MENGAPA SAUDI TOLAK KURSI DK PBB?
Sayyed Hasan Nasrallah, pemimpin Hizbollah beberapa waktu lalu
mengatakan bahwa Saudi dan Turki telah menjadi pecundang dalam konflik
Syria.
Tampaknya hanya sebuah kata-kata. Namun bagi Menlu Saudi Saud al-Faisal itu adalah sangat menyakitkan. Ia bahkan harus dirangkul para pengawalnya agar tidak terjatuh di sela-sela kegiatan Sidang Umum PBB bulan lalu. Dalam sidang itu ia melihat diri dan negaranya telah ditinggalkan Amerika yang justru mendekat ke Iran, musuh besar Saudi. Dan kabar percakapan telepon Barak Obama dengan presiden Iran Hassan Rouhani semakin membuatnya lemas.
Dan untuk pertama kalinya Saudi kini merasa sendirian setelah gagalnya proyek Syria yang bertujuan menjungkalkan sekutu Iran, Presiden Bashar al Assad. Kini hubungan Saudi dengan Turki dan Qatar terasa hambar setelah mereka terlibat persaingan untuk menjadi pemimpin kelompok-kelompok pemberontak Syria. Saudi juga telah terlanjur meninggalkan sekutu dekatnya di Lebanon, mantan perdana menteri Saad Hariri Cs setelah yang bersangkutan dianggap gagal memainkan peran signifikan untuk membantu proyek Syria. Satu-satunya sekutu yang dimiliki Saudi adalah regim militer Mesir yang tidak populer dan menempatkan Saudi berada pada posisi berlawanan dengan kelompok Islam Ikhwanul Muslimin yang berpengaruh di Turki dan beberapa negara Arab.
Dan kegundahan serta keputus-asaan akibat kegagalan konflik Syria membuat Saudi kembali harus mengambil keputusan fatal lainnya, yaitu menolak menjadi anggota Dewan Keamanan PBB. Keputusan itu pun semakin membuat Saudi terpinggirkan dari percaturan politik internasional.
"Saudi semestinya menyadari hal ini. Namun sepertinya mereka tidak juga mengerti, apalagi menganalisa dan mengatasi masalahnya. Bagaimana pun mereka kini mengetahui bahwa mereka telah kalah dalam permainan, terpinggirkan, dan lebih jauh bertindak tidak rasional," demikian tulis Nizar Abboud di media Lebanon "AL AKHBAR" tgl 19 OKtober lalu tentang kondisi Saudi Arabia saat ini khususnya paska penolakan Saudi atas kursi DK PBB tgl 18 Oktober lalu. Padahal selama ini Saudi dikenal sangat berambisi menjadi "pemain penting" dalam percaturan politik Timur Tengah. Untuk memenuhi ambisinya itu misalnya, Saudi pernah dikabarkan berusaha menyuap PBB untuk menggantikan posisi Lebanon sebagai anggota DK PBB empat tahun lalu.
Alasan Saudi menolak keanggotaan DK PBB tersebut karena Saudi menganggap DK PBB telah gagal menjalankan fungsi-fungsinya terkait konflik Syria dan juga Palestina. Sebenarnya konflik Syria-lah yang memjadi alasannya mengingat masalah Palestina telah jauh lebih dahulu eksis dan selama ini Saudi tidak melakukan apapun untuk menyelesaikannya. Dengan kata lain, Saudi sebenarnya tidak pernah peduli dengan nasib rakyat Palestina dan mengaitkan Palestina sebagai alasan penolakan keanggotaan DK PBB hanya sekedar "lips service" saja untuk menyelamatkan nama baik Saudi di dunia Islam.
Dan mengecam PBB sebagai lembaga yang tidak fair dalam menangani konflik Syria merupakan tuduhan yang sangat kontradiktif dengan peran Saudi sendiri yang telah memperalat organisasi Liga Arab sebagai alat kepentingannya. Alih-alih melindungi salah satu negara pendirinya (Syria) dari serangan kepentingan zionis internasional, di tangan Saudi Arabia Liga Arab justru memecat Syria sebagai anggota dan sekaligus melanggar satu prinsip dasar pendirian Liga Arab sendiri.
Keputus-asaan atas hasil konflik Syria pula-lah yang membuat Saudi melakukan tindakan-tindakan tidak rasional lainnya, yaitu menggencarkan serangan terorisme di Irak. Sampai saat ini telah lebih dari 6.000 orang tewas oleh serangan kelompok-kelompok teroris dukungan Saudi di Irak sepanjang tahun ini. Namun bukannya kemenangan yang diperoleh, aksi-aksi tersebut hanya menimbulkan kebencian dan dendam kesumat orang-orang Irak dan Shiah terhadap Saudi Arabia serta antipati masyarakat dunia yang mencintai perdamaian.
Penolakan Saudi atas keanggotaan DK PBB pun mengundang kecaman Rusia. “The kingdom's arguments arouse bewilderment, and the criticism of the UN Security Council in the context of the Syria conflict is particularly strange,” demikian komentar resmi pemerintah Rusia atas sikap pemerintah Saudi tersebut.
REF:
"Why Did Riyadh Turn Down UN Seat?"; Nizar Abboud; AL AKHBAR; 19 OKtober 2013
Tampaknya hanya sebuah kata-kata. Namun bagi Menlu Saudi Saud al-Faisal itu adalah sangat menyakitkan. Ia bahkan harus dirangkul para pengawalnya agar tidak terjatuh di sela-sela kegiatan Sidang Umum PBB bulan lalu. Dalam sidang itu ia melihat diri dan negaranya telah ditinggalkan Amerika yang justru mendekat ke Iran, musuh besar Saudi. Dan kabar percakapan telepon Barak Obama dengan presiden Iran Hassan Rouhani semakin membuatnya lemas.
Dan untuk pertama kalinya Saudi kini merasa sendirian setelah gagalnya proyek Syria yang bertujuan menjungkalkan sekutu Iran, Presiden Bashar al Assad. Kini hubungan Saudi dengan Turki dan Qatar terasa hambar setelah mereka terlibat persaingan untuk menjadi pemimpin kelompok-kelompok pemberontak Syria. Saudi juga telah terlanjur meninggalkan sekutu dekatnya di Lebanon, mantan perdana menteri Saad Hariri Cs setelah yang bersangkutan dianggap gagal memainkan peran signifikan untuk membantu proyek Syria. Satu-satunya sekutu yang dimiliki Saudi adalah regim militer Mesir yang tidak populer dan menempatkan Saudi berada pada posisi berlawanan dengan kelompok Islam Ikhwanul Muslimin yang berpengaruh di Turki dan beberapa negara Arab.
Dan kegundahan serta keputus-asaan akibat kegagalan konflik Syria membuat Saudi kembali harus mengambil keputusan fatal lainnya, yaitu menolak menjadi anggota Dewan Keamanan PBB. Keputusan itu pun semakin membuat Saudi terpinggirkan dari percaturan politik internasional.
"Saudi semestinya menyadari hal ini. Namun sepertinya mereka tidak juga mengerti, apalagi menganalisa dan mengatasi masalahnya. Bagaimana pun mereka kini mengetahui bahwa mereka telah kalah dalam permainan, terpinggirkan, dan lebih jauh bertindak tidak rasional," demikian tulis Nizar Abboud di media Lebanon "AL AKHBAR" tgl 19 OKtober lalu tentang kondisi Saudi Arabia saat ini khususnya paska penolakan Saudi atas kursi DK PBB tgl 18 Oktober lalu. Padahal selama ini Saudi dikenal sangat berambisi menjadi "pemain penting" dalam percaturan politik Timur Tengah. Untuk memenuhi ambisinya itu misalnya, Saudi pernah dikabarkan berusaha menyuap PBB untuk menggantikan posisi Lebanon sebagai anggota DK PBB empat tahun lalu.
Alasan Saudi menolak keanggotaan DK PBB tersebut karena Saudi menganggap DK PBB telah gagal menjalankan fungsi-fungsinya terkait konflik Syria dan juga Palestina. Sebenarnya konflik Syria-lah yang memjadi alasannya mengingat masalah Palestina telah jauh lebih dahulu eksis dan selama ini Saudi tidak melakukan apapun untuk menyelesaikannya. Dengan kata lain, Saudi sebenarnya tidak pernah peduli dengan nasib rakyat Palestina dan mengaitkan Palestina sebagai alasan penolakan keanggotaan DK PBB hanya sekedar "lips service" saja untuk menyelamatkan nama baik Saudi di dunia Islam.
Dan mengecam PBB sebagai lembaga yang tidak fair dalam menangani konflik Syria merupakan tuduhan yang sangat kontradiktif dengan peran Saudi sendiri yang telah memperalat organisasi Liga Arab sebagai alat kepentingannya. Alih-alih melindungi salah satu negara pendirinya (Syria) dari serangan kepentingan zionis internasional, di tangan Saudi Arabia Liga Arab justru memecat Syria sebagai anggota dan sekaligus melanggar satu prinsip dasar pendirian Liga Arab sendiri.
Keputus-asaan atas hasil konflik Syria pula-lah yang membuat Saudi melakukan tindakan-tindakan tidak rasional lainnya, yaitu menggencarkan serangan terorisme di Irak. Sampai saat ini telah lebih dari 6.000 orang tewas oleh serangan kelompok-kelompok teroris dukungan Saudi di Irak sepanjang tahun ini. Namun bukannya kemenangan yang diperoleh, aksi-aksi tersebut hanya menimbulkan kebencian dan dendam kesumat orang-orang Irak dan Shiah terhadap Saudi Arabia serta antipati masyarakat dunia yang mencintai perdamaian.
Penolakan Saudi atas keanggotaan DK PBB pun mengundang kecaman Rusia. “The kingdom's arguments arouse bewilderment, and the criticism of the UN Security Council in the context of the Syria conflict is particularly strange,” demikian komentar resmi pemerintah Rusia atas sikap pemerintah Saudi tersebut.
REF:
"Why Did Riyadh Turn Down UN Seat?"; Nizar Abboud; AL AKHBAR; 19 OKtober 2013
Miris, Mengapa Arab Ramai-ramai Memusuhi Suriah?
HL | 12 February 2012 | 03:52http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/02/11/miris-mengapa-arab-ramai-ramai-memusuhi-suriah-438416.html
By. Masykur A.Baddal -
Suriah atau Syiria, adalah sebuah negara terletak
di Asia Barat, berbatasan langsung dengan Lebanon dan Laut Tengah di
sebelah baratnya, Turki di sebelah utara, Irak di sebelah timur,
Yordania di sebelah selatan dan Israel di barat daya. Dalam bahasa
Inggris, nama Suriah identik dengan Levant, yang dikenal dalam bahasa
Arab sebagai negeri Syam. Negeri ini, menjadi rebutan kekuasaan besar
dunia sepanjang sejarah ummat manusia. Hal ini disebabkan karena
letaknya yang sangat strategis, sebagai pintu gerbang antara negeri
Barat dan Timur.
Jumlah penduduk Suriah berdasarkan sensus tahun 2004 adalah 18.018.116
juta jiwa. Terdiri dari 74% Sunni, Alawi 12%, Kristen 9%, dan Druze 3%.
Jika dikombinasikan, maka 90% dari populasi Suriah adalah Muslim.
Sedangkan 9% lainnya adalah Kristen, yang mencakup Kristen Arab, Assyria
dan Armenia. Mayororitas populasi Suriah adalah etnis Arab (90%),
sedangkan minoritas terdiri dari etnis Kurdi, Asiria, Armenia dan
Turkmens Circassians.
Negara Suriah modern didirikan usai Perang Dunia Pertama, yaitu setelah
mendapatkan kemerdekaannya dari Perancis pada tahun 1946. Pasca meraih
kemerdekaannya, Suriah kerap diguncang oleh gejolak serta kudeta
militer, yang sebagian besar terjadi antara periode 1949-1971. Kemudian
antara periode 1958-1961, Suriah bergabung dengan Mesir membentuk
perserikatan yang dikenal dengan RPA (Republik Persatuan Arab).
Perserikatan itu berakhir karena terjadinya kudeta militer di Suriah.
Sejak tahun 1963 hingga 2011, Suriah terus memberlakukan UU Darurat
Militer, sehingga dengan demikian sistem pemerintahannya pun dianggap
oleh pihak barat tidak demokratis.
Presiden Suriah adalah Bashar al-Assad, yang telah mengambil tampuk
pemerintahan dari ayahnya Hafez al Assad dengan penunjukan secara
aklamasi. Serta telah berkuasa di negara itu mulai tahun 2000. Sejak era
perang dingin, Suriah terkenal dengan kekuatan militernya di kawasan,
dan identik dengan julukan Rusia Timur Tengah. Hal itu berkat kedekatan
hubungan Suriah dengan Rusia, sehingga kerap mendapat suplai senjata
modern dari negara digdaya itu. Alasan ini jualah yang membuat Israel
sedikit segan untuk melakukan perang frontal menghadapi Suriah dalam
persengketaan Dataran Tinggi Golan. Di samping itu, Suriah menjadi
tumpuan beberapa negara kawasan dalam menyelesaikan konflik militer yang
sering terjadi di Timur Tengah.
Fakta membuktikan, bahwa sebagian besar negara Arab adalah aliansi abadi
blok Barat, yang dinakhodai langsung oleh Amerika Serikat sebagai
kekuatan Super Power tunggal dunia. Keberadaan kekuatan militer Suriah
di kawasan tentu saja menjadikan mereka jengah, karena dianggap sebagai
kekuatan lawan. Tidak jarang, beberapa kasus sebelumnya sudah pernah
diangkat untuk merontokkan Suriah terutama presidennya, namun semuanya
gagal.
Terpaan Badai Arab Spring 2011 ( Badai Musim Semi Arab 2011), yang telah
merontokkan beberapa kekuatan besar di negeri Arab. Ternyata
dimanfaatkan dengan sangat baik oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Padahal sebelumnya, presiden Suriah Bashar al Assad dengan sangat
optimis telah mengungkapkan, bahwa badai Musim Semi Arab tidak akan
menerpa Suriah, karena rakyat Suriah secara umum telah memperoleh
hak-hak mereka secara adil, jadi tidak ada alasan bagi rakyat Suriah
untuk melakukan revolusi di negara tersebut.
Namun, kesempatan emas itu nampaknya tidak disia-siakan oleh pihak-pihak
tertentu. Terbukti dengan merebaknya amunisi perlawanan rakyat yang
dimotori oleh kelompok minoritas di negera tersebut. Yang menurut
informasi dari pejabat Suriah, mereka pihak yang berkepentingan sengaja
mendukung kelompok minoritas untuk melakukan perlawanan demi suksesnya
target jahat dalam menghancurkan Suriah dari dalam.
Sehingga kelompok negara-negara Arab yang selama ini bersebrangan dengan
Suriah, yang memang telah mendominasi Liga Arab tersebut. Mendorong
lembaga tertinggi negara-negara Arab itu untuk membekukan keanggotaan
Suriah, serta menyerahkan kasus Suriah kepada Dewan Keamanan PBB untuk
segera diselesaikan secara internasional.
Selanjutnya, hal ini pulalah yang membuat Rusia dan Cina sebagai mitra
abadi semakin tidak nyaman di kursinya. Karena mereka merasa termasuk
kelompok yang paling dirugikan berkaitan dengan masalah Suriah, jika
putusan DK PBB itu disahkan. Yang pada akhirnya berujung pada jatuhnya
veto dari kedua negera adidaya tersebut.
Dari pertikaian dua kelompok penguasa dunia ini, yang paling menderita
adalah rakyat Suriah sendiri. Mereka adalah pihak pertama yang merasakan
langsung imbas dari pertarungan sengit saat ini. Sehingga, seorang ibu
harus rela melihat anaknya meregang nyawa tanpa sebab. Seorang isteri
harus mampu menahan isak dan dendam karena suami tercinta dieksekusi
tanpa kesalahan yang dibuat. Bahkan, ribuan anak-anak yang tidak berdosa
tiba-tiba menjadi yatim piatu. Sebenarnya inilah yang menjadi
tanggungjawab kita saat ini. Yaitu menyelamatkan nyawa anak manusia yang
tidak berdosa, dan menyelamatkan rakyat Suriah dari keserakahan dua
kekuatan dunia.
Salam.
ref: (CIA Watch Book, Arab History, Wiki)
Koalisi Arab Saudi, Qatar, AS dan Israel Gulingkan Bashar Assad
Posted on April 28, 2012 by syiahali
http://syiahali.wordpress.com/2012/04/28/koalisi-arab-saudi-qatar-as-dan-israel-gulingkan-bashar-assad/
Arab Saudi dan Qatar yang getol memusuhi pemerintahan Bashar
Assad di Suriah dengan mendukung penuh kelompok bersenjata sejatinya
menjadi pelaksana kebijakan Amerika Serikat dan Rezim Zionis Israel
untuk mengobrak-abrik stabilitas kawasan Timur Tengah. Seiring dengan
merebaknya gelombang kebangkitan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara
yang berujung pada lengsernya sejumlah diktator Arab seperti Hosni
Mubarak di Mesir, Zein el Abidine ben Ali di Tunisia dan Muammar Gaddafi
di Libya, Amerika dan negara Barat berusaha menggulingkan pemerintahan
Bashar Assad demi menyelamatkan Israel dari keterkucilan dan mencegah
bertambah kuatnya poros muqawama di kawasan.
Untuk merealisasikan ambisinya ini, AS memanfaatkan Arab Saudi dan
Qatar, tentunya dengan imbalan seperti sikap bungkam Washington terhadap
kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di kedua negara ini. Gedung Putih
meminta Riyadh dan Doha mendukung kubu anti Assad serta mengobarkan
krisis di Suriah. Arab Saudi dan Qatar dalam hal ini berusaha mengulang
kesuksesan mereka di Yaman. Seperti diketahui P-GCC yang dimotori Arab
Saudi mengusulkan penggantian Ali Abdullah Saleh, presiden Yaman dengan
wakilnya, Abd Rabbu Mansour Hadi dan kini strategi ini akan diterapkan
juga di Suriah. Selanjutnya mereka akan menentukan pemerintahan sesuai
dengan selera dan kepentingan mereka.
Kini setelah upaya mereka gagal di Suriah, Arab Saudi dan Qatar
berusaha menjadikan kasus Damaskus sebagai kasus internasional dan terus
menekan Bashar Assad. Kedua negara ini dengan dalih melindungi warga
sipil Suriah menuding Damaskus melakukan pelanggaran HAM. Tak cukup
sampai di sini, Riyadh dan Doha membawa klaimnya tersebut ke Majelis
Umum PBB. Sementara itu, upaya keras kedua negara Arab ini membawa
tudingan mereka soal pelanggaran HAM Suriah ke Majelis Umum PBB tidak
dibarengi dengan kondisi memuaskan di Arab Saudi dan Qatar sendiri.
Kondisi HAM di Riyadh dan Doha sendiri saat ini cukup memprihatinkan.
Arab Saudi saat ini tercatat sebagai rezim yang paling tidak
demokratis dan kejam di dunia. Wanita di negara ini tidak mendapat
hak-hak sebagaimana mestinya. Mereka dilarang mengendarai kendaraan dan
tidak diperkenankan berpartisipasi di pentas politik, termasuk tidak
memiliki hak suara. Qatar sendiri tak berbeda jauh dengan Arab Saudi,
pemerintahan Doha juga berbentuk kerajaan dan tidak terlihat demokrasi
di negara ini.
Navi Pillay, Komisaris Tingggi Dewan HAM PBB menuding Suriah
melanggar Hak Asasi Manusia di saat rezim al-Saud di Arab Saudi
memenjarakan lebih dari 30 ribu warganya yang tak berdosa dan tanpa
dakwaan yang jelas. Selain itu, Riyadh juga gencar menumpas aksi demo
damai rakyatnya. Navi Pillay menyebut upaya pemerintah Damaskus
melindungi warganya dari serangan kelompok bersenjata yang didukung Arab
Saudi, Qatar, Israel, AS dan Turki sebagai pelanggaran HAM. Di sisi
lain, Pillay tidak melihat aksi pengiriman tentara Arab Saudi ke Bahrain
dan pembantaian warga Manama sebagai pelanggaran HAM.
Sementara itu, pemerintahan Bashar Assad berbeda dengan Arab Saudi
dan Bahrain. Assad mendapat dukungan penuh dari rakyatnya. Hal ini
terlihat dari aksi demo warga mendukung pemimpin mereka yang digelar
hampir tiap hari. Poin penting di sini adalah baik Arab Saudi, Qatar, AS
dan Israel sama-sama memiliki satu tujuan yaitu melemahkan poros
muqawama serta mencegah keterkucilan Tel Aviv dengan menggulingkan
pemerintahan Bashar Assad.
On Friday, October 18, Saudi Arabia refused a non-permanent seat on the UN Security Council, citing political reasons. This, mind you, is the same kingdom that spared no effort 15 years ago to obtain the seat. There were even rumors four years ago that Saudi sought to “purchase” Lebanon’s Security Council seat at the time.
The stated reason for the snub, as per a statement carried by the Saudi Press Agency, is the failure of the Security Council to carry out its duties, for example, in reaching a just solution to the Palestinian cause and putting an end to the Syrian regime's killing of its people.
But this was just the tip of the iceberg. The conflicting Saudi positions reflect deep internal divisions in the kingdom and confusion among decision-making centers in Riyadh. Riyadh’s policies have become so erratic that Western officials, including Jeffrey Feltman, have been slamming what they call the “demented” kingdom.
But what Riyadh declined to say about the real reason for its rebuke of Security Council membership, France volunteered through its UN envoy Gerard Araud. On Friday, shortly before entering the Security Council hall, he said that France understood the frustration of Saudi Arabia regarding the fact that the Security Council has been unable to act for more than two years. Araud added that the Security Council has not been allowed to function because of repeated use of the veto power by two specific permanent Security Council members, adding that Saudi’s frustration reflects that of a large part of the international community.
But in truth, perhaps for the first time in more than 10 years, there is harmony at the Security Council, both among its members, and between them and the UN secretary general. For instance, Resolution 2118 was passed unanimously, calling for the destruction of Syria’s chemical weapons.
It is not the Saudis alone who feel their political role has been diminished as a result of the Syrian conflict. The French, who thought for a moment that Saudi Arabia would back them up at the council, just as Saudi had backed France economically for decades, now feel the same way.
Too Many Cooks
No one is quite sure anymore who calls the shots in Riyadh. And what is also odd about the Saudi stunt is that Riyadh knew well the dominant dynamic of the Security Council long before the UN General Assembly session on Thursday, where Saudi received 167 votes for its membership, and was chosen to serve as one of the 10 non-permanent Security Council members for a period of two years.
In fact, it has been the norm that this seat would go to an Arab nation, chosen on a rotational basis from Asia and North Africa. So, what prompted Saudi’s rejection?
To understand, one perhaps has to go back to events that occurred over the past several weeks. First, the 68th session of UN General Assembly in late September coincided with a Russian-American accord over the future of Syria and possibly on other matters as well.
True, what happened afterward did not go much beyond formalities. US President Barack Obama had a much hyped phone conversation with Iranian President Hassan Rouhani. Still, these formalities had a lot of significance. Washington now realizes that its proxies in the Middle East no longer have the ability to settle conflicts in their – and its – favor. Clearly, Saudi Arabia can use its assets to send car bombs, stage terror attacks of various kinds, and recruit, fund, and deploy fighters to Iraq and Syria, but it cannot win any wars.
The Saudis should be aware of this, but perhaps they have not yet been able to take all these variables in, let alone analyze and assimilate them. Nevertheless, they must have no doubt felt that they are now out of the game – moving from the core to the periphery, and further toward irrelevance.
The Threat From the North
A month after the September 11 attacks, Saudi Arabia identified the threats facing the kingdom in a study presented by Prince Nayef bin Ahmed al-Saud, a colonel in the Saudi air force. The study, published in the US, claimed that the threats to Saudi came primarily from the north, stating, “Looking to the Persian Gulf in the past decades, it is clear that the source of the threat is two countries, namely, Iran and Iraq.”
Nayef bin Ahmed also wrote that the threat stemmed from the fact that these two countries could rival Saudi’s influence in the region. So naturally, the threat becomes only compounded when Iran, Iraq, Syria, and Hezbollah in Lebanon work together in one unified strategy.
The Saudi military expert did not mention Israel or Palestine at all in his comprehensive study. They do not seem to figure in Saudi’s calculations. The study also stressed the need to strengthen the kingdom’s own military power, as US military bases in Saudi were opposed by an overwhelming majority of Saudis.
US-Saudi Relations
When Saud al-Faisal came to New York last month, he found that the Americans were preoccupied with the Iranian Foreign Minister Mohammed Javad Zarif. The Saudi foreign minister, perhaps for the first time in the history of UN General Assembly meetings, completely avoided the media.
His meetings with Western officials were extremely limited, and he did not make any statements. In fact, he appeared flustered from the moment he first entered UN headquarters, and on one occasion, his bodyguard had to prop him up and stop him from falling. He then left New York without delivering his speech at the General Assembly, and did not even ask the Saudi UN envoy to deliver it on his behalf. The whole spectacle was much more than the awkwardness that comes with old age.
Oil: The Good Old Days Are Gone
Saudi Arabia is facing its gravest crisis, even graver than the aftermath of September 11, when Washington saw Saudi Arabia as the world’s number one source of terrorism. Today, the US is much less dependent on Middle East oil than 40 years ago, when Saudi Arabia threatened to use its oil as a political weapon.
Thanks to the shale oil and gas revolution, the US is turning from a net importer to a net exporter of hydrocarbons. There is no longer a need to fight for oil, while the focal point of US interests is pivoting to the Pacific. Meanwhile, everyone wants to sell their oil.
Faisal must have felt that the US-Saudi alliance was in danger, realizing that the master does not usually consult with its proxy about its fate at the end of the journey. True, Israeli papers spoke about important meetings held by Gulf powers in New York, but neither Israel nor Saudi could conceivably succeed where the US had failed.
Political Dementia
There are now efforts underway at the UN to find a replacement for Saudi at the Security Council. Some said that the United Arab Emirates would be the closest to Saudi in alphabetical order among the Arab countries in Asia. After a country is selected, there will have to be another voting session.
In the meantime, almost everyone was shocked by the Saudi move, which seems to have exposed the kingdom’s “political dementia,” annoying its friends before its foes.
On Friday, UN Secretary General Ban Ki-moon announced that Saudi Arabia had not yet officially notified the UN of its rejection of the Security Council seat. Speaking to reporters in New York, he said that replacing Saudi Arabia at the council was up to the member states.
Meanwhile, Russia blasted the Saudi move. In a statement on Friday, the Russian Foreign Ministry said, “The kingdom's arguments arouse bewilderment, and the criticism of the UN Security Council in the context of the Syria conflict is particularly strange.”
This article is an edited translation from the Arabic Edition.
Why Did Riyadh Turn Down UN Seat?
On Friday, October 18, Saudi Arabia refused a non-permanent seat on the UN Security Council, citing political reasons. This, mind you, is the same kingdom that spared no effort 15 years ago to obtain the seat. There were even rumors four years ago that Saudi sought to “purchase” Lebanon’s Security Council seat at the time.
The stated reason for the snub, as per a statement carried by the Saudi Press Agency, is the failure of the Security Council to carry out its duties, for example, in reaching a just solution to the Palestinian cause and putting an end to the Syrian regime's killing of its people.
But this was just the tip of the iceberg. The conflicting Saudi positions reflect deep internal divisions in the kingdom and confusion among decision-making centers in Riyadh. Riyadh’s policies have become so erratic that Western officials, including Jeffrey Feltman, have been slamming what they call the “demented” kingdom.
But what Riyadh declined to say about the real reason for its rebuke of Security Council membership, France volunteered through its UN envoy Gerard Araud. On Friday, shortly before entering the Security Council hall, he said that France understood the frustration of Saudi Arabia regarding the fact that the Security Council has been unable to act for more than two years. Araud added that the Security Council has not been allowed to function because of repeated use of the veto power by two specific permanent Security Council members, adding that Saudi’s frustration reflects that of a large part of the international community.
But in truth, perhaps for the first time in more than 10 years, there is harmony at the Security Council, both among its members, and between them and the UN secretary general. For instance, Resolution 2118 was passed unanimously, calling for the destruction of Syria’s chemical weapons.
It is not the Saudis alone who feel their political role has been diminished as a result of the Syrian conflict. The French, who thought for a moment that Saudi Arabia would back them up at the council, just as Saudi had backed France economically for decades, now feel the same way.
Too Many Cooks
No one is quite sure anymore who calls the shots in Riyadh. And what is also odd about the Saudi stunt is that Riyadh knew well the dominant dynamic of the Security Council long before the UN General Assembly session on Thursday, where Saudi received 167 votes for its membership, and was chosen to serve as one of the 10 non-permanent Security Council members for a period of two years.
In fact, it has been the norm that this seat would go to an Arab nation, chosen on a rotational basis from Asia and North Africa. So, what prompted Saudi’s rejection?
To understand, one perhaps has to go back to events that occurred over the past several weeks. First, the 68th session of UN General Assembly in late September coincided with a Russian-American accord over the future of Syria and possibly on other matters as well.
True, what happened afterward did not go much beyond formalities. US President Barack Obama had a much hyped phone conversation with Iranian President Hassan Rouhani. Still, these formalities had a lot of significance. Washington now realizes that its proxies in the Middle East no longer have the ability to settle conflicts in their – and its – favor. Clearly, Saudi Arabia can use its assets to send car bombs, stage terror attacks of various kinds, and recruit, fund, and deploy fighters to Iraq and Syria, but it cannot win any wars.
The Saudis should be aware of this, but perhaps they have not yet been able to take all these variables in, let alone analyze and assimilate them. Nevertheless, they must have no doubt felt that they are now out of the game – moving from the core to the periphery, and further toward irrelevance.
The Threat From the North
A month after the September 11 attacks, Saudi Arabia identified the threats facing the kingdom in a study presented by Prince Nayef bin Ahmed al-Saud, a colonel in the Saudi air force. The study, published in the US, claimed that the threats to Saudi came primarily from the north, stating, “Looking to the Persian Gulf in the past decades, it is clear that the source of the threat is two countries, namely, Iran and Iraq.”
Nayef bin Ahmed also wrote that the threat stemmed from the fact that these two countries could rival Saudi’s influence in the region. So naturally, the threat becomes only compounded when Iran, Iraq, Syria, and Hezbollah in Lebanon work together in one unified strategy.
The Saudi military expert did not mention Israel or Palestine at all in his comprehensive study. They do not seem to figure in Saudi’s calculations. The study also stressed the need to strengthen the kingdom’s own military power, as US military bases in Saudi were opposed by an overwhelming majority of Saudis.
US-Saudi Relations
When Saud al-Faisal came to New York last month, he found that the Americans were preoccupied with the Iranian Foreign Minister Mohammed Javad Zarif. The Saudi foreign minister, perhaps for the first time in the history of UN General Assembly meetings, completely avoided the media.
His meetings with Western officials were extremely limited, and he did not make any statements. In fact, he appeared flustered from the moment he first entered UN headquarters, and on one occasion, his bodyguard had to prop him up and stop him from falling. He then left New York without delivering his speech at the General Assembly, and did not even ask the Saudi UN envoy to deliver it on his behalf. The whole spectacle was much more than the awkwardness that comes with old age.
Oil: The Good Old Days Are Gone
Saudi Arabia is facing its gravest crisis, even graver than the aftermath of September 11, when Washington saw Saudi Arabia as the world’s number one source of terrorism. Today, the US is much less dependent on Middle East oil than 40 years ago, when Saudi Arabia threatened to use its oil as a political weapon.
Thanks to the shale oil and gas revolution, the US is turning from a net importer to a net exporter of hydrocarbons. There is no longer a need to fight for oil, while the focal point of US interests is pivoting to the Pacific. Meanwhile, everyone wants to sell their oil.
Faisal must have felt that the US-Saudi alliance was in danger, realizing that the master does not usually consult with its proxy about its fate at the end of the journey. True, Israeli papers spoke about important meetings held by Gulf powers in New York, but neither Israel nor Saudi could conceivably succeed where the US had failed.
Political Dementia
There are now efforts underway at the UN to find a replacement for Saudi at the Security Council. Some said that the United Arab Emirates would be the closest to Saudi in alphabetical order among the Arab countries in Asia. After a country is selected, there will have to be another voting session.
In the meantime, almost everyone was shocked by the Saudi move, which seems to have exposed the kingdom’s “political dementia,” annoying its friends before its foes.
On Friday, UN Secretary General Ban Ki-moon announced that Saudi Arabia had not yet officially notified the UN of its rejection of the Security Council seat. Speaking to reporters in New York, he said that replacing Saudi Arabia at the council was up to the member states.
Meanwhile, Russia blasted the Saudi move. In a statement on Friday, the Russian Foreign Ministry said, “The kingdom's arguments arouse bewilderment, and the criticism of the UN Security Council in the context of the Syria conflict is particularly strange.”
This article is an edited translation from the Arabic Edition.
Comments
Submitted by Anonymous (not verified) on Sun, 2013-10-20 20:27.
Are you sure that Saud Al-Faisal had not overdosed on Viagra, so
there was insufficient blood going to his brain to be able to deliver a
speech?
Submitted by mmckinl (not verified) on Sun, 2013-10-20 13:06.
A major temper tantrum by the KSA. This follows the smaller tantrum
in the KSA failure to address the full UN Assembly ... they have always
addressed the Assembly ...
The KSA feels betrayed by all sides. They have been set aside on the Iran, Syria and Egyptian issues.
No sooner than the KSA pledged billions to the Egyptian military the military sided with Assad in Syria.
The US declared "regime change" in Iran off the table and is now proceeding to bring Iran "into the fold".
The US has declared an about face on Syria thanks to a gaffe engineered by Russia into a face saving disarming process.
Bandar couldn't buy Russia with an arms deal or promises about Sochi security and the Israelis shunned Bandar's initiative in Tel Aviv.
My suspicion is that Erdogan, tired of Brotherhood mistreatment and the threat of Islamist control will be shutting down Turkey borders for the terrorists.
Wikileaks of US State Department Hillary Clinton emails started their demise. What countries could keep secret about KSA terrorism is now public.
The question is now: What do the Saudis do about their operations in Syria and the rest of their operations throughout MENA and beyond?
And what is to become of Bandar bin Sultan? It seems his initiatives have left nothing but embarrassing and dangerous "loose ends".
The KSA feels betrayed by all sides. They have been set aside on the Iran, Syria and Egyptian issues.
No sooner than the KSA pledged billions to the Egyptian military the military sided with Assad in Syria.
The US declared "regime change" in Iran off the table and is now proceeding to bring Iran "into the fold".
The US has declared an about face on Syria thanks to a gaffe engineered by Russia into a face saving disarming process.
Bandar couldn't buy Russia with an arms deal or promises about Sochi security and the Israelis shunned Bandar's initiative in Tel Aviv.
My suspicion is that Erdogan, tired of Brotherhood mistreatment and the threat of Islamist control will be shutting down Turkey borders for the terrorists.
Wikileaks of US State Department Hillary Clinton emails started their demise. What countries could keep secret about KSA terrorism is now public.
The question is now: What do the Saudis do about their operations in Syria and the rest of their operations throughout MENA and beyond?
And what is to become of Bandar bin Sultan? It seems his initiatives have left nothing but embarrassing and dangerous "loose ends".
Submitted by Barry (not verified) on Tue, 2013-10-22 22:16.
Well put. Even the Saudis cannot get it right on these issues. They
must have felt particularly snubbed by the Egyptian generals turning to
Assad of all people. Who could have predicted that??
Anyhow, as upset as they are with the US, they cannot possibly turn their backs on Uncle Sam. They need US political and military muscle more than ever. With Turkish tempers flaring about al-Qaeda and a lack of victories in Syria, I think the Saudis will have to find new friends. I am thinking Israel, perhaps Greece (counter to Turkey), a renewed courtship of Egypt and maybe a big push to influence Jordan and/or Pakistan (more than they have now).
They still have a lot of money and a burning desire to influence the world. Realpolitik means that when you are snubbed, you find new friends.
Anyhow, as upset as they are with the US, they cannot possibly turn their backs on Uncle Sam. They need US political and military muscle more than ever. With Turkish tempers flaring about al-Qaeda and a lack of victories in Syria, I think the Saudis will have to find new friends. I am thinking Israel, perhaps Greece (counter to Turkey), a renewed courtship of Egypt and maybe a big push to influence Jordan and/or Pakistan (more than they have now).
They still have a lot of money and a burning desire to influence the world. Realpolitik means that when you are snubbed, you find new friends.
Submitted by Anonymous (not verified) on Sun, 2013-10-20 08:55.
Saudi talk of double standard is pure arrogance, and jealousness to
the core, they want to see Iran nemesis Saddam brought back from the
dead again to gas Kurds and the Iranians, they want Usama back to bomb
the Americans and black Africans, they want to sow rebellion in Syria,
they want to enslave the Egyptians through their proxy Generals, and
then all that in the name of Allah, then only they will accept the UN
seat.
Submitted by frank solan (not verified) on Sat, 2013-10-19 22:52.
These Saudis don't want the spotlight on their own human rights violations.
John Kerry reveals Arab countries have offered to PAY America to carry out full-scale invasion of Syria
By David Martosko|
Secretary of State John Kerry said
during a hearing Wednesday in the House of Representatives that counties
in the Arab world have offered to foot the entire bill for a U.S.
military mission that destroys the Bashar al-Assad regime in Syria.
'With
respect to Arab countries offering to bear costs and to assist, the
answer is profoundly yes,' Kerry said. 'They have. That offer is on the
table.'
Kerry, with a cadre
of anti-war activists sitting behind him and holding red-painted hands
aloft in protest, declined to name the countries that have proposed
opening their purses.
SCROLL DOWN FOR VIDEO
U.S. Secretary of State John Kerry, an anti-war
protester himself 40 years ago, is cast in the role of war consigliere
to the president. He said Wednesday that Arab countries had offered to
pay America's expenses for a military operation if it ousts Bashar
al-Assad from Syria
The guided-missile destroyer USS Barry,
foreground, is one of four US Navy destroyers to be deployed in the
Mediterranean Sea on Sept. 3, all of which are combat ready against
Syria if the order for a strike is given
Syrian women who live in Lebanon -- another of
Syria's neighbors -- light candles during a vigil against chemical
weapons attacks near Damascus, in front the United Nations headquarters
in Beirut
Florida Republican Rep.
Ileana Ros-Lehtinen had asked Kerry to comment on the expenses related
to carrying out attacks on Syria if Congress were to authorize them.
Following through on a use-of-force resolution, she said, 'could potentially cost ... billions.'
But Kerry said other nations that see Assad as a destabilizing force in the region have proposed to cover the costs.
As for 'the details of the
offer, and the proposal on the table,' Ros-Lehtinen asked Kerry, 'what
are the figures we are talking about?
'We
don’t know what action we [will be] engaged in right now,' Kerry
replied, 'but they have been quite significant. I mean, very
significant.'
'In fact, some of them have said that if the U.S. is
prepared to go do the whole thing, the way we’ve done it previously in
other places, they’ll carry that cost. That’s how dedicated they are to
this.'
Turkish soldiers already regularly patrol a long
border with Syria, making that nation one of several with an interest
in seeing Assad depart the region
Not helping: Assad met Sept. 1 with Alaeddin
Boroujerdi (L), who chairs the Iranian Shura Council's Committee for
Foreign Policy and National Security. Iran had sent senior lawmakers to
Damascus as a sign of solidarity
U.S. Rep. Ileana Ros-Lehtinen was a dogged
questioner, demanding to know how much a military action in Syria would
cost. It was her line of questioning that led Kerry to disclose that
other nations had offered to cover the bills
Kerry quickly clarified that the
Pentagon was not planning to shake a tin cup in the Middle East in the
hope of collecting donations.
'Obviously, that is not in the cards and nobody is talking about
it,' he said. 'But they are talking about taking seriously getting this job done.'
Kerry
also closed the loop on an embarrassing episode from his Senate
testimony on Tuesday, when he said he wouldn't rule out the use of
ground troops if hostilities in Syria were to escalate.
'There will be no boots on the ground,' he said Wednesday.
'The
president has said that again and again. And there is nothing in this
authorization that should contemplate it. And, we reiterate, no boots on
the ground.'
MailOnline
asked three different defense and national security analysts to estimate
the cost of a 90-day military action in Syria, to include – at minimum –
small arms for anti-Assad resistance groups, missiles and armed drones launched
from the Mediterranean Sea, and military flights over Syria, launched
from Turkey, after weapons launch sites and anti-aircraft positions are
destroyed.
While cautioning
that their estimates must not be attributed to them by name, and with a
caveat expressed by one analyst that 'this is all educated guesswork,'
the estimates ranged from $5 to $21 billion.
'You'd
think rocket and jet fuel would be cheaper in that part of the world,'
said one, 'but no such luck. This won't be a cheap mission.'
Kerry isn't saying which Arab world leader or
leaders offered to pay for a U.S.-led invasion of Syria, but candidates
include Sheikh Hamad ibn Isa Al Khalifa of Bahrain (L), Prime Minister
Recep Tayyip Erdoğan of Turkey (C), and President Michel Suleiman of
Lebanon. Those withe the most money to spend include King Abdullah of
Saudi Arabia and Emir Sabah IV Al-Ahmad Al-Jaber Al-Sabah of Kuwait (not
pictured)
Read more: http://www.dailymail.co.uk/news/article-2411806/Offer-table-Arab-countries-pay-scale-U-S-invasion-Syria-says-Secretary-State-John-Kerry.html#ixzz2iVilk344
Follow us: @MailOnline on Twitter | DailyMail on Facebook
Konflik Suriah Dan Skenario Imperialis Barat
Sabtu, 13 Juli 2013 | 20:37 WIB
·
2 Komentar
http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20130713/konflik-suriah-dan-intervensi-imperialis-barat.html
Telah
lebih dari dua tahun Suriah diguncang oleh pergolakan politik.
Pergolakan yang kini bahkan menjurus pada perang saudara, ketika
Pemerintahan Suriah pimpinan Bashar al-Assad bertempur melawan pasukan
oposisi. Bagi sebagian kalangan, pergolakan ini adalah sebuah
‘revolusi rakyat’ yang berupaya mengggulingkan ‘rezim tiran’ Bashar
Assad, sama seperti gelombang revolusi ‘Arab Spring’ lainnya yang
berhasil menumbangkan kediktatoran di Tunisia, Mesir dan Libya.
Untuk menelaah lebih jauh apa yang tersirat di balik konflik
Suriah, kita perlu menganalisis berbagai hal secara lebih komprehensif.
Ada dua hal yang perlu kita perhatikan secara seksama, yakni latar
belakang historis dan ‘nilai strategis’ Suriah secara geo-politik dan
geo-ekonomi.
Resistensi Rezim Baath
Sejak kudeta yang dilakukan oleh sekelompok perwira militer pimpinan
Abdul Karim Nahlawy di tahun 1961, pemerintahan Suriah berada dibawah
kendali Partai Baath ((Hizb Al-Ba’ats Al-Isytiraki) hingga kini. Partai Baath sendiri merupakan partai yang mengusung ideologi Baath’isme,
yang berintikan nilai-nilai Nasionalisme dan Sosialisme Arab, atau bisa
dikatakan pula ideologi sosialisme ‘khas’ Arab. Ideologi ini
diintrodusir oleh seorang intelektual Suriah beragama Kristen, Michel
Aflaq, pada saat kolonialisme Eropa masih mencengkram Timur Tengah pasca
keruntuhan Daulah Turki Ustmani tahun 1924. Selain Suriah, rezim-rezim
di dunia Arab yang pernah menggunakan ideologi ini sebagai dasar negara
adalah pemerintahan Gamal Abdul Nasser di Mesir (1952-1970), rezim
Muamar Khadafi di Libya (1969-2011) serta rezim Saddam Husein yang
berkuasa di Irak hingga tahun 2003.
Berkuasanya Partai Baath di Suriah ini juga menuai dukungan dari
kalangan komunis yang tergabung dalam Partai Komunis Suriah. Namun, pada
tahun 1972, sebagian kecil kader dari partai tersebut yang dipimpin
Riyad Turk melancarkan kampanye untuk menentang aliansi partai komunis
dengan rezim Baath. Meski begitu, mainstream Partai Komunis Suriah tetap mendukung pemerintahan Partai Baath sampai sekarang.
Setelah rezim Baath berkuasa di Suriah, konflik politik di internal
pemerintahan tidak berhenti. Konflik itu berujung pada terjadinya
kembali kudeta militer pada 1970, ketika Menteri Pertahanan Suriah saat
itu , Hafez al-Assad, naik ke tampuk kekuasaan sebagai Perdana
Menteri. Di tahun berikutnya, perwira Angkatan Udara Suriah ini
diangkat menjadi Presiden Suriah.
Dibawah kepemimpinan Hafez al-Assad, Suriah menunjukkan resistensi
yang kuat terhadap hegemoni imperialisme Barat dan ‘mitranya’ di Timur
Tengah, Israel. Sepeninggal Gamal Abdul Nasser di tahun 1970, dunia
Arab memang kehilangan sosok tangguh yang berani melawan Barat dan
Israel. Namun, berkuasanya Hafez Assad dan Muamar Khadafi di Libya pada
saat yang hampir bersamaan seakan menghidupkan kembali ‘roh’ Nasser di
Timur Tengah.
Hafez Assad memang secara tegas mendukung penuh perjuangan bangsa
Palestina dalam melawan penjajahan Zionis Israel. Bentuk dukungan itu
ditunjukkannya melalui partisipasi Suriah dalam Perang Yom Kippur
melawan Israel di tahun 1973. Sebenarnya, sebelum Assad berkuasa pun,
rezim Baath Suriah telah menunjukkan resistensinya terhadap Israel dalam
Perang Enam Hari tahun 1967, yang membuat Suriah harus kehilangan
sebagian wilayahnya di Dataran Tinggi Golan lantaran diduduki Israel
hingga sekarang.
Perlawanan Assad terhadap Israel juga diperlihatkan tatkala perang
saudara bernuansa sektarian meletus di Lebanon pada tahun 1975-1989.
Saat itu, awalnya Suriah mengirim pasukan militer ke Lebanon guna
melindungi kelompok Druze dan Syiah. Namun setelah masuknya tentara
Israel ke Lebanon di tahun 1982 dengan alasan melindungi kelompok
Kristen (meski alasan sebenarnya adalah memburu kelompok perlawanan
Palestina di Lebanon), pasukan Suriah pun turut melawan kehadiran
militer Israel di Lebanon.
Keberpihakan Suriah terhadap gerakan perlawanan Palestina juga
ditunjukkan dengan dibukanya kantor perwakilan Hamas dan PLO di
Damaskus. Suriah juga mendukung gerilyawan Hizbullah di Lebanon secara
finansial maupun politik. Disamping itu, faksi perlawanan Palestina FPLP
pimpinan George Habash juga didukung penuh oleh Suriah.
Sementara itu, perlawanan Assad terhadap Barat ia tunjukkan dengan
mendukung Revolusi Islam di Iran tahun 1979. Revolusi yang berujung pada
berkuasanya kaum Mullah Syiah pimpinan Ayatullah Rohullah Khomeini itu
memang merubah secara drastis haluan politik luar negeri Iran yang
tadinya bersahabat erat dengan Amerika Serikat (AS) menjadi negara yang
sangat anti AS dan Israel.
Suriah juga berpihak kepada Iran dalam Perang Iran-Irak tahun
1980-1988, ketika AS menunjukkan dukungannya pada Irak demi menhambat
revolusi Islam Iran. Hal ini menjadikan Suriah dan Iran sebagai sekutu
dekat hingga kini, apalagi ditambah dengan fakta bahwa mayoritas anggota
Partai Baath Suriah berasal dari kalangan Alawit, suatu aliran dalam
ajaran Syiah. Inilah pula yang menjadi penyebab ketidakharmonisan
pemerintahan Assad dengan rezim Saddam Husein di Irak. Kebijakan
represif Saddam terhadap kaum Syiah Irak membuat tidak senang pemerintah
Suriah, meskipun keduanya berbasiskan ideologi yang sama, Baath’isme.
Politik perlawanannya terhadap AS dan Israel pun membuat rezim Assad
tidak disukai pihak Barat. Namun, rezim Assad justru memiliki hubungan
‘mesra’ dengan Uni Sovyet, apalagi dalam politik domestiknya kaum
komunis Suriah juga mendukung rezim Assad. Dalam sejarahnya pun, Uni
Sovyet memang berpihak pada Negara-negara Arab ketika mereka berperang
melawan Israel, seperti pada Perang Enam Hari dan Krisis Terusan Suez
tahun 1956.
Dukungan Uni Sovyet terhadap Suriah ditunjukkan melalui suplai
persenjataan bagi militer Suriah serta bantuan finansial berupa hutang
luar negeri. ‘Kemesraan’ ini berlanjut pasca runtuhnya Uni Sovyet,
dimana Rusia yang menjadi ‘pewaris’ kejayaan Sovyet tetap menjadi sekutu
Suriah hingga kini. Hal itu tampak ketika di tahun 2005 Rusia menghapus
75 persen dari total utang Suriah sebesar 13 miliar dollar AS.
Meskipun mengambil sikap resisten terhadap Israel dan Barat, dalam
ranah politik domestik, rezim Assad justru ditentang oleh
kelompok-kelompok Islam Fundamentalis seperti Ikhwanul Muslimin (IM)
yang juga mengklaim diri anti Israel dan anti Barat. Hal ini
dikarenakan perbedaan ideologis yang mendasar antara rezim Baath yang
berhaluan sosialis dengan kelompok-kelompok Islamis. Selain itu, alasan
ekonomi dan politik yang ‘dibumbui’ sentimen sektarian juga turut
‘mengipasi’ konflik ini, ketika kelompok Islam oposisi seperti IM
menganggap pemerintahan Baath yang didominasi Syiah Alawit terlalu
dominan terhadap sektor pereknomian negeri itu. Tercatat beberapa
persitiwa yang merefleksikan konflik ini, seperti peristiwa Hama tahun
1982.
Wafatnya Hafez al-Assad pada tahun 2000 diikuti dengan naiknya Bashar
al-Assad, yang tak lain merupakan putra Hafez Assad, ke tampuk
kekuasaan eksekutif di Suriah. Di bawah Bashar, perekonomian Suriah
mengalami sedikit perubahan dengan mengadopsi sebagian sistem ekonomi
pasar. Sementara pada masa pemerintahan Hafez Assad, Suriah menganut
perekonomian etatis-sentralistis.
Meski begitu rezim Assad junior tetap tidak menyerahkan sepenuhnya
kendali ekonomi Suriah kepada mekanisme pasar. Bisa dikatakan,
perekonomian Suriah pada masa Assad serupa dengan sistem ekonomi yang
diterapkan di China pasca modernisasi ala Deng Xiao Ping. Hal ini juga
dibarengi dengan meningkatnya hubungan Suriah dengan China, ketika
Suriah bersama dengan Iran dan Sudan berperan sebagai salah satu pemasok
minyak mentah utama bagi China dari Timur Tengah. Suriah juga menjadi
salah satu pasar utama produk China di Timur Tengah.
Menariknya, dalam sistem ekonomi Suriah yang terbuka pada masa kini,
pemerintahan Bashar Assad tetap memberikan prioritas kepada investor
swasta domestik dibandingkan dengan modal asing. Pada tahun 2005, nilai
investasi di Suriah mencapai 7 miliar dollar AS. Dari total nilai
investasi tersebut, 70 persennya berasal dari investor lokal. Sedangkan
24 persen berasal dari negara-negara Arab dan hanya 6 persen yang
berasal dari negara non-Arab seperti Rusia, China dan Eropa. Hal ini
menunjukkan bahwa Suriah dibawah kepemimpinan Bashar Assad tidaklah
memiliki ketergantungan ekonomi pada asing, meskipun telah mengubah
haluannya dari sentralistik menjadi perekonomian terbuka.
Sistem ekonomi ‘campuran’ ini membawa Suriah pada pertumbuhan ekonomi
yang meningkat secara gradual. Selama tahun 2006, pertumbuhan ekonomi
Suriah mencapai 5 persen dan meningkat di tahun 2007 menjadi 5,2 persen
dengan pendapatan per kapita 1.570 dollar AS (sekitar Rp 14,4 juta)
pertahun. Inflasi di negara bekas koloni Inggris dan Perancis itu hanya
11 persen dengan angka pengangguran 9 persen. Sekali lagi, hal ini bisa
dicapai oleh pemerintahan Bashar Assad tanpa bergantung pada modal
asing.
Tata kelola sumber daya alam utama Suriah, yakni minyak bumi, juga
memberikan kontribusi positif bagi pereknomian Suriah. Peran sentral
negara pada sektor hulu industri minyak bumi yang per harinya bisa
memproduksi 400.000 barrel membuat dengki negara-negara lain yang belum
memperoleh ‘kue’ dalam kuantitas signifikan dari pendapatan minyak
Suriah. Negara-negara yang dengki itu tiada lain ialah AS beserta
sekutu-sekutu Eropanya.
Rezim Bashar Assad juga mencatat prestasi lainnya, yakni penghapusan
dan pemotongan hutang luar negeri Suriah pada negara-negara Eropa Timur
yang muncul sejak era awal berkuasanya partai Baath melalui program
penjadwalan kembali pembayaran hutang Suriah yang dimulai pada tahun
2004. Dalam program itu, Polandia menyetujui pembayaran hutang Suriah
sebesar 2,7 juta dollar AS dari total 261,7 juta dollar AS. Lalu, Rusia
bahkan telah membebaskan 75 persen hutang Suriah yang total nilainya 13
miliar dollar AS. Sama dengan Rusia, Republik Ceko dan Slovakia juga
berkenan memotong hutang Suriah yang semula 1,6 miliar dollar AS menjadi
150 juta dollar AS.
Pertumbuhan ekonomi Suriah tanpa menyertakan modal Barat, khususnya
AS, dalam jumlah signifikan itu mengundang respon pihak Barat. Dengan
‘bungkus’ tuduhan AS atas keterlibatan Suriah dalam pembunuhan mantan PM
Lebanon Hariri di awal 2005, sanksi embargo terhadap Suriah pun
dijatuhkan AS melalui Syria Account-ability Act. Pemerintah
Suriah pun merespon kebijakan AS itu dengan mengubah seluruh transaksi
dalam dan luar negeri Suriah dari mata uang dollar AS menjadi Euro pada
awal tahun 2006. Hal ini memicu kebencian yang lebih mendalam dari AS
terhadap Suriah. Ditambah lagi dengan dukungan yang tiada henti dari
Suriah kepada kelompok Hizbullah saat Israel mengagresi Lebanon guna
menghancurkan gerilyawan Syiah tersebut pada pertengahan 2006.
Skenario Imperialis
Disisi lain, kondisi geografis Suriah yang strategis bagi Israel
selaku kawan setia AS di Timur Tengah juga menjadi penyebab lainnya dari
diincarnya Suriah oleh imperialis Israel dan Barat. Untuk diketahui,
Israel adalah negara yang kekurangan suplai air. Israel pernah
menghadapi musim kering dahsyat di tahun 1990-1991. Bencana kekeringan
berulang kembali pada tahun 1998. Hal ini membuat Israel bekerjasama
dengan Turki, negara Timur Tengah yang kaya air di tahun 2000. Melalui
kerja sama itu, Israel mengimpor 50 milyar m3 air tawar dari Turki
menggunakan kapal tanker.
Hal itu tentu membutuhkan biaya distribusi yang mahal. Maka,
dibutuhkan jalur darat atau pipanisasi untuk membuat pengangkutan air
tersebut lebih efisien. Namun, jalur darat dari Turki ke Israel harus
melalui beberapa negara, salah satunya adalah negara yang anti Israel,
yakni Suriah. Maka, Israel harus mengerahkan segala upaya demi menjaga
keamanan jalur distribusi air yang sangat dibutuhkannya. Disinyalir,
gempuran Israel terhadap Lebanon dan Hizbullah di tahun 2006, juga
merupakan bagian dari pengamanan jalur distribusi air itu yang juga akan
melintasi teritori Lebanon. Meskipun upaya Israel menghabisi Hizbullah
menemui kegagalan. Kini, giliran Suriah yang sedang dikacaukan oleh
Israel dan sekutunya melalui de—stabilisasi berkedok “demokratisasi Arab Spring”.
Lalu, apa bukti bahwa pergolakan “Revolusi Suriah” kini merupakan
skenario imperialis Barat dan Israel untuk menguasai Suriah melalui
penggulingan Bashar Assad?
Fakta sejarah dan posisi geo-politik Suriah yang sudah diuraikan
sebelumnya bisa menjawab sebagian pertanyaan itu. Bila belum memuaskan,
ada baiknya bila kita menelaah fakta keterkaitan antara pihak
Barat-Israel dengan kalangan oposisi Suriah.
Di tahun 2006, jauh sebelum ‘virus’ Arab Spring menular ke Suriah, Time Magazine
mengemukakan laporan mengenai keterlibatan AS dalam proses agitasi
dan pendanaan guna mendukung kaum oposisi di Suriah. Menurut laporan
itu, AS mendukung berbagai konsolidasi aktivis oposisi Suriah, baik di
dalam negeri maupun di Eropa.
Masih menurut laporan itu, bantuan AS terhadap oposisi itu dilakukan
melalui instrumen yayasan yang dipimpin Amar Abdulhamid, seorang
anggota organisasi oposisi Suriah, Front Keselamatan Nasional (NSF) yang
berbasis di New York.
Sokongan AS terhadap kelompok anti Assad juga tampak ketika di tahun
2009 TV Baradaa yang didanai AS dan berbasis di London mempublikasikan
propaganda-propaganda anti Assad di Suriah. Pemimpin Redaksi stasiun TV
itu, Malik al-Abdeh, adalah pendiri Gerakan Keadilan dan Pembangunan
untuk warga Suriah yang merupakan organisasi oposisi Suriah di
pengasingan.
Sementara, pasca gejolak Suriah di 2011, AS telah mengucurkan dana
‘hibah kemanusiaan’ sebesar US$ 130 juta kepada kalangan sipil Suriah
melalui Friends of Syria, yang merupakan organ konsolidasi
oposisi Suriah dan pihak Barat. Namun, anehnya, ‘dana kemanusiaan’ itu
hanya diberikan bagi pihak sipil oposisi yang menurut AS ‘ditindas’
oleh rezim Assad. Sementara AS tutup mata dengan adanya korban-korban
kekejian pihak pemberontak Suriah. Kini kalangan Syiah dan Kristen
sedang menjadi sasaran pembantaian oleh gerombolan Front Al-Nushra
yang berafiliasi dengan teroris Al-Qaeda karena mereka dianggap
pendukung rezim Bashar Assad. Pemerintahan Assad selama ini memnang
dikenal mengayomi kaum minoritas agama di Suriah.
Salah satu bukti kekejaman gerombolan teroris oposisi itu adalah
pemenggalan kepala dua warga Kristen Suriah di kota Homs baru-baru
ini. Luar biasanya lagi, aksi itu mereka filmkan dan kemudian
diupload ke website berikut ini :
Sementara itu, disamping Rusia, Iran dan China, negara-negara
progresif di Amerika Latin seperti Venezuela, Kuba dan Bolivia sudah
menegaskan dukungannya bagi pemerintahan Bashar Assad. Mendiang
pemimpin Venezuela Hugo Chavez secara tegas menyatakan dukungan bagi
Assad . “Bagaimana mungkin aku tidak mendukung Assad, sementara ia
adalah Presiden Suriah yang sah?” ujar sang commandante. Begitupun
Presiden Bolivia Evo Morales yang mengatakan AS telah membiayai para
teroris untuk menjatuhkan pemerintahan Bashar Assad yang sah.
Sedangkan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), justru
secara eksplisit menghimbau Presiden Bashar Assad untuk mundur demi
‘tercapainya perdamaian dan demokrasi di Suriah’. Sebuah himbauan
yang kembali menegaskan loyalitas SBY pada sang majikan, kaum
imperialis Barat.
Begitulah yang terjadi di Suriah kini. Sebuah skenario imperialis
Barat yang juga mengandalkan para gerombolan teroris fanatik untuk
menggulingkan pemerintahan Bashar Assad. Seperti halnya kampanye
negatif pihak Barat terhadap pemerintahan-pemerintahan progresif yang
independen lainnya, ‘serangan’ mereka terhadap Assad juga menggunakan
metode kombinasi asimetris (gerakan massa) dengan pemberontakan
bersenjata. Jadi, terlalu absurd bila kita terhanyut oleh informasi
yang dikabarkan sebagian pihak dan media mainstream, bahwasanya konflik Suriah merupakan “perjuangan rakyat melawan kediktatoran”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar