Survei Membuktikan… Hasil Survei Bisa Menyesatkan
http://budisansblog.blogspot.com/2011/06/survei-membuktikan-hasil-survei-bisa.html
Muhammad Qodari Direktur Eksekutif Indo Barometer |
Beberapa
waktu lalu Indo Barometer mengumumkan hasil surveinya yang dilaksanakan
dalam rangka evaluasi 13 tahun reformasi dan 18 bulan pemerintahan
SBY-Boediono. Kegiatan survei tersebut dilaksanakan mulai 25 April
hingga 4 Mei 2011 di 33 provinsi di seluruh Indonesia dan melibatkan
1200 responden. Salah satu hasil survei yang sangat menarik, dan
karenanya mengundang banyak tanggapan, adalah yang menyatakan bahwa
kondisi saat Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto lebih baik (40,9%)
daripada kondisi saat ini di masa reformasi (22,8%) dan kondisi saat
Orde Lama di bawah pemerintahan Soekarno (3,3%).
Hasil
survei lainnya yang juga menarik adalah mengenai presiden yang paling
disukai publik dan presiden yang paling berhasil menurut publik. Hasil
survei tersebut memperlihatkan bahwa Soeharto merupakan presiden yang
paling disukai publik (36,5%), disusul oleh SBY (20,9), Soekarno (9,8%),
Megawati (9,2%), Habibie (4,4%), dan Gus Dur (4,3%). Selain itu,
Soeharto juga dinilai oleh publik sebagai presiden yang paling berhasil
(40,5%), kemudian disusul oleh SBY (21,9%), Soekarno (8,9%), Megawati
(6,9), Habibie (2,0%), dan Gus Dur (1,8%).
Mereka
yang tidak setuju dengan hasil survei tersebut, dan menganggap hasil
survei tersebut bisa menyesatkan, sebagian besar mengkritik kelemahan
metodologi survei yang tidak membatasi responden yang berusia di atas 50
tahun yang mengalami secara langsung periode Orde Baru dan juga Orde
Lama. Bagaimana mungkin responden ditanya tentang kondisi Orde Lama atau
Orde Baru kalau mereka sama sekali tidak pernah mengalaminya atau hanya
mengalami sebentar saja? Sebagian dari mereka bahkan secara sinis
menuduhnya sebagai survei politik pesanan yang biasanya baru tumbuh
menjamur menjelang saat pemilu. Apalagi tuduhan tersebut beberapa waktu
lalu juga dikuatkan oleh Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang
pada saat berpidato di Sumatera Utara dalam rangka peringatan Hari
Kebangkitan Nasional menjadikan hasil survei tersebut sebagai jualan
politik Partai Golkar.
Tulisan
ini dirmaksudkan untuk meyakinkan pembaca bahwa hasil survei Indo
Barometer tersebut bisa menyesatkan kita. Apalagi kalau kita tidak
pernah melihat sendiri data hasil survei tersebut. Atau kalau kita
telah melihatnya tetapi kita tidak mempunyai kemampuan yang memadai
untuk membaca dan menafsirkan hasil survei tersebut dengan baik. Data
hasil survei selengkapnya dapat dilihat pada www.indobarometer.com.
Salah
satu hal yang menarik dari hasil survei tersebut adalah banyaknya
responden yang menjawab tidak tahu atau tidak menjawab pertanyaan yang
diajukan. Sebagai contoh, pada bagian survei yang menanyakan tentang Orde yang lebih baik di antara pilihan Orde Lama, Orde Baru, atau Orde Reformasi, terdapat 22,1% responden yang menjawab Tidak Tahu/Tidak Menjawab. Bahkan pada bagian survei yang menanyakan tentang apa yang dimaksud reformasi dan sejak kapan reformasi dimulai, jumlah responden yang menjawab Tidak Tahu/Tidak Menjawab masing-masing secara berturut-turut adalah 29,6% dan 47,8%.
Paling
tidak terdapat dua kemungkinan mengapa responden menjawab demikian.
Pertama, responden tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang
substansi dari pertanyaan yang diajukan. Kedua, responden menganggap
pertanyaan yang diajukan membingungkan sehingga mereka lebih suka
memilih Tidak Tahu/Tidak Menjawab. Tetapi apapun alasan responden, yang
jelas dalam konteks survei ini, semakin banyak mereka yang menjawab
Tidak Tahu/Tidak menjawab atas pertanyaan yang diajukan maka akan
semakin berkurang nilai manfaat dari survei tersebut.
Yang
kita khawatirkan jika responden yang tidak tahu substansi dari
pertanyaan, atau pertanyaan yang diajukan dianggap membingungkan, tapi
memaksakan diri untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dan itulah sebabnya
mengapa banyak orang mengkritik Indo Barometer karena telah membiarkan
responden berusia muda yang tidak mengalami Orde Lama dan hanya sebentar
mengalami Orde Baru turut serta menyampaikan pendapatnya tentang
kondisi kedua Orde tersebut. Sebenarnya tidak ada masalah, bahkan ada
baiknya untuk keperluan analisis, responden berusia muda juga diminta
menyampaikan pendapatnya tentang hal yang tidak mereka alami. Yang
menurut saya sangat aneh dalam hal ini adalah Indo Barometer ternyata
tidak menyajikan data pilihan Orde berdasarkan Usia. Padahal mereka
bisa menyajikan data berdasarkan jenis kelamin, pendidikan, pendapatan,
dan lain-lainnya. Dan saya kira lebih aneh lagi kalau Indo Barometer
ternyata lupa tidak meminta responden untuk mengisi data usia.
Ada lagi hal lain yang menarik dari survei tersebut, yakni terkait dengan pertanyaan tentang kondisi Indonesia saat ini dibandingkan dengan kondisi 13 tahun lalu, di tahun 1998.
Menurut survei, responden yang menjawab Jauh Lebih Baik 2,1%, Lebih
Baik 28,9%, Sama Saja 27,2%, Lebih Buruk 24,8%, Jauh Lebih Buruk 3,4%,
dan Tidak Tahu/Tidak Menjawab 13,6%. Berdasarkan data tersebut, dengan
asumsi bahwa pendapat yang menyatakan Sama Saja tidak diperhitungkan,
dapat disimpulkan bahwa menurut publik kondisi saat ini masih lebih baik
(31%) dibandingkan dengan kondisi 13 tahun lalu (28,2%).
Namun
sebenarnya selisih angka yang hanya terpaut tipis tersebut, termasuk
pendapat yang menyatakan Sama Saja (27,2%), masih bisa diuji sejauhmana
kebenarannya. Mereka yang mengalami sepenuhnya masa Orde Baru tentu tahu
persis bahwa tahun 1998 adalah titik nadir terendah bagi pemerintahan
Soeharto dimana kejayaan ekonomi yang telah menjadikan Indonesia sebagai
salah satu macan Asia tiba-tiba seperti istana pasir di pantai yang
hanyut tersapu oleh gelombang ombak yang datang dari tengah lautan.
Sejarah telah mencatat bahwa pada tahun 1998 Indonesia telah mengalami
krisis ekonomi yang sangat parah dimana pertumbuhan ekonomi mengalami
kontraksi sangat tajam hingga -13% dan nilai mata uang rupiah turun
drastis dari Rp 2.700 pada bulan Juni 1997 menjadi Rp 14.000 pada awal
1998. Pada saat itu kita juga menyaksian antrian panjang sembako dan
kerusuhan sosial terjadi di berbagai daerah.
Lalu,
bagaimana mungkin kondisi saat ini dinyatakan dalam survei tersebut
sebagai tidak jauh berbeda dari kondisi pada tahun 1998? Bahkan ada
sebagian responden yang mengatakan kondisi saat ini jauh lebih buruk
dari kondisi pada tahun 1998.
Saya
kira penjelasan yang dapat diterima oleh akal sehat kita adalah karena
hasil survei tersebut bukanlah kebenaran fakta di lapangan melainkan
persepsi kelompok masyarakat yang disurvei. Persepsi publik bisa saja
keliru, tidak sesuai dengan fakta atau kejadian sebenarnya. Sebagian
besar pro-kontra mengenai hasil survei terjadi karena kita
mencampuradukkan antara fakta atau kondisi obyektif di lapangan dengan
persepsi publik.
Di
satu sisi, berbagai kegiatan survei memang seringkali menghasilkan
temuan-temuan menarik yang bermanfaat bagi kehidupan kita. Tetapi di
sisi lain kita juga sering menemukan survei-survei yang hasilnya
membingungkan dan bahkan dapat menyesatkan kita. Secara empiris kita
bisa dengan mudah menemukan survei-survei politik menjelang pemilu yang
bertujuan untuk mempengaruhi persepsi publik. Kita juga menyaksikan
hasil survei yang membingungkan pada tahun lalu, karena hasilnya saling
bertolak-belakang, ketika terjadi polemik RUU Keistimewaan Yogyakarta.
Dan
sekarangpun saya dapat mempengaruhi persepsi publik (menyesatkan
pembaca) jika berdasarkan hasil survei Indo Barometer tersebut saya
simpulkan bahwa “Pendapat yang menyatakan bahwa kondisi Indonesia saat
ini (2011) lebih baik dibandingkan dengan kondisi 13 tahun lalu (1998)
ternyata hanya minoritas (31%). Mayoritas publik (69%) tidak setuju
bahwa kondisi saat ini lebih baik dari kondisi 13 tahun lalu.”
Ekonomi Politik AS
|
KALI pertama dalam 17 tahun terakhir, pemerintah AS menghentikan
(shutdown) sebagian layanan umum
karena tidak disetujuinya APBN untuk tahun fiskal berikutnya. Penyebabnya
perbedaan pendapat antara Partai Demokrat yang menguasai DPR dan Partai
Republik yang menguasai Senat.
Perbedaan itu menyangkut program atau skema asuransi
kesehatan Obama (Obamacare). Partai
Republik menuntut penghapusan program itu karena memperbesar defisit APBN,
sementara Partai Demokrat menolak (SM,
2/10/13). Intervensi atau pengaruh keputusan politik terhadap ekonomi atau
istilah populernya ekonomi politik di AS memang dikuasai dua partai besar,
yaitu Republik dan Demokrat.
Keputusan politik yang memengaruhi ekonomi tidak akan
menjadi masalah jika yang menguasai DPR dan Kongres adalah partai yang sama.
Perbedaan dominasi pada dua lembaga tinggi negara itu terjadi karena memang
filosofi, dan secara otomatis melahirkan program kerja yang berbeda.
Pasar Vs
Pemerintah
Filosofi Partai Republik adalah promekanisme pasar dan
meminimalkan peran pemerintah. Peran pemerintah yang terlalu besar justru
menghambat perekonomian karena birokrasi terlalu rumit DAN menciptakan ekonomi
biaya tinggi (resmi lewat proses panjang dan berbagai pungutan pemerintah) dan
atau tidak resmi lewat korupsi.
Filosofi itu direalisasikan dalam program kerja yang propasar
dan pengusaha, serta meminimalkan peran pemerintah. Contoh adalah pemotongan
pajak. Logikanya dengan pemotongan pajak maka dunia usaha dan pasar bergairah.
Bila dunia usaha bergairah maka tercipta kesempatan kerja besar sehingga
ekonomi bergerak cepat.
Contoh program lain, pemotongan berbagai subsidi kepada
masyarakat, misal berbagai program asuransi seperti asuransi kesehatan yang
diinisiasi Obama yang kemudian jadi masalah. Partai Republik berpendapat
subsisi akan memboroskan APBN dan menciptakan distorsi kepada pasar sehingga
kinerja ekonomi yang tercipta pun semu atau tidak sesuai kenyataan.
Para pemikir dari Partai Republik adalah ekonom dari
Universitas Chicago. Mereka memang propasar sebagai pengatur (regulator)
ekonomi terbaik. Mereka beraliran ekonomi klasik dikomandani ”Nabi” Ilmu
Ekonomi, Adam Smith.
Konon bila mahasiswa fakultas ekonomi (S-1, S-2, dan S-3)
ingin cepat lulus maka karya tulis (skripsi, tesis, dan disertasi) haruslah
menyimpulkan bahwa pasar lebih baik daripada peran pemerintah. Jika tidak,
”sampai mati” pun skripsi, tesis, atau disertasi itu tidak bakal disetujui dan
diluluskan.
Di sisi lain, filosofi Partai Demokrat adalah pemerintah
perlu campur tangan secara aktif mengatur perekonomian karena pasar terbukti
gagal mengatasi berbagai masalah seperti inflasi, pengangguran, kemiskinan,
defisit neraca pembayaran internasional, dan lain-lain. Jika diserahkan hanya
kepada pasar maka berbagai masalah perekonomian itu tidak bisa terselesaikan.
Filosofi itu dijabarkan dalam program kerja semisal subsidi untuk penganggur
dan orang miskin. Salah satu bentuknya adalah asuransi kesehatan yang saat ini
jadi masalah. Untuk membiayai subsidi itu maka sumber dana utama berasal dari
pajak. Jadi, program kerja lain dari Demokrat adalah meningkatkan pajak yang
tentu saja berlawanan dengan program Republik.
Para pemikir dari Partai Demokrat adalah ekonom dari
Universitas Harvard. Mereka memang terkenal procampur tangan pemerintah yang
aktif dalam perekonomian. Pandangan ini lahir dari pemikiran ekonom Inggris,
John Maynard Keynes. Pemikiran Keynes tentang perlunya campur tangan pemerintah
secara aktif dalam perekonomian karena terjadi depresi besar ekonomi tahun
1933.
Pada saat depresi besar ekonomi, mekanisme pasar ternyata
tak bisa mengatasi. Di sisi lain, Keynes menuduh depresi besar tersebut
disebabkan oleh pembiaran perekonomian dipimpin oleh pasar tanpa campur tangan
aktif pemerintah. Maka juga konon kabarnya, mahasiswa (S-1, S-2, dan S-3) dalam
skripsi, tesis, dan disertasi harus menyimpulkan peran pemerintah yang aktif
dalam perekonomian selalu lebih baik ketimbang membiarkan perekonomian
dibimbing mekanisme pasar. Jika skripsi, tesis, dan disertasi berlawanan dengan
kesimpulan bahwa peran pemerintah yang aktif dalam perekonomian maka tak bakal
disetujui dan diluluskan.
Tak Beda Jauh
Bagaimana ekonomi politik di Indonesia? Partai-partai di
Indonesia tampaknya memilih untuk tidak berbeda jauh dalam hal filosofi dan
program kerja. Mungkin karena mereka tidak mau berspekulasi kehilangan pemilih
karena program kerja yang berbeda terlalu jauh. Hal itu juga didukung tiadanya
aliran pemikiran yang berbeda secara mencolok di universitas-universitas
terkemuka di Indonesia.
Jadi partai apa pun yang berkuasa tidak akan menimbulkan
masalah karena program kerja relatif saja. Memang bisa timbul masalah bila
antara partai pengusung kepala pemerintahan (presiden, gubernur, bupati/wali
kota) dan yang menguasai parlemen (DPR dan DPRD), berbeda.
Konflik bisa terjadi pada pengesahan anggaran (APBN atau
APBD) dan pada penilaian laporan pertanggungjawaban kepala pemerintahan. Tetapi
konflik itu pun bukan karena perbedaan filosofi dan program kerja melainkan
karena ”semangat’’ asal beda dan saling menjegal. Bisa saja ujung-ujungnya
tercapai kompromi kendati dengan penyuapan kepada anggota parlemen. ●
TERNYATA GEORGE "DUBYA" BUSH SELINGKUH ??....
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/10/ternyata-george-dubya-bush-selingkuh.html#more
Akhirnya penjahat perang George "Dubya" Bush pun meminta maaf. Namun
bukan atas kejahatannya yang mengakibatkan jutaan rakyat Irak tewas dan
terluka, melainkan atas perselingkuhannya dengan mantan menlunya,
Condoleeza "ACDC" Rice. (Awalnya saya menyangka Rice adalah lesbian,
sebagaimana pejabat-pejabat wanita lajang Amerika dan Eropa lainnya).
Permintaan ma'af atas perselingkuhan tersebut diungkapkan oleh majalah Globe dalam laporan utamanya baru-baru ini berjudul "Forgive Me!". Menurut Globe, beberapa menit sebelum menjalani operasi jantung, Bush meminta ma'af kepada istrinya, Laura, atas perselingkuhannya dengan Condoleezza Rice saat keduanya masih menjadi pejabat tinggi Amerika.
“Drama itu terbongkar setelah Bush, 67 tahun, didiagnosa menderita penyumbatan pembuluh darah arteri di jantung yang mematikan dan dokter meminta segera dilakukan operasi untuk menghilangkan sumbatan," tulis reporter Globe Leon Wagener.
Bush menjalani operasi tgl 6 Agustus lalu di Texas Health Presbyterian Hospital di Dallas. "Dan kini ia memohon kepada Laura untuk memaafkannya dan melupakan masa lalu dan membawanya kembali ke kehidupan rumah tangga," tulis Wagener.
Menurut Globe dalam laporan yang disebutnya sebagai “world exclusive breaking news” itu, penyakit Bush yang mengganggu kesadaran itu tidak membuatnya meminta ma'af atas tindakan serangan terhadap Irak yang telah menewaskan dan melukai jutaan rakyat Irak itu. Ia juga tidak meminta ma'af atas triliunan dolar yang dihabiskan pemerintahannya untuk membiayai perang Irak dan Afghanistan, yang berujung pada kebangkrutan pemerintahan Amerika saat ini dan jutaan penduduk Amerika berubah status dari kelas menengah menjadi gelandangan akibat kebijakan bailout-nya kepada perbankan Amerika.
Dan George "Dubya" Bush lah yang memulai kebiasaan pemerintahan Amerika melakukan serangan militer terhadap negara lain tanpa persetujuan DPR dan pernyataan perang secara terbuka.
Mengapa Bush meminta ma'af pada istrinya karena selingkuh, namun tidak meminta ma'af pada jutaan rakyat Amerika, Irak, Afghanistan serta rakyat negara-negara lainnya yang menderita akibat tindakannya? Tidak lain karena ia hanya bisa memikirkan diri sendiri.
Permintaan ma'af atas perselingkuhan tersebut diungkapkan oleh majalah Globe dalam laporan utamanya baru-baru ini berjudul "Forgive Me!". Menurut Globe, beberapa menit sebelum menjalani operasi jantung, Bush meminta ma'af kepada istrinya, Laura, atas perselingkuhannya dengan Condoleezza Rice saat keduanya masih menjadi pejabat tinggi Amerika.
“Drama itu terbongkar setelah Bush, 67 tahun, didiagnosa menderita penyumbatan pembuluh darah arteri di jantung yang mematikan dan dokter meminta segera dilakukan operasi untuk menghilangkan sumbatan," tulis reporter Globe Leon Wagener.
Bush menjalani operasi tgl 6 Agustus lalu di Texas Health Presbyterian Hospital di Dallas. "Dan kini ia memohon kepada Laura untuk memaafkannya dan melupakan masa lalu dan membawanya kembali ke kehidupan rumah tangga," tulis Wagener.
Menurut Globe dalam laporan yang disebutnya sebagai “world exclusive breaking news” itu, penyakit Bush yang mengganggu kesadaran itu tidak membuatnya meminta ma'af atas tindakan serangan terhadap Irak yang telah menewaskan dan melukai jutaan rakyat Irak itu. Ia juga tidak meminta ma'af atas triliunan dolar yang dihabiskan pemerintahannya untuk membiayai perang Irak dan Afghanistan, yang berujung pada kebangkrutan pemerintahan Amerika saat ini dan jutaan penduduk Amerika berubah status dari kelas menengah menjadi gelandangan akibat kebijakan bailout-nya kepada perbankan Amerika.
Dan George "Dubya" Bush lah yang memulai kebiasaan pemerintahan Amerika melakukan serangan militer terhadap negara lain tanpa persetujuan DPR dan pernyataan perang secara terbuka.
Mengapa Bush meminta ma'af pada istrinya karena selingkuh, namun tidak meminta ma'af pada jutaan rakyat Amerika, Irak, Afghanistan serta rakyat negara-negara lainnya yang menderita akibat tindakannya? Tidak lain karena ia hanya bisa memikirkan diri sendiri.
Anatomi Korupsi Pilar-Pilar Trias Politica
|
TERUNGKAPNYA korupsi di lingkungan Mahkamah Konstitusi (MK)
yang langsung melibatkan Ketua MK, Akil Mochtar, kini memastikan bahwa
pilar-pilar trias politika di negeri ini telah terjerat gurita korupsi politik.
Terbongkarnya megaskandal korupsi politik di MK melalui operasi tangkap tangan
(OTT) yang dilakukan aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah
mengguncang negeri ini. Ibarat sebuah bom yang meledak dan meluluhlantakkan
integritas dan akuntabilitas sang penjaga konstitusi. Kini, sang ‘penjaga
konstitusi’ yang rapuh tersebut tak mungkin lagi berwibawa untuk dinisbahkan
sebagai satu-satunya penafsir konstitusi (the
sole interpreter of the constitusion), karena terjerat kasus kick back
dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) Kabupaten Gunung Mas,
Kalimantan Tengah, dan pemilu kada Lebak, Banten.
Dengan
rusaknya integritas di hampir seluruh pilar-pilar trias politika di negeri ini
sebagai dampak dari berbagai jerat gurita korupsi politik, interaksi dinamis di
antara ketiga pilar trias politika di negeri ini telah menjadi sebuah checks and balances yang palsu dan
destruktif. Kasus korupsi yang menjerat Ketua MK seharusnya menjadi sebuah
pelajaran yang berharga untuk segera menginternalisasikan integritas dalam
sistem checks and balances di negeri
ini.
Robert
Klitgaard (1988) pernah mengingatkan bahwa perilaku haram (illicit behaviour) berkembang saat pelaku memiliki kekuatan
monopoli atas klien, ketika pelaku memiliki diskresi yang tidak terbatas, dan
ketika akuntabilitas pelaku kepada pimpinan lemah. Hal tersebut memiliki
persamaan: korupsi sama dengan monopoli ditambah diskresi, minus akuntabilitas.
Kondisi tersebut nyaris seperti yang terjadi di negeri ini sekarang. Tengoklah,
dengan pembenaran adanya independensi kekuasaan yudikatif yang minim integritas
dan akuntabilitas, pilar-pilar kuasa yudikatif di negeri ini sudah beberapa
kali terjerat berbagai modus operandi korupsi yudisial. Yang terbaru adalah korupsi
yudisial yang bersenyawa dengan korupsi politik di lingkungan MK.
Banalitas kejahatan
Di lingkungan legislatif, nyaris
seluruh fraksi yang bernaung di dalamnya tak satu pun yang bebas dari jerat kasus-kasus
korupsi politik. Dari kasus Century, Hambalang, korupsi dana DPID/DPPID hingga
korupsi di lingkungan MK yang menjerat ketua MK dan anggota DPR-RI, dan
beberapa tersangka lain terkait dengan kasus bribery dan kick back dalam pemilu
kada di Gunung Mas dan Lebak.
Di
lingkungan eksekutif, berbagai kasus korupsi pun telah menjerat beberapa
kementerian, mulai Hambalang di Kemenpora, suap SKK Migas di lingkungan
Kementerian ESDM, dugaan korupsi proyek e-KTP di lingkungan Kemendagri, dan
lain-lain.
Negara
telah menjadi ruang leluasa terjadinya banalitas kejahatan (banality of evil) dan menjadikan banyak
kasus korupsi politik. Sejatinya hal tersebut merupakan pengkhianatan terhadap
rakyat yang telah mempercayakan nasibnya kepada negara lewat pajak dan
retribusi yang dibayarkannya kepada negara dalam APBN. Fenomena penangkapan
Ketua MK Akil Mochtar menggambarkan, apa yang disebut oleh Whitehead, mengenai
kejahatan yang dilukiskan sebagai terjadinya ‘proses distorsi dan degradasi
intensitas’. Menurut Quiney (1970) kejahatan adalah sua tu ketentuan mengenai
perilaku manusia yang diciptakan golongan berkuasa dalam masyarakat yang secara
otomatis terorganisasi.
Peristiwa
penangkapan sang Ketua MK yang dalam khazanah teori konstitusi,
disimbolisasikan sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) tersebut, melukiskan dua hal
sekaligus. Pertama, dalam konteks kedudukan MK sebagai institusi satu-satunya
yang dinisbahkan berwenang menafsirkan konstitusi (the sole interpreter of the constitution) dan putusannya bersifat final
dan mengikat merupakan sebuah delegitimasi secara masif yang justru berasal
dari dalam institusi itu sendiri dan pembusukan organisasi (organizational decay). Kedua, dalam
konteks kasus yang diungkap menyangkut jaringan korupsi politik di lingkaran
politik pemilu kada telah mengonfi rmasikan adanya lingkaran setan korupsi
politik pemilu kada (vicious circle of
local politics), dan menyebabkan terjadinya distorsi dalam sistem demokrasi
yang diintegrasikan dalam habitus koruptif.
Apa
yang diutarakan oleh Klitgaard di atas menggambarkan bahwa ada tiga aspek
penting untuk memahami anatomi atau kerangka dasar mengapa korupsi bisa
terjadi, yakni adanya monopoli kekuasaan, adanya kewenangan atau diskresi yang
tidak terbatas, dan tidak adanya proses pertanggungjawaban yang jelas. Hal itu
menggambarkan anatomi atau kerangka dasar korupsi. Korupsi sesungguhnya
merupakan masalah sistemis, bukan sekadar masalah moralitas seperti yang
menjadi anggapan kebanyakan orang.
Masyarakat dikunci
Adalah
mustahil korupsi mendapatkan pintu masuk tanpa adanya praktik monopoli
kekuasaan yang disertai dengan kewenangan yang tidak terbatas. Jalan tersebut
semakin lapang ketika upaya transparansi dan akuntabilitas tidak diindahkan.
Akibatnya, partisipasi setiap warga masyarakat pun menjadi tak berdaya dalam
mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Masyarakat pada akhirnya
dikunci dalam kebudayaan bisu (culture
silent), yang tak mampu berbuat apaapa, meski penyelewengan terjadi di
mana-mana.
Pilar-pilar
kekuasaan negara pascaamendemen konstitusi telah tumbuh dan berkembang menjadi
sebuah kuasa yang kukuh secara normatif konstitusional, kian tercerabut dari
proses-proses partisipasi publik, kian minim integritas, dan akuntabilitas.
Kebanyakan pengambilan keputusan di lingkungan pilar-pilar trias politika di
negeri ini semakin tertutup dan imun dari partisipasi publik semakin dikunci
logika teknokratik dan proseduralisme yang mengamputasi demokrasi.
Diperlukan
reformasi institusional secara fundamental terhadap bekerjanya interaksi di
antara pilarpilar trias politika sambil menginternalisasikan integritas dan
akuntabilitas. Hal itu sangat diperlukan mengingat pilar-pilar trias politika
adalah anak kandung dari sistem negara hukum (rechtsstaat) yang bermuara pada upaya untuk memberikan jaminan bagi
terwujudnya kesejahteraan rakyat (bonnum
commune). Mengingkari tujuan tersebut tak ubahnya dengan mengkhianati
konstitusi yang tak lain merupakan sebuah nyanyian kematian bagi sebuah negeri!
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar