Koreksi Atas Argumentasi Kaum Pluralis
- Senin, 11 Januari 2010 17:36
- Oleh: Chandra Purna Irawan
Syabab.Com - Menurut McDowell, ada dua macam pluralisme; Pertama, pluralisme tradisional (Social Pluralism) yang kini disebut “negative tolerance”. Pluralisme ini didefinisikan sebagai “respecting others beliefs and practices without sharing them” (menghormati keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta [sharing] bersama mereka). Kedua, pluralisme baru (Religious Pluralism) disebut dengan “positive tolerance” yang menyatakan bahwa “every single individual’s beliefs, values, lifestyle, and truth claims are equal” (setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran dari setiap individu, adalah sama (equal).
Dalam Wikipedia, Pluralisme agama secara mudah adalah istilah bagi hubungan-hubungan damai antara beragam agama atau pluralisme agama menggambarkan pandangan bahwa agama seseorang bukanlah satu-satunya dan secara eksklusif menjadi sumber kebenaran, dan karenanya pluralisme agama meyakini bahwa kebenaran itu tersebar di agama-agama yang lain.
Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 24 Agustus 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The Saint Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 20.000 - 100.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik. Peristiwa mengerikan semacam inlah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation), tak ada keselamatan di luar gereja. Lalu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historis yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi diimpor dari setting sosio historis kaum Kristen di Eropa dan AS.
Kemunculan ide pluralisme terutama pluralisme agama didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan truth claim yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstrimitas, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan antar umat agama atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar (lenyapnya truth claim). Adapun dilihat dari cara menghapus truth claim, kaum pluralis terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama berusaha menghapus identitas agama-agama, dan menyerukan terbentuknya agama universal yang mesti dianut seluruh umat manusia. Menurut mereka, cara yang paling tepat untuk menghapus truth claim adalah mencairkan identitas agama-agama, dan mendirikan apa yang disebut dengan agama universal (global religion). Sedangkan kelompok kedua menggagas adanya kesatuan dalam hal-hal transenden (unity of transenden). Dengan kata lain, identitas agama-agama masih dipertahankan, namun semua agama harus dipandang memiliki aspek gnosis yang sama. Menurut kelompok kedua ini, semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Gagasan kelompok kedua ini bertumpu pada ajaran filsafat perennial yang memandang semua agama menyembah Realitas Mutlak yang sama, dengan cara penyembahan yang berbeda-beda.
Akronisasi Pluralisme
Adalah suatu penyesatan atau disinformasi yang disengaja, jika dikatakan bahwa pluralisme adalah hukum Tuhan atau sunnatullah. Benar, bahwa adanya keanekaragaman realitas, itu sunnatullah. Tapi perspektif atau pendirian filosofis tertentu menyikapi realitas plural itu, jelas bukan sunnatullah yang bersifat universal, melainkan suatu pendapat yang unique dan mengandung nilai atau pandangan hidup tertentu (value-bound).
Sebagai jalan keluar dan upaya klarifikasi, sebaiknya digunakan dua istilah, yaitu pluralitas, yang menunjuk pada fakta adanya kemajemukan, dan pluralisme, yang menunjuk pada opini atau perspektif tertentu dalam memandang realitas plural yang ada. Dalam hal Pluralitas, Islam memang mengakui.
Ilmu sosial mengganggap pluralisme sebagai kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik. Namun tentu dalam kehidupan sosial, tidak hanya ada suku, ras, warna kulit, gender, dan budaya, namun juga ada peranan agama. Namun akhirnya pluralisme melingkupi juga tentang pluralisme agama.
Koreksi Atas Argumentasi Kaum Pluralis
Para pengusung gagasan pluralisme berusaha dengan keras mencari pembenaran dalam teks-teks agama agar paham ini (pluralisme) bisa diterima oleh kaum Muslim. Adapun alasan-alasan yang sering mereka ketengahkan untuk membenarkan ide pluralisme tersebut adalah sebagai berikut:
a. Surat al-Hujurat Ayat 13
Allah swt telah berfirman;
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah.“ (TQS. al-Hujurat:13).
Menurut kaum pluralis, ayat ini menunjukkan adanya pengakuan Islam terhadap ide pluralisme.
Ayat ini hanya menerangkan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku dan bangsa, serta identitas-identitas agama selain Islam; dan sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme.
Dalam kitab Shafwaat al-Tafaasir, Ali al-Shabuniy menyatakan, “Pada dasarnya, umat manusia diciptakan Allah swt dengan asal-usul yang sama, yakni keturunan Nabi Adam as. Tendensinya, agar manusia tidak membangga-banggkan nenek moyang mereka. Kemudian Allah swt menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal dan bersatu, bukan untuk bermusuhan dan berselisih. Mujahid berkata, “Agar manusia mengetahui nasabnya; sehingga bisa dikatakan bahwa si fulan bin fulan dari kabilah anu’. Syekh Zadah berkata, “Hikmah dijadikannya kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu dengan yang lain mengetahui nasabnya. Sehingga, mereka tidak menasabkan kepada yang lain….Akan tetapi semua itu tidak ada yang lebih agung dan mulia, kecuali keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa menempuhnya ia akan menjadi manusia paling mulia, yakni, bertaqwalah kepada Allah.”
Kemunculan ide pluralisme terutama pluralisme agama didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan truth claim yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstrimitas, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan antar umat agama atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar (lenyapnya truth claim). Adapun dilihat dari cara menghapus truth claim, kaum pluralis terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama berusaha menghapus identitas agama-agama, dan menyerukan terbentuknya agama universal yang mesti dianut seluruh umat manusia. Menurut mereka, cara yang paling tepat untuk menghapus truth claim adalah mencairkan identitas agama-agama, dan mendirikan apa yang disebut dengan agama universal (global religion). Sedangkan kelompok kedua menggagas adanya kesatuan dalam hal-hal transenden (unity of transenden). Dengan kata lain, identitas agama-agama masih dipertahankan, namun semua agama harus dipandang memiliki aspek gnosis yang sama. Menurut kelompok kedua ini, semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Gagasan kelompok kedua ini bertumpu pada ajaran filsafat perennial yang memandang semua agama menyembah Realitas Mutlak yang sama, dengan cara penyembahan yang berbeda-beda.
Akronisasi Pluralisme
Adalah suatu penyesatan atau disinformasi yang disengaja, jika dikatakan bahwa pluralisme adalah hukum Tuhan atau sunnatullah. Benar, bahwa adanya keanekaragaman realitas, itu sunnatullah. Tapi perspektif atau pendirian filosofis tertentu menyikapi realitas plural itu, jelas bukan sunnatullah yang bersifat universal, melainkan suatu pendapat yang unique dan mengandung nilai atau pandangan hidup tertentu (value-bound).
Sebagai jalan keluar dan upaya klarifikasi, sebaiknya digunakan dua istilah, yaitu pluralitas, yang menunjuk pada fakta adanya kemajemukan, dan pluralisme, yang menunjuk pada opini atau perspektif tertentu dalam memandang realitas plural yang ada. Dalam hal Pluralitas, Islam memang mengakui.
Ilmu sosial mengganggap pluralisme sebagai kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik. Namun tentu dalam kehidupan sosial, tidak hanya ada suku, ras, warna kulit, gender, dan budaya, namun juga ada peranan agama. Namun akhirnya pluralisme melingkupi juga tentang pluralisme agama.
Koreksi Atas Argumentasi Kaum Pluralis
Para pengusung gagasan pluralisme berusaha dengan keras mencari pembenaran dalam teks-teks agama agar paham ini (pluralisme) bisa diterima oleh kaum Muslim. Adapun alasan-alasan yang sering mereka ketengahkan untuk membenarkan ide pluralisme tersebut adalah sebagai berikut:
a. Surat al-Hujurat Ayat 13
Allah swt telah berfirman;
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah.“ (TQS. al-Hujurat:13).
Menurut kaum pluralis, ayat ini menunjukkan adanya pengakuan Islam terhadap ide pluralisme.
Ayat ini hanya menerangkan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku dan bangsa, serta identitas-identitas agama selain Islam; dan sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme.
Dalam kitab Shafwaat al-Tafaasir, Ali al-Shabuniy menyatakan, “Pada dasarnya, umat manusia diciptakan Allah swt dengan asal-usul yang sama, yakni keturunan Nabi Adam as. Tendensinya, agar manusia tidak membangga-banggkan nenek moyang mereka. Kemudian Allah swt menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal dan bersatu, bukan untuk bermusuhan dan berselisih. Mujahid berkata, “Agar manusia mengetahui nasabnya; sehingga bisa dikatakan bahwa si fulan bin fulan dari kabilah anu’. Syekh Zadah berkata, “Hikmah dijadikannya kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu dengan yang lain mengetahui nasabnya. Sehingga, mereka tidak menasabkan kepada yang lain….Akan tetapi semua itu tidak ada yang lebih agung dan mulia, kecuali keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa menempuhnya ia akan menjadi manusia paling mulia, yakni, bertaqwalah kepada Allah.”
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa surat Hujurat ayat 13 hanya menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku, bangsa, agama, dan lain-lain. Adanya keragaman suku, bangsa, bahasa, dan agama merupakan perkara alami. Hanya saja, Islam tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya. Islam juga tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Bahkan, Islam menolak klaim kebenaran yang dikemukakan oleh penganut-penganut agama selain Islam, dan menyeru seluruh umat manusia untuk masuk ke dalam Islam, jika mereka ingin selamat dari siksa api neraka. Perhatikan ayat-ayat berikut ini;
“Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan. Rabb akan memutuskan apa yang kami perselisihkan di hari akhir. Apa mereka tidak tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan bumi. Semua itu ada di dalam pengetahuanNya , semua itu mudah bagi Allah. Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah, tanpa dasar ilmu. Mereka adalah orang-orang dzalim yang tidak mempunyai pembela.” (TQS. al-Hajj: 67-71).
Di ayat yang lain, al-Quran juga menegaskan bahwa agama yang diridloi di sisi Allah swt hanyalah agama Islam.
“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.” (TQS. Ali Imron: 19)
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (TQS. Ali Imron: 85).
Pada tempat yang lain, Allah swt menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nashrani, Zoroaster, dan lain sebagainya. Al-Quran telah menyatakan masalah ini dengan sangat jelas dalam Q.S Al-Baqarah: 165, Q.S At-Taubah: 30-31, Q.S Al-Maidah: 18 dan 72, dan lain-lain.
Seandainya ide pluralisme agama ini memang diakui di dalam Islam, berarti, tidak ada satupun orang yang masuk ke neraka dan kekal di dalamnya. Padahal, al-Quran telah menjelaskan dengan sangat jelas, bahwa orang Yahudi, Nashrani, dan kaum Musyrik, tidak mungkin masuk ke surganya Allah, akan tetapi mereka kekal di dalam neraka. Perhatikan ayat berikut ini.
“Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan. Rabb akan memutuskan apa yang kami perselisihkan di hari akhir. Apa mereka tidak tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan bumi. Semua itu ada di dalam pengetahuanNya , semua itu mudah bagi Allah. Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah, tanpa dasar ilmu. Mereka adalah orang-orang dzalim yang tidak mempunyai pembela.” (TQS. al-Hajj: 67-71).
Di ayat yang lain, al-Quran juga menegaskan bahwa agama yang diridloi di sisi Allah swt hanyalah agama Islam.
“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.” (TQS. Ali Imron: 19)
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (TQS. Ali Imron: 85).
Pada tempat yang lain, Allah swt menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nashrani, Zoroaster, dan lain sebagainya. Al-Quran telah menyatakan masalah ini dengan sangat jelas dalam Q.S Al-Baqarah: 165, Q.S At-Taubah: 30-31, Q.S Al-Maidah: 18 dan 72, dan lain-lain.
Seandainya ide pluralisme agama ini memang diakui di dalam Islam, berarti, tidak ada satupun orang yang masuk ke neraka dan kekal di dalamnya. Padahal, al-Quran telah menjelaskan dengan sangat jelas, bahwa orang Yahudi, Nashrani, dan kaum Musyrik, tidak mungkin masuk ke surganya Allah, akan tetapi mereka kekal di dalam neraka. Perhatikan ayat berikut ini.
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (TQS. al-Baqarah: 111)
b. Islam Tidak Memaksa Manusia untuk Masuk ke Dalam Agama Islam
Ayat lain yang sering digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme adalah ayat;
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS. al-Baqarah: 256)
Surat al-Baqarah ayat 256 ini sering dieksploitasi untuk membenarkan ide pluralisme. Mereka menyatakan, Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk ke dalam Islam, bahkan mereka dibiarkan tetap dalam agama mereka. Ini menunjukkan, bahwa Islam mengakui kebenaran agama selain Islam (pluralisme), tidak hanya sekedar mengakui pluralitas (keragaman) agama.
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan al-diin pada ayat di atas (al-Baqarah:256) adalah al-mu’taqid wa al-millah (keyakinan dan agama). Sedangkan kandungan isi ayat ini, seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, adalah; sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Sebab, kebenaran Islam telah terbukti berdasarkan hujjah yang terang dan gamblang; sehingga, tidak perlu lagi memaksa para penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.
Ayat ini tidak berhubungan sama sekali dengan ide pluralisme yang diusung oleh kaum pluralis. Bahkan, ayat ini menyatakan dengan jelas, bahwa Islam adalah agama yang paling benar, sekaligus menolak truth claim agama-agama selain Islam. Tidak adanya pemaksaan atas penganut agama lain untuk masuk Islam hanya menunjukkan bahwa Islam mengakui identitas agama mereka. Akan tetapi, Islam tidak mengakui sama sekali truth claim agama mereka. Bahkan, kaum Muslim diperintahkan untuk mengajak orang-orang kafir masuk ke dalam agama Islam dengan hujjah dan hikmah.
c. Surat al-Maidah : 69 dan Surat al-Baqarah: 62
Dua ayat ini juga sering digunakan dalil oleh kaum pluralis untuk membenarkan paham pluralisme. Mereka menyatakan, bahwa dua ayat ini menyatakan dengan sangat jelas, bahwa Islam mengakui kebenaran agama-agama selain Islam, bahkan mereka juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt. Dua ayat tersebut adalah:
Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (TQS. al-Baqarah: 62)
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(TQS. al-Maidah: 69)
Sesungguhnya, ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan penganut agama lain yang ada pada saat ini. Sebab, topik yang diperbincangkan ayat tersebut adalah umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa umat-umat terdahulu, baik Yahudi, Nashrani, Shabi’un, yang taat kepada ajaran agamadan Rasulnya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Akan tetapi, ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa Islam mengakui truth claim agama-agama lain yang ada pada saat ini, baik Yahudi, Nashrani, Zoroaster, dan sebagainya. Dua ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa pemeluk agama lain yang ada pada saat ini juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt, seperti halnya pemeluk agama Islam. Sebab, nash-nash al-Quran dan Sunnah dengan jelas menyatakan, bahwa setelah diutusnya Mohammad saw, seluruh manusia diperintahkan untuk meninggalkan agama mereka. Bahkan, Islam telah menjelaskan kesesatan dan kekafiran semua agama yang ada pada saat ini; baik agama Yahudi, Nashrani, maupun agama kaum Musyrik (Budha, Hindu, Konghucu, dan lain-lain).
b. Islam Tidak Memaksa Manusia untuk Masuk ke Dalam Agama Islam
Ayat lain yang sering digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme adalah ayat;
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS. al-Baqarah: 256)
Surat al-Baqarah ayat 256 ini sering dieksploitasi untuk membenarkan ide pluralisme. Mereka menyatakan, Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk ke dalam Islam, bahkan mereka dibiarkan tetap dalam agama mereka. Ini menunjukkan, bahwa Islam mengakui kebenaran agama selain Islam (pluralisme), tidak hanya sekedar mengakui pluralitas (keragaman) agama.
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan al-diin pada ayat di atas (al-Baqarah:256) adalah al-mu’taqid wa al-millah (keyakinan dan agama). Sedangkan kandungan isi ayat ini, seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, adalah; sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Sebab, kebenaran Islam telah terbukti berdasarkan hujjah yang terang dan gamblang; sehingga, tidak perlu lagi memaksa para penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.
Ayat ini tidak berhubungan sama sekali dengan ide pluralisme yang diusung oleh kaum pluralis. Bahkan, ayat ini menyatakan dengan jelas, bahwa Islam adalah agama yang paling benar, sekaligus menolak truth claim agama-agama selain Islam. Tidak adanya pemaksaan atas penganut agama lain untuk masuk Islam hanya menunjukkan bahwa Islam mengakui identitas agama mereka. Akan tetapi, Islam tidak mengakui sama sekali truth claim agama mereka. Bahkan, kaum Muslim diperintahkan untuk mengajak orang-orang kafir masuk ke dalam agama Islam dengan hujjah dan hikmah.
c. Surat al-Maidah : 69 dan Surat al-Baqarah: 62
Dua ayat ini juga sering digunakan dalil oleh kaum pluralis untuk membenarkan paham pluralisme. Mereka menyatakan, bahwa dua ayat ini menyatakan dengan sangat jelas, bahwa Islam mengakui kebenaran agama-agama selain Islam, bahkan mereka juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt. Dua ayat tersebut adalah:
Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (TQS. al-Baqarah: 62)
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(TQS. al-Maidah: 69)
Sesungguhnya, ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan penganut agama lain yang ada pada saat ini. Sebab, topik yang diperbincangkan ayat tersebut adalah umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa umat-umat terdahulu, baik Yahudi, Nashrani, Shabi’un, yang taat kepada ajaran agamadan Rasulnya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Akan tetapi, ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa Islam mengakui truth claim agama-agama lain yang ada pada saat ini, baik Yahudi, Nashrani, Zoroaster, dan sebagainya. Dua ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa pemeluk agama lain yang ada pada saat ini juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt, seperti halnya pemeluk agama Islam. Sebab, nash-nash al-Quran dan Sunnah dengan jelas menyatakan, bahwa setelah diutusnya Mohammad saw, seluruh manusia diperintahkan untuk meninggalkan agama mereka. Bahkan, Islam telah menjelaskan kesesatan dan kekafiran semua agama yang ada pada saat ini; baik agama Yahudi, Nashrani, maupun agama kaum Musyrik (Budha, Hindu, Konghucu, dan lain-lain).
Untuk menafsirkan surat al-baqarah ayat 62, ada baiknya kita simak penuturan ahli tafsir berikut ini:
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah swt menurunkan surat, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.”[Ali Imron:85]. Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan (agama, kepercayaan, dll), ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu berjalan sesuai dengan syari’atnya Mohammad saw. Adapun, umat terdahulu sebelum nabi Mohammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan.” Inilah pengertian surat al-Baqarah:62; dan surat al-Maidah:59.
Selain itu, pemelintiran makna yang dilakukan oleh kelompok pluralis terhadap ayat-ayat itu [al-Baqarah:62 dan al-Maidah:69], tentu saja akan bertolak belakang dengan sabda Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Mohammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari manusia yang mendengar aku, Yahudi, dan Nashrani, kemudian mati, sedangkan ia tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepadaku, kecuali ia menjadi penghuni neraka.” [HR. Muslim dan Ahmad]
Gugatan Terhadap Pluralisme
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah swt menurunkan surat, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.”[Ali Imron:85]. Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan (agama, kepercayaan, dll), ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu berjalan sesuai dengan syari’atnya Mohammad saw. Adapun, umat terdahulu sebelum nabi Mohammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan.” Inilah pengertian surat al-Baqarah:62; dan surat al-Maidah:59.
Selain itu, pemelintiran makna yang dilakukan oleh kelompok pluralis terhadap ayat-ayat itu [al-Baqarah:62 dan al-Maidah:69], tentu saja akan bertolak belakang dengan sabda Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Mohammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari manusia yang mendengar aku, Yahudi, dan Nashrani, kemudian mati, sedangkan ia tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepadaku, kecuali ia menjadi penghuni neraka.” [HR. Muslim dan Ahmad]
Gugatan Terhadap Pluralisme
Pertama, aspek normatif; Secara normatif, yaitu dari kacamata Aqidah Islamiyah, pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islamiyah. Sebab pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Jadi, Islam benar, Kristen benar, Yahudi benar, dan semua agama apa pun juga adalah sama-sama benar. Ini menurut Pluralisme. Adapun menurut Islam, hanya Islam yang benar (Qs. Ali-Imran [3]: 19), agama selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (Qs. Ali-Imran [3]: 85).
Kedua, aspek Kelahiran; Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok (seperti yang telah dijelaskan di atas)
Ketiga, aspek inkonsistensi gereja; Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentunya gereja harus menganggap agama Islam juga benar, tidak hanya agama Kristen saja yang benar. Tapi, fakta menunjukkan bahwa gereja tidak konsisten. Buktinya, gereja terus saja melakukan kristenisasi yang menurut mereka guna menyelamatkan domba-domba yang sesat (baca: umat Islam) yang belum pernah mendengar kabar gembira dari Tuhan Yesus. Kalau agama Islam benar, mengapa kritenisasi terus saja berlangsung? Ini artinya, pihak Kristen sendiri tidak konsisten dalam menjalankan keputusan Konsili Vatikan II tersebut.
Keempat, aspek politis; Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi kapitalisme yang Kristen, atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai dan dipertanyakan, kalau pluralisme tujuannya adalah untuk menumbuhkan hidup berdampingan secara damai (peacefull co-existence), toleransi, dan hormat menghormati antar umat beragama. Menurut Amnesti Internasional, AS adalah pelanggar HAM terbesar di dunia. Sejak Maret 2003 ketika AS menginvasi Irak, sudah 100.000 jiwa umat Islam yang dibunuh oleh AS. Jadi, pertanyaannya, mengapa bukan AS yang menjadi sasaran penyebaran paham pluralisme? Mengapa umat Islam yang justru dipaksa bertoleransi terhadap arogansi AS? Bukankah AS yang sangat intoleran kepada bangsa dan umat lain, khususnya umat Islam? Bukankah tentara AS di Guantonamo (Kuba) yang membuang al-Qur’an ke dalam WC? Mengapa umat Islam yang justru dipaksa ramah, tersenyum, dan toleran kepada AS, padahal justru umat Islamlah yang menjadi korban hegemoni AS yang biadab, kejam, brutal, sadis, dan tak berperikemanusiaan?
Kedua, aspek Kelahiran; Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok (seperti yang telah dijelaskan di atas)
Ketiga, aspek inkonsistensi gereja; Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentunya gereja harus menganggap agama Islam juga benar, tidak hanya agama Kristen saja yang benar. Tapi, fakta menunjukkan bahwa gereja tidak konsisten. Buktinya, gereja terus saja melakukan kristenisasi yang menurut mereka guna menyelamatkan domba-domba yang sesat (baca: umat Islam) yang belum pernah mendengar kabar gembira dari Tuhan Yesus. Kalau agama Islam benar, mengapa kritenisasi terus saja berlangsung? Ini artinya, pihak Kristen sendiri tidak konsisten dalam menjalankan keputusan Konsili Vatikan II tersebut.
Keempat, aspek politis; Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi kapitalisme yang Kristen, atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai dan dipertanyakan, kalau pluralisme tujuannya adalah untuk menumbuhkan hidup berdampingan secara damai (peacefull co-existence), toleransi, dan hormat menghormati antar umat beragama. Menurut Amnesti Internasional, AS adalah pelanggar HAM terbesar di dunia. Sejak Maret 2003 ketika AS menginvasi Irak, sudah 100.000 jiwa umat Islam yang dibunuh oleh AS. Jadi, pertanyaannya, mengapa bukan AS yang menjadi sasaran penyebaran paham pluralisme? Mengapa umat Islam yang justru dipaksa bertoleransi terhadap arogansi AS? Bukankah AS yang sangat intoleran kepada bangsa dan umat lain, khususnya umat Islam? Bukankah tentara AS di Guantonamo (Kuba) yang membuang al-Qur’an ke dalam WC? Mengapa umat Islam yang justru dipaksa ramah, tersenyum, dan toleran kepada AS, padahal justru umat Islamlah yang menjadi korban hegemoni AS yang biadab, kejam, brutal, sadis, dan tak berperikemanusiaan?
Dari keempat gugatan terhadap pluralisme di atas, kiranya dapat dipetik suatu kesimpulan yang berharga, bahwa ide pluralisme agama wajib ditolak. Sebab ide tersebut bertentangan secara normatif dengan Aqidah Islam, tidak orisinal alias palsu karena tumbuh dalam setting sosio historis Barat, merupakan saudara kandung dari sekulerisme yang terpengaruh dari Reformasi Gereja, diimplementasikan secara inkonsisten, dan membahayakan umat Islam secara politis, karena akan membius umat agar tidak sadar telah diinjak-injak oleh hegemoni AS. Tujuan akhir dari konsep pluralisme agama sangat mudah dibaca, yaitu agar umat Islam hancur Aqidahnya, sehingga hegemoni kapitalisme yang kafir atas Dunia Islam semakin paripurna dan total. Karena Barat sangat memahami, bahwa Aqidah Islam adalah rahasia atau kunci vitalitas dan kebangkitan umat Islam. Maka kalau tidak segera dihancurkan, umat Islam akan bisa menjadi potensi ancaman serius untuk hegemoni Barat di masa datang. Maka sebelum umat Islam bangkit, Aqidah Islam dalam dada mereka harus dihancurkan dan dimusnahkan, agar umat Islam takluk dan tunduk patuh sepenuh-penuhnya kepada kaum penjajah kafir. Itulah tujuan sebenarnya dari wacana pluralisme agama ini, tidak ada yang lain. [chan/syabab.com]
*) Penulis adalah Koordinator BKLDK Jawa Barat
Rujukan:
1. Farid Wadjdi & Shiddiq Al-Jawi et.al, Ilusi Negara Demokrasi.2009.Al-Azhar Press
2. Shidiq Al-Jawi, Menolak Pluralisme.2005.Khilafah1924.org
3. Syamsuddin Ramadhan, Pluralisme Bertentangan dengan Islam, Haram Menyebarkan dan Menerapkannya.2009.Hizbut-tahrir.or.id
4. Singgih Saptadi, Agama Baru Itu Bernama Pluralisme!.2008.Hizbut-tahrir.or.id
5. Microsoft Student Encharta, Massacre of Saint Bartolomew’s Day
6. Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar