Hagel: AS Tidak Bisa Mendikte Dunia
AP
REPUBLIKA.CO.ID, VIRGINIA -- http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/02/28/mix7pp-hagel-as-tidak-bisa-mendikte-dunia
Menteri Pertahanan Amerika Serikat
(AS), Chuck Hagel, akan mendasari kebijakan pertahanannya dengan
memperbaharui kerja sama dengan negara-negara aliansi. Kata dia,
dominasi militer negaranya sudah tidak lagi bisa menjadi jalan keluar.
''AS tidak bisa mendikte dunia. Kita harus melibatkan dunia dan negara aliansi lama dan baru (untuk bekerja sama),'' ucap Hagel setelah resmi berkantor di Markas Utama Departemen Pertahanan AS, Rabu (27/2), seperti dikutip Reuters, dan dilansir Huffington Post, Kamis (28/2).
Hagel baru saja memenangkan pertarungan politik di Capitol Hill, Selasa (26/2). Sebanyak 58 dari 100 kursi senat meloloskan bekas Senator Nebraska ini untuk memimpin kebijakan pertahanan dalam kabinet kedua Presiden Barack Obama. Banyak pernyataan optimisme yang diumbar olehnya menghadapi situasi global saat ini.
Saat pidato pertamanya di Pentagon, Rabu (27/2) Hagel mengakui kebijakan pertahanan AS mendatang harus berorientasi internasional. Hagel menegaskan agar AS berhati-hati dengan penggunaan militer yang berlebihan. Bekas prajurit perang Vietnam ini mengaku paham benar dengan dampak hal itu. ''Kita punya kekuatan. Tapi bagaimana kita harus menggunakannya,'' ujar dia.
Hingga sekarang, AS sedang berupaya akan menyisakan setengah pasukan dari 24 ribu lebih serdadu perangnya di Afganistan. ''Kami telah membuat beberapa kesalahan. Tapi kami tidak akan terus membuat kesalahan. Kami akan menjadi kekuatan yang baik, '' sambung dia, seperti dilansir News Internasional, Kamis (28/2).Sumber : Reuters/AP Reporter : Bambang NoroyonoRedaktur : Dewi Mardiani
''AS tidak bisa mendikte dunia. Kita harus melibatkan dunia dan negara aliansi lama dan baru (untuk bekerja sama),'' ucap Hagel setelah resmi berkantor di Markas Utama Departemen Pertahanan AS, Rabu (27/2), seperti dikutip Reuters, dan dilansir Huffington Post, Kamis (28/2).
Hagel baru saja memenangkan pertarungan politik di Capitol Hill, Selasa (26/2). Sebanyak 58 dari 100 kursi senat meloloskan bekas Senator Nebraska ini untuk memimpin kebijakan pertahanan dalam kabinet kedua Presiden Barack Obama. Banyak pernyataan optimisme yang diumbar olehnya menghadapi situasi global saat ini.
Saat pidato pertamanya di Pentagon, Rabu (27/2) Hagel mengakui kebijakan pertahanan AS mendatang harus berorientasi internasional. Hagel menegaskan agar AS berhati-hati dengan penggunaan militer yang berlebihan. Bekas prajurit perang Vietnam ini mengaku paham benar dengan dampak hal itu. ''Kita punya kekuatan. Tapi bagaimana kita harus menggunakannya,'' ujar dia.
Hingga sekarang, AS sedang berupaya akan menyisakan setengah pasukan dari 24 ribu lebih serdadu perangnya di Afganistan. ''Kami telah membuat beberapa kesalahan. Tapi kami tidak akan terus membuat kesalahan. Kami akan menjadi kekuatan yang baik, '' sambung dia, seperti dilansir News Internasional, Kamis (28/2).Sumber : Reuters/AP Reporter : Bambang NoroyonoRedaktur : Dewi Mardiani
Faksi Politik di Irak Tuntaskan Krisis Via Dialog
Minggu, 02 Juni 2013, 14:41 WIB
Reuters/Atef Hassan Sumber : Reuters/AP
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/06/02/mnr2r4-faksi-politik-di-irak-tuntaskan-krisis-via-dialog
REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD --
Pemimpin blok politik utama di Irak,
Sabtu (1/6), melancarkan pembicaraan di Ibu Kota Irak, Baghdad, dalam
upaya membahas krisis politik yang mengancam akan menjerumuskan Irak ke
dalam pergolakan sektarian habis-habisan, kata satu televisi resmi.
Sebagian politikus senior dari berbagai faksi Irak, termasuk Perdana
Menteri Nuri Al-Maliki, Ketua Parlemen Osama An-Nujaifi, dan Wakil
Al-Maliki --Roj Nuri Shawis, yang juga seorang pemimpin Kurdi--
dijadwalkan bertemu di kantor pemimpin Syiah Ammar Al-Hakim, Ketua Dewan
Tertinggi Islam Irak, demikian laporan stasiun televisi resmi Iraqia.
Pertemuan itu dijadwalkan membahas berbagai cara mengakhiri perbedaan
politik di kalangan berbagai faksi, selain situasi keamanan yang
baru-baru ini memburuk di negeri tersebut. Para peserta pertemuan juga
dijadwalkan membicarakan masalah berlanjutnya protes oleh masyarakat
Sunni yang berawal pada penghujung Desember, kata saluran televisi itu.
Pertemuan tersebut diselenggarakan di tengah meningkatnya ketegangan sektarian antara masyarakat, demikian laporan Xinhua. Pertikaian telah mencapai tingkat tertingginya sejak tentara AS ditarik dari Irak pada akhir 2011.
Selama lima bulan, masyarakat Sunni telah memprotes pemerintah, yang
dipelopori penganut Syiah, di berbagai provinsi dan kabupaten Sunni di
Baghdad.
Misi Bantuan PBB buat Irak (UNAMI) mengatakan di dalam satu
pernyataan pada Sabtu kerusuhan di Irak telah mencapai rekor paling
tinggi sejak 2008, selama dua bulan belakangan --April dan Mei. Sebanyak
1.045 orang, katanya, tewas di Irak pada Mei, naik dari 712 pada April.
"Ini adalah rekor yang menyedihkan. Para pemimpin politik Irak harus
segera bertindak untuk menghentikan pertumpahan darah yang tak bisa
dibiarkan ini," kata Martin Kobler, Utusan PBB di Baghdad dan pemimpin
UNAMI.
|
Rabbi Yahudi Arthur Schneier Pendiri ACF & Pemberi Penghargaan SBY
VOA-ISLAM.COM - http://www.voa-islam.com/news/world-world/2013/05/31/24917/rabbi-yahudi-arthur-schneier-pendiri-acf-pemberi-penghargaan-sby/
Appeal of Conscience Foundation (ACF) adalah organisasi yang didirikan
oleh seorang Rabbi Yahudi Arthur Schneier sejak tahun 1965 silam.
ACF
disebut bekerja untuk memperjuangkan kebebasan beragama dan hak asasi
manusia di seluruh dunia. Bahkan setelah tragedi kemanusiaan 11
September 2001, yayasan ini ikut mengajak berbagai pemimpin dunia untuk
ikut bersama-sama mengambil sikap memerangi terorisme.
Sementara
Schneier lahir pada 20 Maret 1930 di Wina , Austria. Ia merupakan Rabbi
senior dari sinagog Park East, di New York sejak tahun 1962. Ia pernah
hidup di bawah pendudukan Nazi di Budapest selama Perang Dunia II dan
tiba di Amerika Serikat pada tahun 1947. Ia menikah dengan Elisabeth
Nordmann Schneier.
Rabbi
Schneier dikenal memiliki peran perintis dalam memperjuangkan Yahudi di
Soviet dan membangun kembali kehidupan keagamaan Yahudi di Rusia,
Ukraina dan Eropa Timur. Ia juga berhasil menegosiasikan kembalinya
Sinagog Moskow ke komunitas Yahudi.
Aktivitasnya
sebagai seorang Zionis Yahudi terlihat dari sejumlah penghargaan dan
pengakuan yang disematkan pada Schneier, diantaranya Conference of
Presidents of Major Jewish Organizations, Religious Zionists of America,
World Jewish Congress American Section dan lain-lain.
Schneier
juga disebut sebagai salah satu korban Holocaust yang berhasil selamat.
Ia telah mengabdikan hidupnya untuk mengatasi kebencian dan sikap
intoleran terhadap umat beragama. Organisasi yang didirikannya tersebut
rutin memberikan penghargaan Statesman Award (penghargaan negarawan) kepada para pemimpin dunia sejak tahun 1997.
Beragam
tokoh penting dunia tercatat pernah menerima penghargaan ini. Mulai dari
mantan Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, mantan Presiden Perancis,
Nicolas Sarkozy dan Kanselir Jerman, Angela Merkel termasuk mantan
menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, terakhir penerima penghargaan
tersebut adalah pemimpin negara muslim terbesar di dunia, Presiden RI,
Susilo Bambang Yudhoyono. [Widad/dbs]
Sang Pelawan Dominasi Barat
Republika/Daan
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/06/02/mnrrkj-sang-pelawan-dominasi-barat
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Pada 14 Juni nanti Iran akan menjadi pusat perhatian dunia, wabil khusus para pemimpin Barat (Amerika Serikat dan Eropa Barat) dan Timur Tengah. Pada hari itu negara berpenduduk sekitar 78 juta ini akan menyelenggarakan pemilihan presiden. Pemilu kepala eksekutif kali ini merupakan yang kesebelas sejak Revolusi Islam Iran berhasil menggulingkan rezim penguasa "Shahanshah" (sebuah gelar yang berarti raja segala raja) Shah Reza Pahlavi pada 1979. Revolusi rakyat yang kemudian mengantarkan terbentuknya Republik Islam Iran.
Pemilihan presiden Iran sekarang ini mendapatkan perhatian dunia karena akan menentukan kebijakan yang terkait dengan isu-isu penting, global maupun regional.
Pertama, soal program nuklir, yang hingga kini belum berhasil mempertemukan dua pandangan yang berbeda antara Iran dan negara-negara Barat. Berkali-kali Iran berdalih program nuklirnya untuk pembangkit listrik alias untuk kesejahteraan rakyatnya. Berkali-kali pula negara-negara Barat terus curiga nuklir Iran untuk senjata dan perang. Apalagi, kemudian Israel ikut nimbrung mengancam untuk menyerang pusat-pusat reaktor nuklir Iran, yang menjadikan suasana Timur Tengah semakin panas.
Hingga kini, sejumlah perundingan antara kedua pihak--Barat versus Iran--sudah digelar, namun tetap belum menemukan titik temu. Yang menjadi aneh di sini adalah bahwa bukan rahasia lagi negara Zionis Israel telah lama mempunyai program nuklir. Bahkan bukan rahasia pula program nuklirnya itu untuk senjata. Lalu mengapa Barat begitu takut terhadap program nuklir Iran dan tidak khawatir dengan senjata nuklir negara Zionis Yahudi?
Yang mengherankan lagi, negara-negara Arab, terutama negara-negara Teluk, pun ikut memainkan musik yang sama yang dikonduktori oleh pihak Barat. Alasannya, kawasan Timur Tengah harus bersih dari persenjataan nuklir. Namun, sekali lagi, dunia Arab pun ikut tidak mempersoalkan program persenjataan nuklir Israel. Padahal, negara Zionis Yahudi ini berada di pusat kawasan Timur Tengah yang terus bergolak itu.
Kedua, menyangkut konflik Palestina/Arab versus Israel. Negara-negara Arab moderat mendukung perundingan damai yang disponsori Amerika Serikat. Sedangkan Iran berpandangan lain, yaitu Israel tidak mempunyai hak hidup di bumi Timur Tengah. Atau dengan istilah lain, mereka, negara Zionis Yahudi itu, irmi ilal bahr alias buang saja ke laut. Alasannya, keberadaan negara Zionis Israel merupakan konspirasi negara-negara Barat untuk menjajah negara-negara Islam dengan memasang negara boneka Israel persis di jantung Timur Tengah. Karena itulah, Iran tidak pernah menyokong proses perundingan dengan Israel. Lantaran itu pula Iran lebih dekat dengan kelompok pejuang Hamas daripada faksi Fatah yang cenderung kompromistis.
Ketiga, menyangkut persoalan Suriah. Bagi Liga Arab, solusi satu-satunya untuk menyelesaikan konflik di Suriah adalah Bashar Assad harus mundur dari tahta kepresidenan. Sedangkan Iran--bersama dengan Rusia dan Cina--merupakan pendukung utama rezim penguasa Presiden Assad. Sikap Liga Arab--dengan sponsor utama negara-negara Teluk plus Turki--ini kemudian diadopsi oleh negara-negara Barat. Sejumlah negara Arab mencurigai bahwa Iran ingin menciptakan poros Syiah yang meliputi Irak, Suriah, dan Hizbullah di Lebanon Selatan.
Dengan perbedaan sikap atas berbagai persoalan krusial itulah--baik internasional maupun regional--pemilihan Presiden Iran menjadi penting dan menjadi perhatian dunia. Yakni, apakah Presiden Iran mendatang akan tetap bersikap keras melawan dominasi kepentingan Barat atau lebih kompromistis?
Selama ini, boleh dikata, Iran merupakan sedikit atau mungkin satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah yang berani secara terang-terangan mengkritik dan meneriakkan kata "tidak" bagi hegemoni kepentingan Barat di kawasan Timur Tengah. Akibatnya, selama puluhan tahun PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa)--yang disponsori negara-negara Barat--telah mengenakan sanksi embargo ekonomi terhadap perekonomian Iran.
Keberlanjutan aksi boikot ekonomi ini sedikit banyak akan dipengaruhi oleh sikap Presiden Iran mendatang.
Ada delapan kandidat yang akan mengikut pemilihan presiden pada 14 Juni nanti. Mereka adalah Saeed Jalili (juru runding nuklir Iran), Mohammad Baqer Qalibaf (Wali Kota Teheran), Ali Akbar Velayani (penasihat ahli Pemimpinn Dewan Agung untuk Urusan Internasional/mantan menteri luar negeri), Hasan Rowhani (mantan juru runding nuklir/mantan wakil ketua parlemen), Gholamali Haddad-Adel (mantan ketua parlemen/besan Ayatullah Ali Khamenei), Mohammad Reza Aref (politisi reformis dan anggota dewan kebijakan penasihat Pemimpin Agung), Mohsen Rezai (Sekjen Dewan Kebijakan), dan Mohammad Gharazi (mantan menteri).
Kedelapan kandidat itu merupakan hasil seleksi Dewan Penjaga Konstitusi. Sebelumnya, mereka yang mendaftar sebagai calon presiden Iran lebih dari 240 orang. Di antara mereka yang digugurkan adalah Akbar Heshemi Rafsanjani (mantan presiden) dan Esfandiar Rahim Mashaie (sekutu Presiden Ahmadinejad). Sejumlah media memperkirakan pelarangan dua tokoh kuat ini untuk menghilangkan ancaman bagi kepentingan kelompok garis keras yang diwakili oleh Ayatullah Ali Khamenei.
Dengan gambaran kandidat presiden seperti itu, maka dapat disimpulkan siapa pun yang menang dari delapan calon presiden itu akan tetap loyal kepada Dewan Agung yang dipimpin Ayatullah Khamenei. Karena itu, kebijakan Iran terhadap isu-isu krusial, baik internasional maupun regional, bisa diperkirakan tidak akan banyak berubah. Apalagi, sanksi ekonomi selama ini justru telah menjadikan Iran semakin mandiri dan kuat.
Pada 14 Juni nanti Iran akan menjadi pusat perhatian dunia, wabil khusus para pemimpin Barat (Amerika Serikat dan Eropa Barat) dan Timur Tengah. Pada hari itu negara berpenduduk sekitar 78 juta ini akan menyelenggarakan pemilihan presiden. Pemilu kepala eksekutif kali ini merupakan yang kesebelas sejak Revolusi Islam Iran berhasil menggulingkan rezim penguasa "Shahanshah" (sebuah gelar yang berarti raja segala raja) Shah Reza Pahlavi pada 1979. Revolusi rakyat yang kemudian mengantarkan terbentuknya Republik Islam Iran.
Pemilihan presiden Iran sekarang ini mendapatkan perhatian dunia karena akan menentukan kebijakan yang terkait dengan isu-isu penting, global maupun regional.
Pertama, soal program nuklir, yang hingga kini belum berhasil mempertemukan dua pandangan yang berbeda antara Iran dan negara-negara Barat. Berkali-kali Iran berdalih program nuklirnya untuk pembangkit listrik alias untuk kesejahteraan rakyatnya. Berkali-kali pula negara-negara Barat terus curiga nuklir Iran untuk senjata dan perang. Apalagi, kemudian Israel ikut nimbrung mengancam untuk menyerang pusat-pusat reaktor nuklir Iran, yang menjadikan suasana Timur Tengah semakin panas.
Hingga kini, sejumlah perundingan antara kedua pihak--Barat versus Iran--sudah digelar, namun tetap belum menemukan titik temu. Yang menjadi aneh di sini adalah bahwa bukan rahasia lagi negara Zionis Israel telah lama mempunyai program nuklir. Bahkan bukan rahasia pula program nuklirnya itu untuk senjata. Lalu mengapa Barat begitu takut terhadap program nuklir Iran dan tidak khawatir dengan senjata nuklir negara Zionis Yahudi?
Yang mengherankan lagi, negara-negara Arab, terutama negara-negara Teluk, pun ikut memainkan musik yang sama yang dikonduktori oleh pihak Barat. Alasannya, kawasan Timur Tengah harus bersih dari persenjataan nuklir. Namun, sekali lagi, dunia Arab pun ikut tidak mempersoalkan program persenjataan nuklir Israel. Padahal, negara Zionis Yahudi ini berada di pusat kawasan Timur Tengah yang terus bergolak itu.
Kedua, menyangkut konflik Palestina/Arab versus Israel. Negara-negara Arab moderat mendukung perundingan damai yang disponsori Amerika Serikat. Sedangkan Iran berpandangan lain, yaitu Israel tidak mempunyai hak hidup di bumi Timur Tengah. Atau dengan istilah lain, mereka, negara Zionis Yahudi itu, irmi ilal bahr alias buang saja ke laut. Alasannya, keberadaan negara Zionis Israel merupakan konspirasi negara-negara Barat untuk menjajah negara-negara Islam dengan memasang negara boneka Israel persis di jantung Timur Tengah. Karena itulah, Iran tidak pernah menyokong proses perundingan dengan Israel. Lantaran itu pula Iran lebih dekat dengan kelompok pejuang Hamas daripada faksi Fatah yang cenderung kompromistis.
Ketiga, menyangkut persoalan Suriah. Bagi Liga Arab, solusi satu-satunya untuk menyelesaikan konflik di Suriah adalah Bashar Assad harus mundur dari tahta kepresidenan. Sedangkan Iran--bersama dengan Rusia dan Cina--merupakan pendukung utama rezim penguasa Presiden Assad. Sikap Liga Arab--dengan sponsor utama negara-negara Teluk plus Turki--ini kemudian diadopsi oleh negara-negara Barat. Sejumlah negara Arab mencurigai bahwa Iran ingin menciptakan poros Syiah yang meliputi Irak, Suriah, dan Hizbullah di Lebanon Selatan.
Dengan perbedaan sikap atas berbagai persoalan krusial itulah--baik internasional maupun regional--pemilihan Presiden Iran menjadi penting dan menjadi perhatian dunia. Yakni, apakah Presiden Iran mendatang akan tetap bersikap keras melawan dominasi kepentingan Barat atau lebih kompromistis?
Selama ini, boleh dikata, Iran merupakan sedikit atau mungkin satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah yang berani secara terang-terangan mengkritik dan meneriakkan kata "tidak" bagi hegemoni kepentingan Barat di kawasan Timur Tengah. Akibatnya, selama puluhan tahun PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa)--yang disponsori negara-negara Barat--telah mengenakan sanksi embargo ekonomi terhadap perekonomian Iran.
Keberlanjutan aksi boikot ekonomi ini sedikit banyak akan dipengaruhi oleh sikap Presiden Iran mendatang.
Ada delapan kandidat yang akan mengikut pemilihan presiden pada 14 Juni nanti. Mereka adalah Saeed Jalili (juru runding nuklir Iran), Mohammad Baqer Qalibaf (Wali Kota Teheran), Ali Akbar Velayani (penasihat ahli Pemimpinn Dewan Agung untuk Urusan Internasional/mantan menteri luar negeri), Hasan Rowhani (mantan juru runding nuklir/mantan wakil ketua parlemen), Gholamali Haddad-Adel (mantan ketua parlemen/besan Ayatullah Ali Khamenei), Mohammad Reza Aref (politisi reformis dan anggota dewan kebijakan penasihat Pemimpin Agung), Mohsen Rezai (Sekjen Dewan Kebijakan), dan Mohammad Gharazi (mantan menteri).
Kedelapan kandidat itu merupakan hasil seleksi Dewan Penjaga Konstitusi. Sebelumnya, mereka yang mendaftar sebagai calon presiden Iran lebih dari 240 orang. Di antara mereka yang digugurkan adalah Akbar Heshemi Rafsanjani (mantan presiden) dan Esfandiar Rahim Mashaie (sekutu Presiden Ahmadinejad). Sejumlah media memperkirakan pelarangan dua tokoh kuat ini untuk menghilangkan ancaman bagi kepentingan kelompok garis keras yang diwakili oleh Ayatullah Ali Khamenei.
Dengan gambaran kandidat presiden seperti itu, maka dapat disimpulkan siapa pun yang menang dari delapan calon presiden itu akan tetap loyal kepada Dewan Agung yang dipimpin Ayatullah Khamenei. Karena itu, kebijakan Iran terhadap isu-isu krusial, baik internasional maupun regional, bisa diperkirakan tidak akan banyak berubah. Apalagi, sanksi ekonomi selama ini justru telah menjadikan Iran semakin mandiri dan kuat.
ANTARA CINA DAN AMERIKARedaktur : M Irwan Ariefyanto
Presiden
SBY pernah “membual” bahwa Indonesia akan menjadi negara maju pada
tahun 2020, 6 tahun setelah ia menyelesaikan jabatannya tahun 2014.
Tidak dijelaskannya bagaimana hal itu bisa terwujud, termasuk apa yang
akan dilakukannya selama menjabat presiden untuk mewujudkan “bualan”
itu. Yang pasti, saat ia “lengser”, ia akan mewariskan hutang luar
negeri sekitar Rp 2000 triliun rupiah dan tidak ada program yang jelas
bagaimana untuk melunasinya.
Beberapa waktu lalu SBY mencanangkan gerakan diversifikasi energi dengan mengembangkan biodiesel, namun program ini mangkrak begitu saja menimbulkan kerugian yang tidak terhitung termasuk para petani yang terlanjur menanam pohon jarak namun kini tidak ada yang membeli hasilnya. Cukup dengan bualan SBY. Mari kita lihat apa yang tengah dilakukan pemerintah Cina dengan uang rakyat yang dibelanjakannya: membangun jaringan kereta api supercepat sepanjang 25.000 km, membangun jaringan bandara ultramodern di seluruh penjuru negeri, membangun industri bio-genetik terbesar di dunia, dan yang terakhir membangun industri mobil listrik terbesar di dunia dan menjadi negara pertama yang industri otomotifnya terbebas dari ketergantungan energi BBM sekaligus menciptakan efisiensi nasional yang luar biasa. Dengan semua yang dilakukan itu, Cina tidak perlu diragukan lagi bakal menjadi negara paling maju di dunia dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Saat ini Cina kini telah menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua terbesar di dunia setelah Amerika. Namun dalam hal kekayaan, Cina adalah "negara paling kaya". Banyak orang yang terjebak dengan konsep "kekayaan" sebuah negara. Sebagian besar orang menganggap gross national product (GNP, jumlah barang dan jasa yang dihasilkan sebuah negara dalam 1 tahun), sebagai standar kekayaan atau kemakmuran sebuah negara. Padahal itu semua sama sekali tidak mencerminkan kemampuan negara dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dan menjadi sesuatu yang tidak berarti jika GNP yang besar tersebut tidak bisa memberikan kemakmuran pada rakyat. Jika sebuah negara dengan GNP terbesar di dunia menghasilkan X barang dan jasa setahun, namun menghabiskan x+1 barang dan jasa per-tahun, maka GNP besar tersebut tidak ada artinya, bahkan masih kurang. Namun sebuah negara dengan GNP hanya 0,5 X dan pengeluarannya hanya 0,4 X masih mempunyai tabungan sebesar 0,1 X. Tabungan itu (biasanya dalam bentuk cadangan devisa atau emas) bisa digunakan untuk melakukan pembangunan, menambah belanja pemerintah, atau mengatasi keadaan darurat tanpa harus berhutang kepada negara lain. Negara kedua dalam contoh di atas, dengan GNP lebih kecil mempunyai kekayaan lebih besar dibanding negara pertama. Sekarang mari kita bandingkan kondisi antara Cina dan Amerika. Cina, meski memiliki GNP hanya sekitar $5,8 triliun dibanding Amerika yang mencapai $14 triliun, namun Cina jauh lebih kaya dibanding Amerika. Cina memiliki cadangan devisa sekitar $2 triliun. Dengan itulah Cina bisa melakukan pembangunan besar-besaran sebagaimana sudah disebutkan di atas. Sementara Amerika, sejauh saya ketahui hanya mempunyai cadangan hutang yang menumpuk. Hutang pemerintah Amerika telah menembus angka $14 triliun dan tahun ini saja presiden Obama mengajukan penambahan hutang untuk membiayai defisit APBN sebesar $1,65 triliun. Hal ini masih diperparah dengan neraca perdagangan Amerika yang terus memburuk, defisit ratusan miliar dolar setiap tahunnya. Setiap tahunnya pemerintah Amerika harus membayar beban bunga hutang sekitar $300 miliar, atau hampir mencapai 3x APBN Indonesia saat ini. Pada tahun 2020 mendatang diperkirakan beban bunga hutang pemerintah Amerika akan mencapai $750 miliar. Dengan kondisi seperti itu sebenarnya bisa dikatakan pemerintah dan ekonomi Amerika telah bangkrut karena tidak ada seorang pun yang bisa memastikan bagimana cara melunasi hutang tersebut tanpa menghancurkan ekonomi Amerika dan dunia. Jika ada 1.000 mesin uang yang masing-masing bisa mencetak 1 dolar uang setiap detiknya, maka diperlukan 31 tahun untuk bisa mencetak uang sebanyak $1 triliun. Untuk melunasi $14 triliun dengan mesin uang yang sama dibutuhkan waktu 440 tahun. Namun jauh sebelum itu dunia sudah hancur karena hiperinflasi akibat gelontoran uang triliunan dolar. Bahkan untuk sekedar membiayai belanja tahunannya saja pemerintah Amerika harus berhutang. Jika anggaran hutang pemerintah tahun ini sebesar $1,65 triliun disetujui, maka efektif 43% dari total anggaran pemerintah Amerika dibiayai dengan hutang. Untuk saat ini pemerintah Amerika masih bisa bernafas karena masih adanya lembaga-lembaga keuangan internasional yang masih mau membeli obligasi (surat hutang) pemerintah Amerika. Namun tentu saja hal itu tidak bisa terus-menerus, terutama dengan kondisi ekonomi Amerika yang terus memburuk. Ditambah lagi, Jepang, negara yang banyak membeli obligasi pemerintah Amerika kini tengah dilanda krisis ekonomi akibat bencana tsunami dan nuklir. Alih-alih membeli lagi obligasi pemerintah Amerika yang nilainya telah mencapai $800 miliar lebih, Jepang akan banyak menjual obligasi yang dimilikinya. Pada tahun 2008 lalu Office of Management and Budget parlemen Amerika memprediksikan anggaran belanja wajib (sosial dan kesehatan) pemerintah Amerika akan melebihi total pendapatan pemerintah dari pajak dan lain-lainnya pada tahun 2058. Kini prediksi itu berubah dengan cepat. Anggaran wajib pemerintah Amerika akan melampaui total pendapatan pemerintah tahun ini juga. Dengan kata lain, jika pemerintah Amerika menghapuskan seluruh anggaran di luar anggaran sosial dan kesehatan, termasuk menghapuskan anggaran pertahanan, pemerintah tetap mengalami defisit anggaran yang harus dibiayai dengan berhutang. Yang menyedihkan adalah bahwa meski sudah jelas masa depan kehancuran karena hutang sudah jelas terlihat, para politisi, termasuk di Indonesia, terus menerus menambah hutang. Pada masa pemerintahan Ronald Reagan, hutang pemerintah menjadi isu yang sangat sensitif dengan para politisi berlomba-lomba menjanjikan program-program pembangunan yang bisa mengurangi beban hutang. Saat itu hutang pemerintah baru saja menembuas angka $1 triliun. Kini hutang itu telah menjadi 14 x lipat, dan presiden Obama masih mau menambahnya lagi sebesar $1,65 triliun tahun ini saja. Sebuah artikel di majalah Business Insider baru-baru ini menuliskan bahwa PIMCO, sebuah perusahaan sekuritas terbesar di dunia telah menjual semua obligasi pemerintah Amerika yang dimilikinya. Mungkinkah PIMCO telah melihat “masalah” serius dalam perekonomian Amerika dalam waktu dekat mendatang? |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar