Menlu AS Mengakui Kewalahan Dengan Pemerintah Suriah
http://beritapohuwato.blogspot.com/2013/06/menlu-as-mengakui-kewalahan-dengan.html
POHUWATO ONLINE,
Menteri Luar Negeri AS mengakui kewalahan
menghadapi situasi terbaru di Suriah. John Kerry mengisyaratkan
penurunan kemampuan Amerika untuk mempengaruhi Suriah, terutama setelah
militer Assad berhasil memukul mundur milisi teroris. "Ini adalah proses
yang sangat sulit.. ," kata Kerry di Departemen Luar Negeri AS seperti
dilansir kantor berita IRNA.
Pernyataan Kerry datang di saat AS selama beberapa tahun terakhir agresif menggalang mobilisasi dukungan regional dan internasional untuk mensponsori milisi teroris di Suriah demi menggulingkan pemerintah Bashar al-Assad.
Bulan lalu, Kerry berjanji akan memperluas dukungan Washington terhadap milisi pemberontak Suriah jika "diplomasi" gagal untuk mengakhiri apa yang ia klaim sebagai "perang saudara" di negara Arab itu.
Sebelumnya, Senator dari Partai Republik John McCain mengakui bahwa pemerintahan Assad kini berada di atas angin dalam melawan milisi pemberontak yang disponsori kekuatan asing.
Pernyataan Kerry datang di saat AS selama beberapa tahun terakhir agresif menggalang mobilisasi dukungan regional dan internasional untuk mensponsori milisi teroris di Suriah demi menggulingkan pemerintah Bashar al-Assad.
Bulan lalu, Kerry berjanji akan memperluas dukungan Washington terhadap milisi pemberontak Suriah jika "diplomasi" gagal untuk mengakhiri apa yang ia klaim sebagai "perang saudara" di negara Arab itu.
Sebelumnya, Senator dari Partai Republik John McCain mengakui bahwa pemerintahan Assad kini berada di atas angin dalam melawan milisi pemberontak yang disponsori kekuatan asing.
Sumber: Republika Online
Read more: http://beritapohuwato.blogspot.com/2013/06/menlu-as-mengakui-kewalahan-dengan.html#ixzz2VmWFQjmP
Krisis Suriah: Sarang Laba-Laba Takfiri
ANDAI MAU berpikir sejenak, kita segera bisa menemukan kesamaan
mengejutkan antara kaum takfiri di satu sisi dan, di sisi lain, zionis.
Mereka setali tiga uang dalam pola pikir dan modus operandi teror. Ini
menyedihkan, sebenarnya. Sebab sekuat apapun kita mencoba untuk
memisahkannya, hanya ada tembok tebal yang menghadang. Begini: tiap kali
dua kelompok ini berada di atas angin, maka mereka akan gembar-gembor
menantang seluruh dunia, bernafsu menaklukkan siapa saja, meremehkan
semua yang hendak melawannya dan sama-sama mendapat mandat dari Sang
Pencipta langsung untuk berkuasa terhadap siapa saja. Ambisi yang
demikian besar ini sesungguhnya lahir dari ketidakpercayaan yang sangat
terhadap tujuan mereka sendiri dan juga lahir dari kekufuran yang
mengerikan akan adanya kekuasaan Ilahi di balik pengaturan segala
sesuatu. Nyaris kita tidak menemukan sedikit kerendahan hati pada
mereka.
Namun demikian, menghadapi sedikit saja kekalahan atau perlawanan yang serius dari pihak yang berseberangan, mereka bakal mendadak sontak menjadi sekerdil-kerdilnya pengecut yang bisa dibayangkan manusia. Mereka akan melontarkan berbagai tuduhan kekejaman pada lawan, mencari simpati dengan segala cara, dan menginginkan semua dunia ikut menanggung getirnya kekalahan yang akan mereka derita.
Begitulah perilaku zionis Israel saat mereka menyerang basis Hizbullah di Lebanon Selatan dan Dahia tahun 2006 silam. Di hari-hari pertama, nafsu menghabisi Hizbullah begitu membuncah di dada Ehud Olmert dan pimpinan militer rezim zionis kala itu. Seruan dunia untuk menghentikan serangan tak mereka gubris. Mereka seolah mendapat mandat langsung dari langit ketujuh untuk memusnahkan musuhnya, tanpa kenal ampun sama sekali. Namun, memasuki pekan kedua dari perang yang berlangsung 33 hari itu, Israel mulai menemukan sebuah perlawanan sengit pejuang Hizbullah, maka keadaan mendadak berbalik. Wakil-wakil rezim Zionis ini kasak-kusuk melobi kemana-mana, menjaring simpati dan menggedor hati dunia untuk berbelas-kasih pada nasib mereka dan sama-sama mengecam aksi-aksi "teror" Hizbullah. Publik dunia terus mereka ingatkan pada derita Holocaust, kisah yang timbul-tenggelam tiap kali zionis berulah. Padahal, dalam kenyataannya, aksi-aksi Hizbullah saat itu hanya sebatas mempertahankan diri. Tidak lebih.
Seperti gerombolan hina yang terpukul oleh kegesitan perlawanan singa, mereka berteriak-teriak meminta perlindungan AS dan Dewan Keamanan PBB. Tak segan-segan rezim zionis ini menyuruh sekutu-sekutu Arabnya yang bersembunyi dan malu-malu kucing untuk keluar dari sarang dan membantu mereka dengan terang-terangan. Tak kurang dari PM Lebanon ketika itu, Fouad Seniora, keluar dari sarang dan menekan Hizbullah untuk meneken persetujuan untuk menghentikan peperangan dengan rezim Zionis. Menlu Saudi, Saud Al-Faisal, menyatakan bahwa Hizbullah telah bersikap avonturer. Dan sebagainya.
Belakangan ini perilaku yang sama terlihat jelas dari kelompok teroris takfiri di Suriah, khususnya yang bergerombol di Al-Qusair. Selama dua tahun mereka menguasai wilayah ini, ambisi menghabisi seluruh kelompok yang berbeda seperti tumpah-tumpah dari dada mereka. Tak henti-hentinya mereka mengancam-ancam, mengusir, membantai, dan menggagahi warga yang tinggal di wilayah tersebut. Ribuan orang tunggang langgang melarikan diri dari rumah-rumah mereka akibat prahara yang ditebar oleh kelompok takfiri yang bernaung di bawah Jabhat Al-Nusra tersebut. Yang tak kalah pentingnya ialah aksi kanibalisme Abu Saqar yang merupakan salah satu teroris yang selama dua tahun terakhir berkeliaran di Qusair.
Tidak hanya itu. Dari wilayah ini pula mereka mengancam warga Syiah di Lebanon dengan segala prahara dan siksa. Kemudian, puncaknya, dari wilayah yang berbatasan dengan Lebanon itu, mereka melontarkan beberapa roket ke arah rumah-rumah penduduk di Hermel dan Lembah Bekaa. Dengan gagah berani, pimpinan gerombolan ini tampil di potongan-potongan video, menyemburkan segala sumpah serapah dan ancaman terhadap Hizbullah dan pribadi Sayyid Hasan Nashrullah yang kata mereka berpihak kepada Bashar Assad.
Namun demikian, ketika genderang perang Tentara Arab Suriah ditabuh, dan mulailah fase pertama dari operasi perebutan kembali wilayah ini, suara kelompok takfiri dan para pendukung mereka di Istanbul dan Doha mendadak parau. Kegarangan dan kegaharan yang mereka tampilkan selama dua tahun itu berubah menjadi tebar pesona dan cari muka yang menjemukan. Para “rambo” itu sontak tampil bak drama queen, yang seolah-olah mengira bahwa perang akan selalu berarti kemenangan bagi mereka. Rengekan, rintihan, dan suara tangisan yang tak wajar terdengar nyaring di media massa pendukung mereka. Kecaman terhadap kekejaman Hizbullah dan rezim Assad bergaung tanpa henti. Ketakutan yang mereka balut dengan kegagahan palsu itu berujung pada permintaan bertubi-tubi dari negara-negara Barat penyokong mereka kepada rezim Bashar untuk membuka koridor kemanusiaan bagi yang terluka dari kelompok arogan ini.
George Sabra, ketua National Syrian Coalition, memperlihatkan sikap plin-plan itu dalam sepekan terakhir. Hari Jum'at tanggal 31 Mei silam dia tampil di televisi menyatakan bahwa Qusair akan menjadi kuburan bagi Tentara Suriah dan pejuang Hizbullah. Hari Selasa tanggal 4 Juni, dia muncul lagi meminta belas-kasih Nabih Berri, ketua Parlemen Lebanon, untuk memberi kesempatan kepada gerombolan teroris yang terluka dapat berobat di Lebanon. Seruan bernada ancaman itu menunjukkan watak aneh yang sedang kita bicarakan di sini.
Ada apa dengan semua ini? Watak pengecut dan munafik seperti apa yang membaluti kepribadian kedua kelompok ini? Jawabannya sebenarnya sederhana. Inilah watak dari sekelompok manusia dengan ambisi tanpa batas tetapi kemampuan sangat terbatas. Tiap kali mereka dibiarkan merajalela, maka mereka akan menjadi kian bengis dan tak mengenal ampun. Tapi sekali saja mereka dilawan dengan serius, maka hal pertama yang akan mereka lakukan ialah berteriak-teriak kesakitan. Perilaku jagoan kampung yang memalukan sebenarnya. Tapi itulah karakter mereka. Watak sarang laba-laba yang dari jauh terlihat begitu kokoh dan rumit, tetapi dengan sedikit tiupan angin ikatan-ikatannya buyar beterbangan. [IT/MK]
Namun demikian, menghadapi sedikit saja kekalahan atau perlawanan yang serius dari pihak yang berseberangan, mereka bakal mendadak sontak menjadi sekerdil-kerdilnya pengecut yang bisa dibayangkan manusia. Mereka akan melontarkan berbagai tuduhan kekejaman pada lawan, mencari simpati dengan segala cara, dan menginginkan semua dunia ikut menanggung getirnya kekalahan yang akan mereka derita.
Begitulah perilaku zionis Israel saat mereka menyerang basis Hizbullah di Lebanon Selatan dan Dahia tahun 2006 silam. Di hari-hari pertama, nafsu menghabisi Hizbullah begitu membuncah di dada Ehud Olmert dan pimpinan militer rezim zionis kala itu. Seruan dunia untuk menghentikan serangan tak mereka gubris. Mereka seolah mendapat mandat langsung dari langit ketujuh untuk memusnahkan musuhnya, tanpa kenal ampun sama sekali. Namun, memasuki pekan kedua dari perang yang berlangsung 33 hari itu, Israel mulai menemukan sebuah perlawanan sengit pejuang Hizbullah, maka keadaan mendadak berbalik. Wakil-wakil rezim Zionis ini kasak-kusuk melobi kemana-mana, menjaring simpati dan menggedor hati dunia untuk berbelas-kasih pada nasib mereka dan sama-sama mengecam aksi-aksi "teror" Hizbullah. Publik dunia terus mereka ingatkan pada derita Holocaust, kisah yang timbul-tenggelam tiap kali zionis berulah. Padahal, dalam kenyataannya, aksi-aksi Hizbullah saat itu hanya sebatas mempertahankan diri. Tidak lebih.
Seperti gerombolan hina yang terpukul oleh kegesitan perlawanan singa, mereka berteriak-teriak meminta perlindungan AS dan Dewan Keamanan PBB. Tak segan-segan rezim zionis ini menyuruh sekutu-sekutu Arabnya yang bersembunyi dan malu-malu kucing untuk keluar dari sarang dan membantu mereka dengan terang-terangan. Tak kurang dari PM Lebanon ketika itu, Fouad Seniora, keluar dari sarang dan menekan Hizbullah untuk meneken persetujuan untuk menghentikan peperangan dengan rezim Zionis. Menlu Saudi, Saud Al-Faisal, menyatakan bahwa Hizbullah telah bersikap avonturer. Dan sebagainya.
Belakangan ini perilaku yang sama terlihat jelas dari kelompok teroris takfiri di Suriah, khususnya yang bergerombol di Al-Qusair. Selama dua tahun mereka menguasai wilayah ini, ambisi menghabisi seluruh kelompok yang berbeda seperti tumpah-tumpah dari dada mereka. Tak henti-hentinya mereka mengancam-ancam, mengusir, membantai, dan menggagahi warga yang tinggal di wilayah tersebut. Ribuan orang tunggang langgang melarikan diri dari rumah-rumah mereka akibat prahara yang ditebar oleh kelompok takfiri yang bernaung di bawah Jabhat Al-Nusra tersebut. Yang tak kalah pentingnya ialah aksi kanibalisme Abu Saqar yang merupakan salah satu teroris yang selama dua tahun terakhir berkeliaran di Qusair.
Tidak hanya itu. Dari wilayah ini pula mereka mengancam warga Syiah di Lebanon dengan segala prahara dan siksa. Kemudian, puncaknya, dari wilayah yang berbatasan dengan Lebanon itu, mereka melontarkan beberapa roket ke arah rumah-rumah penduduk di Hermel dan Lembah Bekaa. Dengan gagah berani, pimpinan gerombolan ini tampil di potongan-potongan video, menyemburkan segala sumpah serapah dan ancaman terhadap Hizbullah dan pribadi Sayyid Hasan Nashrullah yang kata mereka berpihak kepada Bashar Assad.
Namun demikian, ketika genderang perang Tentara Arab Suriah ditabuh, dan mulailah fase pertama dari operasi perebutan kembali wilayah ini, suara kelompok takfiri dan para pendukung mereka di Istanbul dan Doha mendadak parau. Kegarangan dan kegaharan yang mereka tampilkan selama dua tahun itu berubah menjadi tebar pesona dan cari muka yang menjemukan. Para “rambo” itu sontak tampil bak drama queen, yang seolah-olah mengira bahwa perang akan selalu berarti kemenangan bagi mereka. Rengekan, rintihan, dan suara tangisan yang tak wajar terdengar nyaring di media massa pendukung mereka. Kecaman terhadap kekejaman Hizbullah dan rezim Assad bergaung tanpa henti. Ketakutan yang mereka balut dengan kegagahan palsu itu berujung pada permintaan bertubi-tubi dari negara-negara Barat penyokong mereka kepada rezim Bashar untuk membuka koridor kemanusiaan bagi yang terluka dari kelompok arogan ini.
George Sabra, ketua National Syrian Coalition, memperlihatkan sikap plin-plan itu dalam sepekan terakhir. Hari Jum'at tanggal 31 Mei silam dia tampil di televisi menyatakan bahwa Qusair akan menjadi kuburan bagi Tentara Suriah dan pejuang Hizbullah. Hari Selasa tanggal 4 Juni, dia muncul lagi meminta belas-kasih Nabih Berri, ketua Parlemen Lebanon, untuk memberi kesempatan kepada gerombolan teroris yang terluka dapat berobat di Lebanon. Seruan bernada ancaman itu menunjukkan watak aneh yang sedang kita bicarakan di sini.
Ada apa dengan semua ini? Watak pengecut dan munafik seperti apa yang membaluti kepribadian kedua kelompok ini? Jawabannya sebenarnya sederhana. Inilah watak dari sekelompok manusia dengan ambisi tanpa batas tetapi kemampuan sangat terbatas. Tiap kali mereka dibiarkan merajalela, maka mereka akan menjadi kian bengis dan tak mengenal ampun. Tapi sekali saja mereka dilawan dengan serius, maka hal pertama yang akan mereka lakukan ialah berteriak-teriak kesakitan. Perilaku jagoan kampung yang memalukan sebenarnya. Tapi itulah karakter mereka. Watak sarang laba-laba yang dari jauh terlihat begitu kokoh dan rumit, tetapi dengan sedikit tiupan angin ikatan-ikatannya buyar beterbangan. [IT/MK]
Islam Times - 5 June 2013 19:15
PERTEMPURAN BERIKUTNYA, GOLAN
"Israel kini berhadapan dengan kenyataan baru: kekuatan Hizbollah
yang mengalir dari Lebanon menuju Dataran Golan dan perbatasan Syria....
untuk pertama kali berhadapan muka dengan unit-unit Hizbollah yang
dilengkapi dengan senjata persenjataan berat dan rudal-rudal..."
Demikian tulis media Israel Debka baru-baru ini menyusul kemenangan milisi Hizbollah dan tentara Syria dalam pertempuran di al Qusayr. Debka dengan tepat menggambarkan kekhawatiran yang kini dihadapi oleh Israel, yaitu kembali bertempur melawan kelompok yang telah berkali-kali mengalahkan mereka dan yang paling ditakuti mereka, yaitu Hizbollah.
Tentang konflik yang kini terjadi di di Syria, Debka bahkan memastikan telah berakhir setelah jatuhnya al Qusayr dan hancurnya kekuatan pemberontak di sekitar Damaskus. Dan kini pemberontak hanya bisa menunggu kejatuhan kekuatan besar mereka di Aleppo saat milisi-milisi Hizbollah dan tentara Syria memperkuat kekuatan mereka untuk pertempuran terakhir.
"Perang Damaskus telah berakhir setelah tentara Syria menguasai kota tersebut melalui kemenangan gemilang. Sementara pemberontak hanya bisa melakukan tembakan-tembakan sporadis tanpa bisa melakukan serangan, atau sekedar memberikan ancaman bagi kota tersebut, bandara internasionalnya, atau pangkalan udara besar di dekat kota. Setelah berbulan-bulan berada dalam kepungan pemberontak, pesawat-pesawat Rusia dan Iran kini leluasa mendarat di Bandara Damaskus mengirimkan bantuannya untuk menjaga kekuatan tempur tentara Syria," tulis Debka.
Debka menekankan bahwa Israel kini harus menghadapi "ancaman" baru, yaitu Dataran Golan.
"Adalah tepat untuk menyimpulkan bahwa alih-alih menjadi lemah, Hizbollah kini memberikan ancaman baru berupa fron perang yang harus dihadapi Israel yaitu di Dataran Golan," tulis Debka.
Apa yang baru-baru ini dikatakan oleh pemimpin Hizbollah dan Iran tentang pembebasan Dataran Golan, wilayah Arab Syria yang dicaplok Israel tahun 1967, kini menghantui rakyat dan para pemimpin Israel.
KETEGANGAN DI GOLAN
Setelah kejatuhan al Qusayr ke tangan pemerintah hari Rabu (5/6), sebagian pemberontak melarikan diri ke Dataran Golan yang diduduki Isreal untuk mendapatkan pertolongan. Hal inilah yang memicu ketegangan baru di Dataran Golan setelah pasukan Syria menyerang pemberontak di Golan dan memaksa pemerintah Austria mengumumkan penarikan kontingen pasukan penjaga perdamaian mereka dari Golan. Pemerintah Filipina pun mengumumkan akan mempertimbangkan kembali keberadaan pasukannya di Golan setelah seorang prajuritnya tewas dalam pertempuran hebat yang terjadi hari Kamis (6/6).
Pertempuran terjadi setelah pemberontak menyerang dan merebut pos penjagaan Syria di perbatasan Golan, namun direbut kembali oleh tentara Syria beberapa jam kemudian.
Sembari mengecam keputusan Austria, Israel pun meningkatkan kewaspadaan militernya di Golan dan menambah kekuatan tank dan tentaranya di sana.
Jubir militer Israel Kapten Arye Shalicar mengatakan kepada kantor berita Perancis AFP hari Kamis (6/5) bahwa militer Israel menaruh perhatian serius dengan perkembangan di Golan.
"Kami harus selalu siap menghadapi semua perkembangan. Kami berharap tidak ada rembesan konflik Syria ke wilayah Israel," kata Shalicar. "Ini adalah situasi yang mengkhawatirkan karena di satu sisi ada para jihadis dan di sisi lainnya ada pasukan pemerintah bersama Hizbollah," tambahnya.
Setelah menarik diri dari Qusayr, pemberontak berusaha menguasai pos perbatasan Quneitra, satu-satunya pos perbatasan antara Syria dengan Golan yang menjadi pintu perlintasan penduduk Golan yang hendak bekerja atau sekolah di wilayah Syria. Pemberontak bermaksud menjadikan pos tersebut sebagai pos penyelundupan senjata dan perbekalan sekaligus membatasi pergerakan penduduk Golan. Namun upaya pemberontak tersebut dengan cepat digagalkan pasukan Syria dan Hizbollah yang kembali menguasai pos tersebut.
PENDUDUK GOLAN ANTUSIAS SAMBUT PERANG
Selama sebulan terakhir Salah Abu Saleh, penduduk Dataran Golan yang bekerja sebagai penjaga toko, melakukan perbincangan yang sama dari waktu ke waktu dengan orang-orang di sekelilingnya: kapan perang antara Israel dan Syria di Golan dimulai dan makanan apa yang sebaiknya dijadikan persediaan jika perang berlangsung berbulan-bulan?
“Orang-orang datang dan mereka membeli daging, sayuran kaleng, kamu tahu, kebutuhan-kebutuhan pokok. Mereka berfikir tentang apa yang akan mereka berikan pada keluarganya jika perang antara Israel dan Syria berlangsung selama berbulan-bulan," katanya di depan toko kecil miliknya di tengah kota kecil Majdal Shams, Dataran Golan.
“Kami ingin bertindak praktis. Namun bahkan dalam peperangan kami tetap ingin makan sesuatu yang kami sukai," tambahnya.
Di kota padat penduduk dekat perbatasan dengan Syria itu sebagian besar penduduknya sangat percaya bahwa peperangan hanya tinggal menunggu waktu. Penduduk dengan jelas bisa menyaksikan pergerakan militer tentara dan tank-tank Israel maupun Syria di kejauhan. Penduduk pun telah membersihkan gudang-gudang bawah tanah untuk perlindungan serta mengadakan latihan-latihan penyelamatan diri.
“Anda yang tidak pernah menyaksikan peperangan sebanyak kami tidak akan mengetahui bagaimana mengantisipasi saat bom meledak di halaman rumah. Tanyakan pada semua penduduk di sini dan mereka akan mengatakan kepada Anda bahwa jika Anda meletakkan telinga di tanah, Anda akan mendengar peperangan tengah mendatangi," kata Maryam al Din, wanita 78 tahun penduduk Majdal Shams.
Menyusul beredarnya kabar tentang pengiriman senjata canggih S-300 Rusia ke Syria, para pejabat Israel mengingatkan bahwa senjata-senjata itu menjadi "garis merah" bagi Israel dan Israel "tahu apa yang harus dilakukan". Namun ancaman tersebut justru dibalas oleh Presiden Syria Bashar Assad dengan ancaman balik untuk "membuka front perang di Dataran Golan".
"Ada tekanan rakyat yang sangat jelas..... dan antusiasme Arab atas konflik itu (perang pembebasan Golan)," kata Assad dalam wawancara dengan "Almanar TV" minggu lalu.
Menurut penduduk Majdal Shams, saat perang terjadi mereka akan berpihak pada Syria sebagai pemilik sah Dataran Golan.
"Kami berada dalam situasi yang sangat komplikatif, terjebak antara 2 negara kuat. Namun bagi kami sederhana saja, kami penduduk Syria dan tanah ini harus menjadi milik Syria," kata Fakher Safdi, penduduk Majdal Shams yang lain.
Dataran tinggi Golan bersama kota kecil Majdal Shams jatuh ke tangan Isreal dalam Perang 6 Hari Tahun 1967. Kota berpenduduk 23 ribu jiwa ini dihuni mayoritas oleh warga etnis Druze, pengikut keyakinan yang merupakan campuran antara Islam dengan Kristen, yang juga banyak terdapat di Lebanon dan Israel selain Syria. Meski para pengikut Druze di Israel telah melakukan asimilasi dengan orang-orang yahudi Israel, penduduk Druze di Golan tetap menganggap mereka sebagai penduduk Syria.
"Kami sudah lama merindukan untuk kembali bersatu dengan keluara kami di Syria," kata Dr. Taisser Maray yang bekerja di klinik setempat. "Kami merasa sebagai bagian dari Syria dan merasa terluka dengan apa yang terjadi di Syria," tambahnya.
REF:
"Syria – Israel is Losing the Battle"; Gilad Atzmon; gilad.co.uk; 7 Juni 2013
"Zionist Entity Wary of Security in Syria’s Golan"; almanar.com.lb; 7 Juni 2013
"In Golan Heights, Druze villagers are preparing for war"; Sheera Frenkel—McClatchy; thetruthseeker.co.uk; 5 Juni 2013
Demikian tulis media Israel Debka baru-baru ini menyusul kemenangan milisi Hizbollah dan tentara Syria dalam pertempuran di al Qusayr. Debka dengan tepat menggambarkan kekhawatiran yang kini dihadapi oleh Israel, yaitu kembali bertempur melawan kelompok yang telah berkali-kali mengalahkan mereka dan yang paling ditakuti mereka, yaitu Hizbollah.
Tentang konflik yang kini terjadi di di Syria, Debka bahkan memastikan telah berakhir setelah jatuhnya al Qusayr dan hancurnya kekuatan pemberontak di sekitar Damaskus. Dan kini pemberontak hanya bisa menunggu kejatuhan kekuatan besar mereka di Aleppo saat milisi-milisi Hizbollah dan tentara Syria memperkuat kekuatan mereka untuk pertempuran terakhir.
"Perang Damaskus telah berakhir setelah tentara Syria menguasai kota tersebut melalui kemenangan gemilang. Sementara pemberontak hanya bisa melakukan tembakan-tembakan sporadis tanpa bisa melakukan serangan, atau sekedar memberikan ancaman bagi kota tersebut, bandara internasionalnya, atau pangkalan udara besar di dekat kota. Setelah berbulan-bulan berada dalam kepungan pemberontak, pesawat-pesawat Rusia dan Iran kini leluasa mendarat di Bandara Damaskus mengirimkan bantuannya untuk menjaga kekuatan tempur tentara Syria," tulis Debka.
Debka menekankan bahwa Israel kini harus menghadapi "ancaman" baru, yaitu Dataran Golan.
"Adalah tepat untuk menyimpulkan bahwa alih-alih menjadi lemah, Hizbollah kini memberikan ancaman baru berupa fron perang yang harus dihadapi Israel yaitu di Dataran Golan," tulis Debka.
Apa yang baru-baru ini dikatakan oleh pemimpin Hizbollah dan Iran tentang pembebasan Dataran Golan, wilayah Arab Syria yang dicaplok Israel tahun 1967, kini menghantui rakyat dan para pemimpin Israel.
KETEGANGAN DI GOLAN
Setelah kejatuhan al Qusayr ke tangan pemerintah hari Rabu (5/6), sebagian pemberontak melarikan diri ke Dataran Golan yang diduduki Isreal untuk mendapatkan pertolongan. Hal inilah yang memicu ketegangan baru di Dataran Golan setelah pasukan Syria menyerang pemberontak di Golan dan memaksa pemerintah Austria mengumumkan penarikan kontingen pasukan penjaga perdamaian mereka dari Golan. Pemerintah Filipina pun mengumumkan akan mempertimbangkan kembali keberadaan pasukannya di Golan setelah seorang prajuritnya tewas dalam pertempuran hebat yang terjadi hari Kamis (6/6).
Pertempuran terjadi setelah pemberontak menyerang dan merebut pos penjagaan Syria di perbatasan Golan, namun direbut kembali oleh tentara Syria beberapa jam kemudian.
Sembari mengecam keputusan Austria, Israel pun meningkatkan kewaspadaan militernya di Golan dan menambah kekuatan tank dan tentaranya di sana.
Jubir militer Israel Kapten Arye Shalicar mengatakan kepada kantor berita Perancis AFP hari Kamis (6/5) bahwa militer Israel menaruh perhatian serius dengan perkembangan di Golan.
"Kami harus selalu siap menghadapi semua perkembangan. Kami berharap tidak ada rembesan konflik Syria ke wilayah Israel," kata Shalicar. "Ini adalah situasi yang mengkhawatirkan karena di satu sisi ada para jihadis dan di sisi lainnya ada pasukan pemerintah bersama Hizbollah," tambahnya.
Setelah menarik diri dari Qusayr, pemberontak berusaha menguasai pos perbatasan Quneitra, satu-satunya pos perbatasan antara Syria dengan Golan yang menjadi pintu perlintasan penduduk Golan yang hendak bekerja atau sekolah di wilayah Syria. Pemberontak bermaksud menjadikan pos tersebut sebagai pos penyelundupan senjata dan perbekalan sekaligus membatasi pergerakan penduduk Golan. Namun upaya pemberontak tersebut dengan cepat digagalkan pasukan Syria dan Hizbollah yang kembali menguasai pos tersebut.
PENDUDUK GOLAN ANTUSIAS SAMBUT PERANG
Selama sebulan terakhir Salah Abu Saleh, penduduk Dataran Golan yang bekerja sebagai penjaga toko, melakukan perbincangan yang sama dari waktu ke waktu dengan orang-orang di sekelilingnya: kapan perang antara Israel dan Syria di Golan dimulai dan makanan apa yang sebaiknya dijadikan persediaan jika perang berlangsung berbulan-bulan?
“Orang-orang datang dan mereka membeli daging, sayuran kaleng, kamu tahu, kebutuhan-kebutuhan pokok. Mereka berfikir tentang apa yang akan mereka berikan pada keluarganya jika perang antara Israel dan Syria berlangsung selama berbulan-bulan," katanya di depan toko kecil miliknya di tengah kota kecil Majdal Shams, Dataran Golan.
“Kami ingin bertindak praktis. Namun bahkan dalam peperangan kami tetap ingin makan sesuatu yang kami sukai," tambahnya.
Di kota padat penduduk dekat perbatasan dengan Syria itu sebagian besar penduduknya sangat percaya bahwa peperangan hanya tinggal menunggu waktu. Penduduk dengan jelas bisa menyaksikan pergerakan militer tentara dan tank-tank Israel maupun Syria di kejauhan. Penduduk pun telah membersihkan gudang-gudang bawah tanah untuk perlindungan serta mengadakan latihan-latihan penyelamatan diri.
“Anda yang tidak pernah menyaksikan peperangan sebanyak kami tidak akan mengetahui bagaimana mengantisipasi saat bom meledak di halaman rumah. Tanyakan pada semua penduduk di sini dan mereka akan mengatakan kepada Anda bahwa jika Anda meletakkan telinga di tanah, Anda akan mendengar peperangan tengah mendatangi," kata Maryam al Din, wanita 78 tahun penduduk Majdal Shams.
Menyusul beredarnya kabar tentang pengiriman senjata canggih S-300 Rusia ke Syria, para pejabat Israel mengingatkan bahwa senjata-senjata itu menjadi "garis merah" bagi Israel dan Israel "tahu apa yang harus dilakukan". Namun ancaman tersebut justru dibalas oleh Presiden Syria Bashar Assad dengan ancaman balik untuk "membuka front perang di Dataran Golan".
"Ada tekanan rakyat yang sangat jelas..... dan antusiasme Arab atas konflik itu (perang pembebasan Golan)," kata Assad dalam wawancara dengan "Almanar TV" minggu lalu.
Menurut penduduk Majdal Shams, saat perang terjadi mereka akan berpihak pada Syria sebagai pemilik sah Dataran Golan.
"Kami berada dalam situasi yang sangat komplikatif, terjebak antara 2 negara kuat. Namun bagi kami sederhana saja, kami penduduk Syria dan tanah ini harus menjadi milik Syria," kata Fakher Safdi, penduduk Majdal Shams yang lain.
Dataran tinggi Golan bersama kota kecil Majdal Shams jatuh ke tangan Isreal dalam Perang 6 Hari Tahun 1967. Kota berpenduduk 23 ribu jiwa ini dihuni mayoritas oleh warga etnis Druze, pengikut keyakinan yang merupakan campuran antara Islam dengan Kristen, yang juga banyak terdapat di Lebanon dan Israel selain Syria. Meski para pengikut Druze di Israel telah melakukan asimilasi dengan orang-orang yahudi Israel, penduduk Druze di Golan tetap menganggap mereka sebagai penduduk Syria.
"Kami sudah lama merindukan untuk kembali bersatu dengan keluara kami di Syria," kata Dr. Taisser Maray yang bekerja di klinik setempat. "Kami merasa sebagai bagian dari Syria dan merasa terluka dengan apa yang terjadi di Syria," tambahnya.
REF:
"Syria – Israel is Losing the Battle"; Gilad Atzmon; gilad.co.uk; 7 Juni 2013
"Zionist Entity Wary of Security in Syria’s Golan"; almanar.com.lb; 7 Juni 2013
"In Golan Heights, Druze villagers are preparing for war"; Sheera Frenkel—McClatchy; thetruthseeker.co.uk; 5 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar