Jujur dalam Membaca Sejarah Kelam 1965-66 (Indra Hikmawan)
http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/09/30/jujur-dalam-membaca-sejarah-kelam-1965-66-indra-hikmawan/#more-1661
Artikel ini bagus sekali untuk menelaah ulang peristiwa G30S.
Ditulis oleh dosen HI Unpad, Indra Hikmawan Saefullah. Salah satu poin
yang saya garis bawahi: pada saat itu, komunis dijadikan musuh bersama
dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh komunis seolah menjadi
legal karena dianggap membela Islam atau membela negara. Terlepas dari
perdebatan benar/salahnya ideologi komunis, menurut saya, pembantaian
massal yang dilakukan rakyat sipil terhadap saudara sebangsa mereka
(yang dituduh komunis, bahkan tanpa diteliti dulu benar/tdk mereka ini
komunis), jelas perilaku yang keji. Dan artinya, bangsa ini yang sering
disebut ‘ramah dan lemah-lembut’ ternyata sanggup juga berbuat
sedemikian brutal. Catatan sejarah ini penting diungkap karena sampai
saat ini pun, bangsa Indonesia masih menghadapi ancaman merebaknya pola
pikir yang sama: “karena kamu sesat, maka darahmu halal” (hanya saja,
kali ini ‘musuh’-nya bukan lagi orang komunis, melainkan sesama muslim
yang dituduh sesat).
Dan jangan dilupakan pula, di saat bangsa kita sedang sibuk
berkonflik, pada bulan November 1967, korporat asing berpesta-pora
membagi-bagi jatah kekayaan alam Indonesia. Saat itu, diadakan
konperensi di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang
pengambil-alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang
paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua
raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank,
General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British
American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International
Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya
Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang
top.” Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi
sektor… (bagian ini tulisan John Pilger, dikutip dari buku Prahara
Suriah).
Kita tentu tak ingin skenario yang sama diulang kembali: rakyat
disibukkan oleh konflik internal, sehingga korporat asing (dan
kaki-tangan pribuminya) semakin leluasa merampok kekayaan alam negeri
ini…
—-
Jujur dalam Membaca Sejarah Kelam 1965-66
(Indra Hikmawan)
Mereka yang pernah merasakan hidup di masa Orde Baru (1967-98) pasti ingat betul dengan pengalaman menonton film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI. Film
karya Arifin C. Noer yang diproduksi tahun 1984 ini oleh negara
dijadikan film yang wajib ditonton oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai realisasinya, film tersebut kemudian ditayangkan oleh TVRI pada
setiap tanggap 30 September waktu tengah malam tiap tahunnya bertepatan
dengan waktu dimana peristiwa G30S terjadi.
Menurut narasi sejarah resmi dari negara, peristiwa 30 September 1965
menyisakan luka bangsa yang sangat mendalam. Pada tengah malam waktu
itu tujuh perwira Angkatan Darat ditangkap oleh pasukan Cakrabirawa yang
berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Konon
semalam suntuk hingga dini hari para perwira tersebut disiksa secara
sadis (dipukul, disilet, disunut rokok, matanya dicungkil, dsb.)
kemudian mereka dibunuh dan jasadnya dibuang ke sebuah sumur mati yang
kini dikenal dengan sebutan ‘Lubang Buaya’. Setelah dibuang ke dalam
sumur, para tentara PKI kemudian memberondong sebagian jasad yang telah
mati itu dengan senapan mesin mereka.
Film Pengkhianatan G30S/PKI menggambarkan secara detil
kejadian sadis tersebut. Saking seringnya film tersebut ditayangkan,
hampir semua yang menontonnya hafal betul dengan adegan-adegan serta
dialog kunci yang muncul dalam film tersebut. Seperti ucapan “Darah itu merah, Jendral!”
menjadi ucapan populer yang mengindikasikan kekejaman PKI pada
peristiwa tersebut. Tujuan dari produksi film ini tidak lain ialah untuk
mengingatkan kembali rakyat Indonesia akan ‘bahaya laten komunisme’
yang pernah merongrong keamanan negara pada tanggal 30 September 1965.
Peristiwa penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan 7 perwira Angkatan
Darat dijadikan alasan bagi TNI untuk menumpas habis seluruh gerakan
yang berafiliasi dengan PKI dan melarang seluruh ideologi yang identik
dengan komunisme (Marxisme, Leninisme, Maoisme, dst.). Menurut narasi
sejarah resmi negara, peristiwa G30S merupakan usaha PKI untuk melakukan
kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Berdasarkan narasi tersebut, PKI
bertujuan untuk ‘menyelamatkan’ Indonesia dari kekuatan-kekuatan yang
dianggap anti-revolusioner dan anti-Sukarno.
Sebagaimana dikisahkan dalam film tersebut dan juga termaktub dalam
buku-buku sejarah sekolah, Suharto tidak tinggal diam dan langsung
melakukan operasi militer guna menggagalkan gerakan kudeta tersebut.
Suharto selalu digambarkan sebagai Hero of the Day dimana ia
berhasil menangkap tokoh-tokoh utama PKI seperti D.N. Aidit (yang
langsung ditembak mati) dan Letkol. Untung. Selain itu operasi militer
yang dipimpin oleh Suharto berhasil menemukan jasad para perwira yang
sebelumnya diculik oleh PKI di sekitaran Kampung Pondok Gede, Jakarta
Timur (Lubang Buaya). Sebagai peringatan terhadap peristiwa kelam ini,
pemerintah Orde Baru mengabadikan kompleks Lubang Buaya, lokasi tempat
penyiksaan dan pembunuhan para perwira tersebut, sebagai sebuah museum
nasional yang kemudian dikenal dengan Monumen Pancasila Sakti.
Film Pengkhianatan G30S/PKI dan Monumen Pancasila Sakti
merupakan 2 artefak sejarah yang penting untuk ditelaah secara kritis.
Ketika narasi sejarah resmi negara sudah lama kita amini melalui proses
pendidikan di sekolah, bacaan buku-buku sejarah umum, dan tontonan film
propaganda di televisi, penting buat kita untuk mempertanyakan kembali
keakuratan peristiwa yang disajikan media mainstream tersebut. Apa betul
yang bertanggungjawab dalam peristiwa G30S adalah seluruh anggota PKI?
Kemudian apakah penyiksaan para jenderal di kompleks Lubang Buaya
tersebut betul-betul terjadi? Siapakah dalang sesungguhnya dari
peristiwa yang menelan korban jiwa sebanyak 500.000 hingga 3 juta jiwa
ini?
Sebagian orang berpendapat bahwa memang PKI lah yang bertanggung
jawab secara penuh dalam usaha kudeta tersebut. Bagi mereka yang
berpendapat seperti ini, berkeyakinan bahwa seluruh anggota PKI yang
berjumlah hampir 3 juta orang itu sudah mengetahui rencana G30S. Maka
dari itu seluruh anggota PKI dapat dikatakan bersalah dan patut dihukum.
Sedangkan kelompok lain ada yang berpendapat bahwa yang bertanggung
jawab bukanlah PKI, tapi Suharto. Menurut mereka, G30S tidak lain
merupakan skenario yang digunakan Suharto untuk menggulingkan kekuasaan
Presiden Sukarno.
John Roosa (2006) dalam bukunya yang berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup D’Etat in Indonesia
menjelaskan memang ada orang-orang PKI yang terlibat dalam G30S. Namun
tidaklah semua anggota PKI itu terlibat. Atas dasar itu Roosa menekankan
bahwa tidaklah dapat dibenarkan kesalahan segelintir orang-orang PKI
dijadikan alasan untuk menghukum seluruh anggotanya yang tidak tahu
menahu tentang rencana kudeta tersebut. Menariknya lagi, dari hasil
penelitian Roosa, diantara para pelaku G30S terdapat orang-orang yang
kenal dekat dengan Mayjen Suharto. Kolonel Abdul Latief, yang kemudian
tertangkap dalam operasi Trisula, bahkan menyatakan bahwa Mayjen Suharto
sendiri sudah mengetahui rencana G30S ini jauh sebelum peristiwa
tersebut terjadi.
Selain itu juga Roosa menolak bahwa para perwira tersebut disiksa
secara sadis sebagaimana yang selalu digambarkan dalam film
pengkhianatan G30S/PKI, buku-buku sejarah, media pemerintah, dan diorama
yang ada di Monumen Pancasila Sakti. Berdasarkan hasil visum (Visum etRepertum)
yang dilakukan para dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot
Subroto (Roosa, 2006: xx), tidak ada indikasi bahwa para perwira
tersebut disilet ribuan kali dan dicungkil matanya. Berdasarkan hasil
visum para perwira hanya tewas tertusuk bayonet dan tertembak peluru
senapan.
Menurut Roosa (2006) dramatisasi dan hiperbola peristiwa G30S ini sengaja dibuat Suharto sebagai ‘dalih’ (pretext)
untuk menggulingkan Sukarno dari kekuasaannya. Sedikit mirip dengan
pendapat kelompok kedua, namun Roosa tidak menafikan bahwa memang ada
orang PKI yang terlibat dalam G30S. Usaha penggulingan Sukarno dilakukan
dengan menghancurkan seluruh institusi politik, sosial, dan budaya yang
menjadi tulang punggung kekuatan politik Sukarno. Penghancuran
institusi-institusi seperti PKI, GERWANI, dan Lekra (yang sebenarnya
bukan organisasi komunis tapi banyak anggota PKI yang bergabung
didalamnya), dilakukan dengan menebarkan kebencian terhadap PKI,
membakar kantor-kantor cabang dan tempat tinggal sebagian pengikutnya.
Pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965 merupakan ‘moment yang
tepat’ bagi para musuh politik PKI (seperti Partai Marhaenis, PNI, NU,
dll.) untuk menumpahkan kebencian dan dendam mereka terhadap PKI yang
sudah tertanam cukup lama.
Setelah melakukan provokasi lewat berbagai media resmi militer,
Suharto memberikan komando kepada Kolonel Sarwo Edhi Wibowo (Mertuanya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) untuk memobilisasi massa menumpas
Gerakan 30 September yang ‘disinyalir’ melibatkan seluruh anggota dan
simpatisan PKI. TNI merekrut ribuan orang dari berbagai ormas untuk
menangkap, menginterogasi, dan mengeksekusi mereka yang masuk dalam daftar target
operasi trisula. Hingga sekarang, sumber daftar nama target operasi
trisula yang memuat ribuan nama ini masih misteri. John Pilger (2001)
dalam film dokumenter nya yang berjudul The New Rulers of the World, mengindikasikan bahwasannya daftar nama tersebut berasal dari agen rahasia Barat seperti CIA atau MI6.
Gerakan-gerakan pemuda keagamaan seperti Ansor (NU) adalah salah satu
dari sekian banyak ormas di Indonesia yang terlibat dalam
pengeksekusian 500,000 sampai 3 juta orang yang dituduh anggota dan
simpatisan PKI. Dalam artikel yang berjudul Killing for God, dijelaskan
oleh Greg Fealy (2010) bagaimana salah seorang pelaku eksekusi mengaku
tidak takut untuk membunuh orang-orang yang dituduh PKI karena ia
merupakan perintah agama (perintah dari Kyai mereka) untuk ‘melindungi
Islam’ dari bahaya ateisme (padahal komunisme tidak identik dengan
ateisme). Dengan kata lain, membunuh orang-orang komunis, bagi mereka
merupakan bagian dari Jihad fi as-Sabilillah, terlepas yang dibunuh oleh mereka itu benar-benar komunis atau bukan, bersalah atau tidak.
Para algojo yang lain juga berpikir serupa. Berdasarkan investigasi
TEMPO tentang peristiwa pembantaian orang-orang yang tertuduh komunis
dan simpatisan komunis pada tahun 1965-66 (Edisi 1-7 Oktober 2012), para
algojo pembantaian massal 1965-66 kebanyakan mengaku tidak mempunyai
rasa sesal setelah membunuh mereka. Sebagaimana yang mereka tuturkan
dalam wawancaranya dengan TEMPO, membunuh pengikut komunis merupakan
kewajiban mereka sebagai warga negara Indonesia. Dengan demikian,
menangkap, mengikat kaki dan tangan para korban, kemudian menggorok
leher mereka atau menembaknya merupakan upaya mereka ‘untuk melindungi
negara’.
Penting untuk dicatat bahwa yang membuat para algojo berpikir
membunuh orang-orang komunis merupakan bagian dari abdi negara adalah
logika berpikir yang ditanamkan oleh militer. Sebelum pembantaian
simpatisan PKI dilakukan, para staf militer yang memegang komando di
setiap distrik menemui para algojo di penjara, pesantren,
sekolah-sekolah, dan perkampungan warga. Para algojo, sebagaimana
masyarakat pada umumnya, diinformasikan oleh pihak militer, bahwa negara
dan agama mereka sedang dalam keadaan terancam dan akan diserang oleh
orang-orang PKI. Sehingga tertanam dalam benak para algojo saat itu:
“Jika saya tidak membunuh, maka saya akan dibunuh.” Maka dari itu
beramai-ramai lah orang untuk ikut dalam parade berdarah untuk memburu
dan membunuh siapapun, baik itu kawan, rekan, dan bahkan anggota
keluarga yang dianggap sebagai bagian dari PKI.
Maka dalam rentang waktu hampir satu tahun (akhir 1965 – pertengahan
1966) pembantaian orang-orang yang tertuduh anggota dan simpatisan PKI
terjadi hampir di seluruh kawasan di Indonesia. Pembantaian terjadi
secara sporadik mulai dari skala terkecil yang menelan korban puluhan
dalam satu titik pembantaian hingga ratusan dan ribuan di wilayah lain.
Laki-laki, perempuan, remaja, dan orang tua menjadi korban dalam
pembantaian tersebut. Laporan resmi setidaknya 500,000 orang tewas
dibunuh. Sedangkan Sarwo Edhi Wibowo, kolonel yang bertanggung jawab
dalam operasi Trisula mengatakan ada sekitar 3 juta orang yang terbunuh
(Toer, 2001 dalam Mass Grave 1965-66). Kuburan massal korban pembantaian
tahun 1965-66 ini dapat ditemukan di Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Bali, hingga Flores.
Para korban yang lolos eksekusi massal dikirm ke penjara oleh Suharto
tanpa melalui proses hukum yang adil. Hingga kini para korban dan
keluarganya masih menanggung stigma dari masyarakat dimana mereka sering
dicap sebagai ‘orang komunis’. Stigma ini sangat kuat di masyarakat
sehingga menyebabkan mereka terisolasi dari lingkungan sosial mereka
sendiri. Sebagian tidak dapat meneruskan sekolah hanya karena pihak
sekolah mereka mengenal orang tuanya sebagai orang komunis. Ada
diantara mereka juga yang rumahnya dibakar warga karena alasan yang
serupa. Dan diantara anak cucuya, banyak yang menjadi korban bully teman-teman
sepermainannya. Nasib miris para korban yang masih hidup sampai
sekarang ini digambarkan oleh Robert Lemelson (2009) dalam film
dokumenternya yang berjudul 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy.
Berdasarkan laporan beberapa saksi sejarah yang masih hidup hingga
sekarang. Banyak diantara korban yang dibunuh dan dipenjarakan
sebenarnya belum tentu mempunyai keterkaitan dengan PKI atau afiliasi
organisasi komunis lainnya. “Situasi kacau tersebut digunakan oleh
orang-orang dan kelompok tertentu untuk melampiaskan dendam pribadinya”,
ujar salah seorang saksi sejarah yang pernah aktif dalam kesatuan aksi
mahasiswa tahun 1966. Dendam pribadi yang didasarkan pada motif ekonomi,
bisnis, politik, atau bahkan percintaan bisa dijadikan dalih kuat untuk
membunuh!
Seperti pengakuan Anwar Congo yang juga pernah menjadi algojo dalam peristiwa pembantaian tersebut. Congo dalam film The Act of Killing karya
Joshua Oppenheim (2012), mengakui secara jujur bagaimana ia membunuh
seorang orang tua karena motif pribadi. Konon orang tua tersebut adalah
‘keturunan Cina’, dan sebelum peristiwa G30S, ia pernah menolak hubungan
kasih Congo dengan anak perempuannya. Karena sentimen ras dan patah
hatinya itu, dengan bangga ia akhirnya dapat membunuh ayah dari sang
kekasihnya itu pada suatu masa ketika situasi kacau mulai terjadi di
bulan Oktober 1965.
Dengan melihat kenyataan bahwa peristiwa G30S dan pembantaian massal
1965-66 syarat dengan kontroversi dan misteri, penting sekiranya buat
kita untuk membaca kembali lembaran sejarah pada masa tersebut dengan
hati-hati. Baik dari perspektif para korban maupun algojo dapat
ditemukan ada kejanggalan sejarah. Pertama, kekacauan politik selepas
G30S ternyata sengaja diciptakan oleh rezim militer yang saat itu
dipimpim oleh Suharto. Saat peristiwa G30S, rezim militer menutup
seluruh agen berita, kecuali mereka yang berafiliasi dengan militer. Ini
menyebabkan timpangnya informasi di tengah masyarakat tentang kejadian
sesungguhnya dibalik peristiwa G30S. Dramatisasi peristiwa G30S yang
hiperbolistik telah memprovokasi kebencian masyarakat terhadap PKI dan
menciptakan kekacauan yang disengaja, atau lebih tepatnya lagi
‘diarahkan’ oleh pihak militer.
Deksripsi peristiwa sadis G30S sebagaimana digambarkan dalam film
Pengkhianaan G30S/PKI dan diorama di Monumen Pancasila Sakti,
berdasarkan bukti sejarah yang dipaparkan John Roosa, juga terbukti
tidak akurat dan jelas dibuat-buat.
Kedua, berbagai elemen masyarakat dipaksa untuk terlibat dalam upaya
penumpasan PKI oleh komando militer tanpa boleh mempertanyakan lebih
kritis alasan kenapa mereka harus menangkap dan mengeksekusi orang-orang
yang masuk dalam daftar operasi tersebut. Jika memang alasan
orang-orang tersebut mengganggu keamanan nasional, bukankah sebaiknya
mereka berhak mendapatkan proses peradilan yang jujur sehingga semua
pihak dapat menemukan titik kesalahan yang bersangkutan. Yang penting
lagi, apakah mereka memang terlibat dalam G30S? Belum tentu. Pembenaran
terhadap pembunuhan dan pemenjaraan korban tanpa melalui proses
pengadilan yang jujur justru semakin mengindikasikan bahwa ada ‘sebuah
agenda besar’ yang disembunyikan di balik peristiwa berdarah tersebut.
Ketiga, kejanggalan sejarah dapat dilihat dari upaya para anggota
korban dan aktivis kemanusiaan untuk menginvestigasi kembali peristiwa
tahun 1965-66 yang hampir selalu diintervensi oleh aparat militer,
organisasi keagamaan tertentu, dan organisasi pemuda yang mengklaim
dirinya sebagai pendukung Pancasila. Jika memang benar tidak ada yang
ditutupi, lantas kenapa orang dilarang untuk mencari tahu lebih dalam
tentang peristiwa tersebut? Sudah lebih dari 40 tahun peristiwa ini
berlalu, tapi usaha untuk menguak misteri sejarah ini masih mengalami
kesulitan. Tantangan datang dari berbagai pihak, baik itu dari
pemerintah atau ormas-ormas yang kental dengan semangat anti komunisnya.
Pada tahun 2008 di Bandung misalnya, ada sebuah diskusi terbuka yang
mengundang nenek-nenek yang dulu pernah aktif di GERWANI. Penyelenggara
diskusi ini mengundang nenek-nenek tersebut kemudian mengajak mereka
untuk bercerita tentang pengalaman hidup mereka pada masa krisis tahun
1965-6. Di tengah diskusi ini tiba-tiba ratusan pemuda dari ormas
tertentu, kepolisian, dan korps tentara mendatangi tempat diskusi, dan
memaksa agar diskusi tersebut segera diakhiri. Polisi dan tentara curiga
bahwa kelompok diskusi ini hendak melakukan ‘makar’ atau ‘revolusi’
dengan mengundang para eks-GERWANI untuk berbicara. Setelah mendapat
sedikit hantaman fisik dari beberapa oknum ormas dan polisi, sang
penyelenggara acara menjawab pertanyaan intel polisi, “Pak, mereka ini
sudah nenek-nenek semua, mana mungkin mereka mau melakukan revolusi!?”
Yang dikhawatirkan oleh para aparat dan ormas terhadap kelompok
diskusi ini bukanlah upaya makar terhadap negara, tapi kemungkinan untuk
lahir dan berkembangnya ‘narasi baru’ sejarah yang berbeda dari narasi
resmi negara. Mereka khawatir jika narasi alternatif ini dibiarkan
menyebar, maka ia akan melemahkan status-quo para panguasa negeri ini yang dasar kekuatannya dibangun diatas peristiwa berdarah tahun 1965-66.
Selain itu juga topik perbincangan kasus 1965-66 masih cenderung
dinilai tabu dan sensitif untuk dibicarakan. Selain karena alasan
diatas, usaha penguakan sejarah dengan mencari dalang-dalang dibalik
peristiwa tersebut dapat berpotensi menarik banyak orang yang
bertanggung jawab atau terlibat dalam pembantaian. Jika ditelusuri,
jangan kaget bahwa akan banyak sekali diantara generasi orang tua kita
yang barangkali terlibat dalam aksi berdarah tersebut.
Yang ingin saya sampaikan disini bukanlah sebuah provokasi untuk
menghidupkan kembali konflik yang pernah muncul lama di tahun 1965-66.
Tapi saya hanya ingin menjelaskan, bahwa kita sebagai bangsa Indonesia,
kini sedang menghadapi banyak masalah yang serba kompleks. Mulai dari
tingginya tingkat korupsi, kekerasan bernuansa SARA, kriminalitas,
kesenjangan sosial yang tinggi. Saya juga menemukan bahwa kompleksitas
masalah ini menimbulkan semacam kebingungan massal di tengah masyarakat
Indonesia: ingin menjadi negara apakah Indonesia ini? Indonesia
mempunyai sejarah pembangunan yang sangat panjang, lebih tua daripada
Malaysia dan Vietnam sejak kemerdekaannya masing-masing. Tapi, kenapa
kita masih melangkah sangat lamban dibandingkan mereka sebagai suatu
bangsa? Kenapa penerapan hukum di kita sangat lemah? kenapa koruptor dan
penjahat perang bisa terus memegang kekuasaan? Kenapa kebebasan
berkeyakinan yang seharusnya dijamin oleh negara kini semakin sulit?
Jawabannya adalah Indonesia belum Move On dari beban masa lalunya. Move On atau
melangkah maju bukan berarti harus melupakan peristiwa masa lalu dan
tidak mengusiknya. Dalam perspektif psikologis, agar dapat melangkah
maju, seseorang harus menghadapi kenyataan sejarah yang pahit yang
menjadi beban dalam hidupnya di masa lalu. Menghadapi kenyataan sejarah
berarti mesti berani merekonstruksi kembali peristiwa tersebut dengan
investigasi yang mendalam, dan berusaha memahami kenapa masalah itu
dapat terjadi, kemudian apa faktor yang menyebabkannya, dan dampak apa
yang dihasilkannya. Jika seseorang sudah mencapai tahap pengertian yang
jujur akan masa lalunya, niscaya ia bisa melangkah maju dengan lebih
leluasa ke depan. Jika tidak, setiap langkahnya akan selalu
terbata-bata, dan tidak jarang akan ‘mondar-mandir’ di sekitaran jalan
dengan arah tidak menentu.
Analogi ini juga bisa diterapkan dalam perspektif bangsa kita
mengenai tragedi sejarah di masa lalu. Masalahnya, kita hampir selalu
menolak menguak peristiwa sejarah yang sering melukai kemanusiaan kita.
Karena peristiwa sejarah tahun 1965-66 telah disakralkan oleh negara dan
tidak boleh diganggu gugat, maka demikian juga peristiwa berdarah
lainnya seperti Tanjung Priok, 27 Juli, Semanggi, Lampung, DOM di Aceh,
konflik di Timor Leste dan Papua Barat. Terlepas dari jumlah korban yang
banyak jumlahnya (ribuan). Jika terus dibiarkan, secara tidak langsung
menciptakan norma yang menghalalkan budaya kekerasan untuk dapat
dilakukan oleh negara atau kelompok-kelompok yang memegang kekuasaan.
Maka dari itu bersikap jujur terhadap sejarah masa silam sangatlah
penting. Meskipun terdengar klise karena terlalu sering didengungkan,
sepahit apapun kejujuran masa silam itu, tampaknya mesti diterima dengan
lapang dada. Dengan menilik kembali sejarah Indonesia di masa kelam
tahun 1965-66, kita mesti mengakui bahwa ada kebohongan yang terus
disimpan dan disembunyikan oleh negara. Agar bisa Move On, kita tidak perlu takut untuk ‘berkunjung’ ke ruang belakang dan bersikap jujur dengan hasil temuan kita.
Disertasi tentang Hipokritas Humanitarian Intervention [HI]
Dina Y. Sulaeman*
http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/09/29/disertasi-tentang-hipokritas-humanitarian-intervention/#more-1655
Humanitarian intervention (intervensi kemanusiaan, untuk
selanjutnya dalam tulisan ini disingkat HI) bisa didefinisikan sebagai
penggunaan kekuatan militer lintas nasional untuk menghentikan atau
mencegah penderitaan manusia dalam skala besar (Bakry, 2013). HI
dilakukan NATO di Libya pada tahun 2011 dengan alasan bahwa saat itu
telah terjadi pembunuhan massal rakyat sipil oleh rezim Qaddafi. PBB
menyetujui HI dengan tujuan mencegah pembantaian yang lebih besar lagi.
Serangan militer NATO terhadap Libya ini disebut ‘intervensi
kemanusiaan’, sebuah frasa yang terdengar positif dan bertujuan baik.
Namun, benarkah demikian adanya? Dalam disertasi yang disusun oleh
Umar Suryadi Bakry, kita bisa mendapatkan jawabannya secara ilmiah.
Bakry adalah Doktor Hubungan Internasional lulusan universitas dalam
negeri pertama di Indonesia (Universitas Padjadjaran), yang lulus dengan
yudisium cumlaude pada tanggal 27 September 2013. Dalam disertasinya
yang berjudul Intervensi Kemanusiaan NATO di Libya: Perspektif Konstruktivis,
Bakry menjelaskan bahwa pada dasarnya, HI memiliki itikad baik untuk
melindungi umat manusia dari pelanggaran HAM berat yang dilakukan
pemerintah suatu negara. HI dianggap sah bila memenuhi empat kriteria
berikut ini:
- Just cause: intervensi militer boleh dilakukan bila negara sasaran perang itu benar-benar dalam kondisi bencana kemanusiaan; bila ada realitas ‘kehilangan jiwa dalam skala besar’ atau ‘pembersihan etnis dalam skala besar’.
- Just intention: intervensi militer harus dilakukan dengan tujuan yang benar, yaitu untuk menghentikan penderitaan manusia.
- Just authority: keputusan intervensi militer harus diambil oleh otoritas yang paling berhak (yaitu PBB)
- Last resort: intervensi militer hanya boleh dilakukan ‘jika dan hanya jika’ semua upaya damai lain sudah dilakukan dan tidak menemui hasil.
Hasil penelitian Bakry menemukan bahwa dari keempat kriteria itu, hanya criteria just authority yang terpenuhi dalam operasi HI di Libya (yaitu bahwa keputusan intervensi memang diambil oleh Dewan Keamanan PBB).
Untuk just cause, sama sekali belum ada data akurat yang menyebutkan berapa jumlah korban kekejaman Qaddafi.
Untuk just intention,
penelitian Bakry menemukan bahwa motif utama para negara-negara
pendukung perang Libya sesungguhnya bukanlah untuk menyelamatkan rakyat
Libya, melainkan untuk menggulingkan Qaddafi.
Sementara itu kriteria last resort
juga tidak terpenuhi, mengingat sangat pendeknya jarak antara fenomena
‘krisis kemanusiaan’ di Libya dengan pengambilan keputusan intervensi
militer oleh DK PBB. Ini menunjukkan bahwa komunitas internasional
sebenarnya belum melakukan upaya damai yang cukup sebelum memutuskan
menyerbu Libya.
Seperti pernah penulis ungkapkan pada tulisan berjudul Kebohongan Media di Libya,
Perang di Libya dimulai dengan aksi-aksi demo anti Qaddafi pada bulan
Februari yang dilakukan rakyat Libya di Benghazi. Namun, ada yang aneh
dalam aksi-aksi demo itu: Benghazi sebenarnya justru kawasan yang
makmur. Secara umum pun, rakyat Libya cukup makmur. Pendapatan penduduk
per kapita Libya adalah US$ 14581.9 (sekedar perbandingan, Indonesia US$
2149.7). Rakyat Libya menikmati pendidikan dan kesehatan gratis, bahkan
diberi bantuan mobil dan rumah. Itulah sebabnya, HDI (Human Development
Index) Libya tertinggi di Afrika, dan di dunia berada di peringkat 57,
lebih bagus daripada Rusia. Fakta ini sungguh tidak cocok dengan berita
‘rakyat Libya bangkit secara massal untuk menumbangkan Qaddafi.” Bahwa
ada kelompok oposan, wajar. Tapi pemberontakan massal di seluruh negeri
(seperti diberitakan media massa), sungguh menunjukkan pola yang aneh.
Menyusul aksi-aksi demo dan kekerasan yang terjadi, dunia pun
digiring untuk ‘mengizinkan’ AS dan kroni-kroninya melakukan HI demi
membantu rakyat Libya. Media-media mainstream, seperti CNN atau Fox
News, Al Jazeera, berusaha membentuk opini publik, bahwa sedang terjadi
pembantaian sipil besar-besaran di Libya. Bahkan media-media ini
kemudian terbukti melakukan kebohongan dalam pemberitaan mereka soal
Libya. Karena itulah, tak banyak yang memprotes saat NATO mulai
melancarkan membombardir Libya dengan alasan kemanusiaan tanggal 31
Maret 2011. Target serangan NATO justru bukan kompleks militer, tetapi
rumah-rumah (termasuk istana Qaddafi sehingga menewaskan beberapa anak
dan cucunya), rumah sakit, sekolah, dll.
Usai NATO membombardir dan menghancurkan infrastruktur Libya,
negara-negara anggota NATO pula yang beramai-ramai menawarkan bantuan
untuk rekonstruksi. Menurut Financial Post (10/9/2011), beberapa hari
setelah pemimpin negara-negara NATO menyetujui pencairan aset Libya
(yang sebelumnya dibekukan oleh Barat), diadakan pertemuan G8 di
Marseille. Dalam pertemuan itu, negara-negara G8 setuju untuk
menggelontorkan dana pinjaman sebesar 38 milyar dollar kepada
negara-negara Arab, dan ‘menawarkan kepada Libya untuk menerima dana
pinjaman itu’. Siapa saja negara-negara G8 yang ‘berbaik hati’
memberikan pinjaman kepada negara-negara Arab yang kacau-balau akibat
berbagai aksi penggulingan rezim itu? Perancis, Jerman, Italia, Jepang,
Inggris, AS, Kanada, dan Rusia. Sementara itu, asset $150 milyar dollar
Libya yang dibekukan itu, ternyata berada di Perancis, AS, Inggris,
Belgia, Netherland, Italia, Kanada. Benar-benar sebuah ‘kebetulan’ bahwa
negara-negara ini sebagiannya bergabung di G8, dan semuanya
bersama-sama bergabung dalam NATO. Sungguh ini sebuah perampokan
terang-terangan. Bukankah dana yang dibekukan oleh Barat itu adalah
milik rakyat Libya sendiri?
Fakta ini secara terang-benderang menunjukkan motif apa di balik
‘intervensi kemanusiaan’ NATO di Libya. Ironisnya, justru ‘pejuang
Islam’-lah yang menjadi pelaksana awal dari rencana Barat ini.
Sebagaimana telah penulis ungkapkan dalam buku Prahara Suriah (2013),
kelompok pemberontak yang ‘berjuang’ menggulingkan Qaddafi adalah Al
Qaida; mereka membawa-bawa nama Islam dan bercita-cita mendirikan
khilafah di Libya. Namun, ironisnya, para pejuang khilafah ini pula yang
kemudian langsung berjabat tangan dengan Hillary Clinton setelah tewasnya Qaddafi.
Dan tokoh-tokoh pemberontak Libya pula yang kemudian ‘membantu’
perjuangan ‘mujahidin’ Suriah. Salah satu tokohnya, Mahdi Al Harati,
sejak tahun 2011 sudah tertangkap kamera jurnalis Spanyol, Daniel
Iriarte, sedang berkeliaran di Suriah. Al Harati kemudian terungkap
menjadi pendiri salah satu milisi jihad, Liwaa al Tauhid.
Dan seperti sudah penulis prediksikan sejak awal konflik Suriah: yang
dikejar Barat adalah alasan untuk menyerang Suriah dengan kedok humanitarian intervention (HI). Bahkan, para provokator HI menggunakan jasa si cantik Angelina Jolie
untuk menggalang dukungan internasional bagi serangan HI ke Suriah.
Pada Mei 2012, wacana HI dikembangkan menyusul tragedi pembantaian di
Houla. Namun, misi khusus PBB di Suriah tidak menemukan bukti bahwa
militer Suriah pelaku pembantaian tersebut (dan kemungkinan besar justru
pihak pemberontaklah pelakunya). Akhir-akhir ini, isu senjata kimia di
Ghouta yang dijadikan alasan untuk menggalang dukungan bagi operasi HI.
Dan dengan segera terungkap pula berbagai fakta yang menunjukkan
indikasi kuat bahwa pelaku serangan senjata kimia justru pemberontak,
bukan tentara Suriah. Kali ini publik dunia jauh lebih cerdas dan tidak
mau tertipu lagi. Demo besar-besaran di berbagai penjuru dunia
menentang serangan ke Suriah menyebabkan DK PBB tidak berkutik dan AS
pun mundur dari rencananya menyerang Suriah.
Dunia sudah menyaksikan bahwa HI di Libya hanya berujung pada
perampokan kekayaan Libya. Selain itu, dunia juga menyaksikan bahwa
meskipun dibungkus label ‘kemanusiaan’, nyatanya NATO justru telah
melakukan kejahatan kemanusiaan di Libya. Itulah sebabnya, kini ada
gerakan untuk mengajukan NATO ke Pengadilan Penjahat Perang
Internasional dengan tuduhan melakukan intervensi terhadap sebuah negara
berdaulat, melakukan serangan dan pengeboman terhadap kota-kota, desa,
menghancurkan gedung-gedung, dan membunuh rakyat sipil yang tidak bisa
dijustifikasi sebagai kepentingan militer (berdasarkan The Hague
International Penal Court semua perilaku NATO ini sudah cukup alasan
untuk divonis sebagai penjahat perang).
Lalu, dengan terungkapnya semua kemunafikan atau hipokritas Barat
ini, apakah kaum muslimin yang masih mau diadu-domba dengan isu
Sunni-Syiah dan mengobarkan perang atas nama agama, demi keuntungan
Barat? Saya ingin mengulangi kata-kata analis politik Tony Cartalucci:
jangan lagi kita tertipu oleh frasa ‘musuhnya musuh adalah teman kita’,
karena ‘musuh’ yang ada adalah hasil pengkondisian dari para arsitek
perang (AS dan sekutunya). Menurut Cartalucci, Sunni dan Syiah, bahkan
seluruh umat manusia dari berbagai agama dan ras, sesungguhnya memiliki
satu musuh yang sama, yaitu imperialisme Anglo-Amerika (Barat).
Barat-lah yang selama berabad-abad telah melakukan kejahatan yang sama:
memecah-belah, mengadu-domba antara etnis, agama, dan mazhab, lalu
menghancurkan dan menaklukkan bangsa-bangsa di dunia.
Dan kita, bangsa Indonesia, perlu mengambil pelajaran dari sini.
Imperialisme Anglo-America yang saat ini tengah mengobok-obok Libya,
Suriah, dan Timur Tengah secara umum, juga memandangIndonesia sebagai
salah satu target untuk dipecah-pecah menjadi negara-negara kecil agar
kekayaan alamnya semakin mudah dieksploitasi. Bangsa ini perlu melatih
kecerdasan berpikir. Kemampuan melihat mana yang kawan, mana lawan; mana
propaganda jahat, mana berita jujur, sangat menentukan nasib kita di
masa yang akan datang.
*mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, research associate of Global Future Institute
(tulisan ini dimuat di IRIB Indonesia dan the Global Review)
Konspirasi JF.Kennedy, Sukarno, Suharto, CIA dan Freeport
http://infoapajah.blogspot.com/2013/06/konspirasi-jfkennedy-sukarno-suharto.html
SUHARTO TERNYATA PENGKHIANAT BANGSA DAN MENJADI KOLABORATOR PARA PENJAJAH KRIMINAL INTERNASIONAL...??
Bongkar Konspirasi Hebat: Antara John F. Kennedy, Sukarno, Suharto dan Freeport
Pada sekitar tahun 1961, Presiden
Soekarno gencar merevisi kontrak pengelolaan minyak dan tambang-tambang
asing di Indonesia. Minimal sebanyak 60 persen dari keuntungan
perusahaan minyak asing harus menjadi jatah rakyat Indonesia. Namun
kebanyakan dari mereka, gerah dengan peraturan itu. Akibatnya, skenario
jahat para elite dunia akhirnya mulai direncanakan terhadap negeri
tercinta, Indonesia.
Pada akhir tahun 1996 lalu, sebuah artikel yang ditulis oleh seorang penulis Lisa Pease yang dimuat dalam majalah Probe. Tulisan ini juga disimpan dalam National Archive di Washington DC. Judul tulisan tersebut adalah “JFK, Indonesia, CIA and Freeport“.
Walau dominasi Freeport atas “gunung
emas” di Papua telah dimulai sejak tahun 1967, namun kiprahnya di negeri
ini ternyata sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya.
Dalam tulisannya, Lisa Pease mendapatkan temuan jika Freeport Sulphur,
demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping
ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun pada tahun 1959.
Saat
itu di Kuba, Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator
Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu
dinasionalisasikan.
Freeport Sulphur yang baru saja
hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya dari Kuba,
akhirnya terkena imbasnya. Maka terjadi ketegangan di Kuba.
Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Fidel Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.
Ditengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.
Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita
jika dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg
(Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jacques Dozy di tahun 1936.
Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah
dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja
di perpustakaan Belanda.
Namun, Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan kemudian membacanya.
Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita
kepada pemimpin Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan tentang
keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan
alamnya yang begitu melimpah.
Tidak seperti wilayah lainnya diseluruh
dunia, maka kandungan biji tembaga yang ada disekujur tubuh Gunung
Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di
dalam tanah.
Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias
dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran
cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka
perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan
yang sudah di depan mata.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson
melakukan survey dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah
sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku
berjudul The Conquest of Cooper Mountain.
Wilson menyebut gunung tersebut sebagai
harta karun terbesar, yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi
karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah.
Dari udara, tanah disekujur gunung
tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari. Wilson juga mendapatkan
temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih
tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak!!
Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama GOLD MOUNTAIN,
bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson
memperkirakan jika Freeport akan untung besar, hanya dalam waktu tiga
tahun pasti sudah kembali modal. Pimpinan Freeport Sulphur ini pun
bergerak dengan cepat.
Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur meneken kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur
mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di
Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah
mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno
malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.
Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy (JFK) agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno.
Kennedy mengancam Belanda, akan menghentikan bantuan Marshall Plan
jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu
memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari
puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II, terpaksa mengalah dan
mundur dari Irian Barat.
Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu
jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga.
Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai
bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nilai emas yang ada di gunung tersebut.
Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pemimpin Freeport jelas marah besar.
Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan
paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan
melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!
Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963.
Banyak kalangan menyatakan penembakan
Kennedy merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum
Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik
di Amerika.
Presiden Johnson yang menggantikan
Kennedy mengambil sikap yang bertolak belakang dengan pendahulunya.
Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali
kepada militernya.
Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport.
Tokoh yang satu ini memang punya
kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long
juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California).
Soekarno pada tahun 1961 memutuskan
kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya
diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari
tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh
kebijakan Soekarno ini.
Augustus C.Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya.
Mungkin suatu kebetulan yang ajaib, Augustus C. Long juga aktif di Presbysterian Hospital di New York, dimana dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962).
Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.
Lisa Pease dengan cermat menelusuri
riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun
sementara sebagai pemimpin Texaco.
Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu, yang di Indonesia dikenal sebagai “masa yang paling krusial”.
Pease mendapatkan data jika pada Maret 1965, Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank,
salah satu perusahaan Rockefeller. Pada bulan Agustus 1965, Long
diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelejen kepresidenan AS untuk
masalah luar negeri.
Badan ini memiliki pengaruh sangat besar
untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Long
diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang
dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang
disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Sedangkan menurut pengamat sejarawan dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Asvi Marwan Adam,
Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia dikelola oleh anak
bangsa sendiri.
Asvi juga menuturkan, sebuah arsip di
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember
1965 sebuah tim dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang
membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia.
Soeharto yang pro-pemodal asing, datang
ke sana menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada peserta rapat, bahwa
dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan
asing itu.
“Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu,” kata Asvi.
Sebelum tahun 1965, seorang taipan dari
Amerika Serikat menemui Soekarno. Pengusaha itu menyatakan keinginannya
berinvestasi di Papua. Namun Soekarno menolak secara halus.
“Saya sepakat dan itu tawaran menarik. Tapi tidak untuk saat ini, coba tawarkan kepada generasi setelah saya,” ujar Asvi menirukan jawaban Soekarno.
Soekarno berencana modal asing baru masuk
Indonesia 20 tahun lagi, setelah putra-putri Indonesia siap mengelola.
Dia tidak mau perusahaan luar negeri masuk, sedangkan orang Indonesia
masih memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri. Oleh
karenanya sebagai persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar
ke negara-negara lain.
Soekarno boleh saja membuat tembok penghalang untuk asing dan mempersiapkan calon pengelola negara.
Namun Asvi menjelaskan bahwa usaha pihak luar yang bernafsu ingin mendongkel kekuasaan Soekarno, tidak kalah kuat!
Setahun sebelumnya yaitu pada tahun 1964,
seorang peneliti diberi akses untuk membuka dokumen penting Departemen
Luar Negeri Pakistan dan menemukan surat dari duta besar Pakistan di
Eropa.
Dalam surat per Desember 1964, diplomat
itu menyampaikan informasi rahasia dari intel Belanda yang mengatakan
bahwa dalam waktu dekat, Indonesia akan beralih ke Barat.
Lisa menjelaskan maksud dari informasi itu adalah akan terjadi kudeta di Indonesia oleh partai komunis.
Sebab itu, angkatan darat memiliki alasan
kuat untuk menamatkan Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah itu
membuat Soekarno menjadi tahanan.
Telegram rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada April 1965 menyebut Freeport Sulphur sudah sepakat dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan puncak Erstberg di Papua.
Salah satu bukti sebuah telegram rahasia Cinpac 342,
21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan ada pertemuan para
penglima tinggi dan pejabat Angkatan Darat Indonesia membahas rencana
darurat itu, bila Presiden Soekarno meninggal.
Namun kelompok yang
dipimpin Jenderal Soeharto tersebut ternyata bergerak lebih jauh dari
rencana itu. Jenderal Suharto justru mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan.
Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga
pernah bersaksi bahwa semuanya itu memang benar adanya. Maka dibuatlah
PKI sebagai kambing hitam sebagai tersangka pembunuhan 7 Dewan Jenderal
yang pro Sukarno melalui Gerakan 30 September
yang didalangi oleh PKI, atau dikenal oleh pro-Suharto sebagai
“G-30/S-PKI” dan disebut juga sebagai Gestapu (Gerakan Tiga Puluh)
September oleh pro-Sukarno.
Setelah pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, keadaan negara Indonesia berubah total.
Terjadi kudeta yang telah direncanakan
dengan “memelintir dan mengubah” isi Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) 1966, yang pada akhirnya isi dari surat perintah itu
disalahartikan.
Dalam Supersemar, Sukarno sebenarnya
hanya memberi mandat untuk mengatasi keadaan negara yang kacau-balau
kepada Suharto, bukan justru menjadikannya menjadi seorang presiden.
Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport
yang diterbitkan majalah Probe edisi Maret-April 1996, Lisa Pease
menulis bahwa akhirnya pada awal November 1965, satu bulan setelah
tragedi terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Soekarno (yang dikenal juga
sebagai 7 dewan Jenderal yang dibunuh PKI), Forbes Wilson mendapat
telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan, “Apakah Freeport sudah siap untuk mengekplorasi gunung emas di Irian Barat?”
Forbes Wilson jelas kaget. Dengan jawaban
dan sikap tegas Sukarno yang juga sudah tersebar di dalam dunia para
elite-elite dan kartel-kartel pertambangan dan minyak dunia, Wilson
tidak percaya mendengar pertanyaan itu.
Dia berpikir Freeport masih akan sulit
mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa. Ketika itu Soekarno
masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana
Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport?
Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para
petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting
di dalam lingkaran elit Indonesia. Oleh karenanya, usaha Freeport untuk
masuk ke Indonesia akan semakin mudah.
Beberapa elit Indonesia yang dimaksud pada era itu diantaranya adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan pada saat itu Ibnu Soetowo .
Namun pada saat penandatanganan kontrak dengan Freeport, juga dilakukan oleh menteri Pertambangan Indonesia selanjutnya yaitu Ir. Slamet Bratanata.
Selain itu juga ada seorang bisnisman sekaligus “makelar” untuk perusahaan-perusahaan asing yaitu Julius Tahija.
Julius Tahija berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport.
Dalam bisnis ia menjadi pelopor dalam
keterlibatan pengusaha lokal dalam perusahaan multinasional lainnya,
antara lain terlibat dalam PT Faroka, PT Procter & Gambler
(Inggris), PT Filma, PT Samudera Indonesia, Bank Niaga, termasuk
Freeport Indonesia.
Sedangkan Ibnu Soetowo sendiri sangat
berpengaruh di dalam angkatan darat, karena dialah yang menutup seluruh
anggaran operasional mereka.
Sebagai bukti adalah dilakukannya
pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967 yaitu UU
no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di
Jenewa-Swiss yang didektekan oleh Rockefeller seorang Bilderberger dan
disahkan tahun 1967.
Maka, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.
Bukan saja menjadi lembek, bahkan sejak
detik itu, akhirnya Indonesia menjadi negara yang sangat tergantung
terhadap Amerika, hingga kini, dan mungkin untuk selamanya.
Bahkan beberapa bulan sebelumnya yaitu
pada 28 Februari 1967 secara resmi pabrik BATA yang terletak di Ibukota
Indonesia (Kalibata) juga diserahkan kembali oleh Pemerintah Indonesia
kepada pemiliknya. Penandatanganan perjanjian pengembalian pabrik Bata
dilakukan pada bulan sesudahnya, yaitu tanggal 3 Maret 1967.
Keterangan gambar diatas:
Penandatanganan perjanjian pengembalian kembali pabrik Bata pada
tanggal 3 Maret 1967. Sumber foto: The Netherlands National News Agency
(ANP) (klik untuk memperbesar)
Padahal pada masa sebelumnya sejak tahun
1965 pabrik Bata ini telah dikuasai pemerintah. Jadi untuk apa dilakukan
pengembalian kembali? Dibayar berapa hak untuk mendapatkan atau
memiliki pabrik Bata itu kembali? Kemana uang itu? Jika saja ini terjadi
pada masa sekarang, pasti sudah heboh akibat pemberitaan tentang hal
ini.
Namun ini baru langkah-langkah awal dan
masih merupakan sesuatu yang kecil dari sepak terjang Suharto yang masih
akan menguasai Indonesia untuk puluhan tahun mendatang yang kini
diusulkan oleh segelintir orang agar ia mendapatkan gelar sebagai
Pahlawan Nasional. Penandatangan penyerahan kembali pabrik Bata
dilakukan oleh Drs. Barli Halim, pihak Indonesia dan Mr. Bata ESG Bach.
Masih ditahun yang sama 1967, perjanjian
pertama antara Indonesia dan Freeport untuk mengeksploitasi tambang di
Irian Jaya juga dilakukan, tepatnya pada tanggal 7 April perjanjian itu
ditandatangani.
Keterangan gambar diatas: Penandatanganan Kontrak Freeport di Jakarta Indonesia, 1967. Sumber foto: The Netherlands National News Agency (ANP) (klik untuk memperbesar)
Akhirnya, perusahaan Freeport Sulphur of Delaware,
AS pada Jumat 7 April 1967 menandatangani kontrak kerja dengan
pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Freeport
diperkirakan menginvestasikan 75 hingga 100 juta dolar AS.
Penandatanganan bertempat di Departemen
Pertambangan, dengan Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri
Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills
(Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport
Indonesia), anak perusahan yang dibuat untuk kepentingan ini. Disaksikan
pula oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green.
Freeport
mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk
kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama
dilakukan. Pada Desember 1972 pengapalan 10.000 ton tembaga pertama kali
dilakukan dengan tujuan Jepang.
Dari penandatanganan
kontrak inilah yang kemudian menjadi dasar penyusunan Undang-Undang
Pertambangan No. 11 Tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967.
Inilah kali pertama kontrak pertambangan
yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan
perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Suharto
berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah merugikan Indonesia.
Setelah itu juga ikut ditandatangani kontrak eksplorasi nikel di pulau Irian Barat dan di area Waigee Sentani oleh PT Pacific Nickel Indonesia dan Kementerian Pertambangan Republik Indonesia.
Keterangan gambar diatas: Penandatanganan Kontrak Nikel Irian oleh Pacific Nickel Indonesia, 19 Februari 1969. Sumber foto: The Netherlands National News Agency (ANP) (klik untuk memperbesar)
Perjanjian dilakukan oleh E. OF Veelen (Koninklijke Hoogovens),
Soemantri Brodjonegoro (yaitu Menteri Pertambangan RI selanjutnya yang
menggantikan Ir. Slamet Bratanata) dan RD Ryan (U.S. Steel).
Pacific Nickel Indonesia adalah perusahaan yang didirikan oleh Dutch Koninklijke Hoogovens, Wm. H. MÜLLER, US Steel, Lawsont Mining dan Sherritt Gordon Mines Ltd.
Namun menurut penulis, perjanjian-perjanjian pertambangan di Indonesia banyak keganjilan.
Contohnya seperti tiga perjanjian diatas
saja dulu dari puluhan atau mungkin ratusan perjanjian dibidang
pertambangan. Terlihat dari ketiga perjanjian diatas sangat meragukan
kebenarannya.
Pertama, perjanjian pengembalian pabrik
Bata, mengapa dikembalikan? apakah rakyat Indonesia tak bisa membuat
seperangkat sendal atau sepatu? sangat jelas ada konspirasi busuk yang
telah dimainkan disini.
Kedua, perjanjian penambangan tembaga oleh Freeport, apakah mereka benar-benar menambang tembaga?
Saya sangat yakin mereka menambang emas, namun diperjanjiannya tertulis menambang tembaga.
Tapi karena pada masa itu tak ada media,
bagaimana jika semua ahli geologi Indonesia dan para pejabat yang
terkait di dalamnya diberi setumpuk uang? Walau tak selalu, tapi didalam
pertambangan tembaga kadang memang ada unsur emasnya.
Perjanjian
ketiga adalah perjanjian penambangan nikel oleh Pasific Nickel, untuk
kedua kalinya, apakah mereka benar-benar menambang nikel?
Saya sangat yakin mereka menambang perak, namun diperjanjiannya tertulis menambang nikel.
Begitulah seterusnya, semua
perjanjian-perjanjian pengeksplotasian tambang-tambang di bumi Indonesia
dilakukan secara tak wajar, tak adil dan terus-menerus serta
perjanjian-perjanjian tersebut akan berlaku selama puluhan bahkan
ratusan tahun kedepan.
Kekayaan alam Indonesia pun digadaikan,
kekayaan Indonesia pun terjual, dirampok, dibawa kabur kenegara-negara
pro-zionis, itupun tanpa menyejahterakan rakyat Indonesia selama puluhan
tahun.
“Saya melihat seperti balas budi
Indonesia ke Amerika Serikat karena telah membantu menghancurkan
komunis, yang konon bantuannya itu dengan senjata,” tutur pengamat
sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Asvi Marwan
Adam.
Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport mengandeng Bechtel,
perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John
McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA
Richards Helms bekerja sebagai konsultan internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun.
Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A.Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg”
setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu
memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya
menempati urutan ketiga terbesar didunia.
Maley
menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan
cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar dollar AS dan masih akan
menguntungkan untuk 45 tahun ke depan.
Ironisnya, Maley dengan bangga juga
menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia
yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia!!
Istilah
Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya
EMASPURA. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau juga
mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di
permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru
menggalinya dengan sangat mudah.
Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Tambang Grasberg (Grasberg Mine)
atau Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut
Arafuru dimana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut
emas dan tembaga itu ke Amerika.
Ini sungguh-sungguh perampokan besar yang direstui oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang!!
Seharusnya patut dipertanyakan, mengapa kota itu bernama Tembagapura?
Apakah pada awalnya pihak Indonesia sudah
“dibohongi” tentang isi perjanjian penambangan dan hanya ditemukan
untuk mengeksploitasi tembaga saja?
Jika iya, perjanjian penambangan harus
direvisi ulang karena mengingat perjanjian pertambangan biasanya berlaku
untuk puluhan tahun kedepan!
Menurut kesaksian seorang reporter CNN
yang diizinkan meliput areal tambang emas Freeport dari udara. Dengan
helikopter ia meliput gunung emas tersebut yang ditahun 1990-an sudah
berubah menjadi lembah yang dalam.
Semua emas, perak, dan tembaga yang ada
digunung tersebut telah dibawa kabur ke Amerika, meninggalkan limbah
beracun yang mencemari sungai-sungai dan tanah-tanah orang Papua hingga
ratusan tahun kedepan.
Freeport juga merupakan ladang uang haram bagi para pejabat negeri ini di era Suharto, dari sipil hingga militer.
Sejak 1967 sampai sekarang, tambang emas
terbesar di dunia itu menjadi tambang pribadi mereka untuk memperkaya
diri sendiri dan keluarganya.
Freeport McMoran sendiri telah
menganggarkan dana untuk itu yang walau jumlahnya sangat besar bagi
kita, namun bagi mereka terbilang kecil karena jumlah laba dari tambang
itu memang sangat dahsyat. Jika Indonesia mau mandiri, sektor inilah
yang harus dibereskan terlebih dahulu.
Itu
pula yang menjadi salah satu sebab, siapapun yang akan menjadi presiden
Indonesia kedepannya, tak akan pernah mampu untuk mengubah perjanjian
ini dan keadaan ini.
Karena, jika presiden Indonesia siapapun
dia, mulai berani mengutak-atik tambang-tambang para elite dunia, maka
mereka akan menggunakan seluruh kekuatan politik dengan media dan
militernya yang sangat kuatnya di dunia, dengan cara menggoyang
kekuasaan presiden Indonesia.
Kerusuhan,
adu domba, agen rahasia, mata-mata, akan disebar diseluruh pelosok
negeri agar rakyat Indonesia merasa tak aman, tak puas, lalu akan
meruntuhkan kepemimpinan presidennya siapapun dia.
Inilah salah satu “warisan” orde baru, new order, new world order di era kepemimpinan rezim dan diktator Suharto selama lebih dari tiga dekade.
Suharto, presiden Indonesia selama 32 tahun yang selalu tersenyum dengan julukannya “the smilling General”
, presiden satu-satunya di dunia yang sudi melantik dirinya sendiri
menjadi Jenderal bintang lima, namun masih banyak yang ingin
menjadikannya pahlawan nasional, karena telah sukses menjual kekayaan
alam dari dasar laut hingga puncak gunung, dari Sabang hingga Merauke,
yaitu negeri tercinta ini, Indonesia yang besar, Indonesia Raya. (berbagai sumber)
Artikel-Artikel Terkait Indonesia Lainnya:
Konspirasi John F. Kennedy, Soekarno, Soeharto dan Freeport bag II
Maka, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.
kontrak freeport 1967
Bukan saja menjadi lembek, bahkan sejak detik itu, akhirnya Indonesia
menjadi negara yang sangat tergantung terhadap Amerika, hingga kini, dan
mungkin untuk selamanya.
Bahkan beberapa bulan sebelumnya yaitu pada 28 Februari 1967 secara
resmi pabrik BATA yang terletak di Ibukota Indonesia (Kalibata) juga
diserahkan kembali oleh Pemerintah Indonesia kepada pemiliknya.
Penandatanganan perjanjian pengembalian pabrik Bata dilakukan pada bulan
sesudahnya, yaitu tanggal 3 Maret 1967.
Padahal pada masa sebelumnya sejak tahun 1965 pabrik Bata ini telah
dikuasai pemerintah. Jadi untuk apa dilakukan pengembalian kembali?
Dibayar berapa hak untuk mendapatkan atau memiliki pabrik Bata itu
kembali? Kemana uang itu? Jika saja ini terjadi pada masa sekarang,
pasti sudah heboh akibat pemberitaan tentang hal ini.
Namun ini baru langkah-langkah awal dan masih merupakan sesuatu yang
kecil dari sepak terjang Suharto yang masih akan menguasai Indonesia
untuk puluhan tahun mendatang yang kini diusulkan oleh segelintir orang
agar ia mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional. Penandatangan
penyerahan kembali pabrik Bata dilakukan oleh Drs. Barli Halim, pihak
Indonesia dan Mr. Bata ESG Bach.
Masih ditahun yang sama 1967, perjanjian pertama antara Indonesia dan
Freeport untuk mengeksploitasi tambang di Irian Jaya juga dilakukan,
tepatnya pada tanggal 7 April perjanjian itu ditandatangani.
Akhirnya, perusahaan Freeport Sulphur of Delaware, AS pada Jumat 7
April 1967 menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia
untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Freeport diperkirakan
menginvestasikan 75 hingga 100 juta dolar AS.
Penandatanganan bertempat di Departemen Pertambangan, dengan
Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet
Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills (Presiden Freeport Shulpur)
dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport Indonesia), anak perusahan yang
dibuat untuk kepentingan ini. Disaksikan pula oleh Duta Besar Amerika
Serikat untuk Indonesia, Marshall Green.
Freeport mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar
untuk kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama
dilakukan. Pada Desember 1972 pengapalan 10.000 ton tembaga pertama
kali dilakukan dengan tujuan Jepang.
Dari penandatanganan kontrak inilah yang kemudian menjadi dasar
penyusunan Undang-Undang Pertambangan No. 11 Tahun 1967 yang disahkan
pada Desember 1967.
Inilah kali pertama kontrak pertambangan yang baru dibuat. Jika di
zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu
menguntungkan Indonesia, maka sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak
seperti itu malah merugikan Indonesia.
Setelah itu juga ikut ditandatangani kontrak eksplorasi nikel di
pulau Irian Barat dan di area Waigee Sentani oleh PT Pacific Nickel
Indonesia dan Kementerian Pertambangan Republik Indonesia.
Perjanjian dilakukan oleh E. OF Veelen (Koninklijke Hoogovens),
Soemantri Brodjonegoro (yaitu Menteri Pertambangan RI selanjutnya yang
menggantikan Ir. Slamet Bratanata) dan RD Ryan (U.S. Steel).
Pacific Nickel Indonesia adalah perusahaan yang didirikan oleh Dutch
Koninklijke Hoogovens, Wm. H. MÜLLER, US Steel, Lawsont Mining dan
Sherritt Gordon Mines Ltd.
Namun menurut penulis, perjanjian-perjanjian pertambangan di Indonesia banyak keganjilan.
Contohnya seperti tiga perjanjian diatas saja dulu dari puluhan atau
mungkin ratusan perjanjian dibidang pertambangan. Terlihat dari ketiga
perjanjian diatas sangat meragukan kebenarannya.
Pertama, perjanjian pengembalian pabrik Bata, mengapa dikembalikan?
apakah rakyat Indonesia tak bisa membuat seperangkat sendal atau sepatu?
sangat jelas ada konspirasi busuk yang telah dimainkan disini.
Kedua, perjanjian penambangan tembaga oleh Freeport, apakah mereka benar-benar menambang tembaga?
Saya sangat yakin mereka menambang emas, namun diperjanjiannya tertulis menambang tembaga.
Tapi karena pada masa itu tak ada media, bagaimana jika semua ahli
geologi Indonesia dan para pejabat yang terkait di dalamnya diberi
setumpuk uang? Walau tak selalu, tapi didalam pertambangan tembaga
kadang memang ada unsur emasnya.
Perjanjian ketiga adalah perjanjian penambangan nikel oleh Pasific
Nickel, untuk kedua kalinya, apakah mereka benar-benar menambang nikel?
Saya sangat yakin mereka menambang perak, namun diperjanjiannya tertulis menambang nikel.
Begitulah seterusnya, semua perjanjian-perjanjian pengeksplotasian
tambang-tambang di bumi Indonesia dilakukan secara tak wajar, tak adil
dan terus-menerus serta perjanjian-perjanjian tersebut akan berlaku
selama puluhan bahkan ratusan tahun kedepan.
Kekayaan alam Indonesia pun digadaikan, kekayaan Indonesia pun
terjual, dirampok, dibawa kabur kenegara-negara pro-zionis, itupun tanpa
menyejahterakan rakyat Indonesia selama puluhan tahun.
“Saya melihat seperti balas budi Indonesia ke Amerika Serikat karena
telah membantu menghancurkan komunis, yang konon bantuannya itu dengan
senjata,” tutur pengamat sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Dr Asvi Marwan Adam.
Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport
mengandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan
CIA. Direktur CIA John McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan
mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan
internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet dan
menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar
dollar AS pertahun.
Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A.Maley, menulis
sebuah buku berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman dan memaparkan jika
tambang emas di Irian Barat itu memiliki deposit terbesar di dunia,
sedangkan untuk bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar
didunia.
Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini
tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar dollar AS dan masih
akan menguntungkan untuk 45 tahun ke depan.
Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis jika biaya produksi tambang
emas dan tembaga terbesar di dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan
yang termurah di dunia.
Istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah.
Seharusnya EMASPURA. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau
juga mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di
permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru
menggalinya dengan sangat mudah.
Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun
pipa-pipa raksasa dan kuat dari Tambang Grasberg (Grasberg Mine) atau
Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru
dimana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut emas dan
tembaga itu ke Amerika.
Ini sungguh-sungguh perampokan besar yang direstui oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang!!
Seharusnya patut dipertanyakan, mengapa kota itu bernama Tembagapura?
Apakah pada awalnya pihak Indonesia sudah “dibohongi” tentang isi
perjanjian penambangan dan hanya ditemukan untuk mengeksploitasi tembaga
saja?
Jika iya, perjanjian penambangan harus direvisi ulang karena
mengingat perjanjian pertambangan biasanya berlaku untuk puluhan tahun
kedepan!
Menurut kesaksian seorang reporter CNN yang diizinkan meliput areal
tambang emas Freeport dari udara. Dengan helikopter ia meliput gunung
emas tersebut yang ditahun 1990-an sudah berubah menjadi lembah yang
dalam.
Semua emas, perak, dan tembaga yang ada digunung tersebut telah
dibawa kabur ke Amerika, meninggalkan limbah beracun yang mencemari
sungai-sungai dan tanah-tanah orang Papua hingga ratusan tahun kedepan.
Freeport juga merupakan ladang uang haram bagi para pejabat negeri ini di era Suharto, dari sipil hingga militer.
Sejak 1967 sampai sekarang, tambang emas terbesar di dunia itu
menjadi tambang pribadi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan
keluarganya.
Freeport McMoran sendiri telah menganggarkan dana untuk itu yang
walau jumlahnya sangat besar bagi kita, namun bagi mereka terbilang
kecil karena jumlah laba dari tambang itu memang sangat dahsyat. Jika
Indonesia mau mandiri, sektor inilah yang harus dibereskan terlebih
dahulu.
Itu pula yang menjadi salah satu sebab, siapapun yang akan menjadi
presiden Indonesia kedepannya, tak akan pernah mampu untuk mengubah
perjanjian ini dan keadaan ini.
Karena, jika presiden Indonesia siapapun dia, mulai berani
mengutak-atik tambang-tambang para elite dunia, maka mereka akan
menggunakan seluruh kekuatan politik dengan media dan militernya yang
sangat kuatnya di dunia, dengan cara menggoyang kekuasaan presiden
Indonesia.
Kerusuhan, adu domba, agen rahasia, mata-mata, akan disebar diseluruh pelosok negeri agar rakyat Indonesia merasa tak aman, tak puas, lalu akan meruntuhkan kepemimpinan presidennya siapapun dia.
Inilah salah satu “warisan” orde baru, new order, new world order di
era kepemimpinan rezim dan diktator Suharto selama lebih dari tiga
dekade.
Suharto, presiden Indonesia selama 32 tahun yang selalu tersenyum
dengan julukannya “the smilling General” , presiden satu-satunya di
dunia yang sudi melantik dirinya sendiri menjadi Jenderal bintang lima,
namun masih banyak yang ingin menjadikannya pahlawan nasional, karena
telah sukses menjual kekayaan alam dari dasar laut hingga puncak gunung,
dari Sabang hingga Merauke, yaitu negeri tercinta ini, Indonesia yang
besar, Indonesia Raya.
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Mia.S. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah scammed oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 JUTA) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena aku berjanji padanya bahwa aku akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman dalam bentuk apapun, silahkan hubungi dia melalui emailnya: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya ladymia383@gmail.com dan miss Sety yang saya diperkenalkan dan diberitahu tentang Ibu Cynthia dia juga mendapat pinjaman dari Ibu Cynthia baru Anda juga dapat menghubungi dia melalui email nya: arissetymin@gmail.com Sekarang, semua yang saya lakukan adalah mencoba untuk bertemu dengan pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening bulanan.
YTH PK JUSTAN DI BATANG.... SAYA MOHON JANGAN LAH MEMASUKAN KOMENTAR YG TDK RELEVAN.. N CENDERUNG MELECEHKAN ISI BLOG ..SAYA..>>
BalasHapusSAYA MHN BPK BISA SALING MENGHARGAI SSM KITA SBG WARGA NEGARA..>> SILAHKAN BPK KOMENTAR TERGADAP APA YG ADA PADA ISI DAN UNGKAPAN PADA SETIAP JUDUL BLOG INI..>> APAKAH KONTRA ATW PRO... >> NAMUN JANGANLAH NGAWUR..N CENDERUNG.. TDK MENGHARGAI.. APA YG SY TULIS..>> TERIMAKASIH ATAS PEMAHAMAN DAN PENGERTIANNYA...
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah penipuan oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 Juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah dia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan kehilangan Sety saya diperkenalkan dan diberitahu tentang Ibu Cynthia Dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya yang saya kirim langsung ke rekening bulanan.
Aku Widya Okta, saya ingin bersaksi pekerjaan yang baik dari Allah dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari untuk pinjaman di Asia dan bagian lain dari kata, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka orang yang mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, tetapi mereka masih asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari suatu 6-kredit pemberi pinjaman penipuan, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Aku hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari utang saya sendiri, sebelum aku rilis dari penjara dan teman yang saya saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya ke perusahaan pinjaman dapat diandalkan yang SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya Rp900,000,000 dari SANDRAOVIALOANFIRM sangat mudah dalam 24 jam yang saya diterapkan, Jadi saya memutuskan untuk berbagi pekerjaan yang baik dari Allah melalui SANDRAOVIALOANFIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya meminta nasihat Anda jika Anda membutuhkan pinjaman Anda lebih baik kontak SANDRAOVIALOANFIRM. menghubungi mereka melalui email:. (Sandraovialoanfirm@gmail.com)
BalasHapusAnda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (widyaokta750@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman.
BalasHapusTuan Nyonya
Terutama di seluruh dunia, Anda perlu pinjaman uang antar individu untuk mengatasi kesulitan keuangan akhirnya memecahkan kebuntuan diprovokasi oleh bank, oleh penolakan file aplikasi pinjaman Anda. Kami adalah jaringan ahli keuangan swasta mampu membuat pinjaman untuk jumlah yang Anda butuhkan dan dengan kondisi yang membuat hidup Anda lebih mudah. Kami dapat membantu Anda dalam bidang berikut:
Keuangan *
* Home Loan
* Investasi Pinjaman
* Auto Pinjaman
* Konsolidasi hutang
* Line of Credit
* Kedua Mortgage
* Akuisisi kreditan
Anda terjebak, Bank dilarang dan Anda tidak mendapatkan manfaat dari bank atau Anda lebih baik memiliki sebuah proyek dan membutuhkan pembiayaan, kredit buruk atau membutuhkan uang untuk membayar tagihan, uang untuk berinvestasi pada bisnis. Sementara kami siap melayani anda untuk aplikasi pinjaman pribadi Anda dari € 500 sampai € 10 juta untuk masing-masing tertentu dapat membayar tingkat bunga 2%. Kami berada dalam posisi untuk memenuhi peminjam kami dalam waktu 2 jam sejak diterimanya permohonan mereka.
Silahkan hubungi kami untuk lebih jelasnya;
dangotegrouploandepartment@gmail.com
dangotegrouploan.wordpress.com
Kabar baik !!!!
BalasHapusNama saya Mira Mia, CEO sebuah toko pakaian di Malaysia, saya ingin menceritakan kisah saya kepada dunia dan bagaimana saya mendapatkan pinjaman dari Dangote Loan Company untuk memulai toko pakaian saya, beberapa bulan terakhir saya tidak mempunyai uang atau pekerjaan. membuat uang Untuk memulai sebuah toko pakaian, Jadi saya mulai mencari pinjaman dimana-mana tapi tak ada yang mau membantu bank
Jadi saya putus asa dan mencari-cari secara online tapi saya tertipu karena biaya pendaftaran, biaya lisensi, biaya asuransi tapi tidak ada pinjaman yang diberikan kepada saya. Saya hampir menyerah tapi saya membaca sebuah artikel yang ditulis oleh seorang wanita tentang bagaimana dia mendapatkannya, jadi saya kenyang.
Perusahaan pinjaman Dangote memberikan pinjaman 2% dan dapat menawarkan jumlah pinjaman yang Anda inginkan, Dangote Loan Company adalah satu-satunya perusahaan online, sehingga Anda dapat memiliki perubahan cerita.
Hubungi Dangote Loan company Via emai Dangotegrouploandepartment@gmail.com
dan saya di: miramia124@gmail.com