Massa Muslim mulai bergerak, Barat khawatirkan revolusi Islam
Oleh Hanin Mazaya pada Selasa 01 Februari 2011, 06:48 AMKAIRO (Arrahmah.com) - Pemberontakan yang berhasil menurunkan rezim diktator Ben Ali di Tunisia dan tampaknya, Mubarak akan menjadi pemimpin berikutnya yang harus pergi, lapor The Jakarta Globe.
Beberapa pengamat bahkan membandingkan gelombang demonstrasi di negeri-negeri Muslim dengan jatuhnya tirai besi dan runtuhnya komunisme di Eropa-peristiwa tak terduga sampai itu benar-benar terjadi-dan bahwa Tunisia dan Mesir adalah awal dari gelombang yang akan menyapu rezim-rezim otokratis terkenal lainnya di dunia Islam.
Shadi Hamid dari Pusat Brookings Doha mencatat, "penghalang ketakutan yang selama ini tersimpan oleh massa Muslim di bawah kontrol penguasa mereka telah rusak oleh pemberontakan Tunisia".
Setelah protes Tunisia kini di Mesir, Aljazair, Yordania dan Yaman memulai hal yang sama. Perkembangan ini menempatkan Barat dalam ketakutan.
Baik Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir telah selama bertahun-tahun menerima banyak dukungan dari negara Barat. Amerika mendukung Mesir miliaran dollar per tahun. Tunisia merupakan "poster boy" IMF.
Bahkan meskipun fakta bahwa banyak pendemo di Tunisa berada di bawah slogan "kebebasan dan demokrasi", negara-negara Barat cemas pendukung politik Islam akan datang pada kekuasaan.
Namun, dapat dikatakan bahwa pengambilalihan Islam masih merupakan hasil yang paling mungkin pada peristiwa di Tunisia, Mesir, Aljazair, Suriah, Yordania dan Yaman.
Karena meskipun pasukan Islam mungkin tampak sebagian besar tidak ada di protes saat ini, siapapun yang akrab dengan sentimen dan kecenderungan Islam selalu terasa kuat di antara rakyatnya.
Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa pemakaman Mohammed Bouazizi, pemuda Tunisia yang menempatkan dirinya diantara pendemo yang menentang Ben Ali dan dengan demikian memulai pemberontakan, menampilkan slogan seperti "martir ini dicintai Allah!"
Dan juga oleh kenyataan bahwa penyelenggara demonstrasi di Mesir pada Selasa lalu merasa diri mereka terpaksa tidak menunjukkan pandangan agama dan meminta kepada massa hanya membawa bendera Mesir dan tidak ada simbol-simbol agama.
Namun demikian, protes dimulai dengan sholat berjamaah di alun-alun di mana massa berkumpul.
Kenyataan bahwa umat Islam tidak menginginkan demokrasi dan sekuler, telah ditunjukkan oleh banyak jajak pendapat. Survei terbaru menunjukkan bahwa 85 persen Mesir dan 91 persen Indonesia mendukung kehadiran Islam dalam politik. 82 persen Mesir, 70 persen Yordania dan 40 persen Indonesia mendukung pengenalan hukum Islam seperti rajam untuk perzinahan dan hukuman mati karena murtad.
Oleh karena itu, adalah mungkin bahwa kata kebebasan bagi Muslim dipahami bukan sebagai permisif dan tidak menghormati hukum agama, seperti di Barat, melainkan untuk hidup menurut Islam. Sebagai contoh, Tunisia melarang penggunaan kerudung dan memenjarakan Muslimah yang mengenakannya.
Meskipun media Barat terdiam mengenai ini, kita harus mengakui pemberontakan populer di negara-negara Arab berhubungan dengan Islam. Sedangkan kaum revolusioner tidak menyerukan pembentukan sebuah negara Islam.
Sementara itu, diplomat dan pengamat Barat memprediksi bahwa ketidakstabilan yang berkembang di negeri-negeri Muslim ini akan memberikan tantangan baru bagi AS dan "Israel", yang dianggap "master" di Timur Tengah, ujar CBS.
"Mesir sekarang menyaksikan tsunami politik besar dengan konsekuensi untuk wilayah disekitarnya," seorang diplomat Arab dari negara Timur Tengah yang bertugas di Kairo sampai Agustus lalu memperingatkan. Berbicara kepada CBS News, diplomat ini memperingatkan "berbagai bahaya" setelah perubahan rezim di Mesir.
Ke depan, ia mencatat kemungkinan yang muncul adalah meningkatnya secara signifikan "militan" Islam di Mesir yang akan mengambil garis keras terhadap AS dan Israel untuk menjadikan Mesir simbol perubahan bagi orang lain untuk diikuti.
Shadi Hamid dari Pusat Brookings Doha mencatat, "penghalang ketakutan yang selama ini tersimpan oleh massa Muslim di bawah kontrol penguasa mereka telah rusak oleh pemberontakan Tunisia".
Setelah protes Tunisia kini di Mesir, Aljazair, Yordania dan Yaman memulai hal yang sama. Perkembangan ini menempatkan Barat dalam ketakutan.
Baik Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir telah selama bertahun-tahun menerima banyak dukungan dari negara Barat. Amerika mendukung Mesir miliaran dollar per tahun. Tunisia merupakan "poster boy" IMF.
Bahkan meskipun fakta bahwa banyak pendemo di Tunisa berada di bawah slogan "kebebasan dan demokrasi", negara-negara Barat cemas pendukung politik Islam akan datang pada kekuasaan.
Namun, dapat dikatakan bahwa pengambilalihan Islam masih merupakan hasil yang paling mungkin pada peristiwa di Tunisia, Mesir, Aljazair, Suriah, Yordania dan Yaman.
Karena meskipun pasukan Islam mungkin tampak sebagian besar tidak ada di protes saat ini, siapapun yang akrab dengan sentimen dan kecenderungan Islam selalu terasa kuat di antara rakyatnya.
Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa pemakaman Mohammed Bouazizi, pemuda Tunisia yang menempatkan dirinya diantara pendemo yang menentang Ben Ali dan dengan demikian memulai pemberontakan, menampilkan slogan seperti "martir ini dicintai Allah!"
Dan juga oleh kenyataan bahwa penyelenggara demonstrasi di Mesir pada Selasa lalu merasa diri mereka terpaksa tidak menunjukkan pandangan agama dan meminta kepada massa hanya membawa bendera Mesir dan tidak ada simbol-simbol agama.
Namun demikian, protes dimulai dengan sholat berjamaah di alun-alun di mana massa berkumpul.
Kenyataan bahwa umat Islam tidak menginginkan demokrasi dan sekuler, telah ditunjukkan oleh banyak jajak pendapat. Survei terbaru menunjukkan bahwa 85 persen Mesir dan 91 persen Indonesia mendukung kehadiran Islam dalam politik. 82 persen Mesir, 70 persen Yordania dan 40 persen Indonesia mendukung pengenalan hukum Islam seperti rajam untuk perzinahan dan hukuman mati karena murtad.
Oleh karena itu, adalah mungkin bahwa kata kebebasan bagi Muslim dipahami bukan sebagai permisif dan tidak menghormati hukum agama, seperti di Barat, melainkan untuk hidup menurut Islam. Sebagai contoh, Tunisia melarang penggunaan kerudung dan memenjarakan Muslimah yang mengenakannya.
Meskipun media Barat terdiam mengenai ini, kita harus mengakui pemberontakan populer di negara-negara Arab berhubungan dengan Islam. Sedangkan kaum revolusioner tidak menyerukan pembentukan sebuah negara Islam.
Sementara itu, diplomat dan pengamat Barat memprediksi bahwa ketidakstabilan yang berkembang di negeri-negeri Muslim ini akan memberikan tantangan baru bagi AS dan "Israel", yang dianggap "master" di Timur Tengah, ujar CBS.
"Mesir sekarang menyaksikan tsunami politik besar dengan konsekuensi untuk wilayah disekitarnya," seorang diplomat Arab dari negara Timur Tengah yang bertugas di Kairo sampai Agustus lalu memperingatkan. Berbicara kepada CBS News, diplomat ini memperingatkan "berbagai bahaya" setelah perubahan rezim di Mesir.
Ke depan, ia mencatat kemungkinan yang muncul adalah meningkatnya secara signifikan "militan" Islam di Mesir yang akan mengambil garis keras terhadap AS dan Israel untuk menjadikan Mesir simbol perubahan bagi orang lain untuk diikuti.
Sementara saat ini tampaknya Presiden Hosni Mubarak menentang kemungkinan, Mesir semakin terkunci dalam keadaan lumpuh yang memaksa banyak pengamat untuk mengundurkan diri untuk merubah rezim.
Sementara itu, kembalinya Mohamed El-Baradai untuk memimpin protes telah meningkatkan kemungkinan masa depan pemerintah akan dipimpin oleh seorang tokoh yang akan mengejar reformasi internal sambil mempertahankan hubungan dengan AS, "Israel" dan kekuatan luar lainnya.
Mubarak, dalam tiga dekade jabatannya sebagai presiden, telah seringkali menjadikan dirinya kekuatan untuk asing sebagai benteng paling efektif melawan "Islam garis keras".
Namun demikian, kemungkinan "Ikhwanul Muslimin" berkuasa sepertinya akan menjadi nyata.
"Ikhwanul Muslimin telah mengambil peran sebagai wakil kunci dari underdog Mesir. Dalam situasi seperti sekarang ini, rakyat memiliki kesempatan sempurna untuk didengar dari sebelumnya," ujar diplomat Arab lainnya yang bertugas hingga 2009 di Kairo. (haninmazaya/arrahmah.com)
Sementara itu, kembalinya Mohamed El-Baradai untuk memimpin protes telah meningkatkan kemungkinan masa depan pemerintah akan dipimpin oleh seorang tokoh yang akan mengejar reformasi internal sambil mempertahankan hubungan dengan AS, "Israel" dan kekuatan luar lainnya.
Mubarak, dalam tiga dekade jabatannya sebagai presiden, telah seringkali menjadikan dirinya kekuatan untuk asing sebagai benteng paling efektif melawan "Islam garis keras".
Namun demikian, kemungkinan "Ikhwanul Muslimin" berkuasa sepertinya akan menjadi nyata.
"Ikhwanul Muslimin telah mengambil peran sebagai wakil kunci dari underdog Mesir. Dalam situasi seperti sekarang ini, rakyat memiliki kesempatan sempurna untuk didengar dari sebelumnya," ujar diplomat Arab lainnya yang bertugas hingga 2009 di Kairo. (haninmazaya/arrahmah.com)
http://arrahmah.com/index.php/news/read/10853/massa-muslim-mulai-bergerak-barat-khawatirkan-revolusi-islam
AS ‘bermain’ ganda di Mesir
Oleh Althaf pada Senin 31 Januari 2011, 06:32 PM WASHINGTON (Arrahmah.com) - Standar ganda Washington terhadap Mesir dan perkembangannya telah menjadi satu lagi bukti bahwa AS telah mendukung kediktatoran Hosni Mubarak selama bertahun-tahun.
"Pesan Amerika konsisten. Kami ingin melihat pemilu yang bebas dan adil dan kami berharap bahwa akan menjadi salah satu hasil dari apa yang sedang terjadi sekarang," kata Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton.
"Kami ingin melihat transisi yang tertib sehingga tidak ada yang mengisi kekosongan. Yang terjadi seharusnya adalah bagaimana berpikir untuk mewujudkan pemerintahan demokratis yang partisipatif," tambahnya.
"Apa yang kami katakan adalah bahwa setiap upaya pemerintah haruslah untuk merespon kebutuhan rakyat mereka, untuk mengambil langkah-langkah yang akan menghasilkan transisi yang tertib dan damai menuju rezim demokrasi demi kepentingan semua orang, termasuk pemerintah saat ini," lanjut Clinton.
Ungkapan ini datang saat Washington terlihat benar-benar menyatakan dukungannya bagi diktator Mesir dalam beberapa kesempatan.
"Mubarak telah menjadi sekutu kami dalam sejumlah hal. Dan dia sangat bertanggung jawab terhadap kepentingan geopolitik di wilayah ini, juga upaya perdamaian Timur Tengah. Tindakan Mesir telah telah menormalisasi hubungan dengan Israel. Saya tidak akan melihatnya (Mubarak) sebagai diktator," kata Wakil Presiden AS, Joe Biden. pada hari Kamis lalu.
Analis politik percaya seruan AS terhadap otoritas Mesir dalam rangka mewujudkan tuntutan reformasi adalah sandiwara, karena Gedung Putih jelas keberatan untuk menentang Mubarak. (althaf/arrahmah.com)
http://arrahmah.com/index.php/news/read/10851/as-bermain-ganda-di-mesir
"Pesan Amerika konsisten. Kami ingin melihat pemilu yang bebas dan adil dan kami berharap bahwa akan menjadi salah satu hasil dari apa yang sedang terjadi sekarang," kata Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton.
"Kami ingin melihat transisi yang tertib sehingga tidak ada yang mengisi kekosongan. Yang terjadi seharusnya adalah bagaimana berpikir untuk mewujudkan pemerintahan demokratis yang partisipatif," tambahnya.
"Apa yang kami katakan adalah bahwa setiap upaya pemerintah haruslah untuk merespon kebutuhan rakyat mereka, untuk mengambil langkah-langkah yang akan menghasilkan transisi yang tertib dan damai menuju rezim demokrasi demi kepentingan semua orang, termasuk pemerintah saat ini," lanjut Clinton.
Ungkapan ini datang saat Washington terlihat benar-benar menyatakan dukungannya bagi diktator Mesir dalam beberapa kesempatan.
"Mubarak telah menjadi sekutu kami dalam sejumlah hal. Dan dia sangat bertanggung jawab terhadap kepentingan geopolitik di wilayah ini, juga upaya perdamaian Timur Tengah. Tindakan Mesir telah telah menormalisasi hubungan dengan Israel. Saya tidak akan melihatnya (Mubarak) sebagai diktator," kata Wakil Presiden AS, Joe Biden. pada hari Kamis lalu.
Analis politik percaya seruan AS terhadap otoritas Mesir dalam rangka mewujudkan tuntutan reformasi adalah sandiwara, karena Gedung Putih jelas keberatan untuk menentang Mubarak. (althaf/arrahmah.com)
http://arrahmah.com/index.php/news/read/10851/as-bermain-ganda-di-mesir
Biadab, Mubarak perintahkan tentara untuk tembak ditempat
Oleh Hanin Mazaya pada Selasa 01 Februari 2011, 07:35 AM KAIRO (Arrahmah.com) - Presiden Mesir yang diperangi rakyatnya, Hosni Mubarak, dilaporkan telah memberikan kewenangan kepada angkatan bersenjatanya untuk menembak di tempat saat pendemo mulai meningkatkan tekanannya.
Laporan-laporan mengatakan tentara telah diperintahkan untuk menembak ketika terlihat diperlukan.
Helikopter militer dan pesawat tempur terbang di atas lokasi utama aksi unjuk rasa di mana sejumlah besar pendemo berkumpul di sana.
Puluhan ribu orang telah praktis mengambil alun-alun Tahrir di pusat kota meskipun kehadiran militer terus bertambah, lapor Press TV.
Bentrokan antara pendemo dengan polisi telah menyebabkan sedikitnya 150 orang tewas dan ribuan lainnya terluka sejak protes anti-Mubarak dimulai di Kairo, Suez dan Alexandria delapan hari lalu.
Demonstran memiliki satu permintaan, yaitu mundurnya Mubarak. Mereka ingin perubahan rezim dan dijawab oleh Mubarak dengan diangkatnya wakil presiden dan perdana menteri.
Presiden Mesir telah mengunjungi pusat operasi militer pada hari keenam protes menentang rezimnya.
Media setempat mengatakan abhwa Mubarak telah bertemu dengan komandan militer dan para petinggi militer di markas mereka.
Wakil Presiden yang baru diangkat, menteri pertahanan dan kepala staf juga menghadiri pertemuan tersebut. Tidak ada rincian lebih lanjut yang dirilis.
Pada Jumat, Mubarak memerintahkan tentara keluar ke jalan dalam upaya untuk mempertahankan kontrol.
Namun ternyata, barisan demonstran semakin menggemuk, mereka juga didukung oleh ribuan orang di seluruh dunia yang turun ke jalan untuk menyatakan dukungannya untuk demonstrasi anti-pemerintah di Mesir. (haninmazaya/arrahmah.com)
Laporan-laporan mengatakan tentara telah diperintahkan untuk menembak ketika terlihat diperlukan.
Helikopter militer dan pesawat tempur terbang di atas lokasi utama aksi unjuk rasa di mana sejumlah besar pendemo berkumpul di sana.
Puluhan ribu orang telah praktis mengambil alun-alun Tahrir di pusat kota meskipun kehadiran militer terus bertambah, lapor Press TV.
Bentrokan antara pendemo dengan polisi telah menyebabkan sedikitnya 150 orang tewas dan ribuan lainnya terluka sejak protes anti-Mubarak dimulai di Kairo, Suez dan Alexandria delapan hari lalu.
Demonstran memiliki satu permintaan, yaitu mundurnya Mubarak. Mereka ingin perubahan rezim dan dijawab oleh Mubarak dengan diangkatnya wakil presiden dan perdana menteri.
Presiden Mesir telah mengunjungi pusat operasi militer pada hari keenam protes menentang rezimnya.
Media setempat mengatakan abhwa Mubarak telah bertemu dengan komandan militer dan para petinggi militer di markas mereka.
Wakil Presiden yang baru diangkat, menteri pertahanan dan kepala staf juga menghadiri pertemuan tersebut. Tidak ada rincian lebih lanjut yang dirilis.
Pada Jumat, Mubarak memerintahkan tentara keluar ke jalan dalam upaya untuk mempertahankan kontrol.
Namun ternyata, barisan demonstran semakin menggemuk, mereka juga didukung oleh ribuan orang di seluruh dunia yang turun ke jalan untuk menyatakan dukungannya untuk demonstrasi anti-pemerintah di Mesir. (haninmazaya/arrahmah.com)
Raih amal shalih, sebarkan informasi ini...
http://arrahmah.com/index.php/news/read/10854/bi
http://arrahmah.com/index.php/news/read/10854/bi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar