i
 
1 Votes
Quantcast

Sepertinya ada dua pilihan ekstrem bagi manusia. Mempercayai akalnya atau mempercayai Tuhan. Jika manusia mempercayai Tuhan maka dia harus menolak akalnya. Jika manusia mempercayai akalnya maka manusia harus menolak Tuhan.
Dua hal ini, Tuhan dan akal, tidak bisa tinggal satu rumah dalam diri manusia.
Manusia yang mempercayai Tuhan, meskipun mereka mengaku berpikir, tapi pikirannya adalah kata lain dari perasaan. Dengan kata lain adalah rasionalisasi untuk pembenaran. Untuk membela perasaannya. Agar perasaannya tentang Tuhan tampak masuk akal.
Akal, jika dia benar-benar hidup dan berfungsi, bukanlah untuk mempercayai. Tapi adalah untuk mempertanyakan segala sesuatu. Yang mempercayai adalah pekerjaan hati, pekerjaan perasaan. Itu sebabnya perasaan tidak bisa dibiarkan melajur sendiri. Karena perasaan seperti kuda liar tanpa kompas. Tapi akal, bagaikan mahkota kejayaan manusia. Melebihi prestasi segala mahkluk. Karena akallah adanya kebudayaan. Tumbuh-tumbuhan dan hewan tidak pernah memliki kebudayaan. Belum pernah sejarah mencatat ada satu Universitas pun didirikan oleh spesies hewan yang paling cerdas sekali pun.
Akal, adalah mata air kecemerlangan. Gudang inspirasi sepanjang zaman. Karena akal, manusia merubah wajah kehidupan. Karena akal manusia sampai ke bulan. Karena akal manusia mengerti apa artinya kebaikan. Karena akal manusia mengerti apa artinya persaudaraan antar sesama manusia dan lingkungan hidupnya.
Tapi ketika manusia sudah keracunan akan kepercyaan pada Tuhan, maka akal menjadi tidur dan mati. Hingga konflik dan pertengkaran atas nama Tuhan menjadi halal. Hingga darah dan nyawa manusia menjadi kehilangan arti. Demi Tuhan yang tak pernah jelas dan real dalam kenyataan.