The Power of A Smile; Kisah Hidup Nenek Aminah di Masjid Attaqwa
REP | 18 October 2013 | 21:15
Nenek
Aminah, demikian Ia sering disapa. Setelah pensiun dari BAPPEDA
Propinsi
Sultra, bersama suaminya, Ia memilih menetap di pondok kecil samping Masjid
At-Taqwa Sodohoa. Baginya, merawat rumah Tuhan dan membuat nyaman para jamaah
tidak saja untuk mendapat tambahan pahala. Tapi sebagai cara terbaik menjalani sisa usia.
Ia tidak saja membersihkan masjid dua lantai atau mencuci mukenah dan sajadah-sajadah,
tetapi juga memastikan ketersediaan air wudhu dan air di kamar kecil. Selain itu, Nenek
Aminah juga menanam dan merawat ragam bunga. “Biar masjid kita semakin indah,”
kataya. Di Kendari bahkan di seluruh Sulawesi Tenggara, sosok seperti Nenek
Aminah bisa dihitung jari. Kalaupun ada, masa pengabdian mereka terhadap masjid
sulit menyamai sang nenek.
Sultra, bersama suaminya, Ia memilih menetap di pondok kecil samping Masjid
At-Taqwa Sodohoa. Baginya, merawat rumah Tuhan dan membuat nyaman para jamaah
tidak saja untuk mendapat tambahan pahala. Tapi sebagai cara terbaik menjalani sisa usia.
Ia tidak saja membersihkan masjid dua lantai atau mencuci mukenah dan sajadah-sajadah,
tetapi juga memastikan ketersediaan air wudhu dan air di kamar kecil. Selain itu, Nenek
Aminah juga menanam dan merawat ragam bunga. “Biar masjid kita semakin indah,”
kataya. Di Kendari bahkan di seluruh Sulawesi Tenggara, sosok seperti Nenek
Aminah bisa dihitung jari. Kalaupun ada, masa pengabdian mereka terhadap masjid
sulit menyamai sang nenek.
Di
suatu sore, kira-kira 10 tahun silam, saya pernah bertanya, “Nek,
sampai kapan
mau ngurusin masjid?” Ia tak langsung menjawab saya, tapi tersenyum lebih dulu. Ciri
khas ini yang Ia tularkan kepada kami, remaja masjid, untuk selalu membiasakan tersenyum
kepada siapa saja dan pada situasi apapun. Saya lalu melabeli ciri ini dengan sebutan,
the power of a smile. Siapa saja yang mengerti dan memahami kekuatan ini, maka
Insya Allah wajahnya akan selalu tampak riang, bening, dan cerah. Hatinya akan terasa
lebih damai. Langkahpun terasa ringan. Bagi orang sekitar, tak lebay lah bila mereka
berujar, “Saya nyaman berada di samping setiap orang yang tersenyum.”
mau ngurusin masjid?” Ia tak langsung menjawab saya, tapi tersenyum lebih dulu. Ciri
khas ini yang Ia tularkan kepada kami, remaja masjid, untuk selalu membiasakan tersenyum
kepada siapa saja dan pada situasi apapun. Saya lalu melabeli ciri ini dengan sebutan,
the power of a smile. Siapa saja yang mengerti dan memahami kekuatan ini, maka
Insya Allah wajahnya akan selalu tampak riang, bening, dan cerah. Hatinya akan terasa
lebih damai. Langkahpun terasa ringan. Bagi orang sekitar, tak lebay lah bila mereka
berujar, “Saya nyaman berada di samping setiap orang yang tersenyum.”
Pernah
saya mencoba menghitung matematis pendapatan sang Nenek per bulan.
Pendapatannya bersumber dari gaji pensiun PNS golongan rendah, dana kemakmuran
masjid, dan dari anak-cucunya serta para jamaah. Sumbernya lumayan banyak, tapi
jangan tanya tentang jumlahnya; sedikit dan tidak menentu. Tapi subhanallah, dengan
jumlah matematis seperti itu, selama tiga tahun kami bersama sang Nenek di masjid, tak
pernah sekalipun Ia menunjukkan wajah masam. Tak ada raut kesusahan, tak pernah
ada kata, “Nak Amar, dapur tak berasap dulu hari ini”. Yang ada adalah kata, “Nak,
harta itu bukan soal jumlah, tapi berkah. Meski kita kurang harta, mari tetap member.”
Masya Allah!!!
Pendapatannya bersumber dari gaji pensiun PNS golongan rendah, dana kemakmuran
masjid, dan dari anak-cucunya serta para jamaah. Sumbernya lumayan banyak, tapi
jangan tanya tentang jumlahnya; sedikit dan tidak menentu. Tapi subhanallah, dengan
jumlah matematis seperti itu, selama tiga tahun kami bersama sang Nenek di masjid, tak
pernah sekalipun Ia menunjukkan wajah masam. Tak ada raut kesusahan, tak pernah
ada kata, “Nak Amar, dapur tak berasap dulu hari ini”. Yang ada adalah kata, “Nak,
harta itu bukan soal jumlah, tapi berkah. Meski kita kurang harta, mari tetap member.”
Masya Allah!!!
“Nenek
akan meninggalkan masjid ini bila Saya dipanggil pulang oleh Gusti
Allah, Nak.
Suami Nenek sebelum meninggal berpesan untuk tidak meninggalkan rumah tuhan ini
sebelum Nenek juga menyusul suami”. Again, Sang Nenek mengajarkan kami tentang
keteguhan sikap dalam menjaga amanah dan kesetiaan seorang istri kepada suami. Wahai
para istri, masihkan kalian meminta ijin kepada suami sebelum keluar rumah? Mengapa masih
berani berdusta dan khianat atas nama kebebasan berekspresi, di luar rumah?
Suami Nenek sebelum meninggal berpesan untuk tidak meninggalkan rumah tuhan ini
sebelum Nenek juga menyusul suami”. Again, Sang Nenek mengajarkan kami tentang
keteguhan sikap dalam menjaga amanah dan kesetiaan seorang istri kepada suami. Wahai
para istri, masihkan kalian meminta ijin kepada suami sebelum keluar rumah? Mengapa masih
berani berdusta dan khianat atas nama kebebasan berekspresi, di luar rumah?
Waktu
terus berlalu. Kira-kira di awal 2008 Masjid diperluas, kian dibuat
anggun. Pondok
Nenek Aminah terpaksa dirobohkan. Tapi alhamdulilah, pengurus masjid mengizinkan
Nenek menempati satu ruangan kecil di antara tempat wudhu dan menara masjid. Bakti
sosial-religinya terus berlanjut. Di tahun itu, saya meminta ijin untuk meninggalkan Nenek
sebab mesti sekolah lagi.
Nenek Aminah terpaksa dirobohkan. Tapi alhamdulilah, pengurus masjid mengizinkan
Nenek menempati satu ruangan kecil di antara tempat wudhu dan menara masjid. Bakti
sosial-religinya terus berlanjut. Di tahun itu, saya meminta ijin untuk meninggalkan Nenek
sebab mesti sekolah lagi.
Tahun
berganti, ramadhan demi ramadhan berlalu, dua Aidil pun begitu. Beliau
tetap
di masjid, untuk masjid dan para jamaah. Sepulang dari Belanda, saya tak lagi menetap
bersama beliau. Tapi alhamdulilah, saya masih bisa menyempatkan diri menyapanya,
menyicip masakannya termasuk sambal khas Nenek yang uenakkkk tenannnnn.
di masjid, untuk masjid dan para jamaah. Sepulang dari Belanda, saya tak lagi menetap
bersama beliau. Tapi alhamdulilah, saya masih bisa menyempatkan diri menyapanya,
menyicip masakannya termasuk sambal khas Nenek yang uenakkkk tenannnnn.
———————
Kira-kira
dua atau tiga hari sebelum saya melawat ke Inggris di awal September
2013,
saya menyempatkan diri menemui beliau. Seperti biasa, setiap ada yang hendak saya lakukan,
saya terlebih dulu menemuinya, meminta restunya. Tapi kali ini saya tak lagi berjumpa
dengannnya di area masjid. Oleh keluarganya, Nenek dipapah pulang ke rumah anak
bungsunya. Jaraknya kira-kira 10 meter saja dari area masjid. Bayangkan! Ia rela
untuk tidak menikmati zona “nyaman” bersama anak dan cucu-cucunya hanya untuk tetap
bisa dekat dengan rumah Tuhan. Beliau tidak ingin menjadi beban bagi orang lain, bahkan
kepada keluarganya sekalipun. Beliau mandiri dan merasa merdeka dengan kesederhanaannya.
saya menyempatkan diri menemui beliau. Seperti biasa, setiap ada yang hendak saya lakukan,
saya terlebih dulu menemuinya, meminta restunya. Tapi kali ini saya tak lagi berjumpa
dengannnya di area masjid. Oleh keluarganya, Nenek dipapah pulang ke rumah anak
bungsunya. Jaraknya kira-kira 10 meter saja dari area masjid. Bayangkan! Ia rela
untuk tidak menikmati zona “nyaman” bersama anak dan cucu-cucunya hanya untuk tetap
bisa dekat dengan rumah Tuhan. Beliau tidak ingin menjadi beban bagi orang lain, bahkan
kepada keluarganya sekalipun. Beliau mandiri dan merasa merdeka dengan kesederhanaannya.
Badannya
telentang kurus di atas kasur. Tapi wajahnya subhanallah, bersih.
Matanya masih
jernih meski pandangannya sudah terbatas. Tapi yang paling istimewa, She still recognize me!
jernih meski pandangannya sudah terbatas. Tapi yang paling istimewa, She still recognize me!
“Nek,
dua hari lagi saya ke Inggris. Di sana saya akan bertemu Pangeran
Charles. Mohon
doa restu Nenek ya”. Beliau cepat merespon dengan menyebut lafadz, “Alhamdulilah.
Selamat Nak Amar. Kamu tahu, Nenek selalu mendoakan kamu”. Bulir-bulir air matanya
tiba-tiba menetes…
doa restu Nenek ya”. Beliau cepat merespon dengan menyebut lafadz, “Alhamdulilah.
Selamat Nak Amar. Kamu tahu, Nenek selalu mendoakan kamu”. Bulir-bulir air matanya
tiba-tiba menetes…
Dada
saya sontak sesak sebab baru kali ini saya tahu bila ternyata selalu
ada doa buat saya.
“Ya Allah, terima kasih untuk selalu mendekatkan saya dengan orang-orang yang penuh
dengan cinta, yang sabar juga ikhlas.”
“Ya Allah, terima kasih untuk selalu mendekatkan saya dengan orang-orang yang penuh
dengan cinta, yang sabar juga ikhlas.”
“Nenek
gak usah berwudhu, tayamum saja ya”, lanjutku. “Iyami Nak Amar. Nenek
juga
cuma bisa sholat sambil baring saja. Sudah tidak bisa duduk”.
cuma bisa sholat sambil baring saja. Sudah tidak bisa duduk”.
——————
Allaahu akbar.. Allaahu akbar.. Allaahu akbar…..
Laa - ilaaha - illallaahu wallaahu akbar.
Allaahu akbar walillaahil - hamd.
Laa - ilaaha - illallaahu wallaahu akbar.
Allaahu akbar walillaahil - hamd.
15 Oktober 2013.
Selepas
sholat Ied Adha di Masjid At-Taqwa Sodohoa, saya mengajak serta Ustadz
Zainul Giat, Imam Sholat Ied untuk menjenguk Nenek Aminah. Di dalam kamar kecil, beliau
tetap terbaring. Tapi kondisinya semakin menurun, semakin kurus. Tulang-tulangnya
semakin jelas terlihat, termasuk tengkorak kepalanya. Matanya juga tertutup.
Zainul Giat, Imam Sholat Ied untuk menjenguk Nenek Aminah. Di dalam kamar kecil, beliau
tetap terbaring. Tapi kondisinya semakin menurun, semakin kurus. Tulang-tulangnya
semakin jelas terlihat, termasuk tengkorak kepalanya. Matanya juga tertutup.
“Assalamualaikum.
Nek, apa kabar? Ini Amar nek”. Mendengar suara saya,
pelan-pelan Ia membuka matanya dan subhanallah, beliau berusaha untuk tersenyum
meski saya tahu itu susah sekali baginya. “Nak Amar”, jawabnya pelan. Mulutnya sudah
tidak bisa terbuka sempurna. Saya lalu memegang dan menguap-ngusap lengannya yang
tersisa tulang dibalut kulit tipis.
pelan-pelan Ia membuka matanya dan subhanallah, beliau berusaha untuk tersenyum
meski saya tahu itu susah sekali baginya. “Nak Amar”, jawabnya pelan. Mulutnya sudah
tidak bisa terbuka sempurna. Saya lalu memegang dan menguap-ngusap lengannya yang
tersisa tulang dibalut kulit tipis.
“Nenek
sholat pake isyarat saja ya.” Beliau menatap saya sambil mengangguk
pelan, pelan
sekali. Saya yakin bila beliau mengamini kata saya.
sekali. Saya yakin bila beliau mengamini kata saya.
Selepas lima menit, saya dan ustadz Zain pamit. “Nak Amar, Tuhan balas ya Nak”
Dalam
perjalanan pulang, hati saya berkata, “Nek, padahal tadi saya mau
curhat lagi. Masih
tentang jodoh dan jodoh. Pengen banget nyebut namanya di depan Nenek. Malu Nek,
kalau-kalau saya dah menyebut namanya, tapi gagal maning, gagal maning. Belakangan
ini saya merasa Ia cenderung menjauhi saya. Mungkin memang belum jodoh lagi ya Nek”.
Nenek Aminah pernah berpesan, “Nak Amar kalau mau nyari istri, nyari yang agamanya
kuat nak. Jangan nikahi wanita hanya karena dia itu cantik atau kaya sebab biasanya yang
begitu itu palsu. Cari yang sehati, bisa nerima Nak Amar apa adanya dan mau berbagi
kekurangan.”
tentang jodoh dan jodoh. Pengen banget nyebut namanya di depan Nenek. Malu Nek,
kalau-kalau saya dah menyebut namanya, tapi gagal maning, gagal maning. Belakangan
ini saya merasa Ia cenderung menjauhi saya. Mungkin memang belum jodoh lagi ya Nek”.
Nenek Aminah pernah berpesan, “Nak Amar kalau mau nyari istri, nyari yang agamanya
kuat nak. Jangan nikahi wanita hanya karena dia itu cantik atau kaya sebab biasanya yang
begitu itu palsu. Cari yang sehati, bisa nerima Nak Amar apa adanya dan mau berbagi
kekurangan.”
Satu
lagi, “nyari jodoh di masjid, jangan di pasar.” Alamakkkk Nek, masjid
isinya
kebanyakan nenek-nenek. Cewek-cewek hanya datang untuk taraweh di awal-awal
ramadhan saja. Saat itu, mana cukup waktu buat saya untuk lirik-lirik. Posisi saya lebih
banyak di belakang mimbar Nek, jaga sound system. You know that.
kebanyakan nenek-nenek. Cewek-cewek hanya datang untuk taraweh di awal-awal
ramadhan saja. Saat itu, mana cukup waktu buat saya untuk lirik-lirik. Posisi saya lebih
banyak di belakang mimbar Nek, jaga sound system. You know that.
——————-
Pukul
19.30 WITA, 16 Oktober 2013. Saya masih di kantor FOCIL bersama Pak
Yamin dan Juragan Mul. Kami sibuk membolak-balik koran lokal, mencari beberapa
opsi tempat tinggal bagi tamu kami, Ibu Cecile dan Brian suaminya. Pak Yamin sedang
menelpon calon vendor saat Aco, salah seorang santri saya menelpon. “Kak, Nenek
Aminah meninggal sore tadi pukul 5”.
Yamin dan Juragan Mul. Kami sibuk membolak-balik koran lokal, mencari beberapa
opsi tempat tinggal bagi tamu kami, Ibu Cecile dan Brian suaminya. Pak Yamin sedang
menelpon calon vendor saat Aco, salah seorang santri saya menelpon. “Kak, Nenek
Aminah meninggal sore tadi pukul 5”.
Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun. Qadr Allahu wa Masha Fa’al.
Saya
hanya bisa terdiam, sejenak mematung. Ya Allah, sungguh kematian itu
amat dekat,
kematian yang memutus segala nikmat keduniaan. Setiap yang hidup pasti akan
merasakan kematian. Mari bersiap sebab ini sudah sunnatullah.
kematian yang memutus segala nikmat keduniaan. Setiap yang hidup pasti akan
merasakan kematian. Mari bersiap sebab ini sudah sunnatullah.
————
17 Oktober 2013. Pukul 12.30 siang. Allahu Akbar. Kami ikut menyalati jenazah nenek.
Setelah takbir kempat, imam sejenak diam berdiri lalu mengucapkan satu kali salam dengan
tidak keras seraya menoleh ke arah kanan.
Setelah takbir kempat, imam sejenak diam berdiri lalu mengucapkan satu kali salam dengan
tidak keras seraya menoleh ke arah kanan.
Keranda itu lalu diangkut pergi. Ngiung ngiung ngiung ngiung….
Pukul
1 siang lewat beberapa menit. Saya berdiri tepat di samping liang
lahat. Jasad Nenek
Aminah perlahan diturunkan, dimasukkan ke liang lahat. Tak lama berselang, Ia ditimbun
dengan tanah, kembali ke asalnya.
Aminah perlahan diturunkan, dimasukkan ke liang lahat. Tak lama berselang, Ia ditimbun
dengan tanah, kembali ke asalnya.
Nek,
terima kasih telah berbagi keceriaan hidup bersama saya. Terima kasih
telah
mengajarkan saya kesederhanaan, kesabaran dan juga konsistensi beribadah kepada
Allah SWT. Terima kasih untuk setiap senyum tulus yang engkau lemparkan ke saya,
sesuatu yang kemudian banyak membantu saya dalam membungkus kesedihan-kesedihan
saya. Tak hanya itu Nek, your power of smiling sungguh menginspirasi saya dalam
memediasi konflik apapun. Dari rebutan lahan mancing, suksesi kepemimpinan fakultas,
hingga cinta segi tiga!
mengajarkan saya kesederhanaan, kesabaran dan juga konsistensi beribadah kepada
Allah SWT. Terima kasih untuk setiap senyum tulus yang engkau lemparkan ke saya,
sesuatu yang kemudian banyak membantu saya dalam membungkus kesedihan-kesedihan
saya. Tak hanya itu Nek, your power of smiling sungguh menginspirasi saya dalam
memediasi konflik apapun. Dari rebutan lahan mancing, suksesi kepemimpinan fakultas,
hingga cinta segi tiga!
Terima
kasih pula telah menunjukkan cara untuk berbagi kebahagiaan kepada
siapa saja,
tapi pada saat yang sama merasakan kepedihan cukup untuk diri sendiri. Kesedihan itu tidak
untuk diumbar.
tapi pada saat yang sama merasakan kepedihan cukup untuk diri sendiri. Kesedihan itu tidak
untuk diumbar.
Terima
kasih untuk setiap makanan dan minuman yang engkau suguhkan ke kami.
Sambal
olekmu seng ada lawan Nek! Terima kasih untuk selalu menguatkan saya ketika saya
kembali terfitnah. Terima kasih untuk selalu menyadarkan saya bila harta itu bukan soal jumlah,
tapi tentang berkah. Ini yang banyak membuat saya mudah memaafkan orang yang tidak
memberi saya sebagaimana harusnya. Terima kasih untuk selalu mengingatkan saya Nek,
bahwa jodoh tak lari kemana. YOU ARE MY BEST HERO.
“Ya
Allah ampunilah orang yang masih hidup maupun orang yang sudah mati di
antara kami, olekmu seng ada lawan Nek! Terima kasih untuk selalu menguatkan saya ketika saya
kembali terfitnah. Terima kasih untuk selalu menyadarkan saya bila harta itu bukan soal jumlah,
tapi tentang berkah. Ini yang banyak membuat saya mudah memaafkan orang yang tidak
memberi saya sebagaimana harusnya. Terima kasih untuk selalu mengingatkan saya Nek,
bahwa jodoh tak lari kemana. YOU ARE MY BEST HERO.
orang yang hadir maupun orang yang tidak hadir di antara kami, orang yang masih kecil maupun
orang yang sudah tua di antara kami, yang laki-laki maupun perempuan di antara kami. Ya Allah barangsiapa yang Engkau hidupkan di antara kami maka hidupkanlah ia di atas Islam. Dan barangsiapa yang Engkau wafatkan di antara kami maka wafatkanlah ia di atas iman. Ya Allah
jangan Engkau haramkan (halangi) kami dari mendapat pahala (atas musibah kematian)-nya dan jangan Engkau sesatkan kami sepeninggalnya.”
Dari Gambar Uang Kertas Rupiah; Ku
temukan makna kemerdekaan
aku rasakan sendiri bahwa kehidupan itu seperti sebuah perjalanan yang berliku.
Erwan Saripudin
OPINI | 17 August 2012 | 06:59http://www.kompasiana.com/erwan_saripudin
http://edukasi.kompasiana.com/2012/08/16/dari-gambar-uang-kertas-rupiah-ku-temukan-makna-kemerdekaan-479494.html
Saya orang kampung, semoga tetap menjadi orang kampung hingga umur
hayat menjejal
batasnya. Menulis tentang kemerdekaan terasa tidak relevan dengan segala keterbatasan
orang kampung seperti saya, menurut saya kemerdekaan itu ada di kehidupan nyaman orang
kota yang menikmati setiap lembar kertas merah bergambar proklamator soekarno hatta.
tidak mungkin di kampung atau pinggir kota yang seikhlasnya berbelanja dengan kertas
lusuh bergambar para pejuang peraih kemerdekaan, ada Kapitan Pattimura yang saya
jagokan di uang kertas Rp. 1.000, Pangeran Antasari yang gagah bermartabat Rp. 2.000,
Tuanku Imam Bonjol yang saya imami Rp. 5.000, Sultan Mahmud Badaruddin II yang
bijaksana Rp. 10.000, Oto Iskandar Dinata yang saya acungi jempol Rp. 20.000, serta
yang paling tinggi nilainya gambar I Gusti Ngurah Rai si pemberani dari propinsi tetangga
saya Rp. 50.000. Betapa bangganya ketika sesekali dalam setahun kami berbelanja
menggunakan uang bergambar proklamator soekarno hatta Rp. 100.000, dagu di tonjolkan
sedikit, dada dibusungkan, jemari pelan-pelan mengintip dompet sembari berkata
“ini uangnya”. Saat berkata “ini uangnya” tersebut, kompleksitas jiwa dan raga saya
sebenarnya sedang gebyar-gebyarnya berteriak penuh girang “MERDEKAAAAAAAAA”.
batasnya. Menulis tentang kemerdekaan terasa tidak relevan dengan segala keterbatasan
orang kampung seperti saya, menurut saya kemerdekaan itu ada di kehidupan nyaman orang
kota yang menikmati setiap lembar kertas merah bergambar proklamator soekarno hatta.
tidak mungkin di kampung atau pinggir kota yang seikhlasnya berbelanja dengan kertas
lusuh bergambar para pejuang peraih kemerdekaan, ada Kapitan Pattimura yang saya
jagokan di uang kertas Rp. 1.000, Pangeran Antasari yang gagah bermartabat Rp. 2.000,
Tuanku Imam Bonjol yang saya imami Rp. 5.000, Sultan Mahmud Badaruddin II yang
bijaksana Rp. 10.000, Oto Iskandar Dinata yang saya acungi jempol Rp. 20.000, serta
yang paling tinggi nilainya gambar I Gusti Ngurah Rai si pemberani dari propinsi tetangga
saya Rp. 50.000. Betapa bangganya ketika sesekali dalam setahun kami berbelanja
menggunakan uang bergambar proklamator soekarno hatta Rp. 100.000, dagu di tonjolkan
sedikit, dada dibusungkan, jemari pelan-pelan mengintip dompet sembari berkata
“ini uangnya”. Saat berkata “ini uangnya” tersebut, kompleksitas jiwa dan raga saya
sebenarnya sedang gebyar-gebyarnya berteriak penuh girang “MERDEKAAAAAAAAA”.
Uang pecahan Rp. 100.000 merupakan simbol kemerdekaan yang dipergunakan
oleh
orang-orang kaya di republik ini, para pengguna uang ini telah mencapai tahapan
kemerdekaan dalam hidupnya dan memaknai kemerdekaan sebagai bangsa indonesia
yang utuh karena dapat membeli apa saja. terlihat dari tokoh proklamasi yang
tergambar dan gedung MPR DPR-RI yang begitu megah. belakangan, dengan semakin
banyaknya kasus korupsi, menyiratkan bahwa koruptor banyak menggunakan uang
pecahan ini dalam setiap tindakannya. koruptor pun merdeka……
orang-orang kaya di republik ini, para pengguna uang ini telah mencapai tahapan
kemerdekaan dalam hidupnya dan memaknai kemerdekaan sebagai bangsa indonesia
yang utuh karena dapat membeli apa saja. terlihat dari tokoh proklamasi yang
tergambar dan gedung MPR DPR-RI yang begitu megah. belakangan, dengan semakin
banyaknya kasus korupsi, menyiratkan bahwa koruptor banyak menggunakan uang
pecahan ini dalam setiap tindakannya. koruptor pun merdeka……
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Jumat, 17 Agustus 1945
Tahun Masehi, atau
17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi
oleh Drs. Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi
oleh Drs. Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom
dijatuhkan di atas kota Hiroshima
Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di
seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia BPUPKI, atau “Dokuritsu Junbi Cosakai”, berganti nama menjadi PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam
bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan
Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki
sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya.
Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di
seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia BPUPKI, atau “Dokuritsu Junbi Cosakai”, berganti nama menjadi PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam
bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan
Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki
sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya.
Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan
ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk
bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di
ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara
itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat
radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah
bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan
yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk
bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di
ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara
itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat
radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah
bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan
yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi
di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa
pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia
dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari,
tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah
air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera
memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat
sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus
menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu
nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada
Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa
Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu
dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat
sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno
mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan
kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan
buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan
‘hadiah’ dari Jepang (sic).
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan
Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah
berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu.
Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini
melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk
lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru.
Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat
proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan
muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang
dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa
kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu,
Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl
Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat
atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima
konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari
Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus
keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan
kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari
beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak
dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak
tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana –yang
konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan
Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka –yang tergabung dalam gerakan bawah tanah
kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945.
Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain,
mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur
yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian
terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini,
mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para
pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta,
golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo
melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf
Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok.
Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta.
Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu -
buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka
pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang
kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan
setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk
menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi)
sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal
Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang
menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura,
Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk
menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa
sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari
Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat
memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia
sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.
Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura
apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji
agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar
Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura
tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam
meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda
mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung
Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak
punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda
(kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat
untuk menyiapkan teks Proklamasi.
Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan
Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan
teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan
disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah,
Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di
kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada
kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri
penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu
hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno
menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti “transfer of power”.
Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak
ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim
Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah
tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL
Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya
pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung
alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[3] (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Detik-detik pembacaan naskah proklamasi
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini
hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda
Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks
proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M
Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang
menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh.
Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik
oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.
Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh
Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah
Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul
dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk
menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera
sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah
Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed
untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa
nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit
oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar,
hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka
tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota
Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka
tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan.
Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak.
Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto
Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil
presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden
akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Isi Teks Proklamasi
Naskah KladKami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan
Indonesia. Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l.,
diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang
sesingkat-singkatnja.
- Djakarta, 17-8-05
- Wakil-wakil bangsa Indonesia.
- Soekarno/Hatta
Naskah baru setelah mengalami perubahan
Di dalam teks proklamasi terdapat beberapa perubahan yaitu terdapat pada:
- Kata tempoh diubah menjadi tempo
- Kata Wakil-wakil bangsa Indonesia diubah menjadi Atas nama bangsa Indonesia
- Kata Djakarta, 17-8-05 diubah menjadi Djakarta, hari 17 boelan 08 tahun ‘05
- Naskah proklamasi klad yang tidak ditandatangani kemudian menjadi otentik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh.Hatta
- Kata Hal2 diubah menjadi Hal-hal
Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:
- Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
- Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
- dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
-
-
- Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
- Atas nama bangsa Indonesia.
- Soekarno/Hatta
-
Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.
Naskah Otentik
Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.
-
-
-
-
-
-
-
- Proklamasi
-
-
-
-
-
-
- Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
- Hal² jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
- dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
-
-
- Djakarta, 17-8-’05
- Wakil2 bangsa Indonesia.
-
Teks Pidato proklamasi kemerdekaan Indonesia
- Saudara-saudara sekalian!
- Saya telah meminta Anda untuk hadir di sini untuk menyaksikan peristiwa dalam sejarah kami yang paling penting.
- Selama beberapa dekade kita, Rakyat Indonesia, telah berjuang untuk kebebasan negara kita-bahkan selama ratusan tahun!
- Ada gelombang dalam tindakan kita untuk memenangkan kemerdekaan yang naik, dan ada yang jatuh, namun semangat kami masih ditetapkan dalam arah cita-cita kami.
- Juga selama zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak pernah berhenti. Pada zaman Jepang itu hanya muncul bahwa kita membungkuk pada mereka. Tetapi pada dasarnya, kita masih terus membangun kekuatan kita sendiri, kita masih percaya pada kekuatan kita sendiri.
- Kini telah hadir saat ketika benar-benar kita mengambil nasib tindakan kita dan nasib negara kita ke tangan kita sendiri. Hanya suatu bangsa cukup berani untuk mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri akan dapat berdiri dalam kekuatan.
- Oleh karena semalam kami telah musyawarah dengan tokoh-tokoh Indonesia dari seluruh Indonesia. Bahwa pengumpulan deliberatif dengan suara bulat berpendapat bahwa sekarang telah datang waktu untuk mendeklarasikan kemerdekaan.
- Saudara-saudara:
- Bersama ini kami menyatakan solidaritas penentuan itu.
- Dengarkan proklamasi kami:
- PROKLAMASI
- KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN
INDONESIA. HAL-HAL YANG MENGENAI PEMINDAHAN KEKUASAAN DAN LAIN-LAIN
DISELENGGARAKAN DENGAN CARA SAKSAMA DAN DALAM TEMPO YANG
SESINGKAT-SINGKATNYA.
- DJAKARTA, 17 Agustus 1945
- ATAS NAMA BANGSA INDONESIA
SUKARNO-HATTA
- Jadi, Saudara-saudara!
- Kita sekarang sudah bebas!
- Tidak ada lagi penjajahan yang mengikat negara kita dan bangsa kita!
- Mulai saat ini kita membangun negara kita. Sebuah negara bebas, Negara Republik Indonesia-lamanya dan abadi independen. Semoga Tuhan memberkati dan membuat aman kemerdekaan kita ini!
Cara Penyebaran teks Proklamasi kemerdekaan indonesia
Wilayah Indonesia sangatlah luas. Komunikasi dan transportasi sekitar
tahun 1945 masih sangat terbatas. Di samping itu, hambatan dan larangan
untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia,
merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami
keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Namun dengan
penuh tekad dan semangat berjuang, pada akhirnya peristiwa proklamasi
diketahui oleh segenap rakyat Indonesia. Lebih jelasnya ikuti pembahasan
di bawah ini. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di
daerah Jakarta dapat dilakukan secara
cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks
proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei
(sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan
B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei
yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang
markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut.
Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke
ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi
telah tersiar ke luar melalui udara.
Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita
proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus
menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam
sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut,
pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan
menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar
tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk.
Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf
Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat
pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman,
Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di
Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita
proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi
juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh
harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita
proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang
memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui
media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi
kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui
pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan
gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect our Constitution, August 17!(Hormatilah
Konstitusi kami tanggal 17 Agustus!) Melalui berbagai cara dan media
tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat
tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Di samping
melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung
oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para
utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi.
- Teuku Mohammad Hassan dari Aceh.
- Sam Ratulangi dari Sulawesi.
- Ktut Pudja dari Sunda Kecil (Bali).
- A. A. Hamidan dari Kalimantan.
Peringatan 17 Agustus 1945
Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari
Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Mulai dari lomba panjat
pinang, lomba makan kerupuk, sampai upacara militer di Istana Merdeka,
seluruh bagian dari masyarakat ikut berpartisipasi dengan cara
masing-masing.
Lomba-lomba tradisional
Perlombaan yang seringkali menghiasi dan meramaikan Hari Proklamasi
Kemerdekaan RI diadakan di kampung-kampung/ pedesaan diikuti oleh warga
setempat dan dikoordinir oleh pengurus kampung/ pemuda desa
- Panjat pinang
- Balap bakiak
- Tarik tambang
- Sepeda lambat
- Makan kerupuk
- Balap karung
- Perang bantal
- Pemecahan balon
- Pengambilan koin dalam terigu
- Lari Kelereng
Peringatan Detik-detik Proklamasi
Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara.
Peringatan ini biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun
televisi. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan
sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih (Bendera Pusaka),
pembacaan naskah Proklamasi, dll. Pada sore hari terdapat acara
penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.
PECAHAN Rp. 1.000
uang pecahan Rp. 1.000 adalah pegangan rakyat jelata. dikota-kota besar
dengan kondisi rakyat jelata yang padat uang recehan ini sangat
bermanfaat untuk sekedar membeli mi instan dan segelas air mineral.
uang pecahan ini merupakan simbol perjuangan keras bagi kaum-kaum yang
belum merdeka. bagi mereka yang tinggal dibawah kolong jembatan, di
tengah kebun kelapa sawit sebagai buruh kasar, di tempat pembuangan
akhir sampah, si gembala sapi, perumput, buruh tani, pengemis, dan anak
jalanan.
berikut kita simak bagaimana perjuangan pattimura yang mengilhami perjuangan hidup kalangan penggunanya.
Pattimura (lahir di Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Ambon dan merupakan Pahlawan nasional Indonesia.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali
terbit, M Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan
bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama
Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy.
Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama
orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.
Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam
bukunya Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut
Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua
seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah
bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan
Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah
(Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan
Militer Inggris.Kata “Maluku” berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al
Malik yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada masa itu banyaknya
kerajaan
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak
Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli,
pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi
(Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam
pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus
merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam
perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika
pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon
harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas
militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi
dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan [4]
Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan
keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi,
dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku
akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura [3]
Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817,
Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya
sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki
sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan
Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin
dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan
pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan
dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam
kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam
perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan
kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa.
Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan
kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri
Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi
Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di
darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para
penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha.
Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti
perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan
jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram
Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu
domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang
akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan
pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan
pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN
PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.
PECAHAN Rp. 2.000
Sebagaimana pecahan Rp. 1.000, uang pecahan ini baru beberapa tahun
beakagan dicetak untuk membuat kelas kesejahteraan baru yang berada
sedikit lebih tinggi dari level pengguna pecahan Rp. 1.000. jika level
dibawahnya hanya mampu untuk membeli mi instan dan segelas air ineral
gelas, maka pecahan ini digunakan untuk membeli 2 bugkus mi instan dan
segelas air. dengan bergambar pangeran antasari, menandakan begitu
keras perjuanga hidup penggunanya.
berikut disajikan begitu keras dan hebatnya perjuangan pangeran antasari mencapai kemerdekaan.
Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan
Banjar, 1797atau 1809 – meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda, 11
Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai
pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar)
dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah
Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung
Yang Pati Jaya Raja.
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya
menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April
1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran
antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para
panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos
Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong,
sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul
Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan.
Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan
persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah.
Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara
Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun
beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang
ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin
tertanggal 20 Juli 1861.
“ | …dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)… | ” |
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang
mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000
gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima
tawaran ini. Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah
Kolonial Hindia Belanda:
PECAHAN Rp. 5.000
siapa yang tak mengenal tuanku imam bonjol? sosok favorit saya dari
sederet para pahlawan perjuangan kemerdekaan nasional. gambar beliau
diabadikan dalam pecahan uang Rp. 5.000 yang mengisyaratkan begitu
kerasnya perjuangan kemerdekaan untuk melawan kaum penjajah.
penggunannya naik level sedikit dari pecahan yang lebih rendah dari
pecahan yang telah disebutkan diatas. penggunanya adalah mereka yang
sudah bisa mengkonsumsi nasi bungkus dan segelas air mineral
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak,
Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama,
pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan
yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838. Tuanku Imam
Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik
sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama
perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan
pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan
syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan
meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta
Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan
Islam (Bid’ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan
pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian
yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).[4]
Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah
berada di Padang waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan
Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema
awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal
ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena “diundang” oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga
sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda
melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang
pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga
kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa
seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar
sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat
dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan
Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan
Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam
konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. [5] Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur’an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama
orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda
dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)
yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan
tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari
berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama
para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan
Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak,
Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terdapat
nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro,
Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro
Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen
(pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol
dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan
pertahanan Padri.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana
pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein
Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs.
Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh
Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
PECAHAN Rp. 10.000
level pengguna pecahan ini masih berjuang keras untuk sekedar membeli
nasi bungkus dengan tambahan lauk dan sayur yang lumayan mengenyangkan.
kehidupannya terbilang aman untuk sekedar bertahan hidup tetapi belum
meningkat. bergambar sultan mahmud badaruddin II yang mengisyaratkan
bahwa penggunanya adalah para pejuang hidup yang keras.
berikut bagaimana perjuangan sultan mahmud badaruddin II untuk menjadi inspirasi level penggunanya.
Sultan Mahmud Badaruddin II (l: Palembang, 1767, w: Ternate, 26 September 1852) adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode (1803-1813, 1818-1821), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Nama aslinya sebelum menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.
Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan Belanda, di antaranya yang disebut Perang Menteng.
Pada tangga 14 Juli 1821, ketika Belanda berhasil menguasai Palembang,
Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarga ditangkap dan diasingkan ke
Ternate.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II
dan Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan oleh bank
Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2005. Penggunaan gambar SMB II di uang
kertas ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, diduga gambar
tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya, namun kemudian terungkap bahwa
gambar ini telah menjadi hak milik panitia penyelenggara lomba lukis
wajah SMB II.
Konflik dengan Inggris Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun di Sungai Aur (10 Ulu).
Konflik dengan Inggris Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun di Sungai Aur (10 Ulu).
Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah Sir Thomas Stamford Raffles.
Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles
sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang
dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810:
“ | Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dollar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut. | ” |
Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang
sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles
berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat
Raffles tanggal 3 Maret 1811).
Dengan bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan
bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania
dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belanda. Namun
akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di mana pihak Palembang
lebih diuntungkan.
Pada tanggal 14 September 1811 terjadi peristiwa pembumihangusan dan
pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda menuduh Britanialah yang
memprovokasi Palembang agar mengusir Belanda. Sebaliknya, Britania cuci
tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya.
Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap
dapat berunding dengan SMB II dan mendapatkan Bangka sebagai kompensasi
kepada Britania. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak SMB II.
Akibatnya, Britania mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan
Gillespie dengan alasan menghukum SMB II. Dalam sebuah pertempuran
singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.
Setelah berhasil menduduki Palembang, Britania merasa perlu mengangkat
penguasa boneka yang baru. Setelah menandatangani perjanjian dengan
syarat-syarat yang menguntungkan Britania, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran
Adipati (adik kandung SMB II) diangkat menjadi sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Pulau Bangka berhasil dikuasai dan namanya diganti menjadi Duke of York’s Island. Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Meares sebagai residen.
Meares berambisi menangkap SMB II yang telah membuat kubu di Muara
Rawas. Pada 28 Agustus 1812 ia membawa pasukan dan persenjataan yang
diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah
pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robison.
Belajar dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan SMB II.
Melalui serangkaian perundingan, SMB II kembali ke Palembang dan naik
takhta kembali pada 13 Juli 1813 hingga dilengserkan kembali pada
Agustus 1813. Sementara itu, Robison dipecat dan ditahan Raffles karena
mandat yang diberikannya tidak sesuai.
PECAHAN Rp. 20.000
pecahan ini digunakan oleh kaum petani didesa yang lumayan mendapatkan
kehidupan yang lebih baik dibandingkan saudaranya yang berada dibawah
level. namun masih sangat rentan dengan turunnya level akibat
perjuangan hidup yang masih sangat keras. bergambar pahlawan Oto
Iskandar Dinata yang menegaskan bahwa pengguna uang ini berjuang dalam
kehidupan yang begitu keras.
berikut disampaikan bagaimana perjuangan oto iskandar dinata untuk mencapai kemerdekaan.
Raden Oto Iskandar di Nata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 31 Maret 1897 – meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia mendapat nama julukan si Jalak Harupat.
Oto Iskandar di Nata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Kabupaten
Bandung. Ayah Oto adalah keturunan bangsawan Sunda bernama Nataatmadja.
Oto adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara.
Oto menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS)
Bandung, kemudian melanjutkan di Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru
Bagian Pertama) Bandung, serta di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas)
di Purworejo, Jawa Tengah. Setelah selesai bersekolah, Oto menjadi guru HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada bulan Juli 1920, Oto pindah ke Bandung dan mengajar di HIS bersubsidi serta perkumpulan Perguruan Rakyat.
Dalam kegiatan pergarakannya di masa sebelum kemerdekaan, Oto pernah
menjabat sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung pada periode
1921-1924, serta sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Pekalongan tahun
1924. Ketika itu, ia menjadi anggota Gemeenteraad (”Dewan Kota”) Pekalongan mewakili Budi Utomo.
Oto juga aktif pada organisasi budaya Sunda bernama Paguyuban Pasundan.
Ia menjadi Sekretaris Pengurus Besar tahun 1928, dan menjadi ketuanya
pada periode 1929-1942. Organisasi tersebut bergerak dalam bidang
pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi, kepemudaan, dan
pemberdayaan perempuan.
Oto juga menjadi anggota Volksraad (”Dewan Rakyat”, semacam DPR) yang dibentuk pada masa Hindia Belanda untuk periode 1930-1941.
Pada masa penjajahan Jepang, Oto menjadi Pemimpin surat kabar Tjahaja (1942-1945). Ia kemudian menjadi anggota BPUPKI dan PPKI yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang sebagai lembaga-lembaga yang membantu persiapan kemerdekaan Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Oto menjabat sebagai Menteri Negara pada kabinet yang pertama Republik Indonesia tahun 1945. Ia bertugas mempersiapkan terbentuknya BKR
dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam
melaksanakan tugasnya, Oto diperkirakan telah menimbulkan ketidakpuasan
pada salah satu laskar tersebut. Ia menjadi korban penculikan sekelompok
orang yang bernama Laskar Hitam, hingga kemudian hilang dan diperkirakan terbunuh di daerah Banten.
Oto Iskandar di Nata diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973,
tanggal 6 November 1973. Sebuah monumen perjuangan Bandung Utara di Lembang, Bandung bernama “Monumen Pasir Pahlawan” didirikan untuk mengabadikan perjuangannya.
Nama Oto Iskandar di Nata juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di Indonesia.
PECAHAN Rp. 50.000
I gusti ngurah rai adalah pahlawan dari pulau dewata yang gagah
perkasa. perjuangannya menginspirasi perjuangan kaum ekonmi menengah
dalam mencapai kemerdekaan hidup, sebagaimana gambar dalam pecahan uang
Rp. 50.000, pengguna uang ini bekerja keras untuk selangkah lagi mencpai
kemerdekaan ekonomi kehidupanya.
berikut di sampaikan teknik perjuangan i gusti ngurah rai
Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai (lahir di Desa Carangsari, Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda,
30 Januari 1917 – meninggal di Marga, Tabanan, Bali, Indonesia, 20
November 1946 pada umur 29 tahun) adalah seorang pahlawan Indonesia dari
Kabupaten Badung, Bali.
Ngurah Rai memiliki pasukan yang bernama “Ciung Wenara”
melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan
Margarana. (Puputan, dalam bahasa bali, berarti “habis-habisan”,
sedangkan Margarana berarti “Pertempuran di Marga”; Marga adalah sebuah
desa ibukota kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali)
Bersama 1.372 anggotanya pejuang MBO (Markas Besar Oemoem) Dewan Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) dibuatkan nisan di Kompleks Monumen de Kleine Sunda Eilanden, Candi Marga,
Tabanan. Detil perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan resimen CW dapat
disimak dari beberapa buku, seperti “Bergerilya Bersama Ngurah Rai”
(Denpasar: BP, 1994) kesaksian salah seorang staf MBO DPRI SK, I Gusti
Bagus Meraku Tirtayasa peraih “Anugrah Jurnalistik Harkitnas 1993“,
buku “Orang-orang di Sekitar Pak Rai: Cerita Para Sahabat Pahlawan
Nasional Brigjen TNI (anumerta) I Gusti Ngurah Rai” (Denpasar: Upada
Sastra, 1995), atau buku “Puputan Margarana Tanggal 20 November 1946″
yang disusun oleh Wayan Djegug A Giri (Denpasar: YKP, 1990).
Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI (anumerta). Namanya kemudian diabadikan dalam nama bandar udara di Bali, Bandara Ngurah Rai.
KESIMPULAN
bahwa pencetakan uang dinegeri kita ini menggunakan gambar tokoh
berdasarkan level kerasnya perjuangan rakyat. semakin besar nilai
pecahannya semakin mendekati dengan kemerdekaan nilai perjuangannya.
terendah dimulai level Rp 1.000 yang menandakan kerasnya perjuangan
hidup sebagaimana perjuangan tokoh kapitan pattimura, hingga pada level
orang kaya yang telah mencapai kemerdekaan sebagaimana gambar tokoh
proklamator kemerdekaan Indonesia.
Selamat hari kemerdekaan Indonesiaku, saya berharap suatu saat semua pecahan uang bernilai Rp. 100.000.
Dari Gambar Uang Kertas Rupiah; Ku temukan makna kemerdekaan
OPINI | 17 August 2012 | 06:59
Saya orang kampung, semoga tetap menjadi orang kampung hingga umur
hayat menjejal batasnya. Menulis tentang kemerdekaan terasa tidak
relevan dengan segala keterbatasan orang kampung seperti saya, menurut
saya kemerdekaan itu ada di kehidupan nyaman orang kota yang menikmati
setiap lembar kertas merah bergambar proklamator soekarno hatta. tidak
mungkin di kampung atau pinggir kota yang seikhlasnya berbelanja dengan
kertas lusuh bergambar para pejuang peraih kemerdekaan, ada Kapitan
Pattimura yang saya jagokan di uang kertas Rp. 1.000, Pangeran Antasari
yang gagah bermartabat Rp. 2.000, Tuanku Imam Bonjol yang saya imami Rp.
5.000, Sultan Mahmud Badaruddin II yang bijaksana Rp. 10.000, Oto
Iskandar Dinata yang saya acungi jempol Rp. 20.000, serta yang paling
tinggi nilainya gambar I Gusti Ngurah Rai si pemberani dari propinsi
tetangga saya Rp. 50.000. Betapa bangganya ketika sesekali dalam
setahun kami berbelanja menggunakan uang bergambar proklamator soekarno
hatta Rp. 100.000, dagu di tonjolkan sedikit, dada dibusungkan, jemari
pelan-pelan mengintip dompet sembari berkata “ini uangnya”. Saat
berkata “ini uangnya” tersebut, kompleksitas jiwa dan raga saya
sebenarnya sedang gebyar-gebyarnya berteriak penuh girang
“MERDEKAAAAAAAAA”.
Uang pecahan Rp. 100.000 merupakan simbol kemerdekaan yang dipergunakan
oleh orang-orang kaya di republik ini, para pengguna uang ini telah
mencapai tahapan kemerdekaan dalam hidupnya dan memaknai kemerdekaan
sebagai bangsa indonesia yang utuh karena dapat membeli apa saja.
terlihat dari tokoh proklamasi yang tergambar dan gedung MPR DPR-RI yang
begitu megah. belakangan, dengan semakin banyaknya kasus korupsi,
menyiratkan bahwa koruptor banyak menggunakan uang pecahan ini dalam
setiap tindakannya. koruptor pun merdeka……
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Jumat, 17 Agustus 1945
Tahun Masehi, atau 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang dibacakan oleh
Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta di Jalan
Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom
dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang
mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari
kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau “Dokuritsu Junbi Cosakai”, berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai
dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan
mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom
kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah
kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh
Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi.
Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan
akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di
Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar
berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para
pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan
menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi
di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa
pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia
dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari,
tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah
air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera
memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat
sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus
menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu
nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada
Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa
Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu
dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat
sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno
mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan
kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan
buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan
‘hadiah’ dari Jepang (sic).
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan
Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah
berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu.
Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini
melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk
lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru.
Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat
proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan
muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang
dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa
kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu,
Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl
Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat
atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima
konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari
Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus
keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan
kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari
beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak
dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak
tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana –yang
konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan
Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka –yang tergabung dalam gerakan bawah tanah
kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945.
Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain,
mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur
yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian
terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini,
mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para
pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta,
golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo
melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf
Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok.
Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta.
Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu -
buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka
pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang
kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan
setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk
menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi)
sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal
Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang
menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura,
Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk
menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa
sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari
Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat
memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia
sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.
Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura
apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji
agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar
Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura
tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam
meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda
mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung
Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak
punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda
(kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat
untuk menyiapkan teks Proklamasi.
Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan
Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan
teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan
disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah,
Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di
kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada
kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri
penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu
hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno
menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti “transfer of power”.
Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak
ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim
Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah
tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL
Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya
pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung
alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[3] (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Detik-detik pembacaan naskah proklamasi
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini
hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda
Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks
proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M
Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang
menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh.
Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik
oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.
Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh
Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah
Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul
dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk
menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera
sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah
Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed
untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa
nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit
oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar,
hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka
tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota
Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka
tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan.
Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak.
Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto
Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil
presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden
akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Isi Teks Proklamasi
Naskah KladKami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan
Indonesia. Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l.,
diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang
sesingkat-singkatnja.
- Djakarta, 17-8-05
- Wakil-wakil bangsa Indonesia.
- Soekarno/Hatta
Naskah baru setelah mengalami perubahan
Di dalam teks proklamasi terdapat beberapa perubahan yaitu terdapat pada:
- Kata tempoh diubah menjadi tempo
- Kata Wakil-wakil bangsa Indonesia diubah menjadi Atas nama bangsa Indonesia
- Kata Djakarta, 17-8-05 diubah menjadi Djakarta, hari 17 boelan 08 tahun ‘05
- Naskah proklamasi klad yang tidak ditandatangani kemudian menjadi otentik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh.Hatta
- Kata Hal2 diubah menjadi Hal-hal
Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:
- Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
- Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
- dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
-
-
- Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
- Atas nama bangsa Indonesia.
- Soekarno/Hatta
-
Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.
Naskah Otentik
Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.
-
-
-
-
-
-
-
- Proklamasi
-
-
-
-
-
-
- Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
- Hal² jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
- dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
-
-
- Djakarta, 17-8-’05
- Wakil2 bangsa Indonesia.
-
- Saudara-saudara sekalian!
- Saya telah meminta Anda untuk hadir di sini untuk menyaksikan peristiwa dalam sejarah kami yang paling penting.
- Selama beberapa dekade kita, Rakyat Indonesia, telah berjuang untuk kebebasan negara kita-bahkan selama ratusan tahun!
- Ada gelombang dalam tindakan kita untuk memenangkan kemerdekaan yang naik, dan ada yang jatuh, namun semangat kami masih ditetapkan dalam arah cita-cita kami.
- Juga selama zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak pernah berhenti. Pada zaman Jepang itu hanya muncul bahwa kita membungkuk pada mereka. Tetapi pada dasarnya, kita masih terus membangun kekuatan kita sendiri, kita masih percaya pada kekuatan kita sendiri.
- Kini telah hadir saat ketika benar-benar kita mengambil nasib tindakan kita dan nasib negara kita ke tangan kita sendiri. Hanya suatu bangsa cukup berani untuk mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri akan dapat berdiri dalam kekuatan.
- Oleh karena semalam kami telah musyawarah dengan tokoh-tokoh Indonesia dari seluruh Indonesia. Bahwa pengumpulan deliberatif dengan suara bulat berpendapat bahwa sekarang telah datang waktu untuk mendeklarasikan kemerdekaan.
- Saudara-saudara:
- Bersama ini kami menyatakan solidaritas penentuan itu.
- Dengarkan proklamasi kami:
- PROKLAMASI
- KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN
INDONESIA. HAL-HAL YANG MENGENAI PEMINDAHAN KEKUASAAN DAN LAIN-LAIN
DISELENGGARAKAN DENGAN CARA SAKSAMA DAN DALAM TEMPO YANG
SESINGKAT-SINGKATNYA.
- DJAKARTA, 17 Agustus 1945
- ATAS NAMA BANGSA INDONESIA
SUKARNO-HATTA
- Jadi, Saudara-saudara!
- Kita sekarang sudah bebas!
- Tidak ada lagi penjajahan yang mengikat negara kita dan bangsa kita!
- Mulai saat ini kita membangun negara kita. Sebuah negara bebas, Negara Republik Indonesia-lamanya dan abadi independen. Semoga Tuhan memberkati dan membuat aman kemerdekaan kita ini!
Cara Penyebaran teks Proklamasi kemerdekaan indonesia
Wilayah Indonesia sangatlah luas. Komunikasi dan transportasi sekitar
tahun 1945 masih sangat terbatas. Di samping itu, hambatan dan larangan
untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia,
merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami
keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Namun dengan
penuh tekad dan semangat berjuang, pada akhirnya peristiwa proklamasi
diketahui oleh segenap rakyat Indonesia. Lebih jelasnya ikuti pembahasan
di bawah ini. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di
daerah Jakarta dapat dilakukan secara
cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks
proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei
(sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan
B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei
yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang
markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut.
Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke
ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi
telah tersiar ke luar melalui udara.
Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita
proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus
menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam
sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut,
pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan
menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar
tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk.
Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf
Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat
pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman,
Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di
Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita
proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi
juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh
harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita
proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang
memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui
media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi
kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui
pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan
gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect our Constitution, August 17!(Hormatilah
Konstitusi kami tanggal 17 Agustus!) Melalui berbagai cara dan media
tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat
tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Di samping
melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung
oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para
utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi.
- Teuku Mohammad Hassan dari Aceh.
- Sam Ratulangi dari Sulawesi.
- Ktut Pudja dari Sunda Kecil (Bali).
- A. A. Hamidan dari Kalimantan.
Peringatan 17 Agustus 1945
Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari
Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Mulai dari lomba panjat
pinang, lomba makan kerupuk, sampai upacara militer di Istana Merdeka,
seluruh bagian dari masyarakat ikut berpartisipasi dengan cara
masing-masing.
Lomba-lomba tradisional
Perlombaan yang seringkali menghiasi dan meramaikan Hari Proklamasi
Kemerdekaan RI diadakan di kampung-kampung/ pedesaan diikuti oleh warga
setempat dan dikoordinir oleh pengurus kampung/ pemuda desa
- Panjat pinang
- Balap bakiak
- Tarik tambang
- Sepeda lambat
- Makan kerupuk
- Balap karung
- Perang bantal
- Pemecahan balon
- Pengambilan koin dalam terigu
- Lari Kelereng
Peringatan Detik-detik Proklamasi
Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara.
Peringatan ini biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun
televisi. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan
sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih (Bendera Pusaka),
pembacaan naskah Proklamasi, dll. Pada sore hari terdapat acara
penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.
PECAHAN Rp. 1.000
uang pecahan Rp. 1.000 adalah pegangan rakyat jelata. dikota-kota besar
dengan kondisi rakyat jelata yang padat uang recehan ini sangat
bermanfaat untuk sekedar membeli mi instan dan segelas air mineral.
uang pecahan ini merupakan simbol perjuangan keras bagi kaum-kaum yang
belum merdeka. bagi mereka yang tinggal dibawah kolong jembatan, di
tengah kebun kelapa sawit sebagai buruh kasar, di tempat pembuangan
akhir sampah, si gembala sapi, perumput, buruh tani, pengemis, dan anak
jalanan.
berikut kita simak bagaimana perjuangan pattimura yang mengilhami perjuangan hidup kalangan penggunanya.
Pattimura (lahir di Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Ambon dan merupakan Pahlawan nasional Indonesia.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.
Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.Kata “Maluku” berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan [4] Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura [3] Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.
PECAHAN Rp. 2.000
Sebagaimana pecahan Rp. 1.000, uang pecahan ini baru beberapa tahun beakagan dicetak untuk membuat kelas kesejahteraan baru yang berada sedikit lebih tinggi dari level pengguna pecahan Rp. 1.000. jika level dibawahnya hanya mampu untuk membeli mi instan dan segelas air ineral gelas, maka pecahan ini digunakan untuk membeli 2 bugkus mi instan dan segelas air. dengan bergambar pangeran antasari, menandakan begitu keras perjuanga hidup penggunanya.
berikut disajikan begitu keras dan hebatnya perjuangan pangeran antasari mencapai kemerdekaan.
Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797atau 1809 – meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
“ | …dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)… | ” |
PECAHAN Rp. 5.000
siapa yang tak mengenal tuanku imam bonjol? sosok favorit saya dari sederet para pahlawan perjuangan kemerdekaan nasional. gambar beliau diabadikan dalam pecahan uang Rp. 5.000 yang mengisyaratkan begitu kerasnya perjuangan kemerdekaan untuk melawan kaum penjajah. penggunannya naik level sedikit dari pecahan yang lebih rendah dari pecahan yang telah disebutkan diatas. penggunanya adalah mereka yang sudah bisa mengkonsumsi nasi bungkus dan segelas air mineral
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (Bid’ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).[4] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena “diundang” oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. [5] Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur’an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
PECAHAN Rp. 10.000
level pengguna pecahan ini masih berjuang keras untuk sekedar membeli nasi bungkus dengan tambahan lauk dan sayur yang lumayan mengenyangkan. kehidupannya terbilang aman untuk sekedar bertahan hidup tetapi belum meningkat. bergambar sultan mahmud badaruddin II yang mengisyaratkan bahwa penggunanya adalah para pejuang hidup yang keras.
berikut bagaimana perjuangan sultan mahmud badaruddin II untuk menjadi inspirasi level penggunanya.
Sultan Mahmud Badaruddin II (l: Palembang, 1767, w: Ternate, 26 September 1852) adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode (1803-1813, 1818-1821), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Nama aslinya sebelum menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.
Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan Belanda, di antaranya yang disebut Perang Menteng. Pada tangga 14 Juli 1821, ketika Belanda berhasil menguasai Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarga ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan oleh bank Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2005. Penggunaan gambar SMB II di uang kertas ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, diduga gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya, namun kemudian terungkap bahwa gambar ini telah menjadi hak milik panitia penyelenggara lomba lukis wajah SMB II.
Konflik dengan Inggris Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun di Sungai Aur (10 Ulu).
Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810:
“ | Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dollar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut. | ” |
Dengan bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belanda. Namun akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di mana pihak Palembang lebih diuntungkan.
Pada tanggal 14 September 1811 terjadi peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda menuduh Britanialah yang memprovokasi Palembang agar mengusir Belanda. Sebaliknya, Britania cuci tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya.
Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap dapat berunding dengan SMB II dan mendapatkan Bangka sebagai kompensasi kepada Britania. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak SMB II. Akibatnya, Britania mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum SMB II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.
Setelah berhasil menduduki Palembang, Britania merasa perlu mengangkat penguasa boneka yang baru. Setelah menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang menguntungkan Britania, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran Adipati (adik kandung SMB II) diangkat menjadi sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Pulau Bangka berhasil dikuasai dan namanya diganti menjadi Duke of York’s Island. Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Meares sebagai residen.
Meares berambisi menangkap SMB II yang telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812 ia membawa pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robison.
Belajar dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan SMB II. Melalui serangkaian perundingan, SMB II kembali ke Palembang dan naik takhta kembali pada 13 Juli 1813 hingga dilengserkan kembali pada Agustus 1813. Sementara itu, Robison dipecat dan ditahan Raffles karena mandat yang diberikannya tidak sesuai.
PECAHAN Rp. 20.000
pecahan ini digunakan oleh kaum petani didesa yang lumayan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dibandingkan saudaranya yang berada dibawah level. namun masih sangat rentan dengan turunnya level akibat perjuangan hidup yang masih sangat keras. bergambar pahlawan Oto Iskandar Dinata yang menegaskan bahwa pengguna uang ini berjuang dalam kehidupan yang begitu keras.
berikut disampaikan bagaimana perjuangan oto iskandar dinata untuk mencapai kemerdekaan.
Raden Oto Iskandar di Nata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 31 Maret 1897 – meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia mendapat nama julukan si Jalak Harupat.
Oto Iskandar di Nata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Ayah Oto adalah keturunan bangsawan Sunda bernama Nataatmadja. Oto adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara.
Oto menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung, kemudian melanjutkan di Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) Bandung, serta di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah. Setelah selesai bersekolah, Oto menjadi guru HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada bulan Juli 1920, Oto pindah ke Bandung dan mengajar di HIS bersubsidi serta perkumpulan Perguruan Rakyat.
Dalam kegiatan pergarakannya di masa sebelum kemerdekaan, Oto pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung pada periode 1921-1924, serta sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Pekalongan tahun 1924. Ketika itu, ia menjadi anggota Gemeenteraad (”Dewan Kota”) Pekalongan mewakili Budi Utomo.
Oto juga aktif pada organisasi budaya Sunda bernama Paguyuban Pasundan. Ia menjadi Sekretaris Pengurus Besar tahun 1928, dan menjadi ketuanya pada periode 1929-1942. Organisasi tersebut bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan.
Oto juga menjadi anggota Volksraad (”Dewan Rakyat”, semacam DPR) yang dibentuk pada masa Hindia Belanda untuk periode 1930-1941.
Pada masa penjajahan Jepang, Oto menjadi Pemimpin surat kabar Tjahaja (1942-1945). Ia kemudian menjadi anggota BPUPKI dan PPKI yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang sebagai lembaga-lembaga yang membantu persiapan kemerdekaan Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Oto menjabat sebagai Menteri Negara pada kabinet yang pertama Republik Indonesia tahun 1945. Ia bertugas mempersiapkan terbentuknya BKR dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam melaksanakan tugasnya, Oto diperkirakan telah menimbulkan ketidakpuasan pada salah satu laskar tersebut. Ia menjadi korban penculikan sekelompok orang yang bernama Laskar Hitam, hingga kemudian hilang dan diperkirakan terbunuh di daerah Banten.
Oto Iskandar di Nata diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Sebuah monumen perjuangan Bandung Utara di Lembang, Bandung bernama “Monumen Pasir Pahlawan” didirikan untuk mengabadikan perjuangannya.
Nama Oto Iskandar di Nata juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di Indonesia.
PECAHAN Rp. 50.000
I gusti ngurah rai adalah pahlawan dari pulau dewata yang gagah perkasa. perjuangannya menginspirasi perjuangan kaum ekonmi menengah dalam mencapai kemerdekaan hidup, sebagaimana gambar dalam pecahan uang Rp. 50.000, pengguna uang ini bekerja keras untuk selangkah lagi mencpai kemerdekaan ekonomi kehidupanya.
berikut di sampaikan teknik perjuangan i gusti ngurah rai
Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai (lahir di Desa Carangsari, Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda, 30 Januari 1917 – meninggal di Marga, Tabanan, Bali, Indonesia, 20 November 1946 pada umur 29 tahun) adalah seorang pahlawan Indonesia dari Kabupaten Badung, Bali.
Ngurah Rai memiliki pasukan yang bernama “Ciung Wenara” melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam bahasa bali, berarti “habis-habisan”, sedangkan Margarana berarti “Pertempuran di Marga”; Marga adalah sebuah desa ibukota kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali)
Bersama 1.372 anggotanya pejuang MBO (Markas Besar Oemoem) Dewan Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) dibuatkan nisan di Kompleks Monumen de Kleine Sunda Eilanden, Candi Marga, Tabanan. Detil perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan resimen CW dapat disimak dari beberapa buku, seperti “Bergerilya Bersama Ngurah Rai” (Denpasar: BP, 1994) kesaksian salah seorang staf MBO DPRI SK, I Gusti Bagus Meraku Tirtayasa peraih “Anugrah Jurnalistik Harkitnas 1993“, buku “Orang-orang di Sekitar Pak Rai: Cerita Para Sahabat Pahlawan Nasional Brigjen TNI (anumerta) I Gusti Ngurah Rai” (Denpasar: Upada Sastra, 1995), atau buku “Puputan Margarana Tanggal 20 November 1946″ yang disusun oleh Wayan Djegug A Giri (Denpasar: YKP, 1990).
Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI (anumerta). Namanya kemudian diabadikan dalam nama bandar udara di Bali, Bandara Ngurah Rai.
KESIMPULAN
bahwa pencetakan uang dinegeri kita ini menggunakan gambar tokoh berdasarkan level kerasnya perjuangan rakyat. semakin besar nilai pecahannya semakin mendekati dengan kemerdekaan nilai perjuangannya. terendah dimulai level Rp 1.000 yang menandakan kerasnya perjuangan hidup sebagaimana perjuangan tokoh kapitan pattimura, hingga pada level orang kaya yang telah mencapai kemerdekaan sebagaimana gambar tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia.
Selamat hari kemerdekaan Indonesiaku, saya berharap suatu saat semua pecahan uang bernilai Rp. 100.000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar