. Adapun persamaannya terletak
pada empat hal. Pertama, lembaga intelijen negara dan intelijen
Kepolisian memiliki latar belakang pembentukan yang terkondisikan oleh
situasi yang kurang kondusif bagi penataan bentuk organisasi intelijen
yang ideal. Sehingga tampak sekali kedua lembaga tersebut mengadopsi
banyak hal dari prilaku kelembagaan yang ditinggalkan oleh Belanda dan
Jepang. Indikatornya adalah melakukan generalisir pada tugas pokok dari
masing-masing lembaga, serta menonjolkan metode pendekatan verbal dan
kekerasan dalam melakukan penyelidikan dan pengawasan.
Kedua, lembaga-lembaga tersebut merumuskan tugas pokok yang relatif umum dibandingkan dengan yang seharusnya.
Sehingga beberapa kali terjadi kesalahpahaman satu
dengan yang lain ketika beroperasi di lapangan, karena ketidakadaan
batasan wilayah kerja satu dengan yang lainnya. Salah satu contohnya
adalah pada operasi kontra intelijen terhadap propaganda Pemberontakan
PKI Madiun, 1948. di mana masing-masing melakukan upaya untuk mengambil
hati masyarakat Madiun untuk memilih Soekarno-Hatta dari pada Muso-Amir
Sjarifuddin. Ketiga, lembaga-lembaga tersebut dibentuk dari semangat
untuk mempertahankan kemerdekaan dan republik. Sehingga ketika didirikan
cenderung mengedepankan semangat dari pada keterampilan intelijen.
Kondisi tersebut mengarah kepada kekurangmampuan dalam menindaklanjuti
setiap permasalahan yang ada. Bahkan semangat itu pula yang menegaskan
pentingnya keberadaan intelijen dalam pemerintahan republik. Keempat,
karena tidak ada legalitas yang dapat dijadikan acuan perihal keberadaan
lembaga intelijen dan koordinasinya, maka gambaran kerja yang dibuat
banyak mengadopsi pola dan gaya dari Kempetai dan Tokko-toko, serta
polisi rahasia Pemerintahan Kolonial Belanda, yang mencakup seluruh
permasalahan yang mengancam eksistensi pemerintahan.
Otoritas Negara
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda, dan bubarnya Republik Indonesia Serikat, lembaga intelijen sudah mulai mampu melakukan akselerasi pada tugas pokok yang diembannya. Hal ini terkait dengan berbagai manuver dari elit politik yang memandang lembaga intelijen sebagai lembaga strategis bagi kekuasaan politiknya. Pada lembaga intelijen Kepolisian ada perubahan yang signifikan pada diubahnya nama Bagian PAM menjadi Bagian Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN). Perubahan ini berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah No. Pol: 4/2/28/UM, tertanggal 13 Maret 1951, agar DPKN juga melakukan penjagaan terhadap keselamatan pribadi Presiden dan Wakil Presiden, serta pejabat tinggi negara. Di samping itu juga melakukan penjagaan terhadap tamu negara dan perwakilan asing. Sementara itu di lembaba intelejen negara juga terjadi penegasan adanya intelejen tempur, yakni dengan didirikannya lembaga intelejen dari ketentaraan yang bernama Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP), lembaga intelejen ini merupakan bentukan baru atas inisiatif T.B Simatupang yang menganggap perlunya keikutsertaan militer dalam kebijakan politik nasional. Simatupang merupakan perwira yang memimpin Kepala Staf Angkatan Perang dari garis Kadet Belanda yang bersinar bersama Nasution. Langkah ini sebenarnya mengundang permasalahan kala terjadi konflik antara Soekarno dengan militer yang melibatkan juga Zulkifli Lubis, dan sejumlah perwira senior dalam Peristiwa 17 Oktober 1952. keberadaan BISAP memang diasumsikan untuk dapat memberikan satu masukan bagi perwira dan komandan di militer perihal dinamika politik yang terjadi.
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda, dan bubarnya Republik Indonesia Serikat, lembaga intelijen sudah mulai mampu melakukan akselerasi pada tugas pokok yang diembannya. Hal ini terkait dengan berbagai manuver dari elit politik yang memandang lembaga intelijen sebagai lembaga strategis bagi kekuasaan politiknya. Pada lembaga intelijen Kepolisian ada perubahan yang signifikan pada diubahnya nama Bagian PAM menjadi Bagian Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN). Perubahan ini berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah No. Pol: 4/2/28/UM, tertanggal 13 Maret 1951, agar DPKN juga melakukan penjagaan terhadap keselamatan pribadi Presiden dan Wakil Presiden, serta pejabat tinggi negara. Di samping itu juga melakukan penjagaan terhadap tamu negara dan perwakilan asing. Sementara itu di lembaba intelejen negara juga terjadi penegasan adanya intelejen tempur, yakni dengan didirikannya lembaga intelejen dari ketentaraan yang bernama Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP), lembaga intelejen ini merupakan bentukan baru atas inisiatif T.B Simatupang yang menganggap perlunya keikutsertaan militer dalam kebijakan politik nasional. Simatupang merupakan perwira yang memimpin Kepala Staf Angkatan Perang dari garis Kadet Belanda yang bersinar bersama Nasution. Langkah ini sebenarnya mengundang permasalahan kala terjadi konflik antara Soekarno dengan militer yang melibatkan juga Zulkifli Lubis, dan sejumlah perwira senior dalam Peristiwa 17 Oktober 1952. keberadaan BISAP memang diasumsikan untuk dapat memberikan satu masukan bagi perwira dan komandan di militer perihal dinamika politik yang terjadi.
Hanya saja, BISAP secara langsung maupun tidak
langsung terlibat dalam penggalangan massa untuk demonstrasi menentang
campur tangan eksekutif dalam konflik di TNI di depan Istana, serta
pengarahan meriam ke Istana. Di sinilah kemudian patut dipertanyakan
efektifitas BISAP sebagai intelijen tempur. Hanya saja perdebatan campur
tangan Soekarno dan kalangan sipil dalam regenerasi dan penataan
kelembagaan militer terasa kental. Sehingga langkah untuk mengarahkan
meriam ke Istana Negara, dan unjuk rasa yang digalang militer dan BISAP
menjadi satu penegasan bahwa sebagai institusi, TNI ingin menata dirinya
sendiri.
Konflik antara Soekarno dan TNI perihal ketidaknetralannya dalam konflik internal TNI menjadi catatan sejarah keberadaan intelejen militer lainnya. Setidaknya hal ini dapat terlihat pada pecahnya konsolidasi internal TNI. Selain masalah eks PETA ataupun Kadet Belanda, yang mengemuka juga adalah sentimen Jawa dan non-Jawa. Berbagai pemberontakan pasca Pemberontakan PKI Madiun 1948 silih berganti menyibukkan TNI dan BISAP untuk melakukan pemadaman, serta langkah-langkah yang strategis lainnya. Bukan hanya itu pasang surut hubungan Soekarno dan TNI juga mempengaruhi akselerasi kinerja Bagian V dan BISAP sendiri. Sebagaimana diketahui posisi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai Menteri Pertahanan juga ikut terlibat dalam konflik tarik menarik kepentingan tersebut.
Konflik antara Soekarno dan TNI perihal ketidaknetralannya dalam konflik internal TNI menjadi catatan sejarah keberadaan intelejen militer lainnya. Setidaknya hal ini dapat terlihat pada pecahnya konsolidasi internal TNI. Selain masalah eks PETA ataupun Kadet Belanda, yang mengemuka juga adalah sentimen Jawa dan non-Jawa. Berbagai pemberontakan pasca Pemberontakan PKI Madiun 1948 silih berganti menyibukkan TNI dan BISAP untuk melakukan pemadaman, serta langkah-langkah yang strategis lainnya. Bukan hanya itu pasang surut hubungan Soekarno dan TNI juga mempengaruhi akselerasi kinerja Bagian V dan BISAP sendiri. Sebagaimana diketahui posisi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai Menteri Pertahanan juga ikut terlibat dalam konflik tarik menarik kepentingan tersebut.
Di sisi lain, Soekarno membutuhkan lembaga intelijen
yang dapat dikontrol dirinya. Selama ini bahkan kontrol atas Bagian V
dan BISAP sendiri hanya berhenti di Menteri Pertahanan ataupun Perdana
Menteri. Dirinya yang memposisikan Kepala Negara, menjadi sekedar simbol
belaka. Sehingga upaya untuk mendorong pembentukan lembaga intelejen
baru yang dapat mengkoordinasikan lembaga intelijen lainnya, dan yang
benar-benar lepas dari pengaruh militer perlu dilakukan. Awalnya
dibentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI) pasca Dekrit Presiden 5 Juli
1959, namun langkah tersebut menemui kegagalan. Hal ini disebabkan
karena kesulitan dalam melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen
militer. Harus diakui sejak Indonesia merdeka, kontrol lembaga intelijen
memang di dalam genggaman tentara, baik yang langsung, seperti BISAP,
maupun yang berada di bawah Departemen Pertahanan.
Setelah percaya diri semua kekuasaan ada dalam genggamannya, maka dibentuklah Badan Pusat Intelijen (BPI) pada 10 November 1959 yang langsung bertanggung jawab kepada dirinya, dan melakukan pembelahan secara ekstrim terhadap lembaga intelijen yang telah ada, dengan mengangkat Subandrio, Menteri Luar Negeri ketika itu untuk memimpin lembaga baru tersebut. Sebagai lembaga yang mengkoordinasikan lembaga intelijen lainnya, BPI menjadi satu alat yang efektif bagi Soekarno untuk menandingi perwira TNI tersebut. Bahkan langkah yang sangat berani dilakukan Subandrio dan BPI atas restu Soekarno membangun kontak yang serius dengan PKI, yang telah menjadi organisasi besar pasca kegagalannya pada Pemberontakan PKI Madiun. Bak simbiosis mutualisme, kerekatan politik keduanya menjadi makin kuat karena Soekarno mencari lawan sepadan untuk menandingi TNI, terutama Angkatan Darat.
Sejak saat itulah dimulai konsolidasi politik antara
Soekarno, Subandrio, dan Aidit untuk bersama-sama melawan hegemoni
tentara, khususnya Angkatan Darat. Berbagai aksi kontra intelijen dan
kontra teror, tidak hanya dilakukan di luar negeri dan yang mengancam
eksistensi bangsa, tapi juga antar lembaga intelijen lainnya. Puncak
’pertempuran’ antar BPI dengan intelijen militer sebenarnya terjadi saat
eskalasi konflik antara tentara dengan simpatisan, anggota dan kader
PKI yang di back up BPI , baik langsung maupun tidak langsung meninggi
antara tahun 1962 hingga kejatuhan Soekarno. Infiltrasi ke tubuh PKI
juga dilakukan, baik oleh intelijen militer maupun BPI. Hal ini
mengingatkan konflik dan persaingan antara intel berlatar belakang
tentara dan intel yang berlatar belakang sipil, yang banyak berasal dari
kelompok Kiri pada awal pembentukan lembaga intelijen.
Dalam perjalanan waktu, secara realitas bisa
dikatakan bahwa intelijen militer lebih ampuh dibanding dengan BPI yang
terkesan elitis dan menciptakan budaya Asal Bung Karno Senang (ABS).
Sehingga olahan dan data intelijen yang masuk memiliki tingkat kebenaran
yang kurang valid. Sementara intelijen militer memanfaatkan jaringan
CIA agar didukung oleh Amerika untuk menjatuhkan Soekarno. Langkah ini
digarap secara serius pasca Pemberontakan PKI Madiun, namun kemudian
lebih intensif lagi pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. salah satu
indikatornya adalah garapan intelijen militer dengan merekrut mahasiswa
menjadi ’dinamisator’ untuk menolak dan menandingi gerakan massa yang
dikoordinir oleh Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi
payung PKI, serta Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI),
organisasi payung PNI ASU. Salah satu mahasiswa binaan dari intelijen
militer adalah Suripto, dan Nugroho Notosusanto.
Sementara itu, seiring dengan dikeluarkannya Dekrit
Presiden, DPKN sebagai intelijen Kepolisian juga melakukan metamorfosis
dengan nama Korps Polisi Dinas Security (Korpolsec). Pergantian nama ini
lebih banyak terkondisikan karena tantangan dan ancaman yang lebih
konpleks, disertai ledakan jumlah penduduk yang membuat rasio polisi dan
penduduk makin tidak ideal. Korpolsec dilandasi dengan terbitnya Order
Menteri/Kepala Kepolisian Negara No: 37/4/1960, tertanggal 24 Juni 1960,
dengan rincian pokok kerja sebagai berikut:
b. Mengatur pelaksanaan pengumpulan, penyusunan, penilaian dan pengolahan bahan-bahan informasi mengenai persoalan-persoalan dalam masyarakat untuk menentukan kebijaksanaan dalam rangka kepentingan keamanan nasional.
c. Menyelesaikan masalah-masalah tentang persoalan-persoalan dalam masyarakat termasuk dalam point b di atas. Yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah KepolisianKomisariat.
d. Memberi pimpinan dalam penjagaan keselamatan orang-orang penting dan perwakilan kenegaraan dalam kerja sama dengan instansi-instansi yang bersangkutan, yang tidak dapat diselesaikan oleh Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah Kepolisian Komisariat.
Seiring dengan proses perbaikan yang terjadi di
internal intelijen Kepolisian, pucuk pimpinan beralih dari R. Oemargatab
ke M. Soekardjo. Pergantian ini juga bernuansa sangat politis.
Pergantian tersebut sejalan dengan pergantian Kepala Kepolisian
Nasional, dari RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo ke Soekarno Djojoegoro, yang
merupakan pilihan Soekarno. Soekanto diganti karena menolak gagasan
Presiden Soekarno untuk mengintegrasikan Kepolisian Nasional dengan
Angkatan Perang. Langkah ini juga mengganggu tingkat konsolidasi di
lembaga intelijen Kepolisian. Soekarno Djojoegoro cenderung sangat
politis dalam melihat hal yang ada di Kepolisian. Tak heran karena sosok
Ketua Polisi Nasional kedua tersebut dekat dengan Presiden Soekarno.
Langkah yang dilakukannya adalah memasukkan Soetarto menjabat ketua
Intelejenan Kepolisian menggantikan M. Soekardjo, yang baru seumur
jagung menggantikan Oemargatab.
Namun demikian, permasalahan yang muncul sebagai akibat dari konflik internal terus mengemuka. Pergantian Soekarno Djojoegoro dari Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) dan Soetarto dari jabatan Kepala Intelijen Kepolisian tidak menyelesaikan masalah. Hal ini terkait keputusan kontroversial dari pemerintah yang menunjuk Soetjipto Danukusumo menjadi pengganti Soekarno Djojoegoro. Sebagaimana diketahui bahwa kepangkatan Soetjipto baru AKBP (setingkat Letnan Kolonel), namun kemudian dinaikkan dengan cepat menjadi Inspektur Jenderal. Naiknya Soetjipto menjadi Pangak menambah riak-riak baru bagi konflik di internal Polri. Selain karena alasan kenaikan pangkat kilat, juga disebabkan karena proses naiknya Soetjipto menjadi Pangak sangat sarat bernuansa politik.
Akan tetapi secara kasat mata, proses tersebut juga
memiliki implikasi bagi pembenahan internal Kepolisian, meski tidak lama
menjabat, Soetjipto telah membersihkan unsur politik dari Korpolsec,
dengan memindahkan Soetarto ke BPI, dan menjadi orang kedua setelah
Soebandrio. Kepindahan Soetarto ke BPI memberikan angin segar bagi
perbaikan kinerja Korpolsec, yang kemudian berganti lagi menjadi Korps
Intelejen dan Security, dan kemudian berubah lagi menjadi Direktorat
Intelijen dan Security hingga berakhirnya kekuasaan Orde Lama. Pasca
Soetarto memimpin lembaga tersebut, sesungguhnya lembaga intelijen
Kepolisian mulai dipimpin oleh perwira didikan PAM, sebut saja
Soemartono, Poerwata, dan Soetomo. Tiga orang ini berturut-turut saling
menggantikan hingga kejatuhan Presiden Soekarno dan Orde Lama-nya dari
tapuk pemerintahan. Satu produk perundang-undangan terakhir di masa
Presiden Soekarno, untuk menegaskan tugas pokok Direktorat Intelijen dan
Security Departemen Angkatan Kepolisian adalah terbitnya Surat
Keputusan No. Pol: 11/SK/MK/1964, tanggal 14 Feberuari 1964, yang berisi
sebagai berikut:
1. Tugas Umum: Menciptakan ketertiban dan ketentraman lahir dan
bathin untuk menuju masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, tata
tentrem kerta raharja, serta mengamankan/menyelamatkan dan aktif
merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, sesuai dengan kerangka Tujuan
Revolusi Nasional.
2. Tugas Khusus: Menjalankan tugas yang bersifat preventif dan represif dengan cara positif dan aktif di bidang intelijen dan security.
2. Tugas Khusus: Menjalankan tugas yang bersifat preventif dan represif dengan cara positif dan aktif di bidang intelijen dan security.
Harus diakui bahwa konflik internal di Kepolisian
sangat mempengaruhi eksistensi dan kinerja dari lembaga intelijen
tersebut. Bahkan dapat dikatakan konflik yang terjadi di internal
Kepolisian mampu membangun kesadaran bagi para perwira Kepolisian untuk
lebih mengedepankan tugas dan tanggung jawab terhadap negara dari pada
perebutan jabatan dan posisi yang memberi cela bagi banyak pihak untuk
melakukan penyusupan di tubuh Polri. Di sinilah sesungguhnya peran
intelijen harus diperkuat untuk menolak segala bentuk campur tangan dan
penyusupan, dengan kontra intelijen. Permasalahannya, dalam kasus ini
intelijen Kepolisian menjadi bagian dari konflik, sebab ada satu wacana
yang berkembang ketika itu untuk mengendalikan Kepolisian, salah satunya
dengan menumpulkan peran intelijennya. Dan langkah tersebut terbilang
sukses. Indikator yang paling mudah adalah pasca Dekrit Presiden 1959
hingga pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto, bisa
dikatakan peran intelijen Kepolisian terbilang minim.
Ketika Soekarno dan Orde Lama turun tahta, dan
digantikan oleh Soeharto, dan instrumen Orde Baru-nya, maka dimulai satu
fase ’Kegelapan’ bagi dunia intelijen di Indonesia, khususnya intelijen
Kepolisian. Seperti dapat diduga, Soeharto melakukan konsolidasi
politik ke semua lini kekuasaan agar patuh dan loyal kepadanya. Gagasan
Soekarno untuk menempatkan Polri agar masuk dalam Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dterapkan Soeharto guna mengikat Polri agar terbebas
dari anasir-anasir PKI dan faksi anti pemerintah. Badan Pusat Intelijen
(BPI), yang merupakan lembaga koordinasi antar lembaga intelijen buatan
Soekarno segera dibubarkan,dan digantikan Komando Intelijen Negara
(KIN). Rasa militeristiknya kental sekali, mulai dari penamaan dan
dominasi pejabat dan anggota KIN. Hal tersebut dilakukan guna memberikan
penegasan bahwa KIN harus patuh dan loyal kepada dirinya, yang selain
menjadi Presiden, juga merangkap menjadi Panglima Kopkamtib. Lembaga
yang terbentuk sebagai langkah untuk membersihkan negara dari
kader-kader PKI dan anasir-anasirnya ini merupakan lembaga darurat, yang
dibentuk untuk tugas-tugas khusus.
Harapan Soeharto agar KIN dapat bekerja lebih efektif
menopang pemerintahannya makin kentara dan kuat, ketika kerja sama
antara CIA dengan KIN makin terbuka. Hal ini didasar oleh upaya
pengasahan keterampilan keintelijenan, dan kepentingan Amerika Serikat
yang tidak menginginkan Indonesia menjadi negara komunis. KIN
dipecayakan kepada orang-orang kepercayan dan terdekatnya, yakni Yoga
Soegama, perwira yang sangat loyal dan salah satu pendukung utama
kepemimpinan Soeharto bekerja dengan cepat, taktis, dan sesuai dengan
harapan. Yoga, yang merupakan satu dari perwira intelijen terbaik yang
dimiliki oleh TNI ini membangun KIN menjadi organisasi yang mampu
mengefektifkan seluruh lembaga intelijen yang ada di Indonesia.
Intelijen Kepolisian yang menjadi bagian dari KIN, serta anggota terbaru
dari ABRI, yang meleburkan Kepolisian menjadi satu angkatan bersama
tiga matra lainnya, makin sulit memposisikan diri.
Tahun 1967, KIN berubah menjadi Badan Koordinasi
Intelijen Negara (BAKIN). Perubahan nama ini makin menancapkan kuku dan
hegemoni BAKIN sebagai lembaga koordinasi intelijen, di samping menjadi
’mata-mata’ dan kepanjangan tangan penguasa. Berbagai lembaga ekstra
yudisial, yang tidak ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan
dibentuk guna memperkuat barisan lembaga intelijen yang menjadi bagian
dari kekuasaan Soeharto, seperti Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib), Operasi Tertib Pusat (Optibpus), Lembaga
Penelitian Khusus (Litsus), Asisten Pribadi (Aspri) Presiden, Operasi
Khusus (Opsus), dan lain sebagainya. Dan semua lembaga tersebut
memiliki perwakilannya di daerah-daerah, baik inheren dengan komando
teritorial (Koter),dari mulai Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil,
maupun yang secara mandiri membentuk perwakilannya seperti Laksusda,
Sospolda, dan lain sebagainya.
Penegasan dominasi intelijen militer adalah
keberadaan intelijen militer, dalam hal ini Pusat Intelijen Strategis
(Pusintelstrat), yang kemudian berubah menjadi Badan Intelijen Strategis
(BAIS) di bawah Jenderal L.B. Moerdani, salah satu perwira tinggi
intelijen TNI yang sangat kampiun dan dihormati oleh komunitas
intelijen, baik dalam maupun luar negeri. BAIS bahkan memiliki struktur
dan jaringan yang paling lengkap, dari mulai jaringan di daerah-daerah
melalui Kodam-kodam, juga perwakilan di luar negeri, termasuk atase
pertahanan. Apalagi perubahan dari Kopkamtib menjadi Bakortanas juga tak
lain untuk membangun pencitraan yang lebih lunak, perihal represifitas
yang dilakukan lembaga tersebut di masa lalu.
Praktis, peran dan fungsi keintelijenan dilakukan
oleh lembaga-lembaga yang dibentuk tersebut di atas. Berbagai kegiatan
masyarakat yang mengancam eksistensi kekuasaan Soeharto langsung di cap
sebagai PKI, kader PKI, disusupi PKI, dan kata-kata yang menyudutkan
masyarakat. Intelijen Kepolisian, yang di masa pemerintahan Soekarno
memainkan peran yang cukup signifikan, dan diberi berbagai peluang dan
mengembangkan diri, pada masa Soeharto justru hanya menjadi sub ordinasi
dari pemenuhan informasi dan data dari lembaga-lembaga bentukan
Soeharto tersebut. Hampir tidak ada satu agregasi kinerja intelijen
Polri yang benar-benar mandiri dan mencitrakan satu profesionalisme
sebagaimana yang menjadi tugas dan fungsinya. Hampir semua tugas dan
fungsi intelijen Polri diambil alih dan dikerjakan oleh lembaga-lembaga
tersebut.
Secara sistematis bahkan marjinalisasi peran dan
fungsi Intelejen Polri makin menjadi-jadi. Dan turunan dari berbagai
kasus yang melibatkan intelijen Polri pun sangat kentara. Misalnya pada
kasus Pembunuhan Marsinah yang melibatkan pejabat setingkat Kodim dan
Koramil, yang mencoba menyeret-nyeret intelijen Polri, atau bahkan kasus
pembunuhan Wartawan Bernas, Udin yang melibatkan intelijen Polri,
bahkan sebagai tersangka. Hal ini menandakan bahwa intelijen Polri dalam
berbagai kasus telah dilemahkan. Bahkan untuk hal-hal yang berkaitan
dengan pekerjaan Polri dalam penanganan kasus kriminal, seperti pada
kasus Penembak Misterius (Petrus). Penegasan yang perlu dikemukakan
adalah bahwa selama Soeharto dan Orde Baru berkuasa, peran dan fungsi
Polri menjadi sub ordinat dari kerja-kerja keintelijenan secara luas.
Bahkan idiom yang mengemuka di internal Polri ketika itu, Polri sebagai
’tukang cuci piring’ dari berbagai kasus dan permasalahan yang
melibatkan Polri selama kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa.
Dukungan pendanaan dan SDM membuat BAIS menjadi satu
organisasi yang begitu dominan, bahkan dibandingan dengan BAKIN. Masa
Pemerintahan Habibie dan menjelang kejatuhan Soeharto BAIS memainkan
peran yang begitu dominan. Unjuk rasa disertai aksi kerusuhan dan
penembakan pada Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II tidak lepas
dari peran intelijen militer tersebut. Bahkan pada Referendum di Timor
Timur, BAIS memainkan perannya untuk mempertahankan provinsi termuda
tersebut memilih NKRI. Meski kalah telak, namun pemanfaatan dana tak
terbatas dari ’uang asli tapi palsu/aspal’ sempat menjadi isu hangat, di
luar tindakan kontra intelijen dan aksi bumi hangus di wilayah bekas
jajahan Portugis tersebut.
Yang cukup menarik adalah, meski TNI dan Polri
disorot banyak pihak seputar kinerja dan perannya di masa lalu, lembaga
intelijen hampir luput dari perhatian. BAKIN bahkan baru melakukan
perubahan ketika Megawati menjabat sebagai Presiden, dengan nama Badan
Intelijen Negara (BIN), dengan landasan legalitas Instruksi Presiden No.
5 tahun 2002, dan diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 9 tahun 2004
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Lembaga Pemerintahan Non Departemen, yang memiliki tugas
untuk mengkoordinasikann komunitas intelijen lainnya. Perubahan tersebut
hanya penegasan dari peran dan fungsi dari BAKIN yang dianggap
pencitraannya kurang baik di masa lalu.
Perubahan tersebut harus dipahami sebagai upaya untuk
’mikul duwur mendem jero’, yang mencoba menetralkan BIN sebagai lembaga
intelijen negara dari dosa-dosa masa lalu pendahulunya. Meski juga
disadari benar bahwa perubahan nama tersebut tidak juga mengubah
karakter dan budaya kerja yang ada di BIN. BIN hanya berganti baju dari
intelijen produk lama. Hal ini memang disadari betul mengingat perubahan
paradigmatik di lembaga intelijen tersebut belum terjadi. Sehingga
keberadaan BIN hanya menjadi pelengkap dari keberadaan lembaga-lembaga
intelijen lainnya sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan. Apalagi
A.M. Hendropriyono, yang dinilai dekat dengan Presiden Megawati makin
memperkuat asumsi tersebut. Secara terbuka, bahkan Hendropriyono
berulang kali mengungkapkan bahwa BIN merupakan bagian dari pemerintahan
Megawati.
Di masa kepemimpinan Hendropriyono juga terjadi
eksodus besar-besaran intel-intel sipil dan Polri dari BIN, karena
adanya upaya mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut
melakukan militerisasi di BIN. Proses tersebut juga disebabkan karena
adanya faksionis di internal BIN ketika krisis politik perihal ancaman
Dekrit Presiden oleh Abdurrahman Wahid. Sehingga, ketika kalangan intel
sipil dan Polri yang merasa diuntungkan dengan berbagai kebijakan Wahid
cenderung mendukung kepemimpinan Wahid, dan mencegah upaya sebagian
intel berlatar belakang militer melakukan manuver mendukung penjatuhan
Wahid dari kursi kepresidenan. Sebenarnya, kepemimpinan yang agak
menyejukkan ketika BIN masih bernama BAKIN adalah saat Z.A. Maulani
memimpin. Hanya teman dekat B.J. Habibie tersebut, melakukan blunder
ketika mengamini kebijakan Habibie untuk melakukan referendum di Timor
Timur.
Sedangkan Intelijen Polri kemudian mengubah namanya
seiring dengan reformasi kelembagaan yang harus dijalani Polri. Dengan
menyandang nama Badan Intelijen Keamanan Polri (Intelkam) Polri. Titik
tekannya pada intelijen keamanan, yang tertuang pada Keputusan Presiden
(Perpres) No. 70 tahun 2002 tentang Organisasi Tata Kerja Kepolisian
Negara RI Pasal 21, yang berbunyi:
b. Baintelkam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen dalam bidang keamanan bagi kepentingan tugas operasional dan manajemen Polri maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri).
Sama seperti yang terjadi di BIN, ternyata perubahan
menjadi Badan Intelkam Polri tidak juga merubah paradigmatik berpikir,
dan budaya lembaga yang ada. Bahkan untuk kasus Badan Intelkam Polri,
ternyata ekspektasi yang luar biasa dari internal Polri membuat setiap
perubahan yang ada menjadi semacam kemenangan bagi Polri setelah lebih
dari 30 tahun terbelenggu dalam format matra angkatan. Sikap defensif
dan menolak berbagai upaya penataan, khususnya penataan koordinasi
intelijen tidak terlalu disikapi serius oleh Polri. Bahkan ada kesan,
Polri menolak upaya untuk menata kelembagaan pertahanan dan keamanan
dalam berbagai sikap dan cara.
Permasalahan yang juga muncul berkaitan dengan respon
Polri, khususnya Badan Intelkam terhadap krisis politik di masa
Presiden Wahid terjadi juga. Dualisme kepemimpinan Polri saat S.
Bimantoro dan Chaeruddin Ismail satu dengan yang lain merasa menjadi
Kapolri. Ada keragu-raguan juga ketika Keluarga Besar Polri harus
memilih S. Bimantoro atau Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri. Situasi ini
pada akhirnya direspon oleh delapan perwira menengah Polri dengan
mendukung Chaeruddin Ismail, dan menolak kepemimpinan S. Bimantoro.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah Badan Intelkam Polri juga
bermain dengan melakukan kontra intelijen dan menyebarkan informasi
bahwa delapan orang ini akan melakukan kudeta, dan akan menangkap Ketua
DPR, Akbar Tandjung, dan Ketua MPR, Amien Rais. Isu tersebut disebarkan
agar kedelapan perwira menengah tersebut dapat di tangkap, selain alasan
indisipliner
Otoritas negara dan koordinasi antar lembaga
intelijen sejak bangsa ini merdeka, hingga Orde Reformasi menjadi satu
permasalahan yang serius. Bukan itu saja, bahkan negara yang berperan
sebagai end user ternyata juga melakukan langkah-langkah yang tidak
sinergis dengan penegakan otoritas negara. pada berbagai masa
kepresidenan, baik Soekarno, Soeharto, Habibie, Wahid, Megawati, hingga
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki berbagai persamaan dan perbedaan
menyangkut keotoritasan negara dan koordinasi antar lembaga. Pada masa
Orde Lama justru yang terjadi adalah meningkatkanya konflik antara
Presiden Soekarno dengan TNI, khususnya Angkatan Darat. Konflik ini
bermuara pada terbangunnya ketidakpercayaan Soekarno terhadap semua
produk intelijen negara, yang kebetulan didominasi oleh militer.
Sementara pada masa Orde Baru, semua produk intelijen digunakan oleh
Presiden Soeharto, dan ia memposisikan dirinya pusat dari lingkaran
komunitas intelijen lainnya. Bahkan dengan berbagai cara, yang salah
satunya mendirikan lembaga intelijen yang ekstra yudisial, bersifat
khusus, namun memiliki kekuasaan yang sangat besar dan melebihi wewenang
lembaga intelijen yang ada. Pada masa Orde Reformasi, Habibie, Wahid,
Megawati, dan SBY lebih hati-hati dalam menentukan kebijakan mengenai
intelijen. Namun kesamaan dari empat presiden tersebut adalah mengangkat
kepala badan intelijen negara dari orang terdekat.
Sementara pada masa Orde Lama dan Orde Reformasi
kendali atas lembaga-lembaga intelijen bersifat longgar, maka pada masa
Orde Baru justru cenderung ketat. Kelonggaran kendali dan kontrol
Soekarno, terhadap berbagai lembaga intelijen disebabkan oleh
terbangunnya asumsi di kepala Soekarno mengenai dominasi militer di
tubuh intelijen. Sehingga akan beresiko apabila produk yang dihasilkan
oleh lembaga intelijen, khususnya intelijen negara digunakan sebagai
pijakan untuk perumusan kebijakan. Ketatnya kendali atas komunitas
intelijen di masa Orde Baru dilakukan oleh Soeharto dengan sadar. Sebab,
kendali yang efektif atas lembaga intelijen yang ada akan mengurangi
distorsi informasi yang merupakan produk intelijen tersebut. Sedangkan
Presiden masa Orde Reformasi disebabkan adanya satu asumsi bahwa dengan
memegang pimpinan atau kepala BAKIN atau BIN sudah cukup mengontrol
lembaga tersebut untuk memberikan produk dari lembaga hanya kepada
mereka.
Ketika Soekarno merasa tidak lagi mampu mengendalikan
dominasi militer di lembaga intelijen negara, maka ia kemudian
membentuk BPI, yang diharapkan mampu menjadi lembaga koordinasi antar
lembaga intelijen lainnya. Dengan sepenuhnya dapat dikontrol dan loyal
kepada dirinya, BPI kemudian saling berhadap-hadapan dengan kepentingan
TNI di lapangan. Langkah Soekarno tersebut menjadi satu titik balik
pengkubuan konflik antara dirinya dengan militer. Bahkan pengkubuan
tersebut makin membesar ketika Soekarno merangkul PKI melalui jaringan
BPI, dan Subandrio. Langkah Soeharto lebih elegan, ketika konflik antar
perwira intel terjadi menjelang peristiwa Malari, yang dilakukan oleh
Soeharto adalah menggantinya, serta keduanya kemudian ’diistirahatkan’
dan ditempatkan di pos tidak penting. Sedangkan pada Orde Reformasi
kontrol negara hanya sebatas pada kepemimpinan level puncak lembaga
intelijen negara. asumsi dasarnya, ketika Kepala Bakin atau BIN
merupakan loyalis ataupun orang dekat kekuasaan maka kendali atas
lembaga intelijen dalam genggaman.
Keberadaan komunitas intelijen lain, pada masa Orde
Lama hampir tidak diganggu, kecuali aroma persaingan antara BPI dengan
intelijen militer. Indikator yang paling kelihatan adalah dinamisasi dan
perkembangan intelijen Kepolisian yang dapat menjalankan berbagai tugas
dan fungsinya tanpa ada intervensi dan gangguan dari Soekarno. Bahkan
mantan petinggi intelijen Kepolisian menjadi orang kedua di BPI, yang
dipimpin Subandrio. Berbeda pada masa Orde Baru, marjinalisasi lembaga
intelijen di luar intelijen militer begitu kentara. Bahkan melakukan sub
ordinasi berbagai lembaga intelijen oleh lembaga-lembaga ekstra
yudisial lain yang memiliki fungsi intelijen sering dilakukan, hal
tersebut terjadi pada intelijen Polri. Fungsi koordinasi pada lembaga
KIN ataupun BAKIN hanya untuk mengontrol komunitas intelijen lain, agar
sejalan dengan kebijakan Soeharto. Pada Orde Reformasi terjadi
penyimpangan ketika penangkapan Omar Al Farouk, salah satu gembong
terorisme dilakukan oleh BIN, dan langsung diserahkan ke Amerika
Serikat. Penyimpangan koordinasi ini menegasikan peran intelijen Polri
dalam fungsi penegakan hukum.
Dalam membangun otoritas negara atas intelijen pun
masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi menemui kendala. Satu
persamaan yang paling kelihatan pada masa pemerintahan enam presiden
tersebut adalah upaya membawa komunitas intelijen menopang pemerintahan
mereka. Soekarno berupaya mengembangkan BPI sebagai ujung tombak bagi
pemerintahannya, dengan melakukan kontra intelijen dan kontra teror
terhadap musuh Soekarno, TNI Angkatan Darat. Efektifitas kontrol
terhadap lembaga-lembaga intelijen lain terganggu oleh manuver intelijen
militer yang keluar dari koordinasi BPI. Sementara pada masa Orde Baru,
Soeharto bisa dibilang efektif, meski jauh dari prinsip dan nilai
demokrasi. Semua lembaga intelijen ada dalam genggamannya. Bahkan sangat
efektif menopang pemerintahannya. Sedangkan pada Orde Reformasi
mengangkat ketua dan pimpinan BAKIN, atau BIN berasal dari orang
terdekat di lingkaran kekuasaan.
Penataan Koordinasi
Menyangkut koordinasi antar lembaga intelijen, hampir tidak efektif di masa Orde Lama dan Orde Baru, serta Orde Reformasi. Keefektifan koordinasi, antara lembaga intelijen negara dengan lembaga intelijen Polri menjadi permasalahan tersendiri. Tidak ada perundang-undangan yang mengikat satu dengan yang lainnya. Yang ada hanya keputusan setingkat Kepres, maupun produk hukum di bawahnya. Bahkan perumusan tugas dan fungsi terkesan sangat umum, seperti pada Intelijen Polri. Sebaliknya, inherenitas lembaga intelijen negara yang juga menjalankan fungsi koordinasi seperti pada BPI, BAKIN, atau BIN makin menyulitkan upaya koordinasi satu lembaga intelijen dengan yang lainnya. Yang muncul justru aroma persaingan dan esprit de corp yang meninggi. Bahkan dapat disimpulkan bahwa fungsi koordinasi yang melekat pada fungsi intelijen negara pada masa Soekarno dan Soeharto justru menjadi bumerang bagi efektifitas koordinasi dan kinerja lembaga tersebut. Sementara tidak berjalannya koordinasi antar lembaga intelijen di era Reformasi, disebabkan karena upaya penataan kelembagaan tersebut berjalan sangat lamban
Menyangkut koordinasi antar lembaga intelijen, hampir tidak efektif di masa Orde Lama dan Orde Baru, serta Orde Reformasi. Keefektifan koordinasi, antara lembaga intelijen negara dengan lembaga intelijen Polri menjadi permasalahan tersendiri. Tidak ada perundang-undangan yang mengikat satu dengan yang lainnya. Yang ada hanya keputusan setingkat Kepres, maupun produk hukum di bawahnya. Bahkan perumusan tugas dan fungsi terkesan sangat umum, seperti pada Intelijen Polri. Sebaliknya, inherenitas lembaga intelijen negara yang juga menjalankan fungsi koordinasi seperti pada BPI, BAKIN, atau BIN makin menyulitkan upaya koordinasi satu lembaga intelijen dengan yang lainnya. Yang muncul justru aroma persaingan dan esprit de corp yang meninggi. Bahkan dapat disimpulkan bahwa fungsi koordinasi yang melekat pada fungsi intelijen negara pada masa Soekarno dan Soeharto justru menjadi bumerang bagi efektifitas koordinasi dan kinerja lembaga tersebut. Sementara tidak berjalannya koordinasi antar lembaga intelijen di era Reformasi, disebabkan karena upaya penataan kelembagaan tersebut berjalan sangat lamban
Ada enam penegasan mengapa koordinasi antara lembaga
intelijen menjadi permasalahan serius dari dahulu hingga sekarang,
khususnya antara lembaga intelijen negara dan intelijen keamanan, yakni:
Pertama, otoritas negara atas lembaga-lembaga intelijen cenderung
rendah. Otoritas dalam hal ini diasumsikan sebagai kontrol negara atas
kinerja dari lembaga intelijen yang mengemban fungsi koordinasi. Kontrol
tersebut menjadi sulit dilakukan ketika ketua ataupun pimpinan dari
BAKIN atau BIN, yang mengemban fungsi intelijen negara dan fungsi
koordinasi merupakan orang terdekat dengan kekuasaan.
Kedua, tidak adanya aturan hukum yang mengatur
batasan dan wewenang kerja antara lembaga intelijen negara dengan
intelijen Kepolisian. Aturan yang ada hanya terbatas mengikat satu
organisasi saja, itupun sebatas Keputusan Presiden (Kepres), Intruksi
Presiden (Inpres), Keputusan Menteri, maupun Keputusan Kapolri.
Ketidakadaan aturan yang mengikat koordinasi antar lembaga intelijen
tersebut menyebabkan batasan wilayah dan wewenang tugas juga makin rancu
dan kabur.
Ketiga, dinamika internal masing-masing lembaga yang
memiliki ekspektasi yang berbeda, baik berupa esprit de corps, maupun
sentimen kelembagan. Hal ini terlihat pada semangat membangun dan
menjaga negara dalam kondisi dan situasi yang utuh. Indikator yang mudah
dikedepankan adalah rumusan tugas dan fungsi yang secara umum dibuat
mencakup keindonesiaan.
Keempat, budaya di internal lembaga intelejen belum
mengedepankan semangat kebersamaan dan profesionalisme. Satu filosofis
kelembagaan yang bersifat koordinatif adalah memahami posisi, peran, dan
fungsinya secara sadar. Dalam pengertian keberadaan setiap lembaga
intelijen harus terkait dengan peran dan fungsinya secara tegas. Di
sinilah kemudian akan mampu menstimulasi profesionalitas kelembagaan.
Kelima, masih kuatnya semangat superioritas antara
lembaga satu dengan lembaga lain. Superioritas tersebut tercermin dari
keengganan melakukan koordinasi. Sehingga koordinasi dapat diasumsikan
membuka strategi dan berujung pada wan prestasi dari masing-masing
lembaga tersebut. Tak heran apabila koordinasi hanya dianggap sebagai
hal yang tidak terlalu penting. Padahal dalam konteks deteksi dini dari
berbagai ancaman, koordinasi mampu menutup cela kemungkinan berubahnya
ancaman menjadi tragedi.
Keenam, sentimen kelembagaan yang satu dengan yang
lain merasa lebih baik dari lembaga lain. Berbeda pada kasus kebanggaan
pada lembaga, pada sentimen yang merasa lebih baik menjadi pemicu
terjadinya keengganan dari masing-masing lembaga intelejen untuk membuka
hal-hal yang menjadi kerja-kerja keseharian. Tak heran pula kerap kali
terjadi bentrok kerja antara lembaga intelejen tersebut di lapangan,
misalnya pada kasus penggrebekan pelaku teroris di Tangerang yang
membuka kedok dan mencederai intel yang tengah melakukan covert action.
Permasalahan koordinasi antara lembaga intelijen
negara dengan intelijen Kepolisian, khususnya, maupun komunitas
intelijen lainnya hampir pasti tidak akan terselesaikan apabila belum
ada perundang-undangan yang mengatur komunitas tersebut. Koordinasi
menjadi kata kunci bagi upaya mendorong agar lembaga intelijen, serta
komunitas intelijen lainnya dapat mengefektifkan kinerja dan lebih
profesional. Guna mereformasi lembaga intelijen secara umum, di mana di
dalamnya akan menata pula permasalahan koordinasi, yang menjadi titik
krusial bagi upaya mengefektifkan kinerja komunitas intelijen sesuai
dengan porsi dan wewenangnya membutuhkan delapan prasyarat yang harus
terpenuhi, yaitu:
Pertama, Upaya untuk menata koordinasi harus diawali
dengan adanya legalitas yang mengikat seluruh komponen dan lembaga
intelijen dalam satu irama yang selaras dengan tujuan berbangsa dan
bernegara. Dengan memperhatikan pada jenis dan karakteristik dari
masing-masing lembaga.
Sehingga penataan koordinasi intelijen tersebut dapat
terukur dan mampu membagi habis kewenangan secara proporsional. Akan
tetapi perundang-undangan yang ada selain masalah koordinasi antar
lembaga, juga harus memuat setidaknya berbagai komunitas intelijen yang
ada dengan mengeksplisitkan pada: Hakikat dan tujuan intelijen; Ruang
lingkup intelijen; Tugas, fungsi, serta wewenang; Organisasi dan
prinsip-prinsip pengaturan. Dan yang tidak kalah seriusnya adalah
penegasan bahwa lembaga intelijen harus tunduk pada otoritas sipil,
dengan mengedepankan pada penghormatan pada HAM dan nilai serta prinsip
demokrasi. Sementara perundang-undangan intelijen yang secara eksplisit
dan sangat jelas menguraikan koordinasi antar lembaga intelijen,
khususnya lembaga intelijen negara dengan intelijen Kepolisian adalah
Law on Security Services of The Federal Republic of Yugoslavia, namun
sayangnya negara tersebut tidak lagi eksis, karena hanya menyisakan
Republik Serbia, setelah terakhir Montenegro juga menyatakan
kemerdekaannya melalui referendum.
Kedua, otoritas negara dan kontrol yang berlapis pada
efektifitas kinerja dan koordinasi komunitas intelijen. Otoritas negara
dalam hal ini dapat dilihat dalam pengembangan kelembagaan dan pemakai
produk intelijen terakhir. Dengan mengedepankan adanya otoritas negara
setidaknya lembaga intelijen yang terkoordinir melalui keapala atau
pimpinan lembaga koordinasi intelijen yang dipilih secara politis oleh
Presiden. Bila kepala lembaga intelijen lainnya dipilih karena bersifat
karier, maka upaya membangun otoritas negara atas lembaga intelijen
tercermin dari pemilihan kepala lembaga koordinasi intelijen oleh
Presiden. Adapun yang harus diperhatikan oleh negara dalam mengembangkan
dan mengefektifkan otoritasnya tidak melakukan politisasi, dan sentimen
antar lembaga. Karena hal tersebut hanya akan membuat koordinasi dan
konerja tidak akan efektif. Sedangkan pengawasan dan kontrol berlapis
akan mendorong komunitas intelijen bekerja dengan efektif dan efisien,
dengan memperhatikan berbagai rambu-rambu di dalam negara demokratik.
Sementara khusus koordinasi antara BIN dan Baintelkam Polri, peran
negara sebagai policy maker dan pemilik fungsi kontrol dan pengawasan
harus lebih diuraikan secara detail dengan memperhatikan batasan-batasan
wewenang antar keduanya. Dengan menegaskan efektifita kode etik
lembaga intelijen, serta turunan dari tugas, dan fungsi di masing-masing
lembaga, yang biasanya dikeluarkan melalui keputusan kepala
masing-masing lembaga yang menaunginya.
Ketiga, pengembangan budaya kerja yang profesional
dan efektif dalam menjalankan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan.
Budaya di masing-masing internal lembaga cenderung menahan diri dan
mengambil jarak antar lembaga intelijen lainnya. Hal ini tidak akan
menguntungkan bagi penataan lembaga intelijen, tidak hanya BIN dan
Baintelkam Polri, yang banyak menangani permasalahan domestik dan dalam
negeri, tapi juga lembaga intelijen lainnya. Salah satu yang harus
ditegaskan mengenai budaya internal lembaga yang baik adalah, bagaimana
mengembangkan cakupan kerja yang sesuai dengan batasan dan wewenangnya.
Artinya bila Baintelkam Polri harus mampu mengembangkan segenap potensi
untuk melakukan kerja-kerja yang berkaitan dengan ancaman keamanan dan
kriminalitas.
Keempat, membangun kesadaran kepada masing-masing
anggota intel perihal realitas yang dihadapi sebagai bagian dari
pelaksana fungsi keintelijenan. Artinya, kebanggaan dan ekspektasi yang
berlebihan tidak lagi menjadi satu kendala bagi pengembangan koordinasi.
Kebanggaan semu dan ekspetasi yang berlebihan memang akan makin
mencerminkan kedangkalan produk yang dihasilkan, sebab identitas dan
pola akan mudah diketahui lawan, maupun masyarakat yang akhirnya enggan
membagi informasinya. Citra dan intel kita memang sudah diambang
kronis, contoh yang paling kentara adalah mudahnya anggota intel
teridentifikasi oleh masyarakat saat melakukan covert operation.
Bayangkan bagaimana mudahnya intel lawan dalam mengidentifikasi pola dan
cara yang dilakukan oleh intel kita.
Kelima, terbangunnya semangat kebersamaan dan
penghargaan terhadap batasan dan wewenang lembaga intelijen lainnya,
serta tidak berusaha melakukan penyabotan. Semangat kebersamaan ini
mungkin akan sulit diwujudkan apabila melihat trauma masa lalu yang
dirasakan oleh lembaga intelijen di luar intelijen militer, seperti
intelijen Polri misalnya. Artinya perlu ada alat untuk memaksa
lembaga-lembaga intelijen lainnya agar duduk bersama untuk melakukan
koordinasi dengan payung perundang-undangan yang mengikat semua
komunitas intelijen.
Keenam, mengembangkan kerja koordinasi, baik dalam
bentuk yang formal seperti pada upaya pemberantasan tindak pidana
terorisme, yang payung undang-undangnya ada pada UU No. 15 Tahun 2003,
maupun yang informal, seperti operasi intelijen gabungan yang bersifat
insidental di perbatasan Timor Leste, yang tengah bergolak dan mengancam
integritas nasional, baik bersifat politis, maupun kriminal.
Ketujuh, pemenuhan anggaran intelijen yang efektif,
transparan, dan bertanggung jawab, sesuai dengan kaidah-kaidah
demokrasi. Prasyarat ini menjadi bagian yang akan mempengaruhi tingkat
koordinasi antar lembaga. Sekedar gambaran, BIN dan Baintelkam Polri
mendapatkan kucuran anggaran yang mungkin saja berbeda satu dengan yang
lain, baik asal anggaran, maupun besaran anggarannya. BIN, bila
statusnya tetap setingkat kementerian seperti sekarang, jelas akan
memiliki anggaran yang cukup besar dibandingkan dengan Baintelkam Polri
yang berasal dari Mabes Polri. Satu kelemahan yang disebabkan kurangnya
anggaran adalah prilaku menyimpang yang membuat tingkat koordinasi
menjadi lemah, seperti pada kasus beking oknum intel satu lembaga
intelijen terhadap perjudian dan prostitusi beberapa waktu lalu. Padahal
permasalah perjudian dan prostitusi merupakan bagian dari tugas
Baintelkam Polri, sehingga bentrok dan konflik tidak dapat dihindarkan,
yang berujung pada tidak efektifnya kerja-kerja keintelijenan.
Kedelapan, selain adanya aturan legal formal dalam
bentuk undang-undang, dibutuhkan juga satu kesepakatan dalam bentuk nota
kesepahaman (MoU), ataupun keputusan bersama antara Kementerian yang
membawahi BIN ataupun kepala BIN sendiri dengan Kapolri perihal batasan
dan cakupan wewenang keamanan dalam negeri. Di mana BIN maupun Polri
menegaskan hal tersebut, baik dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri,
ataupun Inpres No. 5 Tahun 2002, serta Kepres No. 103 Tahun 2001.
artinya perlu ada batasan formal, antara cakupan Keamanan Dalam Negeri
versi Polri, dengan batasan Keamanan Nasional dalam persfektif BIN.
Masalah-masalah keamanan dalam negeri harus jelas antara keduanya,
sehingga permasalahan koordinasi yang menjadi permasalahan antara kedua
lembaga tersebut di masa akan datang tidak lagi terjadi.
Koordinasi antar lembaga intelijen, khususnya pada
intelijen negara, yakni BIN dan intelijen Kepolisian, yang
terepresentasi dalam Baintelkam Polri diharapkan akan membaik dengan
terpenuhinya prasyarat-prasyarat tersebut di atas. Artinya koordinasi
yang efektif akan memberikan satu produk intelijen yang komprehensif
bagi pemerintah, sebagai end user. BIN harus menegaskan dirinya sebagai
intelijen yang menjalankan fungsi intelijen keamanan dalam negeri, yang
bertanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah keamanan dalam
negeri, yang terkait dengan pembentukan sistem peringatan dini serta
sistem analisis informasi strategis guna menghadapi ancaman terhadap
keamanan nasional. Sebaliknya, di Baintelkam Polri harus menyadari bahwa
tugas dan wewenangnya hanya terbatas pada intelijen keamanan, yang
lebih khusus pada intelijen kriminal, sebagaimana yang tertuang dalam
Kepres No. 70 Tahun 2002. Sehingga, keinginan untuk menjadi semacam
Special Branch dalam Scotland Yard harus dikubur dalam-dalam, dengan
lebih mengedepankan efektifitas dan penguatan tugas dan fungsi yang ada
sekarang.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa koordinasi antara lembaga intelijen negara dan intelijen keamanan menjadi sesuatu yang mendesak. Selain masalah pembatasan ’wilayah’, juga terkait dengan efektifitas kedua lembaga intelijen untuk mewujudkan keamanan dalam negeri, juga terkait dengan pembangunan dan penataan kelembagaan intelijen yang efektif, profesionalisme, dan sesuai dengan nilai dan prinsip demokrasi. Kedua hal tersebut terkait dengan transisi demokrasi yang tengah berjalan. Bahwa lembaga intelijen terkesan terlambat dalam penataan tersebut, dikarenakan pembangunan dan penataan kelembagaan yang bertindak sebagai policy maker menjadi satu agenda terlebih dahulu dilakukan. Menyangkut soal koordinasi kedua lembaga intelijen tersebut, khususnya dan lembaga intelijen memiliki tingkat urgenitas yang tinggi. Urgenitas tersebut terletak pada upaya untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang berorientasi pada pembentukan sistem deteksi dini bagi upaya untuk mengancam keamanan dalam negeri. Polri di satu sisi mengemban tugas yang berat untuk mewujudkan Kamdagri dalam bentuk tanggung jawab mewujudkan keamanan dalam negeri, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Sementara BIN, tidak lagi harus memiliki dualisme fungsi, sebagai intelijen yang bertanggung jawab pada masalah-masalah keamanan nasional, di luar yang dikerjakan Polri. Dualisme fungsi, sebagaimana diurai di atas, menjadi titik permasalahan tersendiri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa koordinasi antara lembaga intelijen negara dan intelijen keamanan menjadi sesuatu yang mendesak. Selain masalah pembatasan ’wilayah’, juga terkait dengan efektifitas kedua lembaga intelijen untuk mewujudkan keamanan dalam negeri, juga terkait dengan pembangunan dan penataan kelembagaan intelijen yang efektif, profesionalisme, dan sesuai dengan nilai dan prinsip demokrasi. Kedua hal tersebut terkait dengan transisi demokrasi yang tengah berjalan. Bahwa lembaga intelijen terkesan terlambat dalam penataan tersebut, dikarenakan pembangunan dan penataan kelembagaan yang bertindak sebagai policy maker menjadi satu agenda terlebih dahulu dilakukan. Menyangkut soal koordinasi kedua lembaga intelijen tersebut, khususnya dan lembaga intelijen memiliki tingkat urgenitas yang tinggi. Urgenitas tersebut terletak pada upaya untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang berorientasi pada pembentukan sistem deteksi dini bagi upaya untuk mengancam keamanan dalam negeri. Polri di satu sisi mengemban tugas yang berat untuk mewujudkan Kamdagri dalam bentuk tanggung jawab mewujudkan keamanan dalam negeri, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Sementara BIN, tidak lagi harus memiliki dualisme fungsi, sebagai intelijen yang bertanggung jawab pada masalah-masalah keamanan nasional, di luar yang dikerjakan Polri. Dualisme fungsi, sebagaimana diurai di atas, menjadi titik permasalahan tersendiri.
Sehingga membutuhkan satu penegasan agar BIN dan
Baintelkam Polri mampu memerankan perannya secara sinergis,
komprehensif, serta berlandas pada prinsip dan nilai demokrasi.
Penyimpangan dan gesekan kepentingan masing-masing lembaga pada
operasional dapat diminimalisir dengan mempertegas aturan main, berupa
perundang-undangan, dan berbagai kesepakatan antar keduanya. Sebab,
menghilangkan sama sekali citra lembaga intelijen dalam berbagai
peristiwa yang melanggar HAM, menunjukkan saling sikut dan mengorbankan
lembaga lain demi menjaga citra dan nama baik di masyarakat pernah
terjadi di masa lalu. Intelijen memang bukan lembaga normal biasa dalam
praktik operasionalnya, sehingga pengetatan aturan main, dan kode etik
operasionalnya menjadi penegas bagi keberadaan BIN, sebagai lembaga
intelijen negara, dan Baintelkam Polri, sebagai intelijen Kepolisian
untuk membangun koordinasi yang baik. Dan indikator yang paling kentara
adalah terbangunnya koordinasi yang baik adalah efektifitas
operasional masing-masing lembaga dengan tetap memperhatikan penegakkan
HAM, dan nilai serta prinsip demokrasi.
Calon Direktur CIA John Brennan Uji Nyali Di Hadapan Senat
Menlu Amerika John Kerry Siap Bertandang Ke Israel Dan Palestina
Jakarta, 7 Februari 2013 (KATAKAMI.COM) — Sepekan terakhir ini, pastilah menjadi pekan yang paling memusingkan untuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama.
Sebab, dari 3 kandidat pejabat penting yang telah dinominasikannya, baru satu orang saja yang lolos dari “lubang jarum” yaitu John Kerry yang telah dilantik secara resmi menjadi Menteri Luar Negeri.
Baik Partai Demokrat, terutama Partai Republik yang menjadi “lawan politik” Presiden Barack Obama, mayoritas menyetujui dan melapangkan jalan Kerry menuju posisi yang sangat bergengsi sebagai Menteri Luar Negeri.
Senat Komite Hubungan Luar Negeri menyetujui dan memberikan KONFIRMASI bahwa John Kerry lolos uji dan layak menjadi Menlu menggantikan Hillary Clinton.
Kerry mendapat dukungan mayoritas Senat dengan perolehan 94 suara, sementara hanya tiga Senator yang menolaknya di hari Selasa, 29 Januari 2013 lalu.
Ketiga orang yang menolak pencalonan Kerry merupakan Senator dari Partai Republik, yaitu James Inhofe dari Oklahoma, Ted Cruz, dan John Cornyn dari Texas.
Dua pejabat lainnya yang saat ini masih terkatung-katung nasibnya yaitu :
1. Chuck Hagel, calon Menteri Pertahanan Amerika, yang akan menggantikan Leon Panetta.
2. John Brennan, calon Direktur Dinas Rahasia CIA, yang akan menggantikan Pejabat Sementara Direktur CIA Michael J. Morell.
Hagel, sesungguhnya telah diuji oleh Senat pada hari Kamis, 29 Januari 2013 lalu.
Nama Hagel telah mencuat sebagai calon kuat Menteri Pertahanan pada Desember, tapi dia ditentang kelompok pro-Israel.
Beberapa senator Republik juga menyampaikan penentangan mereka.
Hagel telah mengeluarkan komentar bahwa lobi Yahudi mengintimidasi
Gedung Kongres, dan telah menyampaikan kesediaan untuk terlibat secara
diplomatik dengan HAMAS serta Iran.
Hagel (66) adalah tokoh moderat dari Partai Republik. Ia menjadi
senator selama dua masa jabatan 1997 sampai 2009 untuk wilayah Nebraska,
dan sekarang menjadi pemimpin Dewan Penasehat Intelijen Presiden.
Langkah Hagel menuju Pentagon tersendat karena ia dituduh Anti-Israel.
Tetapi Senat belum mengambil keputusan tentang disetujui atau tidak disetujuinya Hagel untuk menjadi Menteri Pertahanan.
Pengambilan suara (voting) yang dijadwalkan untuk dilakukan pada hari
Jumat (8/2/2013), ditunda menjadi pekan depan yaitu pada hari Selasa
(12/2/2013) mendatang.
Hagel diserang habis-habisan di Senat (terutama dari Partai Republik).
Bahkan sampai ada yang menghitung secara khusus bahwa isu tentang
Iran disinggung sebagai 144 kali dalam rapat pengujian terhadap Hagel di
Senat.
Dan isu tentang Israel, disinggung sebanyak 166 kali.
Lalu bagaimana dengan Brennan, calon Direktur Dinas Rahasia CIA ?
Rencananya, Brennan akan menghadapi Komisi Intelijen Senat Amerika pada hari ini, Kamis (7/2/2013) waktu setempat.
Calon Direktur Dinas Rahasia CIA ini bernama lengkap John Owen Brennan.
Wajahnya sangat dingin dan lebih tepat disebut berwajah angker.
Sekilas tampaknya Brennan memang sulit sekali untuk bisa tersenyum.
Tetapi, Brennan disebut-sebut sebagai orang yang sangat dipercaya
oleh Presiden Obama, terutama karena posisi jabatannya selama 4 tahun
terakhir ini memang memungkinkan dirinya menjadi orang yang ada dalam
“ring satu” Obama.
Tahun 2009, Obama menunjuk Brennan sebagai Deputi Penasehat Keamanan Nasional.
Ia disebut-sebut sebagai “bayangan” dari Obama sebab hampir setiap hari, Brennan akan selalu ada mendampingi Obama.
Di lingkungan Gedung Putih, John Brennan adalah orang yang paling
mengetahui semua program intelijen paling rahasia Amerika Serikat.
Sementara di luar, dia adalah figur pemerintah yang membela dengan
gigih salah satu praktik paling kontroversial pemerintah Presiden Barack
Obama yaitu penggunaan pesawat tak berawak untuk membunuh terduga
teroris di luar negeri.
Pencalonan Brennan oleh Obama untuk kursi tertinggi di lembaga intelejen CIA ini adalah untuk yang kedua kalinya.
Sebelumnya pada 2008 lalu, Brennan yang bekerja di CIA selama 25 tahun itu mengundurkan dari pencalonan direktur utama agen itu.
Dia mundur karena kritik dari kaum liberal yang menyatakan bahwa
Brennan tidak melakukan upaya pencegahan yang cukup terhadap penggunaan
teknik interogasi yang melibatkan penyiksaan.
Brennan (57) setelah pengunduran itu justru kemudian menjadi penasihat terdekat Obama dalam soal terorisme dan keamanan negara.
Dan kini, setelah 4 tahun menjadi Deputi Penasehat Keamanan Nasional
untuk Presiden Amerika Serikat, Brennan akan naik kelas menjadi Direktur
CIA.
Tetapi sebelum ia menduduki kursi sebagai Direktur CIA, Brennan harus
menghadapi terlebih dahulu Komisi Intelijen Senat Amerika, untuk
mendapatkan konfirmasi dari para senator atas pencalonannya.
Menyimak perjalanan hidup dan karier Brennan, sesungguhnya ia jauh lebih beruntung dibandingkan Hagel.
Artinya, tak tercatat Brennan pernah keseleo lidah dalam mengomentari
hal-hal yang sangat sensitif untuk ukuran Amerika dengan berbagai
kepentingannya.
Sebagai figur yang sudah ditempa di CIA selama 25 tahun — dimana itu
artinya Brennan sudah “ngendon” di CIA sejak tahun 1988 (dimana pada
tahun itu yang menjadi Presiden Amerika adalah George H.W. Bush atau
Bush Senior).
Satu-satunya yang layak disebut sebagai kelemahan Brennan dari sudut
pandang hak asasi manusia adalah dukungan Brennan pada cara investigasi
CIA yang menggunakan kekerasan terhadap para terduga pelaku terorisme.
Tetapi, bukankah untuk urusan WAR ON TERROR ( apalagi di Amerika
Serikat ), segala sesuatu yang dijalankan perangkat keamanan di negara
adidaya ini adalah atas perintah COMMANDER-IN CHIEF atau Panglima
Tertinggi mereka yaitu atas perintah Sang Presiden ?
Sepanjang Panglima Tertinggi mereka menyetujui maka para pelaku di
lapangan (termasuk CIA) tak bisa dipaksakan untuk bertanggung-jawab atas
kebijakan seperti itu.
Topik yang paling besar kemungkinan ditanyakan kepada Brennan dalam
hearing dengan Komisi Intelijen Senat terkait nominasinya sebagai calon
Direktur CIA adalah seputar masalah DRONES (pesawat tanpa awak) yang
paling diandalkan Amerika memerangi kalangan ekstrim dan kelompok teror,
terutama Al Qaeda, di berbagai negara.
Brennan sangat mendukung penggunaan DRONES dalam misi perang melawan teror.
Satu hal yang sesungguhnya dapat menolong Brennan dalam situasi ini
adalah penggunaan DRONES itu sangat tergantung pada kebijakan
COMMANDER-IN CHIEF atau Panglima Tertinggi Amerika.
Dimana saat ini yang menjadi Commander-in Chief adalah Barack Obama.
Kurang bijaksana jika Senat Amerika meminta Brennan untuk wajib
mempertanggung-jawabkan penggunaan DRONES dalam kaitan perang melawan
teror sebab kebijakan itu turun atau datang dari Panglima Tertinggi
Amerika.
A Cruel and Unusual Record by JIMMY CARTER
Komisi Intelijen Senat Amerika, paling banter hanya perlu
mengingatkan Brennan agar sepanjang ia menjadi Direktur CIA, penggunaan
DRONES haruslah lebih terkendali, lebih proporsional, tidak main hantam
kromo dan tidak boleh semena-mena menghajar negara sahabat yang
dicurigai Amerika bahwa disana ada pergerakan kelompok teror.
Drones, jangan sampai seliweran seenaknya di negara lain (terutama di Pakistan, Somalia dan Yaman).
Drones, diharapkan oleh banyak pihak di Amerika, jangan lagi
menghantam dan memakan korban dari kalangan sendiri yaitu warga negara
Amerika.
Walaupun Gedung Putih akan dengan sangat sepenuh hati menolong
Brennan menjelang pengujiannya di hadapan Senat (antara lain dengan
memaparkan apa saja landasan hukum penggunaan DRONES), setidaknya ada
masukan dan kritikan yang datang dari mantan Presiden Amerika Jimmy
Carter terkait penggunaan DRONES.
Masukan dan kritikan dari Presiden Carter itulah yang hendaknya harus
tetap diingat dan diperhatikan oleh perangkat keamanan Amerika, dalam
hal ini Pentagon dan CIA.
Presiden Jimmy Carter mengecam penggunaan pesawat tanpa awak Amerika (
DRONES) yang oleh era kepemimpinan Presiden George W. Bush dan Barack
Obama kerap digunakan.
Menurut Carter, penggunaan DRONES bertentangan dengan hak asasi manusia .
Carter mengkritik bahwa dalam berbagai pengoperasiannya dalam medan
perang di beberapa negara, yang digunakannya untuk membombardir sasaran
yang dianggap musuh, justru telah menjauhkan AS dari sekutunya.
Dalam pernyatannya Jimmy Carter mengecam keras pula atas pembuatan
aturan-aturan oleh legislatif AS yang melanggar hak asasi
manusia,terutama tentang aturan aturan yang memmbolehkan penahanan tanpa
batas, serta tanpa didampingi pengacara sebagaimana terjadi terhadap
tahanan sipil di penjara Guantanamo.
Kemudian, tindakan-tindakan CIA yang menggunakan tempat-tempat
tahanan rahasia di Rumania, Polandia seperti dialami juga oleh tahanan
sipil Afghanistan dan negara lainnya sebelum dibawa ke Guantanamo
tersebut.
Tetapi sesungguhnya kalau ingin didalami lagi, tentang kebijakan
mengapa DRONES masih digunakan oleh pemerintahan Obama dalam perang
melawan teror, bukan Pentagon atau CIA yang harus ditanya atau diminta
pertanggung-jawabannya melainkan Presiden Amerika.
Kebijakan penggunaan itu ada di tangan COMMANDER-IN CHIEF atau Panglima Tertinggi.
Sedangkan untuk teknis penggunaan di lapangan, barulah Pentagon dan
CIA, yang harus dikawal dan diingatkan terus menerus agar tidak
digunakan dengan salah kaprah.
Brennan sangat layak untuk menduduki jabatan Direktur CIA sebab ia
memang “lahir, dibesarkan dan telah ditempa” oleh CIA selama 25 tahun.
Ia orang yang tepat menduduki posisi sepenting itu.
Dengan satu catatan, walau ia terhitung sangat amat dekat sekali
dengan Presiden Obama, Brennan harus tetap menjaga independensi dirinya.
Ia harus menjalankan tugasnya kelak sebagai Direktur CIA dalam
koridor yang memang bisa ia pertanggung-jawabkan di kemudian hari.
Brennan harus mampu membawa langkah-langkah CIA ke arah yang lebih
prosedural dan penuh tanggung-jawab di hadapan rakyat Amerika dan
Senator yang tak akan pernah lalai mengawasi operasi-operasi CIA.
Brennan boleh saja membawa langkah CIA kepada misi-misi yang lebih
agresif dalam perang melawan segala macam bentuk terorisme dan
kelompok-kelompok ekstrim (terutama Al Qaeda) di berbagai belahan dunia.
Ingatlah satu hal, meminjam dan mengutip yang pernah dituliskan oleh Presiden Jimmy Carter yaitu :
“Hargailah selalu hak asasi manusia dan jangan meninggalkan jatidiri
Amerika Serikat sebagai sebuah bangsa yang senantiasa mempelopori
penghormatan terhadap hak asasi manusia”.
Hanya tinggal selangkah lagi Brennan bisa duduk manis di kantor pusat CIA yang berkedudukan di Langley, Virginia.
Tapi sebelum Brennan berkantor disana, ia harus siap “dihajar” dulu
lewat pertanyaan-pertanyaan yang keras dan sengit dari para Senator.
Jangan pelit untuk tersenyum, Mr Brennan.
Tinggalkanlah dulu wajah yang sangat dingin plus angker itu, bila nanti “uji nyali” di hadapan para senator.
Semoga berhasil !http://indonesiakatakami.wordpress.com/2013/02/07/calon-direktur-cia-john-brennan-uji-nyali-di-hadapan-komisi-intelijen-senat/
Walau Dirayu CIA, Mossad Dilarang Menyerbu Suriah
Pasca Pertemuan Putin-Netanyahu, Perdamaian Suriah Harus Terwujud
Jakarta, 17 Mei 2013 (KATAKAMI.COM) — Tampaknya Amerika Serikat belum menyerah untuk menggoyang Suriah lewat tangan Israel.
Bertubi-tubi pejabat-pejabat sangat penting Amerika bertandang ke Israel akhir-akhir ini hanya untuk membahas masalah Suriah.
Sebutlah misalnya Menteri Pertahanan Chuck Hagel, disusul dalam pekan
ini kunjungan Direktur Dinas Rahasia CIA John Brennan, dan rencananya
pekan depan akan datang juga ke Israel Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat John Kerry.
Ibarat paduan suara yang kompak suaranya, setiap agenda kunjungan
pejabat-pejabat Amerika ini membawa topik pembahasan yang sama yaitu
soal Suriah.
Dan tampaknya Israel memang menjadi tempat bincang-bincang yang
paling nyaman buat Amerika jika ingin membicarakan masalah Suriah.
Saat Hagel berkunjung ke Israel tanggal 21 April lalu misalnya.
Tak lama setelah kunjungan itu, Israel melakukan serangan udara ke Suriah.
Pekan ini, Direktur CIA John Brennan yang bertandang ke Israel tanpa diinformasikan secara detail tentang kunjungan itu.
Brennan dikabarkan telah bertemu dengan Presiden Shimon Peres,
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Moshe “Bogie”
Yaalon, Kepala Staf IDF Letnan Jenderal Benny Gantz, dan sudah barang
tentu bertemu dengan mitra kerjanya yaitu Direktur Dinas Rahasia Mossad,
Tamir Pardo.
Pasca kedatangan Direktur CIA menemui Direktur Mossad, pertanyaan
besarnya adalah apa yang akan terjadi dalam beberapa waktu mendatang ini
terhadap Suriah ?
Mengapa kali ini Mossad yang terkesan ingin didorong dan dimajukan untuk masuk ke dalam konflik Suriah ?
Sebelum masuk pada pertanyaan yang seperti itu, ada baiknya kita mencermati siapa Direktur Mossad yang saat ini menjabat.
Tamir Pardo namanya.
Rubrik Kompasiana yang dimuat di Harian Kompas edisi 4 Januari 2011 pernah menurunkan artikel seputar sosok Tamir Pardo.
Kalau membaca biodatanya yang sangat minim informasi di Wikipedia,
mantan pasukan elite Israel Sayeret Matkal ini kelahiran 1953.
Berarti tahun 2013 ini, usianya genap 60 tahun.
Kompasiana menulis bahwa sepanjang hidupnya berkarir, Tamir Pardo banyak menghabiskan waktunya di dunia militer dan intelejen.
Tahun 1980 ia bergabung ke Dinas Rahasia Mossad ditempatkan sebagai anggota kesatuan tempur dengan sandi ‘caesar’.
Sehingga sampai tahun 2013 ini, sudah 33 tahun Tamir Pardo bergabung dalam dinas rahasia Mossad.
Agen T disebutkan sangat menguasai Teknologi Informatika dan menusuk ke wilayah pertahahan lawan dengan sedikit korban manusia.
Karena itu, sudah menjadi keahliannya diutus ke berbagai negara Arab bila ada ‘target’ yang harus dihabisi nyawanya.
Pengetahuannya mengenai seluk beluk wilayah Arab tidak disangsikan lagi.
Bahkan Komandan Operasi Pasukan Utara Jend. Gadi Eizenkot
mengangkatnya sebagai penasehatnya pada saat pecah perang Lebanon ke-2,
bahkan dipercaya menjadi Kepala Operasi pada sergapan Baalbak tahun
2006.
Informasi lain yang bisa diketahui mengenai Direktur Mossad ini, oleh para tetangganya ia dikenal sebagai ayah dan kakek.
Dari sejumlah referensi yang bisa dibaca di internet, Tamir Pardo
dikenal sebagai sosok sangat amat cerdas, berimbang, tidak pernah panik
dan mampu mengambil keputusan dalam situasi sesulit apapun.
Sebagai pasukan elite khusus Israel Sayeret Matkal, Tamir Pardo
adalah salah satu pasukan yang ikut ditugaskan dalam Operasi Entebbe
yang sangat melegenda.
Operasi Entebbe adalah operasi khusus yang digelar pada tanggal 4
Juli 1976, Pasukan Elite Israel Sayeret Matkal berhasil membebaskan
sandera yang disekap dalam Pesawat Air France di Bandara Entebbe,
Uganda.
Operasi Entebbe bermula pada tanggal 27 Juni 1976.
Sebuah pesawat Airbus milik Air France yang sebagaian besar
berpenumpang warga negara Israel dibajak ketika berada diatas udara
Eropa.
Pesawat ini berangkat dari Tel Aviv menuju Paris.
Pelaku pembajakan kemudian diketahui berjumlah 4 orang, 2 orang Palestina dan 2 orang Jerman yang salah satunya perempuan.
Pembajak selanjutnya mengarahkan pesawat ke Benghazi, Libya. Setelah
mengisi bahan bakar mereka lantas membawa pesawat mengarah ke selatan
menuju Uganda dan mendarat di bandara Entebbe. Idi Amin, penguasa Uganda
waktu itu ternyata malah memberikan perlindungan. Di Entebbe lantas
bergabung pula 4 anggota pembajak lain.
Pemerintah Israel memutuskan operasi penyelamatan harus dilakukan
melalui darat dengan menugaskan unit penyerbu yang terdiri dari 30 orang
pasukan elite Israel, Sayeret Matkal, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
Yoni Netanyahu.
Tugas ini ternyata dapat dituntaskan baik oleh Sayeret Matkal tepat pada tanggal 4 Juli 1976.
Semua pembajak akhirnya tertembak mati plus 45 tentara Uganda juga tercatat tewas.
Selain itu, pasukan pendukung yang mengamankan bandara juga berhasil
meledakkan 11 pesawat tempur jenis MiG-17 milik angkatan udara Uganda.
Dari 105 sandera, 3 dinyatakan tewas dan 10 lainnya luka-luka.
Dari pasukan Israel hanya 1 korban tewas.
Ironisnya, korban tewas ini adalah komandan Sayeret Matkal sendiri
yaitu Letnan Kolonel Yoni Netanyahu yang kala itu baru berusia 30 tahun.
Sebuah peluru menembus dada Yoni Netanyahu.
Tamir Pardo juga yang disebut melakukan pertolongan pertama untuk
menyelamatkan Yoni saat tertembak tetapi nyawa dari sang komandan tidak
tertolong.
Tamir Pardo dipilih menjadi Direktur Mossad per tanggal 1 Januari
2011 menggantikan Meir Dagan yang sudah 8 tahun memimpin Mossad.
Sebuah ungkapan yang sangat dikenang dari Tamir Pardo saat ia
ditunjuk menjadi Direktur Mossad adalah, “Kaki saya terlalu kecil untuk
sepatu Mossad”.
Wajar jika saat ini ia bisa bekerja dengan baik untuk Shimon Peres dan Benjamin Netanyahu.
Saat Operasi Entebbe digelar tahun 1976, jabatan Shimon Peres pada saat itu adalah Menteri Pertahanan Israel.
Sedangkan Perdana Menteri Netanyahu, adalah adik kandung dari Yoni
Netanyahu yang menjadi komandan Tamir Pardo saat melaksanakan Operasi
Entebbe di Uganda.
Kalau misalnya ada spekulasi yang memprediksi bahwa kali ini Mossad
yang tampaknya dirayu untuk melakukan sebuah operasi khusus menyerbu
Suriah, apa yang akan terjadi terhadap Suriah ?
Tanpa ada campur tangan Mossad, serangan militer dari Angkatan Udara
Israel (IAF) pada awal bulan Mei ini, sudah menghancurkan sejumlah
lokasi.
Bahkan menewaskan 42 orang Pasukan Elite Suriah.
Bagaimana kalau Mossad yang dimajukan ?
Dinas Rahasia Israel, Mossad, didirikan tanggal 13 Desember 1949 oleh Presiden Israel saat itu, Ben Gurion.
Mossad bertanggung jawab atas pengumpulan intelijen dan
operasi-operasi rahasia termasuk kegiatan paramiliter. Ini adalah salah
satu perusahaan yang utama dalam Komunitas Intelijen Israel, bersama
dengan Aman (intelijen militer) dan Shin Bet (keamanan internal), tetapi
direktur yang melapor langsung kepada Perdana Menteri.
Dalam lambang mereka yang tertulis “Ha-Mossad le-Modiin ule-Tafkidim
Meyuhadim” yang berarti “Institut Intelijen dan Operasi Khusus”.
Pada awal pembentukan Mossad, Presiden Ben Gurion mengatakan bahwa
tujuan Mossad adalah, “Untuk negara kita yang sejak berdirinya telah
berada di bawah ancaman musuh-musuhnya. Konstitusi intelijen ialah garis
terdepan pertahanan…Kita harus belajar dengan cara yang baik untuk
mengetahui apa yang sedang terjadi di sekeliling kita.”
Dari informasi yang bisa dibaca melalui website Badan Intelijen Negara (BIN), dituliskan disana bahwa Mossad sendiri mempunyai bermarkas pusat di Tel Aviv.
Motto Mossad merupakan kutipan Alkitab yang berbunyi “Karena hanya dengan perencanaan engkau dapat berperang” (Amsal 24:6).
Tetapi kemudian dirubah menjadi “ Jikalau tidak ada pimpinan,
jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasehat banyak, keselamatan ada.”
(Amsal 11:14)
Dan ada sebuah lembaran sejarah di masa lalu yang menghubungkan Mossad dengan Suriah secara sangat dekat.
Salah seorang agen Mossad yang kemudian diangkat menjadi Pahlawan
Nasional Israel, Eli Cohen, pernah sangat sukses menyamar dan berdinas
di dalam lingkaran kekuasaan Suriah.
Eli Cohen
(26 Desember 1924 – 18 Mei 1965) adalah seorang agen rahasia Mossad,
Israel dan diangggap sebagai salah satu mata-mata paling sukses setelah
perang dunia II.
Cohen pindah ke Damaskus, Suriah dengan nama alias Kamel Amin Tsa’abet (nama panggilannya Sa’bet atau Tha’bet).
Cohen berhasil memperoleh kepercayaan dikalangan pejabat militer Suriah dan juga pejabat pemerintahan.
Secara berkala ia mengirim informasi intelijen ke Israel lewat radio,
surat rahasia dan kadangkala pada saat ia berkunjung ke Israel.
Informasi yang sangat berharga yang berhasil ia kirimkan ke Israel pada
tahun 1964 adalah data tentang kubu pertahanan Suriah di dataran tinggi
Golan.
Akhirnya pada bulan Januari 1965, seorang ahli dari Uni Soviet yang
disewa oleh dinas intelijen Suriah berhasil menyadap pesan yang sedang
dikirimkan Cohen ke Israel.
Setelah dihadapkan ke pengadilan, ia diputuskan bersalah terlibat mata-mata dan dijatuhi hukuman mati.
Banyak kepala negara barat (Perancis, Belgia, Kanada) yang meminta
pemerintah Suriah untuk memperingan hukumannya bahkan Paus Paulus VI
ikut bersuara, tetapi ia tetap digantung oleh pemerintah Suriah pada
tanggal 18 Mei 1965.
Dan sampai dengan hari ini, Pemerintah Suriah yang dipimpin Bashar Al
Assad menolak untuk memulangkan jenazah Eli Cohen untuk dimakamkan di
Israel.
Jika mencermati sejarah kelam hubungan Mossad dan Suriah, bisa
dispekulasikan bahwa Tamir Pardo sebagai Direktur Mossad punya kewajiban
moril untuk tetap mengupayakan kepulangan jenazah pahlawan nasional
mereka.
Saat Pemerintah Israel berembuk tentang bagaimana formula terbaik
mengupayakan kepulangan prajurit IDF yang bernama Gilad Shalit untuk
bisa segera dipulangkan ke Israel, Mossad termasuk yang menyarankan agar
Israel tidak menggunakan serangan militer.
Gilad Shalit ditawan oleh Kelompok Militan Hamas di Jalur Gaza selama 5 tahun yaitu dari tahun 2006 sampai 2011.
Mossad termasuk dalam barisan yang ikut menyarankan bahwa cara
terbaik untuk memulangkan Gilad Shalit adalah dengan menyetujui usulan
pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas.
Pada akhirnya, Perdana Menteri Netanyahu menyetujui pertukaran Gilad
Shalit dengan 1047 orang tahanan Palestina pada tanggal 18 Oktober 2011.
Jika terhadap Gilad Shalit saja, Mossad punya hitung-hitungan yang
penuh kehati-hatian, maka sangat wajar jika ada keterikatan batin antara
Mossad dengan pahlawan nasional mereka yang jenazahnya masih ditahan
oleh Pemerintah Suriah.
Mungkinkah kondisi batiniah Mossad menyangkut Eli Cohen ini yang mau
digugah agar dinas rahasia Israel ini mau bergerak masuk menerobos
Suriah untuk melakukan guncangan dashyat ?
Tetapi tanpa perlu berandai-andai tentang apa sebenarnya yang sudah
dan akan terjadi dalam pembahasan antara CIA dan Mossad menyangkut
Suriah, satu hal yang perlu diingatkan kepada Tamir Pardo sebagai
Direktur Mossad.
Konflik di Suriah tak akan bisa diselesaikan dengan serangan militer asing dalam bentuk apapun.
Konflik di Suriah hanya bisa diselesaikan dengan solusi politik,
dimana jika solusinya adalah dengan saluran-saluran diplomatik dan
politik, maka dinas rahasia seperti Mossad tidak perlu repot-repot turun
tangan menyelesaikan konflik tersebut.
Kondisi di Suriah sudah begitu carut marut dan sangat mengerikan.
Tidak dibutuhkan serangan militer asing dalam bentuk apapun didalam negeri Suriah.
Mossad harus diingatkan untuk menahan diri dan tidak mudah dirayu
(bahkan jika yang merayu itu adalah CIA) agar mereka melakukan operasi
penyerbuan ke Suriah.
Tak ada yang meragukan bagaimana kehebatan Mossad.
Dinas Rahasia Mossad di akui oleh siapapun didunia ini sebagai dinas
intelijen terbaik, terhebat dan tersukses peringkat pertama dunia.
Tak ada juga yang meragukan bagaimana kekejaman dan kesadisan Mossad dalam operasi-operasi mereka didunia ini.
Tetapi, sehebat apapun Mossad, konflik di Suriah jangan dan tidak boleh dimasuki.
Beri ruang dan waktu untuk Pemerintah Suriah menyelesaikan persoalan
internal negara mereka sebab yang saling berperang adalah antar rakyat
Suriah yaitu yang pro dan kontra terhadap Presiden Bashar Al Assad.
Sederhana saja dasar pemikirannya bahwa rakyat Suriah membutuhkan
secepatnya stabilitas keamanan dan perdamaian yang bisa segera membawa
mereka kepada kehidupan yang semula.
Jika dihancurkan, maka otomatis harapan untuk membuat Suriah menjadi
lebih baik — terutama harapan agar perdamaian dan rekonsiliasi itu
segera terwujud — akan ikut hancur tak terselamatkan.
Jangan, sekali lagi jangan.
Jangan sampai konflik di Suriah sampai harus melibatkan Mossad untuk mengakhiri perang yang sangat berkepanjangan di Suriah.
Urusan diplomasi dan politik di negara lain (dalam hal ini Suriah), maaf, sepertinya hal itu bukan urusan Mossad.
Mossad jangan mau dirayu, entah oleh siapapun ….
MS
Setelah Putin Bertemu Netanyahu, Perdamaian Suriah Harus Terwujud
[INI PERLU HATI2...KARENA SANGAT BERBAHAYA.......!!! DAN MEREKA SADAR...BAHWA BILA TERJADI EXPLOSIF DI SURIAH... MAKA AKIBAT LANJUTANNYA AKAN SANGAT JAUH DAN BISA MENJADI LEBIH LIAR... YANG MEMUNGKINKAN PERANG TERBUKA SECARA REGIONAL BAHKAN PD III???
DAN BUKAN SAJA SURIAH YANG MENJADI MEDAN PERANG... ..TETAPI ISRAEL ... -TURKI DAN ARAB SAUDI SERTA EMIRATE ARAB..BISA JADI BAGIAN DARI KANCAH PERANG..YANG TAK TERKENDALI.. DAN... APAKAH RUSIA CHINA-AS-NATO-IRAN- IRAQ AKAN DIAM..??.... ]
Isu Suriah Pertemukan Putin-Netanyahu Di Kota Sochi Rusia
Jakarta, 15 Mei 2013 (KATAKAMI.COM)
— Pertemuan antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri
Israel Benjamin Netanyahu pada hari Selasa (14/5/2013) kemarin
berlangsung sekitar 3 jam.
Dari media, terutama dari jejaring sosial (twitter misalnya), siapa
saja dapat mengikuti perkembangan pertemuan mereka dari jam ke jam.
Termasuk foto-foto dan hasil jumpa pers antara kedua pemimpin ini.
Kantor Kepresidenan Rusia (Kremlin) mempublikasikan secara cepat
detail dari hasil perjumpaan Putin dan Netanyahu, termasuk transkrip
jumpa pers mereka kepada media setempat.
Walaupun kalau disimak secara cermat pernyataan dari kedua pemimpin
ini, baik Putin dan Netanyahu, sama-sama menunjukkan kemahiran dan
kepiawaian mereka merangkai kata-kata sehingga semua kata-kata terkemas
menjadi serangkaian kalimat basa-basi politik yang barangkali memang
mengharuskan keduanya menjaga kesantunan diplomasi.
Bahwa pertemuan itu membahas konflik Suriah secara khusus, media dan
semua pihak sudah mengetahuinya sejak pertemuan itu belum berlangsung.
Tetapi tak dijumpai detail pembahasan mereka terkait Suriah.
Hanya sedikit sekali yang bisa diketahui dari omong-omong Putin dan Netanyahu soal Suriah.
Padahal sepekan sebelum pertemuan ini berlangsung, Kremlin dan Kantor
Perdana Menteri Israel sudah saling menyerang melalui pernyataan mereka
di media.
Kremlin mengingatkan Israel untuk tidak lagi melakukan serangan militer ke Suriah.
Sedangkan Kantor Perdana Menteri Israel mengingatkan Kremlin agar
Rusia tidak menjual sistem peluru kendali anti-serangan udara S-300
yang canggih kepada Suriah.
Sebagai catatan, hanya beberapa jam sebelum Netanyahu melakukan
kunjungan kenegaraannya ke China pekan lalu, ia memerintahkan Angkatan
Udara Israel (IAF) untuk melakukan serangan udara ke Suriah.
Pesawat tempur Israel menyerang pusat penelitian sains Jamraya di Damaskus, Sabtu (5/5/2013), demikian laporan kantor berita SANA.
Serangan itu merupakan serangan kedua Israel ke Suriah dalam kurun waktu satu pekan.
Pertemuan kedua pemimpin ini memang ditujukan untuk membicarakan
kemelut Suriah ditengah kekhawatiran akan peningkatan pengiriman senjata
dari Moskow ke Damaskus dan peningkatan jumlah korban.
“Saya tentu mengharapkan pembicaraan dengan Anda tentang keadaan di
kawasan itu, termasuk Suriah,” kata Putin kepada Netanyahu pada awal
perundingan di kediaman pemimpin Rusia itu di kota Sochi, Laut Hitam,
Selasa.
“Kita bersama dapat memikirkan tentang bagaimana membuat kawasan
Timur Tengah lebih aman dan stabil,” kata Netanyahu, demikian dilaporkan
AFP.
Berdasarkan rilis yang dikeluarkan Kantor Kepresidenan Rusia (Kremlin) melalui website mereka, inilah transkrip jumpa pers dari Presiden Putin dan Perdana Menteri Netanyahu :
PRESIDENT OF RUSSIA VLADIMIR PUTIN:
Good afternoon ladies and gentlemen,
Our talks with Prime Minister of Israel, Mr Netanyahu, just ended. I
can say at once that they took place in a very open, trusting
atmosphere. We discussed both our bilateral contacts and
intergovernmental ones, as well as the situation in the Middle East.
I would like to point out immediately that our relationship with
Israel is both friendly and mutually beneficial. You know that just
recently, on May 9, we celebrated Victory over Nazism Day. We are
grateful to Israel’s leaders for their nation’s attitude to the memory
of victims who died fighting Nazism, including those who lived in the
Soviet Union.
Our bilateral economic ties are growing stronger. There are problems
in this respect, first and foremost relating to insufficient mutual
investments; those can certainly increase significantly. In this respect
we have good prospects in the wide variety of areas in which we
cooperate. Our agencies and ministries – emergencies ministries, health
ministries and others – work closely together.
Tourist visits are increasing. After the abolition of visa
requirements, the number of Russian tourists increased many times over,
and last year it reached 300,000.
Our relations in the humanitarian, educational and cultural spheres
are developing. In February 2013 a successful Russian culture festival
was held in Tel Aviv and Haifa.
Ties between our various regions are growing stronger. In February
2013, the Russian city of Gelendzhik, close to Sochi (where we are
today), was twinned with the Israeli city of Netanya.
Of course today we talked a lot about regional security problems. The
situation in Syria is a particular concern. My colleague and I agree
that continuing the armed conflict in the country is fraught with
disastrous consequences for both Syria and the region. Only by quickly
ending the armed struggle and arriving at a political settlement can we
prevent a very negative outcome.
In this crucial period it is especially important to avoid actions
that could destabilise the situation. Mr Prime Minister and I agreed to
stay in contact: both in personal contact and via our organisations and
special services.
I am grateful to Mr Prime Minister for accepting our invitation and travelling to Russia today. Thank you.
PRIME MINISTER OF ISRAEL BENJAMIN NETANYAHU (re-translated):
Thank you Mr President for your invitation and the warm welcome.
You described relations between Israel and Russia absolutely
correctly. Our various relationships are getting closer and stronger all
the time.
We discussed developing and strengthening our ties in science,
culture and economics. Jews, immigrants from the CIS countries living in
Israel, play an important part in these relations and their future. And
the great role the Russian people played in stopping Nazi Germany and
facilitating victory over it is our shared history. A great many Jews
fought in the Red Army. So when you celebrate Victory Day here on May 9,
in our country, in another part of the world, we also celebrate that
day and salute your contribution to the victory over Nazi Germany.
The fact that the State of Israel was founded is what enables Jews to
defend themselves against those who continue to try to destroy us. We
aspire to peace with all our neighbours. We managed to reach peace
agreements with two of them, and I hope that this will be the case with
others too; naturally, we also want to preserve what we already have.
But unfortunately, we have learned from experience, and you also know,
that peace can only be concluded with the strong, only with those who
are able to defend themselves. Our job is to protect our citizens, and
we always do so.
We had very detailed and in-depth conversations about the situation
in our region. Together we are trying to find a way to strengthen
stability and security there. This is important to us, and it is
important to you. And we have a wonderful, historically-founded
opportunity to talk directly with one another, to explain our position
clearly, and to try and realise common goals.
I very much appreciate the time you devoted to us, the very warm and
friendly welcome, and the great opportunity to come here, two hours away
from Tel Aviv, to where you will soon host the next Winter Olympics.
And I want to take this opportunity to wish you every success.
From what I saw during my short visit, I want to say that you could not have chosen a better place to hold the Olympics.
Thank you very much.
Dan dalam situasi-situasi tertentu di belahan dunia ini, untunglah
ada media yang akan selalu menunjukkan kemampuan untuk menggali
informasi-informasi yang tak akan mungkin bisa didapatkan dari jalur dan
cara-cara yang formal.
Salah satu media Israel, Haaretz melaporkan bahwa sesungguhnya dalam
kunjungan PM Netanyahu ke Rusia, salah seorang yang ikut mendampingi
adalah Kepala Intelijen IDF (Israel Defense Forces) Mayor Jenderal Aviv
Kochavi.
Tak ada informasi yang lebih detail tentang apa yang dipresentasikan
atau disampaikan Kepala Intelijen IDF ini saat berlangsung pertemuan
Putin dan Netanyahu.
Tetapi ini menguatkan spekulasi bahwa tampaknya Netanyahu hanya
sebatas ingin menjelaskan latar belakang serangan militer mereka ke
Syria yang dilakukan secara beruntun sepekan sebelum pertemuan Putin dan
Netanyahu berlangsung di Sochi hari Selasa (14/5/2013) kemarin.
Secara hirarki, Mayor Jenderal Aviv Kochavi ada dibawah komando Kepala Staf IDF Letnan Jenderal Benny Gantz.
Serangan militer Israel ke Suriah dilakukan oleh Angkatan Udara
Israel (IAF) yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Amir Eshel, dimana dalam
struktur organisasi, pimpinan IAF ini ada dibawah Kepala Staf IDF.
Dan secara organisasi, Kepala Staf IDF ada di bawah komando Menteri Pertahanan Israel Moshe Bogie Yaalon.
Oleh karena serangan militer Israel ke Suriah dilakukan oleh Angkatan
Udara Israel (IAF), maka yang dapat memberikan perintah penyerangan itu
secara hirarki adalah :
1. Kepala IAF Mayor Jenderal Amir Eshel
2. Diatasnya, ada Kepala Staf IDF Letnan Jenderal Benny Gantz.
3. Diatasnya lagi, ada Menteri Pertahanan Moshe “Bogie” Yaalon.
4. Baru setelah itu, yang menduduki posisi paling atasnya lagi adalah
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Presiden Shimon Peres.
Diikut-sertakannya Kepala Intelijen IDF ini dalam pertemuan Putin dan
Netanyahu, sepertinya untuk bisa membantu menjelaskan kepada Putin,
mengapa Israel menyerang Suriah.
Putin, tak bisa dipandang sebelah mata dalam urusan militer dan intelijen.
Putin adalah mantan agen rahasia KGB.
Sehingga pasti ia akan sangat menghargai setiap detail data, analisa
dan laporan-laporan intelijen, sebab pada masa lalunya ia pun bekerja
sebagai seorang agen rahasia yang sangat handal.
Tampaknya Netanyahu menyadari bahwa dibalik sikap hangat dan
bersahabat yang ditunjukkan Putin, jika ingin berbicara tentang kondisi
keamanan di negara lain (dimana dalam kondisi tersebut, militer Israel
terlibat dalam beberapa kali serangan militer sepihak) maka hal terbaik
yang bisa digunakan adalah penjelasan dari sudut pandang intelijen
militer.
Dan strategi yang digunakan Netanyahu, disambut baik oleh Putin.
Dalam pertemuannya dengan Netanyahu, ke depannya nanti Putin
menyambut baik kerjasama di bidang intelijen antara Israel dan Rusia
menyangkut penyelesaian konflik Suriah.
Tak ada penjelasan apapun (baik dari Rusia ataupun Israel), apakah
presentasi Kepala Intelijen Militer Israel ini hanya sebatas menjelaskan
latar belakang serangan militer Israel ke Suriah yang terjadi selama
ini.
Tapi besar kemungkinan, dalam penjelasan itu diuraikan juga informasi
intelijen apa yang didapat Israel tentang kecurigaan mereka pada Iran
dan Hizbullah yang memanfaatkan konflik Suriah untuk memasok rudal yang
dapat mengancam keamanan Israel.
Dari berbagai penjelasan mereka di media sepekan lalu, berulang kali
Israel mengatakan bahwa serangan ke Suriah adalah untuk menghentikan
rencana pengiriman rudal Iran kepada Hizbullah melalui Suriah.
Sebuah pernyataan dari Presiden Putin harus digaris-bawahi disini
bahwa gerakan apapun yang dilakukan di Suriah yang dapat menimbulkan
ketidakstabilan, memang harus dihindari.
Sebab, kata Putin, satu-satunya cara untuk menghindari skenario yang
negatif di Suriah adalah dengan mengakhiri konflik bersenjata di Suriah
dan mulai dilakukannya penyelesaian secara politik.
Sesungguhnya pernyataan Putin inipun sejalan dan senafas dengan apa
yang disampaikan Perdana Menteri Inggris David Cameron baru-baru ini
bahwa yang sangat penting untuk segera dilakukan adalah mengakhiri
konflik bersenjata di Suriah.
Tetapi kalau Rusia didorong dan dipaksa untuk ikut bergabung ke dalam
barisan sejumlah negara yang mendirikan “Friends of Syria”, hal
tersebut tidak tepat.
Rusia berhak menentukan dimana dan bagaimana posisi mereka dalam permasalahan ini.
Semua negara, termasuk Rusia, tentu sama-sama berharap agar konflik
bersenjata di Suriah bisa segera diakhiri dan perdamaian terwujud antara
kelompok yang bertikai di dalam internal negara Suriah.
Sialnya, kelompok yang sedang bertikai di dalam domestik Suriah ini
(khususnya kelompok pemberontak bersenjata Suriah), mempunyai dan
memboncengkan ambisi-ambisi liar mereka atas nama misi mewujudkan
perdamaian.
Misalnya, kalau puluhan sumur-sumur minyak dikuasai untuk kemudian
diklaim menjadi milik kelompok pemberontak bersenjata Suriah, itu
namanya menjarah aset negara.
Dan negara manapun, tidak akan ada yang bisa membenarkan penjarahan aset-aset resmi negara oleh pihak lain.
Disinilah komunitas internasional kesulitan untuk bisa menyatukan langkah dan suara.
Lalu disisi lain, Israel yang memang sangat amat tegas dan
benar-benar concern menjaga keamanan nasional mereka, memang tak bisa
mentolerir setiap bentuk ancaman yang bisa membahayakan rakyat mereka.
Untuk itulah Iran dan Hizbullah perlu dihimbau untuk tidak
memanfaatkan situasi yang sangat kacau balau di Suriah untuk kepentingan
pasok memasok rudal yang ujung-ujungnya bisa membahayakan keamanan dan
keselamatan negara lain.
Suriah sudah begitu kacau dan benar-benar sangat mengerikan kondisinya.
Sangat tidak masuk diakal jika kondisi yang sudah seburuk ini masih
dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan yang sama sekali tidak ada
manfaatnya untuk rakyat Suriah yang sudah sangat mendesak membutuhkan
perdamaian antar mereka.
Presiden Bashar Al Assad dan Perdana Menteri Wael al-Halqi harus mampu merealisasikan konsep-konsep perdamaian yang nyata.
Lakukan secara cepat, tepat dan memang benar-benar ampuh untuk
menciptakan kestabilan dan keamanan yang membuka jalan bagi terwujudnya
perdamaian di Suriah.
Masa depan Suriah, bukan tergantung dari negara lain atau kelompok manapun yang datang dari luar Suriah.
Masa depan Suriah, ada di tangan rakyat Suriah sendiri.
Rasa senasib, sepenanggungan, cinta kasih dan nasionalisme harus
dibangun kembali oleh rakyat Suriah agar hari-hari baru yang akan datang
di kemudian hari bisa menjadi lebih baik.
Bukan justru semakin memburuk dan bisa lebih menghancurkan Suriah secara total. (*)
Ketum Nasdem Surya Paloh: By Design,
Semua yang Mengurus Harus Mundur
Jakarta - Secara fenomenal, Partai
Nasional Demokrat menjadi satu-satunya partai baru yang lolos ke
Pemilihan Umum 2014 saat banyak partai lain berguguran. Tapi, bak
pepatah, makin tinggi makin kencang angin yang bertiup, NasDem pun
langsung dilanda gonjang-ganjing.
Diawali dengan keputusan pergantian pengurus, yang mengantarkan pengusaha dan pemilik kelompok Media Indonesia, Surya Paloh, menjadi ketua umum. Lantas disusul mundurnya Ketua Dewan Pakar Hary Tanoesoedibjo dan sejumlah pengurus pusat serta daerah.
Tapi Surya mengatakan partai ini didirikan dengan grand design oleh dirinya. By design pula, semua orang yang mengurus harus mengundurkan diri. “Ada teken yang kita tidak bisa published itu, dan ini baru pertama kali saya ucapkan kepada kalian,” kata Surya kepada Andree Priyanto, Dimas Adityo, Basuki Nugroho, Raisya Maharani, Choirul Anam, dan pewarta foto Ary Saputra dari Harian Detik pada pekan lalu.
Kini, dengan kepengurusan baru, bagaimana cara NasDem mewujudkan targetnya sebagai pemenang pemilu? Berikut ini petikan lengkap wawancara dengan Surya yang didampingi Ketua Dewan Redaksi Media Indonesia Saur Hutabarat dan Redaktur Senior Elman Saragih. Wawancara yang digelar di ruang kerjanya yang lapang di gedung Prioritas, Jakarta, ini dimuat di Harian Detik edisi Senin 4 Maret 2013:
Apa persiapan yang telah dilakukan oleh NasDem terkait dengan Pemilu 2014?
Saya pikir memang selayaknya partai yang secara resmi ditetapkan oleh KPU ikut Pemilu 2014 harus segera melakukan konsolidasi secara efektif. Sebab, kalau tidak, waktu yang sudah ditetapkan itu tidak mungkin diisi dengan sesuatu yang tidak memberikan asas manfaat sepenuhnya bagi tujuan keikutsertaan partai dalam pemilu. Konsolidasi tersebut, ya, dengan rapat kerja di setiap wilayah. Persiapan penjaringan calon legislator juga dimulai.
Progresnya sudah sejauh mana?
Pertama, partai ini sudah mampu melakukan penetrasi dalam memiliki kemampuan jaringan dan infrastruktur partai yang bukan terbatas di pusat, tapi juga di kecamatan. Bahkan kita targetkan hingga April ini tak ada satu desa pun yang tidak memiliki kantor kepengurusan NasDem di Indonesia. Kurang-lebih ada 79 ribu desa ada di Indonesia. Jadi, kalau bisa dicapai pada akhir April ini, akan menjadi prestasi dalam penetrasi konsolidasi partai.
Yang kedua, bagaimanapun, kita memahami budaya bangsa kita yang belum bergeser dari budaya paternalistik. Suka atau tidak suka, kita tidak bisa mengesampingkan faktor ketokohan atau figur yang kita ajak serta di setiap strata dalam kehadiran partai di setiap wilayah kabupaten dan kota. Tentunya kita harus mengedepankan aspek elektabilitas tokoh itu.
Ketiga, kita berjuang mengajak pihak-pihak membentuk opini, apakah itu media konvensional, dunia pertelevisian, cetak, dan social media. Karena, sebagai partai baru dengan tema gerakan perubahan restorasi Indonesia ini, bolehlah asam-asam pedas. Kadang orang akan berpikir, ini jangan-jangan hanya akan berhenti pada jargon semata. Tidak lebih dari itu, sama dengan sembilan partai yang sudah eksis selama ini, habis manis sepah dibuang, janji-janji di bibirmu semata.
Nah, ini yang sedang diperjuangkan NasDem untuk menjelaskan bahwa arti keberadaan partai ini tidak dimaksudkan menambah jumlah partai yang sudah ada, juga bukan hanya ikut peserta pemilu. Bahkan bukan dengan mimpi yang hanya lolos parliament threshold 3,5 persen supaya ada sejumlah anggota parlemen.
Partai ini sadar bahwa situasi dan tantangan bangsa ini sudah mengarah pada national distrust. Masyarakat kecewa terhadap partai politik. Mereka memiliki judgment bahwa partai politik ini hanya ingin mengambil hak protokoler yang ada pada mereka, fungsi-fungsi konstitusional itulah yang berhak mereka miliki tapi tidak menyertakan kewajiban-kewajiban.
Bagaimana kewajiban melihat proses kemajuan berbangsa dan bernegara, melihat kemampauan peran partisipasi publik semakin hari semakin melemah terhadap semua kebijakan formal dan kebijakan publik. Partai politik tidak risau dengan hal ini. Orang tidak bayar pajak, partai politik tidak risau, bahkan tidak risau ketika KPK perlu mengutus timnya ke luar negeri untuk memeriksa Sri Mulyani, urusannya apa?
Di mana equality before the law, kalau Sri Mulyani orang biasa, pertanyaannya, KPK datang atau enggak ke sana? Ini kan seharusnya menambah kerisauan kita.
Tiba-tiba tokoh politik dijadikan tersangka korupsi, berbondong bondong seluruh tokoh masyarakat datang ke rumahnya memberi empati. Ada apa di negeri ini?
Sebelum dia kena kasus, tidak ada empati itu. Ini fenomena baru di negeri ini, dan NasDem mencatat ini sebagai pemikiran yang harusnya menjadi perenungan, kontemplasi, ada apa?
Lalu apa strategi Anda supaya masyarakat tak berpandangan NasDem sama saja dengan yang lain?
Di samping adanya langkah atau program konkret NasDem dalam mendeskripsikan gerakan perubahan yang dilakukan, ada unsur-unsur keteladanan yang harus diberikan oleh pemimpin partai ini. Keteladanan yang dimaksudkan adalah memberikan konsekuensi bahwa ucapan dan perbuatan itu sejalan, tidak bertentangan. Jangan terlalu mudah mengobral janji ketika tidak bisa menepati itu. Jangan sok moralis ketika kita masih suka bermain dengan hipokrasi.
Apa perubahan spesifik yang ditawarkan NasDem?
Yang barangkali perlu kita jelaskan kepada masyarakat, mereka mau berubah atau tidak? Jangan tanya apa yang harus diubah. Kalau masyarakat sudah merasa nyaman, apa yang ingin diubah? Karena ini bagian dari misi partai politik, salah satunya upaya konsisten dari waktu ke waktu untuk melaksanakan apa yang dimaksudkan dengan political education. Pendidikan politik tidak meng-entertain masyarakat, tidak hanya ingin mengejar popularitas. Kadang- kadang memang harus menanggung risiko sebagai hal yang kontroversial, bahkan menimbulkan polemik, tapi itu adalah risiko.
Apa langkah konkret Partai NasDem? Bagaimana dengan kontrak politik untuk para calon legislator agar tak melenceng dari tujuan utama?
Berdasarkan pengalaman yang ada, apakah itu kontrak politik ataupun pakta integritas akan berhenti di situ saja. Kita ingin menyentuh mata hati dan nurani para calon legislator. NasDem adalah partai kaum pergerakan, yang harus menyeimbangkan profesionalitas dan moralitas. Tak ada artinya cendekiawan, doktor, ulama, atau bergelar PhD kalau tidak memiliki konsistensi dan semangat moralitas yang menyertai profesionalitas.
Bagaimanapun, dibutuhkan keteladanan dari siapa pun yang menjadi pemimpin. Keteladanan itu ketika dia siap memberikan semangat pengorbanan yang lebih besar daripada orang yang dipimpin.
Berarti enggak ada semacam kontrak politik atau pakta integritas?
Ada pasti. Tapi sudah cukup kan peraturan perundang-undangan. Kita sering main-main yang tambah-tambah pakai pakta integritaslah, apa ceritanya. Sebenarnya itu hanyalah kosmetik kulit. Pendidikan politik di NasDem yang pertama, dia tidak tertarik membicarakan masalah calon presiden atau calon wakil presiden.
Sebagai partai baru, NasDem harus melihat hasil elektabilitas pada pemilu legislatif. Kalau nomor 4, dipastikan NasDem tidak akan ikut mencalonkan presiden dan wakil presiden. Harus di antara 1, 2, atau maksimal 3. Ini pendidikan politik! Jangan baru 2,3 persen sudah sibuk dengan calon wakil presiden.
Parliamentary threshold seharusnya 5 persen ke atas, tapi kan mereka takut. Hasil rendah tapi dia ingin jadi capres dan dia adalah ketua umum partai, lalu majulah dia jadi calon. Apakah seperti ini pantas? Menurut saya, ini bagian dari asas kepantasan. Ini asas kepatutan.
Kalau seumpama presidential threshold diketok 20 persen?
Harusnya lebih tinggi dari 20 persen. Kalau partai enggak laku, masak mau jadi presiden. Ini kan moralitas kita.
Target Partai NasDem berapa persen?
Mungkin kalian bisa menertawakan, tapi sejujurnya NasDem menargetkan sebagai pemenang pemilu.
Agar cita-cita itu tercapai, apa langkah konkret NasDem?
Pertama, dia tidak boleh melakukan langkah-langkah yang sudah dijalankan partai terdahulu. Kedua, dia harus datang dengan inovasi yang lebih hebat. Langkah besar selanjutnya adalah infrastruktur partai.
Sekarang apakah sembilan partai yang lain itu sudah memiliki infrastruktur seperti infrastruktur yang dicapai oleh Partai NasDem? Apakah ada pengurus partai lain di 79 ribu desa 100 persen, mungkin 99 persen, karena mungkin ada yang terselip?
Siapa lawan politik yang paling berat?
Tidak elok kalau saya katakan. Kamu yang bertanya pasti sudah bisa menjawab pertanyaan kamu sendiri. Mana partai yang bisa bertahan dan tidak bisa bertahan pasti kamu tahu. Karena konsistensi NasDem ingin mengajak kompetisi dengan semangat harmoni, bukan saling melukai. Ketika Anda bertanya seperti itu, sudah bisa adinda jawab sendiri.
Tentang mundurnya beberapa kader NasDem, apa tanggapan Anda?
Partai ini didirikan dengan grand design oleh Surya Paloh, yang 43 tahun berkiprah di Partai Golkar dari jabatan yang paling rendah sampai jabatan paling tinggi. Dia tidak pernah ke partai lain. Dia katakan goodbye ke Partai Golkar bukan dengan perasaan sukacita, tentu ada romantisisme di sana.
Bayangkan, anak usia 15 tahun sudah terjun di partai politik dari tingkat paling bawah posisi ranting, anak cabang, hingga ketua dewan penasihat partai, yang anggotanya Aburizal Bakrie, Prabowo, Fahmi Idris, ada juga Hamengku Buwono. Dia bertarung sebagai ketua umum karena ada yang harus diperjuangkan. Partai itu tidak boleh semakin hari semakin jauh dari cita-cita partai itu didirikan.
Situasi pada waktu itu, pemerintah juga beranggapan mungkin kurang pas kalau Surya Paloh menjadi Ketua Umum Golkar. Jadi Surya berhadapan dengan Aburizal, juga pemerintah. Bagi Surya, this is the end kepada Golkar. Tapi ada daya energi di diri saya yang saya pikir harus digunakan.
Saya berusia 61 tahun, dulu mundur dari Golkar saat 59 tahun. Makanya saya pikir harus ada saluran politik. Nah, karena itulah saya melahirkan Nasdem sebagai ormas. Sekarang pun Nasdem masih organisasi kemasyarakatan yang sampai saat ini masih ada anggota dari partai lain.
Ada keinginan gagasan besar ini disalurkan, tidak hanya berhenti pada organisasi kemasyarakatan, tapi harus bisa memiliki kewenangan dan itu hanya bisa ditemui di partai politik. Maka lahirlah Partai NasDem. Nah, karena dalam proses perjalanan ada keinginan konsep gagasan ada yang namanya tim untuk menghantarkan masa verifikasi, ada tim yang dipersiapkan menghadapi pemilu.
Jadi memang by design semua orang yang mengurus harus mengundurkan diri. Ada teken yang kita tidak bisa published itu, dan ini baru pertama kali saya ucapkan kepada kalian.
Kok, harus mundur?
Karena harus dicari ketokohan. Dalam waktu tiga bulan harus menyelesaikan administrasi. Tuan-tuan kita di DPR tidak mau ada partai baru. Mereka bikin persyaratan unlogic yang akhirnya membuat mereka mabuk sendiri. Seratus persen provinsi, satu saja kalah, gugur, 75 persen kota, 50 persen kecamatan, kalau 1 persen kalah, itu gagal.
Karena instruksi dari meja ini tidak boleh satu kecamatan pun yang tidak ada kepengurusan, 100 persen semuanya harus ada. Dan terbukti, NasDem nomor satu hasil verifikasi KPU. Karena diatur dan didesain seoptimal mungkin. Tim ini dipersiapkan sekuat- kuatnya untuk seprofesionalnya mengantarkan itu.
Jadi mundurnya HT (Hary Tanoesoedibjo) tidak ada pengaruhnya?
Kalau kita anggap HT itu berpengaruh besar, tentunya hari ini NasDem mengatakan sudah surrender dia, tidak perlu ikut pemilu lagi. Sudah keluar yang namanya “Mr in the rechten”, ketua dewan pakar. Lempar handuk saja kita.
Tapi kan bisa kalian lihat, Pak Hary Tanoe ada nafsu politik yang lebih tinggi, maka ke Partai Hanura, bikin Perindo dengan konsep yang sama. NasDem sedikit-banyak bolehlah sudah memberikan pelajaran berarti.
Pecah kongsi dengan HT dan kemudian diikuti dengan mundurnya pengurus lainnya menimbulkan pemikiran mengurus partai saja tidak bisa, bagaimana mengurus negara?
Saya terima itu. Kalau saya mau, HT bisa saja tidak keluar dari sini. Kenapa kok keluar? (Lebih lanjut Surya Paloh tak mau komentarnya dimuat. Off the record katanya).
Menyesal atau tidak HT telah bergabung ke NasDem?
Enggak boleh kita bicarakan itu. Urusan saya dan dia jangan kalian angkat. Enggak ada artinya. Itu namanya gorengan saham.
Sewaktu kampanye, dia mengklaim medianya banyak yang berjuang mengangkat partai lolos pemilu....
Ada. Tapi sebagian besar kan fotonya dia juga. Kalau itu yang diklaim, ada pengaruhnya. Kapan kau dikenal orang kalau enggak masuk NasDem?
Berapa cost politik Abang terkait dengan materi sehingga sampai semua kecamatan ada kepengurusan Partai NasDem?
Oh, tentu besar.
Soal NasDem yang katanya akan memberikan modal kepada calon legislator?
Yang pasti, tidak ada boleh sedikit pun pengeluaran biaya calon legislator dalam pencalonan mereka, tidak ada partai pungut biaya. Kasih tahu orangnya, maka akan saya kasih sanksi tegas, meskipun dari strata yang tinggi, baik DPR atau apa pun. Dulu pernah diutarakan caleg akan dibayar. Itu mispersepsi dalam pemikiran mereka bahwa seakan-akan caleg akan mendapatkan uang.
NasDem sedang berikhtiar bagaimana bisa membantu para caleg. Katakanlah alat peraga, metode kampanye, mempergunakan lembaga survei untuk mengetahui elektabilitas mereka. Terlalu dini kalau mengatakan ada Rp 5 miliar itu. Karena mungkin dulu ada tauke saja waktu itu makanya mikir gitu. Saya pikir itu sebenarnya adalah pendekatan yang salah jika dikonsumsi publik.
Partai ini adalah partai pergerakan, jadi tidak berpikir baru bisa jalan kalau ada uang. Logistik memang kita butuhkan. Kita tidak bisa mengingkari itu, tapi harus ada spirit, militansi, spirit, dan visi baru. Logistik itu akan memberikan sesuatu yang berarti bagi perjalanan partai politik.
Di NasDem sendiri apakah sudah ada rapat internal yang memutuskan nantinya siapa yang akan menjadi capres?
Belum, Abang belum terpikirkan itu. Di tengah-tengah ketidakpercayaan, saya ingin menyatakan saya tidak berpikir ke sana. Sejujurnya saya penuh konsentrasi memikirkan sebuah fenomena partai baru yang bisa masuk pemilu, dan nantinya toh pengakuan itu akan datang dengan sendirinya.
Kalau gagal, yang paling banyak harus mempertanggungjawabkan adalah pemimpin. Pemimpin tertinggi di partai ini adalah saya. Kalau berhasil, berarti keberhasilan ini karena kepemimpinan Bung Surya juga. Jangan pikirin capres.
Tapi kalau ternyata Partai NasDem dipercaya masyarakat dan mencapai tiga besar?
Kalau tiga besar, perlu kita pikirkan, tapi tidak otomatis. Saya harus melihat dulu elektabilitas dan kapabilitas. Kepentingan saya apa yang terbaik untuk Indonesia, bukan untuk Surya.
Apakah secara pribadi Abang punya?
Anggap saya ini sebagai capres, seumpama harga nominal itu cuma harga pas-pasan, kalau angka itu angka 6. Saya enggak mau negara ini dipimpin angka 6 kalau ternyata ada angka 7. Dan pasti saya akan marah jika dipimpin oleh yang di bawah angka 6. Cari yang lebih baik.
Ada upaya untuk meningkatkan dari 6 ke 7?
Ndak. Saya ingin berkonsentrasi di partai. Enggak bisa dua-duanya sekaligus. Saya sadar itu waktu terlalu singkat.
Diawali dengan keputusan pergantian pengurus, yang mengantarkan pengusaha dan pemilik kelompok Media Indonesia, Surya Paloh, menjadi ketua umum. Lantas disusul mundurnya Ketua Dewan Pakar Hary Tanoesoedibjo dan sejumlah pengurus pusat serta daerah.
Tapi Surya mengatakan partai ini didirikan dengan grand design oleh dirinya. By design pula, semua orang yang mengurus harus mengundurkan diri. “Ada teken yang kita tidak bisa published itu, dan ini baru pertama kali saya ucapkan kepada kalian,” kata Surya kepada Andree Priyanto, Dimas Adityo, Basuki Nugroho, Raisya Maharani, Choirul Anam, dan pewarta foto Ary Saputra dari Harian Detik pada pekan lalu.
Kini, dengan kepengurusan baru, bagaimana cara NasDem mewujudkan targetnya sebagai pemenang pemilu? Berikut ini petikan lengkap wawancara dengan Surya yang didampingi Ketua Dewan Redaksi Media Indonesia Saur Hutabarat dan Redaktur Senior Elman Saragih. Wawancara yang digelar di ruang kerjanya yang lapang di gedung Prioritas, Jakarta, ini dimuat di Harian Detik edisi Senin 4 Maret 2013:
Apa persiapan yang telah dilakukan oleh NasDem terkait dengan Pemilu 2014?
Saya pikir memang selayaknya partai yang secara resmi ditetapkan oleh KPU ikut Pemilu 2014 harus segera melakukan konsolidasi secara efektif. Sebab, kalau tidak, waktu yang sudah ditetapkan itu tidak mungkin diisi dengan sesuatu yang tidak memberikan asas manfaat sepenuhnya bagi tujuan keikutsertaan partai dalam pemilu. Konsolidasi tersebut, ya, dengan rapat kerja di setiap wilayah. Persiapan penjaringan calon legislator juga dimulai.
Progresnya sudah sejauh mana?
Pertama, partai ini sudah mampu melakukan penetrasi dalam memiliki kemampuan jaringan dan infrastruktur partai yang bukan terbatas di pusat, tapi juga di kecamatan. Bahkan kita targetkan hingga April ini tak ada satu desa pun yang tidak memiliki kantor kepengurusan NasDem di Indonesia. Kurang-lebih ada 79 ribu desa ada di Indonesia. Jadi, kalau bisa dicapai pada akhir April ini, akan menjadi prestasi dalam penetrasi konsolidasi partai.
Yang kedua, bagaimanapun, kita memahami budaya bangsa kita yang belum bergeser dari budaya paternalistik. Suka atau tidak suka, kita tidak bisa mengesampingkan faktor ketokohan atau figur yang kita ajak serta di setiap strata dalam kehadiran partai di setiap wilayah kabupaten dan kota. Tentunya kita harus mengedepankan aspek elektabilitas tokoh itu.
Ketiga, kita berjuang mengajak pihak-pihak membentuk opini, apakah itu media konvensional, dunia pertelevisian, cetak, dan social media. Karena, sebagai partai baru dengan tema gerakan perubahan restorasi Indonesia ini, bolehlah asam-asam pedas. Kadang orang akan berpikir, ini jangan-jangan hanya akan berhenti pada jargon semata. Tidak lebih dari itu, sama dengan sembilan partai yang sudah eksis selama ini, habis manis sepah dibuang, janji-janji di bibirmu semata.
Nah, ini yang sedang diperjuangkan NasDem untuk menjelaskan bahwa arti keberadaan partai ini tidak dimaksudkan menambah jumlah partai yang sudah ada, juga bukan hanya ikut peserta pemilu. Bahkan bukan dengan mimpi yang hanya lolos parliament threshold 3,5 persen supaya ada sejumlah anggota parlemen.
Partai ini sadar bahwa situasi dan tantangan bangsa ini sudah mengarah pada national distrust. Masyarakat kecewa terhadap partai politik. Mereka memiliki judgment bahwa partai politik ini hanya ingin mengambil hak protokoler yang ada pada mereka, fungsi-fungsi konstitusional itulah yang berhak mereka miliki tapi tidak menyertakan kewajiban-kewajiban.
Bagaimana kewajiban melihat proses kemajuan berbangsa dan bernegara, melihat kemampauan peran partisipasi publik semakin hari semakin melemah terhadap semua kebijakan formal dan kebijakan publik. Partai politik tidak risau dengan hal ini. Orang tidak bayar pajak, partai politik tidak risau, bahkan tidak risau ketika KPK perlu mengutus timnya ke luar negeri untuk memeriksa Sri Mulyani, urusannya apa?
Di mana equality before the law, kalau Sri Mulyani orang biasa, pertanyaannya, KPK datang atau enggak ke sana? Ini kan seharusnya menambah kerisauan kita.
Tiba-tiba tokoh politik dijadikan tersangka korupsi, berbondong bondong seluruh tokoh masyarakat datang ke rumahnya memberi empati. Ada apa di negeri ini?
Sebelum dia kena kasus, tidak ada empati itu. Ini fenomena baru di negeri ini, dan NasDem mencatat ini sebagai pemikiran yang harusnya menjadi perenungan, kontemplasi, ada apa?
Lalu apa strategi Anda supaya masyarakat tak berpandangan NasDem sama saja dengan yang lain?
Di samping adanya langkah atau program konkret NasDem dalam mendeskripsikan gerakan perubahan yang dilakukan, ada unsur-unsur keteladanan yang harus diberikan oleh pemimpin partai ini. Keteladanan yang dimaksudkan adalah memberikan konsekuensi bahwa ucapan dan perbuatan itu sejalan, tidak bertentangan. Jangan terlalu mudah mengobral janji ketika tidak bisa menepati itu. Jangan sok moralis ketika kita masih suka bermain dengan hipokrasi.
Apa perubahan spesifik yang ditawarkan NasDem?
Yang barangkali perlu kita jelaskan kepada masyarakat, mereka mau berubah atau tidak? Jangan tanya apa yang harus diubah. Kalau masyarakat sudah merasa nyaman, apa yang ingin diubah? Karena ini bagian dari misi partai politik, salah satunya upaya konsisten dari waktu ke waktu untuk melaksanakan apa yang dimaksudkan dengan political education. Pendidikan politik tidak meng-entertain masyarakat, tidak hanya ingin mengejar popularitas. Kadang- kadang memang harus menanggung risiko sebagai hal yang kontroversial, bahkan menimbulkan polemik, tapi itu adalah risiko.
Apa langkah konkret Partai NasDem? Bagaimana dengan kontrak politik untuk para calon legislator agar tak melenceng dari tujuan utama?
Berdasarkan pengalaman yang ada, apakah itu kontrak politik ataupun pakta integritas akan berhenti di situ saja. Kita ingin menyentuh mata hati dan nurani para calon legislator. NasDem adalah partai kaum pergerakan, yang harus menyeimbangkan profesionalitas dan moralitas. Tak ada artinya cendekiawan, doktor, ulama, atau bergelar PhD kalau tidak memiliki konsistensi dan semangat moralitas yang menyertai profesionalitas.
Bagaimanapun, dibutuhkan keteladanan dari siapa pun yang menjadi pemimpin. Keteladanan itu ketika dia siap memberikan semangat pengorbanan yang lebih besar daripada orang yang dipimpin.
Berarti enggak ada semacam kontrak politik atau pakta integritas?
Ada pasti. Tapi sudah cukup kan peraturan perundang-undangan. Kita sering main-main yang tambah-tambah pakai pakta integritaslah, apa ceritanya. Sebenarnya itu hanyalah kosmetik kulit. Pendidikan politik di NasDem yang pertama, dia tidak tertarik membicarakan masalah calon presiden atau calon wakil presiden.
Sebagai partai baru, NasDem harus melihat hasil elektabilitas pada pemilu legislatif. Kalau nomor 4, dipastikan NasDem tidak akan ikut mencalonkan presiden dan wakil presiden. Harus di antara 1, 2, atau maksimal 3. Ini pendidikan politik! Jangan baru 2,3 persen sudah sibuk dengan calon wakil presiden.
Parliamentary threshold seharusnya 5 persen ke atas, tapi kan mereka takut. Hasil rendah tapi dia ingin jadi capres dan dia adalah ketua umum partai, lalu majulah dia jadi calon. Apakah seperti ini pantas? Menurut saya, ini bagian dari asas kepantasan. Ini asas kepatutan.
Kalau seumpama presidential threshold diketok 20 persen?
Harusnya lebih tinggi dari 20 persen. Kalau partai enggak laku, masak mau jadi presiden. Ini kan moralitas kita.
Target Partai NasDem berapa persen?
Mungkin kalian bisa menertawakan, tapi sejujurnya NasDem menargetkan sebagai pemenang pemilu.
Agar cita-cita itu tercapai, apa langkah konkret NasDem?
Pertama, dia tidak boleh melakukan langkah-langkah yang sudah dijalankan partai terdahulu. Kedua, dia harus datang dengan inovasi yang lebih hebat. Langkah besar selanjutnya adalah infrastruktur partai.
Sekarang apakah sembilan partai yang lain itu sudah memiliki infrastruktur seperti infrastruktur yang dicapai oleh Partai NasDem? Apakah ada pengurus partai lain di 79 ribu desa 100 persen, mungkin 99 persen, karena mungkin ada yang terselip?
Siapa lawan politik yang paling berat?
Tidak elok kalau saya katakan. Kamu yang bertanya pasti sudah bisa menjawab pertanyaan kamu sendiri. Mana partai yang bisa bertahan dan tidak bisa bertahan pasti kamu tahu. Karena konsistensi NasDem ingin mengajak kompetisi dengan semangat harmoni, bukan saling melukai. Ketika Anda bertanya seperti itu, sudah bisa adinda jawab sendiri.
Tentang mundurnya beberapa kader NasDem, apa tanggapan Anda?
Partai ini didirikan dengan grand design oleh Surya Paloh, yang 43 tahun berkiprah di Partai Golkar dari jabatan yang paling rendah sampai jabatan paling tinggi. Dia tidak pernah ke partai lain. Dia katakan goodbye ke Partai Golkar bukan dengan perasaan sukacita, tentu ada romantisisme di sana.
Bayangkan, anak usia 15 tahun sudah terjun di partai politik dari tingkat paling bawah posisi ranting, anak cabang, hingga ketua dewan penasihat partai, yang anggotanya Aburizal Bakrie, Prabowo, Fahmi Idris, ada juga Hamengku Buwono. Dia bertarung sebagai ketua umum karena ada yang harus diperjuangkan. Partai itu tidak boleh semakin hari semakin jauh dari cita-cita partai itu didirikan.
Situasi pada waktu itu, pemerintah juga beranggapan mungkin kurang pas kalau Surya Paloh menjadi Ketua Umum Golkar. Jadi Surya berhadapan dengan Aburizal, juga pemerintah. Bagi Surya, this is the end kepada Golkar. Tapi ada daya energi di diri saya yang saya pikir harus digunakan.
Saya berusia 61 tahun, dulu mundur dari Golkar saat 59 tahun. Makanya saya pikir harus ada saluran politik. Nah, karena itulah saya melahirkan Nasdem sebagai ormas. Sekarang pun Nasdem masih organisasi kemasyarakatan yang sampai saat ini masih ada anggota dari partai lain.
Ada keinginan gagasan besar ini disalurkan, tidak hanya berhenti pada organisasi kemasyarakatan, tapi harus bisa memiliki kewenangan dan itu hanya bisa ditemui di partai politik. Maka lahirlah Partai NasDem. Nah, karena dalam proses perjalanan ada keinginan konsep gagasan ada yang namanya tim untuk menghantarkan masa verifikasi, ada tim yang dipersiapkan menghadapi pemilu.
Jadi memang by design semua orang yang mengurus harus mengundurkan diri. Ada teken yang kita tidak bisa published itu, dan ini baru pertama kali saya ucapkan kepada kalian.
Kok, harus mundur?
Karena harus dicari ketokohan. Dalam waktu tiga bulan harus menyelesaikan administrasi. Tuan-tuan kita di DPR tidak mau ada partai baru. Mereka bikin persyaratan unlogic yang akhirnya membuat mereka mabuk sendiri. Seratus persen provinsi, satu saja kalah, gugur, 75 persen kota, 50 persen kecamatan, kalau 1 persen kalah, itu gagal.
Karena instruksi dari meja ini tidak boleh satu kecamatan pun yang tidak ada kepengurusan, 100 persen semuanya harus ada. Dan terbukti, NasDem nomor satu hasil verifikasi KPU. Karena diatur dan didesain seoptimal mungkin. Tim ini dipersiapkan sekuat- kuatnya untuk seprofesionalnya mengantarkan itu.
Jadi mundurnya HT (Hary Tanoesoedibjo) tidak ada pengaruhnya?
Kalau kita anggap HT itu berpengaruh besar, tentunya hari ini NasDem mengatakan sudah surrender dia, tidak perlu ikut pemilu lagi. Sudah keluar yang namanya “Mr in the rechten”, ketua dewan pakar. Lempar handuk saja kita.
Tapi kan bisa kalian lihat, Pak Hary Tanoe ada nafsu politik yang lebih tinggi, maka ke Partai Hanura, bikin Perindo dengan konsep yang sama. NasDem sedikit-banyak bolehlah sudah memberikan pelajaran berarti.
Pecah kongsi dengan HT dan kemudian diikuti dengan mundurnya pengurus lainnya menimbulkan pemikiran mengurus partai saja tidak bisa, bagaimana mengurus negara?
Saya terima itu. Kalau saya mau, HT bisa saja tidak keluar dari sini. Kenapa kok keluar? (Lebih lanjut Surya Paloh tak mau komentarnya dimuat. Off the record katanya).
Menyesal atau tidak HT telah bergabung ke NasDem?
Enggak boleh kita bicarakan itu. Urusan saya dan dia jangan kalian angkat. Enggak ada artinya. Itu namanya gorengan saham.
Sewaktu kampanye, dia mengklaim medianya banyak yang berjuang mengangkat partai lolos pemilu....
Ada. Tapi sebagian besar kan fotonya dia juga. Kalau itu yang diklaim, ada pengaruhnya. Kapan kau dikenal orang kalau enggak masuk NasDem?
Berapa cost politik Abang terkait dengan materi sehingga sampai semua kecamatan ada kepengurusan Partai NasDem?
Oh, tentu besar.
Soal NasDem yang katanya akan memberikan modal kepada calon legislator?
Yang pasti, tidak ada boleh sedikit pun pengeluaran biaya calon legislator dalam pencalonan mereka, tidak ada partai pungut biaya. Kasih tahu orangnya, maka akan saya kasih sanksi tegas, meskipun dari strata yang tinggi, baik DPR atau apa pun. Dulu pernah diutarakan caleg akan dibayar. Itu mispersepsi dalam pemikiran mereka bahwa seakan-akan caleg akan mendapatkan uang.
NasDem sedang berikhtiar bagaimana bisa membantu para caleg. Katakanlah alat peraga, metode kampanye, mempergunakan lembaga survei untuk mengetahui elektabilitas mereka. Terlalu dini kalau mengatakan ada Rp 5 miliar itu. Karena mungkin dulu ada tauke saja waktu itu makanya mikir gitu. Saya pikir itu sebenarnya adalah pendekatan yang salah jika dikonsumsi publik.
Partai ini adalah partai pergerakan, jadi tidak berpikir baru bisa jalan kalau ada uang. Logistik memang kita butuhkan. Kita tidak bisa mengingkari itu, tapi harus ada spirit, militansi, spirit, dan visi baru. Logistik itu akan memberikan sesuatu yang berarti bagi perjalanan partai politik.
Di NasDem sendiri apakah sudah ada rapat internal yang memutuskan nantinya siapa yang akan menjadi capres?
Belum, Abang belum terpikirkan itu. Di tengah-tengah ketidakpercayaan, saya ingin menyatakan saya tidak berpikir ke sana. Sejujurnya saya penuh konsentrasi memikirkan sebuah fenomena partai baru yang bisa masuk pemilu, dan nantinya toh pengakuan itu akan datang dengan sendirinya.
Kalau gagal, yang paling banyak harus mempertanggungjawabkan adalah pemimpin. Pemimpin tertinggi di partai ini adalah saya. Kalau berhasil, berarti keberhasilan ini karena kepemimpinan Bung Surya juga. Jangan pikirin capres.
Tapi kalau ternyata Partai NasDem dipercaya masyarakat dan mencapai tiga besar?
Kalau tiga besar, perlu kita pikirkan, tapi tidak otomatis. Saya harus melihat dulu elektabilitas dan kapabilitas. Kepentingan saya apa yang terbaik untuk Indonesia, bukan untuk Surya.
Apakah secara pribadi Abang punya?
Anggap saya ini sebagai capres, seumpama harga nominal itu cuma harga pas-pasan, kalau angka itu angka 6. Saya enggak mau negara ini dipimpin angka 6 kalau ternyata ada angka 7. Dan pasti saya akan marah jika dipimpin oleh yang di bawah angka 6. Cari yang lebih baik.
Ada upaya untuk meningkatkan dari 6 ke 7?
Ndak. Saya ingin berkonsentrasi di partai. Enggak bisa dua-duanya sekaligus. Saya sadar itu waktu terlalu singkat.
(nrl/nrl)
Penghancuran Anas Agenda Amerika Serikat ?
OPINI | 25 October 2012 | 21:00
http://politik.kompasiana.com/2012/10/25/penghancuran-anas-agenda-amerika-serikat-498502.html#
Salam Republik Wayangku tercinta. Kali ini saya ingin mengemukakan uneg-uneg
tentang keprihatinan saya terhadap bangsa ini yang juga disarikan dari
beberapa sumber. Sebagaimana kita tahu bahwa bangsa kita adalah bangsa
yang merdeka. Namun kemerdekaan yang diwacanakan dari dulu sampai
sekarang terasa hanya seperti
idiom belaka. Rakyat Indonesia tak benar-benar merasakan apa itu yang
namanya kemerdekaan. Kemerdekaan boleh diproklamirkan sejak tahun 1945,
namun intervensi bangsa asing terhadap Negara kita tercinta masih saja
berjalan hingga detik ini. Amerika, begitulah namanya, sebuah nama yang
sangat taka sing bagi kita. Itulah nama sebuah Negara adidaya yang saat
ini menjadi kiblat dan majikan semua Negara di dunia, termasuk Negara
kita tercinta Indonesia. Kita kembali teringat bagaimana pemerintahan di
masa Soekarno berhasil menangkap basah penyusupan CIA di Maluku pada
tahun 1958, yang menyamar sebagai pilot, dan kemudian diadili secara
tertutup. Sebagian sejarawan menduga Amerika saat itu mendanai
pemberontakan pemerintahan revolusioner republik Indonesia dan
perjuangan Semesta di Maluku.
Ada
pertanyaan kenapa sipil selalu ‘dikerjai’ militer dalam setiap
pergolakan sosial politik. Sebenarnya anggapan atau penilaian tentang
sipil yang selalu ‘dikerjai’ militer itu kurang tepat. Ada sesuatu atau
latar belakangnya. Sesuatu
atau latar belakang itu, kita sering sebut dengan “intervensi” barat
atau AS yang merupakan sebuah kekuatan politik dominan di dunia.
Intervensi barat/AS itu bisa dalam bentuk intervensi langsung yaitu AS
secara aktif dan terbuka memainkan peranannya dalam sebuah negara. Bisa
juga AS memainkan perannya melalui lembaga internasional seperti PBB.
Atau AS memainkan peran sebagai dalang dibelakang layar. Peran AS yang
selalu ikut campur dalam urusan rumah tangga negara lain ini merupakan
“kebiasaan” atau tradisi yang selalu diperankan oleh AS. AS “selalu
merasa terpanggil” jika ada situasi politik suatu negara yang
khaos/chaos, terjadi pergolakan, pergantian /transisi rezim secara
inkonstitusional, kudeta, perang saudara, konflik militer, pelanggaran
HAM masif dan massal dan seterusnya disuatu negara. Konstitusi AS
“mewajibkan” pemerintahnya untuk menjadi polisi dunia dan penegak
keadilan, HAM dan demokrasi di seluruh dunia. “Kewajiban” dan
tanggungjawab itu akan semakin besar jika AS menilai ada kepentingan AS
dan sekutu-sekutunya yang terganggu atau terancam. Ini lah bentuk modern
dari penerapan teori dependensia di jaman sekarang.
Intervensi
kental AS terhadap Indonesia sebenarnya dimulai sejak era Soekarno,
namun Soekarno dikenal sebagai sosok yang mampu mengatakan tidak bagi
bangsa asing, termasuk Amerika. Nah, intervensi AS ini bisa dilihat
secara penuh ketika jaman Soeharto memimpin hingga saat reformasi. Saat
itu, AS melihat bahwa di RI sedang terjadi pergolakan politik yang
berpotensi menjatuhkan rezim yang berkuasa dan munculnya rezim baru.
Sebelum AS intervensi, akan ada analisa dulu terkait degan posisi rezim
berkuasa dan posisi rezim yang berpotensi untuk menggantikannya. Tentu
saja semua terkait dengan kepentingan AS. Mana yang lebih menguntungkan
AS. Ikut membantu jatuhkan rezim atau mempertahankannya. Jika rezim yang
akan tumbang adalah sekutu AS, maka rezim yang menggantikannya harus
juga merupakan sekutu AS. Jika rezim pengganti tidak sejalan dengan
kepentingan AS, maka operasi AWS akan diperluas dgn membelokan “rezim”
yang akan berkuasa. AS akan mencari “tokoh” lain didalam pihak oposisi
yang bisa “diorbitkan” untuk menyaingi “tokoh” oposisi terkuat yang
dinilai tidak sejalan. Tokoh terkuat itu nantinya perlahan-lahan akan
“dihabisi” baik secara langsung (dibunuh/ terbunuh) atau secara tidak
langsung dengan menggerogoti legitimasi moral dan politiknya. Suharto
yang merupakan sekutu terdekat AS di Asia Tenggara dinilai bakal jatuh.
Sebenarnya AS punya kemampuan untuk mempertahankan Suharto. Tetapi, AS
menilai Suharto bukan lagi “asset” yang layak dipertahankan. Suharto
saat itu sudah terlalu dekat dengan kelompok Islam. AS menilai kedekatan
dan hubungan Suharto dengan Islam sudah sangat dalam dan dapat
membahayakan. Maka AS mengambil sikap untuk menyingkirkan Suharto dan
mempercepat kejatuhannya. AS sangat paham bahwa kekuatan utama Suharto
adalah ABRI. Menjatuhkan Suharto harus terlebih dahulu menghancurkan
ABRI utamanya TNI AD. AS juga paham bahwa kekuatan inti TNI AD ada pada
Kopassus. Kopassus yang pada saat itu dikuasai oleh Prabowo Subianto
yang juga menantu Suharto. Sebab itu AS pertama-tama melalui AWS akan
hancurkan kopassus. Namun, kepentingan AS dan operasi AWS CIA di RI
tidak semata-mata hanya hancurkan Suharto tetapi juga TNI dan Prabowo.
CIA tidak menghendaki Prabowo muncul ke permukaan dan menggantikan
kedudukan Suharto. AS dan CIA sudah mengetahui persis orientasi politik
Prabowo. Kedekatan dan hubungan mesra Islam dengan Suharto sejak era
awal 90an dirintis dan pelopori oleh Prabowo sebagai menantu Suharto.
Prabowo
yang berasal dari keluarga sekuler, bapak kejawen, ibu katolik, lebih
memilih mendukung kelompok Islam untuk mengimbangi kekuatan dan pengaruh
LB Murdani yang menjadi rivalnya di tubuh TNI. Melalui seorang tokoh
spritual islam, Prabowo berhasil mendekati ibu Tien suharto dan Suharto
sendiri. Berkat bantuan Prabowo dan tokoh spiritual Islam itu Suharto
dan Tien Suharto menjadi Islam. Hubungan yang mesra antara Suharto dan
kelompok Islam menjadi pintu masuk untuk kekuasaan yang lebih besar bagi
Habibie melalui ICMI nya. Sedangkan Prabowo sukses mendudukan
jendral-jendral kelompok Islam dalam berbagai posisi strategis di tubuh
TNI. Kekuasaan Prabowo berhenti membesar ketika Tien Suharto meninggal.
Akses Prabowo ke suharto dihalang-halangi Tutut Suharto yang terpengaruh
agenda Hartono cs. Singkatnya, Prabowo pada saat itu mendapatkan labeling
pro Islam oleh AS dan CIA. Posisi Prabowo dinilai sama dengan posisi
Suharto. Sebab itu, ketika terjadi isu dan propaganda bahwa Prabowo
berada dibalik kerusuhan Mei dan akan kudeta rezim Habibie, Habibie yang
naif secara politik langsung percaya dan tidak memberikan Prabowo akses
atau kesempatan untuk mengklarifikasi. AH Nasution yang mencoba beri
bantuan penjelasan kepada Habibie dan memberi dukungan penuh kepada
Prabowo pun tidak dapat mempengaruhi sikap Habibie yang memang sudah
“diracuni” oleh Wiranto cs & tokoh-tokoh politik yang cenderung
“oposan” dengan Prabowo. Juga adanya alergi politik terhadap segala
sesuatu yang berbau cendana. Amin Rais sebagai pemimpin gerakan
reformasi sebenarnya paham betul terhadap posisi Prabowo. Tapi Amin
gamang tentukan sikap. Dia tak mau konfrontasi langsung dengan Wiranto
untuk menghindarkan front pertempuran yang terlalu lebar yang sulit dia
kontrol nantinya. Amin main dua kaki.
Singkatnya, melalui asymetric warfare strategy,
CIA atau AS berhasil menjatuhkan Suharto, menghancurkan Prabowo dan
mendelegetimasi Amien. AS melalui CIA dan AWS nya berhasil juga
mendudukan SBY sebagai presiden RI. Tokoh-tokoh yang kurang sejalan
dengan AS tak akan direstui berkuasa. Saat ini AS melihat adanya urgensi
dan kebutuhan untuk ikut campur/intervensi dalam politik domestik RI
karena pemilu 2014 sudah semakin dekat dan SBY tak boleh mencalonkan
diri lagi, sementara rezim SBY adalah rezim sekutu AS. SBY sendiri
sangat patuh dan selalu jaga kepentingan AS di Indonesia. Bahkan SBY
akui AS sebagai negara keduanya. Oleh sebab itu, jangan bermimpi AS akan
ikut mendorong kejatuhan SBY meskipun misalnya rakyat sudah sangat
tidak puas atau kecewa pada SBY. Sementara itu AS yang tidak pro dengan
Islam berusaha mengintervensi SBY agar tidak terlalu dekat dengan
golongan Islam dan berusaha menghancurkan tokoh-tokoh Islam yang dirasa
bisa menjadi saingan SBY. Pemilihan Boediono sebagai wapres bisa
memperlihatkan bahwa SBY tunduk terhadap kehendak AS, karena Boediono
merupakan ‘orang asing’ di kalangan partai-partai berbasis massa Islam.
Lantas
benarkah Anas menjadi korban karena Amerika Serikat tidak suka kepada
sosoknya yang dari golongan muda Islam? Entahlah. Anas Urbaningrum
mewakili tokoh muda Islam yang berpeluang terbesar menjadi presiden
terpilih pada 2014. Karena berdasarkan survey beberapa lembaga survey
Anas menjadi tokoh muda yang paling populer karena sepak terjangnya di
politik yang begitu cepat seperti Obama, maka AS berpandangan bahwa Anas
adalah sosok yang patut diperhitungkan. Menurut beberapa sumber, pihak
Kedubes AS ketahuan sudah beberapa kali meminta waktu agar Anas dapat
bertemu dengan Dubes AS tapi Anas menolak secara halus. Dubes AS
sebenarnya bermaksud untuk “mengetahui” pandangan-pandangan dan visi
Anas secara pribadi tentang masa depan RI & kaitannya dengan
kepentingan AS. Namun penolakan halus Anas atas undangan Dubes AS ini
menyebabkan terbentuknya keyakinan AS bahwa Anas bukan orang yang tepat
untuk pimpin RI. Dari informasi yang beredar, Anas sudah menolak 4 kali
undangan Dubes terhadap dirinya. Politik luar negeri AS terhadap RI
sangatlah jelas. RI adalah sekutu utama yang harus menjaga kepentingan
AS di RI dan Asia Tenggara. Penolakan Anas terhadap undangan bertemu
dengan Dubes AS secara tidak langsung menegaskan bahwa tokoh muda Islam
seperti Anas dianggap ancaman. Pemerintah AS berkepentingan agar RI
dipimpin oleh “muslim moderat” yang setia dan patuh pada agenda-agenda
AS. Semua capres-capres potensial dijajaki visinya. Hasilnya, dari
penjajakan langsung dan tak langsung, AS punya kesimpulan bahwa JK,
Prabowo, Mega, Anas, Mahfud bukan orang yang diinginkan AS.
Nasib
Anas kini tak ubahnya seperti Prabowo ketika jaman reformasi seperti
ulasan di awal. Sikap AS terhadap anas ternyata klop dengan sikap Cikeas
terhadap masa depan Anas. RI harus dipimpin kolaborator AS. Kolaborator
AS itu idealnya adalah suksesor SBY. AS sudah sangat nyaman dengan
kebijakan-kebijakan SBY yang pro AS dan mampu meredam politik Islam.
Kedubes AS dan Cikeas sepakat untuk melancarkan operasi bersama
penghancuran Anas. AS berperan dengan membantu pembentukan opini dengan
seluruh jaringannya. Maka dimulailah operasi penjeratan pada Anas
Urbaningrum. Semua titik lemah Anas dikaji. Semua informasi dikumpulkan.
Titik terlemah Anas adalah Nazaruddin. Bendum Partai Demokrat.
Manuver-manuver Nazar dalam membangun imperium bisnisnya banyak menabrak
hukum. Anas sendiri sudah tahu bahwa Nazar akan jadi masalah besar.
Perlahan dia menjauhkan diri dari Nazar. Nazar lalu menyebrang ke faksi
Andi/Cikeas. Nazar marah besar kepada Anas karena dia merasa banyak
membantu Anas dalam politik termasuk dalam pemenangan kongres PD
dibandung. Tetapi Anas tahu bahwa Nazar sudah menjadi target Cikeas
untuk menjadi pintu masuk dalam menghancurkan Anas. Nazar akhirnya
beursaha mencari cantelan
baru pengganti Anas. Nazar mencoba mendekat ke Ibas, namun Ibas
menghindar. Ibas lebih banyak mengikuti Anas kemana-kemana, sekalian
untuk “memantau dan melaporkan” manuver-manuver Anas. Akhirnya harapan
terakhir Nazar adalah bergantung pada Marzuki Ali dan Andi Malarangeng.
Marzuki welcome, sedangkan Andi menjaga jarak. Sampai akhirnya Rosa
ditangkap KPK, kemudian disuruh untuk mendendangkan nama Anas. Ini
sesuai dengan hasil sidang KPK yang menemukan fakta bahwa keterangan
Rosa seakan-akan dibuat-buat dan tidak pernah konsisten dalam membuat
pengakuan. Bahkan Rosa mengakui bahwa ia juga yang memaksa Angie untuk
meneriakkan nama Anas, meskipun Angie tak mau karena ia tahu bahwa Anas
tak mengetahui proyek Hambalang sama sekali. Sekarang Anas sudah
“dihukum” publik. Dicap sebagai koruptor dan harus diseret ke penjara.
Siapa yang diuntungkan jika itu terjadi?. Siapa yang diuntungkan jika
Anas diseret ke penjara meski bukti-bukti tidak kuat? SBY? Ical?
Wiranto? Mega? Prabowo? JK ? Apa
yang terjadi lagi jika pertahanan Anas hancur dan “melawan balik”
SBY/Cikeas? Sebagai ketum PD dia tahu semua busuk SBY/Cikeas dan
Demokrat. Jika hal itu yang terjadi, maka geger politik Indonesia yang
terjadi sekarang ini akan berubah menjadi”kiamat politik” bagi rakyat.
Terlepas
dari itu semua, pihak yang diuntungkan tetaplah AS. Jika anteknya tetap
menjadi tuan di negeri ini, maka eksistensi mereka tentu juga akan
tetap bertahan. Sudah bukan menjadi sekedar opini jika negeri ini sangat
mengiblat dan menghamba kepada AS, baik dari segi ekonomi, tatanan
sosial maupun life style.
Inilah bentuk kolonialisme modern yang diterapkan AS terhadap
Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Negara yang katanya memiliki
penduduk terbesar keempat di dunia, namun takluk pada hegemoni dollar.
Bentuk penjajahan secara halus namun berdampak secara kasar bagi yang
dijajah. Sebuak aksi pengeksploitasian sendi-sendi kehidupan dan proses
mereduksi kekuatan Islam agar tetap menghamba kepada para manusia
vampir. Jika ini terjadi maka rakyat kita tetap akan menjadi budak di
negeri sendiri. Dan kata merdeka akan menjadi omong kosong yang tertelan
oleh kiprah kapitalisme yang semakin mengakar. Ohh Indonesiaku, marilah
sadar, marilah bergerak melawan kapitalisme. Jaya lah negeriku, jaya
lah bangsaku. Mari menjadi pembaca yang cerdas yang tidak asal komentar,
tapi solutif. Salam Negara Alengkaku !!
CIA- KPK Rutin Koordinasi Tiap 6
Bulan?
[SAYANG SAYA TAK DAPAT DATA FORUM DAN TAK BISA BACA APA YANG
DIBAHAS DI FORUM..]
http://forum.detik.com/cia-kpk-rutin-koordinasi-tiap-6-bulan-t241539.html
tadi baca status teman , saya copas disini...perhatikan komen dari Anry Kamba.
Kokko Andi:
Gue jadi NGAKAK...pagi ini kata berita Directur CIA mau ceramahi KPK...kok bisa negara RI sampai seRENDAH begini ya....!!! ...????...saran gue lebih baik Pemimpin dan pengelora negeri ini rame2 bunuh diri daripada menanggung malu buat turunannya !!!
Kirana Noer
Kyak kesulut api rokok om..
5 jam yang lalu · Suka
Andry Kamba
Koordinasi dan sharing setiap 6 bulan sekali...bukan ceramahin KPK Boss, ane tiap hari di KPK mungkin lebih tahu 'sedikit hehehehehee
5 jam yang lalu · Tidak Suka · 1 orang
Kokko Andi:
Gue jadi NGAKAK...pagi ini kata berita Directur CIA mau ceramahi KPK...kok bisa negara RI sampai seRENDAH begini ya....!!! ...????...saran gue lebih baik Pemimpin dan pengelora negeri ini rame2 bunuh diri daripada menanggung malu buat turunannya !!!
Kirana Noer
Kyak kesulut api rokok om..
5 jam yang lalu · Suka
Andry Kamba
Koordinasi dan sharing setiap 6 bulan sekali...bukan ceramahin KPK Boss, ane tiap hari di KPK mungkin lebih tahu 'sedikit hehehehehee
5 jam yang lalu · Tidak Suka · 1 orang
YA PAK ANDRY KAMBA.YTH....>> .. NEGARA INI BUKAN LAHAN PERMAINAN CIA...DAN. KPK HARUS MEMPUNYAI HARGA DIRI DAN MENJAGA MERTABAT BANGSA...DAN JANGAN MAU DONG KAYA BEGITU...>> INI MENUNJUKKAN PIMPINAN KPK BAGIAN DARI CIA..?? ATAU SEKURANG-KURANGNYA... PIMPINAN KPK ITU TAK MALU DAN TAK TAHU HARGA DIRI ATAU TAK MENGERTI DIPERCAYA RAKYAT..>> ANDA TAHUKAN SIAPA CIA ITU...?? ZAMAN BK..DAHULU MEREKA INI ..SANGATLAH DI CEGAH IKUT2AN....NGTUR2 DAN INREVENSI SEMACAM ITU..?? SAYANG DONG PAK SAMAD YANG DIPERCAYA RAKYAT JADI ANTEK2 MEREKA..??>>
Juswan Setyawan
apa urusannya CIA dgn KPK...? kalau BCA mungkin ada urusannya... untuk cek-ricek duit Gayus yg masuk-keluar...
5 jam yang lalu · Suka · 2 orang
Rozanil Imroni
Mungkin ceramah bagaimana CIA menangkap koruptor penting, agar koruptor bisa menghindari penangkapan. Tugas KPK dianggap sukses dan selesai kalau tidak ada lagi koruptor yang tertangkap dan diadili.
5 jam yang lalu · Suka
Antho Massardi
Itu makanya angket pajak dibungkam. Karena ada puluhan perusahaan AS dkk yang ngemplang pajak negara lewat Mafia Pajak RI-AS. Dusta busuk kalau presiden tidak tahu.
4 jam yang lalu · Suka · 2 orang
Kokko Andi
Jadi GELI semakin terungkap saja intelijen China Times mensinyalir bahwa AS kekurangan uang maka cara yg paling ampuh untuk meraup uang adalah mengejar para koruptor kelas kakap diberbagai negara salah satunya yg terjadi di dataran utara af...
Lihat Selengkapnya
4 jam yang lalu · Tidak Suka · 5 orang
Rozanil Imroni
Bagus dong kalau dia serius mengejar koruptor disini. Sekalian aja dikuasai, bagi2 paspor amerika...hahaha...
4 jam yang lalu · Suka
Juswan Setyawan
makanya negara yg mau ngembangkan teknologi nukenya selalu saja dibikin susah agar gak jadi-jadi... tapi uranium di papua dikeduk terus sampai kering kerontang... weleh weleh... SSS - super super ******...
4 jam yang lalu · Suka
Juswan Setyawan
satu paspor dihargai 1 miliar... yg bisa dikuras triliunan... kalau bisa dirampas khan dobel untungnya... SSS - super super ****** yg jadi korbannya.
4 jam yang lalu · Suka
Sukardi Tjik Ani
Bukan ceramahi tapi mengarahkan.....mana yg boleh danmana yg tdk supaya cowboy tdk marah.
4 jam yang lalu · Suka
Roedy L'Ode Rizalullah
Percaya diri bangsa ini sdh sedemikian terpuruknya shg kita sendiri tdk punya nyali dan cenderung menekan diri sendiri utk tdk mencurigai yg kemungkinan adanya intrik2 buruk buat negeri ini dibalik misi kehadiran CIA di KPK.
4 jam yang lalu · Suka
Ki Tanto Ap
Rendah Ilmu sih tdk terlalu wong pada bgelar DOKTOR kok di KPK,tapi kalo rendah HARGA DIRINYA itu hampir semua elite Indonesia, enak jadi bebek ada yg angon, lha kalo kebo diangon sopo yo?
3 jam yang lalu · Suka · 1 orang
Hendra Hermanto Zhang
soalnya negara ini pemimpin negaranya kan bentukan CIA juga... lebih halusnya sebagai abdi dalemnya CIA.
2 jam yang lalu · Suka · 1 orang
Andry Kamba
Direktur FBI Robert S Mueller bukan CIA
sekitar sejam yang lalu · Suka
Jusuf Suta
Ass.Wr.Wb.Itukan sdh diamanatkan oleh Suharto harus mengabdi ke onkel Samnya jika mau laris manis memimpin di Negara Tuyul dan tetap memilihara Freeport sebagai sapi perahannya si onkel. Jangan sekali2 melenceng bisa2 berakhir kaya Suharto.... hehehe.... dan tetap menerimo sambil menahan burung agar tdk terbang, dan tak usah malu2 "Just keep smiling, like the Jendral use to do.., just do it."
WassalamJuswan Setyawan
apa urusannya CIA dgn KPK...? kalau BCA mungkin ada urusannya... untuk cek-ricek duit Gayus yg masuk-keluar...
5 jam yang lalu · Suka · 2 orang
Rozanil Imroni
Mungkin ceramah bagaimana CIA menangkap koruptor penting, agar koruptor bisa menghindari penangkapan. Tugas KPK dianggap sukses dan selesai kalau tidak ada lagi koruptor yang tertangkap dan diadili.
5 jam yang lalu · Suka
Antho Massardi
Itu makanya angket pajak dibungkam. Karena ada puluhan perusahaan AS dkk yang ngemplang pajak negara lewat Mafia Pajak RI-AS. Dusta busuk kalau presiden tidak tahu.
4 jam yang lalu · Suka · 2 orang
Kokko Andi
Jadi GELI semakin terungkap saja intelijen China Times mensinyalir bahwa AS kekurangan uang maka cara yg paling ampuh untuk meraup uang adalah mengejar para koruptor kelas kakap diberbagai negara salah satunya yg terjadi di dataran utara af...
Lihat Selengkapnya
4 jam yang lalu · Tidak Suka · 5 orang
Rozanil Imroni
Bagus dong kalau dia serius mengejar koruptor disini. Sekalian aja dikuasai, bagi2 paspor amerika...hahaha...
4 jam yang lalu · Suka
Juswan Setyawan
makanya negara yg mau ngembangkan teknologi nukenya selalu saja dibikin susah agar gak jadi-jadi... tapi uranium di papua dikeduk terus sampai kering kerontang... weleh weleh... SSS - super super ******...
4 jam yang lalu · Suka
Juswan Setyawan
satu paspor dihargai 1 miliar... yg bisa dikuras triliunan... kalau bisa dirampas khan dobel untungnya... SSS - super super ****** yg jadi korbannya.
4 jam yang lalu · Suka
Sukardi Tjik Ani
Bukan ceramahi tapi mengarahkan.....mana yg boleh danmana yg tdk supaya cowboy tdk marah.
4 jam yang lalu · Suka
Roedy L'Ode Rizalullah
Percaya diri bangsa ini sdh sedemikian terpuruknya shg kita sendiri tdk punya nyali dan cenderung menekan diri sendiri utk tdk mencurigai yg kemungkinan adanya intrik2 buruk buat negeri ini dibalik misi kehadiran CIA di KPK.
4 jam yang lalu · Suka
Ki Tanto Ap
Rendah Ilmu sih tdk terlalu wong pada bgelar DOKTOR kok di KPK,tapi kalo rendah HARGA DIRINYA itu hampir semua elite Indonesia, enak jadi bebek ada yg angon, lha kalo kebo diangon sopo yo?
3 jam yang lalu · Suka · 1 orang
Hendra Hermanto Zhang
soalnya negara ini pemimpin negaranya kan bentukan CIA juga... lebih halusnya sebagai abdi dalemnya CIA.
2 jam yang lalu · Suka · 1 orang
Andry Kamba
Direktur FBI Robert S Mueller bukan CIA
sekitar sejam yang lalu · Suka
Jusuf Suta
Ass.Wr.Wb.Itukan sdh diamanatkan oleh Suharto harus mengabdi ke onkel Samnya jika mau laris manis memimpin di Negara Tuyul dan tetap memilihara Freeport sebagai sapi perahannya si onkel. Jangan sekali2 melenceng bisa2 berakhir kaya Suharto.... hehehe.... dan tetap menerimo sambil menahan burung agar tdk terbang, dan tak usah malu2 "Just keep smiling, like the Jendral use to do.., just do it."
saya AHMAD SANI posisi sekarang di malaysia
BalasHapusbekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan