Mentan: Saya Jamin RI Tak Kena Krisis Pangan
M. Rizal - detikNews. http://www.detiknews.com/read/2011/01/24/173638/1553466/159/mentan-saya-jamin-ri-tak-kena-krisis-pangan?nd992203605
Mentan (Andri H/detikcom)
Jakarta - Food and Agriculture Organization (FAO) dan sejumlah negara yang tergabung dalam G20 telah memberikan warning akan adanya ancaman krisis pangan yang besar pada 2011 ini. Bahkan, ancaman krisis ini bisa menimbulkan kerusuhan di sejumlah negara. Bagaimana dengan Indonesia?
Selama ini Indonesia mengimpor beras ke Thailand dan Vietnam untuk memenuhi cadangan beras nasional. Cadangan beras ini diperlukan untuk mengatur harga beras nasional dan persediaan kalau terjadi kelangkaan pangan. Namun kedua negara ini juga akan menghentikan ekspor berasnya kesejumlah negara, termasuk Indonesa. Vietnam dan Thailand menyetop ekpor beras karena ingin mempertahankan pangan di dalam negerinya masing-masing. Cadangan beras mereka untuk kebutuhan di dalam negeri sudah menipis.
Menteri Pertanian Suswono menyatakan, kondisi pangan Indonesia sebetulnya relatif aman, dengan stok yang selalu tersedia dan ditambah surplus. Impor beras yang dilakukan justru hanya sektar 600.000 ton per tahun ini justru untuk memperkuat stok cadangan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk operasi pasar.
Suswono menerangkan, pada tahun 2010 lalu produksi beras Indonesia sekitar 38 juta ton, sementara kebutuhan konsumsi masyarakat sekitar 33 juta ton. Artinya, masih ada surplus beras sekitar 5 juta ton untuk tahun ini. Guna mengantisipasi
kerawaan pangan ini, pemerintah telah melalukan sejumlah langkah untuk mengantisipasinya baik yang disebabkan perubahan iklim atau pun persoalan lainnya.
"Saya kira untuk Indonesia, saya jamin dan pastikan tidak akan seperti yang dikhawatirkan itu," kata Suswono.
Suswono pun menjamin Indonesia tidak akan mengalami krisis pangan seperti yang diperingatkan oleh FAO.
Berikut wawancara detikcom dengan Menteri Pertanian Suswono di kediamannya, Jl Widya Chandra V No 28, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (23/1/2011) malam:
Kondisi pangan Indonesia bagaimana? Mengingat Vietnam dan Thailand menghentikan ekspor beras dan peringatan FAO soal krisis pangan dunia?
Persoalan ancaman krisis pangan ke depan memang sudah disadari oleh sejumlah negara dunia. Termasuk organisasi-organisasi pangan dunia, sepert Food and Agriculture Organization (FAO) pun telah memberikan warning kepada setiap negara agar masing-masing negara mengamankan ketahanan pangannya, termasuk Indonesia.
Tetapi dengan adanya fakta perubahan iklim yang menjadi bagian dari ancaman krisis pangan ke depan. Kita menyaksikan sendiri betapa perubahan iklim ini begitu nyata dirasakan semua negara, baik negara yang berada di subtropis maupun tropis. Kita saksikan Australia banjir besar, begitu juga di Brazil, turun salju di musim panas. Ini artinya ancaman dari perubahan iklim ini sangat nyata dan punya pengaruh dalam persoalan pangan.
Beberapa negara juga sebenarnya memberikan isyarat, misalnya India yang kini tidak lagi mengekspor gandum. Kemudian juga Vietnam dan Thailand mengisyaratkan mengurangi ekspor beras, yang kemungkinan bisa sampai pada tingkat menghentikan ekspor. Itu bisa terjadi, karena semua negara tentunya ingin mengamankan pangannya masing-masing. Tentu saja bagi Indonesia akan ada dampak tersendiri yang akan dirasakan terkait masalah ini.
Terkait perubahan iklim ini, di tahun 2010 kemarin Indonesia sangat merasakan betul persoalan ini. Sebab, sepanjang tahun 2010 tentu boleh dikatakan hanya satu musim saja, musim hujan. Dulu prediksi Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa bulan April sudah masuk musim kemarau, lalu dikoreksi bulan Juli, tapi tetnyata hujan masih turun. Lalu munculah apa yang disebut kemarau basah, dan faktanya hujan sepanjang satu tahun.
Tentu saja dengan hujan sepanjang tahun ini, ada plus dan minusnya bagi Indonesia. Di satu sisi, dengan hujan sepanjan tahun ada beberapa daerah tadah hujan yang hanya bisa menamam sekali, ternyata bisa dua kali. Akhirnya karena hujan sepanjang tahun, orientasinya menanam padi, karena air yang cukup berlimpah. Tapi di sisi lainnya, dengan menanam padi sepanjang tahun, tanpa pemutusan dengan diselingi menanam varietas lainnya, seperti tanaman hortikultural atau palawija, tentu saja menimbulkan penyakit tanaman.
Sehingga betapa pun luasnya lahan panen terus bertambah karena hujan setahun, tapi dari sisi produksi tidak meningkat secara signifikan. Proses fotosintesis dan pembungaan tidak berjalan dengan baik, karena mendung terus, sehingga hasilnya tidak optimal dan ditambah muncul penyakit tanaman. Oleh karena itu, kenaikan produksi di tahun 2010 sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) hanya menambah 2,46 persen saja.
Artinya, terjadi kenaikan produksi sekitar 4,1 juta ton ditambah dengan stok di akhir tahun sebelumnya menjadikan surplus kita di 2010 sekitar 5,6 juta ton. Sedangkan untuk total produksi beras tahun 2010 sekitar 38 juta ton. Sementara kebutuhan kita sekitar 33 juta ton , sehingga surplus sekitar 5 juta ton.
Tentunya angka 5 juta ton beras bagi Indonesia yang memiliki total jumlah penduduk sekitar 237 juta orang memang sangat riskan. Sebab, jumlah 5 juta ton itu hanya mencukupi dua bulan saja. Karena kebutuhan beras kita itu setiap bulannya sekitar 2,7 juta ton.
Sebetulnya bila dibandingkan dengan Thailand, produktivitas Indonesia di atas negara itu. Kita itu sekitar 5,1 ton per hektar, sedangkan Thailand sekitar 3,5 ton per hektar. Cuma persoalannya, Thailand ini memiliki lahan yang cukup luas,
walau produktivitas padinya 3,5 ton per hektar, dia bisa menghasilkan 27 juta ton beras, kebutuhan Thailand hanya 10 juta ton, surplusnya 10 juta ton, lalu 6 juta ton sebagai cadangan pangan, dan 4 juta ton diekspor. Demikian pula dengan Vietnam yang produksi beras mencapai 17 juta ton, kebutuhannya sekitar 9 juta ton beras, surplus 8 juta ton.
Persoalannya kenapa Indonesia membutuhkan cukup besar beras, karena memang konsumsi perkapita, boleh dikatakan terbesar di dunia. Kebutuhan perkapita kita sekitar 139 kilogram perkapita per tahun. Sedangkan Thailand sekitar 70 kilogram perkapita per tahun, Malaysia sekitar 80 kilogram perkapita per tahun. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang akan kita lakukan dan akan siapkan langkah agar produksi kita tetap aman.
Langkah yang disiapkan untuk mengamankan pangan itu seperti apa?
Pertama yang akan kita lakukan dalam rangka beradaptasi dengan perubahan iklim ini. Kita siapkan benih tanaman padi yang lebih unggul, yang adaptif terhadap perubahan iklim. Untuk dareah yang banyak genangan dan air cukup tinggi, kita
sudah ada varietas yang dikenal varietas Inpara.
Untuk daerah yang sedikit airnya, kering atau tadah hujan ada varietas Inpago atau yang dikenal Padi Gogo. Dan untuk menghadapi hama wereng yang merajalela, kita sudah ada varietas yang tahan hama itu namanya Inpari-13, untuk varietas
ini ada Inpari-2, Inpari-3, Inpari-6 dan Inpari-13. Ini dari sisi benihnya.
Kedua, tentu juga kita siapkan pengelolaan dan pemeliharaan tanaman itu sendiri. Kita pun sudah meminta agar petani bisa menyesuaikan dengan perubahan iklim melalui sekolah-sekolah lapang. Sekolah lapang ini kita adakan yang kita kenal
dengan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Juga ada Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) dan Sekolah Lapang Iklim (SLI). Sekolah ini kita adakan agar para petani bisa belajar langsung di lapangan terkait apa yang mesti dia lakukan dalam situasi dan kondisi seperti itu.
Ketiga dari sisi infrastruktur, kita ada program pembenahan. Pekerjaan Umum (PU) saat ini sedang mengerjakan primer dan sekundernya. Tersiernya merupakan tanggung jawab Kementerian Pertanian, jadi ada perbaikan irigasi teknis tersier.
Di antaranya melalui pembenahan Jaringan Irgasi Desa (Jides), kemudian Jaringan Irigasi Tatausaha Tani (Jitut). Untuk daerah pasang surut, kita kenal Tata Air Mikro. Ini upaya-upaya pengendalian air agar bisa optimal.
Sementara untuk daerah tadah hujan dan kering, kita siapkan rencana membangun Embung, semacam cek dam atau dam kecil. Kita akan membangun sekitar 2.700 Embung, yang akan menampung air di saat musim hujan, yang sewaktu-waktu di musim kemarau, air masih tetap tersedia.
Selain itu kita lakukan Gerakan Pemberantasan Hama. Kita siapkan dengan obat-obatan. Begitu juga saat pasca panennya, ini pun kita amankan saat panen. Ketika merontokan padi tidak banyak yang lost, terbuang dan tercecer. Lalu saat pengeringan, apalagi mendung dan hujan terus menerus akan menurunkan kualitas gabah padi, maka kita siapkan alat pengering. Ini upaya-upaya yang akan maksimal kita lakukan.
Langkah lainnya yang dilakukan di daerah bagaimana?
Sebetulnya bicara soal ketahanan pangan juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda). Peran terdepan sebetulnya adalah pemda, oleh karena itu kesigapan dari aparatur pemda sangat penting. Pemerintah pusat ini posisinya adalah berjaga-jaga ketika daerah itu tidak sanggup menangani, kita akan back up mereka. Ketahanan pangan ini sebetulnya meliputi tiga aspek.
Pertama, dari sisi ketersediaannya. Jadi kita akan mengoptimalkan bagaiman produk-produksi itu optimal disediakan dari dalam negeri, bukan luar negeri. Makanya tahun 2011 kita targetkan surplusnya tidak hanya 5 juta ton, tapi mampu surplus sampai 10 juta ton. Langkah agar target ini terpenuhi, pertama bagaimana kita meningkatkan Indeks Pertanaman (IP). Rata-rata IP kita sekarang 1,8 lalu ditingkatkan menjadi di atas 2. Misalnya IP itu, karena ada hujan panen sekali.
Yang tidak kalah pentingnya saat ini perlunya ekstensifikasi (perluasan) tambahan lahan panen melalui tambahan sawah baru. Sebab tanpa tambahan areal sawah baru, karena salah satu ancaman yang terjadi saat ini adalah konversi lahan. Di Jawa saja
setiap tahun konversi lahan terus dilakukan tanpa ada pengendalian yang baik dari pimpinan daerah. Banyak perumahan-perumahan dibuat di areal pertanian. Jadi salah satu yang akan dilakukan adalah pencetakan sawah baru.
Tahun 2011 ini kita targetkan 70.000 hektar sawah baru, diharapkan sampai 2014 bisa menambahkan areal lahan tanaman pangan sampai 2 juta hektar. Kedua adalah aksesibilitas, artinya kemampuan masyarakat untuk membeli bahan pangan. Makanya ketika ada orang menggugat kita, katanya produksi surplus, tapi kenapa impor? Orang ini tidak ngerti padahal dia katanya orang ahli. Tapi menurut saya itu terlalu naif mengatakan seperti itu.
Kalau bicara soal ketersedian, faktanya ada tidak, anda melihat sejumlah warung, toko dan lain sebagainya berasnya kosong sampai orang ngantre. Ada tidak? Tidak pernah kan. Cuma harganya tinggi, ini kan persoalan harga dan daya beli masyarakat, ini persoalan yang berbeda.
Persoalan harga tinggi ini kan bisa dipermainkan pedagang, seperti kasus naiknya harga Cabe. Di petani harganya cuma Rp 20.000 perkilogram, kok di pedagang bisa Rp 100.000 per kilogram. Impor (beras) yang kita lakukan kemarin ini atau yang
masih dilakukan adalah untuk memperkuat stok pangan di Badan Urusan Logistik (Perum Bulog). Jadi untuk memperkuat, daripada suatu waktu kita kekurangan, harga tinggi karena dipermainkan pedagang, Bulog bisa melakukan Operasi Pasar.
Pertanyaannya kenapa Bulog tidak menyerap beras dari dalam negeri?
Pada saat panen raya pada bulan Maret-April tahun lalu, Bulog tidak bisa membeli beras dalam negeri, karena kualitas gabah atau berasnya di bawah standar yang telah ditentukan. Kalau Bulog tetap membeli ini berarti bisa menjadi temuan Kejaksaan, banyak orang Bulog yang akan dipanggil Kejaksaan. Ini menjadi masalah, jadi alasannya itu. Setiap tahun panen selalu ada, kenapa Bulog tidak beli juga dari dalam negeri. Harganya di atas harga pembelian pemerintah (HPP), karena Bulog dipatok dengan dua syarat, yaitu kualitas memenuhi syarat dan HPP-nya terjangkau.
Bulog itu mematok harga Rp 2.640 perkilogram gabah kering, karena harga ini sangat menguntungkan bagi petani. Kebutuhan impor juga untuk kebutuhan beras bagi keluarga miskin (Raskin). Persoalannya, banyak masyarakat yang tidak mau juga, selain itu banyak pedagang yang justru malah memborong ini. Salah satu kendala lainya, juga banyak petani justru menyimpan sendiri hasil panennya untuk kebutuhan mereka sendiri, dan dijual kalau mereka memerlukan saja.
Persoalan tengkulak, pengusaha besar yang berjualan beras, kenapa tidak ditertibkan?
Begini, memang banyak yang berjualan komoditas lainnya seperti Kedelai, Kacang, Jagung atau Padi. Pada umumnya, orientasi kenapa mereka berdagang hanya untuk mencari keuntungan yang besar. Jadi motifnya itu tidak politis atau yang lainnya. Cuma pengendalian atau penertiban terhadap para pedagang yang mempermainkan harga di pasaran itu bukan tataran Kementerian Pertanian yang hanya mengurusi lahan, bibit dan pengelolaan tanaman sampai panen saja.
Sementara untuk pengendalian harga sudah menjadi kewenangan institusi atau kementerian yang lainnya untuk menangani soal perniagaan ini. Jadi motifnya hanya mencari untung saja.
Bagimana dengan program Food Estate di Papua?
Oh iya, Food Estate ini sebenarnya adalah salah satu solusi yang digunakan pemerintah untuk mengatasi ancaman krisis pangan. Di antaranya bagaimana mengembangkan daerah di luar Jawa, dalam hal ini Papua bagian selatan, seperti di Meurauke.
Dipilihnya Merauke sebagai lokasi pengembangan food estate karena beberapa hal. Pertama, kawasan mampu memasok pangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor beras sebesar 1,95 juta ton per tahun, jagung sekitar 2,20 juta ton, kedelai sekitar 167.000 ton. Pengembangan kawasan budi daya tanaman pangan dan energi skala luas di Merauke akan mengoptimalkan fungsi lahan cadangan yang areanya cukup luas yang selama ini berstatus lahan tidur menjadi lahan produktif, dan bernilai tambah ekonomi.
Katanya Food estate yang berbasis kearifan lokal, tapi justru memaksakan menanam padi?
Sebenarnya ini kan sudah dimulai sejak lama, sejak pemerintahan sebelumnya. Kita ini pas kena puncaknya kena imbas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya. Memang sudah lama masyarakat Papua ada yang menanam padi dan memakan
beras. Nah, sekarang kalau disuruh balik lagi makan singkong atau umbi-umbian demi alasan kearifan lokal, mereka pasti tidak mau dan akan menolak.
Ini sama kondisinya seperti di Ambon, di mana masyarakatnya sejak dulu makan sagu, lalu atas kebijakan pemerintah di masa lalu diminta menanam padi, lalu sekarang dipaksa balik lagi makan sagu. Ini akan sulit, karena sudah terbiasa.
Kembali soal warning FAO tentang ancaman krisis pangan yang bisa memicu kerusuhan di suatu negara atau dunia?
Itu memang menjadi kekhawatiran kita semua, termasuk di Indonesia. Begini, persoalan pangan itu memang sangat fundamental, karena ini kebutuhan langsung kehidupan masyarakatnya. Kalau ini tidak dikelola dengan baik, memang akan memunculkan gejolak-gejolak di masyarakat. Kita bisa lihat ada Presiden yang digulingkan dan jatuh kepempimpinannya gara-gara persoalan pangan ini. Persoalan pangan bisa menyebabkan perang juga, kalau memang sudah sangat parah.
Namun begitu, saya kira untuk Indonesia, saya jamin dan pastikan tidak akan seperti yang dikhawatirkan itu. Karena apa? Stok pangan kita masih bisa terjamin persediaannya. Produktivitas pertanian kita masih besar, bahkan bisa surplus, walau memang perlu untuk ditingkatkan supaya bisa berjaga-jaga bila ada kelangkaan pangan. Saya kira kelangkaan ini juga kan karena ulah para pedagang di pasar.
Soal stok beras kita masih banyak, coba anda perhatikan di Pasar Induk Jatinegara, Jakarta Timur. Apakah kosong atau langka? Anda bayangkan sampai sekarang saja di Pasar Induk Jatinegara setiap harinya memasok sekitar 100.000 ton beras. Oleh karena itu, tidak perlu terlalu kkawatir dengan kondisi saat ini. Mudah-mudahan, apa yang menjadi warning itu tidak sampai ke Indonesia.
Selama ini Indonesia mengimpor beras ke Thailand dan Vietnam untuk memenuhi cadangan beras nasional. Cadangan beras ini diperlukan untuk mengatur harga beras nasional dan persediaan kalau terjadi kelangkaan pangan. Namun kedua negara ini juga akan menghentikan ekspor berasnya kesejumlah negara, termasuk Indonesa. Vietnam dan Thailand menyetop ekpor beras karena ingin mempertahankan pangan di dalam negerinya masing-masing. Cadangan beras mereka untuk kebutuhan di dalam negeri sudah menipis.
Menteri Pertanian Suswono menyatakan, kondisi pangan Indonesia sebetulnya relatif aman, dengan stok yang selalu tersedia dan ditambah surplus. Impor beras yang dilakukan justru hanya sektar 600.000 ton per tahun ini justru untuk memperkuat stok cadangan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk operasi pasar.
Suswono menerangkan, pada tahun 2010 lalu produksi beras Indonesia sekitar 38 juta ton, sementara kebutuhan konsumsi masyarakat sekitar 33 juta ton. Artinya, masih ada surplus beras sekitar 5 juta ton untuk tahun ini. Guna mengantisipasi
kerawaan pangan ini, pemerintah telah melalukan sejumlah langkah untuk mengantisipasinya baik yang disebabkan perubahan iklim atau pun persoalan lainnya.
"Saya kira untuk Indonesia, saya jamin dan pastikan tidak akan seperti yang dikhawatirkan itu," kata Suswono.
Suswono pun menjamin Indonesia tidak akan mengalami krisis pangan seperti yang diperingatkan oleh FAO.
Berikut wawancara detikcom dengan Menteri Pertanian Suswono di kediamannya, Jl Widya Chandra V No 28, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (23/1/2011) malam:
Kondisi pangan Indonesia bagaimana? Mengingat Vietnam dan Thailand menghentikan ekspor beras dan peringatan FAO soal krisis pangan dunia?
Persoalan ancaman krisis pangan ke depan memang sudah disadari oleh sejumlah negara dunia. Termasuk organisasi-organisasi pangan dunia, sepert Food and Agriculture Organization (FAO) pun telah memberikan warning kepada setiap negara agar masing-masing negara mengamankan ketahanan pangannya, termasuk Indonesia.
Tetapi dengan adanya fakta perubahan iklim yang menjadi bagian dari ancaman krisis pangan ke depan. Kita menyaksikan sendiri betapa perubahan iklim ini begitu nyata dirasakan semua negara, baik negara yang berada di subtropis maupun tropis. Kita saksikan Australia banjir besar, begitu juga di Brazil, turun salju di musim panas. Ini artinya ancaman dari perubahan iklim ini sangat nyata dan punya pengaruh dalam persoalan pangan.
Beberapa negara juga sebenarnya memberikan isyarat, misalnya India yang kini tidak lagi mengekspor gandum. Kemudian juga Vietnam dan Thailand mengisyaratkan mengurangi ekspor beras, yang kemungkinan bisa sampai pada tingkat menghentikan ekspor. Itu bisa terjadi, karena semua negara tentunya ingin mengamankan pangannya masing-masing. Tentu saja bagi Indonesia akan ada dampak tersendiri yang akan dirasakan terkait masalah ini.
Terkait perubahan iklim ini, di tahun 2010 kemarin Indonesia sangat merasakan betul persoalan ini. Sebab, sepanjang tahun 2010 tentu boleh dikatakan hanya satu musim saja, musim hujan. Dulu prediksi Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa bulan April sudah masuk musim kemarau, lalu dikoreksi bulan Juli, tapi tetnyata hujan masih turun. Lalu munculah apa yang disebut kemarau basah, dan faktanya hujan sepanjang satu tahun.
Tentu saja dengan hujan sepanjang tahun ini, ada plus dan minusnya bagi Indonesia. Di satu sisi, dengan hujan sepanjan tahun ada beberapa daerah tadah hujan yang hanya bisa menamam sekali, ternyata bisa dua kali. Akhirnya karena hujan sepanjang tahun, orientasinya menanam padi, karena air yang cukup berlimpah. Tapi di sisi lainnya, dengan menanam padi sepanjang tahun, tanpa pemutusan dengan diselingi menanam varietas lainnya, seperti tanaman hortikultural atau palawija, tentu saja menimbulkan penyakit tanaman.
Sehingga betapa pun luasnya lahan panen terus bertambah karena hujan setahun, tapi dari sisi produksi tidak meningkat secara signifikan. Proses fotosintesis dan pembungaan tidak berjalan dengan baik, karena mendung terus, sehingga hasilnya tidak optimal dan ditambah muncul penyakit tanaman. Oleh karena itu, kenaikan produksi di tahun 2010 sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) hanya menambah 2,46 persen saja.
Artinya, terjadi kenaikan produksi sekitar 4,1 juta ton ditambah dengan stok di akhir tahun sebelumnya menjadikan surplus kita di 2010 sekitar 5,6 juta ton. Sedangkan untuk total produksi beras tahun 2010 sekitar 38 juta ton. Sementara kebutuhan kita sekitar 33 juta ton , sehingga surplus sekitar 5 juta ton.
Tentunya angka 5 juta ton beras bagi Indonesia yang memiliki total jumlah penduduk sekitar 237 juta orang memang sangat riskan. Sebab, jumlah 5 juta ton itu hanya mencukupi dua bulan saja. Karena kebutuhan beras kita itu setiap bulannya sekitar 2,7 juta ton.
Sebetulnya bila dibandingkan dengan Thailand, produktivitas Indonesia di atas negara itu. Kita itu sekitar 5,1 ton per hektar, sedangkan Thailand sekitar 3,5 ton per hektar. Cuma persoalannya, Thailand ini memiliki lahan yang cukup luas,
walau produktivitas padinya 3,5 ton per hektar, dia bisa menghasilkan 27 juta ton beras, kebutuhan Thailand hanya 10 juta ton, surplusnya 10 juta ton, lalu 6 juta ton sebagai cadangan pangan, dan 4 juta ton diekspor. Demikian pula dengan Vietnam yang produksi beras mencapai 17 juta ton, kebutuhannya sekitar 9 juta ton beras, surplus 8 juta ton.
Persoalannya kenapa Indonesia membutuhkan cukup besar beras, karena memang konsumsi perkapita, boleh dikatakan terbesar di dunia. Kebutuhan perkapita kita sekitar 139 kilogram perkapita per tahun. Sedangkan Thailand sekitar 70 kilogram perkapita per tahun, Malaysia sekitar 80 kilogram perkapita per tahun. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang akan kita lakukan dan akan siapkan langkah agar produksi kita tetap aman.
Langkah yang disiapkan untuk mengamankan pangan itu seperti apa?
Pertama yang akan kita lakukan dalam rangka beradaptasi dengan perubahan iklim ini. Kita siapkan benih tanaman padi yang lebih unggul, yang adaptif terhadap perubahan iklim. Untuk dareah yang banyak genangan dan air cukup tinggi, kita
sudah ada varietas yang dikenal varietas Inpara.
Untuk daerah yang sedikit airnya, kering atau tadah hujan ada varietas Inpago atau yang dikenal Padi Gogo. Dan untuk menghadapi hama wereng yang merajalela, kita sudah ada varietas yang tahan hama itu namanya Inpari-13, untuk varietas
ini ada Inpari-2, Inpari-3, Inpari-6 dan Inpari-13. Ini dari sisi benihnya.
Kedua, tentu juga kita siapkan pengelolaan dan pemeliharaan tanaman itu sendiri. Kita pun sudah meminta agar petani bisa menyesuaikan dengan perubahan iklim melalui sekolah-sekolah lapang. Sekolah lapang ini kita adakan yang kita kenal
dengan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Juga ada Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) dan Sekolah Lapang Iklim (SLI). Sekolah ini kita adakan agar para petani bisa belajar langsung di lapangan terkait apa yang mesti dia lakukan dalam situasi dan kondisi seperti itu.
Ketiga dari sisi infrastruktur, kita ada program pembenahan. Pekerjaan Umum (PU) saat ini sedang mengerjakan primer dan sekundernya. Tersiernya merupakan tanggung jawab Kementerian Pertanian, jadi ada perbaikan irigasi teknis tersier.
Di antaranya melalui pembenahan Jaringan Irgasi Desa (Jides), kemudian Jaringan Irigasi Tatausaha Tani (Jitut). Untuk daerah pasang surut, kita kenal Tata Air Mikro. Ini upaya-upaya pengendalian air agar bisa optimal.
Sementara untuk daerah tadah hujan dan kering, kita siapkan rencana membangun Embung, semacam cek dam atau dam kecil. Kita akan membangun sekitar 2.700 Embung, yang akan menampung air di saat musim hujan, yang sewaktu-waktu di musim kemarau, air masih tetap tersedia.
Selain itu kita lakukan Gerakan Pemberantasan Hama. Kita siapkan dengan obat-obatan. Begitu juga saat pasca panennya, ini pun kita amankan saat panen. Ketika merontokan padi tidak banyak yang lost, terbuang dan tercecer. Lalu saat pengeringan, apalagi mendung dan hujan terus menerus akan menurunkan kualitas gabah padi, maka kita siapkan alat pengering. Ini upaya-upaya yang akan maksimal kita lakukan.
Langkah lainnya yang dilakukan di daerah bagaimana?
Sebetulnya bicara soal ketahanan pangan juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda). Peran terdepan sebetulnya adalah pemda, oleh karena itu kesigapan dari aparatur pemda sangat penting. Pemerintah pusat ini posisinya adalah berjaga-jaga ketika daerah itu tidak sanggup menangani, kita akan back up mereka. Ketahanan pangan ini sebetulnya meliputi tiga aspek.
Pertama, dari sisi ketersediaannya. Jadi kita akan mengoptimalkan bagaiman produk-produksi itu optimal disediakan dari dalam negeri, bukan luar negeri. Makanya tahun 2011 kita targetkan surplusnya tidak hanya 5 juta ton, tapi mampu surplus sampai 10 juta ton. Langkah agar target ini terpenuhi, pertama bagaimana kita meningkatkan Indeks Pertanaman (IP). Rata-rata IP kita sekarang 1,8 lalu ditingkatkan menjadi di atas 2. Misalnya IP itu, karena ada hujan panen sekali.
Yang tidak kalah pentingnya saat ini perlunya ekstensifikasi (perluasan) tambahan lahan panen melalui tambahan sawah baru. Sebab tanpa tambahan areal sawah baru, karena salah satu ancaman yang terjadi saat ini adalah konversi lahan. Di Jawa saja
setiap tahun konversi lahan terus dilakukan tanpa ada pengendalian yang baik dari pimpinan daerah. Banyak perumahan-perumahan dibuat di areal pertanian. Jadi salah satu yang akan dilakukan adalah pencetakan sawah baru.
Tahun 2011 ini kita targetkan 70.000 hektar sawah baru, diharapkan sampai 2014 bisa menambahkan areal lahan tanaman pangan sampai 2 juta hektar. Kedua adalah aksesibilitas, artinya kemampuan masyarakat untuk membeli bahan pangan. Makanya ketika ada orang menggugat kita, katanya produksi surplus, tapi kenapa impor? Orang ini tidak ngerti padahal dia katanya orang ahli. Tapi menurut saya itu terlalu naif mengatakan seperti itu.
Kalau bicara soal ketersedian, faktanya ada tidak, anda melihat sejumlah warung, toko dan lain sebagainya berasnya kosong sampai orang ngantre. Ada tidak? Tidak pernah kan. Cuma harganya tinggi, ini kan persoalan harga dan daya beli masyarakat, ini persoalan yang berbeda.
Persoalan harga tinggi ini kan bisa dipermainkan pedagang, seperti kasus naiknya harga Cabe. Di petani harganya cuma Rp 20.000 perkilogram, kok di pedagang bisa Rp 100.000 per kilogram. Impor (beras) yang kita lakukan kemarin ini atau yang
masih dilakukan adalah untuk memperkuat stok pangan di Badan Urusan Logistik (Perum Bulog). Jadi untuk memperkuat, daripada suatu waktu kita kekurangan, harga tinggi karena dipermainkan pedagang, Bulog bisa melakukan Operasi Pasar.
Pertanyaannya kenapa Bulog tidak menyerap beras dari dalam negeri?
Pada saat panen raya pada bulan Maret-April tahun lalu, Bulog tidak bisa membeli beras dalam negeri, karena kualitas gabah atau berasnya di bawah standar yang telah ditentukan. Kalau Bulog tetap membeli ini berarti bisa menjadi temuan Kejaksaan, banyak orang Bulog yang akan dipanggil Kejaksaan. Ini menjadi masalah, jadi alasannya itu. Setiap tahun panen selalu ada, kenapa Bulog tidak beli juga dari dalam negeri. Harganya di atas harga pembelian pemerintah (HPP), karena Bulog dipatok dengan dua syarat, yaitu kualitas memenuhi syarat dan HPP-nya terjangkau.
Bulog itu mematok harga Rp 2.640 perkilogram gabah kering, karena harga ini sangat menguntungkan bagi petani. Kebutuhan impor juga untuk kebutuhan beras bagi keluarga miskin (Raskin). Persoalannya, banyak masyarakat yang tidak mau juga, selain itu banyak pedagang yang justru malah memborong ini. Salah satu kendala lainya, juga banyak petani justru menyimpan sendiri hasil panennya untuk kebutuhan mereka sendiri, dan dijual kalau mereka memerlukan saja.
Persoalan tengkulak, pengusaha besar yang berjualan beras, kenapa tidak ditertibkan?
Begini, memang banyak yang berjualan komoditas lainnya seperti Kedelai, Kacang, Jagung atau Padi. Pada umumnya, orientasi kenapa mereka berdagang hanya untuk mencari keuntungan yang besar. Jadi motifnya itu tidak politis atau yang lainnya. Cuma pengendalian atau penertiban terhadap para pedagang yang mempermainkan harga di pasaran itu bukan tataran Kementerian Pertanian yang hanya mengurusi lahan, bibit dan pengelolaan tanaman sampai panen saja.
Sementara untuk pengendalian harga sudah menjadi kewenangan institusi atau kementerian yang lainnya untuk menangani soal perniagaan ini. Jadi motifnya hanya mencari untung saja.
Bagimana dengan program Food Estate di Papua?
Oh iya, Food Estate ini sebenarnya adalah salah satu solusi yang digunakan pemerintah untuk mengatasi ancaman krisis pangan. Di antaranya bagaimana mengembangkan daerah di luar Jawa, dalam hal ini Papua bagian selatan, seperti di Meurauke.
Dipilihnya Merauke sebagai lokasi pengembangan food estate karena beberapa hal. Pertama, kawasan mampu memasok pangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor beras sebesar 1,95 juta ton per tahun, jagung sekitar 2,20 juta ton, kedelai sekitar 167.000 ton. Pengembangan kawasan budi daya tanaman pangan dan energi skala luas di Merauke akan mengoptimalkan fungsi lahan cadangan yang areanya cukup luas yang selama ini berstatus lahan tidur menjadi lahan produktif, dan bernilai tambah ekonomi.
Katanya Food estate yang berbasis kearifan lokal, tapi justru memaksakan menanam padi?
Sebenarnya ini kan sudah dimulai sejak lama, sejak pemerintahan sebelumnya. Kita ini pas kena puncaknya kena imbas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya. Memang sudah lama masyarakat Papua ada yang menanam padi dan memakan
beras. Nah, sekarang kalau disuruh balik lagi makan singkong atau umbi-umbian demi alasan kearifan lokal, mereka pasti tidak mau dan akan menolak.
Ini sama kondisinya seperti di Ambon, di mana masyarakatnya sejak dulu makan sagu, lalu atas kebijakan pemerintah di masa lalu diminta menanam padi, lalu sekarang dipaksa balik lagi makan sagu. Ini akan sulit, karena sudah terbiasa.
Kembali soal warning FAO tentang ancaman krisis pangan yang bisa memicu kerusuhan di suatu negara atau dunia?
Itu memang menjadi kekhawatiran kita semua, termasuk di Indonesia. Begini, persoalan pangan itu memang sangat fundamental, karena ini kebutuhan langsung kehidupan masyarakatnya. Kalau ini tidak dikelola dengan baik, memang akan memunculkan gejolak-gejolak di masyarakat. Kita bisa lihat ada Presiden yang digulingkan dan jatuh kepempimpinannya gara-gara persoalan pangan ini. Persoalan pangan bisa menyebabkan perang juga, kalau memang sudah sangat parah.
Namun begitu, saya kira untuk Indonesia, saya jamin dan pastikan tidak akan seperti yang dikhawatirkan itu. Karena apa? Stok pangan kita masih bisa terjamin persediaannya. Produktivitas pertanian kita masih besar, bahkan bisa surplus, walau memang perlu untuk ditingkatkan supaya bisa berjaga-jaga bila ada kelangkaan pangan. Saya kira kelangkaan ini juga kan karena ulah para pedagang di pasar.
Soal stok beras kita masih banyak, coba anda perhatikan di Pasar Induk Jatinegara, Jakarta Timur. Apakah kosong atau langka? Anda bayangkan sampai sekarang saja di Pasar Induk Jatinegara setiap harinya memasok sekitar 100.000 ton beras. Oleh karena itu, tidak perlu terlalu kkawatir dengan kondisi saat ini. Mudah-mudahan, apa yang menjadi warning itu tidak sampai ke Indonesia.
(zal/iy)
Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!
Krisis Pangan (3)
Jangan Sampai Ibu Menjual Anaknya Untuk Makan
M. Rizal - detikNews. http://www.detiknews.com/read/2011/01/24/150803/1553211/159/jangan-sampai-ibu-menjual-anaknya-untuk-makan?nd992203605
Jangan Sampai Ibu Menjual Anaknya Untuk Makan
M. Rizal - detikNews. http://www.detiknews.com/read/2011/01/24/150803/1553211/159/jangan-sampai-ibu-menjual-anaknya-untuk-makan?nd992203605
Jakarta - Ibu-ibu kini banyak yang mengeluhkan mahalnya kebutuhan pokok. Dengan uang Rp 30 ribu nyaris tidak dapat membeli apa-apa. Ibu yang bertugas mengatur kebutuhan keluarga kebingungan untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarganya. Mereka tidak berdaya menghadapi hajaran kenaikan harga.
Ny. Nia, di Depok, Jawa Barat, misalnya, merasa uang yang belanjanya kini tidak mencukupi untuk membeli kebutuhan sehari-hari. "Pernah saya mau beli sawi, masa sama penjualnya dijual per batang Rp 1.500. Terus saya mau masak apa? Semuanya mahal. Dengan uang Rp 40 ribu belanjaan kita nggak mbejaji (tidak mencukupi). Bingung saya," kata ibu tiga anak itu.
Ny Wati, yang tinggal di Cipete, memilih membeli beras dengan harga yang paling murah dan berusaha mencukup-cukupkan kebutuhannya. Suami Wati, Hadi, adalah pensiunan PNS yang kini bekerja serabutan. Untuk biaya hidup bagi suami, Wati dan satu anaknya, keluarga ini mengandalkan pendapatan dari uang pensiunan. Wati merasa beruntung karena dua anaknya yang lain sudah mandiri secara ekonomi.
"Ya itu untuk kebutuhan makan mah kita cukup-cukupkan. Apalagi harga beras sekarang kan naik terus. Ini saja saya baru beli beras yang seliternya Rp 5.500. Ini kalau di sini udah paling murah," jelas Wati, nenek 67 tahun.
Sutarjo seorang pedagang makanan di kawasan Jl Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat juga mengeluhkan harga pangan, seperti beras yang masih tinggi. Apalagi, ia memiliki usaha berjualan makanan, sehingga untuk menaikan harga jualnya kembali agak dilematis, menaikan harga masakannya atau pelanggan lari.
"Susah banget mas kalau kita naikin, pelanggan akan lari semua. Ya paling kita ngasih tahu pembeli, ini agak naik sekitar Rp 500 sampai Rp 1.000 misalnya. Tapi pembeli juga tahu kalau beras, misalnya juga naik," ungkapnya seraya mengatakan selalu membeli beras kualitas sedang dengan harga antara Rp 5.000 sampai Rp 6.000. Kadang Sutarjo juga meminta istrinya untuk mencari informasi di mana ada operasi pasar yang dilakukan Bulog.
"Ya kalau ada operasi pasar dari pemerintah agak enakan, kita bisa beli lebih murah dan banyak," ujar Sutarjo penjual Pecel Ayam, Lele serta Gado-gado ini.
Ketika ditanya akan ada krisis pangan di Indonesia. Sutarjo hanya tersenyum, "Saya nggak tahu itu mas, yang penting selama di warung-warung sama toko ada beras, itu artinya masih aman. Ya itu mah tanggung jawab pemerintah lah," jelasnya lagi.
Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2010 telah telah memperingatkan tentang akan terjadinya krisis pangan dunia yang akan dimulai tahun 2011. Menteri Pertanian Suswono menjamin krisis pangan tidak akan sampai terjadi melanda Indonesia. Katanya, ketersediaan pangan di negeri kita masih cukup. Namun faktanya, memasuki awal tahun 2011, harga kebutuhan pangan langsung melambung.
Dengan harga yang melambung, masyarakat pun kesulitan untuk menjangkaunya. Meskipun pangan tersedia, masyarakat tidak mampu untuk membelinya. Data Badan Ketahanan Pangan Nasional mencatat 27,5 persen penduduk Indonesia terkena rawan pangan. Kondisi rawan pangan secara otomatis akan diikuti dengan masalah kesehatan. Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) Dr Tb Rachmat Sentika mengakui banyak sekali ditemukan kasus kurang gizi.
Rachmat pun menyampaikan data hasil Riset Kesehatan Dasar 2011 yang mengungkapkan terjadinya kasus gizi kurang sekitar 18,5 persen dan gizi buruk sekitar 5,4 persen dari jumlah balita sekitar 26 juta. Artinya ada sekitar 1,3 juta balita yang mengalami gizi buruk dan 3,6 juta balita mengalami gizi kurang, sehingga 5 juta balita mengalami rawan gizi. "Kalau tidak ada perbaikan dikhawatirkan akan menyebabkan gangguan perkembangan otak yang menetap, sehingga sulit belajar dan ini bisa menyebabkan lost generasi," ungkapnya.
Dari hasil penelitian itu juga, lanjut Rachmat, ada dua faktor yang menyebabkan persoalan gizi, yaitu kesehatan dan non kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2011 mencatat sekitar 11,5 persen kelahiran balita yang memiliki berat badan saat lahir rendah memiliki potensi gizi buruk dan kurang. Ditambah bila ada penyakit lainnya yang akan menjadi persoalan gizi.
Persoalan lainnya, terkait masalah kemampuan keluarga dalam menyediakan makanan bergizi menjadi penyebab utama. Sebab, presentasi gizi buruk telah dijadikan ukuran kemiskinan di suatu daerah. "Saya tidak tahu apakah saat ini masyarakat kesulitan daya beli, sehingga kemampuan membeli makanan menjadi persoalan. Dari pantauan KPAI, kewenangan penanggulangan gizi saat ini sudah didesentralisasikan ke daerah, hanya saja baru sepertiganya saja daerah yang melakukan itu, itu sayangnya dan menjadi keprihatinan IDI juga," tandas Rachmat.
Oleh karena itu, sebelum terjadi krisis pangan yang sebenarnya, IDI menyarankan agar dilakukan identifikasi dan maping atau pemettaan di mana saja gizi buruk dan kurang itu terjadi. Selain itu agar ada peningkatan standar operasi pelayanan (SOP) Penanggulangan Gizi di sejumlah puskesmas atau rumah sakit.
Melihat kondisi ancaman krisis pangan ini, pemerintah dinilai panik dan langsung membebaskan bea impor pangan ke Indonesia. "Sayangnya perubahan iklim kurang direspon dengan kebijakan yang sistematis untuk mengantisipasi akan gagal panen. Maka yang terjadi adalah jalan pintas pembebasan biaya impor ini membuat usaha pertanian tidak diminati, karena tidak ada kebijakan yang jelas dan terarah," kata budayawan dari Setara Institut yang juga salah satu Ketua KWI, Romo Benny Susetyo kepada detikcom.
Romo Benny juga mengkritik manajemen pengelolaan pangan di Indonesia yang amburadul. Bahkan, kepekaan pemerintah atas kasus-kasus kekurangan gizi serta kasus busung lapar dan sebagainya yang terjadi di daerah relatif kurang diperhatikan. Oleh karena itu kasus busung lapar di NTT beberapa tahun silam serta kasus kelaparan di Yahokimo, Papua, justru menampar pemerintah pusat. "Bagaimana tidak, pemerintah selalu mengatakan kita berhasil panen dan mengalami surplus, tapi ada kasus kurang gizi, kesulitan makan," pungkasnya.
Kasus kelaparan di berbagai daerah semakin memperburuk daftar panjang kasus kemiskinan di negeri ini. Sayangnya, peringatan ini menurut Romo Benny tidak dibaca dengan baik. Kelaparan, gizi buruk, penyakit polio, busung lapar, dan seterusnya adalah pertanda agar bangsa ini bisa dan mau menyadari adanya polaritas yang amat tajam antara elite yang kaya raya dan rakyat jelata.
Indonesia mengalami bahaya kelaparan? Max Havelaar dalam bukunya 'Multatuli' tahun 1860, yang menceritakan kemiskinan dan kelaparan di Nusantara. "Di pulau Jawa yang subur dan kaya itu, bahaya kelaparan? Ya, saudara pembaca. Beberapa tahun yang lalu ada distrik-distrik yang seluruh penduduknya mati kelaparan, ibu-ibu menjual anak-anak untuk makan, ibu-ibu memakan anaknya sendiri," begitu kata Max Havelaar.
Jangan sampai fiksi Max Havelar menjadi kenyataan!
(zal/iy)Ny. Nia, di Depok, Jawa Barat, misalnya, merasa uang yang belanjanya kini tidak mencukupi untuk membeli kebutuhan sehari-hari. "Pernah saya mau beli sawi, masa sama penjualnya dijual per batang Rp 1.500. Terus saya mau masak apa? Semuanya mahal. Dengan uang Rp 40 ribu belanjaan kita nggak mbejaji (tidak mencukupi). Bingung saya," kata ibu tiga anak itu.
Ny Wati, yang tinggal di Cipete, memilih membeli beras dengan harga yang paling murah dan berusaha mencukup-cukupkan kebutuhannya. Suami Wati, Hadi, adalah pensiunan PNS yang kini bekerja serabutan. Untuk biaya hidup bagi suami, Wati dan satu anaknya, keluarga ini mengandalkan pendapatan dari uang pensiunan. Wati merasa beruntung karena dua anaknya yang lain sudah mandiri secara ekonomi.
"Ya itu untuk kebutuhan makan mah kita cukup-cukupkan. Apalagi harga beras sekarang kan naik terus. Ini saja saya baru beli beras yang seliternya Rp 5.500. Ini kalau di sini udah paling murah," jelas Wati, nenek 67 tahun.
Sutarjo seorang pedagang makanan di kawasan Jl Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat juga mengeluhkan harga pangan, seperti beras yang masih tinggi. Apalagi, ia memiliki usaha berjualan makanan, sehingga untuk menaikan harga jualnya kembali agak dilematis, menaikan harga masakannya atau pelanggan lari.
"Susah banget mas kalau kita naikin, pelanggan akan lari semua. Ya paling kita ngasih tahu pembeli, ini agak naik sekitar Rp 500 sampai Rp 1.000 misalnya. Tapi pembeli juga tahu kalau beras, misalnya juga naik," ungkapnya seraya mengatakan selalu membeli beras kualitas sedang dengan harga antara Rp 5.000 sampai Rp 6.000. Kadang Sutarjo juga meminta istrinya untuk mencari informasi di mana ada operasi pasar yang dilakukan Bulog.
"Ya kalau ada operasi pasar dari pemerintah agak enakan, kita bisa beli lebih murah dan banyak," ujar Sutarjo penjual Pecel Ayam, Lele serta Gado-gado ini.
Ketika ditanya akan ada krisis pangan di Indonesia. Sutarjo hanya tersenyum, "Saya nggak tahu itu mas, yang penting selama di warung-warung sama toko ada beras, itu artinya masih aman. Ya itu mah tanggung jawab pemerintah lah," jelasnya lagi.
Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2010 telah telah memperingatkan tentang akan terjadinya krisis pangan dunia yang akan dimulai tahun 2011. Menteri Pertanian Suswono menjamin krisis pangan tidak akan sampai terjadi melanda Indonesia. Katanya, ketersediaan pangan di negeri kita masih cukup. Namun faktanya, memasuki awal tahun 2011, harga kebutuhan pangan langsung melambung.
Dengan harga yang melambung, masyarakat pun kesulitan untuk menjangkaunya. Meskipun pangan tersedia, masyarakat tidak mampu untuk membelinya. Data Badan Ketahanan Pangan Nasional mencatat 27,5 persen penduduk Indonesia terkena rawan pangan. Kondisi rawan pangan secara otomatis akan diikuti dengan masalah kesehatan. Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) Dr Tb Rachmat Sentika mengakui banyak sekali ditemukan kasus kurang gizi.
Rachmat pun menyampaikan data hasil Riset Kesehatan Dasar 2011 yang mengungkapkan terjadinya kasus gizi kurang sekitar 18,5 persen dan gizi buruk sekitar 5,4 persen dari jumlah balita sekitar 26 juta. Artinya ada sekitar 1,3 juta balita yang mengalami gizi buruk dan 3,6 juta balita mengalami gizi kurang, sehingga 5 juta balita mengalami rawan gizi. "Kalau tidak ada perbaikan dikhawatirkan akan menyebabkan gangguan perkembangan otak yang menetap, sehingga sulit belajar dan ini bisa menyebabkan lost generasi," ungkapnya.
Dari hasil penelitian itu juga, lanjut Rachmat, ada dua faktor yang menyebabkan persoalan gizi, yaitu kesehatan dan non kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2011 mencatat sekitar 11,5 persen kelahiran balita yang memiliki berat badan saat lahir rendah memiliki potensi gizi buruk dan kurang. Ditambah bila ada penyakit lainnya yang akan menjadi persoalan gizi.
Persoalan lainnya, terkait masalah kemampuan keluarga dalam menyediakan makanan bergizi menjadi penyebab utama. Sebab, presentasi gizi buruk telah dijadikan ukuran kemiskinan di suatu daerah. "Saya tidak tahu apakah saat ini masyarakat kesulitan daya beli, sehingga kemampuan membeli makanan menjadi persoalan. Dari pantauan KPAI, kewenangan penanggulangan gizi saat ini sudah didesentralisasikan ke daerah, hanya saja baru sepertiganya saja daerah yang melakukan itu, itu sayangnya dan menjadi keprihatinan IDI juga," tandas Rachmat.
Oleh karena itu, sebelum terjadi krisis pangan yang sebenarnya, IDI menyarankan agar dilakukan identifikasi dan maping atau pemettaan di mana saja gizi buruk dan kurang itu terjadi. Selain itu agar ada peningkatan standar operasi pelayanan (SOP) Penanggulangan Gizi di sejumlah puskesmas atau rumah sakit.
Melihat kondisi ancaman krisis pangan ini, pemerintah dinilai panik dan langsung membebaskan bea impor pangan ke Indonesia. "Sayangnya perubahan iklim kurang direspon dengan kebijakan yang sistematis untuk mengantisipasi akan gagal panen. Maka yang terjadi adalah jalan pintas pembebasan biaya impor ini membuat usaha pertanian tidak diminati, karena tidak ada kebijakan yang jelas dan terarah," kata budayawan dari Setara Institut yang juga salah satu Ketua KWI, Romo Benny Susetyo kepada detikcom.
Romo Benny juga mengkritik manajemen pengelolaan pangan di Indonesia yang amburadul. Bahkan, kepekaan pemerintah atas kasus-kasus kekurangan gizi serta kasus busung lapar dan sebagainya yang terjadi di daerah relatif kurang diperhatikan. Oleh karena itu kasus busung lapar di NTT beberapa tahun silam serta kasus kelaparan di Yahokimo, Papua, justru menampar pemerintah pusat. "Bagaimana tidak, pemerintah selalu mengatakan kita berhasil panen dan mengalami surplus, tapi ada kasus kurang gizi, kesulitan makan," pungkasnya.
Kasus kelaparan di berbagai daerah semakin memperburuk daftar panjang kasus kemiskinan di negeri ini. Sayangnya, peringatan ini menurut Romo Benny tidak dibaca dengan baik. Kelaparan, gizi buruk, penyakit polio, busung lapar, dan seterusnya adalah pertanda agar bangsa ini bisa dan mau menyadari adanya polaritas yang amat tajam antara elite yang kaya raya dan rakyat jelata.
Indonesia mengalami bahaya kelaparan? Max Havelaar dalam bukunya 'Multatuli' tahun 1860, yang menceritakan kemiskinan dan kelaparan di Nusantara. "Di pulau Jawa yang subur dan kaya itu, bahaya kelaparan? Ya, saudara pembaca. Beberapa tahun yang lalu ada distrik-distrik yang seluruh penduduknya mati kelaparan, ibu-ibu menjual anak-anak untuk makan, ibu-ibu memakan anaknya sendiri," begitu kata Max Havelaar.
Jangan sampai fiksi Max Havelar menjadi kenyataan!
Krisis Pangan (2)
Kenapa Mau Jadi Petani, Tanam Padi Selalu Rugi
Deden Gunawan - detikNews. http://www.detiknews.com/read/2011/01/24/133242/1553110/159/kenapa-mau-jadi-petani-tanam-padi-selalu-rugi?nd992203605
Jakarta - Tulang punggung Abah Daud terlihat menyembul berlapis kulit yang sudah mengerut. Pria berusia 71 tahun terlihat sedang sibuk memunguti rumput yang tumbuh di sekitar tanaman padi yang ada di sawahnya. Sesekali ia menghela keringat yang mengucur di dahinya.
Aktivitas di sawah merupakan kegiatan sehari-hari Daud. Usianya yang menjelang senja tampaknya tidak menghalangi dirinya untuk pulang-pergi ke sawah yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumahnya di Kampung Sepur,Desa Putat, Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon.
"Sekarang ini siapa lagi yang mau mengurus kalau bukan saya. Anak-anak saya semuanya sudah di Jakarta, usaha di sana. Untuk bisa makan saya harus mengurus sawah," terang Daud kepada detikcom.
Daud dan Emeng, istrinya sebenarnya memiliki 5 orang anak. Namun anak-anaknya itu ternyata lebih memilih mengadu nasib di Jakarta. Mereka ada yang berjualan makanan maupun jadi buruh kasar. Tidak seorang pun yang mau meneruskan profesi Daud sebagai seorang petani.
Saat ini, kata Daud, sawah yang dimiliki luasnya tinggal 600 bata atau 8.400 meter persegi (1 bata = 14 meter). Sebelumnya lahan yang dimiliki jauh lebih luas yakni sekitar 1.500 bata atau 21.000 meter persegi (2,1 hektar). Namun untuk menutupi kebutuhan keluarga, seperti sekolah dan modal usaha anak-anaknya, sebagian lahan sawah miliknya terpaksa dijual.
Mungkin tidak akan lama lagi lahan yang tersisa milik Daud bisa jadi akan dijual lagi. Soalnya, Daud merasa sering kecapekan dan sakit-sakitan karena harus saban hari mengurus sawahnya yang lokasinya lumayan jauh. Dan kebetulan pengembang perumahan yang berlokasi tepat di samping lahan pertanian miliknya, sudah melirik lahannya untuk dibeli.
"Saya mungkin akan menjual sawah saya saja. Sebab sudah tidak ada yang mengurus. Sementara saya sudah terlalu tua sudah tidak rosa (kuat) seperti dulu lagi," begitu kata Daud pelan.
Jika akhirnya sawahnya dijual, Daud mengaku uang hasil penjualan sawahnya akan dijadikan modal buka warung di depan rumahnya. Toh, Daud merasa anak-anaknya sudah bisa menghidupi diri mereka masing-masing di perantauan. Jadi dia dan istri merasa hanya cukup mencari makan untuk mereka berdua saja.
Hilangnya regenersai petani di pedesaan, seperti yang dialami keluarga Daud, merupakan salah satu sebab menyusutnya lahan-lahan pertanian di pedesaan karena banyak warga desa memilih mencari nafkah di kota, lahan-lahan sawah milik orang tuanya akhirnya tidak tergarap.
Pertimbangan lainnya, mengandalkan hasil sawah tidak cukup memadai untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Pasalnya hasil jual gabah tidak seberapa. Sementara harga beras semakin tinggi. "Untuk beli obat dan pupuknya saja sudah mahal. Kalau lahan tidak luas bisa nombok," ujar Ade, anak Daud yang memilih membuka warung kopi di wilayah Cileduk, Tangerang, Banten.
Keluhan seperti ini diakui Ketua Koperasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Endang Setyawati Thohari, memang menjadi persoalan mendasar bagi para petani di Indonesia. Kondisi ekonomi para petani memprihatinkan karena harga beras jauh lebih tinggi dari harga gabah kering giling (GKG) yang dijual petani.
Menurut Endang saat ini harga GBK tahun 2009 harganya Rp 2.640 per kilo. Sedangkan harga beras di pasaran rata-rata Rp 5.060. Nah, dengan selisih yang sebesar 100% lebih, sudah tentu petani mengalami kesulitan. Akhirnya mereka memilih padi hasil tanamnya hanya untuk konsumsi pribadi.
Kondisi ini diperparah dengan harga BBM yang tinggi. Semakin terpuruklah kesejahteraan petani. "Jadi wajar saja kalau warga desa memilih kerja di kota dibanding harus menggarap sawah atau berkebun di desa," ujar Endang kepada detikcom.
Alhasil, untuk mencari kehidupan yang lebih baik, banyak petani menjual sawahnya untuk modal berusaha atau bekerja di kota. Akibatnya menyusutlah lahan pertanian di pedesaan.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 27 ribu hektar lahan pertanian berkurang di Indonesia setiap tahunnya, dan dialihfungsikan untuk kepentingan lainnya. Penurunan terbesar terjadi di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat.
Kepala BPS Rusman Heriawan mengatakan, penyusutan lahan tersebut berakibat penurunan produksi hasil tani. Sebut saja kedelai yang angka ramalan II produksinya menurun sebanyak 47,13 ribu ton atau 4,84% dibandingkan tahun 2009 sehingga diperkirakan produksinya sebesar 927,38 ribu ton.
Sementara untuk padi, walaupun produksinya diperkirakan meningkat 65,15 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), tetapi peningkatan tersebut disebabkan adanya peningkatan produktivitas sebesar 0,63 kuintal/ha. Sedangkan, luas panennya diperkirakan mengalami penurunan seluas 12,63 ribu ha atau 0,1%.
Meski mengalami penyusutan lahan, Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso kepada detikcom mengatakan, stok beras untuk nasional masih aman. Dan saat ini pemerintah sudah mengintruksikan impor beras sebanyak 1,5 juta ton dari Vietnam
dan Thailand. "Impor beras 1,5 juta ton hanya cadangan. Untuk berjaga-jaga saja," ujarnya.
Meski demikian, untuk ke depannya, Bulog juga berharap supaya penyusutan lahan pertanian, terutama padi bisa ditekan. Soalnya, kalau penyusutan itu dibiarkan maka lama-lama akan terjadi kerawanan pangan. Apalagi jika masyarakat masih
mengandalkan beras sebagai makanan pokoknya.
Saat ini, kata Alimoeso, di Sumatera sudah ribuan hektar sawah yang berganti dengan perkebunan sawit atau perkebunan industri. "Sayangnya, lahan sawah yang berubah itu menggunakan irigasinya teknis. Itu kan lahan produktif. Kalau lahannya sawahnya tadah hujan mungkin tidak begitu masalah," sesalnya.
Berdasarkan catatan yang diterima Bulog, penyusutan lahan pertanian mencapai 100 ribu hektar per tahun. Sementara pemerintah dalam setahun hanya mampu membuka lahan pertanian baru seluas 30 ribu hektar pertahun.
Sebenarnya, terang Alimoeso, untuk menekan alih fungsi lahan pertanian sudah dibuatkan Undang-Undang (UU) No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Tapi UU tersebut bisa efektif atau tidak tergantung pemerintahan daerah.
"Sebab masalah Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) urusan daerah. Tinggal sejauh mana keinginan pemimpin daerah dalam menerapkan UU tersebut," pungkasnya.
(ddg/iy)
Aktivitas di sawah merupakan kegiatan sehari-hari Daud. Usianya yang menjelang senja tampaknya tidak menghalangi dirinya untuk pulang-pergi ke sawah yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumahnya di Kampung Sepur,Desa Putat, Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon.
"Sekarang ini siapa lagi yang mau mengurus kalau bukan saya. Anak-anak saya semuanya sudah di Jakarta, usaha di sana. Untuk bisa makan saya harus mengurus sawah," terang Daud kepada detikcom.
Daud dan Emeng, istrinya sebenarnya memiliki 5 orang anak. Namun anak-anaknya itu ternyata lebih memilih mengadu nasib di Jakarta. Mereka ada yang berjualan makanan maupun jadi buruh kasar. Tidak seorang pun yang mau meneruskan profesi Daud sebagai seorang petani.
Saat ini, kata Daud, sawah yang dimiliki luasnya tinggal 600 bata atau 8.400 meter persegi (1 bata = 14 meter). Sebelumnya lahan yang dimiliki jauh lebih luas yakni sekitar 1.500 bata atau 21.000 meter persegi (2,1 hektar). Namun untuk menutupi kebutuhan keluarga, seperti sekolah dan modal usaha anak-anaknya, sebagian lahan sawah miliknya terpaksa dijual.
Mungkin tidak akan lama lagi lahan yang tersisa milik Daud bisa jadi akan dijual lagi. Soalnya, Daud merasa sering kecapekan dan sakit-sakitan karena harus saban hari mengurus sawahnya yang lokasinya lumayan jauh. Dan kebetulan pengembang perumahan yang berlokasi tepat di samping lahan pertanian miliknya, sudah melirik lahannya untuk dibeli.
"Saya mungkin akan menjual sawah saya saja. Sebab sudah tidak ada yang mengurus. Sementara saya sudah terlalu tua sudah tidak rosa (kuat) seperti dulu lagi," begitu kata Daud pelan.
Jika akhirnya sawahnya dijual, Daud mengaku uang hasil penjualan sawahnya akan dijadikan modal buka warung di depan rumahnya. Toh, Daud merasa anak-anaknya sudah bisa menghidupi diri mereka masing-masing di perantauan. Jadi dia dan istri merasa hanya cukup mencari makan untuk mereka berdua saja.
Hilangnya regenersai petani di pedesaan, seperti yang dialami keluarga Daud, merupakan salah satu sebab menyusutnya lahan-lahan pertanian di pedesaan karena banyak warga desa memilih mencari nafkah di kota, lahan-lahan sawah milik orang tuanya akhirnya tidak tergarap.
Pertimbangan lainnya, mengandalkan hasil sawah tidak cukup memadai untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Pasalnya hasil jual gabah tidak seberapa. Sementara harga beras semakin tinggi. "Untuk beli obat dan pupuknya saja sudah mahal. Kalau lahan tidak luas bisa nombok," ujar Ade, anak Daud yang memilih membuka warung kopi di wilayah Cileduk, Tangerang, Banten.
Keluhan seperti ini diakui Ketua Koperasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Endang Setyawati Thohari, memang menjadi persoalan mendasar bagi para petani di Indonesia. Kondisi ekonomi para petani memprihatinkan karena harga beras jauh lebih tinggi dari harga gabah kering giling (GKG) yang dijual petani.
Menurut Endang saat ini harga GBK tahun 2009 harganya Rp 2.640 per kilo. Sedangkan harga beras di pasaran rata-rata Rp 5.060. Nah, dengan selisih yang sebesar 100% lebih, sudah tentu petani mengalami kesulitan. Akhirnya mereka memilih padi hasil tanamnya hanya untuk konsumsi pribadi.
Kondisi ini diperparah dengan harga BBM yang tinggi. Semakin terpuruklah kesejahteraan petani. "Jadi wajar saja kalau warga desa memilih kerja di kota dibanding harus menggarap sawah atau berkebun di desa," ujar Endang kepada detikcom.
Alhasil, untuk mencari kehidupan yang lebih baik, banyak petani menjual sawahnya untuk modal berusaha atau bekerja di kota. Akibatnya menyusutlah lahan pertanian di pedesaan.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 27 ribu hektar lahan pertanian berkurang di Indonesia setiap tahunnya, dan dialihfungsikan untuk kepentingan lainnya. Penurunan terbesar terjadi di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat.
Kepala BPS Rusman Heriawan mengatakan, penyusutan lahan tersebut berakibat penurunan produksi hasil tani. Sebut saja kedelai yang angka ramalan II produksinya menurun sebanyak 47,13 ribu ton atau 4,84% dibandingkan tahun 2009 sehingga diperkirakan produksinya sebesar 927,38 ribu ton.
Sementara untuk padi, walaupun produksinya diperkirakan meningkat 65,15 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), tetapi peningkatan tersebut disebabkan adanya peningkatan produktivitas sebesar 0,63 kuintal/ha. Sedangkan, luas panennya diperkirakan mengalami penurunan seluas 12,63 ribu ha atau 0,1%.
Meski mengalami penyusutan lahan, Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso kepada detikcom mengatakan, stok beras untuk nasional masih aman. Dan saat ini pemerintah sudah mengintruksikan impor beras sebanyak 1,5 juta ton dari Vietnam
dan Thailand. "Impor beras 1,5 juta ton hanya cadangan. Untuk berjaga-jaga saja," ujarnya.
Meski demikian, untuk ke depannya, Bulog juga berharap supaya penyusutan lahan pertanian, terutama padi bisa ditekan. Soalnya, kalau penyusutan itu dibiarkan maka lama-lama akan terjadi kerawanan pangan. Apalagi jika masyarakat masih
mengandalkan beras sebagai makanan pokoknya.
Saat ini, kata Alimoeso, di Sumatera sudah ribuan hektar sawah yang berganti dengan perkebunan sawit atau perkebunan industri. "Sayangnya, lahan sawah yang berubah itu menggunakan irigasinya teknis. Itu kan lahan produktif. Kalau lahannya sawahnya tadah hujan mungkin tidak begitu masalah," sesalnya.
Berdasarkan catatan yang diterima Bulog, penyusutan lahan pertanian mencapai 100 ribu hektar per tahun. Sementara pemerintah dalam setahun hanya mampu membuka lahan pertanian baru seluas 30 ribu hektar pertahun.
Sebenarnya, terang Alimoeso, untuk menekan alih fungsi lahan pertanian sudah dibuatkan Undang-Undang (UU) No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Tapi UU tersebut bisa efektif atau tidak tergantung pemerintahan daerah.
"Sebab masalah Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) urusan daerah. Tinggal sejauh mana keinginan pemimpin daerah dalam menerapkan UU tersebut," pungkasnya.
(ddg/iy)
Krisis Pangan (1)
Menggantungkan Perut Pada Negara Lain
Iin Yumiyanti - detikNews. http://www.detiknews.com/read/2011/01/24/123116/1553048/159/menggantungkan-perut-pada-negara-lain?nd992203605
tiwulJakarta - Di tengah hiruk pikuk kasus Gayus Tambunan atau curhat gaji presiden, ada ancaman besar di depan mata yang kurang mendapat perhatian. Rakyat Indonesia terancam mengalami krisis pangan.
Badan Pangan Dunia (FAO) telah memperingatkan tahun 2011 ini akan terjadi krisis pangan dunia. Peringatan sudah disampaikan pada 2010 lalu. Sejak Desember 2010, harga pangan dunia telah melonjak bahkan telah mencapai rekor tertinggi indeks harga pangan FAO.
Pada akhir tahun lalu, indeks yang menghitung perubahan harga kumpulan bahan pangan seperti sereal, biji-bijian, minyak, susu, daging, dan gula rata-rata mencapai 214,7. Sedangkan rekor Juni 2008 hanya di level 213,5.
Meski sudah mendapatkan peringatan tahun lalu, Indonesia seperti biasanya tidak siap menghadapinya. Memasuki awal tahun 2011, warga kita langsung dihajar harga kebutuhan pangan yang terus melambung. Harga beras terus naik, harga cabai mencapai posisi yang tidak masuk akal, Rp 100 ribu per kilogram. Kebutuhan pokok lainya pun ikut terkerek naik. Di Jakarta, dengan uang Rp 30 ribu di tangan, seorang ibu rumah tangga kesulitan memenuhi gizi keluarganya.
Padahal jumlah orang miskin di Indonesia, seperti disampaikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa mencapai 31,02 juta penduduk atau 13,5 persen. Jumlah ini kata Hatta turun dari tahun lalu. Tapi tetap saja angka itu masih sangat besar. Terlebih lagi ada data lain, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan ada 70 juta penduduk yang menerima beras miskin (raskin). Soal angka kemiskinan ini menjadi polemik soal kebohongan pemerintah SBY yang hingga kini belum usai.
Namun yang jelas kemiskinan selalu identik dengan rawan pangan. Maka dengan angka kemiskinan yang tinggi, angka rawan pangan pun tinggi. Data Badan Ketahanan Pangan Nasional, angka rawan pangan Indonesia tercatat 27,5 persen. Maka tidak aneh bila dengan mudah ditemukan data keluarga kurang gizi sampai kurang pangan.
Di Jepara, Jawa Tengah, lima bersaudara meninggal karena keracunan tiwul. Keluarga itu mengkonsumsi tiwul karena tidak mampu membeli beras lagi yang harganya semakin mahal.
Balita kurang gizi pun bisa ditemui di banyak tempat. Di Lebak, Banten, misalnya, dua anak kembar, Abdurahman dan Abdurrahim, kurus kering dengan perut buncit. Si kembar empat tahun itu pun bisu dan tuli. Di desa si kembar itu, masih banyak balita lainnya yang mengalami nasib yang sama. Bahkan di sejumlah daerah lainnya, Cirebon dan Kebumen misalnya, ada warga yang memilih bunuh diri karena miskin.
Bagaimana pemerintah menghadapi ancaman krisis pangan yang sudah memakan korban warganya ini? Menteri Pertanian Suswono menjamin krisis pangan dunia tidak akan sampai melanda Indonesia. Katanya persediaan pangan kita masih bisa terjamin. Tapi kalau stok masih terjamin, mengapa Bulog akan melakukan impor 1,5 juta ton beras?
Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso menegaskan negara kita masih sulit melepas ketergantungannya akan beras impor. Beras impor itu untuk menjaga stok cadangan beras nasional. Stok cadangan beras nasional ini sangat penting. Cadangan ini berfungsi untuk keperluan darurat seperti bencana alam, perang dan konflik sosial, serta untuk keperluan stabilisasi harga.
Tapi yang menyedihkan, dua negara yang menjadi sumber impor beras Indonesia yakni Thailand dan Vietnam akan menahan ekspornya. Kedua negara itu, di tengah ancaman krisis pangan dunia, tentu saja memilih mengamankan perut rakyatnya sendiri dibandingkan mengekspornya untuk negara lain.
Indonesia tentu dalam posisi bahaya. Indonesia tidak bisa lagi tergantung pada impor beras. Sementara surplus produksi di dalam negeri tidak mencukupi. Ibaratnya, kondisi Indonesia seperti menggantungkan perut pada negara lain. Bila negara lain sudah tidak bisa digantungi lagi, maka Indonesia akan kelabakan sendiri.
Kini rawan pangan sudah mencapai 27,5 persen penduduk kita. Bila tidak serius mengantisipasi rawan pangan ini, siap-siap saja terjadi krisis pangan nasional tidak lama lagi. Siap-siap saja, makin banyak balita kurang gizi, makin banyak orang meninggal karena mengkonsumsi makanan tidak layak dan makin banyak orang bunuh diri karena miskin. Siap-siap saja... (iy/diks)
Menggantungkan Perut Pada Negara Lain
Iin Yumiyanti - detikNews. http://www.detiknews.com/read/2011/01/24/123116/1553048/159/menggantungkan-perut-pada-negara-lain?nd992203605
tiwul
Badan Pangan Dunia (FAO) telah memperingatkan tahun 2011 ini akan terjadi krisis pangan dunia. Peringatan sudah disampaikan pada 2010 lalu. Sejak Desember 2010, harga pangan dunia telah melonjak bahkan telah mencapai rekor tertinggi indeks harga pangan FAO.
Pada akhir tahun lalu, indeks yang menghitung perubahan harga kumpulan bahan pangan seperti sereal, biji-bijian, minyak, susu, daging, dan gula rata-rata mencapai 214,7. Sedangkan rekor Juni 2008 hanya di level 213,5.
Meski sudah mendapatkan peringatan tahun lalu, Indonesia seperti biasanya tidak siap menghadapinya. Memasuki awal tahun 2011, warga kita langsung dihajar harga kebutuhan pangan yang terus melambung. Harga beras terus naik, harga cabai mencapai posisi yang tidak masuk akal, Rp 100 ribu per kilogram. Kebutuhan pokok lainya pun ikut terkerek naik. Di Jakarta, dengan uang Rp 30 ribu di tangan, seorang ibu rumah tangga kesulitan memenuhi gizi keluarganya.
Padahal jumlah orang miskin di Indonesia, seperti disampaikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa mencapai 31,02 juta penduduk atau 13,5 persen. Jumlah ini kata Hatta turun dari tahun lalu. Tapi tetap saja angka itu masih sangat besar. Terlebih lagi ada data lain, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan ada 70 juta penduduk yang menerima beras miskin (raskin). Soal angka kemiskinan ini menjadi polemik soal kebohongan pemerintah SBY yang hingga kini belum usai.
Namun yang jelas kemiskinan selalu identik dengan rawan pangan. Maka dengan angka kemiskinan yang tinggi, angka rawan pangan pun tinggi. Data Badan Ketahanan Pangan Nasional, angka rawan pangan Indonesia tercatat 27,5 persen. Maka tidak aneh bila dengan mudah ditemukan data keluarga kurang gizi sampai kurang pangan.
Di Jepara, Jawa Tengah, lima bersaudara meninggal karena keracunan tiwul. Keluarga itu mengkonsumsi tiwul karena tidak mampu membeli beras lagi yang harganya semakin mahal.
Balita kurang gizi pun bisa ditemui di banyak tempat. Di Lebak, Banten, misalnya, dua anak kembar, Abdurahman dan Abdurrahim, kurus kering dengan perut buncit. Si kembar empat tahun itu pun bisu dan tuli. Di desa si kembar itu, masih banyak balita lainnya yang mengalami nasib yang sama. Bahkan di sejumlah daerah lainnya, Cirebon dan Kebumen misalnya, ada warga yang memilih bunuh diri karena miskin.
Bagaimana pemerintah menghadapi ancaman krisis pangan yang sudah memakan korban warganya ini? Menteri Pertanian Suswono menjamin krisis pangan dunia tidak akan sampai melanda Indonesia. Katanya persediaan pangan kita masih bisa terjamin. Tapi kalau stok masih terjamin, mengapa Bulog akan melakukan impor 1,5 juta ton beras?
Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso menegaskan negara kita masih sulit melepas ketergantungannya akan beras impor. Beras impor itu untuk menjaga stok cadangan beras nasional. Stok cadangan beras nasional ini sangat penting. Cadangan ini berfungsi untuk keperluan darurat seperti bencana alam, perang dan konflik sosial, serta untuk keperluan stabilisasi harga.
Tapi yang menyedihkan, dua negara yang menjadi sumber impor beras Indonesia yakni Thailand dan Vietnam akan menahan ekspornya. Kedua negara itu, di tengah ancaman krisis pangan dunia, tentu saja memilih mengamankan perut rakyatnya sendiri dibandingkan mengekspornya untuk negara lain.
Indonesia tentu dalam posisi bahaya. Indonesia tidak bisa lagi tergantung pada impor beras. Sementara surplus produksi di dalam negeri tidak mencukupi. Ibaratnya, kondisi Indonesia seperti menggantungkan perut pada negara lain. Bila negara lain sudah tidak bisa digantungi lagi, maka Indonesia akan kelabakan sendiri.
Kini rawan pangan sudah mencapai 27,5 persen penduduk kita. Bila tidak serius mengantisipasi rawan pangan ini, siap-siap saja terjadi krisis pangan nasional tidak lama lagi. Siap-siap saja, makin banyak balita kurang gizi, makin banyak orang meninggal karena mengkonsumsi makanan tidak layak dan makin banyak orang bunuh diri karena miskin. Siap-siap saja... (iy/diks)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar