Konflik Suriah
Qaradawi Serukan Jihad di Suriah
telegraph.co.uk
REPUBLIKA.CO.ID, DOHA - Ulama Sunni terkenal dan berpengaruh asal
Qatar, Syekh Yusuf al-Qaradawi, menyerukan jihad di Suriah untuk
melawan kelompok militan beraliran Syiah, Hizbullah. Qaradawi tidak bisa
menerima tindakan Hizbullah yang ikut terjun dalam perang saudara di
Suriah dengan membantu pasukan pemerintah.“Setiap Muslim harus dilatih
untuk bertempur dan memiliki kemampuan yang memungkinkannya terjun untuk
mendukung kelompok oposisi Suriah,” ujar Syekh Qaradhawi, seperti
dilansir laman Alarabiya, Sabtu (1/6).
“Iran terus mendukung (rezim Assad) dengan mengirimkan persenjataan dan tentara, jadi mengapa kita diam saja?” tanyanya. Syekh Qaradawi juga menyebut kelompok Hizbullah (yang dalam bahasa Arab berarti partai Allah) sebagai partai setan.
Hizbullah yang selama ini merupakan sekutu dekat rezim Iran dan Suriah, secara terang-terangan mengambil bagian dalam perang di Suriah dengan melawan pasukan oposisi. Sebelumnya, Hizbullah juga bertahun-tahun bertempur melawan Israel, seteru Iran, dan Suriah. “Pemimpin partai setan datang memerangi orang-orang Sunni. Sekarang kita tahu apa yang Iran inginkan. Mereka ingin terus membantai kaum Sunni,” kecam Syekh Qaradawi. “Bagaimana mungkin seratus juta Syiah (di seluruh dunia) mengalahkan 1,7 miliar Sunni? Itu karena Sunni lemah,” katanya melanjutkan.
Syekh Qaradawi merasa menyesal karena sebelumnya mendukung pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah, yang meraih popularitas setelah memimpin kelompok militan ini dalam perang melawan Israel pada 2006. Ia juga menegaskan, perang melawan Hizbullah bukan berarti perang melawan kaum Syiah.
Sementara di Qusair, pasukan Pemerintah Suriah dan gerilyawan Hizbullah masih bahu-membahu bertempur melawan pasukan oposisi. Korban pun terus berjatuhan, termasuk warga sipil. Hal ini membuat Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) prihatin, terlebih masih ada puluhan ribu warga sipil yang terjebak di tengah suasana peperangan di sana.
Seperti dikatakan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, terdapat sekitar 30 ribu warga sipil yang tinggal di itu. Karena itu, ia menyeru kedua pihak yang bertikai untuk memberi kesempatan kepada warga sipil keluar dari kota itu. “Semua mata melihat ke sana dan mereka bertanggung jawab jika terjadi serangan kepada warga sipil di Qusair,” demikian PBB dalam pernyataan tertulisnya.
Pertempuran sengit di Qusair juga menumbuhkan niat di kalangan anggota Dewan Keamanan (DK) PBB untuk menelurkan sebuah deklarasi yang mengecam aksi Pemerintah Suriah di kota itu. Namun, seperti dikatakan seorang diplomat PBB kepada kantor berita AP, Rusia berusaha menghalangi rencana pembuatan deklarasi itu.
Rusia menilai, langkah menelurkan deklarasi tersebut sebagai sesuatu yang tidak adil. Rusia mempertanyakan mengapa DK PBB tidak mengeluarkan deklarasi serupa ketika sebelumnya oposisi menduduki Qusair. Tercatat, Rusia telah tiga kali memveto resolusi PBB yang didukung Barat untuk menekan Presiden Bashar al-Assad.
Sementara, di wilayah Lebanon, hujan roket dan mortir kembali terjadi. Sebanyak 18 roket dan mortir ditembakkan dari wilayah Suriah ke wilayah yang menjadi basis utama Hizbullah di Lebanon. Sebagian besar roket itu menghantam tanah kosong. Hanya satu yang menghantam dan menghancurkan sebuah bangunan, namun tak menimbulkan korban.
Seringnya tembakan roket dan mortir ke Lebanon membuat kondisi negara ini tegang. Alhasil, parlemen Lebanon pun menunda pemilu hingga waktu yang tak ditentukan. Seharusnya, Pemilu Lebanon digelar 17 Juni mendatang. n ichsan emrald alamsyah ed: wachidah handasah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.
“Iran terus mendukung (rezim Assad) dengan mengirimkan persenjataan dan tentara, jadi mengapa kita diam saja?” tanyanya. Syekh Qaradawi juga menyebut kelompok Hizbullah (yang dalam bahasa Arab berarti partai Allah) sebagai partai setan.
Hizbullah yang selama ini merupakan sekutu dekat rezim Iran dan Suriah, secara terang-terangan mengambil bagian dalam perang di Suriah dengan melawan pasukan oposisi. Sebelumnya, Hizbullah juga bertahun-tahun bertempur melawan Israel, seteru Iran, dan Suriah. “Pemimpin partai setan datang memerangi orang-orang Sunni. Sekarang kita tahu apa yang Iran inginkan. Mereka ingin terus membantai kaum Sunni,” kecam Syekh Qaradawi. “Bagaimana mungkin seratus juta Syiah (di seluruh dunia) mengalahkan 1,7 miliar Sunni? Itu karena Sunni lemah,” katanya melanjutkan.
Syekh Qaradawi merasa menyesal karena sebelumnya mendukung pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah, yang meraih popularitas setelah memimpin kelompok militan ini dalam perang melawan Israel pada 2006. Ia juga menegaskan, perang melawan Hizbullah bukan berarti perang melawan kaum Syiah.
Sementara di Qusair, pasukan Pemerintah Suriah dan gerilyawan Hizbullah masih bahu-membahu bertempur melawan pasukan oposisi. Korban pun terus berjatuhan, termasuk warga sipil. Hal ini membuat Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) prihatin, terlebih masih ada puluhan ribu warga sipil yang terjebak di tengah suasana peperangan di sana.
Seperti dikatakan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, terdapat sekitar 30 ribu warga sipil yang tinggal di itu. Karena itu, ia menyeru kedua pihak yang bertikai untuk memberi kesempatan kepada warga sipil keluar dari kota itu. “Semua mata melihat ke sana dan mereka bertanggung jawab jika terjadi serangan kepada warga sipil di Qusair,” demikian PBB dalam pernyataan tertulisnya.
Pertempuran sengit di Qusair juga menumbuhkan niat di kalangan anggota Dewan Keamanan (DK) PBB untuk menelurkan sebuah deklarasi yang mengecam aksi Pemerintah Suriah di kota itu. Namun, seperti dikatakan seorang diplomat PBB kepada kantor berita AP, Rusia berusaha menghalangi rencana pembuatan deklarasi itu.
Rusia menilai, langkah menelurkan deklarasi tersebut sebagai sesuatu yang tidak adil. Rusia mempertanyakan mengapa DK PBB tidak mengeluarkan deklarasi serupa ketika sebelumnya oposisi menduduki Qusair. Tercatat, Rusia telah tiga kali memveto resolusi PBB yang didukung Barat untuk menekan Presiden Bashar al-Assad.
Sementara, di wilayah Lebanon, hujan roket dan mortir kembali terjadi. Sebanyak 18 roket dan mortir ditembakkan dari wilayah Suriah ke wilayah yang menjadi basis utama Hizbullah di Lebanon. Sebagian besar roket itu menghantam tanah kosong. Hanya satu yang menghantam dan menghancurkan sebuah bangunan, namun tak menimbulkan korban.
Seringnya tembakan roket dan mortir ke Lebanon membuat kondisi negara ini tegang. Alhasil, parlemen Lebanon pun menunda pemilu hingga waktu yang tak ditentukan. Seharusnya, Pemilu Lebanon digelar 17 Juni mendatang. n ichsan emrald alamsyah ed: wachidah handasah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.
Redaktur : Zaky Al Hamzah |
Resonansi
Ketika Syekh Qardhawi Akui Kesalahan Fatwanya
Republika/Daan
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/06/10/mo5iod-ketika-syekh-qardhawi-akui-kesalahan-fatwanya
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Syekh Dr Yusuf Qardhawi adalah ulama besar Sunni. Ia merupakan ketua Persatuan Ulama Dunia. Doktor fikih dari Universitas Al Azhar, Kairo, kelahiran 9 September 1926 di desa kecil bernama Shafth di tengah Delta Nil, Mesir, ini telah menulis puluhan buku dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Pandangannya selalu menjadi fatwa dan rujukan umat Islam dunia. Fatwa-fatwanya bukan hanya seputar ibadah dan muamalah, tapi juga mencakup berbagai masalah, dari politik, demonstrasi hingga revolusi rakyat melawan rezim penguasa yang zalim.
Qardhawi bahkan tidak hanya berfatwa, tapi juga ikut aktif dalam kegiatan politik. Itulah sebabnya, ketika pecah revolusi rakyat Mesir untuk menjatuhkan rezim Presiden Husni Mubarak pada awal 2011, ia pun terbang dari Qatar (tempatnya bermukim) ke Kairo. Ia bergabung dengan rakyat Mesir ikut berdemonstrasi. Selain memberi orasi di depan para demonstran, ulama berusia 87 tahun itu juga memimpin shalat Jumat di lapangan Tahrir. “Mubarak harus mundur dari kursi presiden,” katanya dalam khotbah Jumat, ketika itu. Alasannya, rakyat telah mencabut mandatnya kepada sang pemimpin Mesir itu.
Terhadap konflik di Suriah, Qardhawi juga mengeluarkan fatwa mengenai boleh dan tidaknya unjuk rasa melawan rezim penguasa. Menurutnya, menjatuhkan sebuah rezim dibolehkan alias halal manakala ada kezaliman dan penghilangan terhadap hak asasi manusia. Atas dasar itu, Qardhawi yang hafal Alquran pada usia 10 tahun ini memperbolehkan aksi unjuk rasa, bahkan revolusi melawan penguasa yang dianggap zalim, terutama mereka yang menyengsarakan rakyat, seperti rezim Presiden Bashar Assad.
Barangkali, karena fatwanya yang memperbolehkan menjatuhkan rezim Assad itulah Syekh Qardhawi kemudian mengakui kesalahan fatwa sebelumnya yang pernah ia ucapkan. Pada 2006, Qardhawi menyatakan wajib hukumnya mendukung Hizbullah dan pemimpinnya, Syekh Hasan Nasrullah dalam menghadapi serangan Israel ke Lebanon. “Saya pernah membela-selama bertahun-tahun-Hasan Nasrullah yang menamai partainya Partai Allah (Hizbullah), padahal partai itu adalah partai tirani (thoghut) dan partai setan. Mereka membela Bashar Assad,” katanya dalam sebuah pidato di Qatar, beberapa hari lalu.
“Saya (waktu itu) harus berlawanan dengan para ulama dan syekh besar di Arab Saudi untuk membela Hizbullah. Namun, ternyata para syekh (ulama) Saudi lebih dewasa daripada saya. Mereka berpandangan lebih jauh ke depan. Mereka (ulama Saudi) terbukti mengetahui siapa sebenarnya Hizbullah itu,” lanjut Qardhawi mengoreksi fatwanya yang pernah mendukung Hizbullah dan Hasan Nasrullah.
Dalam konflik di Suriah sekarang ini, Hasan Nasrullah secara terang-terangan menyatakan mendukung rezim Bashar Assad yang dinilai Qardhawi sebagai penguasa zalim. Tentara Hizbullah dan Bashar Assad saling membantu merebut Kota Qusair dari tangan para pejuang revolusi Suriah. Qusair adalah kota strategis bagi Assad untuk mempertahankan kekuasaannya. Pasukan Assad menyerang dari udara, sementara tentara Hizbullah dari darat. Puluhan orang tewas dalam pertempuran ini. Sebagian besar adalah para pejuang revolusi Suriah.
Syekh Qardhawi bukan hanya mencabut fatwa dukungannya terhadap Hasan Nasrullah dan Hizbullah, melainkan juga terhadap Iran. Katanya, dalam sebuah pidato di Qatar, “Selama ini dan sudah berlangsung bertahun-tahun saya menyerukan pendekatan antarmazhab (taqrib bainal madzahib). Untuk itu, saya terbang ke Iran saat dipimpin Presiden Mohammad Khatami. Mereka telah menertawakan saya dan banyak orang seperti saya. Mereka sebenarnya berpura-pura ketika menginginkan pendekatan antarmazhab.”
Pengakuan Syekh Qardhawi mengenai kesalahan fatwanya tadi kontan saja menjadi berita besar di berbagai media Arab, baik cetak, online, maupun televisi. Bukan hanya menjadi berita, mereka juga menurunkan berbagai ulasan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Tapi, intinya hanya satu bahwa para ulama dan pemimpin Arab, terutama dari negara-negara Teluk, kini dihantui kekhawatiran mengenai semakin meluasnya pengaruh Syiah di kawasan Timur Tengah. Mereka munuduh Iran ingin menciptakan poros Syiah Teheran-Damaskus-Beirut. Apalagi, Iran selama ini secara terang-terangan juga membela rezim Presiden Bashar Assad.
Menurut pengamat Timur Tengah Abdul Rahman Al-Rasyid, Syekh Qardhawi tidak salah ketika melemparkan keinginannya untuk mendekatkan mazhab-mazhab dalam Islam. Ia juga tidak salah ketika menyerukan perlunya saling bahu-membahu antarpemimpin Muslim. Ide Syekh Qardhawi, lanjut Al-Rasyid, adalah sangat baik dan terpuji. Yang salah adalah ia (Qardhawi) kurang memahami strategi politik yang dimainkan oleh para pemimpin negara-negara di Timur Tengah, terutama para pemimpin Iran.
Yang jelas, pernyataan Syekh Qardhawi yang mencabut fatwa dukungannya terhadap Hizbullah di Lebanon Selatan dan Syekh Hasan Nasrullah serta keraguannya terhadap pendekatan antarmazhab dengan para ulama Iran akan berpengaruh luas terhadap perkembangan di kawasan Timur Tengah. Kawasan panas ini akan terus bergolak. Bukan hanya menghadapi penjajahan dan pendudukan oleh Zionis Israel, tapi juga kekhawatiran terjadinya gesekan antara penganut Sunni dan Syiah, seperti yang kini sedang berlangsung di Irak, Suriah, Lebanon, dan Bahrain. Wallahu a'lam.
Syekh Dr Yusuf Qardhawi adalah ulama besar Sunni. Ia merupakan ketua Persatuan Ulama Dunia. Doktor fikih dari Universitas Al Azhar, Kairo, kelahiran 9 September 1926 di desa kecil bernama Shafth di tengah Delta Nil, Mesir, ini telah menulis puluhan buku dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Pandangannya selalu menjadi fatwa dan rujukan umat Islam dunia. Fatwa-fatwanya bukan hanya seputar ibadah dan muamalah, tapi juga mencakup berbagai masalah, dari politik, demonstrasi hingga revolusi rakyat melawan rezim penguasa yang zalim.
Qardhawi bahkan tidak hanya berfatwa, tapi juga ikut aktif dalam kegiatan politik. Itulah sebabnya, ketika pecah revolusi rakyat Mesir untuk menjatuhkan rezim Presiden Husni Mubarak pada awal 2011, ia pun terbang dari Qatar (tempatnya bermukim) ke Kairo. Ia bergabung dengan rakyat Mesir ikut berdemonstrasi. Selain memberi orasi di depan para demonstran, ulama berusia 87 tahun itu juga memimpin shalat Jumat di lapangan Tahrir. “Mubarak harus mundur dari kursi presiden,” katanya dalam khotbah Jumat, ketika itu. Alasannya, rakyat telah mencabut mandatnya kepada sang pemimpin Mesir itu.
Terhadap konflik di Suriah, Qardhawi juga mengeluarkan fatwa mengenai boleh dan tidaknya unjuk rasa melawan rezim penguasa. Menurutnya, menjatuhkan sebuah rezim dibolehkan alias halal manakala ada kezaliman dan penghilangan terhadap hak asasi manusia. Atas dasar itu, Qardhawi yang hafal Alquran pada usia 10 tahun ini memperbolehkan aksi unjuk rasa, bahkan revolusi melawan penguasa yang dianggap zalim, terutama mereka yang menyengsarakan rakyat, seperti rezim Presiden Bashar Assad.
Barangkali, karena fatwanya yang memperbolehkan menjatuhkan rezim Assad itulah Syekh Qardhawi kemudian mengakui kesalahan fatwa sebelumnya yang pernah ia ucapkan. Pada 2006, Qardhawi menyatakan wajib hukumnya mendukung Hizbullah dan pemimpinnya, Syekh Hasan Nasrullah dalam menghadapi serangan Israel ke Lebanon. “Saya pernah membela-selama bertahun-tahun-Hasan Nasrullah yang menamai partainya Partai Allah (Hizbullah), padahal partai itu adalah partai tirani (thoghut) dan partai setan. Mereka membela Bashar Assad,” katanya dalam sebuah pidato di Qatar, beberapa hari lalu.
“Saya (waktu itu) harus berlawanan dengan para ulama dan syekh besar di Arab Saudi untuk membela Hizbullah. Namun, ternyata para syekh (ulama) Saudi lebih dewasa daripada saya. Mereka berpandangan lebih jauh ke depan. Mereka (ulama Saudi) terbukti mengetahui siapa sebenarnya Hizbullah itu,” lanjut Qardhawi mengoreksi fatwanya yang pernah mendukung Hizbullah dan Hasan Nasrullah.
Dalam konflik di Suriah sekarang ini, Hasan Nasrullah secara terang-terangan menyatakan mendukung rezim Bashar Assad yang dinilai Qardhawi sebagai penguasa zalim. Tentara Hizbullah dan Bashar Assad saling membantu merebut Kota Qusair dari tangan para pejuang revolusi Suriah. Qusair adalah kota strategis bagi Assad untuk mempertahankan kekuasaannya. Pasukan Assad menyerang dari udara, sementara tentara Hizbullah dari darat. Puluhan orang tewas dalam pertempuran ini. Sebagian besar adalah para pejuang revolusi Suriah.
Syekh Qardhawi bukan hanya mencabut fatwa dukungannya terhadap Hasan Nasrullah dan Hizbullah, melainkan juga terhadap Iran. Katanya, dalam sebuah pidato di Qatar, “Selama ini dan sudah berlangsung bertahun-tahun saya menyerukan pendekatan antarmazhab (taqrib bainal madzahib). Untuk itu, saya terbang ke Iran saat dipimpin Presiden Mohammad Khatami. Mereka telah menertawakan saya dan banyak orang seperti saya. Mereka sebenarnya berpura-pura ketika menginginkan pendekatan antarmazhab.”
Pengakuan Syekh Qardhawi mengenai kesalahan fatwanya tadi kontan saja menjadi berita besar di berbagai media Arab, baik cetak, online, maupun televisi. Bukan hanya menjadi berita, mereka juga menurunkan berbagai ulasan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Tapi, intinya hanya satu bahwa para ulama dan pemimpin Arab, terutama dari negara-negara Teluk, kini dihantui kekhawatiran mengenai semakin meluasnya pengaruh Syiah di kawasan Timur Tengah. Mereka munuduh Iran ingin menciptakan poros Syiah Teheran-Damaskus-Beirut. Apalagi, Iran selama ini secara terang-terangan juga membela rezim Presiden Bashar Assad.
Menurut pengamat Timur Tengah Abdul Rahman Al-Rasyid, Syekh Qardhawi tidak salah ketika melemparkan keinginannya untuk mendekatkan mazhab-mazhab dalam Islam. Ia juga tidak salah ketika menyerukan perlunya saling bahu-membahu antarpemimpin Muslim. Ide Syekh Qardhawi, lanjut Al-Rasyid, adalah sangat baik dan terpuji. Yang salah adalah ia (Qardhawi) kurang memahami strategi politik yang dimainkan oleh para pemimpin negara-negara di Timur Tengah, terutama para pemimpin Iran.
Yang jelas, pernyataan Syekh Qardhawi yang mencabut fatwa dukungannya terhadap Hizbullah di Lebanon Selatan dan Syekh Hasan Nasrullah serta keraguannya terhadap pendekatan antarmazhab dengan para ulama Iran akan berpengaruh luas terhadap perkembangan di kawasan Timur Tengah. Kawasan panas ini akan terus bergolak. Bukan hanya menghadapi penjajahan dan pendudukan oleh Zionis Israel, tapi juga kekhawatiran terjadinya gesekan antara penganut Sunni dan Syiah, seperti yang kini sedang berlangsung di Irak, Suriah, Lebanon, dan Bahrain. Wallahu a'lam.
Redaktur : M Irwan Ariefyanto |
Ketika Syekh Qardhawi Akui Kesalahan Fatwanya
Diposkan oleh Admin BeDa pada Senin, 10 Juni 2013 | 12.30 WIB
http://www.bersamadakwah.com/2013/06/ketika-syekh-qardhawi-akui-kesalahan.html
Syekh Dr Yusuf Qardhawi adalah ulama besar Sunni. Ia merupakan ketua
Persatuan Ulama Dunia. Doktor fikih dari Universitas Al Azhar, Kairo,
kelahiran 9 September 1926 di desa kecil bernama Shafth di tengah Delta
Nil, Mesir, ini telah menulis puluhan buku dan diterjemahkan dalam
berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Pandangannya selalu menjadi
fatwa dan rujukan umat Islam dunia. Fatwa-fatwanya bukan hanya seputar
ibadah dan muamalah, tapi juga mencakup berbagai masalah, dari politik,
demonstrasi hingga revolusi rakyat melawan rezim penguasa yang zalim.
Qardhawi bahkan tidak hanya berfatwa, tapi juga ikut aktif dalam kegiatan politik. Itulah sebabnya, ketika pecah revolusi rakyat Mesir untuk menjatuhkan rezim Presiden Husni Mubarak pada awal 2011, ia pun terbang dari Qatar (tempatnya bermukim) ke Kairo. Ia bergabung dengan rakyat Mesir ikut berdemonstrasi. Selain memberi orasi di depan para demonstran, ulama berusia 87 tahun itu juga memimpin shalat Jumat di lapangan Tahrir. “Mubarak harus mundur dari kursi presiden,” katanya dalam khotbah Jumat, ketika itu. Alasannya, rakyat telah mencabut mandatnya kepada sang pemimpin Mesir itu.
Terhadap konflik di Suriah, Qardhawi juga mengeluarkan fatwa mengenai boleh dan tidaknya unjuk rasa melawan rezim penguasa. Menurutnya, menjatuhkan sebuah rezim dibolehkan alias halal manakala ada kezaliman dan penghilangan terhadap hak asasi manusia. Atas dasar itu, Qardhawi yang hafal Alquran pada usia 10 tahun ini memperbolehkan aksi unjuk rasa, bahkan revolusi melawan penguasa yang dianggap zalim, terutama mereka yang menyengsarakan rakyat, seperti rezim Presiden Bashar Assad.
Barangkali, karena fatwanya yang memperbolehkan menjatuhkan rezim Assad itulah Syekh Qardhawi kemudian mengakui kesalahan fatwa sebelumnya yang pernah ia ucapkan. Pada 2006, Qardhawi menyatakan wajib hukumnya mendukung Hizbullah dan pemimpinnya, Syekh Hasan Nasrullah dalam menghadapi serangan Israel ke Lebanon. “Saya pernah membela-selama bertahun-tahun-Hasan Nasrullah yang menamai partainya Partai Allah (Hizbullah), padahal partai itu adalah partai tirani (thoghut) dan partai setan. Mereka membela Bashar Assad,” katanya dalam sebuah pidato di Qatar, beberapa hari lalu.
“Saya (waktu itu) harus berlawanan dengan para ulama dan syekh besar di Arab Saudi untuk membela Hizbullah. Namun, ternyata para syekh (ulama) Saudi lebih dewasa daripada saya. Mereka berpandangan lebih jauh ke depan. Mereka (ulama Saudi) terbukti mengetahui siapa sebenarnya Hizbullah itu,” lanjut Qardhawi mengoreksi fatwanya yang pernah mendukung Hizbullah dan Hasan Nasrullah.
Dalam konflik di Suriah sekarang ini, Hasan Nasrullah secara terang-terangan menyatakan mendukung rezim Bashar Assad yang dinilai Qardhawi sebagai penguasa zalim. Tentara Hizbullah dan Bashar Assad saling membantu merebut Kota Qusair dari tangan para pejuang revolusi Suriah. Qusair adalah kota strategis bagi Assad untuk mempertahankan kekuasaannya. Pasukan Assad menyerang dari udara, sementara tentara Hizbullah dari darat. Puluhan orang tewas dalam pertempuran ini. Sebagian besar adalah para pejuang revolusi Suriah.
Syekh Qardhawi bukan hanya mencabut fatwa dukungannya terhadap Hasan Nasrullah dan Hizbullah, melainkan juga terhadap Iran. Katanya, dalam sebuah pidato di Qatar, “Selama ini dan sudah berlangsung bertahun-tahun saya menyerukan pendekatan antarmazhab (taqrib bainal madzahib). Untuk itu, saya terbang ke Iran saat dipimpin Presiden Mohammad Khatami. Mereka telah menertawakan saya dan banyak orang seperti saya. Mereka sebenarnya berpura-pura ketika menginginkan pendekatan antarmazhab.”
Pengakuan Syekh Qardhawi mengenai kesalahan fatwanya tadi kontan saja menjadi berita besar di berbagai media Arab, baik cetak, online, maupun televisi. Bukan hanya menjadi berita, mereka juga menurunkan berbagai ulasan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Tapi, intinya hanya satu bahwa para ulama dan pemimpin Arab, terutama dari negara-negara Teluk, kini dihantui kekhawatiran mengenai semakin meluasnya pengaruh Syiah di kawasan Timur Tengah. Mereka munuduh Iran ingin menciptakan poros Syiah Teheran-Damaskus-Beirut. Apalagi, Iran selama ini secara terang-terangan juga membela rezim Presiden Bashar Assad.
Menurut pengamat Timur Tengah Abdul Rahman Al-Rasyid, Syekh Qardhawi tidak salah ketika melemparkan keinginannya untuk mendekatkan mazhab-mazhab dalam Islam. Ia juga tidak salah ketika menyerukan perlunya saling bahu-membahu antarpemimpin Muslim. Ide Syekh Qardhawi, lanjut Al-Rasyid, adalah sangat baik dan terpuji. Yang salah adalah ia (Qardhawi) kurang memahami strategi politik yang dimainkan oleh para pemimpin negara-negara di Timur Tengah, terutama para pemimpin Iran.
Yang jelas, pernyataan Syekh Qardhawi yang mencabut fatwa dukungannya terhadap Hizbullah di Lebanon Selatan dan Syekh Hasan Nasrullah serta keraguannya terhadap pendekatan antarmazhab dengan para ulama Iran akan berpengaruh luas terhadap perkembangan di kawasan Timur Tengah. Kawasan panas ini akan terus bergolak. Bukan hanya menghadapi penjajahan dan pendudukan oleh Zionis Israel, tapi juga kekhawatiran terjadinya gesekan antara penganut Sunni dan Syiah, seperti yang kini sedang berlangsung di Irak, Suriah, Lebanon, dan Bahrain. Wallahu a'lam.[]
Penulis : Ikhwanul Kiram Mashuri
Qardhawi bahkan tidak hanya berfatwa, tapi juga ikut aktif dalam kegiatan politik. Itulah sebabnya, ketika pecah revolusi rakyat Mesir untuk menjatuhkan rezim Presiden Husni Mubarak pada awal 2011, ia pun terbang dari Qatar (tempatnya bermukim) ke Kairo. Ia bergabung dengan rakyat Mesir ikut berdemonstrasi. Selain memberi orasi di depan para demonstran, ulama berusia 87 tahun itu juga memimpin shalat Jumat di lapangan Tahrir. “Mubarak harus mundur dari kursi presiden,” katanya dalam khotbah Jumat, ketika itu. Alasannya, rakyat telah mencabut mandatnya kepada sang pemimpin Mesir itu.
Terhadap konflik di Suriah, Qardhawi juga mengeluarkan fatwa mengenai boleh dan tidaknya unjuk rasa melawan rezim penguasa. Menurutnya, menjatuhkan sebuah rezim dibolehkan alias halal manakala ada kezaliman dan penghilangan terhadap hak asasi manusia. Atas dasar itu, Qardhawi yang hafal Alquran pada usia 10 tahun ini memperbolehkan aksi unjuk rasa, bahkan revolusi melawan penguasa yang dianggap zalim, terutama mereka yang menyengsarakan rakyat, seperti rezim Presiden Bashar Assad.
Barangkali, karena fatwanya yang memperbolehkan menjatuhkan rezim Assad itulah Syekh Qardhawi kemudian mengakui kesalahan fatwa sebelumnya yang pernah ia ucapkan. Pada 2006, Qardhawi menyatakan wajib hukumnya mendukung Hizbullah dan pemimpinnya, Syekh Hasan Nasrullah dalam menghadapi serangan Israel ke Lebanon. “Saya pernah membela-selama bertahun-tahun-Hasan Nasrullah yang menamai partainya Partai Allah (Hizbullah), padahal partai itu adalah partai tirani (thoghut) dan partai setan. Mereka membela Bashar Assad,” katanya dalam sebuah pidato di Qatar, beberapa hari lalu.
“Saya (waktu itu) harus berlawanan dengan para ulama dan syekh besar di Arab Saudi untuk membela Hizbullah. Namun, ternyata para syekh (ulama) Saudi lebih dewasa daripada saya. Mereka berpandangan lebih jauh ke depan. Mereka (ulama Saudi) terbukti mengetahui siapa sebenarnya Hizbullah itu,” lanjut Qardhawi mengoreksi fatwanya yang pernah mendukung Hizbullah dan Hasan Nasrullah.
Dalam konflik di Suriah sekarang ini, Hasan Nasrullah secara terang-terangan menyatakan mendukung rezim Bashar Assad yang dinilai Qardhawi sebagai penguasa zalim. Tentara Hizbullah dan Bashar Assad saling membantu merebut Kota Qusair dari tangan para pejuang revolusi Suriah. Qusair adalah kota strategis bagi Assad untuk mempertahankan kekuasaannya. Pasukan Assad menyerang dari udara, sementara tentara Hizbullah dari darat. Puluhan orang tewas dalam pertempuran ini. Sebagian besar adalah para pejuang revolusi Suriah.
Syekh Qardhawi bukan hanya mencabut fatwa dukungannya terhadap Hasan Nasrullah dan Hizbullah, melainkan juga terhadap Iran. Katanya, dalam sebuah pidato di Qatar, “Selama ini dan sudah berlangsung bertahun-tahun saya menyerukan pendekatan antarmazhab (taqrib bainal madzahib). Untuk itu, saya terbang ke Iran saat dipimpin Presiden Mohammad Khatami. Mereka telah menertawakan saya dan banyak orang seperti saya. Mereka sebenarnya berpura-pura ketika menginginkan pendekatan antarmazhab.”
Pengakuan Syekh Qardhawi mengenai kesalahan fatwanya tadi kontan saja menjadi berita besar di berbagai media Arab, baik cetak, online, maupun televisi. Bukan hanya menjadi berita, mereka juga menurunkan berbagai ulasan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Tapi, intinya hanya satu bahwa para ulama dan pemimpin Arab, terutama dari negara-negara Teluk, kini dihantui kekhawatiran mengenai semakin meluasnya pengaruh Syiah di kawasan Timur Tengah. Mereka munuduh Iran ingin menciptakan poros Syiah Teheran-Damaskus-Beirut. Apalagi, Iran selama ini secara terang-terangan juga membela rezim Presiden Bashar Assad.
Menurut pengamat Timur Tengah Abdul Rahman Al-Rasyid, Syekh Qardhawi tidak salah ketika melemparkan keinginannya untuk mendekatkan mazhab-mazhab dalam Islam. Ia juga tidak salah ketika menyerukan perlunya saling bahu-membahu antarpemimpin Muslim. Ide Syekh Qardhawi, lanjut Al-Rasyid, adalah sangat baik dan terpuji. Yang salah adalah ia (Qardhawi) kurang memahami strategi politik yang dimainkan oleh para pemimpin negara-negara di Timur Tengah, terutama para pemimpin Iran.
Yang jelas, pernyataan Syekh Qardhawi yang mencabut fatwa dukungannya terhadap Hizbullah di Lebanon Selatan dan Syekh Hasan Nasrullah serta keraguannya terhadap pendekatan antarmazhab dengan para ulama Iran akan berpengaruh luas terhadap perkembangan di kawasan Timur Tengah. Kawasan panas ini akan terus bergolak. Bukan hanya menghadapi penjajahan dan pendudukan oleh Zionis Israel, tapi juga kekhawatiran terjadinya gesekan antara penganut Sunni dan Syiah, seperti yang kini sedang berlangsung di Irak, Suriah, Lebanon, dan Bahrain. Wallahu a'lam.[]
Penulis : Ikhwanul Kiram Mashuri
http://www.bersamadakwah.com/2013/06/ketika-syekh-qardhawi-akui-kesalahan.html
Sumber : Resonansi Republika
Sumber : Resonansi Republika
SYEKH QARDHAWI, APA MAUMU?
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/06/syekh-qardhawi-apa-maumu.html#more
"Bagaimana mungkin pintu-pintu surga terbuka di Damaskus, kami
tetangga Suriah. Di Palestina, Gaza dan Baitul Maqdis kami dijajah dan
tidak ada seorangpun yang pernah mengeluarkan fatwa jihad di wilayah ini
baik secara lisan maupun praktek.... Kelompok-kelompok yang menggunakan
nama agama di Suriah sebenarnya sangat jauh dari agama. Pasalnya,
setiap orang yang mengibarkan bendera Islam untuk menumpahkan darah
sesama Muslim dan atau menjarah harta mereka. Siapapun, dia adalah
pengkhianat dan pembohong."
(Syeikh Salahuddin bin Ibrahim Abu Arafa, Imam Masjid Al Aqsa Palestina menyikapi fatwa Syekh Yusuf Qordowi tentang jihad di Syria melawan pemerintah)
***
Bagi mereka yang memiliki akal, apa yang dilakukan oleh Syekh Yusuf Qardawi tentu akan dianggap sebagai "sangat menyedihkan". Pada tahun 2006 ia mengeluarkan fatwa mendukung Hizbollah dan para pemimpinnya dalam perjuangan mereka melawan penjajahan Israel. Ia juga menyanjung Presiden Syria Bashar al Assad. Dan lebih utama lagi ia juga terlibat aktif memperjuangkan persatuan Sunni-Shiah termasuk menandatangani "Deklarasi Amman" yang ditandatangani para ulama Islam Sunni dan Shiah dari seluruh dunia (termasuk Indonesia) yang isinya penuh dengan semangat persatuan dan perdamaian antar umat Islam.
Namun kini ia "berbalik arah": mengutuki Hizbollah, Bashar al Assad dan Iran serta menyesali upaya perdamaian antar umat Sunni-Shiah yang pernah dilakukannya. Hal ini sangat disayangkan karena berpotensi menghancurkan prospek persatuan umat Islam yang telah diperjuangkan oleh para ulama dan tokoh politik Islam selama bertahun-tahun. Dan apa yang dilakukan tersebut mendorong umat Islam kembali ke "masa-masa jahiliah" dimana kebencian antar-mazhab mengalahkan akal sehat dan hati nurani, menjadikan musuh-musuh Islam leluasa menjadikan umat Islam sebagai "sapi perah".
Anehnya, hal yang "sangat menyedihkan" tersebut justru disambut dengan penuh semangat oleh kolom Resonansi Harian Republika yang ditulis oleh Ikhwanul Kiram Mashuri dengan judul "Ketika Syekh Qardhawi Akui Kesalahan Fatwanya" tertanggal 10 Juni 2013. Lihatlah semangat yang dibawa oleh tulisan tersebut sbb:
"Syekh Qardhawi tidak salah ketika melemparkan keinginannya untuk mendekatkan mazhab-mazhab dalam Islam. Ia juga tidak salah ketika menyerukan perlunya saling bahu-membahu antar-pemimpin Muslim. Ide Syekh Qardhawi, lanjut Al-Rasyid, adalah sangat baik dan terpuji. Yang salah adalah ia (Qardhawi) kurang memahami strategi politik yang dimainkan oleh para pemimpin negara-negara di Timur Tengah, terutama para pemimpin Iran".
Secara sepintas alinea tersebut di atas memberikan "nuansa kesejukan" bagi upaya persatuan Islam khususnya yang pernah dilakukan Qardhawi. Namun bagian terakhirnya seperti "mengejek" upaya tersebut sebagai sebuah kesia-siaan karena "kesalahan Iran".
Sangat disayangkan, baik Qardawi maupun tulisan di Republika di atas tidak memberikan penjelasan tentang apa kesalahan yang telah dilakukan Hizbollah, Iran dan Syria kecuali retorika-retorika tanpa fakta yang jelas.
“Saya pernah membela-selama bertahun-tahun-Hasan Nasrullah yang menamai partainya Partai Allah (Hizbullah), padahal partai itu adalah partai tirani (thoghut) dan partai setan. Mereka membela Bashar Assad,” kata Qardhawi sebagaimana ditulis dalam artikel Resonansi "Republika".
Apakah hanya karena membela Assad lantas Hizbollah dan Iran berhak untuk disebut sebagai pengikut setan? Bukankah banyak juga ulama Sunni, seperti Sheikh al-Bouthi dari Syria, atau Sheikh Hammoud dari Sidon Lebanon, atau Sheikh Salahuddin bin Ibrahim Abu Arafa sang Imam Masjid Al Aqsa Palestina, yang juga membela Assad?
Bahkan tentang dosa-dosa yang dilakukan Assad sendiri, baik Qardhawi maupun musuh-musuh Assad lainnya tidak pernah menyajikan data kejahatan-kejahatan Assad. "Pokoknya Assad adalah jahat. Ia membantai rakyatnya sendiri!" demikian kata para pembenci Basar al Assad tanpa pernah bisa menyajikan data kapan pembantaian-pembantaian tersebut dilakukan, dimana tempat kejadiannya dan berapa jumlah korbannya. Dan ketika mereka menyajikan fakta, ternyata hanya propaganda murahan hasil rekayasa media-media dan inteligen barat.
Tentu saja Bashar al Assad memiliki banyak kekurangan. Tapi bukankah hal yang saja juga dimiliki para penguasa Arab dan Islam lainnya. Bagaimana dengan penguasa Qatar, negeri dimana Qardhawi tinggal, yang tidak lebih daripada "binatang piaraan" Amerika? Sebagaimana kita ketahui dan telah ditulis di blog ini bahwa Amerika baru saja memerintahkan Emir dan perdana menteri Qatar untuk mengundurkan diri dari jabatannya, dan dipatuhi tanpa protes. Belum lagi jika kita pertimbangkan juga dosa-dosa mereka mengikuti Amerika mengobarkan kerusakan di Irak, Libya dan berbagai negara muslim lainnya yang sampai saat ini belum pulih. Atau sikap para pemimpin Arab yang diam membisu melihat penjajahan Israel atas rakyat Palestina, saudara mereka yang malang yang selama 60 tahun hidup tertindas.
Perubahan sikap Qardhawi yang begitu kontras terhadap Hizbollah, Iran dan Syria telah menunjukkan ketidak-stabilan akal dan emosi Qardhawi. Apalagi jika kita amati pernyataan-pernyataannya yang sangat emosional dan jauh dari sikap bijaksana seorang ulama besar. Ia telah menjatuhkan dirinya sedemikian rupa sehingga kini tidak lagi berbeda dengan para ulama wahabi-salafi yang mulutnya tidak bisa berhenti dari sumpah serapah.
Jauh dari sifat itu adalah sikap pemimpin Hizbollah Hasan Nasrallah atau ulama-ulama Iran. Meski begitu sering dicaci dan dimaki, mereka tidak pernah membalas cacian dan makian tersebut. Jika mengecam, mereka tetap menggunakan bahasa yang santun tanpa "menunjuk hidung" yang dikecam. Bahkan kepada para pemberontak Syria yang begitu mereka benci, mereka menyebutnya dengan istilah "takfiri" alias orang-orang yang suka mengkafirkan orang lain. Kepada Amerika dan sekutu-sekutunya mereka menyebut sebagai "kekuatan arogan". Hanya Khomeini yang pernah menyebut Amerika sebagai "setan besar". Tentu saja kepada sesama muslim, walau sangat dibencinya, Khomeini tidak akan pernah menyebutnya sebagai "kafir" atau "pengikut setan".
Jika kita mau bersikir jernih dengan melihat sejarah dalam perspektif yang berimbang, apa yang dilakukan Iran dan Hizbollah hanya ada 2 hal: Pertama mengangkat harkat martabat umat Shiah yang selama beratus-ratus tahun hidup dalam penjajahan, tidak saja oleh pemerintahan-pemerintahan musrik seperti Inggris dan regim Shah Pahlevi serta Saddam Hussein, namun juga oleh penguasa-penguasa Sunni. Dan yang kedua adalah membela hak-hak rakyat Palestina.
Demi Allah, Hizbollah, Iran dan Bashar al Assad lebih mulia dari para pembenci mereka, yang telah mengkhianati rakyat Palestina dan kehormatan bangsa Arab dan umat muslim sedunia dengan berdiam diri terhadap sepak terjang Amerika dan Israel. Sedang mereka, Hizbollah, Iran dan Bashar al Assad adalah orang-orang yang dengan gagah berani melawan Amerika dan Israel.
Tanyakan kepada sebagian besar rakyat Palestina dan Lebanon, siapa yang paling besar jasanya bagi mereka? Jawabannya adalah Iran dan Hizbollah. Bahkan para pemimpin Hamas, sekalipun mereka kini berpaling dari Iran karena tergiur oleh kekuasaan Muhammad Moersi di Mesir, tidak akan bisa membantah jasa-jasa Iran dan Bashar al Assad kepada mereka.
1 komentar:
-
Untuk admin mohon juga diulas kabar tentang partai peserta 2014 dengan segala keadaannya. Trims
Tidak ada komentar:
Posting Komentar