Minggu, 16 Januari 2011

Harga Mahal Pencabutan Embargo Gaza. Israel dibantu oleh sekutu-sekutu utamanya seperti AS tidak tinggal diam, sehingga harga yang harus dibayar tetap mahal, terutama bagi negara-negara yang terlibat langsung dalam upaya pencabutan tersebut. Turki misalnya, dalam beberapa minggu belakangan ini sudah mulai membayar akibat dari sikap tegasnya terhadap negeri Zionis tersebut menyangkut embargo Gaza dan penyelidikan internasional atas serbuan terhadap kapal sipil Mavi Marmara. Di dalam negeri, sebagai contoh, pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan pimpinan PM Recep Tayyip Erdogan secara tiba-tiba menghadapi eskalasi serangan militer mengejutkan dari milisi bersenjata Kurdi yang berafiliasi ke Partai Buruh Kurdistan. Target serangan pun bukan lagi daerah-daerah yang biasa menjadi sasaran, namun meluas ke daerah-daerah penting di dalam wilayah negeri itu seperti Iskenderun, Chmiindlay, dan Khalkulai. Berbarengan dengan serangan tersebut, muncul pula serangan pola lain berupa kecaman pedas lewat media yang dilakukan oleh para anggota parlemen faksi Kurdistan. Kesempatan ini dimanfaatkan pula oleh anggota-anggota parlemen sisa-sisa pendukung setia Ataturk lewat Partai Rakyat Republik dan Gerakan Kebangsaan. Dll. Itulah gambaran tantangan dalam negeri yang harus dibayar setelah berani berseberangan dengan Israel dan AS. Sebagian analis menyebutkan bahwa informasi intelijensi yang biasa diberikan AS kepada sekutunya Turki menyangkut aktivitas dan gerak-gerik milisi Kurdi tidak lagi disediakan. Banyak analis, baik di dalam maupun luar Turki, menyebutkan bahwa serangan dari berbagai jurusan sudah mulai ditembakkan yang tujuannya adalah menjatuhkan pemerintahan Erdogan atau paling sedikit untuk mengeremnya dari kebijakan-kebijakan yang tak sejalan dengan Barat dan Israel. Wahai Umat Islam waspada dan tetap bersatu... Bersatu dengan nama Allah dan jangan terpecah demi Allah dan Rasulullah. Insya Allah, Islam dan Umat Islam akan Jaya dan menang. Ya rabb tolonglah kami dalam menghadapi orang2 kafir dan munafikin... Amin

Harga Mahal Pencabutan Embargo Gaza

E-mail Print PDF
Pencabutan embargo hampir dipastikan membuka jalan lebar tercapainya rekonsiliasi intern Palestina

Oleh: Musthafa Luthfi*


HAMPIR dipastikan bahwa kondisi Jalur Gaza, wilayah sempit di tepi Laut Tengah dengan luas hanya 360-an km2 itu, akan berubah setelah kasus serbuan armada kapal kemanusiaan "Freedom Flotilla" akhir Mei lalu, yang membawa ratusan sukarelawan mancanegara untuk berusaha menembus embargo Zionis Israel yang telah berlangsung sekitar empat tahun.

Setelah hampir sebulan dari kejadian yang menewaskan sebanyak sembilan orang sukarelawan dan puluhan lainnya luka-luka yang sebagian besar berkebangsaan Turki, penduduk Gaza yang berjumlah sekitar 1,8 juta jiwa telah berada dalam persimpangan jalan menuju kebebasan dari embargo zalim Zionis.

Embargo tersebut akhirnya menyebabkan negeri Yahudi itu lebih menderita secara politis, media, dan etika, dibandingkan penderitaan materi yang dialami oleh warga Gaza. Langkah-langkah yang coba dilakukan oleh para pemimpin Zionis untuk mengubah citranya di mata masyarakat internasional juga mengalami kegagalan demi kegagalan.

Sebagai contoh kegagalan tersebut adalah, pembangunan tembok metal bawah tanah antara Gaza dan Mesir dengan harapan negeri Piramida itu kembali mengontrol Gaza sebagaimana yang dinyatakan Menteri Perhubungan Israel. Lalu keinginan Tel Aviv untuk menempatkan para pengawas internasional yang bertugas memeriksa kapal-kapal yang keluar masuk ke Gaza.

Mesir sejak dini sangat teliti dan waspada akan bahaya kembalinya kontrol Gaza kepadanya, seperti sebelum pendudukan Zionis tahun 1967. Karena hal itu sama saja memasang bom waktu sebab dengan cara ini, negeri Zionis itu ingin melepaskan tangung jawab sebagai negeri penjajah sehingga apabila ada insiden keamanan di wilayah Palestina tersebut, maka yang dilimpahkan tanggung jawab adalah Mesir.

Selain itu, upaya tersebut adalah salah satu taktik Israel untuk mencoba menerapkan kebijakan penggabungan penduduk Gaza ke Mesir dan penduduk Tepi Barat Palestina ke Yordania, yang selalu diimpikan para pemimpin Zionis agar negeri Palestina dihapus dari peta. Karenanya tidak aneh bila Tel Aviv sangat berkepentingan atas perpecahan berkepanjangan antara Gaza dan Tepi Barat.

Oleh karena itu, banyak pihak yang berharap agar otoritas Palestina di Ramallah dan Hamas di Gaza tidak berlarut-larut memutuskan hubungan dan setiap pihak harus memberikan konsesi demi tercapainya rekonsiliasi. Bila tidak, bisa saja Hamas menerima keberadaan pengawas internasional di Gaza sesuai kemauan negeri Zionis.

Apabila pengawas internasional akhirnya ditempatkan di Gaza, maka Israel sukses besar mencapai tujuannya yang tidak bisa dicapai lewat kekuatan senjata dahsyat. Apabila sampai terjadi dan faksi-faksi utama Palestina tidak memiliki kesatuan persepsi atas langkah berikutnya, cara ini membuka jalan lebar bagi Zionis untuk memotong tali hubungan antara Tepi Barat dan Gaza di satu pihak, serta kota Al-Quds di pihak lain sehingga kota suci itu dapat dimiliki sendiri.

Bagi Hamas sendiri, tampaknya opsi pengawasan bersama Mesir-Uni Eropa atas kapal-kapal yang keluar masuk Gaza adalah pilihan utama karena penempatan pengawas internasional sama saja dengan melegitimasi embargo zalim tersebut. Opsi ini lebih menguntungkan atau dengan kata lain dampak politisnya lebih ringan bagi Hamas, apalagi didukung tuntutan masyarakat internasional yang bukan sekedar meringankan embargo akan tetapi pencabutan tanpa syarat.

Di lain pihak, otoritas Palestina di Tepi Barat sudah tidak punya banyak opsi untuk terus memaksakan kehendak politis kepada Hamas yang selama ini menjadi salah satu penghalang utama tercapainya rekonsiliasi. Paling tidak otoritas di Ramallah hanya memiliki dua opsi terkait hubungannya dengan Gaza (Hamas).

Pertama, tetap membiarkan Gaza diembargo hingga Hamas akhirnya menerima syarat Otoritas di Ramallah yang pada akhirnya Hamas "terpaksa" menandatangani rekonsiliasi yang telah dirancangkan Mesir sebelumnya. Tapi opsi itu saat ini sudah tidak mendapat dukungan Israel lagi, apalagi Mesir, karena seluruh pihak di dunia sudah sepakat untuk mencabut atau meringankan embargo.

Kedua adalah, menyatukan persepsi dengan Hamas, terutama yang terkait dengan penolakan syarat dari kwartet (AS, Rusia, Uni Eropa, dan PBB) sebagai salah satu syarat utama mewujudkan rekonsiliasi. Di antara syarat yang dibuat kwartet dan ditolak Hamas adalah penghentian perjuangan bersenjata karena syarat ini bertentangan dengan logika penjajahan sebab selama ada penjajahan maka bangsa terjajah berhak memerdekakan diri dengan segala cara yang sah.

Tidak gratis

Pencabutan embargo tersebut hampir dapat dipastikan, juga membuka jalan lebar bagi tercapainya rekonsiliasi intern Palestina, setelah pihak otoritas tidak memiliki banyak opsi lagi dalam menekan Hamas. Meskipun jalan menuju pencabutan terlihat mulus yang sekaligus membuka pula jalan menuju rekonsiliasi, namun pencabutan embargo ini tidaklah gratis.

Israel dibantu oleh sekutu-sekutu utamanya seperti AS tidak tinggal diam, sehingga harga yang harus dibayar tetap mahal, terutama bagi negara-negara yang terlibat langsung dalam upaya pencabutan tersebut. Turki misalnya, dalam beberapa minggu belakangan ini sudah mulai membayar akibat dari sikap tegasnya terhadap negeri Zionis tersebut menyangkut embargo Gaza dan penyelidikan internasional atas serbuan terhadap kapal sipil Mavi Marmara.

Di dalam negeri, sebagai contoh, pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan pimpinan PM Recep Tayyip Erdogan secara tiba-tiba menghadapi eskalasi serangan militer mengejutkan dari milisi bersenjata Kurdi yang berafiliasi ke Partai Buruh Kurdistan. Target serangan pun bukan lagi daerah-daerah yang biasa menjadi sasaran, namun meluas ke daerah-daerah penting di dalam wilayah negeri itu seperti Iskenderun, Chmiindlay, dan Khalkulai.

Berbarengan dengan serangan tersebut, muncul pula serangan pola lain berupa kecaman pedas lewat media yang dilakukan oleh para anggota parlemen faksi Kurdistan. Kesempatan ini dimanfaatkan pula oleh anggota-anggota parlemen sisa-sisa pendukung setia Ataturk lewat Partai Rakyat Republik dan Gerakan Kebangsaan.

Tidak cukup dengan itu, pengadilan pun ikut memojokkan pemerintah dengan keputusan membebaskan tokoh-tokoh militer yang disebut terlibat dalam usaha kudeta terhadap pemerintahan Erdogan. Militer yang dikenal selama ini sebagai garda pembela sekularisme nampaknya tidak akan segan-segan ikut terlibat secara aktif dalam menekan pemerintahan Erdogan.

Itulah tritunggal tantangan dalam negeri yang dihadapi pemerintah Turki saat ini, yang kebetulan kepentingan tritunggal itu sejalan dengan kepentingan Barat dan Israel yang terus berusaha melakukan konspirasi terhadap pemerintahan berhaluan Islam di negeri bekas pusat Kekhalifahan Otsman (Ottoman) itu.

Itulah gambaran tantangan dalam negeri yang harus dibayar setelah berani berseberangan dengan Israel dan AS. Lalu bagaimana dengan harga yang harus dibayar di tingkat luar negeri? PM Israel, Benjamin Netanyahu belum lama ini mengingatkan bahwa Turki sudah mulai membayar mahal akibat permusuhannya dengan Israel di forum internasional.

Sebagai contoh pasukan Armenia kembali menyerang daerah Nagorno-Karabakh yang masih disengketakan dengan negeri jirannya, Azerbijan yang dikenal dekat dengan Turki. Kongres AS menilai aksi-aksi Turki belakangan ini dalam membela Palestina sebagai "memalukan" dan mengingatkan akan harga mahal yang harus dibayar.

Pakta Pertahanan NATO pun menutup mata terhadap apa yang dialami salah satu anggotanya di Laut Tengah akibat serbuan brutal Israel tersebut. Jalan menuju keanggotaan Uni Eropa (EU) pun makin jauh, bahkan ada sebagian pihak menyebutkannya sebagai mimpi. Bahkan lebih sadis lagi sebagai mimpi iblis masuk surga.

Sebagian analis menyebutkan bahwa informasi intelijensi yang biasa diberikan AS kepada sekutunya Turki menyangkut aktivitas dan gerak-gerik milisi Kurdi tidak lagi disediakan. Banyak analis, baik di dalam maupun luar Turki, menyebutkan bahwa serangan dari berbagai jurusan sudah mulai ditembakkan yang tujuannya adalah menjatuhkan pemerintahan Erdogan atau paling sedikit untuk mengeremnya dari kebijakan-kebijakan yang tak sejalan dengan Barat dan Israel.

Perang air

Mesir yang dipastikan menolak keinginan Israel untuk mengembalikan kondisi Gaza seperti sebelum perang 1967, juga tidak akan luput dari pembayaran harga penolakannya tersebut. Negeri Zionis itu dapat memanfaatkan ketergantungan negeri Piramida itu pada air Sungai Nil untuk ikut campur mendorong negara-negara sumber air Nil untuk memaksakan kesepakatan baru terkait pembagian jatah air.

Setelah kesepakatan antara lima negara (Ethiopia, Kenya, Tanzania, Ruwanda dan Uganda) di ibu kota Uganda, Entebbe bulan lalu, yang diboikot Mesir dan Sudan, kesepakatan tersebut ditegaskan lagi dalam pertemuan negara-negara Nil di Adis Ababa, Ethiopia Minggu (27/6/2010). Menteri Sumber Air Ethiopia, Asfaw Dingamo menegaskan bahwa kelima negara tidak akan surut dari kesepakatan tersebut.

Tentunya kesepakatan tersebut makin mendorong negeri Zionis untuk ikut campur bagi meletusnya perang air, terutama antara Mesir dan Sudan di satu pihak yang sangat khawatir jatah airnya dikurangi, menghadapi lima negara lainnya di pihak lain. Sebenarnya taktik Israel itu telah mulai dikobarkan oleh Menlu Israel, Avigdor Lieberman dalam lawatannya ke sejumlah negara Afrika yang berlangsung pada September tahun lalu.

Tel Aviv ingin memanfaatkan keluhan negara-negara sumber air Nil, terutama Ethiopia, yang menilai perjanjian tentang jatah air Sungai Nil hanya menguntungkan dua negara Arab (Mesir dan Sudan), sementara jatah negara-negara sumber air sungai tersebut sangat sedikit. Negeri Zionis itu memprovokasi negara-negara tersebut agar keluhan tersebut menjadi tuntutan langsung dan Israel siap membantu menggolkannya.

Kurang dari setahun sejak kunjungan itu, akhirnya kelima negara sumber air Nil sepakat meninjau ulang jatah air Sungai yang panjangnya sekitar 6.600 km itu. Sebagaimana diketahui, berdasarkan persetujuan tahun 1929 yang kemudian diperbaharui pada tahun 1959, Mesir mendapat jatah terbesar yakni 55,5 milyar kubik, menyusul Sudan sebanyak 18,5 milyar kubik, dan sisanya sekitar 10 milyar kubik dibagi oleh sekitar 6 negara Afrika lainnya, termasuk Republik Demokrasi Kongo yang masih belum menandatangani kesepakatan yang disebutkan di atas.

Persetujuan tersebut juga memberikan hak veto kepada Mesir menyangkut pembangunan bendungan di negara-negara sumber air Nil. Israel sengaja menfokuskan perhatiannya kepada Ethiopia karena negeri ini sebagai penyumbang lebih dari 80 persen sumber Nil yang telah lama memimpin “pemberontakan” terhadap persetujuan tersebut dan mengungkit hak veto Mesir. Dan lebih penting lagi keberadaan militer Israel yang makin meningkat di negeri Habashah itu yang dapat dijadikan unsur penekan atas Mesir.

Sumber air Nil bagi Mesir adalah isu “hidup dan mati” yang tidak bisa ditawar. Penguasa Mesir pada abad ke-19, Muhammad Ali Pasha pernah menerapkan strategi intervensi kepada negara-negara Afrika yang berusaha mengurangi aliran sungai tersebut ke Mesir. Bahkan pada 1979, Presiden Anwar Saddat menerapkan strategi militer darurat untuk menghancurkan bendungan negara manapun ketika Ethiopia berniat membangun bendungan seluas 90 ribu hektar di hulu Nil Biru.

Namun situasinya saat ini berbeda, terutama setelah ikut campurnya Israel yang saat ini dalam keadaan terjepit secara politis dan citra buruk akibat serangan atas kapal kemanusiaan Freedom Flotilla. Negeri Zionis ini setiap saat siap mendukung neger-negeri Afrika sumber sungai Nil, untuk mewujudkan keinginannya mengatur sendiri jatah pembagian air Nil. Dukungan negeri Zionis itu juga meliputi pertahanan militer kuat guna mengantisipasi kemungkinan serangan Mesir.

Paling tidak itulah gambaran harga mahal yang harus dibayar sehubungan dengan pencabutan embargo atas Gaza tersebut. Untuk mengatasinya hanya ada satu kata kunci, yakni solidaritas dunia Arab dan Islam yang meskipun kelihatannya mudah diucapkan ternyata sangat sulit diterapkan. [Sana`a – Yaman, 16 Rajab 1431 H/hidayatullah.com]
Foto: Getty Images
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, k

Tidak ada komentar:

Posting Komentar