Analisis APBN 2011, 2012, dan 2013
http://haristkobra.wordpress.com/2013/04/26/analisis-apbn-2011-2012-dan-2013/
Pendapatan Negara
Pendapatan Indonesia dari tahun 2011 sampai tahun 2013, dilihat dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mengalami kenaikan tiap
tahunnya (tahun 2011-2013), tercatat pendapatan pada tahun 2011 mencapai
1.210.599,6 milyar rupiah dan meningkat pada tahun-tahun selanjutnya,
menjadi 1.358.205,0 milyar rupiah pada tahun 2012, dan 1.529.673,1
milyar rupiah pada tahun 2013.
Perpajakan masih menjadi primadona bagi pendapatan negara, dengan
lebih dari 72% penerimaan negara berasal dari sektor perpajakan.
Tercatat penerimaan dari sektor perpajakan selalu meningkat tiap
tahunnya sehingga menyebabkan peningkatan pendapatan negara Indonesia,
pada 2011 pendapatan dari sektor pajak sebesar 873.874,0 milyar rupiah
atau 72,16% dari total pendapatan negara, pada 2012 sebesar 1.016.237,3
(74,82% dari pendapatan negara) dan pada 2013 menjadi 1.192.994,1
(77,99%).
Jika kita cermati lebih dalam dari rincian APBN, dapat kita temukan
bahwa pendapatan dari sektor pajak paling besar diberikan oleh PPh
Nonmigas. 358.026,2 milyar rupiah merupakan angka yang dihasilkan sektor
ini pada tahun 2011 dan meningkat dalam beberapa tahun ke depan, yaitu
menjadi sebesar 445.733,4 milyar rupiah pada tahun 2012, dan 513.509,0
milyar rupiah pada tahun 2013. Sedangkan sektor yang memberikan
pendapatan paling sedikit berasal sari sektor perikanan, sektor tersebut
hanya menyumbang 183,8 milyar rupiah pada 2011, 150,0 milyar rupiah
pada 2012, dan 180,0 milyar rupiah pada 2013. Hal tersebut sungguh
ironis dan membuat miris, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan
yang memiliki perairan yang sangat luas, namun dalam kenyataannya hanya
menghasilkan pendapatan yang bisa dibilang sangat kecil bagi negara
yang memiliki perairan yang sangat luas. Hal tersebut mengindikasikan
ada yang salah dalam pengelolaan sektor perikanan di Indonesia.
Pendapatan yang sangat besar dari sektor perpajakan tidak sepatutnya
dinodai oleh para pelayan pajak yang melakukan korupsi, seperti kasus
Gayus Tambunan CS. Karena hal tersebut dapat menjadikan kepercayaan
masyarakat menurun terhadap negara untuk memberikan uangnya bagi sektor
perpajakan, mereka tidak mau uang yang mereka setorkan untuk pajak tidak
masuk ke kas negara malah masuk ke saku-saku oknum-oknum pegawai pajak
yang korup.
Terlepas dari hal diatas, sebenarnya negara masih bisa mendapatkan
pendapatan yang lebih besar dari sektor pajak, karena potensi pajak
negara Indonesia dengan 250 juta penduduknya sangat besar, namun
demikian masih sangat banyak warga negara Indonesia yang kesadarannya
untuk membayar pajak minim, hal ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi
pemerintah, agar pendapatan yang dihasilkan dari sektor perpajakan bisa
melambung tinggi jauh lebih tinggi dari pendapatan sekarang ini.
Belanja Negara
Belanja negara juga mengalami peningkatan setiap tahunnya seperti
pendapatan negara, tercatat 1.294.999,2 milyar rupiah pada 2011,
1.548.310,4 milyar rupiah pada 2012, dan 1.683.011,1 milyar rupiah pada
2013.
Dilihat dari belanja pemerintah pusat menurut fungsi, sektor
pelayanan umum melakukan pembelanjaan terbesar dari tahun ke tahun,
yaitu 508.945,5 milyar rupiah (2011), 659.142,5 milyar rupiah (2012),
dan 720.059,7 milyar rupiah (2013). Diikuti oleh fungsi ekonomi di
peringkat kedua dan fungsi pendidikan di peringkat ketiga.
Sedangkan Agama menjadi fungsi yang paling kecil anggaran belanjanya,
tercatat 1.424,7 milyar rupiah (2011), 3.577,1 milyar rupiah (2012),
dan 4.100,1 milyar rupiah (2013), diikuti setingkat diatasnya pariwisata
3.553,5 milyar rupiah (2011), 3.166,8 milyar rupiah (2012), dan 2.509,3
milyar rupiah (2013), lalu perlindungan sosial. 3.906,4 milyar rupiah
(2011), 5.556,0 milyar rupiah (2012), dan 7.416,4 milyar rupiah (2013).
Melihat pariwisata masuk dalam tiga besar dengan anggaran belanja
paling sedikit membuat kita berpikir, apakah memang pariwisata di
Indonesia tidak membutuhkan anggaran yang banyak, ataukah sebaliknya,
pariwisata kita membutuhkan anggaran yang banyak, namun kenyataannya
pemerintah hanya menganggarkan dana yang sedikit bagi pariwisata.
Melihat dari fakta dan kondisi di lapangan, sepertinya alasan yang
kedualah yang menjadikan anggaran belanja pariwisata masuk tiga
terbawah, pemerintah tidak serius dalam menggarap pariwisata Indonesia,
terlihat masih banyaknya objek pariwisata di Indonesia yang tidak
terawat dan malah terbengkalai. Contohnya dapat dilihat dari beberapa
pantai di daerah selatan Jawa, seperti pantai Ujung Genteng, pantai
tersebut memiliki keindahan yang menjadikan daya pikat tersendiri bagi
wisatawan, namun akses jalan untuk menuju kesana sangat tidak memuaskan,
banyak jalan yang kondisinya kurang layak, selain itu tidak adanya
bentuk promosi untuk pantai tersebut, menjadikan pantai tersebut tidak
banyak diketahui orang. Atau mungkin pemerintah Indonesia merasa sudah
cukup dengan pariwisata Bali yang menghasilkan devisa yang sangat besar
bagi negara. Kalau demikian, maka jelaslah sudah, pemerintah Indonesia
tidak serius dalam menggarap sektor pariwisatanya.
Namun jika kita cermati secara seksama, dapat kita temukan bahwa
sebenarnya yang paling besar menyedot belanja negara itu adalah dana
perimbangan, bahkan menembus 400.000 milyar rupiah atau setara 400
trilliun. Dengan rincian 347.246,2 milyar rupiah (2011), 408.352,1
milyar rupiah (2012), dan 444.798,8 milyar rupiah (2013). Dana
perimbangan, yaitu dana yang bersumber atau penerimaan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi yang diatur dengan UU. No 33 tahun 2004
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal itu
sudah cukup membuktikan bahwa sistem demokrasi (desentralisasi) memang
membutuhkan dana yang sangat besar dalam kegiatannya.
Analisa APBN 2012 dan 2013 yang Dinilai Masih Belum Berpihak Pada Rakyat
OPINI | 10 April 2013 | 13:48http://politik.kompasiana.com/2013/04/10/analisa-apbn-2012-dan-2013-yang-dinilai-masih-belum-berpihak-pada-rakyat-549814.html
Kebijakan fiskal seperti penyusunan APBN
sangatlah menentukan bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam kurun waktu tahunan, apabila APBN dirasa banyak
ketimpangan dan tidak efektif maka yang akan dirugikan bukan hanya
masyarakat melainkan pula semua elemen yang ada dalam negara, meski APBN
disusun untuk jangka waktu setahun namun bila terjadi sebuah
ketimpangan dan berdampak terhadap sebuah krisis perekonomian maka
dampaknya akan bertahun-tahun.
Bahkan sesuai dengan hasil berita Kompas
menyebutkan bahwa kebijakan fiskal mengenai APBN menyebabkan sebuah
hidup matinya seseorang, hal ini terjadi banyak
terjadi di sejumlah daerah yang minim infrastruktur kesehatan, disana
banyak masyarakat yang meninggal ketika jatuh sakit dan sedang mengalami
kondisi kritis tanpa pengobatan medis lebih lanjut.
Selain itu peran fungsi APBN yang sangat
vital adalah menumpas kemiskinan yang ada di Indonesia, jika APBN
disusun masih belum menghasilkan sebuah dampak yang signifikan terkait
penumpasan kemiskinan di Indonesia maka APBN yang disusun dinilai tidak
pro-rakyat. Hal ini terbukti sebagaimana data yang dilaporkan olehKompas diatas dengan narasumber Ahmad Erani yang menyebutkan bahwa APBN 2012-2013 yang masih belum berpihak para rakyat.
Selama ini penyusunan APBN lebih banyak
terkuras pada kegiatan yang membiayai kegiatan mengikat, seperti belanja
pegawai pemerintah pusat, subsidi energi, dan transfer daerah yang
sekitar 70 persenya habis untuk belanja pegawai daerah, dan membayar
utang.
Hal ini tentunya sangat bertolak balik
dengan kebutuhan yang masyarakat Indonesia yang membutuhkan sarana
infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan primer yang memadai seperti
pendidikan dan kesehatan. Habisnya alokasi anggaran untuk pegawai juga
dinilai tidak efektif karena selama ini pemerintah sendiri masih belum
mampu menyuguhkan sebuah pelayanan yang prima terkait fungsi mereka
sebagai pelayan publik, kebanyakan uang yang dialokasikan untuk kegiatan
birokrasi hanya untuk kepentingan belaka, dan berujung pada tindakan
korupsi yang saat ini sudah lumrah terjadi di tataran lembaga birokrasi
pemerintah Indonesia. Sebagaimana semestinya uang APBN yang bersumber
dan alokasinya harus ditujukan kepada masyarakat malah tidak
dilaksanakan dengan baik.
selanjutnya bisa dibaca di: www.serbapolitik.blogspot.com
Kas Negara Menipis, AS Terancam Bangkrut
- Rabu, 2 Oktober 2013 | 10:17 WIB
- http://internasional.kompas.com/read/2013/10/02/1017148/Kas.Negara.Menipis.AS.Terancam.Bangkrut
Menteri keuangan AS Jacob Lew. | AP Photo
WASHINGTON DC, KOMPAS.com — Belum lagi usai masalah
tutupnya sebagian operasional Pemerintah AS, kini ancaman baru mengancam
negeri adidaya itu, yakni kebangkrutan.
Kementerian Keuangan AS, Selasa (1/10/2013), mengatakan, jika hingga 17 Oktober mendatang tidak disepakati batas kenaikan utang baru, maka Pemerintah Amerika Serikat akan kehabisan uang alias bangkrut sehingga tak bisa memenuhi sejumlah kewajibannya.
Menteri Keuangan AS Jacob Lew telah mengirim surat kepada Ketua Kongres John Boehner bahwa penutupan sebagian operasional pemerintahan AS, yang disebabkan kurangnya anggaran, tidak akan mengubah proyeksi yang dibuat Kementerian Keuangan saat kemampuan keuangan AS mencapai batasnya.
"Meski keterbatasan anggaran untuk tahun fiskal baru menciptakan ketidakpastian tambahan, tetapi kondisi itu tidak akan mengubah posisi Kemenkeu, kecuali jika kebuntuan berlanjut," demikian Lew dalam suratnya.
Lew memperingatkan, jika batas utang AS tidak dinaikkan pada 17 Oktober mendatang, maka Pemerintah AS akan mengalami kegagalan membayar utang, meski Lew tidak merinci utang mana yang kemungkinan gagal dibayarkan.
"Hingga 17 Oktober, setelah itu maka kami harus menjalankan komitmen pemerintah hanya dengan anggaran 30 miliar dollar AS," ujar Lew.
"Jumlah anggaran ini terlalu sedikit untuk pengeluaran saat itu yang sedikitnya membutuhkan 60 miliar dollar AS," tambah Lew.
Anggota kongres dari Partai Republik menolak pencairan anggaran tahun fiskal baru yang dimulai Selasa (1/10/2013) dan menolak meningkatkan batas utang 16,7 triliun dollar AS.
Keputusan kongres menahan anggaran dan batas utang ini tak lepas dari upaya mereka mencari konsesi politik dan fiskal dari pemerintahan Barack Obama.
Saat ini, setiap bulan anggaran Pemerintah AS defisit sebesar 60 miliar dollar AS dan membutuhkan peningkatan batas utang untuk membiayai defisit anggaran.
Kementerian Keuangan selama ini telah melakukan penghematan dengan menggunakan "langkah-langkah khusus" untuk menyesuaikan diri dengan kondisi anggaran dan tetap bisa membayar pengeluaran negara, mulai dari gaji pegawai, uang pensiun, hingga membayar utang.
Namun, Lew mengatakan, langkah-langkah khusus itu kini sudah tak mampu lagi menahan semakin keringnya kas keuangan negara dan membutuhkan utang baru pada 17 Oktober.
Jika tidak ada persetujuan, maka setelah tanggal 17 Oktober sebagian tagihan, utang, dan kewaj
Kementerian Keuangan AS, Selasa (1/10/2013), mengatakan, jika hingga 17 Oktober mendatang tidak disepakati batas kenaikan utang baru, maka Pemerintah Amerika Serikat akan kehabisan uang alias bangkrut sehingga tak bisa memenuhi sejumlah kewajibannya.
Menteri Keuangan AS Jacob Lew telah mengirim surat kepada Ketua Kongres John Boehner bahwa penutupan sebagian operasional pemerintahan AS, yang disebabkan kurangnya anggaran, tidak akan mengubah proyeksi yang dibuat Kementerian Keuangan saat kemampuan keuangan AS mencapai batasnya.
"Meski keterbatasan anggaran untuk tahun fiskal baru menciptakan ketidakpastian tambahan, tetapi kondisi itu tidak akan mengubah posisi Kemenkeu, kecuali jika kebuntuan berlanjut," demikian Lew dalam suratnya.
Lew memperingatkan, jika batas utang AS tidak dinaikkan pada 17 Oktober mendatang, maka Pemerintah AS akan mengalami kegagalan membayar utang, meski Lew tidak merinci utang mana yang kemungkinan gagal dibayarkan.
"Hingga 17 Oktober, setelah itu maka kami harus menjalankan komitmen pemerintah hanya dengan anggaran 30 miliar dollar AS," ujar Lew.
"Jumlah anggaran ini terlalu sedikit untuk pengeluaran saat itu yang sedikitnya membutuhkan 60 miliar dollar AS," tambah Lew.
Anggota kongres dari Partai Republik menolak pencairan anggaran tahun fiskal baru yang dimulai Selasa (1/10/2013) dan menolak meningkatkan batas utang 16,7 triliun dollar AS.
Keputusan kongres menahan anggaran dan batas utang ini tak lepas dari upaya mereka mencari konsesi politik dan fiskal dari pemerintahan Barack Obama.
Saat ini, setiap bulan anggaran Pemerintah AS defisit sebesar 60 miliar dollar AS dan membutuhkan peningkatan batas utang untuk membiayai defisit anggaran.
Kementerian Keuangan selama ini telah melakukan penghematan dengan menggunakan "langkah-langkah khusus" untuk menyesuaikan diri dengan kondisi anggaran dan tetap bisa membayar pengeluaran negara, mulai dari gaji pegawai, uang pensiun, hingga membayar utang.
Namun, Lew mengatakan, langkah-langkah khusus itu kini sudah tak mampu lagi menahan semakin keringnya kas keuangan negara dan membutuhkan utang baru pada 17 Oktober.
Jika tidak ada persetujuan, maka setelah tanggal 17 Oktober sebagian tagihan, utang, dan kewaj
MENGAPA NEGARA-NEGARA BANGKRUT?
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/10/mengapa-negara-negara-bangkrut.html#.Um-7oFJXxkg
Sebelumnya saya mohon ma'af kepada para pengunjung setia blok ini yang
melihat akhir-akhir ini produktifitas tulisan saya menurun tajam. Selama
sebulan terakhir ini Kota Medan dan wilayah-wilayah lain di seluruh
Sumatera Utara tengah mengalami krisis listrik yang sangat parah. Hari
ini saja warga sekeliling rumah saya mengalami pamadaman aliran listrik
selama lebih dari 6 jam non-stop. Parahnya lagi Telkom, BUMN prestisius
yang bertanggungjawab atas layanan telekomunikasi seperti turut
berkonspirasi menghancurkan layanan publik dengan tidak menyediakan
genset untuk mendukung operasionalnya. Maka ketika alisran listrik mati,
jaringan internet pun lumpuh. Akibatnya masyarakat pun semakin sulit
untuk bisa mengakses internet, khususnya yang selama ini mengandalkan
produk "Speedy" milik Telkom.
Gubernur Sumut yang sudah tidak tahan dengan tingkah PLN, terutama dengan kebohongan-kebohongan publik yang terlalu sering diumbar para pejabat PLN, telah melaporkan masalah ini kepada Presiden SBY. Namun seperti sudah saya duga, hal ini tidak merubah apapun karena SBY juga bagian dari masalah ini, bahkan mungkin yang paling besar. Alih-alih menanggapi serius permasalahan krisis listrik di Indonesia dan khususnya di Sumut, hari ini saya mendengar pernyataan aneh SBY yang meminta pimpinan TNI untuk memikirkan kesejahterakan personilnya. Bukankah yang harus memikirkan kesejahteraan aparat TNI adalah pemerintah? TNI adalah institusi profesional yang personilnya tidak boleh dibebani dengan "urusan perut" karena bisa sangat berbahaya. Apakah para jendral itu harus "ngobyek" untuk menambah uang saku anak buahnya?
Sejak SBY berpidato menyambut kemenangannya dalam pemilu tahun 2009 lalu, saya sudah meramalkan, Indonesia akan mengalami hal-hal yang sangat buruk. Dan krisis listrik di Sumut dan beberapa kejanggalan lainnya seperti melonjaknya harga barang-barang kebutuhan pokok, baru "pemanasan" saja. Saya sudah bisa membayangkan yang lebih buruk: pemadaman listrik total di ibukota, mesin-mesin ATM yang mogok massal, dan pengenaan pajak progressif pada tabungan masyarakat yang tidak berbeda dengan perampokan dana-dana masyarakat secara besar-besaran oleh negara (sudah terjadi di Yunani).
Dan hal-hal seperti itu pulalah yang bisa mengakibatkan sebuah negara menjadi bangkrut, seperti Amerika misalnya.
Dunia kini tengah dihebohkan dengan berita tentang "bangkrut"-nya pemerintah Amerika yang tidak memiliki dana untuk menjalankan pemerintahan setelah rencana anggaran yang diajukan pemerintah ditolak para legislator. Dengan berpura-pura bodoh atau memang benar-benar bodoh, media-media massa pun ramai-ramai menyebutkan program jaminan sosial "Obamacare" sebagai penyebab kebangkrutan tersebut. Mereka tidak pernah menyebut bahwa pemerintah Amerika memiliki hutang sebesar $16 triliun dan separohnya lebih "dihasilkan" oleh Presiden Obama, dan untuk membayar bunganya saja pemerintah harus mengeluarkan ratusan miliar dollar per-tahun. Ini belum termasuk "perang melawan terorisme" yang menguras ratusan miliar dolar Amerika dana publik Amerika setiap tahun. Itulah yang mengakibatkan Amerika bangkrut, bukan "Obamacare".
Namun hanya sedikit orang yang memahani ekonomi negara. Bahkan saya berani menjamin hanya sedikit sekali orang yang telah belajar Ekonomi Makro yang memahami tentang bagaimana perekonomian sebuah negara dijalankan.
Tuhan telah menganugerahkan bumi dengan kekayaan dan sumber daya yang tidak terkira. Hukum alam telah mengatur mahluk hidup untuk berkembang biak. Sebulir padi yang bisa menghasilkan ribuan butir padi dan sepasang ayam yang bisa menghasilkan ratusan ayam dan ribuan telor. Dikombinasikan dengan otak manusia yang luar biasa cerdas yang bisa merekayasa tanaman pangan untuk tumbuh di atas tanah gersang, plus peradaban manusia yang telah berkembang ribuan tahun, semestinya dunia ini dilimpahi dengan kemakmuran.
Namun mengapa banyak negara bisa hancur ekonominya dan umat manusia pun dilanda kelaparan dan kemiskinan? Bagaimana mungkin sebuah negara yang pemerintahnya memiliki sumber pendapatan mencapai Rp 40.000 triliun per-tahun seperti Amerika, bisa bangkrut? Tidak lain karena negara tersebut telah diatur dengan cara yang salah. Namun kesalahan ini tragisnya bukan karena "kebodohan", melainkan karena "kejahatan sistematis".
Setahun lebih yang lalu saya sempat berdiskusi dengan seorang teman tentang kondisi ekonomi negeri ini, khususnya terkait dengan minimnya anggaran pendidikan dikucurkan pemerintah pada perguruan tinggi negeri. Ketika saya mencoba memancingnya tentang "kejahatan sistematis" pengelolaan keuangan negara oleh pemerintah, teman saya yang menyandang gelar doktor dari Amerika itu menjawab tegas bahwa tidak mungkin pemerintah melakukan kejahatan seperti itu. Sayangnya prasangka baik tentang mitos "pemerintah selalu baik" yang dimiliki sebagian besar masyarakat itulah yang mengakibatkan negara seperti Amerika bisa bangkrut.
Gubernur Sumut yang sudah tidak tahan dengan tingkah PLN, terutama dengan kebohongan-kebohongan publik yang terlalu sering diumbar para pejabat PLN, telah melaporkan masalah ini kepada Presiden SBY. Namun seperti sudah saya duga, hal ini tidak merubah apapun karena SBY juga bagian dari masalah ini, bahkan mungkin yang paling besar. Alih-alih menanggapi serius permasalahan krisis listrik di Indonesia dan khususnya di Sumut, hari ini saya mendengar pernyataan aneh SBY yang meminta pimpinan TNI untuk memikirkan kesejahterakan personilnya. Bukankah yang harus memikirkan kesejahteraan aparat TNI adalah pemerintah? TNI adalah institusi profesional yang personilnya tidak boleh dibebani dengan "urusan perut" karena bisa sangat berbahaya. Apakah para jendral itu harus "ngobyek" untuk menambah uang saku anak buahnya?
Sejak SBY berpidato menyambut kemenangannya dalam pemilu tahun 2009 lalu, saya sudah meramalkan, Indonesia akan mengalami hal-hal yang sangat buruk. Dan krisis listrik di Sumut dan beberapa kejanggalan lainnya seperti melonjaknya harga barang-barang kebutuhan pokok, baru "pemanasan" saja. Saya sudah bisa membayangkan yang lebih buruk: pemadaman listrik total di ibukota, mesin-mesin ATM yang mogok massal, dan pengenaan pajak progressif pada tabungan masyarakat yang tidak berbeda dengan perampokan dana-dana masyarakat secara besar-besaran oleh negara (sudah terjadi di Yunani).
Dan hal-hal seperti itu pulalah yang bisa mengakibatkan sebuah negara menjadi bangkrut, seperti Amerika misalnya.
Dunia kini tengah dihebohkan dengan berita tentang "bangkrut"-nya pemerintah Amerika yang tidak memiliki dana untuk menjalankan pemerintahan setelah rencana anggaran yang diajukan pemerintah ditolak para legislator. Dengan berpura-pura bodoh atau memang benar-benar bodoh, media-media massa pun ramai-ramai menyebutkan program jaminan sosial "Obamacare" sebagai penyebab kebangkrutan tersebut. Mereka tidak pernah menyebut bahwa pemerintah Amerika memiliki hutang sebesar $16 triliun dan separohnya lebih "dihasilkan" oleh Presiden Obama, dan untuk membayar bunganya saja pemerintah harus mengeluarkan ratusan miliar dollar per-tahun. Ini belum termasuk "perang melawan terorisme" yang menguras ratusan miliar dolar Amerika dana publik Amerika setiap tahun. Itulah yang mengakibatkan Amerika bangkrut, bukan "Obamacare".
Namun hanya sedikit orang yang memahani ekonomi negara. Bahkan saya berani menjamin hanya sedikit sekali orang yang telah belajar Ekonomi Makro yang memahami tentang bagaimana perekonomian sebuah negara dijalankan.
Tuhan telah menganugerahkan bumi dengan kekayaan dan sumber daya yang tidak terkira. Hukum alam telah mengatur mahluk hidup untuk berkembang biak. Sebulir padi yang bisa menghasilkan ribuan butir padi dan sepasang ayam yang bisa menghasilkan ratusan ayam dan ribuan telor. Dikombinasikan dengan otak manusia yang luar biasa cerdas yang bisa merekayasa tanaman pangan untuk tumbuh di atas tanah gersang, plus peradaban manusia yang telah berkembang ribuan tahun, semestinya dunia ini dilimpahi dengan kemakmuran.
Namun mengapa banyak negara bisa hancur ekonominya dan umat manusia pun dilanda kelaparan dan kemiskinan? Bagaimana mungkin sebuah negara yang pemerintahnya memiliki sumber pendapatan mencapai Rp 40.000 triliun per-tahun seperti Amerika, bisa bangkrut? Tidak lain karena negara tersebut telah diatur dengan cara yang salah. Namun kesalahan ini tragisnya bukan karena "kebodohan", melainkan karena "kejahatan sistematis".
Setahun lebih yang lalu saya sempat berdiskusi dengan seorang teman tentang kondisi ekonomi negeri ini, khususnya terkait dengan minimnya anggaran pendidikan dikucurkan pemerintah pada perguruan tinggi negeri. Ketika saya mencoba memancingnya tentang "kejahatan sistematis" pengelolaan keuangan negara oleh pemerintah, teman saya yang menyandang gelar doktor dari Amerika itu menjawab tegas bahwa tidak mungkin pemerintah melakukan kejahatan seperti itu. Sayangnya prasangka baik tentang mitos "pemerintah selalu baik" yang dimiliki sebagian besar masyarakat itulah yang mengakibatkan negara seperti Amerika bisa bangkrut.
(bersambung)
3 komentar:
-
distroyed america
-
BRI (Bank Rakyat Indonesia) sarang yahudi. tolong mas yon di tulis untuk
kebobrokan BRI kita. kenapa saya meminta ini mas yon, karena saya
sebagai pegawai rendah di pemerintahan sangat kecewa oleh ulah BRI. saya
berhutang di BRI 20 juta dan akan di bayar selama 3 tahun dengan
memotong gaji saya, bila pemotongan gaji sudah berjalan 1 tahun dan saya
ingin melunasi yg sisa dua tahun maka saya harus membayar seluruh bunga
nya. sementara perjanjian dari pihak BRI sebelumnya jika saya ingin
melunasi hutang saya maka hanya membayar pokok nya saja ditambah bunga 6
bulan. sekarang aturan tersebut berubah dengan merugikan saya sebagai
peminjam. mereka merubahnya tanpa mengkaji lebih dulu. ternyata Bank BRI
yang kita banggakan adalah salah satu tangan kapitalis.
-
Mas agus, perbankan Indonesia dan mayoritas negara-negara lainnya adalah sistemnya yahudi, bahkan kepemilikannya juga yahudi.
Saya berpendapat perbankan adalah sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka harus dikuasai oleh pemerintah. Perbankan mestinya hanya berfungsi menjaga likuiditas, bukan untuk mencari keuntungan. Namun negara yang menjalankan sistem perbankan seperti ini (Libya) justru dihancurkan.
Bayangkan saja, para banker yang tidak pernah membuat apapun justru mendapat untung paling besar. Gaji para eksksutifnya yang melebihi menteri dan presiden, sementara para petani dan pekerja yang benar-benar menciptakan nilaia tambah justru terpinggirkan. Ini mestinya tidak boleh terjadi.
MENGAPA NEGARA-NEGARA BANGKRUT ? (3)
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/10/mengapa-negara-negara-bangkrut-3.html#.Um-2gFJXxkg
Seperti sudah pernah saya tulis dalam postingan-postingan ekonomi
sebelumnya, mengelola negara pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan
mengelola perusahaan atau rumah tangga. Bagi perusahaan dan rumah tangga
yang ingin tumbuh berkembang yang diperlukan adalah mengelola faktor
produksi atau sumber daya yang dimilikinya secara efektif dan efisien.
Efektif adalah memilih metode atau cara yang paling tepat untuk
meningkatkan laba atau penghasilan, sedangkan efisien adalah penggunaan
faktor produksi atau sumber daya yang paling hemat dan optimal.
Dalam konteks rumah tangga dan perusahaan, hal itu bisa disebutkan dalam 2 hal: kerja keras dan berhemat. Dalam konteks negara, hal itu bisa dilihat pada APBN-nya. APBN yang tepat adalah APBN yang efisien dan efektif. Efisien berarti APBN tidak boleh berimbang (pengeluaran sama dengan penerimaan) apalagi defisit (pengeluaran lebih besar dari penerimaan). Dengan kata lain APBN harus surplus. Karena dengan surplusnya APBN, pemerintah bisa menyimpan kekayaan yang bisa digunakan untuk mengatasi kondisi-kondisi darurat serta untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pembangunan yang pada akhirnya akan memberikan kesejahteraan untuk rakyat. Sebaliknya APBN yang defisit yang harus ditalangi dengan berhutang, hanya akan menjerumuskan pemerintah dalam kubangan hutang dan mengurangi kemampuan untuk membangun.
Namun sayangnya pelajaran sederhana ini tidak pernah diberikan kepada masyarakat, bahkan kepada para mahasiswa ekonomi sekalipun. Alih-alih memberikan pelajaran tentang pentingnya pengelolaan ekonomi dan keuangan negara secara bijak, efektif dan efisien, para hamasiswa ekonomi justru dijejali dengan pemahaman liberalisme: ekonomi harus dijauhkan dari peran pemerintah, investor asing harus diberi kebebasan penuh, hutang dan defisit anggaran adalah "kebijakan", perdagangan harus dibebaskan dari "hambatan-hambatan" meski sebenarnya hambatan tersebut demi membela kepentingan nasional, dan lain sebagainya. Lebih parah lagi para mahasiswa juga diajari "teori berjudi" dan bermental spekulatif. Kesejahteraan hanya mereka pahami sebagai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak peduli dengan kesenjangan ekonomi yang lebar atau pertumbuhan yang tidak banyak dirasakan oleh rakyat kebanyakan karena hanya terjadi di sektor-sektor "elit" seperti keuangan dan perbankan, telekomunikasi, dan retil.
Dan lihatlah Amerika, negara terkaya di dunia dengan pendapatan pajak pemerintahnya mencapai puluhan ribu triliun lebih per-tahun (pajak penghasilan yang berhasil diraih pemerintah dari para pekerja Amerika saja mencapai sekitar $1,5 triliun atau lebih dari Rp 15.000 triliun). Tidak ada yang tidak bisa dilakukan pemerintah dengan uang sebanyak itu untuk mensejahterakan rakyatnya. Tapi uang sebanyak itu tidak ada artinya jika pemerintah melakukan gaya hidup "besar pasak daripada tiang" alias menerapkan kebijakan defisit anggaran. Untuk membiayai pemerintahan, Amerika memaksakan diri untuk mendefisitkan anggaran belanja pemerintahannya, lebih dari $1 triliun atau lebih dari Rp 10.000 triliun per-tahun. Sebagian besar dari alokasi anggaran tersebut adalah untuk program-program yang tidak produktif seperti anggaran pertahanan yang mencapai ribuan triliun rupiah per-tahun, perjalanan dinas dan operasional inteligen yang menggurita, bailout kepada para bankir korup, membiayai shopping ibu negara Michele Obama ke Paris dengan pesawat kepresidenan, perang melawan terorisme, atau bantuan kepada negara-negara dan regim-regim otoriter seperti Israel, Bahrain, dan Mesir. Padahal jika anggaran tersebut dikurangi 50%-nya dan 50% sisanya ditabung, pemerintahan tetap bisa berjalan dan negara memiliki simpanan kekayaan yang bisa digunakan untuk mengatasi kondisi krisis atau meningkatkan pembangunan di tahun berikutnya. Memang ada yang dikorbankan, seperti para industriawan militer, namun sebagian besar rakyat memperoleh kemakmuran.
Akibatnya dari kebijakan "besar pasak" itu pemerintah Amerika justru terpuruk dalam kubangan hutang yang tidak mungkin terlunasi yang kini mencapai $17 triliun, dengan beban bunganya mencapai ratusan miliar dollar atau ribuan triliun rupiah per-tahun.
Indonesia sebagai negara ekonomi liberal tentu saja menjiplak model pembangunan Amerika yang sama sekali bertolak belakang dengan prinsip-prinsip pengelolaan ekonomi yang bijak yang mengandalkan efisiensi dan efektifitas. Akibatnya Indonesia semakin terpuruk dalam jebakan hutang yang membebani keuangan pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya. Saat ini hutang luar negari Indonesia telah melampaui angka Rp 2000 triliun, sebuah rekor tertinggi, dan Presiden SBY adalah yang paling bertanggungjawab dari kondisi itu. Hanya dalam waktu kurang dari 8 bulan SBY telah menambah hutang luar negeri Indonesia sebesar Rp 600 triliun.
Jadi jangan kaget jika suatu saat Indonesia pun akan mengalami kebangkrutan ekonomi seperti Yunani, dan untuk mengatasinya pemerintah "merampok" uang rakyatnya sendiri yang tersimpan di bank-bank.
Lalu bagaimana mengelola keuangan negara secara bijak?
(Bersambung)
Dalam konteks rumah tangga dan perusahaan, hal itu bisa disebutkan dalam 2 hal: kerja keras dan berhemat. Dalam konteks negara, hal itu bisa dilihat pada APBN-nya. APBN yang tepat adalah APBN yang efisien dan efektif. Efisien berarti APBN tidak boleh berimbang (pengeluaran sama dengan penerimaan) apalagi defisit (pengeluaran lebih besar dari penerimaan). Dengan kata lain APBN harus surplus. Karena dengan surplusnya APBN, pemerintah bisa menyimpan kekayaan yang bisa digunakan untuk mengatasi kondisi-kondisi darurat serta untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pembangunan yang pada akhirnya akan memberikan kesejahteraan untuk rakyat. Sebaliknya APBN yang defisit yang harus ditalangi dengan berhutang, hanya akan menjerumuskan pemerintah dalam kubangan hutang dan mengurangi kemampuan untuk membangun.
Namun sayangnya pelajaran sederhana ini tidak pernah diberikan kepada masyarakat, bahkan kepada para mahasiswa ekonomi sekalipun. Alih-alih memberikan pelajaran tentang pentingnya pengelolaan ekonomi dan keuangan negara secara bijak, efektif dan efisien, para hamasiswa ekonomi justru dijejali dengan pemahaman liberalisme: ekonomi harus dijauhkan dari peran pemerintah, investor asing harus diberi kebebasan penuh, hutang dan defisit anggaran adalah "kebijakan", perdagangan harus dibebaskan dari "hambatan-hambatan" meski sebenarnya hambatan tersebut demi membela kepentingan nasional, dan lain sebagainya. Lebih parah lagi para mahasiswa juga diajari "teori berjudi" dan bermental spekulatif. Kesejahteraan hanya mereka pahami sebagai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak peduli dengan kesenjangan ekonomi yang lebar atau pertumbuhan yang tidak banyak dirasakan oleh rakyat kebanyakan karena hanya terjadi di sektor-sektor "elit" seperti keuangan dan perbankan, telekomunikasi, dan retil.
Dan lihatlah Amerika, negara terkaya di dunia dengan pendapatan pajak pemerintahnya mencapai puluhan ribu triliun lebih per-tahun (pajak penghasilan yang berhasil diraih pemerintah dari para pekerja Amerika saja mencapai sekitar $1,5 triliun atau lebih dari Rp 15.000 triliun). Tidak ada yang tidak bisa dilakukan pemerintah dengan uang sebanyak itu untuk mensejahterakan rakyatnya. Tapi uang sebanyak itu tidak ada artinya jika pemerintah melakukan gaya hidup "besar pasak daripada tiang" alias menerapkan kebijakan defisit anggaran. Untuk membiayai pemerintahan, Amerika memaksakan diri untuk mendefisitkan anggaran belanja pemerintahannya, lebih dari $1 triliun atau lebih dari Rp 10.000 triliun per-tahun. Sebagian besar dari alokasi anggaran tersebut adalah untuk program-program yang tidak produktif seperti anggaran pertahanan yang mencapai ribuan triliun rupiah per-tahun, perjalanan dinas dan operasional inteligen yang menggurita, bailout kepada para bankir korup, membiayai shopping ibu negara Michele Obama ke Paris dengan pesawat kepresidenan, perang melawan terorisme, atau bantuan kepada negara-negara dan regim-regim otoriter seperti Israel, Bahrain, dan Mesir. Padahal jika anggaran tersebut dikurangi 50%-nya dan 50% sisanya ditabung, pemerintahan tetap bisa berjalan dan negara memiliki simpanan kekayaan yang bisa digunakan untuk mengatasi kondisi krisis atau meningkatkan pembangunan di tahun berikutnya. Memang ada yang dikorbankan, seperti para industriawan militer, namun sebagian besar rakyat memperoleh kemakmuran.
Akibatnya dari kebijakan "besar pasak" itu pemerintah Amerika justru terpuruk dalam kubangan hutang yang tidak mungkin terlunasi yang kini mencapai $17 triliun, dengan beban bunganya mencapai ratusan miliar dollar atau ribuan triliun rupiah per-tahun.
Indonesia sebagai negara ekonomi liberal tentu saja menjiplak model pembangunan Amerika yang sama sekali bertolak belakang dengan prinsip-prinsip pengelolaan ekonomi yang bijak yang mengandalkan efisiensi dan efektifitas. Akibatnya Indonesia semakin terpuruk dalam jebakan hutang yang membebani keuangan pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya. Saat ini hutang luar negari Indonesia telah melampaui angka Rp 2000 triliun, sebuah rekor tertinggi, dan Presiden SBY adalah yang paling bertanggungjawab dari kondisi itu. Hanya dalam waktu kurang dari 8 bulan SBY telah menambah hutang luar negeri Indonesia sebesar Rp 600 triliun.
Jadi jangan kaget jika suatu saat Indonesia pun akan mengalami kebangkrutan ekonomi seperti Yunani, dan untuk mengatasinya pemerintah "merampok" uang rakyatnya sendiri yang tersimpan di bank-bank.
Lalu bagaimana mengelola keuangan negara secara bijak?
(Bersambung)
2 komentar:
-
Sy sudah 3 bulan ini menikmati tulisan2 anda yg menurut saya
mind-blowing.. Selamat, anda secara tidak langsung menciptakan
"pasukan2" anti liberalisme, yg nantinya sampai juga melibas zionisme yg
ada di dunia! Cheers :)
-
To gemesdeh
terima kasih atas atensinya.
MENGAPA NEGARA-NEGARA BANGKRUT? (4)
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/10/mengapa-negara-negara-bangkrut-4.html?showComment=1382983016335#c3621434310947143926
Beberapa tahun yang lalu seorang wartawan senior yang kini menjadi salah
satu kandidat calon presiden dari Partai Demokrat menulis di blognya
tentang pembangunan besar-besaran jalan tol di Cina untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Belajar dari hal itu ia menyarankan agar Indonesia
meniru langkah Cina, termasuk dengan membongkar jaringan jalan kereta
api dan menggantinya dengan jalan tol, dengan alasan bahwa hal itu akan
menaikkan harga tanah di sekitar jalan tol yang dibangun sehingga
memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar jalan tol tersebut.
Ia keliru dalam 2 hal sekaligus.
Ia keliru dalam 2 hal sekaligus.
Pertama Cina memang membangun jalan-jalan
tol untuk mendorong pertumbuhan ekonominya, tapi Cina juga membangun
jaringan kereta api cepat terbesar di dunia.
Yang kedua kenaikan harga
tanah atau komoditas barang dan jasa lainnya tidak memiliki arti apapun
tanpa kenaikan produksi barang dan jasa, dalam banyak hal justru menjadi
penghambat pertumbuhan ekonomi (inflasi).
Namun begitulah cara pandang seorang pedagang, bukan ekonom apalagi negarawan. Menganggap kenaikan pendapatan sebagai tujuan, bukan kesejahteraan masyarakat. Dan orang itulah yang kini menjadi salah satu kandidat kuat presiden atau wakil presiden Indonesia.
Kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh banyaknya barang dan jasa yang mampu diproduksi dan dikonsumsi masyarakat di dalam negeri, bukan pada banyaknya simpanan uang masyarakat di bank-bank. Banyaknya simpanan uang tidak akan berarti dalam situasi inflasi tinggi yang diakibatkan oleh tidak adanya barang dan jasa yang diproduksi.
Inilah kunci dari kesejahteraan atau disebut juga pertumbuhan ekonomi: produksi barang dan jasa. Semakin banyak barang dan jasa yang diproduksi, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi dan semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan suatu negara. Masalahnya adalah negara harus bisa mengatur jenis barang dan jasa yang tepat yang harus diproduksi sehingga bisa memberikan kesejahteraan yang optimal bagi masyarakat. Dan di sinilah fungsi negara sebagai regulator dan dinamisator terjadi dengan merancang anggaran belanja negara (APBN) yang tepat.
APBN harus disusun dengan prinsip produktifitas, efektifitas dan efisiensi. Prinsip produktifitas adalah mengalokasikan belanja negara untuk mendorong produksi barang dan jasa secara maksimal.
Namun begitulah cara pandang seorang pedagang, bukan ekonom apalagi negarawan. Menganggap kenaikan pendapatan sebagai tujuan, bukan kesejahteraan masyarakat. Dan orang itulah yang kini menjadi salah satu kandidat kuat presiden atau wakil presiden Indonesia.
Kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh banyaknya barang dan jasa yang mampu diproduksi dan dikonsumsi masyarakat di dalam negeri, bukan pada banyaknya simpanan uang masyarakat di bank-bank. Banyaknya simpanan uang tidak akan berarti dalam situasi inflasi tinggi yang diakibatkan oleh tidak adanya barang dan jasa yang diproduksi.
Inilah kunci dari kesejahteraan atau disebut juga pertumbuhan ekonomi: produksi barang dan jasa. Semakin banyak barang dan jasa yang diproduksi, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi dan semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan suatu negara. Masalahnya adalah negara harus bisa mengatur jenis barang dan jasa yang tepat yang harus diproduksi sehingga bisa memberikan kesejahteraan yang optimal bagi masyarakat. Dan di sinilah fungsi negara sebagai regulator dan dinamisator terjadi dengan merancang anggaran belanja negara (APBN) yang tepat.
APBN harus disusun dengan prinsip produktifitas, efektifitas dan efisiensi. Prinsip produktifitas adalah mengalokasikan belanja negara untuk mendorong produksi barang dan jasa secara maksimal.
Dalam rangka inilah maka negara harus membangun jaringan infrastuktur,
membuka lahan-lahan pertanian dan perkebunan, membangun pabrik-pabrik
pengolah produksi pertanian dan perkebunan, mensubsidi para petani dan
nelayan hingga mandiri, memberikan pelatihan bagi tenaga kerja,
membangun pusat-pusat pergudangan untuk menjamin suplai barang-barang
kebutuhan pokok, dan lain sebagainya.
Prinsip efektifitas adalah memilih program-program pembangunan yang paling banyak memberikan nilai tambah atau yang paling banyak meningkatkan produksi barang dan jasa. Misalnya adalah pilihan antara membangun jembatan Selat Sunda atau meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan feri Merak-Bakauheni. Secara mudah bisa dipastikan bahwa pilihan pertama tentu adalah pilihan terbaik.
Prinsip efektifitas adalah memilih program-program pembangunan yang paling banyak memberikan nilai tambah atau yang paling banyak meningkatkan produksi barang dan jasa. Misalnya adalah pilihan antara membangun jembatan Selat Sunda atau meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan feri Merak-Bakauheni. Secara mudah bisa dipastikan bahwa pilihan pertama tentu adalah pilihan terbaik.
Demikian
pula pilihan antara mengembangkan jaringan jalan tol atau kereta api,
kereta api tentu pilihan yang lebih bijak karena di samping hemat
perawatan (rel kereta api bisa bertahan 50 tahun lebih sementara jalan
tol harus selalu diaspal ulang) angkutan kereta api juga lebih hemat
energi. Atau pilihan antara mengembangkan pembangkit energi tenaga panas
bumi dan batu bara tentu lebih bijaksana daripada membangun pembangkit
energi tenaga diesel, karena Indonesia kaya dengan panas bumi dan
batubara dan BBM harus diimpor dengan harga mahal, sehingga pemborosan
PLN hingga triliun rupiah per-tahun bisa dihindari.
Adapun prinsip efisiensi adalah menggunakan APBN sehemat mungkin. Selain memperhatikan prinsip produktifitas dan efektifitas, APBN sejauh mungkin juga tidak boleh defisit alias besar pasak daripada tiang. Penerimaan negara tidak boleh dihabiskan, melainkan harus disisakan sebagaian sebagai simpanan pemerintah. Simpanan ini akan sangat berguna untuk mengatasi kondisi-kondisi darurat seperti bencana alam, menambah anggaran pembangunan di tahun-tahun berikutnya. Prinsip efisiensi juga mengharuskan belanja negara lebih diutamakan kepada pembangunan infrastruktur serta investasi dan menomor duakan belanja konsumtif, sehingga belanja pegawai seperti perjalanan dinas, konsumsi dan sebagainya dibuat seminimal mungkin. Baru saja saya mendengar berita tentang rencana pemerintah menurunkan belanja perjalanan dinas tahun 2014 menjadi Rp 32 triliun. Menurut saya angka itu masih terlalu besar.
Pemerintahan akan tetap bisa berjalan jika belanja perjalanan dinas dikurangi 50%, asal nafsu dan gengsi para pejabat publik bisa dikendalikan. Alih-alih menggunakan hotel bintang 5 dan angkutan kelas eksekutif, misalnya, para menteri masih bisa tetap menjalankan tugasnya jika fasilitas perjalanan dinasnya diturunkan levelnya menjadi hotel bintang 3 dan angkutan kelas bisnis dan ekonomi. Sehingga sisa anggaran yang 50% bisa dialokasikan untuk belanja pembangunan yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian.
Mengapa negara seperti Yunani mengalami kebangkrutan dan memaksa pemerintahnya merampok uang rakyatnya sendiri yang disimpan di bank-bank dengan dalih pajak deposito, dan kini fenomena serupa tengah mengancam negara-negara Eropa lainnya? Mengapa Amerika dengan penerimaan pajaknya yang mencapai puluhan ribu triliun (APBN Indonesia hanya sekitar 1.600 triliun) juga mengalami kebangkrutan? Dan mengapa hutang luar negeri Indonesia terus membengkak meski pemerintah berkoar-koar telah melunasi hutang IMF dan pembayaran yang dilakukan telah melebihi hutang yang diterima?
Jawabannya adalah: karena negara-negara telah dikuasai orang-orang jahat yang hanya memikirkan keuntungan sendiri sambil menikmati status mereka sebagai penguasa. Dan beberapa orang di antara orang-orang jahat itu tengah mengincar kursi kepresidenan Indonesia agar Indonesia terus menjadi sapi perahan mereka.
Adapun prinsip efisiensi adalah menggunakan APBN sehemat mungkin. Selain memperhatikan prinsip produktifitas dan efektifitas, APBN sejauh mungkin juga tidak boleh defisit alias besar pasak daripada tiang. Penerimaan negara tidak boleh dihabiskan, melainkan harus disisakan sebagaian sebagai simpanan pemerintah. Simpanan ini akan sangat berguna untuk mengatasi kondisi-kondisi darurat seperti bencana alam, menambah anggaran pembangunan di tahun-tahun berikutnya. Prinsip efisiensi juga mengharuskan belanja negara lebih diutamakan kepada pembangunan infrastruktur serta investasi dan menomor duakan belanja konsumtif, sehingga belanja pegawai seperti perjalanan dinas, konsumsi dan sebagainya dibuat seminimal mungkin. Baru saja saya mendengar berita tentang rencana pemerintah menurunkan belanja perjalanan dinas tahun 2014 menjadi Rp 32 triliun. Menurut saya angka itu masih terlalu besar.
Pemerintahan akan tetap bisa berjalan jika belanja perjalanan dinas dikurangi 50%, asal nafsu dan gengsi para pejabat publik bisa dikendalikan. Alih-alih menggunakan hotel bintang 5 dan angkutan kelas eksekutif, misalnya, para menteri masih bisa tetap menjalankan tugasnya jika fasilitas perjalanan dinasnya diturunkan levelnya menjadi hotel bintang 3 dan angkutan kelas bisnis dan ekonomi. Sehingga sisa anggaran yang 50% bisa dialokasikan untuk belanja pembangunan yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian.
Mengapa negara seperti Yunani mengalami kebangkrutan dan memaksa pemerintahnya merampok uang rakyatnya sendiri yang disimpan di bank-bank dengan dalih pajak deposito, dan kini fenomena serupa tengah mengancam negara-negara Eropa lainnya? Mengapa Amerika dengan penerimaan pajaknya yang mencapai puluhan ribu triliun (APBN Indonesia hanya sekitar 1.600 triliun) juga mengalami kebangkrutan? Dan mengapa hutang luar negeri Indonesia terus membengkak meski pemerintah berkoar-koar telah melunasi hutang IMF dan pembayaran yang dilakukan telah melebihi hutang yang diterima?
Jawabannya adalah: karena negara-negara telah dikuasai orang-orang jahat yang hanya memikirkan keuntungan sendiri sambil menikmati status mereka sebagai penguasa. Dan beberapa orang di antara orang-orang jahat itu tengah mengincar kursi kepresidenan Indonesia agar Indonesia terus menjadi sapi perahan mereka.
2 komentar:
-
ayo berbuat yang terbaik dan bermanfaat, tetap semangat !!!!!!!
-
Kita butuh pemimpin yg berani take a lead utk "revolusi", bukan "reformasi" hasil koar2 org bayaran.. Ya Mahdi Adrikni.. singgalah ke sini, dan pilihlah satu dr 250juta penduduk, jadikan jendralmu utk memimpin negara macan yg sedang tertidur.. Kita didzolimi di semua lini...! Ya Mahdi, singgalah kesini..