Jumat, 21 Januari 2011

Kebohongan adalah Penistaan akan nilai2 luhur dan nilai2 Nurani Kemanusiaan. Hanya permainan dusta para Penguasa yang selalu membalik-balikan fakta dan kebohongan dengan seni politik para Liberalis dan Kaum Vested dan berjiwakan karakter Manipulatif. Inilah Fakta Yang tak terbantahkan dengan sangat kasat mata mengenai adanya "Ilmu dan Faham Kebohongan" menjadi Azas Kebenaran Bagi para Penganutnya. Dan itu terjadi pada kelaziman di Dunia Liberalis yang selalu dipuja-puja oleh kaum penganut pembenaran berdasarkan hawa nafsu [Sekuler]. Bagaimana keras dan arogannya respons Menteri Fadel Muhammad di TV yang menuduh Tokoh agama itu bermain politik dan antagonis. Sekalipun seumpamanya memang harus menggunakan jalan politik, asalkan untuk Kebenaran adalah tidak salah. Memangnya kenapa main politik untuk menegakan Kebenaran yang sejati. Apakah Politik hanya untuk para Liberalis saja yang menganut Ilmu Kebohongan dan pintar bermain seni manipulatif?? Ini adalah sikap dari para Pemimpin yang menggunakan penglihatan dan faham Kebutaan hati dan engkar terhadap fakta, bahwa dengan kasat mata Rakyat sudah sangat susah menghadapi hidup dan megap2 hidupnya dengan keadaan perekonomian rakyat dimana Bahan Makanan Pokok yang sangat mahal2 dan Kemiskinan yang sangat meluas di tingkat masyakat kelas bawah..... Mereka bukannya terima kasih sudah diingatkan dan ditunjukkan Kelalaiannya akan janji2nya sebagai pemimpin dan atas nama kepercayaan rakyat. Tetapi malahan membalikan dengan Kemarahan dan anti terhadap Tokoh2 Agama itu. Hayyooo... bukti apa lgi yang Sdr2 dan pembaca lihat dengan mata hati yang bening....

Kamis, 20/01/2011 12:13 WIB
Dialog Kebohongan Presiden(1)
Membalik Daftar Kebohongan Jadi Daftar Kebenaran 
Didik Supriyanto - detikNews http://www.detiknews.com/read/2011/01/20/163514/1550859/159/teror-ala-gadis-tak-bisa-bungkam-agamawan?nd991103605


<p>Your browser does not support iframes.</p>

Jakarta - Selama periode pertama kekuasaan SBY, keluhan yang sering disampaikan oleh beberapa agamawan adalah betapa sulit menemuinya. Padahal mereka ingin bertemu Presiden sekadar untuk menyampaikan masalah-masalah yang dihadapi umatnya. Mereka ingin menyampaikan masukan demi kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan minta bantuan.

Kalau para agamawan itu mengeluh gara-gara sulit bertemu Presiden, bukan berarti mereka minta diperhatikan apalagi dikasihani. Mereka sekadar menunjukkan perasaan saja: ada perbedaan perlakukan dari SBY jika dibandingkan dengan Habibie, Gus Dur dan Megawati; ketiganya responsif atas permintaan agamawan untuk bertemu dan bertukar pikiran, mengapa SBY tidak? Itu saja.

Bagi agamawan tidak bertemu Presiden, bukanlah masalah. Sebab status mereka tidak ditentukan oleh Presiden atau pemerintah. Jika mereka ingin bertemu, sebetulnya mereka ingin mendapatkan kepastian dari pemerintah bahwa negara meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan keadilan bagi warga negara, negara menjamin hak-hak dasar warga negara: beribadah, berserikat, serta berekspresi.

Hal itu dilakukan karena setiap hari para agamawan mendengar langsung keluhan dari umatnya, menyaksikan sendiri masalah-masalah yang dihadapi umatnya. Dan umat mereka tidak lain adalah warga negara, sehingga logis saja kalau para agamawan itu menyampaikannya ke Presiden, baik selaku kepala negara maupun kepala pemerintahan.

Tetapi jika Presiden tidak sudi mendengarkan, ya tidak apa. Mereka tidak mempunyai daya paksa, mereka tidak mempunyai posisi tawar politik maupun ekonomi. Mereka pun juga tidak mungkin menggerakkan umat untuk berdemonstrasi di Istana.

Oleh karena itu, ketika SBY memasuki masa kekuasaan yang kedua, tidak lagi muncul keluhan para agamawan hanya karena surat permohonanya untuk bertemu tidak dijawab. Bahkan mereka juga tidak lagi pernah mengajukan permohonan untuk bertemu.

Para agamawan seakan menyadari, bahwa Presiden sangat sibuk sehingga waktu 24 jam pun tidak cukup untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan penting. Presiden harus berhati-hati dalam mengambil keputusan, sehingga membutuhkan waktu banyak untuk berpikir dan menimbang-nimbang sendiri semua keputusan.

Presiden perlu membuat keputusan yang rasional sehingga tidak boleh diganggu oleh keluhan umat dan pesan-pesan moral yang disampaikan agamawan. Toh, soal masalah rakyat presiden sudah paham, apalagi soal pesan-pesan moral.

Para agamawan sudah terbiasa dengan "gaya politik" SBY dalam menghadapi agamawan. Dari cara SBY menghadapi masalah-masalah kebangsaan, mereka juga tahu, sebenarnya tiada guna juga bertemu. Apa artinya bertemu, berdiskusi kalau tidak ada solusi dan implementasi?

Oleh karena itu, sebuah keterjutan yang luar biasa bagi para agamawan, ketika sejumlah menteri bereaksi keras sekaligus negatif atas apa yang dinyatakan oleh para agamawan. Mereka seakan kebakaran jenggot terhadap apa yang disebut agamawan sebagai 18 kebohongan penguasa.

Padahal ke 18 kebohongan itu sudah sudah bukan rahasia lagi bagi sebagian rakyat Indonesia yang terbiasa mendapatkan informasi dari televisi, radio, majalah, koran, dan internet. Tetapi kenapa ketika ke-18 kebohongan itu diungkapkan agamawan, Presiden dan anak buahnya bereaksi keras.

Apakah reaksi keras itu bisa menghapus catatan para agamawan tentang 18 kebohongan penguasa? Apakah undangan dialog yang menjadi monolog di Istana bisa membalikkan daftar kebohongan menjadi daftar kebenaran?

(diks/iy)
Dialog Kebohongan Presiden (2)
Positif, Agamawan Kecewa dengan Dialog Presiden 

Deden Gunawan - detikNews

<p>Your browser does not support iframes.</p>

Jakarta - Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Andreas Yewangoe kaget begitu sampai di Istana Negara. Selasa (18/1/2011) malam itu, Andreas mendapat undangan ke istana setelah memanasnya berita soal daftar kebohongan pemerintahan SBY. Andreas termasuk salah satu tokoh lintas agama yang menandatangani dan menyerukan gerakan antikebohongan.

Andreas tidak menyangka bila pertemuan dengan presiden dihadiri oleh sekitar 100 orang. Presiden didampingi dengan begitu banyak menteri dan berbagai kalangan. "Terus terang kami agak kaget, dengan begitu banyak menteri banyak yang hadir dan begitu luas. Sehingga kami berpendapat, kalau begini luas pertemuannya, tidak efektik nantinya," kata Andreas kepada detikcom.

Pada 10 Januari, Andreas bersama tokoh lintas agama lainnya yakni antara lain Syafii Maarif, Din Syamsuddin, Mgr MD Situmorang, Pendeta Andreas A Yewangoe, Bhikku Sri Pannyavaro, Nyoman Udayana Sangging, KH Salahudin Wahid, Franz Magnis
Suseno, dan Djohan Effendi menggelar pertemuan untuk membahas kondisi bangsa.

Pertemuan yang juga diikuti oleh badan pekerja itu menghasilkan draf tentang 18 kebohongan pemerintah. Kebohongan tersebut terbagi dalam sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru. Kebohongan itu antara lain mengenai masalah angka kemiskinan yang semakin meningkat, kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi, ketahanan pangan dan energi yang gagal total, anggaran pendidikan yang terus menurun, pemberantasan teroris yang belum maksimal, penegakan HAM yang tidak ada tindak lanjut hukumnya, kasus Lapindo yang penyelesaiannya belum jelas, kasus Newmont, freeport, sampai masalah Bank Centuri dan Gayus Tambunan.

Draf itu kemudian muncul di media massa dan membuat panas istana. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan, pemerintah tidak pernah berbohong kepada rakyat tentang prestasi yang telah dicapai. Presiden SBY kemudian juga mengundang para tokoh agama untuk melakukan dialog.

Dialog pun digelar Selasa malam itu. Sejumlah wartawan dan juga tentunya televisi meliput penuh acara itu. Dua stasiun TV bahkan live malam itu. Pertemuan dibuka dengan makan malam bersama presiden. Lalu Presiden memulai pidatonya yang lamanya mungkin sekitar 7 menitan. Isi pidato antara lain senang dengan adanya pertemuan tersebut dan meminta saling membuka diri dan lain sebagainya.

Setelah pidato SBY, tokoh lintas agama dipersilakan untuk mengungkapkan persoalan dan diberi ruang untuk tanya jawab. Namun saat Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin akan menyampaikan pernyataannya, para wartawan diminta keluar. Bahkan wartawan tidak hanya disuruh keluar dari aula, tapi juga dari gedung Istana Negara.

"Kami minta kepada Pak Din untuk meminta kepada Presiden supaya percakapan ini bersifat terbuka dan live di media massa, khususnya televisi. Tetapi Presiden menjawab, kalau saya tak salah ingat, memang sebaiknya tak begitu, sebab nanti tanggapan di masyarakat bisa beranekaragam," jelas Andreas.

Pertemuan berakhir sekitar pukul 01.00 WIB dini hari. Keluar dari istana para tokoh agama memendam kekecewaan. Andreas misalnya menilai pertemuan dengan SBY malam itu tidak menyentuh subtansi permasalahan. "Waktunya sedikit sehigga tidak bisa mendalam ke dalam masalah yang substansial, itu seperti basa-basi saja dengan presiden," kata Andreas.

Din Syamsudi merasa diperlakukan tidak adil karena hanya pidato presiden yang boleh diliput oleh media massa. Din juga merasa kecewa karena SBY tidak memerintahkan agar penanganan kasus Gayus Tambunan diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal SBY dinilai punya kewenangan untuk memeritahkan itu.

"Presiden bilang masalah Gayus sudah ditangani Polri dan KPK. Seharusya KPK yang diperintahkan untuk menseriusi penanganan kasus Gayus. Kalau Polri kan kita sudah bisa lihat hasilnya," ujar Din.

Pujian pada SBY malam itu hanya diberikan oleh Ketua Walubi Hartati Murdaya.Menurut Hartati, pertemuan berjalan dengan sejuk. Hartati pun memuji Presiden SBY atas kinerjanya selama ini. "Soal kemiskinan, negara maju juga banyak kemiskinannya kan. Untuk mengatakan kebohongan, itu berlebihan," kata Hartati.

Sejatinya pertemuan tersebut merupakan agenda SBY yang sangat penting. Staf khusus presiden Daniel Sparinga menyatakan, SBY bahkan menghapus sejumlah agenda hanya untuk bertemu dengan tokoh agama malam itu. Tapi apa boleh buat pertemuan itu dinilai sia-sia saja. Bagi Syafii Maarif tidak perlu digelar pertemuan lanjutan karena pemerintah tidak pernah serius menanggapi kritik publik.

Pengamat politik Burhauddin Muhtadi saat dihubungi detikcom menyatakan, masih adanya rasa kecewa sejumlah tokoh lintas agama pasca dialog sangat positif. Sebab jika para tokoh agama hanya manut saja dengan kebijakan dan kinerja penguasa akan berbahaya. Nanti ketika ada kebijakan yang merugikan rakyat akhirnya yang terjadi kekacauan. Sebab bahasa rakyat kan berbeda dengan dengan tokoh-tokoh di masyarakat.

"Kalau bahasa rakyat kan cederung panas karena menyedot aksi massa. Kalau para tokoh yang datang untuk protes suasananya lebih kondusif karena para tokoh agama lebih mengutamakan musyawarah,"  jelasnya.

Namun sekalipun tanpa aksi massa, kata Muhtadi, kritikan para tokoh agama tersebut membuat pemerintahan SBY sangat terpukul. Sebab dengan menyebutkan pemerintah melakukan 18 kebohongan sudah merupakan tonjokan yang sangat keras.

"Kalau LSM atau pengamat politik yang kritik mungkin SBY tidak akan terganggu. Tapi kalau yang kritik para tokoh agama tentu pemeritah merasa dipukul secara telak," kata Burhanudin.

Sementara itu, setelah dialog dengan presiden mengecewakan, tokoh lintas agama dan pemuda makin solid menggalang gerakan antikebohongan. Maarif Institute yang terletak di Jalan Tebet Dalam Barat, Jakarta Selatan, dijadikan Pusat Rumah Pengaduan Kebohongan Publik (RPKB). Rumah ini untuk menampung aspirasi masyarakat yang merasa dibohongi pemerintah atau pejabat publik.

Koordinator Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan Kebohongan, Chalid Muhammad, mengatakan, RPKB akan dijadikan tempat untuk menganalisis apakah data-data kebohongan yang dilansir atau diadukan pada masyarakat sebuah kebohongan atau tidak.

Saat ini, ujar Chalid, sudah ada 18 RPKB di Jakarta. Dan kemugkinan akan berdiri juga di sejumlah daerah, Surabaya, Semarang, Bandung, NTT, Kalsel dan daerah lainya. Nantinya seluruh pengaduan yang mampir ke sejumlah RKPB di sejumlah daerah tersebut akan dikirim ke Maarif Institute untuk dianalisa.

"Gerakan ini sangat ditentukan oleh sejauh mana respons dari pemerintah. Mudah-mudahan pemerintah bisa menjawab secara subtansial pengaduan-pengaduan dari masyarakat yang merasa dibohongi oleh pemerintah," terang Chalid.
Dialog Kebohongan Presiden (3)
Legitimasi Moral Hilang, Ditiup Angin Saja SBY Jatuh 
Iin Yumiyanti,Deden Gunawan - detikNews


Jakarta - Istana kembali bergeming dengan tudingan melakukan kebohongan publik. Setelah melakukan dialog dengan tokoh agama, istana bahkan makin yakin para agamawan itu tidak pernah menyebut pemerintah SBY berbohong. Para tokoh agama itu, katanya, hanya ingin lebih sering berkomunikasi dengan presiden.

Staf khusus Presiden Bidang Informasi Heru Lelono, menyatakan dalam  dialog yang dilakukan antara SBY dan sejumlah tokoh agama terungkap, tidak ada peryataan kebohongan dari tokoh-tokoh itu. "Romo Magnis Suseno mengataka dirinya tidak menyatakan pemerintah bohong kepada siapapun. Jadi ini harus diklarifikasi," tegas Heru.

Menurut Heru, dalam dialog itu intinya para tokoh lintas agama berharap bisa sering berkomunikasi dengan presiden. Kritikan yang disampaikan mereka, kata Lelono, memang selama ini juga menjadi program inti pemerintah. "Jadi sebuah dialog seburuk apapun selalu ada hal yang penting dan berhikmah. Dan pemerintah akan terus bekerja dengan memanfaatkan hikmah segala kritik tersebut," kata Heru.

Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Andreas Yewangoe menuturkan munculnya istilah kebohongan publik memang bukan berasal dari kaum agamawan langsung, melainkan dari Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama yang terdiri dari orang-orang muda dan aktivis. Draf 18 kebohongan yang beredar itu sebenarnya masih mentah. Namun tokoh agama setuju isi pernyataan 18 kebohongan itu. "Ditekankan para tokoh agama bahwa secara substantif kita sepakat, yaitu memang ada hal-hal yang tidak cocok di antara yang dijanjikan dengan yang ada di masyarakat," kata Andreas.

Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi juga sepakat pemerintah melakukan kebohongan publik. Ia mencontohkan, aroma rekayasa dalam penanganan kasus hukum di Indonesia bukan masalah baru. Muzadi menyebut, kasus Lapindo, Century, dan Gayus berujung pada rekayasa untuk pencitraan.

Istana diingatkan tidak agar tidak menganggap enteng kritikan dari kaum agamawan tersebut.Tudingan bohong yang dilontarkan agamawan tidak bisa hanya dijawab dengan menggelar dialog dengan para tokoh agama itu saja. Menurut Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Anis Matta, SBY seringkali hanya 'memamerkan' telah rapat ini dan itu. Padahal, yang paling penting menurut politisi asal Makassar ini adalah hasil yang telah didapatkan. "SBY hanya memperlihatkan tontonan rapat saja, orang sekarang mengharap hasilnya bukan proses, bukan rapat," kata Anis.

Pernyataan kebohongan SBY oleh agamawan semestinya diwaspadai sebagai hilangnya legitimasi moral SBY. Pemerintahan bisa tetap bertahan karena memiliki legitimasi moral dan legitimasi politik. Legitimasi moral diberikan oleh agamawan. Politik oleh partai politik. Dengan agamawan menyatakan pemerintah berbohong sama artinya agamawan telah mencabut legitimasi moral SBY.

Kata Fajroel. sikap tokoh lintas agama sesuatu yang sangat mengejutkan. Sebab agamawan itu dalam pewayangan kan kelompok brahmana. Kalau mereka tak percaya pada pemerintah, itu artinya pemerintah sudah habis.

"Dengan sekarang legitimasi moral pemerintah SBY dicabut oleh kalangan agamawan, artinya dia hanya mengandalkan diri dari kekuatan politik saja tanpa legitimasi moral, ini ditiup angin bisa jatuh," kata pengamat politik yang juga mantan aktivis 1980-an Fadjroel Rachman.

Soal eksistensi tokoh lintas agama itu juga dianggap Fajroel sudah mewakili kelompok agama yang ada di Indonesia. Para tokoh itu sudah mempresentasikan sejumlah kelompok agama yang ada di Indonesia. Jadi pernyataan tokoh lintas agama tersebut dianggap sebagai hukuman moral terhadap kekuatan politik.

Fajroel kemudian mewanti-wanti pemerintah kalau gerakan tokoh lintas agama ini bisa berujung pada penjatuhan. Ini juga terjadi pada Soeharto, saat itu legitimasi moral hilang dengan munculnya ketidakpercayaan dari masyarakat.

"Kasus SBY ini lebih berat daripada kasus Soeharto. Zaman Soeharto tak ada kelompok agama yang menyatakan seperti itu, rezim Soeharto tak dinyatakan para ulama atau pendeta sebagai rezim pembohong,"  ujarnya.

Fajroel memprediksi, dengan kondisi ini akan menjadi kekuatan bagi simpul-simpul massa untuk turun ke jalan. Hanya saja untuk pengerahan massa seperti pada aksi 1998, saat ini belum terlihat. Karena untuk gerakan sangat besar dibutuhkan momentum ekonomi. Sebab keruntuhan rezim Soeharto selain tidak ada kepercayaan masyarakat, kondisi ekonomi negara saat itu sedang terpuruk sehingga bisa membangkitkan emosi masyarakat.

Berbeda dengan Fajroel, aktivis pemuda Haris Rusli Motti melihat, kegusaran sejumlah tokoh agama ini justru bisa menjadi momentum untuk melakukan gerakan untuk mendesak SBY-Boediono mundur.

Kalau pada 1998 mahasiswa yang jadi martir, ujar Haris, sekarang tokoh agama yang siap mejadi martir. Jadi gerakan tokoh senior ini merupakan kekuatan besar bagi aksi untuk mendesak SBY-Boediono mundur. Karena mereka sudah tidak memiliki
kepercayaan publik.

Haris megatakan, hilangnya kepercayaan masyarakat tersebut bukan hanya dari sisi moral. Sebab hampir semua simpul masyarakat sudah tidak percaya kepada pemerintahan SBY. Ia mencotohkan, para purnawirawan menganggap SBY tidak bisa menjaga ideologi, para guru merasa kurang dapat perhatian, begitupun dengan pelaku usaha. Jadi ketidakpercayaan ini membuktikan kalau pemerintahan SBY selama 6 tahun 100 hari tidak bisa dipercaya.

Koordinator petisi 28 ini juga mengatakan, sejumlah elemen pemuda kampung dan kampus berencana akan melakukan aksi besar-besaran pada 28 Januari mendatang. Aksi yang akan dilakukan di depan istana dan sejumlah daerah ini juga akan
diwarnai dengan pembakaran foto-foto SBY-Boediono.

Adapun isu yang akan diusung, selain soal masalah pangan dan kemiskinan, masalah penegakan hukum juga akan dijadikan amunisi aksi demo tersebut. Misalnya soal Gayus dan Century. "Saat ini kami sedang melakukan konsolidasi dengan simpul-simpul massa yang lain. Kita akan mendesak SBY mundur. Karena selama 6 tahun 100 hari berkuasa tidak mampu menunjukan keberhasilan," pungkasnya.
(ddg/iy)
Dialog Kebohongan Presiden(4)
Teror Ala Gadis Tak Bisa Bungkam Agamawan 
M. Rizal - detikNews



Jakarta - Din Syamsudin kini harus menghadapi teror Gadis. Si Gadis ini bukan perempuan manis, ia adalah kelompok yang tidak suka dengan ketua umum PP Muhammadiyah itu. Gadis merupakan singkatan dari Gerakan Anti Din Syamsuddin.

Teror Gadis ini terjadi setelah Din bersama Tokoh Lintas Agama dan Pemuda mengritik keras pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pak presiden dan para pembantunya disebut melakukan 18 kebohongan yang terdiri dari sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru.

Gadis mengamuk dan memaki-maki Din dengan memasang 100 spanduk di sejumlah ruas jalan protokol ibukota. Spanduk antara lain terlihat di kawasan Blok M, Senayan, Pancoran, Gatot Subroto, Sudirman, Slipi, Thamrin, Monas, Senen dan Cilandak. Isi spanduk menghujat Din antara lain berbunyi "Din Syamsuddin Segeralah Bertaubat, Kembali Ke Jalan yang benar", "Kami Sudah Muak Dengan Povokasi Din Syamsuddin" dan "Din Provokator Berkedok Tokoh Agama/Intelektual".

Menghadapi teror Gadis, Din santai saja. Menurutnya gerakan tandiangan atas Gerakan Anti Kebohongan tidak perlu ditanggapi. "Saya pikir ini tidak perlu ditanggapi. Kalau ada seperti itu, saya bersyukur. Karena semakin banyak seperti itu akan semakin banyak pahala kepada saya karena saya dihujat," ujar Din.

Para tokoh agama yang mengkritik SBY juga tidak akan takut dengan aksi-aksi teror setelah mereka mengungkap kebohongan pemerintah. Gerakan Anti Kebohongan merupakan gerakan moral dan sudah ada sejak dulu serta tidak akan berhenti. "Saya tegaskan tokoh yang bergabung adalah agamawan yang merdeka. Saya hanya takut pada Tuhan masing-masing. Tidak bisa dikooptasi, " tegas Din.

Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Pendeta Andreas Yewangoe juga menyatakan tidak khawatir akan mendapat masalah setelah membuat marah pemerintah. Hingga kini, Andreas mengaku belum mendapatkan teror ataupun tekanan. Namun bila pun ada tekanan terhadap dirinya, Andreas akan menganggapnya sebagai risiko saja. "Namun sampai sekarang belum ada seperti itu," kata Andreas.

Selain harus menghadapi hujatan ataupun ancaman, para tokoh agama juga diragukan kemurnian kritiknya. Para agamawan semestinya menyoroti masalah agama saja, tidak usah menyerempet masalah politik. Menanggapi hal itu, Andreas menyatakan, agamawan tidak akan turun tangan mengurusi masalah negara bila elit politik masih berfungsi secara normal. Tapi masalahnya sekarang yang terjadi DPR dan partai politik ribut sendiri untuk kepentingannya masing-masing.

Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim MUzadi juga menyatakan tidak masalah agamawan mengkritisi pemerintah karena posisi tokoh agamawan sebenarnya adalah penjaga moral bangsa. "Boleh saja berbicara politik, ekonomi, hukum, pendidikan, budaya, ketahanan, keamanan dalam rangka moral, bukan ingin mengambil kedudukan kekuasaan. Biasanya tokoh agama akan tampil, ketika tokoh politik turun pamornya," kata Hasyim.

Ahli filsafat politik Rocky Gerung menilai para agamawan yang menyebut SBY berbohong masih murni dan masih dalam posisinya sebagai agamawan. Kritik soal kebohongan tersebut sebenarnya merupakan hal yang biasa dan sudah sering disuarakan oleh pihak lain seperti aktivis atau pengamat. Namun karena yang menyuarakan agamawan kritik tersebut lebih terdengar. Kritik itu memiliki muatan politis karena menyentuh presiden maka dimensi politik pun masuk.

"Saya lihat masih murni. Posisi ideal kaum agamawan itu bukan di masjid atau di gereja tapi di dalam rumah rakyat. Tugas kemanusiaan ya di tengah manusia bukan di dalam forum agama. Yang diucapkan agamawan itu yang ideal dalam posisi dia untuk membahasakan apa yang dianggap sebagai hal-hal kemanusiaan," cetus dosen Universitas Indonesia (UI) tersebut.

Tak Berubah Setelah Keluar Istana

Muncul juga tudingan para tokoh agama punya pamrih mengritik SBY. Terlebih setelah kritik keluar, Din mengirim SMS ke Presiden SBY meminta untuk bertemu. Dan para tokoh agamawan itu pun kemudian ramai-ramai masuk istana, bertemu dengan pihak yang disebut berbohong itu. Banyak pihak yang menyayangkan sikap agamawan ini.

"Din Syamsudin itu keliru, mengirim SMS minta ketemu. Saya tidak tahu apa motif dia. Agamawan itu kan idealnya ibarat brahmana, kalau dia menilai ada yang gawat darurat, dia akan keluar biara untuk menyampaikan kepeduliannya, setelah itu kembali ke biara, tidak perlu sampai masuk istana," kata pengamat politik yang juga mantan aktivis 1980-an Fadjroel Rahman.

Namun Andreas meyakinkan pihaknya tidak memiliki pamrih kecuali mengingatkan pemerintah tentang kondisi bangsa yang sudah sangat mengkhawatirkan. "Kami yakin apa yang kami lakukan itu tidak ada pretensi apapun, kecuali untuk mengingatkan," kata Andreas.

Rocky Gerung juga tidak sependapat dengan penilaian Fadjroel. Bagi Rocky, di masyarakat terbuka tak ada lagi yang namanya sekat kalau agamawan harus tinggal di biara, masjid atau gereja dan tidak boleh ke istana. Istana idealnya juga menjadi milik publik yang terbuka bagi warga negara dan tidak haram dimasuki kaum agamawan. Menurut Rocky, tidak perlu diperumit mengenai agamawan masuk istana atau tidak. Yang terpenting adalah subtansi persoalan yang sudah dikemukakan oleh para penjaga moral tersebut.

"Soal agamawan masuk istana atau bukan itu bukan persoalan yang ada. Persoalan yang ada adalah dibutuhkannya ketegasan dan kejernihan hati nurani untuk memperlihatkan yang tidak terselenggara di negara," tegas Rocky.

Boleh-boleh saja agamawan masuk istana untuk mengkomunikasikan pesan yang sudah disampaikan. Masyarakat tinggal melihat bagaimana sikap mereka setelah pertemuan di istana tersebut. "Kan yang terpenting setelah keluar dari istana sikapnya tidak berubah," cetus Rocky.

Rocky dan Fadjroel juga mengimbau pemerintah SBY dan para pendukungnya juga tidak perlu berlebihan menghadapi kritik agamawan. Kritikan soal kebohongan itu sebaiknya diterima saja sebagai kritik dan tidak perlu ditafrsirkan lebih jauh sebagai gerakan pemakzulan. Bila pun ingin membantah, lakukan bantahan dengan langkah-langkah yang faktual yang bisa dilihat langsung oleh rakyat.

"Ini soal mengembalikan legitimasi motal, yang paling gampang ikuti saja pernyataan 9 kebohongan yang dilontarkan kalangan agamawan dan langsung jawab. Kalau disebut bohong dalam kasus Gayus, langsung jawab dengan menangkap 149 penyuap Gayus. Ini data empiris harus dijawab dengan empiris," jelas Fadjroel.
(zal/iy)


Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar