Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.
Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak
terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno
bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan
Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan
golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo
melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf
Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok.
Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta.
Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu -
buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka
pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang
kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan
setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk
menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi)
sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura,
Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk
menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa
sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo,
tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan
Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.
Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura
apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji
agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar
Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura
tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam
meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda
mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung
Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak
punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi.
Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan
Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan
teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan
disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik.
Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan
penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada
Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan
menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan
administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan
kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M
Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim
Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih
didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik
naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor
perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[2] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[3] (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan
teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00
dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi
Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks
proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M
Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang
menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh.
Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik
oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.
Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh
Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah
Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul
dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti
diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan
pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab
itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor
yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak
mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka
menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak.
Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto
Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil
presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden
akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Isi Teks Proklamasi
Naskah Klad Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.- Djakarta, 17-8-05
- Wakil-wakil bangsa Indonesia.
- Soekarno/Hatta
Naskah baru setelah mengalami perubahan
Di dalam teks proklamasi terdapat beberapa perubahan yaitu terdapat pada:- Kata tempoh diubah menjadi tempo
- Kata Wakil-wakil bangsa Indonesia diubah menjadi Atas nama bangsa Indonesia
- Kata Djakarta, 17-8-05 diubah menjadi Djakarta, hari 17 boelan 08 tahun '05
- Naskah proklamasi klad yang tidak ditandatangani kemudian menjadi otentik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh.Hatta
- Kata Hal2 diubah menjadi Hal-hal
- Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
- Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
- dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
-
-
- Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
- Atas nama bangsa Indonesia.
- Soekarno/Hatta
-
Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.
Naskah Otentik
Soekarno membacakan naskah proklamasi
di studio RRI pada tahun 1951 (bantuan·info)
Kesulitan memainkan berkas media?
di studio RRI pada tahun 1951 (bantuan·info)
Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.
-
-
-
-
-
-
-
- Proklamasi
-
-
-
-
-
-
- Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
- Hal² jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
- dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
-
-
- Djakarta, 17-8-'05
- Wakil2 bangsa Indonesia.
-
Teks pidato proklamasi kemerdekaan Indonesia
- Saudara-saudara sekalian!
- Saya telah meminta Anda untuk hadir di sini untuk menyaksikan peristiwa dalam sejarah kami yang paling penting.
- Selama beberapa dekade kita, Rakyat Indonesia, telah berjuang untuk kebebasan negara kita-bahkan selama ratusan tahun!
- Ada gelombang dalam tindakan kita untuk memenangkan kemerdekaan yang naik, dan ada yang jatuh, namun semangat kami masih ditetapkan dalam arah cita-cita kami.
- Juga selama zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak pernah berhenti. Pada zaman Jepang itu hanya muncul bahwa kita membungkuk pada mereka. Tetapi pada dasarnya, kita masih terus membangun kekuatan kita sendiri, kita masih percaya pada kekuatan kita sendiri.
- Kini telah hadir saat ketika benar-benar kita mengambil nasib tindakan kita dan nasib negara kita ke tangan kita sendiri. Hanya suatu bangsa cukup berani untuk mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri akan dapat berdiri dalam kekuatan.
- Oleh karena semalam kami telah musyawarah dengan tokoh-tokoh Indonesia dari seluruh Indonesia. Bahwa pengumpulan deliberatif dengan suara bulat berpendapat bahwa sekarang telah datang waktu untuk mendeklarasikan kemerdekaan.
- Saudara-saudara:
- Bersama ini kami menyatakan solidaritas penentuan itu.
- Dengarkan proklamasi kami:
- PROKLAMASI
- KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA. HAL-HAL YANG MENGENAI PEMINDAHAN KEKUASAAN DAN LAIN-LAIN DISELENGGARAKAN DENGAN CARA SAKSAMA DAN DALAM TEMPO YANG SESINGKAT-SINGKATNYA.
- DJAKARTA, 17 Agustus 1945
- ATAS NAMA BANGSA INDONESIA
SUKARNO-HATTA
- Jadi, Saudara-saudara!
- Kita sekarang sudah bebas!
- Tidak ada lagi penjajahan yang mengikat negara kita dan bangsa kita!
- Mulai saat ini kita membangun negara kita. Sebuah negara bebas, Negara Republik Indonesia-lamanya dan abadi independen. Semoga Tuhan memberkati dan membuat aman kemerdekaan kita ini! [6]
Cara Penyebaran Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Wilayah Indonesia sangatlah luas. Komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945
masih sangat terbatas. Di samping itu, hambatan dan larangan untuk
menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia,
merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami
keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa.
Namun dengan penuh tekad dan semangat berjuang, pada akhirnya peristiwa
proklamasi diketahui oleh segenap rakyat Indonesia. Lebih jelasnya
ikuti pembahasan di bawah ini. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 di daerah Jakarta
dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari
itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio
dari Kantor Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA),
Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan
Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang
markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut.
Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke
ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi
telah tersiar ke luar melalui udara.
Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran
berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk
terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah
jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran
tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat
berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945
pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang
masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama
Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata
membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya
Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan
pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah
selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita
proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir
seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945
memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran
pertama yang memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang
berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan
Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat
Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding
tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect our Constitution, August 17!(Hormatilah
Konstitusi kami tanggal 17 Agustus!) Melalui berbagai cara dan media
tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat
tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Di samping
melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung
oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para
utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi.
- Teuku Mohammad Hassan dari Aceh.
- Sam Ratulangi dari Sulawesi.
- Ktut Pudja dari Sunda Kecil (Bali).
- A. A. Hamidan dari Kalimantan.
Peringatan 17 Agustus 1945
Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Mulai dari lomba panjat pinang, lomba makan kerupuk, sampai upacara militer di Istana Merdeka, seluruh bagian dari masyarakat ikut berpartisipasi dengan cara masing-masing.
Lomba-lomba tradisional
Perlombaan yang seringkali menghiasi dan meramaikan Hari Proklamasi
Kemerdekaan RI diadakan di kampung-kampung/ pedesaan diikuti oleh warga
setempat dan dikoordinir oleh pengurus kampung/ pemuda desa
- Panjat pinang
- Balap bakiak
- Tarik tambang
- Sepeda lambat
- Makan kerupuk
- Balap karung
- Perang bantal
- Pemecahan balon
- Pengambilan koin dalam terigu
- Lari Kelereng
Peringatan Detik-detik Proklamasi
Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara.
Peringatan ini biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun
televisi. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan
sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih (Bendera Pusaka), pembacaan naskah Proklamasi, dll. Pada sore hari terdapat acara penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.
Merdeka apanya? mana 'janji manis' Soekarno itu?
Saif Al Battar
http://arrahmah.com/read/2012/08/17/22477-merdeka-apanya-mana-janji-manis-soekarno-itu.html
Jum'at, 17 Agustus 2012 14:42:22
http://arrahmah.com/read/2012/08/17/22477-merdeka-apanya-mana-janji-manis-soekarno-itu.html
Jum'at, 17 Agustus 2012 14:42:22
(Arrahmah.com)
- Asal tahu saja, negeri ini diperjuangkan kemerdekaannya dari penjajah
adalah oleh umat Islam. Pesantren dan masjid, di antaranya, jadi basis
mengusir penjajah.
Darah umat Islam sudah mengalir deras di negeri ini. Nyawa kaum
Muslimin menjadi saksi (insya Allah mati syahid) perlawanan mereka
terhadap penjajah.
Dengan semangat Islam yang tinggi diiringi pekik takbir yang
menggentarkan musuh, para ulama, kiai, santri, tokoh dan pemimpin umat
saling bersinergi memperjuangkan kemerdekaan Negara ini. Karenanya,
wajar saja, jika umat Islam adalah pemilik sah negeri ini.
Lain halnya, kelompok-kelompok yang ingin keluar dari NKRI, lantaran
mereka memang tak berjuang untuk kemerdekaan negeri ini. Bisa jadi
mereka merasa memiliki ideologi yang sama dengan penjajah.
Jadi, mereka khawatir, kalau nanti merdeka, maka mayoritas Islam yang
mengusir penjajah akan mengendalikan republik ini. Sebut misalnya
kelompok yang menamakan dirinya Rakyat Maluku Selatan (RMS) dan Papua
Merdeka (PM). RMS justru berkolaborasi dengan penjajah Belanda.
Setiap tahun, saat berulang tahun, RMS dan PM mengibarkan benderanya. Kesamaan ideologi dengan penjajah, membuat RMS, misalnya, merasa gerah gabung dengan NKRI.
Sebaliknya, umat Islam merasa, karena negeri ini mereka yang berdarah-darah memperjuangkannya, maka wajar saja jika merekalah yang mestinya memiliki peran aktif dalam mengatur jalannya Negara ini.
Karenanya,
harus diakui, umat Islam adalah pemegang saham terbesar negeri ini.
Umat Islam-lah yang berjihad, berkuah darah, hingga menuju gerbang
el-maut dalam rangka mengusir penjajah. Eh, tapi, ironisnya, setelah
merdeka negeri ini tidak diatur oleh sistem Islam. Yang memimpin pun
bukan dari kelompok mayoritas umat ini—dalam arti pemimpin Islam yang
sesungguhnya.
Ketika sudah disepakati dan ditandatangani Piagam Jakarta sebagai
konstitusi, khususnya untuk mengatur umat Islam sendiri —jadi bukan
sistem Islam secara utuh yang mengatur republik—eh itu pun dianulir lagi
secara sepihak, sehari setelah deklarasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Jadi, boleh dibilang, pembatalan tujuh kalimat yang berlaku hanya untuk
kaum Muslimin itu sesungguhnya tidak sah!
Pada 18 Agustus 1945, tanpa melibatkan golongan Islam, dengan
liciknya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus. Padahal kalimat
"Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syariat islam bagi
Pemeluk-pemeluknya" itu jelas-jelas berlaku hanya untuk umat Islam.
Jadi, boro-boro Indonesia waktu itu memberlakukan sistem Islam
sebagai konstitusi negaranya. Lha, tujuh kata yang hanya untuk mengatur
umat Islam saja—tak berlaku bagi golongan lain—itu pun mereka batalkan
secara sepihak. Apalagi jika Islam menjadi konstitusi secara penuh
Negara ini.
Padahal, karena umat Islam yang memperjuangkan kemerdekaan, maka
wajar saja jika republik ini diatur oleh sistem Islam. Wajar pula jika
yang memimpin Negara ini adalah dari golongan Islam. Maksudnya bukan
sekadar KTP-nya Islam, tapi pemimpin Islam dalam arti sebenarnya.
Soekarno, betul dia punya KTP Islam, tetapi dia bukan pemimpin Islam.
Pasti,
kaum anti Islam—pihak asing yang berkolaborasi dengan kekuatan
dalam—sudah merancang sedemikian rupa agar setelah "merdeka" jangan
sampai Indonesia diatur oleh sistem Islam.
Karena itu, jangankan sistem dan Konstitusi Islam, tujuh kata dalam
Piagam Jakarta yang hanya mengatur umat Islam saja, terlarang! Mereka
tak sudi jika kaum Muslimin menjalankan syariatnya sendiri. Hati mereka
panas! Otak mereka mendidih, tidak rela umat Islam ini taat dan patuh
kepada ajarannya sendiri!
Ancaman untuk berpisah dengan NKRI sebenarnya itu cuma "gertak
sambal!" Opsir jepang yang disebut-sebut jadi perantara "gertak sambal"
itu pun misterius, tak jelas! Sejarawan Ridwan Saidi menyebut Hatta
telah berbohong dalam hal ini. Artinya, opsir Jepang itu fiktif!
Kalaupun opsir Jepang itu ada dan menjadi calo "gertak sambal" itu,
memangnya kenapa? Apa urusannya? Bukankah Piagam Jakarta itu sudah
ditandatangani pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan, termasuk oleh
wakil Kristen? Dan, setelah keinginan mereka dipenuhi (tujuh kata dari
Piagam Jakarta dihapus) toh ancaman untuk memisahkan diri itu tetap ada
sampai sekarang.
Inilah negeri mayoritas Muslim yang kemerdekaannya mereka
perjuangkan, tapi setelah merdeka, umat mayoritas ini dikadalin dan
ditipu, sehingga sistem Islam tidak berlaku, dan yang memimpinnya pun
bukan dari kalangan Islam. Kasus penghapusan tujuh kata dari Piagam
Jakarta, menunjukkan sejak awal, sudah ada tirani minoritas di republik
ini. Aha… minoritas menindas mayoritas. Mayoritas mengalah pada
minoritas!
Mayoritas yang tak berdaya. Maka, setelah proklamasi 17 Agustus pun,
wajar saja, negeri ini tidak benar-benar merdeka. Pihak asing tetap
mengangkangi negeri ini. Kekayaan alam tetap dikuasai asing. Jadi, meski
memiliki aset dan kekayaan alam yang melimpah, sebagian besar rakyatnya
tetap miskin. Meski penjajahan secara fisik dari pihak asing sudah
berlalu, tapi politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sebagainya tetap
dijajah.
Keterlibatan pihak asing untuk memilih pemimpin negeri ini sulit
dipungkiri. Tak boleh pemimpin Islam yang sebenarnya naik panggung
memimpin negeri ini. Sebagian besar atau 90% lebih aset dan kekayaan
alam negeri ini dikuasai pihak asing. Padahal dalam konstitusinya
jelas-jelas disebut semua kekayaan alam negara ini dikuasai oleh negara
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pendidikan untuk rakyat hanya
slogan kosong. Yang bisa sekolah dan menikmati pendidikan sampai jenjang
tinggi tetap yang punyab duit. Begitu pula dengan budaya sudah lama
disusupi dan dikendalikan pihak asing. Media, khususnya televisi punya
andil besar dalam mengubah perilaku umat Islam menjadi berkelakuan
jahiliyah.
Jadi, meski secara fisik sang penjajah tak ada di sini, tapi semua
aspek kehidupan mereka kuasai dan kendalikan. Bisa dibilang proklamasi
17 Agustus hanyalah secarik kertas yang dibacakan Soekarno untuk
menyatakan tak ada lagi penjajahan fisik. Anehnya, teks proklamasi yang
sesungguhnya terdapat dalam Piagam Jakarta, tak dibacakan Soekarno, tapi
malah dibuat lagi teks proklamasi yang ada coret-coretannya. Padahal
sudah disiapkan teks proklamasi dalam Piagam Jakarta. Tampak sekali
persekongkolan jahatnya. Ingin menafikan unsur Piagam Jakarta dalam
proklamasi kemerdekaan.
Amboi! Lihat, berapa banyak rakyat yang menderita lantaran tak bisa
menikmati proklamasi yang dibacakan Soekarno itu, lantaran ulah para
pengkhianat yang berkolaborasi dengan pihak asing untuk merampok ekonomi
dan kekayaan alam negeri ini?
Jadi, merdeka apanya? Mana 'janji manis' Soekarno dalam waktu 6 bulan
akan memberlakukan sistem Islam di republik ini? Mereka tak kan
memenuhi janji-janji palsu itu, lantaran jika sistem Islam yang berlaku,
mereka tak dapat lagi mengangkangi negeri ini. Rakyat akan benar-benar
merdeka!
Sebagian kalangan Islam, lantaran merasa dikadalin setelah tahu Islam
tidak menjadi sistem bernegara dan bermasyarakat, maka mereka pun
mengadakan perlawanan. Janji manis Soekarno kepada tokoh-tokoh Masyumi
kala itu dan air mata buaya Soekarno di depan Tengku Daoed Beureueh
untuk memberlakukan sistem Islam 6 bulan ke depan pasca kemerdekaan
adalah janji palsu yang membuat kalangan Islam menjadi berang!
Akhirnya, perlawanan umat Islam terpecah menjadi dua kelompok
perjuangan. Kelompok pertama, kelompok yang berjuang lewat parlemen,
dipimpin oleh Masyumi. Kelompok kedua, perlawanan yang dipimpin oleh SM
Kartosuwirjo yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII).
Kekecewaan yang sangat mendalam, membuat Kartosuwirjo mengibarkan
bendera NII—sehingga tawaran sebagai Menteri Pertahanan RI ditolaknya,
karena tak sudi Indonesia memberlakukan sistem yang bukan Islam.Kelompok
ini merasa, kok setelah umat Islam berhasil mengusir penjajah,
Indonesia tak diatur oleh Islam.
Jika Kartosuwirjo berjuang secara fisik, kelompok Islam yang
direpresentasikan dengan Masyumi berusaha memperjuangkan sistem Islam
melalui parlemen.
Ironis! Kartosuwirjo dengan NII-nya dan politisi Islam melalui
Masyuminya di parlemen—keduanya kandas! Bahkan NII akhirnya
tercabik-cabik tak jelas dan jadi alat mainan intelijen. Sementara
Masyumi dibubarkan! Sejumlah pemimpin Islam bahkan dipenjara oleh
Soekarno.
Lantas, bagaimana "nasib janji manis Soekarno" dalam waktu enam bulan
pasca kemerdekaan yang akan memberlakukan sistem Islam atau minimal
Piagam Jakarta yang memuat tujuh kata itu? Bukankah Piagam Jakarta itu
sudah disepakati dan ditandatangani, tapi dianulir secara sepihak tanpa
melibatkan golongan Islam yang menadatangani kesepakatan itu?
Penganuliran itu jelas tidak sah dan harus batal demi hukum! Mengapa
dari kalangan Islam tak ada gugatan sampai sekarang, setidaknya ke
Mahkamah Konstitusi?!
18 Agustus 1945, sehari pasca proklamasi, umat Islam dikhianati
http://arrahmah.com/read/2012/08/18/22502-18-agustus-1945-sehari-pasca-proklamasi-umat-islam-dikhianati.html
(Arrahmah.com) -
Jika ingin negeri ini selamat, mari kembalikan Indonesia pada dasar Islam! Jangan lagi mau dikhianati…
Jika ingin negeri ini selamat, mari kembalikan Indonesia pada dasar Islam! Jangan lagi mau dikhianati…
Umat Islam di negeri ini tak akan pernah lupa, betapa politik kaum
sekular begitu khianat dengan menelikung kesepakatan luhur (gentlement
agreement), Piagam Jakarta. Sehari pasca kemerdekaan, lobi-lobi politik
kelompok sekular dan Kristen berhasil menghapuskan sebuah tonggak
sejarah bagi penegakan syariat Islam di negeri ini.
Ya, hanya sehari pasca proklamasi dibacakan oleh Soekarno dan
disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri, tujuh kata dalam Piagam
Jakarta, yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa ini pada 22 Juni
1945, yang berisi kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, dihapuskan oleh tipu licik kelompok yang tidak
menginginkan syariat Islam tegak di negeri ini.
Inilah tragedi besar dalam sejarah perjuangan umat Islam Indonesia,
yang pada masa revolusi fisik berjuang dan bercita-cita, jika nanti
negeri ini merdeka, mereka menginginkan kemerdekaan ini dilandaskan pada
sistem Islam. Tak heran jika, Haji Agus Salim, tokoh nasional bangsa
ini, dengan lantang dan tegas mengatakan, cita-cita kemerdekaan bangsa
ini adalah kemerdekaan dalam bingkai dan semangat keislaman.
Apakah ini sebuah cita-cita yang berlebihan? Silakan bentangkan
fakta-fakta sejarah dengan kejujuran, siapa sesungguhnya yang lebih
banyak berjuang dan menggerakkan perlawanan dalam mengusir penjajah?
Siapa yang merekatkan tali persatuan dalam menggelorakan semangat
perjuangan mengusir bangsa asing yang datang merampas kekayaan negeri
ini?
Inilah bentangan fakta-fakta sejarah yang bisa menjawab pertanyaan tersebut…
Perlawanan umat Islam misalnya bisa dilihat dalam perjuangan yang
dilakukan KH Zainal Musthafa di Tasikmalaya, Jawa Barat, Kiai Subki di
Wonosobo, Imam Bonjol di Sumetera Barat (1821-1837), Pangeran Diponegoro
(1825-1830), Perang Sabil di Aceh (1837-1904), serta perlawanan para
sultan dari kerajaan-kerajaan Islam yang mengerahkan pasukannya untuk
mengusir penjajah. Semua perang yang terjadi bersukma dari seruan jihad,
dengan motor penggerak para pejuang Islam.
Perang Sabil yang berlangsung di Aceh, dan digerakkan oleh Teungku
Cik Di Tiro, Tengku Umar dan Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1904
misalnya, adalah jihad melawan apa yang disebut oleh mereka sebagai
kape-kape (kafir-kafir) Belanda. Perlawanan sengit yang dalam catatan
sejarah terekam dalam hikayat perang Sabil itu mampu menjadikan Aceh
sebagai daerah yang sulit ditaklukkan oleh penjajah.
Saat kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sudah bertekuk lutut pada bangsa kolonial, yaitu Inggris, Portugis, dan Belanda, daerah berjuluk Serambi Mekkah itu justru sulit ditaklukkan hingga akhir abad ke-18. Ruhul jihad rakyat Aceh yang tangguh menggema hingga pelosok Nusantara.
Pada masa selanjutnya, para ulama Aceh, di antaranya Tengku Muhammad
Daud Beureueh, terus menggelorakan semangat jihad melawan penjajah. Daud
Beureueh menyebut perlawanannya sebagai "perang Aceh dalam bentuk
baru", dengan terlebih dahulu menyiapkan kader-kader pejuang yang
sebelumnya digambleng dalam pusat-pusat pendidikan Islam (dayah).
Dari dayah inilah lahir pejuang-pejuang tangguh yang berperan aktif
mengusir penjajah, baik menjelang pendudukan militer Jepang, maupun pada
masa revolusi tahun 1945.
Tengku Daud Beureueh yang juga tokoh Persatuan Ulama Seluruh Aceh
(PUSA), mengorganisir gerakan bawah tanah untuk melakukan pemberontakan
terhadap Belanda di seluruh pelosok Tanah Rencong. Maka, pada tahun
1942, pecah pemberontakan di beberapa wilayah Aceh yang dimotori para
ulama, hingga seluruh tentara Belanda hengkang dari tanah Aceh.
Selain itu, semangat untuk mempertahankan kemerdekaan yang
diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, juga
terus diserukan oleh para ulama di Serambi Makkah.
Pada 15 Oktober 1945, seruan untuk mempertahankan kemerdekaan dari
Belanda yang berusaha merebut Pangkalan Brandan di Sumatera Utara,
bergema di Aceh. Para ulama yang terdiri dari Tengku Haji Hassan Krueng
Kalee, Tengku Haji Muhammad Daud Beureueh, Tengku Haji Jakfar Shiddiq
Lamjabat, dan Tengku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, mengeluarkan seruan
jihad kepada rakyat Aceh untuk berjuang mengangkat senjata melawan
penjajah.
Berikut isi seruan para ulama tersebut:
"…Indonesia tanah tumpah darah kita telah dimaklumkan kemerdekaannya
kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia di bawah
pimpinan Soekarno. Belanda adalah satu kerajaan kecil serta miskin. Satu
negeri yang kecilnya, lebih kecil dari negeri Aceh yang hancur lebur.
Mereka telah bertindak melakukan pengkhianatan kepada tanah air kita
Indonesia yang sudah merdeka untuk dijajah kembali. Kalau maksud jahanam
itu berhasil, maka pastilah mereka akan memeras segala lapisan rakyat,
merampas segala harta benda negara dan harta rakyat, dan segala kekayaan
yang kita kumpulkan selama ini akan musnah. Mereka akan memperbudak
rakyat Indonesia dan menjalankan usaha untuk menghapus Islam kita yang
suci serta menindas dan menghambat kemuliaan dan kemakmuran bangsa
Indonesia. Menurut keyakinan kami, perang ini adalah perjuangan suci
yang disebut 'Perang Sabil'…"
Selain di Aceh, kontribusi dan pengorbanan umat Islam juga menjadi
spirit kemerdekaan di beberapa daerah lain di tanah air. Dalam catatan
sejarawan Muslim, Ahmad Mansyur Suryanegara, proklamasi Indonesia yang
terjadi pada 17 Agustus 1945, dan bertepatan dengan 19 Ramadhan 1364 H,
juga tak lepas dari dorongan para ulama kepada Bung Karno untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut Mansyur, sebelum memproklamasikan kemerdekaan, Bung Karno
menemui para ulama, di antaranya para ulama di Cianjur Selatan, KH Abdul
Mukti dari Muhammadiyah dan KH Hasyim Asy'ari dari Nahdlatul Ulama.
Tapi apa mau dikata, air susu dibalas air tuba. Piagam Jakarta yang
berisi kewajiban menjalankan syariat Islam bagi kaum Muslimin di negeri
ini, dihapuskan sehari pasca proklamasi. Padahal, menurut keterangan
Jenderal Abdul Haris Nasution, Piagam Jakarta lahir di antaranya
berdasarkan dorongan dari ratusan ulama yang menginginkan umat Islam
hidup diatur dengan syariat Islam.
Karena itu, Jenderal Besar AH Nasution pernah menyatakan, "Dengan
hikmah Piagam Jakarta itu pulalah selamat sentosa menghantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur.."
Inilah pengkhianatan yang sungguh memilukan bagi umat Islam.
Allahyarham Dr Mohammad Natsir menyatakan, tanggal 17 Agustus 1945 kita
bertahmid, mengucap syukur karena negeri ini telah diberi kemerdekaan
atas rahmat Allah SWT. Namun, sehari setelah itu, kata Natsir, umat
Islam beristighfar, karena perjuangannya selama ini dikhianati.
Bahkan, dengan kalimat yang lebih tegas, Allahyarham Buya Hamka pernah menyatakan, "Mari kita berpahit-pahit, kaum Muslimin
belum pernah merasa puas dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban
menjalankan syariat Islam dalam kalangan pemeluknya seperti tercantum
dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi kenyataan."
Jadi, mari kita kembalikan Indonesia pada dasar Islam, pada semangat dan perjuangan menegakkan Islam!
Sumber: Artawijaya - Salam-Onine.com
*Sebagian besar sumber artikel ini berasal dari buku "Dilema Mayoritas" yang ditulis oleh Artawijaya
(saif al battar/arrahmah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar