Selasa, 22 Oktober 2013

MENGAPA AS-ARAB SAUDI-TURKI-NEGARA2 TELUK DAN EROPA BARAT TIDAK SUKA DENGAN BASYAR ASSAD .SEBAGAI.-PEMIMPIN SURIAH...??>>.... Kerry: Arab countries willing to pay for US attack on Syria ...>> ..Congress makes the following findings: (1) Senator Barack Obama stated correctly to the Boston Globe in 2007 that 'the President does not have power under the Constitution to unilaterally authorize a military attack in a situation that does not involve stopping an actual or imminent threat to the nation.' (2) Article I, Section 8, Clause 11 of the Constitution of the United States provides Congress, not the President, the power to issue a declaration of war. It is the sense of Congress that if this authorization fails to pass Congress, the President would be in violation of the Constitution if he were to use military force against the Government of Syria....>> ..... Fakta membuktikan, bahwa sebagian besar negara Arab adalah aliansi abadi blok Barat, yang dinakhodai langsung oleh Amerika Serikat sebagai kekuatan Super Power tunggal dunia. Keberadaan kekuatan militer Suriah di kawasan tentu saja menjadikan mereka jengah, karena dianggap sebagai kekuatan lawan. Tidak jarang, beberapa kasus sebelumnya sudah pernah diangkat untuk merontokkan Suriah terutama presidennya, namun semuanya gagal... >> ....Menariknya, dalam sistem ekonomi Suriah yang terbuka pada masa kini, pemerintahan Bashar Assad tetap memberikan prioritas kepada investor swasta domestik dibandingkan dengan modal asing. Pada tahun 2005, nilai investasi di Suriah mencapai 7 miliar dollar AS. Dari total nilai investasi tersebut, 70 persennya berasal dari investor lokal. Sedangkan 24 persen berasal dari negara-negara Arab dan hanya 6 persen yang berasal dari negara non-Arab seperti Rusia, China dan Eropa. Hal ini menunjukkan bahwa Suriah dibawah kepemimpinan Bashar Assad tidaklah memiliki ketergantungan ekonomi pada asing, meskipun telah mengubah haluannya dari sentralistik menjadi perekonomian terbuka...>>> ..... kondisi geografis Suriah yang strategis bagi Israel selaku kawan setia AS di Timur Tengah juga menjadi penyebab lainnya dari diincarnya Suriah oleh imperialis Israel dan Barat. Untuk diketahui, Israel adalah negara yang kekurangan suplai air. Israel pernah menghadapi musim kering dahsyat di tahun 1990-1991. Bencana kekeringan berulang kembali pada tahun 1998. Hal ini membuat Israel bekerjasama dengan Turki, negara Timur Tengah yang kaya air di tahun 2000. Melalui kerja sama itu, Israel mengimpor 50 milyar m3 air tawar dari Turki menggunakan kapal tanker...>>> ..Rezim Bashar Assad juga mencatat prestasi lainnya, yakni penghapusan dan pemotongan hutang luar negeri Suriah pada negara-negara Eropa Timur yang muncul sejak era awal berkuasanya partai Baath melalui program penjadwalan kembali pembayaran hutang Suriah yang dimulai pada tahun 2004. Dalam program itu, Polandia menyetujui pembayaran hutang Suriah sebesar 2,7 juta dollar AS dari total 261,7 juta dollar AS. Lalu, Rusia bahkan telah membebaskan 75 persen hutang Suriah yang total nilainya 13 miliar dollar AS. Sama dengan Rusia, Republik Ceko dan Slovakia juga berkenan memotong hutang Suriah yang semula 1,6 miliar dollar AS menjadi 150 juta dollar AS...>> ..Tata kelola sumber daya alam utama Suriah, yakni minyak bumi, juga memberikan kontribusi positif bagi pereknomian Suriah. Peran sentral negara pada sektor hulu industri minyak bumi yang per harinya bisa memproduksi 400.000 barrel membuat dengki negara-negara lain yang belum memperoleh ‘kue’ dalam kuantitas signifikan dari pendapatan minyak Suriah. Negara-negara yang dengki itu tiada lain ialah AS beserta sekutu-sekutu Eropanya....>> ...Sistem ekonomi ‘campuran’ ini membawa Suriah pada pertumbuhan ekonomi yang meningkat secara gradual. Selama tahun 2006, pertumbuhan ekonomi Suriah mencapai 5 persen dan meningkat di tahun 2007 menjadi 5,2 persen dengan pendapatan per kapita 1.570 dollar AS (sekitar Rp 14,4 juta) pertahun. Inflasi di negara bekas koloni Inggris dan Perancis itu hanya 11 persen dengan angka pengangguran 9 persen. Sekali lagi, hal ini bisa dicapai oleh pemerintahan Bashar Assad tanpa bergantung pada modal asing...>> ...Menariknya, dalam sistem ekonomi Suriah yang terbuka pada masa kini, pemerintahan Bashar Assad tetap memberikan prioritas kepada investor swasta domestik dibandingkan dengan modal asing. Pada tahun 2005, nilai investasi di Suriah mencapai 7 miliar dollar AS. Dari total nilai investasi tersebut, 70 persennya berasal dari investor lokal. Sedangkan 24 persen berasal dari negara-negara Arab dan hanya 6 persen yang berasal dari negara non-Arab seperti Rusia, China dan Eropa. Hal ini menunjukkan bahwa Suriah dibawah kepemimpinan Bashar Assad tidaklah memiliki ketergantungan ekonomi pada asing, meskipun telah mengubah haluannya dari sentralistik menjadi perekonomian terbuka...>>

MENGAPA SAUDI TOLAK KURSI DK PBB?

 http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/10/mengapa-saudi-tolak-kursi-dk-pbb.html#more

Sayyed Hasan Nasrallah, pemimpin Hizbollah beberapa waktu lalu mengatakan bahwa Saudi dan Turki telah menjadi pecundang dalam konflik Syria.

Tampaknya hanya sebuah kata-kata. Namun bagi Menlu Saudi Saud al-Faisal itu adalah sangat menyakitkan. Ia bahkan harus dirangkul para pengawalnya agar tidak terjatuh di sela-sela kegiatan Sidang Umum PBB bulan lalu. Dalam sidang itu ia melihat diri dan negaranya telah ditinggalkan Amerika yang justru mendekat ke Iran, musuh besar Saudi. Dan kabar percakapan telepon Barak Obama dengan presiden Iran Hassan Rouhani semakin membuatnya lemas.

Dan untuk pertama kalinya Saudi kini merasa sendirian setelah gagalnya proyek Syria yang bertujuan menjungkalkan sekutu Iran, Presiden Bashar al Assad. Kini hubungan Saudi dengan Turki dan Qatar terasa hambar setelah mereka terlibat persaingan untuk menjadi pemimpin kelompok-kelompok pemberontak Syria. Saudi juga telah terlanjur meninggalkan sekutu dekatnya di Lebanon, mantan perdana menteri Saad Hariri Cs setelah yang bersangkutan dianggap gagal memainkan peran signifikan untuk membantu proyek Syria. Satu-satunya sekutu yang dimiliki Saudi adalah regim militer Mesir yang tidak populer dan menempatkan Saudi berada pada posisi berlawanan dengan kelompok Islam Ikhwanul Muslimin yang berpengaruh di Turki dan beberapa negara Arab.

Dan kegundahan serta keputus-asaan akibat kegagalan konflik Syria membuat Saudi kembali harus mengambil keputusan fatal lainnya, yaitu menolak menjadi anggota Dewan Keamanan PBB. Keputusan itu pun semakin membuat Saudi terpinggirkan dari percaturan politik internasional.

"Saudi semestinya menyadari hal ini. Namun sepertinya mereka tidak juga mengerti, apalagi menganalisa dan mengatasi masalahnya. Bagaimana pun mereka kini mengetahui bahwa mereka telah kalah dalam permainan, terpinggirkan, dan lebih jauh bertindak tidak rasional," demikian tulis Nizar Abboud di media Lebanon "AL AKHBAR" tgl 19 OKtober lalu tentang kondisi Saudi Arabia saat ini khususnya paska penolakan Saudi atas kursi DK PBB tgl 18 Oktober lalu. Padahal selama ini Saudi dikenal sangat berambisi menjadi "pemain penting" dalam percaturan politik Timur Tengah. Untuk memenuhi ambisinya itu misalnya, Saudi pernah dikabarkan berusaha menyuap PBB untuk menggantikan posisi Lebanon sebagai anggota DK PBB empat tahun lalu.


Alasan Saudi menolak keanggotaan DK PBB tersebut karena Saudi menganggap DK PBB telah gagal menjalankan fungsi-fungsinya terkait konflik Syria dan juga Palestina. Sebenarnya konflik Syria-lah yang memjadi alasannya mengingat masalah Palestina telah jauh lebih dahulu eksis dan selama ini Saudi tidak melakukan apapun untuk menyelesaikannya. Dengan kata lain, Saudi sebenarnya tidak pernah peduli dengan nasib rakyat Palestina dan mengaitkan Palestina sebagai alasan penolakan keanggotaan DK PBB hanya sekedar "lips service" saja untuk menyelamatkan nama baik Saudi di dunia Islam.

Dan mengecam PBB sebagai lembaga yang tidak fair dalam menangani konflik Syria merupakan tuduhan yang sangat kontradiktif dengan peran Saudi sendiri yang telah memperalat organisasi Liga Arab sebagai alat kepentingannya. Alih-alih melindungi salah satu negara pendirinya (Syria) dari serangan kepentingan zionis internasional, di tangan Saudi Arabia Liga Arab justru memecat Syria sebagai anggota dan sekaligus melanggar satu prinsip dasar pendirian Liga Arab sendiri.

Keputus-asaan atas hasil konflik Syria pula-lah yang membuat Saudi melakukan tindakan-tindakan tidak rasional lainnya, yaitu menggencarkan serangan terorisme di Irak. Sampai saat ini telah lebih dari 6.000 orang tewas oleh serangan kelompok-kelompok teroris dukungan Saudi di Irak sepanjang tahun ini. Namun bukannya kemenangan yang diperoleh, aksi-aksi tersebut hanya menimbulkan kebencian dan dendam kesumat orang-orang Irak dan Shiah terhadap Saudi Arabia serta antipati masyarakat dunia yang mencintai perdamaian.

Penolakan Saudi atas keanggotaan DK PBB pun mengundang kecaman Rusia. “The kingdom's arguments arouse bewilderment, and the criticism of the UN Security Council in the context of the Syria conflict is particularly strange,” demikian komentar resmi pemerintah Rusia atas sikap pemerintah Saudi tersebut.


REF:
"Why Did Riyadh Turn Down UN Seat?"; Nizar Abboud; AL AKHBAR; 19 OKtober 2013

Miris, Mengapa Arab Ramai-ramai Memusuhi Suriah?

HL | 12 February 2012 | 03:52 
http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/02/11/miris-mengapa-arab-ramai-ramai-memusuhi-suriah-438416.html
 
13289783791673322366
admin/AP (Demonstrasi para pendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad.)/kompas.com

By. Masykur A.Baddal -

Suriah atau Syiria, adalah sebuah negara terletak di Asia Barat, berbatasan langsung dengan Lebanon dan Laut Tengah di sebelah baratnya, Turki di sebelah utara, Irak di sebelah timur, Yordania di sebelah selatan dan Israel di barat daya. Dalam bahasa Inggris, nama Suriah identik dengan Levant, yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai negeri Syam. Negeri ini, menjadi rebutan kekuasaan besar dunia sepanjang sejarah ummat manusia. Hal ini disebabkan karena letaknya yang sangat strategis, sebagai pintu gerbang  antara negeri Barat dan Timur.

Jumlah penduduk Suriah berdasarkan sensus tahun 2004 adalah 18.018.116 juta jiwa. Terdiri dari 74% Sunni, Alawi 12%, Kristen 9%, dan Druze 3%. Jika dikombinasikan, maka 90% dari populasi Suriah adalah Muslim. Sedangkan 9% lainnya adalah Kristen, yang mencakup Kristen Arab, Assyria dan Armenia. Mayororitas populasi Suriah adalah etnis Arab (90%), sedangkan minoritas terdiri dari etnis Kurdi, Asiria, Armenia dan Turkmens Circassians.

Negara Suriah modern didirikan usai Perang Dunia Pertama, yaitu  setelah mendapatkan kemerdekaannya dari  Perancis pada tahun 1946. Pasca meraih kemerdekaannya, Suriah kerap diguncang oleh gejolak serta kudeta militer, yang sebagian besar terjadi antara periode 1949-1971. Kemudian antara periode 1958-1961, Suriah bergabung dengan Mesir membentuk perserikatan yang dikenal dengan RPA (Republik Persatuan Arab). Perserikatan itu berakhir karena terjadinya kudeta militer di Suriah. Sejak tahun 1963 hingga 2011, Suriah terus memberlakukan UU Darurat Militer, sehingga dengan demikian sistem pemerintahannya pun dianggap oleh pihak barat tidak demokratis.

Presiden Suriah adalah Bashar al-Assad, yang telah mengambil tampuk pemerintahan dari ayahnya Hafez al Assad dengan penunjukan secara aklamasi. Serta telah berkuasa di negara itu mulai tahun 2000. Sejak era perang dingin, Suriah terkenal dengan kekuatan militernya di kawasan, dan identik dengan julukan Rusia Timur Tengah. Hal itu berkat kedekatan hubungan Suriah dengan Rusia, sehingga kerap mendapat suplai senjata modern dari negara digdaya itu. Alasan ini jualah yang membuat Israel sedikit segan untuk melakukan perang frontal menghadapi Suriah dalam persengketaan Dataran Tinggi Golan. Di samping itu, Suriah menjadi tumpuan beberapa negara kawasan dalam menyelesaikan konflik militer yang sering terjadi di Timur Tengah.

Fakta membuktikan, bahwa sebagian besar negara Arab adalah aliansi abadi blok Barat, yang dinakhodai langsung oleh Amerika Serikat sebagai kekuatan Super Power tunggal dunia. Keberadaan kekuatan militer Suriah di kawasan tentu saja menjadikan mereka jengah, karena dianggap sebagai kekuatan lawan. Tidak jarang, beberapa kasus sebelumnya sudah pernah diangkat untuk merontokkan Suriah terutama presidennya, namun semuanya gagal.

Terpaan Badai Arab Spring 2011 ( Badai Musim Semi Arab 2011), yang telah merontokkan beberapa kekuatan besar di negeri Arab. Ternyata dimanfaatkan dengan sangat baik oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Padahal sebelumnya, presiden Suriah Bashar al Assad dengan sangat optimis telah mengungkapkan, bahwa badai Musim Semi Arab tidak akan menerpa Suriah, karena rakyat Suriah secara umum telah memperoleh hak-hak mereka secara adil, jadi tidak ada alasan bagi rakyat Suriah untuk melakukan revolusi di negara tersebut.

Namun, kesempatan emas itu nampaknya tidak disia-siakan oleh pihak-pihak tertentu. Terbukti dengan merebaknya amunisi perlawanan rakyat yang dimotori oleh kelompok minoritas di negera tersebut. Yang menurut informasi dari pejabat Suriah, mereka pihak yang berkepentingan sengaja mendukung kelompok minoritas untuk melakukan perlawanan demi suksesnya target jahat dalam menghancurkan Suriah dari dalam.

Sehingga kelompok negara-negara Arab yang selama ini bersebrangan dengan Suriah, yang memang telah mendominasi Liga Arab tersebut. Mendorong lembaga tertinggi negara-negara Arab itu untuk membekukan keanggotaan Suriah, serta menyerahkan kasus Suriah kepada Dewan Keamanan PBB untuk segera diselesaikan secara internasional.

Selanjutnya, hal ini pulalah yang membuat Rusia dan Cina sebagai mitra abadi semakin tidak nyaman di kursinya. Karena mereka merasa  termasuk kelompok yang paling dirugikan berkaitan dengan masalah Suriah, jika putusan DK PBB itu disahkan. Yang pada akhirnya berujung pada jatuhnya veto dari kedua negera adidaya tersebut.

Dari pertikaian dua kelompok penguasa dunia ini, yang paling menderita adalah rakyat Suriah sendiri. Mereka adalah pihak pertama yang merasakan langsung imbas dari pertarungan sengit saat ini. Sehingga, seorang ibu harus rela melihat anaknya meregang nyawa tanpa sebab. Seorang isteri harus mampu menahan isak dan dendam karena suami tercinta dieksekusi tanpa kesalahan yang dibuat. Bahkan, ribuan anak-anak yang tidak berdosa tiba-tiba menjadi yatim piatu. Sebenarnya inilah yang menjadi tanggungjawab kita saat ini. Yaitu menyelamatkan nyawa anak manusia yang tidak berdosa, dan menyelamatkan rakyat Suriah dari keserakahan dua kekuatan dunia.
Salam.
ref: (CIA Watch Book, Arab History, Wiki)

Koalisi Arab Saudi, Qatar, AS dan Israel Gulingkan Bashar Assad

Arab Saudi dan Qatar yang getol memusuhi pemerintahan Bashar Assad di Suriah dengan mendukung penuh kelompok bersenjata sejatinya menjadi pelaksana kebijakan Amerika Serikat dan Rezim Zionis Israel untuk mengobrak-abrik stabilitas kawasan Timur Tengah. Seiring dengan merebaknya gelombang kebangkitan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara yang berujung pada lengsernya sejumlah diktator Arab seperti Hosni Mubarak di Mesir, Zein el Abidine ben Ali di Tunisia dan Muammar Gaddafi di Libya, Amerika dan negara Barat berusaha menggulingkan pemerintahan Bashar Assad demi menyelamatkan Israel dari keterkucilan dan mencegah bertambah kuatnya poros muqawama di kawasan.

Untuk merealisasikan ambisinya ini, AS memanfaatkan Arab Saudi dan Qatar, tentunya dengan imbalan seperti sikap bungkam Washington terhadap kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di kedua negara ini. Gedung Putih meminta Riyadh dan Doha mendukung kubu anti Assad serta mengobarkan krisis di Suriah. Arab Saudi dan Qatar dalam hal ini berusaha mengulang kesuksesan mereka di Yaman. Seperti diketahui P-GCC yang dimotori Arab Saudi mengusulkan penggantian Ali Abdullah Saleh, presiden Yaman dengan wakilnya, Abd Rabbu Mansour Hadi dan kini strategi ini akan diterapkan juga di Suriah. Selanjutnya mereka akan menentukan pemerintahan sesuai dengan selera dan kepentingan mereka.

Kini setelah upaya mereka gagal di Suriah, Arab Saudi dan Qatar berusaha menjadikan kasus Damaskus sebagai kasus internasional dan terus menekan Bashar Assad. Kedua negara ini dengan dalih melindungi warga sipil Suriah menuding Damaskus melakukan pelanggaran HAM. Tak cukup sampai di sini, Riyadh dan Doha membawa klaimnya tersebut ke Majelis Umum PBB. Sementara itu, upaya keras kedua negara Arab ini membawa tudingan mereka soal pelanggaran HAM Suriah ke Majelis Umum PBB tidak dibarengi dengan kondisi memuaskan di Arab Saudi dan Qatar sendiri. Kondisi HAM di Riyadh dan Doha sendiri saat ini cukup memprihatinkan.

Arab Saudi saat ini tercatat sebagai rezim yang paling tidak demokratis dan kejam di dunia. Wanita di negara ini tidak mendapat hak-hak sebagaimana mestinya. Mereka dilarang mengendarai kendaraan dan tidak diperkenankan berpartisipasi di pentas politik, termasuk tidak memiliki hak suara. Qatar sendiri tak berbeda jauh dengan Arab Saudi, pemerintahan Doha juga berbentuk kerajaan dan tidak terlihat demokrasi di negara ini.

Navi Pillay, Komisaris Tingggi Dewan HAM PBB menuding Suriah melanggar Hak Asasi Manusia di saat rezim al-Saud di Arab Saudi memenjarakan lebih dari 30 ribu warganya yang tak berdosa dan tanpa dakwaan yang jelas. Selain itu, Riyadh juga gencar menumpas aksi demo damai rakyatnya. Navi Pillay menyebut upaya pemerintah Damaskus melindungi warganya dari serangan kelompok bersenjata yang didukung Arab Saudi, Qatar, Israel, AS dan Turki sebagai pelanggaran HAM. Di sisi lain, Pillay tidak melihat aksi pengiriman tentara Arab Saudi ke Bahrain dan pembantaian warga Manama sebagai pelanggaran HAM.

Sementara itu, pemerintahan Bashar Assad berbeda dengan Arab Saudi dan Bahrain. Assad mendapat dukungan penuh dari rakyatnya. Hal ini terlihat dari aksi demo warga mendukung pemimpin mereka yang digelar hampir tiap hari. Poin penting di sini adalah baik Arab Saudi, Qatar, AS dan Israel sama-sama memiliki satu tujuan yaitu melemahkan poros muqawama serta mencegah keterkucilan Tel Aviv dengan menggulingkan pemerintahan Bashar Assad.

Why Did Riyadh Turn Down UN Seat?

An aerial view shows the clock tower and the nearby district of Jabal Omar (foreground) which is the location of the poorer district of the holy city of Mecca, on October 16, 2013. (Photo: AFP - Fayez Noureldine)
Published Saturday, October 19, 2013
http://english.al-akhbar.com/node/17357 

On Friday, October 18, Saudi Arabia refused a non-permanent seat on the UN Security Council, citing political reasons. This, mind you, is the same kingdom that spared no effort 15 years ago to obtain the seat. There were even rumors four years ago that Saudi sought to “purchase” Lebanon’s Security Council seat at the time.

The stated reason for the snub, as per a statement carried by the Saudi Press Agency, is the failure of the Security Council to carry out its duties, for example, in reaching a just solution to the Palestinian cause and putting an end to the Syrian regime's killing of its people.
But this was just the tip of the iceberg. The conflicting Saudi positions reflect deep internal divisions in the kingdom and confusion among decision-making centers in Riyadh. Riyadh’s policies have become so erratic that Western officials, including Jeffrey Feltman, have been slamming what they call the “demented” kingdom.
But what Riyadh declined to say about the real reason for its rebuke of Security Council membership, France volunteered through its UN envoy Gerard Araud. On Friday, shortly before entering the Security Council hall, he said that France understood the frustration of Saudi Arabia regarding the fact that the Security Council has been unable to act for more than two years. Araud added that the Security Council has not been allowed to function because of repeated use of the veto power by two specific permanent Security Council members, adding that Saudi’s frustration reflects that of a large part of the international community.
But in truth, perhaps for the first time in more than 10 years, there is harmony at the Security Council, both among its members, and between them and the UN secretary general. For instance, Resolution 2118 was passed unanimously, calling for the destruction of Syria’s chemical weapons.
It is not the Saudis alone who feel their political role has been diminished as a result of the Syrian conflict. The French, who thought for a moment that Saudi Arabia would back them up at the council, just as Saudi had backed France economically for decades, now feel the same way.

Too Many Cooks
No one is quite sure anymore who calls the shots in Riyadh. And what is also odd about the Saudi stunt is that Riyadh knew well the dominant dynamic of the Security Council long before the UN General Assembly session on Thursday, where Saudi received 167 votes for its membership, and was chosen to serve as one of the 10 non-permanent Security Council members for a period of two years.
In fact, it has been the norm that this seat would go to an Arab nation, chosen on a rotational basis from Asia and North Africa. So, what prompted Saudi’s rejection?
To understand, one perhaps has to go back to events that occurred over the past several weeks. First, the 68th session of UN General Assembly in late September coincided with a Russian-American accord over the future of Syria and possibly on other matters as well.
True, what happened afterward did not go much beyond formalities. US President Barack Obama had a much hyped phone conversation with Iranian President Hassan Rouhani. Still, these formalities had a lot of significance. Washington now realizes that its proxies in the Middle East no longer have the ability to settle conflicts in their – and its – favor. Clearly, Saudi Arabia can use its assets to send car bombs, stage terror attacks of various kinds, and recruit, fund, and deploy fighters to Iraq and Syria, but it cannot win any wars.
The Saudis should be aware of this, but perhaps they have not yet been able to take all these variables in, let alone analyze and assimilate them. Nevertheless, they must have no doubt felt that they are now out of the game – moving from the core to the periphery, and further toward irrelevance.

The Threat From the North
A month after the September 11 attacks, Saudi Arabia identified the threats facing the kingdom in a study presented by Prince Nayef bin Ahmed al-Saud, a colonel in the Saudi air force. The study, published in the US, claimed that the threats to Saudi came primarily from the north, stating, “Looking to the Persian Gulf in the past decades, it is clear that the source of the threat is two countries, namely, Iran and Iraq.”
Nayef bin Ahmed also wrote that the threat stemmed from the fact that these two countries could rival Saudi’s influence in the region. So naturally, the threat becomes only compounded when Iran, Iraq, Syria, and Hezbollah in Lebanon work together in one unified strategy.
The Saudi military expert did not mention Israel or Palestine at all in his comprehensive study. They do not seem to figure in Saudi’s calculations. The study also stressed the need to strengthen the kingdom’s own military power, as US military bases in Saudi were opposed by an overwhelming majority of Saudis.

US-Saudi Relations
When Saud al-Faisal came to New York last month, he found that the Americans were preoccupied with the Iranian Foreign Minister Mohammed Javad Zarif. The Saudi foreign minister, perhaps for the first time in the history of UN General Assembly meetings, completely avoided the media.
His meetings with Western officials were extremely limited, and he did not make any statements. In fact, he appeared flustered from the moment he first entered UN headquarters, and on one occasion, his bodyguard had to prop him up and stop him from falling. He then left New York without delivering his speech at the General Assembly, and did not even ask the Saudi UN envoy to deliver it on his behalf. The whole spectacle was much more than the awkwardness that comes with old age.

Oil: The Good Old Days Are Gone
Saudi Arabia is facing its gravest crisis, even graver than the aftermath of September 11, when Washington saw Saudi Arabia as the world’s number one source of terrorism. Today, the US is much less dependent on Middle East oil than 40 years ago, when Saudi Arabia threatened to use its oil as a political weapon.

Thanks to the shale oil and gas revolution, the US is turning from a net importer to a net exporter of hydrocarbons. There is no longer a need to fight for oil, while the focal point of US interests is pivoting to the Pacific. Meanwhile, everyone wants to sell their oil.

Faisal must have felt that the US-Saudi alliance was in danger, realizing that the master does not usually consult with its proxy about its fate at the end of the journey. True, Israeli papers spoke about important meetings held by Gulf powers in New York, but neither Israel nor Saudi could conceivably succeed where the US had failed.

Political Dementia
There are now efforts underway at the UN to find a replacement for Saudi at the Security Council. Some said that the United Arab Emirates would be the closest to Saudi in alphabetical order among the Arab countries in Asia. After a country is selected, there will have to be another voting session.
In the meantime, almost everyone was shocked by the Saudi move, which seems to have exposed the kingdom’s “political dementia,” annoying its friends before its foes.

On Friday, UN Secretary General Ban Ki-moon announced that Saudi Arabia had not yet officially notified the UN of its rejection of the Security Council seat. Speaking to reporters in New York, he said that replacing Saudi Arabia at the council was up to the member states.

Meanwhile, Russia blasted the Saudi move. In a statement on Friday, the Russian Foreign Ministry said, “The kingdom's arguments arouse bewilderment, and the criticism of the UN Security Council in the context of the Syria conflict is particularly strange.”
This article is an edited translation from the Arabic Edition.

Comments

Are you sure that Saud Al-Faisal had not overdosed on Viagra, so there was insufficient blood going to his brain to be able to deliver a speech?
A major temper tantrum by the KSA. This follows the smaller tantrum in the KSA failure to address the full UN Assembly ... they have always addressed the Assembly ...
The KSA feels betrayed by all sides. They have been set aside on the Iran, Syria and Egyptian issues.
No sooner than the KSA pledged billions to the Egyptian military the military sided with Assad in Syria.
The US declared "regime change" in Iran off the table and is now proceeding to bring Iran "into the fold".
The US has declared an about face on Syria thanks to a gaffe engineered by Russia into a face saving disarming process.
Bandar couldn't buy Russia with an arms deal or promises about Sochi security and the Israelis shunned Bandar's initiative in Tel Aviv.
My suspicion is that Erdogan, tired of Brotherhood mistreatment and the threat of Islamist control will be shutting down Turkey borders for the terrorists.
Wikileaks of US State Department Hillary Clinton emails started their demise. What countries could keep secret about KSA terrorism is now public.
The question is now: What do the Saudis do about their operations in Syria and the rest of their operations throughout MENA and beyond?
And what is to become of Bandar bin Sultan? It seems his initiatives have left nothing but embarrassing and dangerous "loose ends".
Well put. Even the Saudis cannot get it right on these issues. They must have felt particularly snubbed by the Egyptian generals turning to Assad of all people. Who could have predicted that??
Anyhow, as upset as they are with the US, they cannot possibly turn their backs on Uncle Sam. They need US political and military muscle more than ever. With Turkish tempers flaring about al-Qaeda and a lack of victories in Syria, I think the Saudis will have to find new friends. I am thinking Israel, perhaps Greece (counter to Turkey), a renewed courtship of Egypt and maybe a big push to influence Jordan and/or Pakistan (more than they have now).
They still have a lot of money and a burning desire to influence the world. Realpolitik means that when you are snubbed, you find new friends.

Saudi talk of double standard is pure arrogance, and jealousness to the core, they want to see Iran nemesis Saddam brought back from the dead again to gas Kurds and the Iranians, they want Usama back to bomb the Americans and black Africans, they want to sow rebellion in Syria, they want to enslave the Egyptians through their proxy Generals, and then all that in the name of Allah, then only they will accept the UN seat.
These Saudis don't want the spotlight on their own human rights violations.

John Kerry reveals Arab countries have offered to PAY America to carry out full-scale invasion of Syria

By David Martosko
|

Secretary of State John Kerry said during a hearing Wednesday in the House of Representatives that counties in the Arab world have offered to foot the entire bill for a U.S. military mission that destroys the Bashar al-Assad regime in Syria.
'With respect to Arab countries offering to bear costs and to assist, the answer is profoundly yes,' Kerry said. 'They have. That offer is on the table.'
Kerry, with a cadre of anti-war activists sitting behind him and holding red-painted hands aloft in protest, declined to name the countries that have proposed opening their purses.
SCROLL DOWN FOR VIDEO

U.S. Secretary of State John Kerry, an anti-war protester himself 40 years ago, is cast in the role of war consigliere to the president

U.S. Secretary of State John Kerry, an anti-war protester himself 40 years ago, is cast in the role of war consigliere to the president. He said Wednesday that Arab countries had offered to pay America's expenses for a military operation if it ousts Bashar al-Assad from Syria


The guided-missile destroyer USS Barry, foreground, is one of four US Navy destroyers to be deployed in the Mediterranean Sea on Sept. 3, all of which are combat ready against Syria if the order for a strike is given

The guided-missile destroyer USS Barry, foreground, is one of four US Navy destroyers to be deployed in the Mediterranean Sea on Sept. 3, all of which are combat ready against Syria if the order for a strike is given

Syrian women who live in Lebanon -- another of Syria's neighbors -- light candles during a vigil against chemical weapons attacks near Damascus, in front the United Nations headquarters in Beirut
Syrian women who live in Lebanon -- another of Syria's neighbors -- light candles during a vigil against chemical weapons attacks near Damascus, in front the United Nations headquarters in Beirut

Florida Republican Rep. Ileana Ros-Lehtinen had asked Kerry to comment on the expenses related to carrying out attacks on Syria if Congress were to authorize them.
Following through on a use-of-force resolution, she said, 'could potentially cost ... billions.'
But Kerry said other nations that see Assad as a destabilizing force in the region have proposed to cover the costs.
As for 'the details of the offer, and the proposal on the table,' Ros-Lehtinen asked Kerry, 'what are the figures we are talking about?
'We don’t know what action we [will be] engaged in right now,' Kerry replied, 'but they have been quite significant. I mean, very significant.'
'In fact, some of them have said that if the U.S. is prepared to go do the whole thing, the way we’ve done it previously in other places, they’ll carry that cost. That’s how dedicated they are to this.'
Turkish soldiers already regularly patrol a long border with Syria, making that nation one of several with an interest in seeing Assad depart the region

Turkish soldiers already regularly patrol a long border with Syria, making that nation one of several with an interest in seeing Assad depart the region

Assad met Sept. 1 with Alaeddin Boroujerdi (L), who chairs the Iranian Shura Council's Committee for Foreign Policy and National Security. Iran had sent senior lawmakers to Damascus as a sign of solidarity

Not helping: Assad met Sept. 1 with Alaeddin Boroujerdi (L), who chairs the Iranian Shura Council's Committee for Foreign Policy and National Security. Iran had sent senior lawmakers to Damascus as a sign of solidarity

U.S. Rep. Ileana Ros-Lehtinen was a dogged questioner, demanding to know how much a military action in Syria would cost. It was her line of questioning that led Kerry to disclose that other nations had offered to cover the bills

U.S. Rep. Ileana Ros-Lehtinen was a dogged questioner, demanding to know how much a military action in Syria would cost. It was her line of questioning that led Kerry to disclose that other nations had offered to cover the bills


Kerry quickly clarified that the Pentagon was not planning to shake a tin cup in the Middle East in the hope of collecting donations.
'Obviously, that is not in the cards and nobody is talking about it,' he said. 'But they are talking about taking seriously getting this job done.'

Kerry also closed the loop on an embarrassing episode from his Senate testimony on Tuesday, when he said he wouldn't rule out the use of ground troops if hostilities in Syria were to escalate.

'There will be no boots on the ground,' he said Wednesday. 

'The president has said that again and again. And there is nothing in this authorization that should contemplate it. And, we reiterate, no boots on the ground.'

MailOnline asked three different defense and national security analysts to estimate the cost of a 90-day military action in Syria, to include – at minimum – small arms for anti-Assad resistance groups, missiles and armed drones launched from the Mediterranean Sea, and military flights over Syria, launched from Turkey, after weapons launch sites and anti-aircraft positions are destroyed.

While cautioning that their estimates must not be attributed to them by name, and with a caveat expressed by one analyst that 'this is all educated guesswork,' the estimates ranged from $5 to $21 billion.

'You'd think rocket and jet fuel would be cheaper in that part of the world,' said one, 'but no such luck. This won't be a cheap mission.'

Sheikh Hamad ibn Isa Al Khalifa of BahrainPrime Minister Recep Tayyip Erdo¿an of TurkeyLebanese President Michel Suleiman

Kerry isn't saying which Arab world leader or leaders offered to pay for a U.S.-led invasion of Syria, but candidates include Sheikh Hamad ibn Isa Al Khalifa of Bahrain (L), Prime Minister Recep Tayyip Erdoğan of Turkey (C), and President Michel Suleiman of Lebanon. Those withe the most money to spend include King Abdullah of Saudi Arabia and Emir Sabah IV Al-Ahmad Al-Jaber Al-Sabah of Kuwait (not pictured)

Read more: http://www.dailymail.co.uk/news/article-2411806/Offer-table-Arab-countries-pay-scale-U-S-invasion-Syria-says-Secretary-State-John-Kerry.html#ixzz2iVilk344
Follow us: @MailOnline on Twitter | DailyMail on Facebook


Konflik Suriah Dan Skenario Imperialis Barat

Sabtu, 13 Juli 2013 | 20:37 WIB   ·   2 Komentar
http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20130713/konflik-suriah-dan-intervensi-imperialis-barat.html
 
Syria

Telah lebih dari dua tahun Suriah diguncang oleh pergolakan  politik. Pergolakan yang kini bahkan menjurus pada perang saudara, ketika Pemerintahan Suriah pimpinan  Bashar al-Assad  bertempur melawan pasukan oposisi.  Bagi sebagian kalangan, pergolakan ini adalah sebuah ‘revolusi rakyat’ yang berupaya mengggulingkan ‘rezim tiran’ Bashar Assad, sama seperti gelombang revolusi  ‘Arab Spring’ lainnya yang berhasil menumbangkan kediktatoran di Tunisia, Mesir dan Libya.

Untuk  menelaah lebih jauh apa yang tersirat di balik konflik  Suriah, kita perlu menganalisis berbagai hal secara lebih komprehensif. Ada dua hal yang perlu kita perhatikan  secara seksama, yakni latar belakang historis dan  ‘nilai strategis’ Suriah secara geo-politik dan geo-ekonomi.

Resistensi Rezim Baath

Sejak kudeta yang dilakukan oleh sekelompok perwira militer pimpinan Abdul Karim Nahlawy di tahun 1961, pemerintahan Suriah berada dibawah kendali Partai Baath ((Hizb Al-Ba’ats Al-Isytiraki) hingga kini. Partai Baath sendiri merupakan partai yang mengusung ideologi Baath’isme, yang berintikan nilai-nilai Nasionalisme dan Sosialisme Arab, atau bisa dikatakan pula ideologi sosialisme ‘khas’ Arab.  Ideologi ini diintrodusir oleh seorang intelektual Suriah beragama Kristen, Michel Aflaq, pada saat kolonialisme Eropa masih mencengkram Timur Tengah pasca keruntuhan Daulah Turki Ustmani tahun 1924. Selain Suriah, rezim-rezim di dunia Arab yang pernah menggunakan ideologi ini sebagai dasar negara  adalah pemerintahan Gamal Abdul Nasser di Mesir (1952-1970), rezim Muamar Khadafi di Libya (1969-2011) serta rezim Saddam Husein yang berkuasa di Irak hingga tahun 2003.

Berkuasanya Partai Baath di Suriah ini juga menuai dukungan dari kalangan komunis yang tergabung dalam Partai Komunis Suriah. Namun, pada tahun 1972, sebagian kecil kader dari partai tersebut yang dipimpin Riyad Turk melancarkan kampanye untuk menentang aliansi partai komunis dengan  rezim  Baath. Meski begitu, mainstream Partai Komunis Suriah tetap mendukung pemerintahan Partai Baath sampai sekarang.

Setelah rezim Baath berkuasa di Suriah, konflik politik  di internal pemerintahan tidak berhenti. Konflik itu berujung pada terjadinya kembali kudeta militer pada 1970, ketika  Menteri Pertahanan Suriah saat itu , Hafez al-Assad,  naik ke tampuk kekuasaan sebagai Perdana Menteri. Di tahun berikutnya, perwira Angkatan Udara Suriah  ini diangkat menjadi Presiden Suriah.

Dibawah kepemimpinan Hafez al-Assad, Suriah menunjukkan resistensi yang kuat terhadap hegemoni imperialisme Barat dan  ‘mitranya’ di Timur Tengah, Israel.  Sepeninggal Gamal Abdul Nasser di tahun 1970, dunia Arab memang kehilangan sosok tangguh yang berani melawan Barat dan Israel. Namun, berkuasanya Hafez Assad dan Muamar Khadafi di Libya pada saat yang hampir bersamaan seakan menghidupkan kembali ‘roh’ Nasser di Timur Tengah.

Hafez Assad memang secara tegas mendukung penuh perjuangan bangsa Palestina dalam melawan penjajahan Zionis Israel. Bentuk dukungan itu ditunjukkannya melalui partisipasi Suriah dalam Perang Yom Kippur melawan Israel di tahun 1973. Sebenarnya, sebelum Assad berkuasa pun, rezim Baath Suriah telah menunjukkan resistensinya terhadap Israel dalam Perang Enam Hari tahun 1967, yang membuat Suriah harus kehilangan sebagian wilayahnya di Dataran Tinggi Golan lantaran diduduki Israel hingga sekarang.

Perlawanan Assad terhadap Israel juga  diperlihatkan tatkala perang saudara bernuansa sektarian meletus di Lebanon pada tahun 1975-1989.  Saat itu, awalnya Suriah mengirim pasukan  militer ke Lebanon guna melindungi kelompok Druze dan Syiah. Namun setelah masuknya tentara Israel ke Lebanon  di tahun 1982 dengan alasan melindungi kelompok Kristen (meski alasan sebenarnya adalah memburu kelompok perlawanan Palestina di Lebanon), pasukan Suriah pun turut melawan  kehadiran militer Israel di Lebanon.
Keberpihakan Suriah terhadap gerakan perlawanan Palestina juga ditunjukkan dengan dibukanya kantor perwakilan Hamas dan PLO di Damaskus. Suriah juga mendukung  gerilyawan Hizbullah di Lebanon secara finansial maupun politik. Disamping itu, faksi perlawanan Palestina FPLP pimpinan George Habash juga didukung penuh oleh Suriah.

Sementara itu, perlawanan Assad terhadap Barat ia tunjukkan dengan mendukung Revolusi Islam di Iran tahun 1979. Revolusi yang berujung pada berkuasanya kaum Mullah Syiah pimpinan Ayatullah Rohullah Khomeini itu memang merubah secara drastis haluan politik luar negeri Iran yang tadinya bersahabat erat dengan Amerika Serikat (AS) menjadi  negara yang sangat anti AS dan Israel.

Suriah juga berpihak kepada Iran dalam Perang Iran-Irak  tahun 1980-1988, ketika AS menunjukkan dukungannya pada Irak demi menhambat revolusi Islam Iran. Hal ini menjadikan Suriah dan Iran sebagai sekutu dekat hingga kini, apalagi ditambah dengan fakta bahwa mayoritas anggota Partai Baath Suriah berasal dari kalangan Alawit, suatu aliran dalam ajaran Syiah. Inilah pula yang menjadi penyebab ketidakharmonisan pemerintahan Assad dengan rezim Saddam Husein di Irak. Kebijakan represif Saddam terhadap kaum Syiah Irak membuat tidak senang pemerintah Suriah, meskipun keduanya berbasiskan ideologi yang sama, Baath’isme.

Politik perlawanannya terhadap AS dan Israel pun membuat rezim Assad tidak disukai pihak Barat. Namun, rezim Assad justru memiliki hubungan ‘mesra’ dengan Uni Sovyet, apalagi dalam politik domestiknya kaum komunis Suriah juga mendukung rezim Assad. Dalam sejarahnya pun, Uni Sovyet memang berpihak pada Negara-negara Arab ketika mereka berperang melawan Israel, seperti  pada Perang Enam Hari dan Krisis Terusan Suez tahun 1956.

Dukungan Uni Sovyet terhadap Suriah ditunjukkan melalui suplai persenjataan bagi militer Suriah serta bantuan finansial berupa hutang luar negeri. ‘Kemesraan’ ini berlanjut pasca runtuhnya Uni Sovyet, dimana Rusia yang menjadi ‘pewaris’ kejayaan Sovyet tetap menjadi sekutu Suriah hingga kini. Hal itu tampak ketika di tahun 2005 Rusia menghapus 75 persen dari total utang Suriah sebesar 13 miliar dollar AS.

Meskipun mengambil sikap resisten terhadap Israel dan Barat, dalam ranah politik domestik,  rezim Assad justru  ditentang oleh kelompok-kelompok Islam Fundamentalis seperti Ikhwanul Muslimin (IM) yang juga mengklaim diri anti Israel dan  anti Barat. Hal ini dikarenakan perbedaan ideologis yang mendasar antara rezim Baath yang berhaluan sosialis dengan kelompok-kelompok Islamis. Selain itu,  alasan ekonomi dan politik yang ‘dibumbui’ sentimen sektarian juga turut ‘mengipasi’ konflik ini, ketika kelompok Islam oposisi seperti IM menganggap pemerintahan Baath yang didominasi Syiah Alawit terlalu dominan terhadap sektor pereknomian negeri itu. Tercatat beberapa persitiwa yang merefleksikan konflik ini, seperti peristiwa Hama tahun 1982.

Wafatnya Hafez al-Assad pada tahun 2000 diikuti dengan naiknya Bashar al-Assad, yang tak lain merupakan  putra Hafez Assad, ke tampuk kekuasaan eksekutif di Suriah. Di bawah Bashar,  perekonomian Suriah mengalami sedikit perubahan dengan mengadopsi sebagian sistem ekonomi pasar. Sementara pada masa pemerintahan Hafez Assad, Suriah menganut perekonomian etatis-sentralistis.

Meski begitu rezim Assad junior tetap tidak menyerahkan sepenuhnya kendali ekonomi Suriah kepada mekanisme pasar. Bisa dikatakan, perekonomian Suriah pada masa Assad serupa dengan sistem ekonomi yang diterapkan di China pasca modernisasi ala Deng Xiao Ping. Hal ini juga dibarengi dengan meningkatnya hubungan Suriah dengan China, ketika Suriah bersama dengan Iran dan Sudan berperan sebagai salah satu pemasok minyak mentah utama bagi China dari Timur Tengah. Suriah juga menjadi salah satu pasar utama produk China di Timur Tengah.

Menariknya, dalam sistem ekonomi Suriah yang terbuka pada masa kini, pemerintahan Bashar Assad tetap memberikan prioritas kepada investor swasta domestik dibandingkan dengan modal asing. Pada tahun 2005, nilai investasi di Suriah  mencapai 7 miliar dollar AS. Dari total nilai investasi tersebut, 70 persennya berasal dari investor lokal. Sedangkan 24 persen berasal dari negara-negara Arab dan hanya 6 persen yang berasal dari negara non-Arab seperti Rusia, China dan Eropa.  Hal ini menunjukkan bahwa Suriah dibawah kepemimpinan Bashar Assad tidaklah memiliki ketergantungan ekonomi pada asing, meskipun telah mengubah haluannya dari sentralistik menjadi perekonomian terbuka.

Sistem ekonomi ‘campuran’ ini membawa Suriah pada pertumbuhan ekonomi yang meningkat secara gradual. Selama tahun 2006, pertumbuhan ekonomi Suriah mencapai 5 persen dan meningkat di tahun 2007  menjadi 5,2 persen dengan pendapatan per kapita 1.570 dollar AS (sekitar Rp 14,4 juta) pertahun. Inflasi di negara bekas koloni Inggris dan Perancis itu  hanya 11 persen dengan angka pengangguran 9 persen. Sekali lagi, hal ini bisa dicapai oleh pemerintahan Bashar Assad tanpa bergantung pada modal asing.

Tata kelola sumber daya alam utama Suriah, yakni minyak bumi, juga memberikan kontribusi positif bagi pereknomian Suriah.  Peran sentral negara pada sektor hulu industri minyak bumi  yang per harinya bisa memproduksi 400.000 barrel membuat dengki negara-negara lain yang belum memperoleh ‘kue’ dalam kuantitas signifikan dari pendapatan minyak Suriah. Negara-negara yang dengki itu tiada lain ialah AS beserta sekutu-sekutu Eropanya.

Rezim Bashar Assad juga mencatat prestasi lainnya, yakni penghapusan dan pemotongan hutang luar negeri Suriah pada negara-negara Eropa Timur yang muncul sejak era awal berkuasanya partai Baath melalui program penjadwalan kembali pembayaran hutang Suriah yang dimulai pada tahun 2004. Dalam program itu, Polandia menyetujui pembayaran hutang Suriah  sebesar 2,7 juta dollar AS dari total 261,7 juta dollar AS. Lalu, Rusia bahkan telah membebaskan 75 persen hutang Suriah yang total nilainya 13 miliar dollar AS. Sama dengan Rusia, Republik Ceko dan Slovakia juga berkenan memotong hutang Suriah yang semula 1,6 miliar dollar AS menjadi 150 juta dollar AS.

Pertumbuhan ekonomi Suriah tanpa menyertakan modal Barat, khususnya AS, dalam jumlah signifikan itu mengundang respon pihak Barat. Dengan ‘bungkus’ tuduhan AS atas keterlibatan Suriah dalam pembunuhan mantan PM Lebanon Hariri di awal 2005,  sanksi embargo terhadap Suriah pun dijatuhkan AS melalui Syria Account-ability Act. Pemerintah Suriah pun merespon kebijakan AS itu dengan  mengubah seluruh transaksi dalam dan luar negeri Suriah dari mata uang dollar AS menjadi Euro pada awal tahun 2006. Hal ini memicu kebencian yang lebih mendalam dari AS terhadap Suriah. Ditambah lagi dengan dukungan yang tiada henti dari Suriah kepada kelompok Hizbullah saat Israel mengagresi Lebanon guna menghancurkan gerilyawan Syiah tersebut pada pertengahan 2006.

Skenario Imperialis
Disisi lain, kondisi geografis Suriah yang strategis bagi Israel selaku kawan setia AS di Timur Tengah juga menjadi penyebab lainnya dari diincarnya Suriah oleh imperialis Israel dan Barat. Untuk diketahui, Israel adalah negara yang kekurangan suplai air. Israel pernah menghadapi musim kering dahsyat di tahun 1990-1991. Bencana kekeringan berulang kembali pada tahun 1998. Hal ini membuat Israel  bekerjasama dengan Turki, negara Timur Tengah yang kaya air di tahun 2000.  Melalui kerja sama itu, Israel  mengimpor 50 milyar m3  air tawar dari Turki menggunakan kapal tanker.

Hal itu tentu membutuhkan biaya distribusi yang mahal. Maka, dibutuhkan jalur darat atau pipanisasi untuk membuat pengangkutan air tersebut lebih efisien. Namun, jalur darat dari Turki ke Israel harus melalui beberapa negara, salah satunya adalah negara yang anti Israel, yakni Suriah. Maka, Israel harus mengerahkan segala upaya demi menjaga keamanan jalur distribusi air yang sangat dibutuhkannya. Disinyalir, gempuran Israel terhadap Lebanon dan Hizbullah di tahun 2006, juga merupakan bagian dari pengamanan jalur distribusi air itu yang juga akan melintasi teritori Lebanon. Meskipun upaya Israel menghabisi Hizbullah menemui kegagalan. Kini, giliran Suriah yang sedang dikacaukan oleh Israel dan sekutunya melalui de—stabilisasi berkedok “demokratisasi Arab Spring”.

Lalu, apa bukti bahwa pergolakan “Revolusi Suriah” kini merupakan skenario imperialis Barat dan Israel untuk menguasai Suriah melalui penggulingan Bashar Assad?

Fakta sejarah dan posisi geo-politik Suriah yang sudah diuraikan sebelumnya bisa menjawab sebagian pertanyaan itu. Bila belum memuaskan, ada baiknya bila kita menelaah fakta keterkaitan antara pihak Barat-Israel dengan kalangan oposisi Suriah.

Di tahun 2006, jauh sebelum ‘virus’ Arab Spring menular ke Suriah, Time Magazine mengemukakan laporan mengenai keterlibatan AS  dalam proses agitasi dan  pendanaan guna mendukung  kaum oposisi  di Suriah. Menurut laporan itu, AS mendukung berbagai konsolidasi aktivis oposisi Suriah, baik di dalam negeri maupun di Eropa.

Masih menurut laporan itu, bantuan AS terhadap oposisi itu dilakukan melalui instrumen  yayasan yang dipimpin Amar Abdulhamid, seorang anggota organisasi oposisi Suriah, Front Keselamatan Nasional (NSF) yang berbasis di New York.

Sokongan AS terhadap kelompok anti Assad juga tampak ketika di tahun 2009  TV Baradaa yang didanai AS dan berbasis di London mempublikasikan propaganda-propaganda  anti Assad di Suriah. Pemimpin Redaksi stasiun TV itu,  Malik al-Abdeh, adalah pendiri Gerakan Keadilan dan Pembangunan untuk warga Suriah yang merupakan organisasi oposisi Suriah  di pengasingan.

Sementara, pasca gejolak Suriah di 2011, AS telah mengucurkan dana  ‘hibah kemanusiaan’  sebesar US$ 130 juta kepada kalangan sipil Suriah melalui Friends of Syria, yang merupakan organ konsolidasi oposisi Suriah dan pihak Barat. Namun, anehnya,  ‘dana kemanusiaan’ itu  hanya diberikan bagi pihak sipil oposisi yang menurut  AS ‘ditindas’ oleh rezim Assad. Sementara AS tutup mata dengan adanya korban-korban kekejian pihak pemberontak Suriah.  Kini  kalangan Syiah dan Kristen  sedang menjadi sasaran  pembantaian  oleh  gerombolan Front Al-Nushra yang berafiliasi dengan teroris Al-Qaeda karena mereka dianggap pendukung rezim  Bashar Assad. Pemerintahan Assad selama ini memnang dikenal mengayomi kaum minoritas agama di Suriah.

Salah satu bukti kekejaman gerombolan  teroris oposisi itu  adalah pemenggalan  kepala dua warga Kristen Suriah di kota  Homs baru-baru ini.  Luar biasanya lagi, aksi itu mereka  filmkan dan  kemudian diupload ke website berikut ini :

Sementara itu, disamping Rusia, Iran dan China, negara-negara progresif di Amerika Latin seperti Venezuela, Kuba dan Bolivia sudah menegaskan dukungannya bagi pemerintahan Bashar Assad.  Mendiang pemimpin Venezuela Hugo Chavez secara tegas menyatakan dukungan bagi   Assad . “Bagaimana mungkin aku tidak mendukung Assad, sementara ia adalah Presiden Suriah yang sah?” ujar sang commandante.  Begitupun Presiden Bolivia Evo Morales yang  mengatakan AS telah membiayai para teroris untuk menjatuhkan pemerintahan Bashar Assad yang sah.

Sedangkan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), justru secara eksplisit  menghimbau Presiden  Bashar Assad untuk mundur demi ‘tercapainya perdamaian dan demokrasi  di Suriah’.  Sebuah himbauan yang  kembali menegaskan loyalitas SBY pada sang majikan, kaum imperialis Barat.

Begitulah yang terjadi di Suriah kini. Sebuah  skenario imperialis Barat yang juga mengandalkan para gerombolan teroris  fanatik untuk menggulingkan pemerintahan  Bashar Assad. Seperti halnya kampanye negatif pihak Barat terhadap pemerintahan-pemerintahan progresif yang  independen lainnya, ‘serangan’ mereka terhadap Assad juga menggunakan metode  kombinasi asimetris (gerakan massa)  dengan  pemberontakan bersenjata.  Jadi, terlalu absurd bila kita  terhanyut oleh  informasi yang dikabarkan   sebagian  pihak dan media mainstream, bahwasanya konflik Suriah merupakan  “perjuangan rakyat melawan kediktatoran”.

Hiski Darmayana, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)


Senate committee authorizes military action in Syria - but won't hear Rand Paul amendment saying the Constitution forbids Obama from striking without Congress

By David Martosko
http://www.dailymail.co.uk/news/article-2411766/Rand-Paul-offer-Syria-amendment-using-Obama-s-words-saying-unconstitutional-launch-strikes-congressional-backing.html
|
A Senate committee today approved a resolution that authorizes military strikes on Syria meaning that it will be now put to the full chamber.
The resolution, authored by New Jersey Democrat Bob Menendez and Tennessee Republican Bob Corker, passed by a 10-7 vote. Two Democrats voted 'no', a third voted 'present' and five Republicans voted against it, including Rand Paul.

Firebrand Paul had earlier attempted to introduce an amendment declaring President Obama would be violating the U.S. Constitution if he were to attack Syrian targets without clear authorization from Congress.
But Menendez refused to offer the Kentucky GOP Senator's proposal for a vote - which used Obama's own words against him.

Scroll down for video
Senate Foreign Relations Committee member Rand Paul said Senate Democrats would need a filibuster-proof majority of at least 60 'yes' votes
Senate Foreign Relations Committee member Rand Paul said Senate Democrats would need a filibuster-proof majority of at least 60 'yes' votes in order to close debate on a Syrian use-of-force resolution and move it to a vote.


Sabers are rattling across Washington following the sarin gas attack by the Assad regime, but Sen. Paul told reporters that he received 'standing ovations' when he told constituents that he opposed attacking in retaliation
Sabers are rattling across Washington following the sarin gas attack by the Assad regime, but Sen. Paul told reporters that he received 'standing ovations' when he told constituents that he opposed attacking in retaliation

Tabled: Bob Menendez refused to let his fellow senators vote on Rand Paul's amendment about the constitutionality of striking Syria if Congress declines to authorize it
Tabled: Bob Menendez refused to let his fellow senators vote on Rand Paul's amendment about the constitutionality of striking Syria if Congress declines to authorize it

'You shouldn’t get it both ways' as the U.S. commander-in-chief, said Paul. 'You shouldn’t be allowed to say "I'm going to abide by the authority of the Congress when I win, but when I lose I'm not."' 
'This is a great issue in a perfect time to talk about it.'
During his first run for the White House, Obama told the Boston Globe that 'the President does not have power under the Constitution to unilaterally authorize a military attack in a situation that does not involve stopping an actual or imminent threat to the nation.'

That December 20, 2007 statement attracted new attention after Obama made the unusual move Saturday of asking for Congress' approval before he attacked Bashar al-Assad's regime.

PAUL'S WAR POWERS AMENDMENT

Kentucky Sen. Rand Paul could still filibuster the final Senate use-of-force resolution on Syria. But his amendment language, below, won't make it into the final version.

Congress makes the following findings:

(1) Senator Barack Obama stated correctly to the Boston Globe in 2007 that 'the President does not have power under the Constitution to unilaterally authorize a military attack in a situation that does not involve stopping an actual or imminent threat to the nation.'

(2) Article I, Section 8, Clause 11 of the Constitution of the United States provides Congress, not the President, the power to issue a declaration of war.

It is the sense of Congress that if this authorization fails to pass Congress, the President would be in violation of the Constitution if he were to use military force against the Government of Syria.
But as concerns grow on Capitol Hill that a Senate filibuster could stall efforts to pass the resolution – and that the House of Representatives might not hold a vote at all – Obama's nearly seven-year-old words could determine the fate of the Middle East.

In a sign of the increasing tension, the president this morning also reminded lawmakers and the world that he did not need to have the support of lawmakers to attack Syria.

Paul said 'nobody really doubts that there was a chemical attack' against civilians in Syria.

But a military incursion by American bombs and missiles, he warned, could destabilize the region and lead to attacks on Israel.

Meanwhile, during the House hearing, Florida Republican Rep. Ileana Ros-Lehtinen asked Kerry and Defense Secretary Chuck Hagel to comment on what she called 'a rumor' that the House would not hold any votes on the use of force in Syria.
Kerry dismissed the rumor. The office of House Speaker John Boehner has not responded to a request for comment about it.

Harvard Law School professor Jack Goldsmith, who specializes in national security issues, wrote on August 28 that 'neither U.S. persons nor property are at stake, and no plausible self-defense rationale exists' for a unilateral attack launched from the Oval Office.
Goldsmith, a former Bush Administration official, noted that 'U.S. intervention in Syria portends many foreseeably bad consequences, and ... there is so little support in the nation for this intervention.

In December 2007, then-Senator Obama told the Boston Globe that any president who bombs another country without a nod from Congress would be violating the U.S. Constitution, unless America were directly attacked first
In December 2007, then-Senator Obama told the Boston Globe that any president who bombs another country without a nod from Congress would be violating the U.S. Constitution, unless America were directly attacked first

On March 6, 2013, Rand Paul filibustered the nomination of John Brennan to be CIA director, speaking nonstop for nearly 13 hours in order to delay a vote on his confirmation
On March 6, 2013, Rand Paul filibustered the nomination of John Brennan to be CIA director, speaking nonstop for nearly 13 hours in order to delay a vote on his confirmation

'Why not get Congress on board,' he asked, 'not just to legitimate the action, but also to spread political risk? ... Why not follow the example of George H.W. Bush, who sought and received congressional authorization for the 1991 invasion of Iraq, or George W. Bush, who did the same for the 2003 invasion of Iraq?'

That advice was absent in the White House in 2011 when Obama ordered U.S. military aircraft to strike targets in Gaddafi-controlled Libya.
In a letter to Congress, the president said he relied on a United Nations resolution to justify ordering 'a series of strikes against air defense systems and military airfields for the purposes of preparing a no-fly zone.'
'These strikes,' he wrote, in language mirroring what Secretary of State John Kerry told members of Congress this week about the administration's plans for Syria, 'will be limited in their nature, duration, and scope.'
Obama also told Congress he was acting 'pursuant to my constitutional authority to conduct U.S. foreign relations and as commander in chief and chief executive.'

Syria is largely shaping up as a proxy fight with the U.S. on one side and Russia, Iran and the Palestinian Authority on the other. Palestinians in the West Bank city of Ramallah rally nearly every day

Syria is largely shaping up as a proxy fight with the U.S. on one side and Russia, Iran and the Palestinian Authority on the other. Palestinians in the West Bank city of Ramallah rally nearly every day in support of Syrian President Bashar al-Assad and Hezbollah chief Hassan Nasrallah

More than 2 million Syrian refugees have swarmed across the nation's borders into Turkey, Lebanon, Jordan and northern Iraq since Syria's civil war spiraled out of control a year ago
More than 2 million Syrian refugees have swarmed across the nation's borders into Turkey, Lebanon, Jordan and northern Iraq since Syria's civil war spiraled out of control a year ago

American history is long on military conflicts but short on instances of presidents waiting to act until Congress gives its assent. Only the War of 1812, the Mexican-American War, the Spanish-American War, and World Wars I and II were formally 'declared.'

A handful of other military actions, including Bush's Gulf Wars, were approved by Congress after hostilities commenced. But more than 100 other episodes, including those in Nicaragua, Vietnam, South Korea, and Kosovo, involved no say-so on Capitol Hill.

Members of Congress who want to restrain the White House, according to UC Berkeley law professor John Yoo, have a veto power of its own.

'If Congress feels it has been misled in authorizing war, or it disagrees with the president's decisions, all it need do is cut off funds,' Yoo wrote in a Fox news essay, 'either all at once or gradually.'

'It can reduce the size of the military, shrink or eliminate units, or freeze supplies. Using the power of the purse does not even require affirmative congressional action. Congress can just sit on its hands and refuse to pass a law funding the latest presidential adventure, and the war will end quickly.'

Sen. Paul is hoping it doesn't come to that.
'I was in Kentucky for a month,' he said during Tuesday's conference call, 'and I went to 40 cities. I didn't meet one person who was for going into Syria.'
'When I told them I was opposed to it, I got standing ovations.'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar