Rabu, 09 Oktober 2013

......SADAT KHIANATI SYRIA DALAM PERANG YOM KIPPUR ..??..>>> ...Setelah perang itu, Mesir dan Syria yang sebelumnya adalah sekutu dekat hingga pernah menyatukan diri dalam satu negara, memilih jalan berbeda dalam hubungan mereka dengan Israel. Mesir memilih berdamai dengan Israel dengan imbalan mendapatkan kembali Sinai meski dengan kedaulatan yang tidak lagi utuh karena Israel juga diberi kewenangan campur tangan di wilayah itu. Imbalan lainnya adalah bantuan militer senilai miliaran dolar setiap tahun oleh Amerika. Sebaliknya Syria tetap memilih jalan perang, hingga sekarang. Pada tahun 1982, sekali lagi Syria terlibat perang terbuka melawan Israel saat membantu tetangga Arab-nya, Lebanon, yang diserang Israel. Namun kala itu Syria tidak lagi bersekutu dengan negara-negara Arab lainnya memerangi Israel, melainkan dengan Iran. Pada perang itu Presiden Mesir Anwar Sadat dan Presiden Syria Hafez al Assad memiliki motif yang berbeda. Sadat hanya tidak ingin dipandang sebagai pemimpin "impoten" yang tidak berani melawan Israel dan mengembalikan Sinai yang diduduki Israel. Sementara Hafez benar-benar serius untuk mengalahkan Israel dan merebut kembali Golan. ..>>> ....Perang Yom Kippur yang terjadi tgl 6 Oktober sampai 25 Oktober 1973 merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah di antara 3 negara yang paling terlibat di dalamnya, yaitu Syria, Mesir dan Israel. Namun di antara ketiganya terdapat cara yang berbeda dalam peringatannya. Di Mesir peringatan itu didominasi bentrokan berdarah antara pendukung Ikhwanul Muslimin dengan aparat keamanan dan massa anti-Ikwanul Muslimin yang menewaskan lebih dari 50 orang, merupakan pengulangan aksi-aksi demonstrasi berujung pembantaian oleh aparat keamanan yang dilakukan massa Ikwanul Muslimin sejak bulan Juli lalu. Di Syria peringatan dilakukan dalam berbagai bentuk seperti pameran seni, pertunjukan-pertunjukan, pemutaran film, konser, pawai hingga upacara bendera yang diadakan di puncak pegunungan Qasioun di dekat Damaskus yang dihadiri para pejabat tinggi Syria...>>> ...Belum diketahui apakah HAMAS juga melakukan pendekatan terhadap Syria. Prospek kembalinya HAMAS ke Damaskus dianggap sangat kecil, meski beberapa sumber menyebutkan Bashar al Assad tidak keberatan HAMAS kembali membuka kantornya di Damaskus, dengan satu syarat: tanpa kepala biro luar negeri HAMAS Khaled Meshal...>>>

TERPOJOK, HAMAS PUN KEMBALI KE IRAN

http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/10/terpojok-hamas-pun-kembali-ke-iran.html#.UlUIKVON6So

 
Sungguh sial nasib kelompok perlawanan Palestina HAMAS. Berharap mendapatkan keuntungan besar dari kekuasaan kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir dengan meninggalkan sekutu lamanya, Syria dan Iran, kini HAMAS justru mengalami krisis keuangan dan senjata setelah Ikhwanul Muslimin Mesir terjungkal dari kekuasaan. Maka mau tidak mau Hamas pun mendekati kembali Iran demi mendapatkan kucuran dana dan senjata.

 
 
Adalah konflik Syria yang membuat HAMAS melakukan akrobat politik. Berharap Ikwanul Muslimin, yang sebelumnya tengah "naik daun" dengan merebut kekuasaan di Turki, Tunisia, Mesir, Libya dan Qatar, bisa meraih kekuasaan setelah tumbangnya regim Bashar al Assad (HAMAS meski secara formal bukan bagian Ikhwanul Muslimin, namun secara idiologis adalah Ikhwanul Muslimin), HAMAS pun mengkhianati Bashar al Assad yang selama bertahun-tahun menjadi tuan rumah kantor urusan luar negeri mereka dan menjadi donatur utama mereka setelah Iran. Hal ini tentu saja membuat marah Iran dan Hizbollah yang bersama Syria membentuk blok "Perlawanan" anti-Israel. Bantuan uang dan senjata Iran pun turun tajam, meski tidak sama sekali dihentikan.

Selain memindahkan kantor luar negerinya dari Syria ke Qatar, HAMAS juga aktif menerjunkan milisi bersenjatanya ke medan perang Syria untuk memerangi Bashar al Assad. Hamas juga secara terbuka mengecam keterlibatan Iran dan Hizbollah dalam membantu Bashar al Assad. Namun tidak semua pemimpin HAMAS setuju dengan langkah "pengkhianatan" itu. Sebagian pemimpin, terutama dari sayap militer HAMAS Brigade Qassam, tetap menjaga hubungan baik dengan Iran dan Hizbollah. Hal inilah yang membuat Hizbollah segan untuk mengusir HAMAS dari Lebanon.

Mala petaka pun menimpa HAMAS setelah Presiden Moersi terdepak dari kekuasaannya tgl 3 Juli lalu dan digantikan oleh regim militer yang tidak respek pada HAMAS. Di sisi lain pergantian kekuasaan Emir Qatar juga tidak menguntungkan HAMAS. Bahkan dikabarkan Emir Qatar yang baru telah memerintahkan penutupan kantor HAMAS di Doha.

Kehilangan "induk", HAMAS pun langsung dilanda masalah keuangan yang serius. Maka dengan malu-malu, HAMAS pun kembali mendekati pejabat Iran dan Hizbollah di Beirut.

"Beberapa pertemuan telah dilangsungkan, .... untuk "membersihkan udara". Tidak ada boikot terhadap HAMAS, namun pada saat yang sama hubungan belum pulih seperti semula," kata seorang pejabat Lebanon yang mengetahui pertemuan-pertemuan tersebut kepada Reuters. Pejabat HAMAS yang terlibat dalam pertemuan itu adalah Moussa Abu Marzouk.

"Ini adalah kepentingan HAMAS untuk merevisi raport-nya di hadapan Iran dan Hezbollah demi beberapa alasan," kata Hani Habib, seorang analis politik yang berbasis di Jalur Gaza kepada Reuters.

"Pada akhirnya semua kelompok berkepentingan dengan hubungan ini," tambahnya.

Para pengamat memperkirakan bantuan keuangan Iran terhadap HAMAS sebelum terjadinya perselisihan sikap atas konflik Syria mencapai $250 juta per-tahun (setara Rp 2,5 triliun lebih). Saat ini diperkirakan sumbangan yang diterima HAMAS dari Iran hanya sebesar 15% atau 20% dari jumlah tersebut di atas.

Belum diketahui apakah HAMAS juga melakukan pendekatan terhadap Syria. Prospek kembalinya HAMAS ke Damaskus dianggap sangat kecil, meski beberapa sumber menyebutkan Bashar al Assad tidak keberatan HAMAS kembali membuka kantornya di Damaskus, dengan satu syarat: tanpa kepala biro luar negeri HAMAS Khaled Meshal.


REF:
"Cornered Hamas looks back at Iran, Hezbollah"; Mohamed Abdel Ghany; Reuters; 28 Agustus 2013

IN MEMORIAM PERANG YOM KIPPUR

 
 
Perang Yom Kippur yang terjadi tgl 6 Oktober sampai 25 Oktober 1973 merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah di antara 3 negara yang paling terlibat di dalamnya, yaitu Syria, Mesir dan Israel. Namun di antara ketiganya terdapat cara yang berbeda dalam peringatannya.

Di Mesir peringatan itu didominasi bentrokan berdarah antara pendukung Ikhwanul Muslimin dengan aparat keamanan dan massa anti-Ikwanul Muslimin yang menewaskan lebih dari 50 orang, merupakan pengulangan aksi-aksi demonstrasi berujung pembantaian oleh aparat keamanan yang dilakukan massa Ikwanul Muslimin sejak bulan Juli lalu. Di Syria peringatan dilakukan dalam berbagai bentuk seperti pameran seni, pertunjukan-pertunjukan, pemutaran film, konser, pawai hingga upacara bendera yang diadakan di puncak pegunungan Qasioun di dekat Damaskus yang dihadiri para pejabat tinggi Syria.


Bagi bangsa-bangsa Arab, perang tersebut membuktikan bahwa mereka sanggup mengalahkan Israel yang sebelumnya dianggap sebagai kekuatan yang tidak bisa dikalahkan. Sebaliknya bagi bangsa Israel, perang tersebut meruntuhkan kesombongan mereka sebagai kekuatan militer yang tidak terkalahkan oleh tetangga-tetangga sekaligus musuhnya orang-orang Arab.

Secara umum perang tersebut digambarkan sebagai upaya bersama Mesir dan Syria untuk merebut kembali wilayah mereka yang diduduki Israel sejak Perang 6 Hari tahun 1967. Mesir dan Syria awalnya berhasil mencapai tujuan mereka dengan mengusir Israel dari wilayah yang diduduki, yaitu Sinai (Mesir) dan Golan (Syria), namun akhirnya Israel berhasil menduduki kembali wilayah-wilayah tersebut. Namun ada banyak hal yang tidak ditulis dalam buku-buku sejarah dan dibahas oleh media-media massa umumnya, yaitu pengkhianatan pemimpin Mesir Anwar Sadat terhadap Syria (selengkapnya silakan lihat di sini http://cahyono-adi.blogspot.com/2012/09/sadat-khianati-syria-dalam-perang-yom.html), serta bantuan tanpa batas Amerika terhadap Israel, termasuk mengirim pesawat-pesawat tempur beserta pilotnya yang disamarkan hingga bantuan informasi inteligen dengan menggunakan peralatan paling canggih saat itu seperti pesawat pengintai SR-71 Blackbird. Dan satu lagi informasi penting namun luput dari perhatian publik, yaitu nyarisnya Israel menggunakan bom nuklir untuk menghentikan laju pasukan Syria dan Mesir.

Setelah perang itu, Mesir dan Syria yang sebelumnya adalah sekutu dekat hingga pernah menyatukan diri dalam satu negara, memilih jalan berbeda dalam hubungan mereka dengan Israel. Mesir memilih berdamai dengan Israel dengan imbalan mendapatkan kembali Sinai meski dengan kedaulatan yang tidak lagi utuh karena Israel juga diberi kewenangan campur tangan di wilayah itu. Imbalan lainnya adalah bantuan militer senilai miliaran dolar setiap tahun oleh Amerika. Sebaliknya Syria tetap memilih jalan perang, hingga sekarang. Pada tahun 1982, sekali lagi Syria terlibat perang terbuka melawan Israel saat membantu tetangga Arab-nya, Lebanon, yang diserang Israel. Namun kala itu Syria tidak lagi bersekutu dengan negara-negara Arab lainnya memerangi Israel, melainkan dengan Iran.

Pada perang itu Presiden Mesir Anwar Sadat dan Presiden Syria Hafez al Assad memiliki motif yang berbeda. Sadat hanya tidak ingin dipandang sebagai pemimpin "impoten" yang tidak berani melawan Israel dan mengembalikan Sinai yang diduduki Israel. Sementara Hafez benar-benar serius untuk mengalahkan Israel dan merebut kembali Golan.


Secara diam-diam Sadat bersepakat dengan PM Israel Golda Meier untuk membiarkan tentara Mesir merebut Sinai dan memberi kesempatan Israel mengkonsentrasikan kekuatannya menghadapi Syria. Hal ini dipenuhi Sadat dengan memerintahkan tentaranya berhenti dan duduk-duduk di Sinai, dan bukannya melanjutkan serangannya ke jantung Israel. Yang lebih parah lagi, Tentara Ke-III yang ditugaskan menyerang Sinai tidak didukung oleh kekuatan pasukan lainnya untuk menjaga jalur suplai. Akibatnya ketika tentara Israel menyerang balik, satuan itu terkepung sendirian, dan Mesir pun akhirnya setuju untuk gencatan senjata. Akibatnya Syria harus menanggung beban perang yang lebih berat lagi. Bertempur relatif sendirian menghadapi gabungan kekuatan Israel dan Amerika (dukungan kekuatan negara-negara Arab tidak cukup signifikan), Syria pun akhirnya mundur kembali dari Golan yang sempat direbutnya dari Israel. Dalam perang itu Syria harus kehilangan 6.000 tentaranya.

Dalam perang tersebut Israel yang kehilangan hampir 3.000 tentaranya memang berhasil membalikkan kemenangan Mesir dan Syria di awal perang menjadi kemenangan mereka di akhir perang. Namun predikat "kekuatan tak terkalahkan" yang disandang Israel berhasil diruntuhkan. Dan hal itu bertambah kuat setelah Hizbollah dan kelompok "Perlawanan" Lebanon berhasil mengusir Israel dari Lebanon tahun 2000 dan sekali lagi tahun 2006.

Sejak saat itu Israel tidak lagi memiliki kepercayaan diri untuk menyerang negara-negara tetangganya kecuali ada jaminan perlindungan dari Amerika.

REF:
"War Self-Delusion"; FRANKLIN LAMB; Veterans Today; 4 Oktober 2013

War Self-Delusion


Assad on the anniversary of the October War
Assad on the anniversary of the October War

War Self-Delusion

 by FRANKLIN LAMB

(Damascus)- In Damascus and many other areas of Syria this weekend, citizens will celebrate the accomplishments of the October 6, 1973 –  19 day war jointly launched by Syrian and Egyptian armies to regain Arab land illegally occupied since 1967.

Syrians will honor the 6,000 (Syrians) who died during battle. Many events are planned including special television broadcasts which will revisit the conflict; also numerous art exhibits, plays, films, concerts, rallies, and wreath-laying ceremonies. Public and government officials will appear at the monument, located atop Qasioun Mountain in Damascus, mindful of the many sacrifices being made today.  In Egypt, October 6 is Armed Forces Day, commemorating the Egyptians’ role in that October War.

For both peoples, breaking Israel’s sense of invincibility after its 1967 aggression was victory enough.  The results of the battle were mixed as history records, but the political and military effects are still indelible, as Zionist leaders exhibit a certain bi-polarization. Many analysts and pro-Zionist “think tanks” are holding seminars on the subject in occupied Palestine and some in the US as well, with many attendees still gnashing their teeth over what went wrong forty years ago.  For many Israelis, the surprise battle that killed nearly 3000 Israeli soldiers threatened to destroy the so-called ‘Third Temple’ thus eliminating the last 19th century colonial enterprise.  ”Academic” seminars, in “professional” strategic forums – even IDF and intelligence fora are planned just as they have been organized every year since 1973.

Many Israelis are still condemning their political leaders at the time, particularly then Prime Minister  Golda Meir and military ‘heroes’ from the 1967 aggression as incompetents derelict in their military duties including lack of preparedness. The adulation for General Moshi Dayan resulting from 1967 turned ugly in October of 1973 as many families picketed and chanted “murderer” for the killing of their sons and daughters. The repentance appears to intensify each year over the “Yom Kippur fiasco,” the outcome of the “blindness” and the “smugness and arrogance following the conquests of the Six-Day War,” as many claim.

The Israeli military has never denied that General Dayan urged the use of Chemical weapons during the October war. But chemical weapons are not all that Dayan wanted permission to use.  Writing in the 10/3/13 issue of the New York Times, Avner Cohen, a professor at the Monterey Institute of International Studies and a senior fellow at the Center for Nonproliferation Studies discusses an interview he had in 2008 with  Mr.  Arnan Azaryahu who was a senior political insider and trusted aide and confidant to Yisrael Galili, a minister without portfolio and Golda Meir’s closest political ally.  Writes Cohen, “Mr. Azaryahu was privy to some of Israel’s most fateful decisions. In the early afternoon of Oct. 7, as a fierce battle with Syrian forces raged and the Israeli Army appeared to be losing its grasp on the Golan Heights.”  Mr. Azaryahu further reported that  Dayan sought from Golda Meir, during the cabinet meeting which Mr. Azaryahu attended, “an immediate authorization of preparatory steps for a nuclear blast that he claimed would save precious time and allow the order to detonate a bomb to be executed rapidly should the need arise.”

Cohen continues, “Siding with her two senior ministers, the prime minister told Mr. Dayan to “forget it.” He responded by saying that he remained unconvinced but that he respected the prime minister’s decision.”  Dayan sought but was refused authority to use either chemical or nuclear weapons.

One of the lessons from that October war still being discussed is that the hubris from the 1967 aggression concerning the “invincible Israeli army” was simple propaganda for domestic consumption – as were the many battles in South Lebanon during 22 years of occupation and the 33 day 2006 war illustrate.  That war clearly established beyond peradventure that the Israeli army cannot defend the Zionist colony unless it has massive American military supplies and blank check funding.  During the Tishri battle, the American government, without input from Pentagon or public, provided the Israeli military with planeloads of weaponry, including 9 types of US cluster bombs that were taken from supplies at Subic Bay, Philippines, causing the local US commander to resign claiming that “emptying those warehouses put thousands of US troops in Vietnam at risk.”  Yet, President Nixon caved to pressure from PM Golda Meir so that many hundreds of those old cluster bombs, thirty years past their shelf life were used as recently as during the July 2006 war in Lebanon.

The Nixon administration also provided Israel with something far more important – intelligence. Documents relating to the American spy-plane, the ‘SR-71 Blackbird’, show that the Israelis knew where major concentrations of Arab forces were as they were supplied with this information as a result of SR-71 overflights of that war zone. With such knowledge,  Israelis knew where to deploy their forces for maximum effect.  Whatever dreams of self-sufficiency in weapon development and production were entertained in Israel before the war, were abandoned. Tel Aviv learned that it needs close support, strategic weapons and funding from Washington to survive.

Following the October war, the Arab oil boycott turned Israel into a pariah; fewer countries had diplomatic relations with the Jewish state than with the PLO, which didn’t pretend to seek anything but Palestine’s liberation and the full right of Return. The UN General Assembly gave a standing ovation to Yasser Arafat and shortly thereafter the UN passed the Zionism is Racism resolution.   Last month’s embarrassing Netanyahu spectacle at the UN General Assembly where he presented himself as some sort of sociopathic racist, led reportedly, to one European delegate saying after that speech ‘if a snap vote was held on the 1975 Zionism is Racism Resolution (GAR 3379) it would pass again–but by a larger margin than the 11/10/75 vote of 72 to 35.’

Ehud Barak, Israel’s former defense minister claims at pep rallies and AIPAC type gatherings that “states much larger than ours and supposedly much stronger collapsed within weeks under surprise attack and we were totally victorious in 1973.”

Think tanks, such as the Institute for National Security Studies at Tel Aviv University and the Begin-Sadat Center (BESA) for Strategic Studies at Bar-Ilan University, have become bolder participants in the national security debates and have offered alternatives to Netanyahu-Lieberman governmental policies.   Gen. Isaac Ben Israel, a specialist on strategic affairs, wrote recently in the small right-wing publication Ha-Umma that “Israel’s achievement was great for revealing to its enemies their inability to overwhelm Israel’s Defense Forces” even in the most favorable circumstances.

Both gentlemen delude themselves and fail to understand the growing global resistance to the occupation of Palestine and opposition to confiscation of Jerusalem by misstating what happened forty years ago this month.      More realistic is the statement made last week by Defense Minister Moshe Yaalon at a meeting with top defense officials: “One of the causes of our failure at the beginning of the conflict came from a feeling of superiority that we held after the 1967 victory. Israel had “too much confidence, arrogance and lack of caution.”

Every October, bereavement becomes a major element of the Israeli ethos, and a dominant national display of trauma.  It is to blame, some claim, for Zionist doubts about facing the future of their enterprise in Palestine.   And even among many Israelis awareness about the very right of the Apartheid Jewish state to exist. Israel once again feels vulnerable to surprise attack.

The shock of the October War left deep scars on the national psyche that affect Israelis even today. Foremost among them, according to the Jaffee Center, is a gnawing anxiety that the national leadership is so locked into a “conceptzia” — a shared strategic concept that determines the leaders’ worldview — that they may be misreading reality and ignoring opportunities for peace.

Commenting on the report’s claim that Israel is now better off strategically than at any time in its history, the military analyst for the Ma’ariv newspaper, Amir Rapaport, observed wryly that “the last time we boasted that things were never better was in the autumn of 1973.”

Franklin Lamb volunteers with the Sabra-Shatila Scholarship Program (SSSP) in Shatila Camp (www.sssp-lb.com) and is reachable c/o fplamb@gmail.com

SADAT KHIANATI SYRIA DALAM PERANG YOM KIPPUR

Sesuai janji saya beberapa waktu lalu bahwa saya akan memaparkan sebagian dari fakta sejarah perjuangan bangsa Syria melawan kekuataan zionis Israel, berikut saya sampaikan fakta-fakta sejarah Perang Yom Kippur yang melibatkan Syria dalam perang hidup mati melawan Israel. Namun berbeda dengan versi "resmi", tulisan ini berdasarkan "edisi revisi", berasal dari file rahasia yang ditulis dubes Sovyet untuk Mesir Vladimir M. Vinogradov yang kemudian ditulis dalam sebuah artikel oleh penulis berdarah yahudi Israel Shamir yang dimuat di situs independen "Counterpunch" dengan judul "What Really Happened in the Yom Kippur War?".

Menurut tulisan itu Presiden Mesir Anwar Sadat telah mengkhianati Syria dalam Perang Yom Kippur tahun 1973 demi memenuhi ambisi pribadinya. Dalam pengkhianatannya terhadap Syria, Sadat bekerjasama dengan pemimpin Israel Golda Meir serta menlu Amerika Henry Kissinger.

Menurut versi "resmi" Perang Yom Kippur yang dimulai tgl 6 Oktober 1973 dimulai dengan aksi serangan dadakan Mesir dan Syria secara serempak terhadap Israel. Pasukan Mesir berhasil menerobos Sinai (wilayah Mesir yang diduduki Israel sejak Perang 6 Hari tahun 1967) sejauh beberapa mil dan pasukan Syria menerobos Dataran Golan (wilayah Syria yang direbut Israel tahun 1967). Kedua serangan terpisah namun terkoordinasi rapi itu menimbulkan kerugian besar bagi Israel sekaligus menjadi momen pertama kalinya dimana Arab berhasil mengalahkan Israel. Namun kemudian Israel melakukan serangan balik dan berhasil memukul mundur Syria dari Golan dan mengancam balik ibukota Damaskus. Disusul kemudian serangan balik Israel atas Mesir yang berhasil menerobos Mesir dan mengepung Tentara Ketiga Mesir. Perang akhirnya berakhir melalui gencatan senjata yang disponsori Amerika dengan posisi tidak ada pihak yang menang maupun kalah.

Menurut Vinograd aksi serangan Mesir dan Syria yang menjadi awal peperangan sama sekali bukan aksi dadakan. Aksi tersebut telah diketahui, bahkan dirancang bersama oleh Sadat, Golda Meir dan Kissinger. Perencanaan bahkan mencakup penghancuran tentara Syria dan pengepungan Tentara Ketiga Mesir (1 Tentara terdiri dari beberapa korps, 1 korps terdiri dari beberapa divisi, dan 1 divisi berkekuatan sekitar 10.000 personil militer. Satu Tentara berkekuatan sekitar 200-300 ribu personil).

Jalannya peperangan juga menimbulkan banyak pertanyaan. Misalnya saja, mengapa tentara Mesir berhenti melakukan serangan setelah menerobos Sinai dan membiarkan Tentara Ketiga terpencil sendirian tanpa penjagaan? Mengapa Mesir membiarkan divisi tank Ariel Sharon menerobos pertahanan Mesir dan mengepung Tentara Ketiga? Mengapa tidak ada pasukan cadangan Mesir di Tepi Barat Terusan Suez yang bisa mencegah pengepungan Tentara Ketiga?

Tentang hal ini Vinogradov menulis: "Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab selama kita menganggap Sadat sebagai seorang patriot bagi bangsa Mesir. Pertanyaan-pertanyaan itu baru bisa dijawab seluruhnya jika kita mempertimbangkan adanya kolusi antara Sadat dengan pemimpin-pemimpin Israel dan Amerika yang masing-masing dari mereka mencoba meraih tujuan masing-masing. Suatu konspirasi di mana masing-masing pemain tidak mengetahui sepenuhnya tujuan pemain lainnya. Suatu konspirasi dimana masing-masing pemain berusaha meraih hasil yang lebih besar dari kesepakatan semula."

Ketika Sadat mulai menduduki jabatannya sebagai Presiden Mesir sepeninggal Gamal Abdul Nasser, ia menanggung beban moral yang tidak tertanggungkan: sebagai pecundang besar Perang 6 Hari tahun 1967. Ia adalah komandan pasukan Mesir dalam perang yang memalukan itu. Hanya dalam waktu 6 hari Israel bisa mencaplok Gaza dan Sinai dari Mesir, Dataran Golan dari Syria, dan mengusir Yordania dari Al Quds (Jerussalem). Dan bahkan ketika Arab belum sempat melakukan serangan balik untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang diduduki Israel, mereka sudah menerima tawaran gencatan senjata. Tentu saja hal itu terjadi karena lemahnya kepemimpinan para pemimpin Arab, atau telah terjadi konspirasi untuk keuntungan Israel.

Sadat tidak saja menanggung malu di hadapan rakyat Mesir, namun juga di hadapan seluruh bangsa Mesir mengingat Mesir adalah "pemimpin" di antara bangsa Arab karena kekuatan militer dan jumlah penduduknya. Beban itu baru bisa hilang jika ia bisa menunjukkan sebagai pemimpin yang berani dan tangguh dengan menyerang Israel.

Namun untuk memulai perang, Sadat tidak mendapat dukungan Uni Sovyet. Sebaliknya, ambisi pribadinya yang besar tercium oleh Henry Kissinger, menlu Amerika sekaligus seorang zionis sejati. Kissinger pun menawarkan solusi: Bersama Israel, Amerika mengijinkan Mesir menyerang Israel dan merebut kembali sebagian Sinai. Namun pada akhirnya Israel akan memukul balik Mesir ke perbatasan sebelum perang. Terakhir Amerika akan campur tangan untuk menfasilitasi gencatan senjata.
Di sisi lain Mesir terjalin perjanjian militer dengan Syria yang mewajibkan setiap perang yang melibatkan Mesir otomatis juga melibatkan Syria. Syria dipimpin oleh Haffez al Assad, juga komandan perang dalam Perang 6 Hari. Seperti Sadat, ia pun memiliki obsesi untuk menyerang Israel dan merebut kembali Dataran Golan milik Syria. Bedanya dengan Sadat, Haffez benar-benar menjadikan Golan sebagai musuh pribadinya dengan Israel yang tidak akan ditukarnya dengan apapaun.

Maka Mesir dan Syria pun terlibat dalam perencanaan serangan bersama terhadap Israel. Namun diam-diam Sadat telah membuat kesepakatan dengan Kissinger dan Golda Meir untuk mengorbankan Syria. Sebenarnya tidak hanya Syria, namun juga pasukan penjaga perbatasan Israel sebagaimana juga Tentara Ketiga Mesir.

Selama masa dekolonisasi setelah berakhirnya Perang Dunia 2, Amerika kehilangan pengaruhnya di Timur Tengah dengan minyaknya yang melimpah, Terusan Suez yang vital dan menguntungkan, serta penduduknya yang padat sebagai pasar. Sekutunya, Israel, harus didukung, namun negara-negara Arab juga semakin kuat. Israel harus dibuat flexibel dan sikap kerasnya terhadap negara-negara Arab harus diredam. Maka Israel harus dilindungi sekaligus dihancurkan arogansinya. Hal itu hanya bisa terjadi jika Mesir bisa "memukul keras" Israel untuk kemudian diselamatkan Amerika.

Di sisi lain Amerika juga membutuhkan bantuan Israel untuk mengukuhkan kedudukannya di Timur Tengah karena saat itu Amerika hanya mempunyai 2 sekutu, yaitu Israel dan Saudi Wahabiah. Jika pengaruh Amerika menguat di Timur Tengah, maka Israel pun ikut "terangkat derajatnya". Sementara Sadat kurang menyukai Uni Sovyet dan kekuatan-kekuatan progressif di negerinya, ia bisa dibujuk untuk bergabung dalam poros Amerika-Israel-Saudi. Sementara Syria, kekuatan Arab progressif yang masih teguh memusuhi Israel, bisa diatasi secara militer dan dihancurkan.

Maka setelah tercapai kesepakatan rahasia antara Sadat, Kissinger dan Meier, disusunlah sebuah skenario. Mesir akan dibiarkan menerobos Sinai dengan menyeberangi Terusan Suez dan Israel hanya akan mempertahankan lembah menuju Mittla and Giddi. Sementara untuk Syria diputuskan untuk dihancurkan secara militer. Itulah sebabnya Israel lebih banyak mengkonsentrasikan pasukannya di perbatasan timur dengan Syria daripada perbatasan barat dengan Mesir meski yang terakhir ini memiliki kekuatan militer jauh lebih besar. Adapun beberapa ribu tentara Israel yang ada di perbatasan Suez, sengaja dikorbankan.

Namun sebagaimana aksi-aksi konspirasi lainnya, tidak semua aspek berjalan sesuai rencana. Demikian juga dalam konspirasi Perang Yom Kippur. Tidak seperti yang diperkirakan, Uni Sovyet dengan mengabaikan resiko terlibat konflik dengan Amerika, ternyata sangat antusias membantu Arab dengan gelontoran senjata yang dikirim langsung dengan pesawat-pesawat pengangkut militernya. Dan senjata-senjata itu adalah yang termodern pada masanya, khususnya rudal-rudal anti tank. Masalah lainnya adalah ternyata senjata-senjata yang dikirimkan Sovyet ternyata jauh lebih unggul dibanding senjata Israel yang dipasok Amerika.

Sebelum Perang Yom Kippur, Israel sering mengolok-olok tentara Arab yang kebanyakan menderita penyakit phobi atau ketakutan terhadap tank. Mereka berlarian dari posnya jika mendengar atau melihat tank-tank Israel menuju ke posisi mereka. Namun dengan senjata-senjata anti-tank "Sagger" yang akurat dan cukup dipanggul oleh seorang tentara, Mesir tiba-tiba saja menjadi kampiunnya perang tank. Senjata satu itu bertanggungjawab atas hancurnya 800 sampai 1200 tank Israel.

Maka pasukan Mesir dengan "lenggang kangkung" menerobos Sinai. Gema "Arab mengalahkan Israel!" menggema di seluruh Arab dan bahkan dunia, namun itu justru membuat Sadat bingung. Untuk mencegah skenario lebih melenceng dari rencana, Sadat pun memerintahkan pasukan Mesir untuk berhenti. Mereka hanya diperintahkan untuk menunggu tentara Israel.

Namun saat itu Israel masih sibuk menghadapi Syria di front timur. Merasa aman dari ancaman Mesir, Israel pun mengerahkan seluruh kekuatannya menghadapi Syria. Syria yang awalnya sukses menerobos Golan, akhirnya terdesak mundur. Haffez al Assad meminta pasukan Mesir untuk maju demi mengurangi tekanan atas Syria, namun Sadat menolak. Tentara Mesir tetap diam tidak bergerak meski tidak ada satu unit pun tentara Israel menghadang mereka. Saat itu juga Haffez al Assad (ayah dari Presiden Bashar al Assad) sadar kalau Sadat telah mengkhianatinya.

Sebagaimana Sadat, para pemimpin Israel pun terkejut dengan perkembangan perang. Syria memang mundur, namun setiap meter kemajuan Israel harus dibayar dengan mahal. Hanya pengkhianatan Sadat lah yang telah menyelamatkan Israel dari Syria. Skenario penghancuran total pasukan Syria gagal dilakukan, namun Syria juga tidak mampu lagi melakukan offensif baru.

Israel kemudian mengalihkan konsentrasinya ke barat. Kali ini Golda Meir, yang kecewa pada Sadat yang telah menghancurkan tentaranya dengan terlalu kejam, memutuskan untuk menghukum Sadat. Ia pun memindahkan sebagian besar pasukannya yang telah dilengkapi dengan senjata-senjata terbaru Amerika, ke barat.

Kala itu Yordania, yang terlibat dalam peperangan dengan mengirimkan pasukan ekspedisi ke pihak Syria, mendapat kesempatan untuk memotong jalur transportasi Israel dari Utara ke Selatan. Raja Yordania Hussein pun mengajukan usulnya ke Sadat dan Haffez. Haffez dengan gembira menerima usul itu, namun Sadat menolak.

Dalam pengakuannya kepada Vinogradov kemudian, Sadat memberikan jawaban yang tidak rasional menurut Vinogradov. Soal berhentinya tentara Mesir di Sina, Sadat berdalih ia tidak ingin pasukannya menghabiskan energi mencari tentara Israel. Sedang mengenai proposal Raja Hussein Sadat mengaku tidak percaya dengan kemampuan tempur pasukan Yordania. Jika Yordania diserang Israel maka Mesir terpaksa harus menyelamatkannya.

Padahal bahkan para pemimpin Israel bisa memastikan, jika saja pasukan Mesir maju, dengan mudah mereka akan membebaskan seluruh Sinai dan Gaza dari pendudukan Israel. Vinogradov menulis bahwa diamnya pasukan Mesir adalah karena Sadat menunggu Amerika turun tangan. Namun yang datang ternyata adalah hukuman Israel.

Kala itu Tentara Ketiga Mesir berada 40 km dari posisi pasukan pendukungnya, Tentara Kedua. Padahal seorang kadet militer yang masih hijau saja tahu, hal itu sangat membahayakan. Membiarkan satu pasukan besar tanpa pelindung di garis belakangnya sama saja dengan menghancurkan pasukan itu. Musuh bisa dengan mudah menerobos dan kemudian mengepung pasukan tersebut hingga hancur perlahan-lahan. Sebagaimana terjadi pada Tentara Ketiga Jerman dalam Perang Dunia II yang terkepung oleh pasukan Uni Sovyet justru ketika tengah mengepung kota Stalingrad. Seluruh pasukan berkekuatan lebih dari 300.000 tentara itu pun hancur dan hanya 90.000 tentara tersisa yang ditawan Uni Sovyet.


Maka pasukan Israel di bawah komando Ariel Sharon menerobos "pertahanan" Mesir sekaligus memotong jalur transportasi antara Tentara Kedua dengan Tentara Ketiga sekaligus secara efektif menjadikan Tentara Ketiga terkepung di Sinai. Tidak hanya itu, tank-tank Ariel Sharon bahkan menyebarangi Terusan Suez dan mengancam kota-kota utama Mesir. Pada saat ini Amerika baru bertindak untuk "menyelamatkan Mesir".

Gencatan senjata pun ditetapkan melalui Konperensi Genewa yang diboikot Syria. Dan sejak saat itu terjadi perubahan orientasi politik luar negeri Mesir yang sangat tajam. Sadat menjauhi Uni Sovyet dan mendekati Amerika, sikap politik yang selanjutnya ditiru oleh pemimpin-pemimpin Arab lainnya. Ia bahkan berkoar-koar bahwa Sovyet tidak serius membantunya dalam perang.

Selain Amerika yang menangguk keuntungan politis, Sadat juga demikian halnya. Ia muncul sebagai "pahlawan baru Arab" yang berhasil mengalahkan Israel. Kamun ia tidak bisa berlama-lama menikmati kemenangannya, peluru-peluru tajam tentaranya yang merasa dikhianati, menembus jantungnya dan menewaskannya tidak lama kemudian.


4 komentar:

Luky Malik mengatakan...
jangan MENIPU sejarah dengan "dalil" penghianatan,..memang israel hebat dibanding 1,4 miliar umat muslim laknatuloh,..
umat islam pembenci israel adalah pengecut,paranoid,.......
1,4 miliar mengeroyok satu negara yang cuman "7 juta orang" ITUPUN KALAH TELAK!!!!!!! DAN TIDAK BANGKIT2 LAGI,..HA..HA....

Luky Malik 
mengatakan...
kalo israel paranoid itu hal yang wajar namun karena jumlah mereka sedikit,..
SEBENARNYA YANG LEBIH PARANOID ITU ADALAH 1,4 MILIAR KAUM LAKNATULOH,..
24 jam dalam benaknya cuman memusuhi yahudi,..
namun walaupun 1,4 miliar manusia laknatuloh ini berdoa 5 kali sehari untuk kejatuhan israel namun doanya tidak pernah dikabulkan,..itu karena "awloh itu gak ada alias fiktif" malahan KEBALIKAN LAGI,..ISRAEL TAMBAH SEJATERA DAN MODERN,JUSTRU 1,4 MILYAR INI DIKUTUK,..SEHINGGA HIDUPNYA SUSAH,BERANTEM DENGAN SESAMANYA SENDIRI,MISKIN,BODOH,TERKEBLAKANG,..TRORIST...

ketika ISRAEL MEMBOM PALESTINA DIKATAKAN BIADAB,NAMUN KETIKA ISRAEL MAU DAMAI, DIBILANG PENGHIANAT, PENAKUT,..trus mau kalian itu apa?????????????


HUAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
cahyono adi mengatakan...
To Luky. Silakan tertawa manusia keturunan manusia terkutuk sepanjang masa. Waktumu tinggal sedikit lagi sebelum berubah menjadi penyesalan seumur hidup. Kau dikutuk Tuhan, para nabi dan rosul dan umat manusia sepanjang sejarah. Silakan tertawa seperti iblis dan setan tertawa.

Hizbollah sudah membuktikan betapa rapuhnya kalian. Hanya karena berlindung di bawah ketiak Amerika dan pemimpin-pemimpin dunia pengecut seperti anwar sadat, kalian bisa selamat sampai saat ini.

Sebentar lagi, sebagaimana nubuwat Nabi kami, kami akan memburu kalian hingga ke liang tanah.
jack angel mengatakan...
dengan dalih apapun, israel gak bakalan bisa lu kalahin kecuali kalo Tuhan sendiri yang cabut sumpah-Nya buat ngejagain israel..

3 komentar:

  1. Jaman dulu aja ngak bisa ngalahin apalagi sekarang udah punya drone, iron dome dll, lalu gimana mau ngalahin kalau berkai sendiri, Mesir sudah nihil karena IM dimakzulkan militer karena berkuasa dengan arogan, Suriah perang saudara , iran musuh utama Israel udah dikeroposin ama Arab Saudi yang Sunni ...
    Daerah Timur Tengah akan selalu Panas Sepanas Iklimnya ... Pada hobi Perang agar cepet cepet Mati lalu masuk Surga ....

    BalasHapus
  2. tentara israel laknat kocar kacir diberondong Al Qasam....ahai

    BalasHapus
  3. Jalannya peperangan juga menimbulkan banyak pertanyaan. Misalnya saja, mengapa tentara Mesir berhenti melakukan serangan setelah menerobos Sinai dan membiarkan Tentara Ketiga terpencil sendirian tanpa penjagaan? Mengapa Mesir membiarkan divisi tank Ariel Sharon menerobos pertahanan Mesir dan mengepung Tentara Ketiga? Mengapa tidak ada pasukan cadangan Mesir di Tepi Barat Terusan Suez yang bisa mencegah pengepungan Tentara Ketiga?

    ini benar benar pertanyaan bodoh !!!
    1.Misalnya saja, mengapa tentara Mesir berhenti melakukan serangan setelah menerobos Sinai dan membiarkan Tentara Ketiga terpencil sendirian tanpa penjagaan?

    jawabnya :

    justru memang mesir harus berhenti, karena jika memaksa maju lebih jauh akan menghancurkan mesir sendiri, dan itulah yang ditunggu Israel, sebab koordinasi kekuatan mesir akan terpecah, dan sistem payung udara tidak bisa melindungi pasukan mesir dari serangan AU Israel. dan itu memang terbukti akhirnya.gerak maju terburu buru mesir meninggalkan payung udarranya meruppakan titik balik kekalahan mesir.

    2.Mengapa Mesir membiarkan divisi tank Ariel Sharon menerobos pertahanan Mesir dan mengepung Tentara Ketiga?

    Jawab:

    karena mesir tidak mampu menahan tentara israel yang telah dibantu oleh pasukan front timur yang sudah menyelesaikan perangnya, suriah terpukul mundur pada pada tanggal 12 oktober, jadi YANG LARI DULUAN ADALAH SURIAH, BUKAN MESIR. bagaimana mungkin jadi mesir yang mengkhianati suriah ? apa nggak kebalik ?

    BalasHapus