Senin, 24 Januari 2011

Konflik Syiah, Sunny dan Kurdi dan Penyerangan dan Penjajahan dan Pendudukan atas Iraq dan Afghanistan oleh AS dan Sekutu serta Pendudukan dan Penjajahan Israel atas Palestina dan Rencana Israel Raya yang didukung Barat [AS dan Sekutunya]. Waspadalah ummat Islam dan bangsa2 di Timur Tengah dan juga Ummat Islam Dunia. Bersatulah Ummat Islam dimana saja anda berada. Bersatulah dengan nama Allah dan Rasulullah, dan jangan terpecah-belah dengan mengatas namakan Allah dan Rasulullah. Hentikan pertikaian dan permusuhan antar-madzhab dan kefanatikan madzhab. Ilmu dan kemadzhaban harus diambil hikmahnya dan mejadikan diri semakin yakin akan Kebenaran Allah dan Rasulullah. Teguhkan dan Kuatkan Persatuan Ummat Islam, dan kuatkan silaturahim satu dengan lain dan bangun amal dan akhlak mulia. Bantulah Bangsa Palestina, Bangsa Iraq dan Afghanistan untuk bebas dari cengkeraman dan pendudukan para Penjajah Israel, AS dan Sekutunya. Janganlah Ummat Islam mau menjadi antek2 para Penjajah. Sadarlah hai Ummat Islam untuk selalu bersatu, bersaudara dan membangunkan silaturahim dan solidaritas Islam. Hayyo Bangkit Sdrku...

IRAQ: PUSARA PERTARUNGAN ANEKA KEPENTINGAN

Menunggu Hasil Pemilu 30 Januari 2005
IRAQ: PUSARA PERTARUNGAN ANEKA KEPENTINGAN
Oleh:
Wawan Kurniawan
Pendiri Kajian Internasional Strategis (KAINSA)
Dunia mengharap-harap cemas kepastian akhir pemilu Iraq. Pemilu yang diselenggarakan pada 30 Januari kemarin disikapi berbeda oleh dunia. Dunia Barat menyikapi positif pemilu tersebut. Inggris menanggapinya dengan menjanjikan mengontak negara-negara tetangga Iraq dan kelompok negara kaya yang tergabung dalam G8 untuk bisa berkontribusi dalam rekonstrusi Iraq selanjutnya (BBC, 01/02/2005). Perancis dan Jerman, yang semula menentang intervensi Amerika Serikat, juga memberikan sambutan positif. Demikian juga Uni Eropa, Rusia, Indonesia, Jepang, Selandia, dan Korea Selatan. Jangan ditanya kegembiraan AS, yang tentu saja bersuka-ria dengan pemilu itu. Sukses tidaknya pemilu itu mempengaruhi citra AS di mata dunia. Jika berhasil, dunia mungkin akan mulai melupakan kesalahan motivasi intervensi AS mengingat senjata pemusnah massal (WDM) yang dipermasalahkan ternyata terbukti tidak dimiliki Iraq. Selain itu, alasan bahwa AS menyerbu Iraq dengan tujuan mengakiri rezim tiran dan mengawali demokratisasi di Iraq akan makin diamini dunia. Namun bila pemilu itu gagal, image AS dipastikan bertambah buruk
Sementara itu di sisi lain, dunia Islam, terutama negara-negara di sekitar Iraq, kecuali Iran, nampak berlaku hari-hati menanggapi pemilu kemarin itu. Kehatian-hatian itu didasarkan kemungkinan pemilu tersebut bisa membuka jalan terjadinya civil war (perang saudara) seperti yang diprediksikan oleh CIA di New York Times edisi 16 September 2004. Jika perang itu terjadi, “the second Lebanon” akan terjadi di Iraq. Yang lebih mneyeramkan, CIA dalam New York Times tersebut menggunakan istilah all-out civil war (perang saudara habis-habisan). Iran, sebagaimana negara Barat lainnya, menyambut dengan senang pemilu itu. Bagi Iran, tanpa bersusah-susah mengekspor Revolusi Islam-nya, ada kemungkinan akan berdiri negara Islam Iraq yang bermahzab Syi’ah.
Menurut perkiraan, hasil pemilu baru diketahui pada sekitar 10 hari (Voice of America, 31/01/05) atau dua minggu kemudian (BBC, 01/02/05). Kemungkinan besar kaum Syi’ah akan memenangkan pemilu itu mengingat jumlah mereka yang mayoritas (sekitar 60 persen). Ditambah lagi fatwa pemimpin Ayatullah Ali al-Sistani yang mewajibkan kaum syi’ah untuk berpartisipasi dalam pemilu. Aksi boikot yang dilkaukan kaum Sunni semakin memperbesar peluang kemenangan kaum Syi’ah itu. Pada bagian pengikut Sunni lainnya, yaitu Suku Kurdi, lebih memilih ikut pemilu (Washington Times, 20/01/05) meskipun dengan tujuan berbeda.
Kebangkitan Syi’ah, ketakutan Sunni, kemerdekaan Kurdi
Iraq yang berpenduduk 25,4 juta berdasarkan estimasi CIA pada Juli 204, terbagi menjadi tiga kelompok: Syi’ah (60 persen atau 15,2 juta), Sunni (20 persen atau 5,1 juta), dan Kurdi 20 persen atau 5,1 juta). Mayoritas Syia’h menetap di bagian selatan Iraq, Sunni di tengah dan sebagian utara, dan Kurdi mengelompok di utara hingga sekitar border state triangle Iraq-Iran-Turki.
Sebelum pemilu, Syi’ah merupakan kaum marjinal. Di masa Saddam Husein, kaum Syi’ah mengalamai tekanan hebat. Kota-kota mereka dijaga ketat oleh tentara pemerintah. Ceramah dan pengajian mereka diawasi dan tidak jarang diinterupsi oleh intel-intel pemerintah. Hal yang sama berlaku pada koran-koran lokal mereka. Saddam Husain takut dengan jumlah kaum Syi’ah yang sangat besar sehingga harus berlaku represif.

Pemilu 30 Januari bagi Syi’ah merupakan jalan menuju masa depan yang lebih baik.  
Sudah sepatutnya jika warga mayoritas memperoleh hak yang semestinya. Kaum Syi’ah hanya tinggal mneunggu waktu untuk berkuasa dan kesempatan untukk berkuasa itu ada di depan mata setelah “menderita” selama beberapa abaad lamanya dimulai dari era Kesultanan Ottoman Turki (1638), pendudukan Inggris (1920), masa kerajaan (1932), masa republik (1958), rezim militer, hingga era Saddam (1978-2003).
Usaha kebangkitan Syi’ah itu bisa terlihat dari komposisi pemerintahan transisi yang dibentuk pada 1 Juni 2004 pasca kolapsnya rezim Saddam. Syi’ah mendapat 16 posisi menteri dari 31 kementerian yang ada. Bidang-bidang strategis sperti pertahanan, perminyakan dan keuangan dikendalikan oleh Syi’ah. Demikian juga posisi perdana menteri. Perlu diingat, Iyad Allawi adalah seorang Syi’ah dan sangat dekat dengan AS. Institusi keamanan seperti Garda Nasional dan kepolisian jugadidominasi ole Syi’ah. Sementara Sunni hanya memperoleh satu kementerian strategis saja, yaitu kementerian dalam negeri dan Kurdi memperoleh kementerian luar negeri.
Tidak ada jalan lain bagi Syi’ah dalam mewujudkan impian kecuali dengan bekerja sama dengan AS. Untuk itu Syi’ah berusaha meminimalkan resistensi kepada pasukan AS. Permintaan (lebih tepat disebut perintah) Sistani kepada Muqtada Al Sadr dan milisinya untuk menyerah dan mengakhiri perlawanan, yang ternyata dipatuhi Sadr meskipun sebelumnya Sadr sesumbar tidak akan menyerah, adalah cerminan kolaborasi AS-Syi’ah. Entah kompensasi apa yang diperoleh AS jika Syi’ah benar-benar berkuasa nanti.
Di bagian utara, Saddam memberlakukan keadaan yang sama dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi untuk menindas Kurdi disebabkan Kurdi telah membentuk faksi-faksi bersenjata (di Iraq ada dua yaitu PUK – Patriotic Union of Kurdistan dipimpin Jalal Talabani dan KDP – Kurdistan Democratic Party dipimpin Masoud Barzani, di Turki ada PKK – Kurdish Workers’ Party). Kurdi bercita-cita membentuk negara sendiri meliputi sebagian kecil Iran, Iraq, Suriah, dan Turki. Di empat negara tersebut suku Kurdi adalah minoritas dan sering mengalami penindasan. Pembunuhan klan Barzanji (1983), pembantaian massal di Halabja (1988) dan operasi Anfal pada 1986-1988 adalah bukti keganasan Saddam (Aaron Glant, Iraqi General: US Helped Us as We Used Chemical Weapons, Antiwar.com, 13/06/2004)

Keikutsertaan Kurdi dalam pemilu adalah untuk memperkuat bargaining mereka di mata calon penguasa baru pascapemilu yaitu kaum Syi’ah. 
Bagi Syi’ah sendiri, partisipasi Kurdi akan memperkuat legitmasi pemilu. Sebagai kompenasinya, Kurdi berharap pemerintahan baru memenuhi referendum di utara atau setidaknya lebih lunak menyikapi gerakan kemerdekaan Kurdi. Yang patut diperhatikan adalah Kurdi telah menyiapkan “Plan B” dengan cara memperkuat militer Kurdi bila pemerintahan baru berlaku sama seperti pemerintahan sebelumnya: menolak eksistensi Kurdi.
Kurdi sangat berharap pada bantuan AS, tetapi AS lebih memilih berkolaborasi dengan Syi’ah. Kurdi memindahkan orientasinya kepada Israel. Agen-agen Mossad (dinas rahasia Israel) telah memasuki wilayah Kurdi dan melatih unit-unit komando Kurdi (laporan Seymour Hersh yang dimuat di majalah New Yorker, 28 Juni 2004). Untuk selanjutnya, unit-unit tersbut-yangdiperkirakan berjumlah 75 ribu peshmerga-itu akan beroperasi di Iraq, Iran ,dan Suria. Dengan bantaun Israel, kini Suku Kurdi merupakan kelompok bersenjata yang paling kuat bila dibandingkan dengan Syi’ah dan Sunni.
Di sisi lain, boikot yang dilakukan Sunni merefleksikan ketidaksukaan mereka terhadap pemilu kemarin yang hampir bisa dipastikan akan dimenangkan oleh Syi’ah. Bagi Sunni, pemilu hanyalah alat melegitmasi hadirnya kekuatan Syi’ah di pentas kepemimpinan nasional. Muncul ketakutan sendainya nanti Syi’ah akan membalas perlakuan diskriminasi yang mereka terima selama ini. Jika itu terjadi, kaum Sunni yang selama rezim Saddam menikmati kemudahan dan kenyaman akan berada di peripheral kekuasaan. Terlebih lagi mengingat jumlah Sunni yang minoritas.
Perbedaan Memahami Pemilu

Sebenarnya, Syi’ah dan Sunni memliki persamaan visi tentang masa depan Iraq yaitu menginginkan kekuasan asing (AS) harus segera pergi dari Iraq dan biarkan rakyat Iraq mengurusi sendiri negaranya. Hanya saja mereka berbeda cara mencapai visi itu. Syi’ah menganggap pemilu sebagai jalan terbaik yang akan melahirkan pemerintahan yang kuat dan legitimate. Dengan mengatasnamakan rakyat Iraq, pemerintahan yang kuat tadi dapat bernegoisasi mendesak kekuatan asing untuk segera meninggalkan Iraq.
Hal yang berlawanan diyakini oleh Sunni. Sunni mengganggap pemilu apa pun dan diselenggarakan oleh siapa pun adalah tidak sah (illegitimate) selama Iraq masih diduduki oleh kekuatan asing (Tom Engelhardt, Iraq’s Electoral Cul-de-sac, lewrockwell.com). Jika ingin segera ada stabilisasi, kekuatan asing itulah harus keluar secepatnya dari Iraq karena kekuatan asing itulah yang menjadi faktor dominan destabilisasi Iraq sekarang (Justin Raimondo, A U-Turn in Iraq, antiwar.com, 22/09/2004).
Implikasi dari perbedaan pemahaman itu adalah Syi’ah menolak untuk berkonfrontasi dengan AS, namun bagi Sunni, resistensi terhadap AS adalah keharusan. Dan itu dibuktikan dengan militansi Sunni mempertahankan Fallujah sehingga AS harus menyerangnya dua kali (April 2004 dan 8 November 2004).Beberapa laporan saat pemilu kemarin menunjukkan bahwa di kota-kota yang terdapat mayoritas Sunni, seperti Fallujah, Ramadi, Mosul, dan Baghdad, yang sering terjadi aksi antipendudukan AS, TPS-TPS hanya didatangi sedikit pemilih.
Iraqi Islamic Party, salah satu partai sunni terbesar, yang merupakan partai Ikhwanul Muslimin di Iraq, menyatakan menolak pemilu dan menganjurkan rakyat Iraq untuk memboikot pemilu. Bagi Ikhwanul Muslimin, kemerdekaan dan pembebasan suatu wilayah (Islam) adalah kewajiban yang harus ditunaikan (Dr. Utsman Abdul Mu’iz Ruslam, dalam Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, halaman 400).
Perebutan Sumber Pendapatan
Syi’ah yang menguasai ladang-ladang utama minyak di Iraq terutama daerah selatan tentu tidak adakan mau berbagi hasil dengan kelompok lain di Iraq (Peter Galbraith, How to Get Out of Iraq, nybooks.com, 13/05/2004). Hal yang sama juga dilakukan Kurdi. Kurdi tidak akan begitu mudah menyerahkan Kirkuk, sebuah kota strategis dan kaya minyak, kepada pemerintahan baru bila tanpa konsesi yang sepadan.

Kepentingan Negara-negara Tetangga
Negara-negara di sekitar Iraq turut berkepentingan dengan kondisi Iraq sekarang, terlepas dari ada atau tidaknya pemilu. Beberapa diantaranya malah turut lansung dalam pusara konflik segitiga Kurdi-Sunni-Syi’ah.
Iasrel, terlihat tidak sabar dengan jalan diplomasi yang ditempuh IAIE dan Uni Eropa dalam meminimalkan kekuatan nuklir Iran. Hal yang sama sudah diisyarakat oleh Dick Cheney: “In fact, the Israelis became convinced the Iranians had a significant nuclear capability, given the fact that Iran has a stated policy that their objective is the destruction of Israel, the Israelis might well decide to act first” (New York Times, 20/01/05). Keesokan harinya, 21 Januari, harian yang paling berpengaruh di Israel, Haaretz, mengulangi ucapan Dick Cheney itu.

Di antara Kurdi-Sunni-Syi’ah, Kurdilah yang paling mungkin dijadikan sekutu, di samping Kurdi juga membutuhkan sekutu setelah diacuhkan AS. Israel berkepentingan dengan gerakan Kurdi dalam usaha mendestabilisasi negara-negara Arab musuhnya. 
 Israel tidak ingin memiliki tetangga yang kuat. Setelah Iraq berhasil “diamankan” oleh AS, hanya Iran, Suriah, dan Pakistan saja yang kini masih menjadi musuh kuat. Pakistan telah menjadi sahabat dekat AS dalam counter-balance kekuatan India, Cina, dan komunis Nepal di Asia Selatan. Sedangkan Suriah bisa dikesampingkan terlebih dahulu karena Israel dapat menyerang Suriah sewaktu-waktu dengan menggunakan Dataran Tinggi Golan sebagai batu loncatan. Jadi, tinggal Iran saja yang harus segera diperlemah.
Israel tidak memandang penting siapa yang berkuasa di Iraq nanti, apakah Sunni atau Syi’ah, asalkan mau berteman dengan AS. Dalam sebuah dokumen “A Clean Break” (israeleconomy.org) yang ditulis pada tahun 1996-yang ditujukan untuk PM Israel waktu itu, Benjamin Netanyahu-mengganggap Bahgdad sebagai batu lompatan bagi penaklukan Damaskus dan Teheran.

Kasus pencurian informasi tentang Iran di Pentagon yang dilakukan Lawrence A. Franklin menunjukkan betapa Iran menjadi perhatian nomor satu bagi Israel. 
Lawrence A. Franklin, seorang analisis Timur Tengah tingkat menengah Pentagon yang bekerja di bawah sekretaris pertahanan urusan politik, Douglas J. Feith, mengambil data rahasia (highly classified material, sensitive U.S. government documents about Iran) dan memberikannya kepada Naor Gilon-seorang pejabat penting di kedutaan Israel dan dua orang pengurus berpengaruh di AIPAC (American-Israeli Public Affairs Committee) pada suatu makan siang (Washington Post, 02/09/004).
Keterlibatan Iran dalam konflik Iraq dimulai dengan memberi dukungan kepada SCIRI (Supreme Council for the Islamic Revolution in Iraq) berupa kesediaan Teheran digunakan sebagai basis perlawanannya. Iran telah mendukung SCIRI selama hampir dua dekade.
Bagi Iran, kemenangan Syi’ah dalam pemiluk Iraq akan menjadikan Iraq sebagai buffer zone bagi pertahanan Iran. Iran menyadari bahwa bahaya terbesar datang dari arah barat, yaitu Israel. AS tidak mungkin menyerang Iran dalam waktu dekat. Dipekirakan AS menunggu hingga konflik di Iraq selesai. Ditambah lagi AS harus membagi perhatiannya dengan Korea Utara, Sudan, dan Taiwan. Iran mengharapkan pemerintahan baru Iraq dapat mengeliminir kekuatan Kurdi yang selama ini menjadi masalah akut di perbatasan utara Iran. Iran juga bisa menjadikan pemerintahan Syi’ah Iraq sebagai emergency exit dan second base bila aliansi AS-Israel-Kurdi benar-benar menyerang Iran dan Iran tidak mmapu menahan serangan itu.
Bagi Turki dan Suriah, menguatnya bargaining Kurdi di Iraq dapat membahayakan stabilisasi wilayah di perbatasan timur mereka, yang dihuni mayoritas suku Kurdi. Apalagi jika Kurdi Iraq berhasil membentuk pemerintahan baik secara lepas maupun federal dalam lingkup pemerintahan baru Iraq. Dalam konstitusi sementara Iraq, Kurdi Iraq diakui secara federal, memiliki hak veto dalm penyusunan konstitusi permanen, dan bahasa Kurdi diakui sejajar dengan bahasa Arab. Keberhasilan Kurdi Iraq itu dapat memberi inpirasi bagi Kurdi Suirah dan Kurdi Turki untuk melakukan dan menuntut hal yang sama.
Tahun lalu, parlemen Turki menyetujui militer Turki melakukan serangan ilfritasi ke Iraq bila Kurdi mendeklarikan kemederkaanya. Turki juga telah menbangun dua markas militer di utara Iraq. Salah satunya berada di Arbil, kota terbesar Kurdi Iraq. Sunni Iraq dan Syi’ah Irak tidak mempermasalahkan dua pangkalan militer Turki itu karena mereka tidak ingin Kurdi menjadi besar kekuatannya.
Beberapa penguasa Arab-yang memiliki warga Syi’ah di wilayahnya-mengamati terus keadaan di Iraq sambil mempeketat keamanan di dalam negeri. JIka Syi’ah Iraq dapat berkuasa di Iraq pascapemilu nanti, itu dapat menstimulasi pengikut Syi’ah di negara lain untuk lebih berani dan kritis kepada pemerintahan negara setempat. Dan itu tidak disukai oleh para penguasa Arab. Dapat dipastikan bantuan-bantuan senjata negara Arab yang tidak menyukai kebangkitan Syi’ah akan mengalir ke pihak Sunni bila perang sipil benar-benar pecah di Iraq. Itu mengulagi keadaan perang Iraq-Iran (1980-1988) saat mayoritas penguasa Arab membantu Saddam Husien dalam upaya menahan laju ekapnsi Revolusi Islam Syi’ah ala Iran.
Pemilu dan Alur Politik
Terlepas dari suka dan tidak, pemilu sudah berjalan dan tinggal menunggu hasil akrinya saja. Pemilu 30 Januari lalu akan menghasilkan 275 anggota Majelis Nasional sementara. Majelis Nasional sementara itu akan memilih seorang presiden dan dua orang wakil presiden di antara mereka. Lalu presiden dan dua wakilnya beserta Majelis Nasioal membentuk kabinet yang dikepalai seorang perdana menteri. Majelis Nasional membuat draf konstitusi yang akan direferendumkan pada 15 Oktober 2005. Jika referendum menyetujui konstitusi tersebut, diadakan pemilihan untuk pemerintahan pada Desember 2005. Jika referendum menolak konstitusi, diadakan pemilihan ulang untuk memilih anggota Majelis Nasional baru. Dengan melihat alur politik tersebut, dapat dipahami mengapa Sunni berupaya keras menolak pemilu.
Beberapa Masalah Pelik
Masa depan Iraq pasca pemilu tidak lebih baik daripada keadaa sekarang. Bola panas (dan liar) sekarang ada di tangan Syi’ah dan AS. Setelah Syi’ah secara sah berkuasa, mampukah mereka membuktikan ucapan mereka bahwa mereka akan mampu mendesak kekuatan asing untuk segera keluar dari Iraq. Sanggupkah mereka menahan diri untuk tidak membalas dendam kepada Sunni atas penindasan yang mereka alami berabad-abad lamanya. Maukah mereka memaafkan Sunni demi rekonsiliasi Iraq. Lalu bagaimana dengan status Kurdi. Apakah pemerintahan baru akan mengakomodir tuntutan Kurdi atau malah sebaliknya, tetap menindas Kurdi sebagaimana reim-rezim sebelumnya.

Apakah AS mau keluar dari Iraq setelah pemerintahan yang “demokratis” telah terbentuk dan Iraq memiliki tentara yang kuat. 
Dalam sebuah dialog, Bush mengatakan: “And the sooner the Iraqis are prepared, better prepared, better equipped to fight, the sooner our troops will start coming home” (New York Times, 19/01/2005). Apabila dua hal itu telah terpenuhi, alasan apalagi yang akan dipakai AS untuk tetap tinggal di Iraq setelah tiga kebohongan AS tentang WMD (weapon of Mass Destruction), partikulasi Al Qaidah dengan Iraq, dan senjata nuklir, terungkap dan diketahui dunia.
Eksistensi AS di Iraq selama hampir dua tahun tidak membawa keadaan yang lebih baik sebagaimana yang dijanjikan AS. Di internal masyarakat AS sendiri telah muncul keraguan: untuk apa sebenarnya AS berperang di Iraq. Pada musim panas 2004, 56 persen rakyat AS mempercayai bahwa invasi AS ke Iraq adalah suatu kesalahan (Susan Watkins, Vichy on the Tigris, leftreview.com, Juli-Agustus 2004)
Bagaimana dengan biaya perang yng telah dikeluarkan AS dalam perang yang menelan 1 miliar dolar lebih per bulan itu. Siapa yang mau membayarnya. Akankah pemerintahan baru membayarnya dengan imbalan berupa konsesi-konsesi (minyak) tersembunyi kepada AS.

Untuk Sunni, apakah mereka mau berekonsialiasi dengan Syi’ah dan mengalahkan rasa takut akan pembalasa Syi’ah yang selama ini hinggap kuat di benak mereka. 
Apakah Sunni akan terus melawan pendudukan AS. Jika itu tetap dilakukan, Sunni pasti berhadapan dengan Syi’ah. Sebagai pemengang mandat pemerintahan baru pascapemilu, pihak Syi’ah pasti menginginkan stabilisasi dan bila diplomasi tidak dapat dijadikan jalan keluar, tentu senjata yang akan berbicara.
Bagaimana dengan Kurdi setelah keikutsertaannya dalam pemilu kemarin. Tidak adakah alternatif lain di luar perjuangan bersenjata dalam mewujudkan cita-cita Kurdi Bersatu.
Kita lihat saja apa yang terjadi di Iraq selanjutnya. Wallahu a’lam bis shawab. http://kainsa.wordpress.com/2007/08/17/iraq-pusara-pertarungan-aneka-kepentingan/
 

KASUS IRAK: REFLEKSI AMBIVALENSI DUNIA

Oleh:
Wawan Kurniawan
Pendiri Kajian Internasional Strategis (KAINSA)
Ada sebuah wawancara menarik yang dimuat dalam tulisan berjudul “One of Saddam’s Men Speaks Out” yang dibuat oleh Jude Wanniski dan dipublikasikan di lewrockwell.com, sebuah site yang mempromosikan antiperang. Dialog itu terjadi antara Ahmed Janabi (Jude Wanniski tidak memberitahu siapa orang ini sebenarnya) dengan Muhammad al Duri. Muhammad Al Duri, seorang profesor sekaligus jurnalis, yang kemudian diangkat oleh Saddam Husein sebagai Duta Besar Irak untuk PBB mulai 1999. Tugas al Duri berakhir beberapa saat setelah invasi Amerika Serikat (AS) pada Maret 2003.
Ketika Baghdad berhasil ditaklukkan AS pada 9 April 2003, al Duri menyatakan bahwa “game is over” (permainan telah berakhir). Pada wawancara itu, Janabi bertanya mengapa al Duri mengatakan bahwa permainan telah berakhir. Al Duri menjawab, “Banyak orang menafsirkan perkataan itu dengan permainan yang terjadi antara Saddam Husein dan AS. Yang saya maksud sebenarnya adalah selama sanksi PBB yang diberlakukan kepada Iraq selama 13 tahun, PBB berperan sebagaimana sebuah opera. Semua pemain dalam opera itu tidak bersungguh-sungguh berusaha menemukan jalan untuk mengakhri sanksi yang telah membunuh jutaan rakyat Iraq. Itu bisa dibuktikan ketika AS memutuskan untuk menyerang Iraq, semua pemain mengundurkan diri dan AS bisa melakukan apa yag ia inginkan.” Dengan menyangkal, Janabi berkata, “Bukankah ada banyak protes di seluruh dunia, dan juga ada banyak negara menentang perang. Lalu, al Duri menjawab singkat sekaligus mengakhri dengan kalimat “that was not enough” (itu tidak cukup)
Dunia sekarang telah terbagi dua: negara berdaya dan negara tidak berdaya. Negara berdaya yang menghegemoni dan membuat pilihan “with us or against us” dan negara tidak berdaya yang dengan sadar maupun tidak, mau dikuasai dan harus memilih dengan ketakutan. Negara berdaya yang menyerang dan mengokupasi negara lain dengan alasan-alasan yang direkayasa kebenarannya sehingga terjamin legitimasinya. Jika di kemudian hari, alasan itu terbuka kebohongannya, tidak ada ucapan maaf sama sekali, malahan mencari alasan selanjutnya untuk tetap bercokol di wilayah yang didudukinya itu. Di sisi lain, negara berdaya itu mempunyai beberapa sekutu yang memainkan peran kepahlawanan hanya karena tidak kebagian proyek di wilayah kolonial baru. Dalam kasus Iraq, Halliburton telah diplot untuk melaksanakan pembangunan pascaperang di Iraq (Editorial New York Times, yang berjudul “The State of Iraq”, 09/08/2004)
Sementara itu, ada (sangat) banyak negara tidak berdaya yang karena kesulitan-kesulitan diinternalnya memilih menjadi oportunis asalkan selamat dari serangan berikutnya dari negara berdaya itu. Daripada stick, lebih baik carrot. Negara tidak berdaya yang berpura-pura menentang di masa ini dan akhirnya mengamini di kemudian hari.
Masih ingat awal perang Iraq-AS? Dunia mengecam dengan luar biasa. Demo berlangsung besar-besaran di semua kota besar dunia. Jutaan manusia tumpah ke jalan. Perancis dan Jerman menjadi pahlawan karena menolak invasi AS itu. Sebagian besar negara menolak perang itu, termasuk Indonesia. Namun, tahun berganti, bulan berlalu. Pascapemilu 30 Januari kemarin, sikap dunia berubah total. Pemilu Irak itu, yang tentu diklaim demokratis oleh AS dan Inggris, ternyata diberi ucapan selamat Uni Eropa, Rusia, Indonesia, Jepang, Selandia, dan Korea Selatan. Demikian juga Perancis dan Jerman, turut memberi ucapan selamat. Hanya dalam 23 bulan, sikap dunia telah berganti.
Ucapan-ucapan selamat bernada manis, normatif, dan menyanjung, berisi harapan-harapan berlebihan, yang sebenarnya menunjukkan ketidakkonsistensian sikap. Ucapan selamat atas pemilu yang dijadikan bagian propaganda bahwa AS benar-benar ingin menegakkan demokrasi di Iraq. Demokrasi, yang selanjutnya dijadikan stempel pembenaran okupasi AS atas Iraq. Al Duri menyatakan sikapnya tentang pemilu itu dengan perkataan, “Pemilihan itu tidak mempunyai legitimasi karena berdasarkan pada illegal document yang ditulis oleh pasukan pendudukan.” Illegal document yang dimaksud al Duri adalah konstitusi sementara Iraq (TAL – Transitional Administrative Law) yang mulai digunakan resmi sejak 8 Maret 2004. TAL dibuat oleh Noah Feldman, seorang profesor berdarah Yahudi yang bekerja di New York University.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah negara mana lagi yang akan diserang AS setelah Iraq. Apakah Iran, Suriah, Korea Utara, atau Indonesia. Jika serbuan AS itu terjadi lagi, dunia pasti (hanya) berdemo dan memberi kecaman, yang untuk beberapa waktu setelah itu, justru mendukung serbuan itu. Inilah wajah dunia yang sebenarnya pasca Cold War (Perang Dingin): dunia (termasuk PBB) yang memang tidak mampu membendung hasrat imperialis AS.
Tindakan dunia yang tidak memiliki kekuatan sebagaimana apa yang dikatakan oleh al Duri “that was not enough”. Termasuk juga tulisan ini dan Anda yang membacanya.
http://kainsa.wordpress.com/2007/08/17/kasus-irak-refleksi-ambivalensi-dunia/

By kainsa
Rencana Eretz Yisrael
Oleh Wawan Kurniawan
The Promise Land
“Dari Nil ke Eufrat” (Theodor Herzl, Complete Diaries, Vol.II, hal 771)
“Tanah yang Dijanjikan memanjang dari Sungai Nil ke Eufrat. Itu termasuk bagian Suriah dan Lebanon” (Testimoni Rabi Fischmann, anggota Jewish Agency for Palestine, di depan UN Special Committee of Enquiry pada 9 Juli 1947)
Tulisan Saudara Ibnu Burdah tentang “Rencana Strategis Israel” (Republika, 06/10) menarik untuk dicermati lebih jauh. Pencermatan itu diperlukan karena Ibnu Burdah tidak memfokuskan bahasan opininya apa sebenarnya rencana strategis Israel itu. Ibnu Burdah hanya sekadar memberi pengantar: batas final pada 2010.

Rencana Pendek 2010
Istilah yang lebih tepat dan sering dikatakan Ehud Olmert adalah batas permanen (permanent border). Olmert ingin batas permanen Israel selesai pada 2010 (David Makovsky, Olmert’s Bold Stand, USA Today, 19/05). Batas permanen ini diberlakukan hanya di Tepi Barat (West Bank) saja. Sedangkan, Jalur Gaza sudah mempunyai batas permanen karena wilayahnya yang mudah diatur (lihat Gaza Strip Border Crossings, Washington Institute for Near East Policy, 2005).
Ariel Sharon, sebelum terkena stroke, sudah menandaskan ketidaktertarikannya dengan Jalur Gaza. Jika melihat data CIA World Factbook 2005, Jalur Gaza merupakan wilayah sempit (620 km2) dengan penduduk padat (1.376.289 jiwa). Gaza memiliki pertumbuhan populasi 3,77 persen, rata-rata kelahiran 40,3 kelahiran per seribu penduduk, dan tingkat kesuburan 5,91 anak per wanita.
Gaza tidak cocok dengan tuntutan pemenuhan-meminjam istilah Nazi-lebensraum (ruang hidup) bangsa Yahudi di masa mendatang. Oleh karena itu, penarikan mundur tentara Israel dari Gaza pada 12 September 2005 kemarin bukan berdasarkan pada belas kasih atau tekanan internasional melainkan pada satu kenyataan saja: wilayah ini tidak layak untuk diduduki.
Tepi Barat merupakan wilayah dengan “tapal batas irisan” dengan wilayah Israel yang berliku-liku dan banyak kelokan. Ada beberapa bagian tanah Palestina yang menjorok ke wilayah Israel dan sebaliknya. Nah, batas permanen dibangun di atas bagian terluar wilayah Israel yang menjorok itu. Artinya, Israel akan mengakuisi tanah Palestina yang berada di dalam batas permanen itu secara sepihak.
Yang dimaksud tapal batas irisan adalah jalur hijau (Green Line) yang disebut juga sebagai batas wilayah sebelum perang 1967. Jalur hijau inilah yang diminta Hamas jika Israel menyetujui hudnah (gencatan senjata) selama 10 tahun.
Jika dihitung, batas permanen itu merampas 46 persen (2685 km2) wilayah Tepi Barat: 7,4 persen dari perbatasan lama (Green Line 1967), 2,1 persen blok, 8 persen tanah di belakang tembok, dan 28,5 persen Lembah Jordan. Bisa dipastikan batas permanen yang berupa tembok batu solid setinggi 10 kaki itu menusuk jauh ke dalam wilayah Tepi Barat dan mengeratnya menjadi enclave-enclave dengan begitu banyak checkpoint (pos pemeriksaan).
Jika Tembok Berlin sudah lama runtuh dan segregasi rasialis apartheid ala Afrika Selatan sudah lama berakhir, tembok “batas permananen” rasialis kini ada di Palestina.

Mengembangkan Perumahan
Olmert memiliki maksud tersendiri dengan batas permanen itu. Maksud itu berupa: ekspansi perumahan (settlement), mengamankan sumber air, dan mengukuhkan Jerusalem.
Di belakang tembok pembatas itu, Israel terus-menerus memperbesar kawasan pemukiman hingga mengepung Jerusalem Timur. Rencana E-1 (East-1 Plan) berusaha mewujudkan pemukiman Yahudi yang melingkari Jerusalem Timur: Givat Ze’ev di utara, Ma’aleh Adumim di timur, dan Etzion di selatan. Ma’aleh Adumim mencakup 53 km persegi dengan kapasitas mencapai 30 ribu residen.
Pada 1999, ada 177.441 orang Yahudi di Jerusalem Timur dan sekitarnya. Lalu bertambah menjadi 192.176 (2000) dan 203.443 (2001) (Israeli Settlements in the West Bank, Peace Now Settlement Watch, 31/12/01). Belum terhitung pada tahun 2006 ini.
Irosnisnya, dunia internasional (dan dunia Islam) tidak tanggap terhadap perkembangan ini. Sesungguhnya pembangunan pemukiman Israel itu jelas-jelas melanggar Resolusi DK PBB 446 (22 Maret 1979), 452 (20 Juli 1979), 465 (1 Maret 1980), dan 471 (5 Juni 1980). Amerika Serikat sebagai sekutu utama Israel selalu abstain dalam 4 resolusi tersebut.
Transfer orang Israel guna menempati pemukiman itu melanggar Protokol Jenewa Keempat pasal 49. Pasal itu menyatakan: “The Occupying Power shall not deport or transfer parts of its own civilian population into the territory it occupies.” Terlebih lagi, dalam Perjanjian Oslo (13 September 1993) Artikel V “Transitional Period and Permanet Status Negotiations” yang diagung-agungkan oleh Barat dan PLO itu sendiri tidak membahas masalah-masalah krusial seperti status Jerusalem, hak kembali para pengungsi dan pembangunan pemukiman Israel. Lengkap sudah ketidakberdayaan itu.
Menggenggam Jerusalem
Pengembangan perumahan dan transfer penduduk ini mempertegas kenyataan bahwa Israel tidak akan mengembalikan Jerusalam Timur ke Palestina. Israel merampas Jerusalem Timur pada perang 1967. Israel secara resmi menjadikan Jerusalem menjadi ibu kota melalui sebuah UU Dasar (Basic Law)pada 30 Juli 1980. “Jerusalem, complete and united, is the capital of Israel.” Tidak lama setelah itu, tepatnya 20 Agustus 1980, DK PBB mengeluarkan Resolusi 478 yang menentang penjadian ibu kota itu.
“Kota ini adalah kota yang dipilih Tuhan sebagai ibukota bangsa Yahudi. Tidak ada kekuatan di dunia yang bisa mengubahnya,” pesan mesianis Olmert kepada turis-turis Kristen yang datang melalui International Christian Embassy in Jerusalem (ICEJ) (Yedioth Ahronoth, 08/10). ICEJ dibentuk pada 1980-an untuk mendukung Israel.

Politik Air
Air dan nuklir adalah dua penopang utama eksistensi Israel di Timur Tengah. Air adalah sumber daya yang harus dikuasai Israel, bukan minyak. Karena menurut penulis, konflik abadi di Timur Tengah setelah minyak habis (peak) adalah air. “History reveals that water has frequently provided a justification for going to war: It has been an object of military conquest, a source of economic or political strength and both a tool and a target of conflict.” (James R. Lee dan Maren Brooks, Conflict and Environment: Lebanon’s Historic and Modern Nightmare, 1996)
Sebelum perang 1967, Israel hanya menguasai dua sumber air: laut (yang didesalinisasikan) dan Sungai Dan. Tetapi setelah 1967, Israel mendapat tiga sumber tambahan: Lembah Jordan, Sungai Banias (utara Dataran Tinggi Golan), dan Sungai Hasbani.
Sengketa Israel dengan negara-negara tetangga disebabkan oleh pendefinisian batas wilayah yang notabene terdapat (atau dekat dengan) sumber air. Suriah menuntut “penetapan kembali batas 1967″ yang dengan itu memungkinkan Suriah mengakses Sungai Jordan dan Laut Galilee. Konflik air Israel-Jordan diselesaikan di Wadi Araba pada Oktober 1994. Demikian halnya dengan Palestina-Israel (Sharif S Elmusa, The Water Issue and the Palestinian-Israeli Conflict, The Center for Policy Analysis on Palestine, Desember 1993).
Hampir separuh dari air yang digunakan oleh Israel berasal dari pertarungan dan perampasan dengan tetangganya (Thomas R Stauffer, Water and War in the Middle East: The Hydraulic Parameters of Conflict, The Center for Policy Analysis on Palestine, Juli 1996). Dan karena itu, mustahil bagi Israel mau mengembalikan kawasan yang terduduki semisal Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan kepada pemilik aslinya (Isabelle Humphries, Breaching Borders: The Role of Water In The Middle East Conflict, Washington Report on Middle East Affairs, September/Oktober 2006).
Sheeba Farm yang dijadikan Israel sebagai batu loncatan merampas Sungai Litani. Ada dugaan, perang Juli kemarin mengupayakan area Sungai Litani sebagai zona aman dengan membersihkan Hizbullah. Sungai Litani yang mempunyai kemampuan menghasilkan 920 juta meter kubik air bersih kualitas tinggi per tahun hanya berjarak 4 km dari perbatasan Israel.
Israel sudah lama ingin menguasai Sungai Litani (lihat Hussein A Amery, The Litani River of Lebanon, The Geographical Review, July 1993; Arnon Soffer, The Litani River: Fact and Fiction, Middle Eastern Studies, Oktober 1994; Ronald Bleier, Israel’s Appropriation of Arab Water: An Obstacle to Peace, Middle East Labor Bulletin, Spring 1994). Ben Gurion dan Moshe Dayan (Kepala Staf Tentara Israel 1953-1958) berungkali menyarankan penguasaan Sungai Litani.
Bahkan ketika perang 34 hari kemarin telah usai dan pasukan PBB telah tiba, Israel masih mencuri air Lebanon. Sebuah harian terbitan Beirut (Daily Star, 25/09) memberitakan hal tersebut.

Konflik Internal Palestina
Kisruh internal Palestina antara Hamas sebagai pemenang pemilu 25 Januari 2006 dengan Fatah yang telah berkuasa selama sepuluh tahun lebih membawa keuntungan sendiri bagi Israel. Ketiadaan soliditas Palestina membuat Israel bisa menjalankan agenda-agenda besarnya.
Meski dari permukaan luarnya Israel menganggap perseteruan Hamas-Fatah sebagai masalah internal Palestina (Financial Times, 10/6), ada sinyalemen Israel membantu salah satu pihak yang bertikai.
Terbetik kabar, Abbas meminta izin dari Israel untuk memperbesar jumlah pasukan pengawalnya, Force 17, dari 2 ribu menjadi 10 ribu (Ha’aretz, 28/05). Ekspansi pasukan ini mendapat bantuan senjata dari Israel melalui negara ketiga (Ha’aretz, 29/05). Ini menjawab kontroversi klaim Israel yang mengirim senjata ke Palestina (Mail & Guardian, 26/05) meskipun disangkal Fatah.
Lawatan Menlu AS Condoleezza Rice ke Timur Tengah kemarin mampir di Tel Aviv dan juga menemui Abbas. Tak lama sesudah itu, AS memberi bantuan 20 juta dolar kepada Fatah untuk memenangi pertarungannya dengan Hamas (VOA News, 05/10).
Melalui dua organnya yang sering campur tangan di negara-negara berkembang, National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institute (IRI), AS menyalurkan 42 juta dolar guna memperkuat kelompok-kelompok anti pemerintah (Reuters, 14/10).
Bulan-bulan ke depan akan menjadi ujian berat bagi Hamas. Mesir, Qatar, dan Jordan memberi peringatan bahwa Israel mempersiapkan operasi masif ke Jalur Gaza guna membebaskan Gilad Shalit. Bersamaan dengan itu, Fatah bersiap melanjutkan konfontrasinya (Fatah preparing showdown with Hamas, Jerusalem Post, 24/10).

Setali Tiga Uang, Buruh-Kadima-Likud
Kenyataan polarisasi di ranah politik Israel, yaitu kiri (Buruh), tengah (Kadima), dan kanan (Likud) tidaklah merefleksikan polarasasi kebijakan luar negeri. Mereka sama berkonvergen pada pendirian negara Israel di tanah Palestina.
Kadima merupakan sempalan Likud. Sedangkan Likud merupakan pengusung ide-ide nasionalis kaum Zionis Revisionis yang digagas oleh Zeev Jabotinsky. Di kalangan Yahudi, bisa dikatakan Jabotinsky adalah pemikir terbesar setelah Theodore Herzl.
Kaum Revisionis mengklaim daerah antara Sungai Eufrat dan Sungai Nil sebagai tanah Yahudi (Paul Findley, Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the US-Israeli Relationship, 1993). Dua ideolog utama Likud, Menachem Begin dan Yithak Shamir adalah murid langsung Jabotinsky.
Visi Buruh juga sama saja. “Mimpi batas Israel meliputi selatan Lebanon, selatan Suriah, Jordan hari ini, Tepi Barat, dan Sinai” dinyatakan oleh Ben Gurion di pertemuan World Council of Poale Zion (cikal bakal Buruh) 1938. Tokoh Buruh lainnya, Yithak Rabin, semasa menjadi menteri pertahanan (1984-1990) mengeluarkan kebijakan kontroversional “mematahkan lengan dan kaki” para demonstran intifada Palestina yang umumnya adalah anak-anak dan remaja.
Jabotinsky mendirikan Haganah (Defender). Begin dengan Irgun Zvai Leumi (National Military Organization), Shamir dengan Lehi (Lohamei Herut Yisrael/Freedom Fighters of Israel), dan Rabin dengan Palmach (penyerang). Semuanya adalah organisasi paramiliter yang menyokong pendirian negara Israel dengan meneror warga Arab (Cf. J. Boyer Bell, Terror out of Zion: The Irgun, Lehi Stern and the Palestine Underground, 1977).
Jika-mengutif Paul Fenley-Likud adalah nasionalisme mesianis dan Buruh sebagai sekuler pragmatis, Kadima adalah sinkretis keduanya. Hanya dalam waktu 3 bulan semenjak dinyatakan sebagai pemenang pemilu 2006, Kadima sudah berani membuat ulah dengan menginvansi Lebanon.
Olmert (61 tahun) dan menlu sekarang, Tzipi Livni, merupakan Likudites. Shimon Peres (83), wakil PM, awalnya merupakan aktivis kawakan Buruh yang kemudian bergabung dengan Kadima karena ajakan Ariel Sharon. Emir Peretz, ketua Buruh, menjadi menhan dalam kabinet Olmert. Dulunya, Peretz adalah anggota awal gerakan kiri Peace Now.
Jelas, warna Likud lebih dominan daripada Buruh. Olmert dengan sepengetahuan Peres membuat kesepakatan bahwa Livni-lah yang akan menjadi pengganti Olmert bila Olmert tidak dapat bertugas sebagaimana mestinya. Olmert sendiri sudah memberi sinyal akan menggeser ke kanan (New York Sun, 10/10).

Kabar terbaru, partai yang paling kanan (extreme right), Yisrael Beiteinu (Israel Rumah Kita), telah bergabung dengan aliansi Kadima-Buruh sejak 23 Oktober kemarin.

Sebelas kursi Yisrael Beiteinu menyebabkan kursi total pendukung Olmert menjadi 80 atau dua pertiga parlemen.
Sang pemimpin partai fasis ini, Avigdor Lieberman, mendapat kursi baru s”Kementerian Ancaman Strategis” yang khusus merespon perilaku Iran. Sebenarnya, Lieberman adalah politisi hasil kaderisasi Netanyahu. Dia sempat menjadi orang penting Likud pada 1993-1996.
Lieberman adalah otak penentu kesuksesan Netanyahu pada kampanye 1996. Sharon memuji Lieberman sebagai menteri yang paling kapabel dalam kabinet 2001 dan 2003 (Scotsman, 10/23). Bisa dikatakan, Lieberman adalah “bayangan” Netanyahu dengan tipikal khusus: banyak bicara.
Sebuah poling yang dipublikasi harian terkemuka Israel Yedioth Ahronoth (21/10) mendudukkan Lieberman sebagai orang kedua yang pantas menjadi PM Israel mendatang setelah Netanyahu. Oleh karena itu, Lieberman dan Livni (keduanya sama-sama berumur 48 tahun) merefleksikan bagaimana Israel di masa depan.
Memang benar kelahiran Kadima mengguncangkan konstelasi politik Israel tetapi tidak untuk Timur Tengah. Pada dasarnya, Kadima adalah wajah lain Likud dan Buruh. Harapan besar yang digantungkan oleh media massa Barat kepada Kadima adalah propaganda absurd yang menyesatkan.
Pembangunan batas permanen, perluasan pemukiman, pengepungan Jerusalem, dan pencurian air memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Semua itu berjalan mulus dan lancar karena terselubungi oleh masalah-masalah yang sebenarnya tidak signifikan. Masalah-masalah yang direkayasa oleh Israel untuk mengalihkan perhatian dunia internasional dari apa yang sebenarnya terjadi.
Tahun 2010 hanyalah rencana transisi saja. Visi Israel yang sebenarnya adalah seperti gambar bendera nasionalnya: bintang David di antara garis biru atas dan bawah. Hal itu berarti men-Zionis-kan wilayah-wilayah di antara Sungai Nil dan Eufrat. Itulah Eretz Yisrael (Israel Raya).
http://kainsa.wordpress.com/rencana-eretz-yisrael/



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar