ERDOGAN SEGERA MENYUSUL MUBARAK? (4)
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/06/erdogan-segera-menyusul-mubarak-4.html#.UcAiX9iN6So
"Meskipun Ikhwanul Muslimin menggembar-gemborkan kebenciannya pada
Amerika, mereka berkembang di bawah perlindungan Anglo-Americans
(Inggris, Amerika, Israel) yang selalu dapat digunakannya untuk untuk
melawan siapapun yang menghalanginya. Menlu Hillary Clinton telah
menunjuk "pengawal pribadinya" Huma Abedin (istri dari zionis anggota
Congress Amerika Anthony Weiner), yang ibunya, Saleha Abedin, adalah
tokoh wanita gerakan Ikhwanul Muslimin. Dengan jaringan itulah Hillary
Clinton mengendalikan Ikhwanul Muslimin".
Demikian tulis wartawan senior Perancis Thierry Meyssan di situs online Voltaire Network berjudul "The uprising against Brother Erdogan" tgl 10 Juni 2013. Jika tulisan Christianto Wibisono di Harian Suara Pembaharuan tgl 29 Mei 2007 berjudul "AMIEN RAIS DAN PAUL WOLFOWITZ" mengkonfirmasi kebenaran hubungan antara Amien Rais dengan para zionis, maka tulisan tersebut di atas mengkonfirmasi kebenaran hubungan antara gerakan Ikhwanul Muslimin dengan zionisme.
Selama ini kita mungkin sering dibuat bingung oleh berbagai anomali politik yang dimainkan oleh para politisi dan organisasi-organisasi yang dikenal dekat dengan kelompok "Ikhwanul Muslimin". Organisasi yang awalnya didirikan untuk membebaskan Palestina dari pendudukan Israel itu kini justru tampak menjadi sekutu dekat zionis.
Beberapa anomali itu misalnya adalah:
1. Enggannya Presiden Mesir Mohammad Moersi membuka blokade Gaza.
2. Mesir berubah menjadi negara debitur IMF.
3. Tidak maunya Mesir dan Turki (keduanya dipimpin oleh politisi Ikhwanul Muslimin) memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan justru memilih memutuskan hubungan dengan Syria yang sama-sama negara Islam.
4. Berubahnya wajah PKS (partai ini juga dipimpin oleh orang-orang yang terilhami, atau bahkan mungkin adalah anggota-anggota Ikhwanul Muslimin. Tokoh-tokohnya diketahui menjalin hubungan dekat dengan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin Turki) dari partai Islam menjadi partai "liberal".
Bagi Thierry Meyssan, aksi-aksi demonstrasi rakyat Turki yang saat ini terus berlangsung tidak ditujukan pada gaya kepemimpinan otoriter PM Erdogan, melainkan pada Ikhwanul Muslimin, yang mana Erdogan adalah mentornya. Dan aksi-aksi demonstrasi tersebut merupakana revolusi yang membuat gerakan "Arab Spring", gerakan yang berhasil mengantarkan Ikhwanul Muslimin menjadi penguasa di beberapa negara Timur Tengah, menjadi bahan pertanyaan.
Aksi-aksi demonstrasi di Turki, selanjutnya kita sebut sebagai fenomena "Turky Spring", berakar pada ketidak konsistenan kebijakan Erdogan. Jika awalnya Erdogan menggambarkan diri sebagai "Muslim Demokrat" tiba-tiba berubah menjadi regim otoritarian. Selain itu, yang sebelumnya menerapkan kebijakan luarnegeri yang "zero problem" dengan negara-negara tetangganya, tiba-tiba saja berubah menjadi agresor di Syria. Dan pengendali dari perubahan-perubahan tersebut adalah Ikhwanul Muslimin, organisasi rahasia dimana Erdogan dan elit politik Turki saat ini tergabung.
Penting untuk diperhatikan bahwa istilah "Arab Spring" yang diberikan oleh media-media massa barat merupakan bentuk "tipuan" untuk memberikan legitimasi bagi pengalihan kekuasaan regim otoriter menjadi kekuasaan Islam yang pro-Amerika dan zionis internasional. Adalah Amerika yang memerintahkan Zinedine el Abidine Ben Ali dan Hosni Mubarak (juga Soeharto dalam Gerakan Reformasi Indonesia tahun 1998) untuk mundur dari kursi kekuasaan, bukan massa di jalanan. Adalah NATO dan tentara bayarannya yang menumbangkan dan membantai Moammar Ghadaffi, bukan rakyat Libya sendiri. Dan kini, kelompok yang sama bersama Turki dan negara-negara Teluk yang menuntut Bashar al Assad mundur, bukan rakyat Syria sendiri.
Di seluruh kawasan Afrika Utara, dengan pengecualian Aljazair, Ikhwanul Muslimin berkembang kekuasaannya dengan bantuan Hillary Clinton. Dimana-mana "demokrasi" menjadi pintu masuk bagi bagi Ikhwanul Muslimin untuk menguasai sumber-sumber ekonomi sebagai imbalan bagi persekutuan mereka dengan kapitalisme barat.
Dalam istilah "Islamisasi" Ikhwan menggunakannya sekedar sebagai retorika, bukan realitas. Di Turki mereka berusaha melegalkan larangan rokok, alkohol dan prostitusi dengan alasan Islam, namun membiarkan UU sekularisme yang melarang wanita muslimah mengenakan jilbab, dan menjalin hubungan erat dengan negara yang menindas rakyat Palestina selama 60 tahun.
Ikhwanul Muslimin dan Erdogan juga menjalin hubungan rahasia dengan Al Qaida. Mereka mengijinkan al-Mahdi Hatari, seorang pejabat tinggi Al Qaida yang berperan besar dalam penggulingan Khadaffi yang juga menjadi agen inteligen Inggris dan Amerika, bergabung dalam kapal "Mavi Marmara". Keberadaannya memungkinkan Israel melakukan eksekusi terhadap sasaran terpilih di dalam Mavi Marmara.
Amerika dikabarkan telah memerintahkan Emir Qatar, sekutu utama Erdogan yang juga menjadi penyandang dana utama gerakan Ikhwanul Muslimin, untuk mundur selambat-lambatnya sampai awal Agustus mendatang. Kemungkinan karena tekanan Saudi yang melihat Qatar mulai kurang ajar menyaingi mereka dalam konstelasi politik Timur Tengah, khususnya di Syria, juga karena Amerika melihat Qatar telah lepas kendali dalam mengorganisir kelompok-kelompok teroris di Syria. Dengan mundurnya Emir Qatar, menjauhnya Fethullah Gulen dan "jemaat" darinya serta sikap Amerika yang mulai keras terhadapnya, Erdogan kini berada di ujung tanduk. Itulah yang menyebabkan ia mulai menundukkan kepala dengan menerima tuntutan demonstran untuk menunda pembangunan kawasan Taman Gezi yang menjadi pemicu "Turki Spring". Namun bagi para demonstran hal itu belumlah cukup, kecuali Erdogn turun dari kursinya.
Maka kita boleh berharap, konflik Syria akan berakhir damai dan Perang Dunia III gagal meletus.
Demikian tulis wartawan senior Perancis Thierry Meyssan di situs online Voltaire Network berjudul "The uprising against Brother Erdogan" tgl 10 Juni 2013. Jika tulisan Christianto Wibisono di Harian Suara Pembaharuan tgl 29 Mei 2007 berjudul "AMIEN RAIS DAN PAUL WOLFOWITZ" mengkonfirmasi kebenaran hubungan antara Amien Rais dengan para zionis, maka tulisan tersebut di atas mengkonfirmasi kebenaran hubungan antara gerakan Ikhwanul Muslimin dengan zionisme.
Selama ini kita mungkin sering dibuat bingung oleh berbagai anomali politik yang dimainkan oleh para politisi dan organisasi-organisasi yang dikenal dekat dengan kelompok "Ikhwanul Muslimin". Organisasi yang awalnya didirikan untuk membebaskan Palestina dari pendudukan Israel itu kini justru tampak menjadi sekutu dekat zionis.
Beberapa anomali itu misalnya adalah:
1. Enggannya Presiden Mesir Mohammad Moersi membuka blokade Gaza.
2. Mesir berubah menjadi negara debitur IMF.
3. Tidak maunya Mesir dan Turki (keduanya dipimpin oleh politisi Ikhwanul Muslimin) memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan justru memilih memutuskan hubungan dengan Syria yang sama-sama negara Islam.
4. Berubahnya wajah PKS (partai ini juga dipimpin oleh orang-orang yang terilhami, atau bahkan mungkin adalah anggota-anggota Ikhwanul Muslimin. Tokoh-tokohnya diketahui menjalin hubungan dekat dengan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin Turki) dari partai Islam menjadi partai "liberal".
Bagi Thierry Meyssan, aksi-aksi demonstrasi rakyat Turki yang saat ini terus berlangsung tidak ditujukan pada gaya kepemimpinan otoriter PM Erdogan, melainkan pada Ikhwanul Muslimin, yang mana Erdogan adalah mentornya. Dan aksi-aksi demonstrasi tersebut merupakana revolusi yang membuat gerakan "Arab Spring", gerakan yang berhasil mengantarkan Ikhwanul Muslimin menjadi penguasa di beberapa negara Timur Tengah, menjadi bahan pertanyaan.
Aksi-aksi demonstrasi di Turki, selanjutnya kita sebut sebagai fenomena "Turky Spring", berakar pada ketidak konsistenan kebijakan Erdogan. Jika awalnya Erdogan menggambarkan diri sebagai "Muslim Demokrat" tiba-tiba berubah menjadi regim otoritarian. Selain itu, yang sebelumnya menerapkan kebijakan luarnegeri yang "zero problem" dengan negara-negara tetangganya, tiba-tiba saja berubah menjadi agresor di Syria. Dan pengendali dari perubahan-perubahan tersebut adalah Ikhwanul Muslimin, organisasi rahasia dimana Erdogan dan elit politik Turki saat ini tergabung.
Penting untuk diperhatikan bahwa istilah "Arab Spring" yang diberikan oleh media-media massa barat merupakan bentuk "tipuan" untuk memberikan legitimasi bagi pengalihan kekuasaan regim otoriter menjadi kekuasaan Islam yang pro-Amerika dan zionis internasional. Adalah Amerika yang memerintahkan Zinedine el Abidine Ben Ali dan Hosni Mubarak (juga Soeharto dalam Gerakan Reformasi Indonesia tahun 1998) untuk mundur dari kursi kekuasaan, bukan massa di jalanan. Adalah NATO dan tentara bayarannya yang menumbangkan dan membantai Moammar Ghadaffi, bukan rakyat Libya sendiri. Dan kini, kelompok yang sama bersama Turki dan negara-negara Teluk yang menuntut Bashar al Assad mundur, bukan rakyat Syria sendiri.
Di seluruh kawasan Afrika Utara, dengan pengecualian Aljazair, Ikhwanul Muslimin berkembang kekuasaannya dengan bantuan Hillary Clinton. Dimana-mana "demokrasi" menjadi pintu masuk bagi bagi Ikhwanul Muslimin untuk menguasai sumber-sumber ekonomi sebagai imbalan bagi persekutuan mereka dengan kapitalisme barat.
Dalam istilah "Islamisasi" Ikhwan menggunakannya sekedar sebagai retorika, bukan realitas. Di Turki mereka berusaha melegalkan larangan rokok, alkohol dan prostitusi dengan alasan Islam, namun membiarkan UU sekularisme yang melarang wanita muslimah mengenakan jilbab, dan menjalin hubungan erat dengan negara yang menindas rakyat Palestina selama 60 tahun.
Ikhwanul Muslimin dan Erdogan juga menjalin hubungan rahasia dengan Al Qaida. Mereka mengijinkan al-Mahdi Hatari, seorang pejabat tinggi Al Qaida yang berperan besar dalam penggulingan Khadaffi yang juga menjadi agen inteligen Inggris dan Amerika, bergabung dalam kapal "Mavi Marmara". Keberadaannya memungkinkan Israel melakukan eksekusi terhadap sasaran terpilih di dalam Mavi Marmara.
Amerika dikabarkan telah memerintahkan Emir Qatar, sekutu utama Erdogan yang juga menjadi penyandang dana utama gerakan Ikhwanul Muslimin, untuk mundur selambat-lambatnya sampai awal Agustus mendatang. Kemungkinan karena tekanan Saudi yang melihat Qatar mulai kurang ajar menyaingi mereka dalam konstelasi politik Timur Tengah, khususnya di Syria, juga karena Amerika melihat Qatar telah lepas kendali dalam mengorganisir kelompok-kelompok teroris di Syria. Dengan mundurnya Emir Qatar, menjauhnya Fethullah Gulen dan "jemaat" darinya serta sikap Amerika yang mulai keras terhadapnya, Erdogan kini berada di ujung tanduk. Itulah yang menyebabkan ia mulai menundukkan kepala dengan menerima tuntutan demonstran untuk menunda pembangunan kawasan Taman Gezi yang menjadi pemicu "Turki Spring". Namun bagi para demonstran hal itu belumlah cukup, kecuali Erdogn turun dari kursinya.
Maka kita boleh berharap, konflik Syria akan berakhir damai dan Perang Dunia III gagal meletus.
REF:
"The uprising against Brother Erdogan"; Thierry Meyssan; Voltaire Network; 10 Juni 2013.
Menguak Kebohongan Pemerintah Soal Kenaikan Harga BBM
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/06/menguak-kebohongan-pemerintah-soal.html#.UcAf89iN6So
(Penuturan "Orang Dalam")
Rencana kebijakan pemerintah yang ingin menaikkan harga BBM bersubsidi menimbulkan tanda tanya besar, bahkan dengan harga BBM bersubsidi Rp 4.500 per-liter sebenarnya pemerintah tidak mengeluarkan subsidi dari APBN.
Seorang oknum pejabat Pertamina yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan, "Mas, perlu diketahui, istilah subsidi itu hanya kebohongan pemerintah dan Pertamina. Saya sendiri juga perih menyaksikan kerakusan para pejabat di Pertamina. Harga premium dan solar dari "Russian Oil" itu cuma $425 per-metrik ton atau sekitar kurang dari Rp 4.300 per-liter. Melalui Petral (maklar minyak piaraan pemerintah: blogger) angka tersebut di-mark up $300 menjadi $725, dan oleh Pertamina disempurnakan mark up-nya menjadi $950, angka inilah yang kemudian disebut sebagai harga pasar yang mengharuskan adanya istilah subsidi tersebut. Luar biasa bajingan mas!!"
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Petromine Watch Indonesia, Urai Zulhendri mengatakan, jika memang isi pesan tersebut memang benar adanya, maka pemerintah dan Pertamina melakukan mark up harga mencapai 100% dari harga $425 menjadi $950, Petral mengambil untung $300 dan Pertamina mengambil untung $125.
"Jelas, bahwa ini mengindikasi PT Pertamina Energy Trading (Petral) anak usaha PT Pertamina (Persero) masih menggunakan perantara (mafia minyak) dalam melakukan pembelian minyak mentah," katanya.
Tidak hanya itu, Urai menduga kuat bahwa mark up yang dilakukan PT Pertamina (Persero) sebesar $125 dicurigai sebagai bentuk upeti atau "commitment fee" dari Dirut Pertamina Karen Agustiawan, yang diduga diberikan kepada Ani Yudhoyono untuk mempertahankan posisinya sebagai Dirut Pertamina.
"BPK harus berani mengaudit proses mark up yang diduga terjadi dalam pembelian minyak yang dilakukan PT Pertamina (Persero) dan Petral," imbuhnya.
Sumber: aktual suaranews, jumat 14 juni 2013
ERDOGAN SEGERA MENYUSUL MUBARAK? (3) http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/06/erdogan-segera-menyusul-mubarak-3.html#.UcAYd9iN6So
Bocornya video rekaman tersebut ke publik membuat kecurigaan lawan-lawan
politiknya semakin mengarah padanya.
Faktanya pada tahun 2000 ia
dijatuhi hukuman penjara dengan dakwaan berupaya mengubah dasar negara
sekuler menjadi Islam. Namun pada saat itu Gulen telah berada di Amerika
dan mendapatkan perlindungan penuh para pejabat Amerika.
Para pengikut Gulen yang disebut sebagai "jemaat" disebut-sebut sebagai kekuatan politik ketiga di Turki setelah partai penguasa Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan militer. Struktur organisasi "jemaat" sendiri sangat misterius. Para pengurus maupun anggota cenderung menyembunyikan keberadaan "jemaat". Gulen sendiri menyebut gerakannya sebagai "Hizmet" atau "pengabdian" yang tidak memiliki struktur organisasi jelas karena bukan organisasi formal. Para "jemaat" menganggap mereka hanya disatukan oleh inspirasi yang diberikan Gulen.
Beberapa mantan pengikut Gulen yang "murtad" menyebut organisasi "jemaat" sangat kuat, hirarkis dan otoriter. Sebagian lainnya menyebut sebagai kelompok okultis (kelompok rahasia yang mempraktikkan perdukunan). Gulen yang disebut pengikutnya sebagai "Hocaefendi" atau "Tuan Guru" merupakan pemimpin tertinggi satu-satunya dengan masing-masing kelompok pengikut dipimpin oleh seorang "abis" atau "saudara tua". Masing-masing kelompok terpisah dari kelompok lainnya. Para "abis" memiliki kekuasaan besar atas kelompoknya, termasuk dalam menentukan pernikahan anggota-anggota kelompoknya. Dan bagi "jemaat", anggota dari keluarga kaya dan berpengaruh merupakan asset penting pendukung finansial organisasi.
Ilhan Tanir, seorang jurnalis Turki yang "murtad" dari kelompok ini mengatakan tentang "jemaat":
"Mencampur adukkan hal-hal gaib dengan dunia nyata, kelompok ini melihat kelompok mereka sebagai "pemilik kebenaran" dan "yang terberkahi" yang diliputi dengan kegaiban. Itulah sebabnya “Itaat” atau kesetiaan menjadi kharakter paling penting bagi semua anggota. Hidup lama dalam lingkungan seperti itu membuat seseorang menjadi takut pada dunia luar dan lemah untuk hidup di dunia nyata."
Lebih jauh Tanir menambahkan bahwa misi "kegaiban" yang disandangnya membuat semua anggota akan menjalankan setiap misi yang diembankan hingga tercapai betapapun resiko maupun ongkosnya."
Di sisi lain, dimanapun gerakan "jemaat" eksis, mereka mengikuti satu pola yang sama, yaitu memanfaatkan setiap kesempatan untuk bisnis dan kekuasaan, sangat eksklusif dan tertutup. Dalam tingkat tertentu para anggota bahkan mengabaikan ikatan keluarga demi untuk memenuhi kewajiban organisasi, sama seperti kelompok LDII di Indonesia, misalnya.
Terkadang, mereka bangga dengan kesetiaan buta para anggotanya. Pada tahun 2010 jurnalis Amerika Suzy Hansen dari media "The New Republic" mengutip pernyataan Bekir Aksoy, seorang tokoh "jemaat" di Amerika yang bermarkas di pusat gerakan "jemaat" di Amerika yang terletak di Saylorsburg, Pennsylvania, bernama Golden Generation Worship and Retreat Center, sbb:
“Orang-orang kami tidak pernah mengeluh. Mereka mematuhi semua perintah dengan sepenuhnya. Jika seorang anggota yang bergelar Ph.D. dan memiliki karier cemerlang datang ke Hocaefendi (Gulen), dan Hocaefendi memerintahkan padanya untuk membangun perkampungan di kutub utara, maka keesokan harinya orang itu akan mulai menjalankan perintah itu."
Pemerintah Belanda pernah mengadakan penyidikan terhadap keberadaan kelompok ini negeri mereka karena dianggap mengganggu keutuhan masyarakat. Sementara pemerintah Rusia menutup sekolah-sekolah "jemaat" karena dianggap menjadi mata-mata dinas inteligen Amerika CIA.
Tahun lalu "Today’s Zaman" mengutip pernyataan Gulen yang kontroversial tentang etnis Kurdi yang telah terlibat konflik politik dengan pemerintah Turki selama puluhan tahun.
“Balikkan rumah mereka, hancurkan persatuan mereka, bakar sampai menjadi abu, semoga rumah-rumah mereka dipenuhi dengan tangisan, potong dan bakar kebun-kebun mereka dan hentikan masalah-masalah yang mereka timbulkan."
Pernyataan tersebut tentu saja memancing kemarahan masyarakat terutama etnis Kurdi. "Zaman" dan Gulen mencoba mengelak dengan menyebut pernyataan tersebut hanya ditujukan untuk anggota Partai Pekerja Kurdi, namun bagaimanapun hal itu telah menimbulkan keresahan sosial.
Pada bulan Juni 2007 media-media massa Turki dimotori "Zaman" memberitakan temuan polisi pada sebuah komplotan rahasia bernama Ergenekon. Komplotan yang disebut-sebut beranggotakan sekelompok perwira militer, wartawan senior, dinas inteligen, hakim dan organisasi kriminal ini dituduh bersekongkol untuk melakukan kudeta.
Sejak saat itu ribuan warga Turki ditangkap oleh polisi, termasuk beberapa perwira tinggi, akademisi, tokoh agama dan wartawan. Tahun 2009 gelombang penangkapan terjadi lagi dengan sasaran tokoh-tokoh Kurdi, pangacara dan akfitis kiri. Pengamat yang menyaksikan proses penyidikan dan pengadilan atas para tersangka ini mendapatkan begitu banyak kejanggalan-kejanggalan. Namun terlepas dari itu semua, paska penangkapan-penangkapan massal itu, partai pengusa AKP semakin melejit tak tertandingi kekuatan-kekuatan politik lain.
Sementara itu Gulen, menghindari proses pengadilan atas kasusnya, semakin betah tinggal di Amerika. Di negeri ini ia mendapat "perlindungan" dari banyak tokoh penting seperti presiden Bill Clinton dan menlu James Baker. President Obama pun pernah mengunjungi sekolah Gulen, "Pinnacle School" di Washington, D.C.. Figur-figur penting lain yang menjalin hubungan dekat dengan Gulen adalah mantan pejabat CIA dan wakil ketua National Intelligence Council Graham Fuller, mantan pejabat CIA George Fidas serta mantan dubes Amerika di Turki Morton Abramowitz.
Dengan koneksinya itu Gulen membangun jaringan yayasan dan lembaga pendidikan terbesar di Amerika. Sharon Higgins, pendiri organisasi nirlaba Parents Across America menghitung jumlah sekolah milik "jemaat" di Amerika mencapai 135 sekolah dengan jumlah murid mencapai 45.000 pelajar, mengungguli saingan terdekat yang hanya memiliki 109 sekolah. Sekolah-sekolah yang tersebar di 25 negara bagian itu memiliki nama-nama seperti Horizon Science Academy, Pioneer Charter School of Science, Beehive Science and Technology Academy. Para pengurus sekolah menolak kaitan mereka dengan Gulen dan Gulen pun membantah rumor itu. Namun sekoilah-sekolah tersebut secara nyata mendapat bantuan dari kelompok-kelompok "jemaat" yang tersebar luas di Amerika. Misalnya saja sekolah Horizon Science Academy di Springfield, mendapat bantuan gedung dari Chicago’s Niagara Foundation yang secara eksplisit mempromosikan filosofi Gulen yang mempromosikan “toleransi, dialog dan perdamaian.”
***
Ada beberapa kejanggalan atas peristiwa kerusuhan yang kini tengah melanda Turki. Negara-negara barat dan Amerika secara kompak mengecam keras tindakan aparat keamanan Turki dan karena itu juga perdana menterinya, Erdogan. Namun yang paling janggal adalah sikap pemerintah Amerika. Beberapa komentar keras dilakukan para pejabat Amerika terhadap penanganan kerusuhan di Turki.
Berbeda dengan reaksi keras Erdogan terhadap para perusuh, Amerika menganggap aksi demonstrasi adalah hal yang wajar. Sebaliknya Amerika justru mengkritis keras tindakan aparat keamanan yang dianggap "berlebihan" dan menuntut dilakukannya penyidikan atas terjadinya aksi kekerasan oleh aparat.
"Kami konsern oleh laporan-laporan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi. Kami tentu berharap adanya penyidikan atas hal itu dan adanya sikap menahan diri dari polisi terhadap insiden-insiden itu. Kami mendesak semua orang yang terlibat.... untuk menghindarkan diri dari provokasi dan kekerasan," kata menlu John Kerry.
Reaksi ini dianggap "berlebihan" mengingat dekatnya hubungan Erdogan dengan pemerintah Amerika, atau setidaknya demikian penilaian publik. Belum hilang dalam ingatan publik bagaimana Erdogan menjadi tamu spesial Obama hanya beberapa minggu sebelum terjadinya aksi kerusuhan yang ditandai dengan sikap "lebay" Obama dan Erdogan yang memerintahkan prajurit marinir untuk memayungi mereka dalam acara jumpa pers.
Keanehan lebih menyolok lagi di Turki. Hanya beberapa jam setelah Erdogan terbang ke Afrika Utara dalam misi diplomatik yang telah direncanakan lama, di tengah-tengah aksi-aksi demonstrasi yang semakin marak, Wakil PM Bulent Arinc mengadakan pertemuan dengan Presiden Abdullah Gul di Istana Kepresidenan di Ankara. Tidak lama kemudian, secara demonstratif, keduanya menunjukkan perbedaan sikap menyolok dengan Erdogan terkait aksi kerusuhan.
Sejak awal Erdogan mengecam keras aksi-aksi demonstrasi yang ditujukan pada pemerintahannya. Ia bahkan dengan kasar menyebut para demosntran sebagai "perusuh" dan "tukang jarah". Namun sebaliknya Arinc, secara terbuka menyatakan aksi-aksi demonstrasi sebagai "benar dan legitimet" dan tindakan polisi adalah "brutal". Ia juga menemui para demonstran dan menyatakan permintaan ma'af secara langsung kepada mereka.
Selain itu Presiden Gul menerima kunjungan para pimpinan partai oposisi Republican People’s Party yang oleh Erdogan justru dituduh sebagai provokator kerusuhan. Dan ketika Erdogan membanggakan kemenangan partainya dalam pemilihan legislatif terakhir yang memberikan kewenangan bulat bagi Erdogan untuk menjalankan program-programnya, Gul justru mengingatkan bahwa demokrasi lebih dari sekedar memenangkan pemilihan.
Memang, semakin lama Erdogan berkuasa, para elit politik hingga sebagian warganegara melihatnya sebagai tokoh otoriter. Sebagai pembanding mereka melihat Gul sebagai tokoh alternatif yang lebih bisa diterima daripada Erdogan.
Yang menarik adalah bahwa Erdogan, Gul dan Arinc adalah tokoh-tokoh yanga dianggap sebagai "pendiri" partai AKP, dan selama ini mereka bertiga berada di balik bayang-bayang gerakan Fethullah Gulen.
Para pengikut Gulen yang disebut sebagai "jemaat" disebut-sebut sebagai kekuatan politik ketiga di Turki setelah partai penguasa Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan militer. Struktur organisasi "jemaat" sendiri sangat misterius. Para pengurus maupun anggota cenderung menyembunyikan keberadaan "jemaat". Gulen sendiri menyebut gerakannya sebagai "Hizmet" atau "pengabdian" yang tidak memiliki struktur organisasi jelas karena bukan organisasi formal. Para "jemaat" menganggap mereka hanya disatukan oleh inspirasi yang diberikan Gulen.
Beberapa mantan pengikut Gulen yang "murtad" menyebut organisasi "jemaat" sangat kuat, hirarkis dan otoriter. Sebagian lainnya menyebut sebagai kelompok okultis (kelompok rahasia yang mempraktikkan perdukunan). Gulen yang disebut pengikutnya sebagai "Hocaefendi" atau "Tuan Guru" merupakan pemimpin tertinggi satu-satunya dengan masing-masing kelompok pengikut dipimpin oleh seorang "abis" atau "saudara tua". Masing-masing kelompok terpisah dari kelompok lainnya. Para "abis" memiliki kekuasaan besar atas kelompoknya, termasuk dalam menentukan pernikahan anggota-anggota kelompoknya. Dan bagi "jemaat", anggota dari keluarga kaya dan berpengaruh merupakan asset penting pendukung finansial organisasi.
Ilhan Tanir, seorang jurnalis Turki yang "murtad" dari kelompok ini mengatakan tentang "jemaat":
"Mencampur adukkan hal-hal gaib dengan dunia nyata, kelompok ini melihat kelompok mereka sebagai "pemilik kebenaran" dan "yang terberkahi" yang diliputi dengan kegaiban. Itulah sebabnya “Itaat” atau kesetiaan menjadi kharakter paling penting bagi semua anggota. Hidup lama dalam lingkungan seperti itu membuat seseorang menjadi takut pada dunia luar dan lemah untuk hidup di dunia nyata."
Lebih jauh Tanir menambahkan bahwa misi "kegaiban" yang disandangnya membuat semua anggota akan menjalankan setiap misi yang diembankan hingga tercapai betapapun resiko maupun ongkosnya."
Di sisi lain, dimanapun gerakan "jemaat" eksis, mereka mengikuti satu pola yang sama, yaitu memanfaatkan setiap kesempatan untuk bisnis dan kekuasaan, sangat eksklusif dan tertutup. Dalam tingkat tertentu para anggota bahkan mengabaikan ikatan keluarga demi untuk memenuhi kewajiban organisasi, sama seperti kelompok LDII di Indonesia, misalnya.
Terkadang, mereka bangga dengan kesetiaan buta para anggotanya. Pada tahun 2010 jurnalis Amerika Suzy Hansen dari media "The New Republic" mengutip pernyataan Bekir Aksoy, seorang tokoh "jemaat" di Amerika yang bermarkas di pusat gerakan "jemaat" di Amerika yang terletak di Saylorsburg, Pennsylvania, bernama Golden Generation Worship and Retreat Center, sbb:
“Orang-orang kami tidak pernah mengeluh. Mereka mematuhi semua perintah dengan sepenuhnya. Jika seorang anggota yang bergelar Ph.D. dan memiliki karier cemerlang datang ke Hocaefendi (Gulen), dan Hocaefendi memerintahkan padanya untuk membangun perkampungan di kutub utara, maka keesokan harinya orang itu akan mulai menjalankan perintah itu."
Pemerintah Belanda pernah mengadakan penyidikan terhadap keberadaan kelompok ini negeri mereka karena dianggap mengganggu keutuhan masyarakat. Sementara pemerintah Rusia menutup sekolah-sekolah "jemaat" karena dianggap menjadi mata-mata dinas inteligen Amerika CIA.
Tahun lalu "Today’s Zaman" mengutip pernyataan Gulen yang kontroversial tentang etnis Kurdi yang telah terlibat konflik politik dengan pemerintah Turki selama puluhan tahun.
“Balikkan rumah mereka, hancurkan persatuan mereka, bakar sampai menjadi abu, semoga rumah-rumah mereka dipenuhi dengan tangisan, potong dan bakar kebun-kebun mereka dan hentikan masalah-masalah yang mereka timbulkan."
Pernyataan tersebut tentu saja memancing kemarahan masyarakat terutama etnis Kurdi. "Zaman" dan Gulen mencoba mengelak dengan menyebut pernyataan tersebut hanya ditujukan untuk anggota Partai Pekerja Kurdi, namun bagaimanapun hal itu telah menimbulkan keresahan sosial.
Pada bulan Juni 2007 media-media massa Turki dimotori "Zaman" memberitakan temuan polisi pada sebuah komplotan rahasia bernama Ergenekon. Komplotan yang disebut-sebut beranggotakan sekelompok perwira militer, wartawan senior, dinas inteligen, hakim dan organisasi kriminal ini dituduh bersekongkol untuk melakukan kudeta.
Sejak saat itu ribuan warga Turki ditangkap oleh polisi, termasuk beberapa perwira tinggi, akademisi, tokoh agama dan wartawan. Tahun 2009 gelombang penangkapan terjadi lagi dengan sasaran tokoh-tokoh Kurdi, pangacara dan akfitis kiri. Pengamat yang menyaksikan proses penyidikan dan pengadilan atas para tersangka ini mendapatkan begitu banyak kejanggalan-kejanggalan. Namun terlepas dari itu semua, paska penangkapan-penangkapan massal itu, partai pengusa AKP semakin melejit tak tertandingi kekuatan-kekuatan politik lain.
Sementara itu Gulen, menghindari proses pengadilan atas kasusnya, semakin betah tinggal di Amerika. Di negeri ini ia mendapat "perlindungan" dari banyak tokoh penting seperti presiden Bill Clinton dan menlu James Baker. President Obama pun pernah mengunjungi sekolah Gulen, "Pinnacle School" di Washington, D.C.. Figur-figur penting lain yang menjalin hubungan dekat dengan Gulen adalah mantan pejabat CIA dan wakil ketua National Intelligence Council Graham Fuller, mantan pejabat CIA George Fidas serta mantan dubes Amerika di Turki Morton Abramowitz.
Dengan koneksinya itu Gulen membangun jaringan yayasan dan lembaga pendidikan terbesar di Amerika. Sharon Higgins, pendiri organisasi nirlaba Parents Across America menghitung jumlah sekolah milik "jemaat" di Amerika mencapai 135 sekolah dengan jumlah murid mencapai 45.000 pelajar, mengungguli saingan terdekat yang hanya memiliki 109 sekolah. Sekolah-sekolah yang tersebar di 25 negara bagian itu memiliki nama-nama seperti Horizon Science Academy, Pioneer Charter School of Science, Beehive Science and Technology Academy. Para pengurus sekolah menolak kaitan mereka dengan Gulen dan Gulen pun membantah rumor itu. Namun sekoilah-sekolah tersebut secara nyata mendapat bantuan dari kelompok-kelompok "jemaat" yang tersebar luas di Amerika. Misalnya saja sekolah Horizon Science Academy di Springfield, mendapat bantuan gedung dari Chicago’s Niagara Foundation yang secara eksplisit mempromosikan filosofi Gulen yang mempromosikan “toleransi, dialog dan perdamaian.”
***
Ada beberapa kejanggalan atas peristiwa kerusuhan yang kini tengah melanda Turki. Negara-negara barat dan Amerika secara kompak mengecam keras tindakan aparat keamanan Turki dan karena itu juga perdana menterinya, Erdogan. Namun yang paling janggal adalah sikap pemerintah Amerika. Beberapa komentar keras dilakukan para pejabat Amerika terhadap penanganan kerusuhan di Turki.
Berbeda dengan reaksi keras Erdogan terhadap para perusuh, Amerika menganggap aksi demonstrasi adalah hal yang wajar. Sebaliknya Amerika justru mengkritis keras tindakan aparat keamanan yang dianggap "berlebihan" dan menuntut dilakukannya penyidikan atas terjadinya aksi kekerasan oleh aparat.
"Kami konsern oleh laporan-laporan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi. Kami tentu berharap adanya penyidikan atas hal itu dan adanya sikap menahan diri dari polisi terhadap insiden-insiden itu. Kami mendesak semua orang yang terlibat.... untuk menghindarkan diri dari provokasi dan kekerasan," kata menlu John Kerry.
Reaksi ini dianggap "berlebihan" mengingat dekatnya hubungan Erdogan dengan pemerintah Amerika, atau setidaknya demikian penilaian publik. Belum hilang dalam ingatan publik bagaimana Erdogan menjadi tamu spesial Obama hanya beberapa minggu sebelum terjadinya aksi kerusuhan yang ditandai dengan sikap "lebay" Obama dan Erdogan yang memerintahkan prajurit marinir untuk memayungi mereka dalam acara jumpa pers.
Keanehan lebih menyolok lagi di Turki. Hanya beberapa jam setelah Erdogan terbang ke Afrika Utara dalam misi diplomatik yang telah direncanakan lama, di tengah-tengah aksi-aksi demonstrasi yang semakin marak, Wakil PM Bulent Arinc mengadakan pertemuan dengan Presiden Abdullah Gul di Istana Kepresidenan di Ankara. Tidak lama kemudian, secara demonstratif, keduanya menunjukkan perbedaan sikap menyolok dengan Erdogan terkait aksi kerusuhan.
Sejak awal Erdogan mengecam keras aksi-aksi demonstrasi yang ditujukan pada pemerintahannya. Ia bahkan dengan kasar menyebut para demosntran sebagai "perusuh" dan "tukang jarah". Namun sebaliknya Arinc, secara terbuka menyatakan aksi-aksi demonstrasi sebagai "benar dan legitimet" dan tindakan polisi adalah "brutal". Ia juga menemui para demonstran dan menyatakan permintaan ma'af secara langsung kepada mereka.
Selain itu Presiden Gul menerima kunjungan para pimpinan partai oposisi Republican People’s Party yang oleh Erdogan justru dituduh sebagai provokator kerusuhan. Dan ketika Erdogan membanggakan kemenangan partainya dalam pemilihan legislatif terakhir yang memberikan kewenangan bulat bagi Erdogan untuk menjalankan program-programnya, Gul justru mengingatkan bahwa demokrasi lebih dari sekedar memenangkan pemilihan.
Memang, semakin lama Erdogan berkuasa, para elit politik hingga sebagian warganegara melihatnya sebagai tokoh otoriter. Sebagai pembanding mereka melihat Gul sebagai tokoh alternatif yang lebih bisa diterima daripada Erdogan.
Yang menarik adalah bahwa Erdogan, Gul dan Arinc adalah tokoh-tokoh yanga dianggap sebagai "pendiri" partai AKP, dan selama ini mereka bertiga berada di balik bayang-bayang gerakan Fethullah Gulen.
(Bersambung)
REF:
"Is Erdogan’s political honeymoon nearing its end?"; Anthony Mathew Jacob; Press TV; 9 Juni 2013
"Who Is Fethullah Gulen?"; Claire Berlinski; City Journal
"Et tu, Gul? Then fall, Erdogan"; M K Bhadrakumar; Asia Times; 5 Juni 2013
"Erdogan risks the ’must go’ path"; Pepe Escobar; Voltaire Network; 4 Juni 2013
Paradoks Hizbut Tahrir
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/06/paradoks-hizbut-tahrir.html#.UcAdY9iN6So
Penulis : Muhammad Anis *
Saat mengikuti perkembangan konstelasi politik di Timur Tengah, lagi-lagi saya dikejutkan ulah Hizbut Tahrir yang meneriakkan slogan Khilafah. Dalam konflik Libya, HT memprediksikan bahwa khilafah akan tegak di sana pasca tumbangnya rezim Qadafi. Karena itu, HT dengan bangga mengucapkan selamat atas terbunuhnya Qadafi.
Tapi kenyataannya, yang tegak justru pemerintahan boneka AS yang rela memanggil-manggil perusahaan asing untuk mengeruk minyak negerinya. Saat ini prediksi serupa juga dilontarkan HT kepada Suriah, bahwa khilafah akan tegak pasca tumbangnya rezim Assad. Padahal, kita tahu persis seperti apa karakter kubu oposisi, yang jelas sekali jauh dari nilai-nilai khilafah yang diidealkan HT. Bagaimana mungkin koalisi Al-Nusrah dan Al-Qaeda—yang bengis dan kanibal itu—layak menegakkan syariat Islam? Dan apakah mungkin SNC yang jelas pro Barat mau menegakkan khilafah? Hanya mimpi dan ilusi saja.
Tanpa sistem khilafah, rakyat Suriah selama puluhan tahun telah hidup rukun dan damai. Hal ini terungkap gamblang dalam sebuah wawancara apik Dina Sulaeman dengan seorang jurnalis senior Suriah (The Global Review, 24 Mei 2013), yang menguak banyak fakta penting. “Sepanjang hidup, saya bahkan tidak tahu apa agama tetangga-tetangga saya. Saya tidak peduli apa mazhab orang yang duduk di sebelah saya. Begitulah kehidupan kami. Yang penting bagi kami adalah hati dan perilakunya. Syria adalah untuk semua orang, Kristen, Sunni, Syiah, Druze, Alawi, Yahudi,…,” ungkap sang narasumber. Kekacauan muncul justru saat sekelompok orang asing Al-Nusrah tiba-tiba menyelonong begitu saja masuk ke Suriah, lalu melakukan perlawanan bersenjata demi menggulingkan pemerintahan Bashar Assad dan menegakkan khilafah. Apa hak mereka memaksakan kehendak seperti itu? Ini mirip dengan tindakan sekelompok zionis yang secara ilegal memasuki Palestina dan memaksakan berdirinya negara Israel.
Paradoks dan keganjilan tidak hanya terlihat pada perilaku politik HT di atas, melainkan terlihat pula pada pemikiran politiknya. Dalam upaya mengkaji itu, saya menggunakan buku HT yang berjudul “Struktur Negara Khilafah” (HTI Press, 2008). Karena, buku ini merupakan pedoman terlengkap dalam memaparkan pemikiran politik HT, sesuai dengan penjelasan yang tertulis di cover dalamnya bahwa buku ini merevisi semua buku yang bertentangan dengannya. Namun demikian, saya juga menggunakan buku HT lainnya sekaitan dengan Daulah Utsmaniyah. Untuk itu, saya ingin menyampaikan beberapa kritik sebagai berikut.
1. Syarat Baligh
HT menyatakan bahwa salah satu syarat wajib (in’iqad) seorang khalifah adalah baligh. Sementara, syarat kefaqihan/kemujtahidan (berpengetahuan agama secara mendalam) ataupun intelektualitas justru diletakkan sebagai syarat keutamaan (afdhaliyah) saja. Kalimatnya begini:
“Dalam diri khalifah wajib terpenuhi tujuh syarat, sehingga ia layak menduduki jabatan khilafah dan sah akad baiat kepadanya dalam kekhilafahan. Tujuh syarat tersebut merupakan syarat in’iqad (syarat legal). Jika kurang satu syarat saja, maka akad kekhalifahannya tidak sah.” Ketujuh syarat itu adalah: Muslim, laki-laki, baligh, sehat akalnya, adil, merdeka (bukan budak), dan kemampuan dalam memimpin….Adapun syarat-syarat lainnya yang memiliki dalil yang sahih hanya merupakan syarat afdhaliyah, seperti ketentuan khalifah harus dari kalangan Quraisy, atau ketentuan khalifah harus seorang mujtahid, atau ahli menggunakan senjata, atau syarat-syarat lainnya yang memiliki dalil yang tidak tegas.” [Struktur Negara Khilafah, hal. 34-41]
Saya heran, semestinya keilmuan atau intelektualitas justru menjadi syarat wajib seorang pemimpin. Karena, bagaimana mungkin sebuah pemerintahan bisa ditegakkan oleh seorang pemimpin yang bodoh dan tidak berwawasan?
Demikian halnya, saya juga tidak melihat urgensi kebalighan diletakkan sebagai syarat wajib. Karena, terbukti banyak orang yang belum baligh, tetapi memiliki pengetahuan luar biasa. Sebagai contoh, diberitakan bahwa Sufyan bin Uyainah telah mampu menghafal Al-Quran dan mendebatkannya di hadapan para ulama dan raja, ketika ia masih berusia empat tahun. Demikian pula dengan Ibn al-Haj, yang menulis syair tentang ilmu logika pada usia enam tahun. Abu Bakar ibn Syihab juga menyatakan bahwa semua orang bisa menerima ‘udzur (alasan/argumen) dari orang yang belum mencapai usia sepuluh tahun. [Biografi Habib Ali Habsyi, hal. 86-87]
Apalagi para Imam Ahlul Bait. Banyak riwayat yang memberitakan bahwa mereka telah mampu menyelesaikan persoalan pelik masyarakat, saat mereka masih anak-anak. Sehingga, menurut saya, syarat yang ditetapkan HT itu terbalik. Mestinya keilmuan atau kefaqihan dijadikan sebagai syarat wajib, sedangkan kebalighan dijadikan syarat tambahan atau afdhaliyah saja.
Dalil yang digunakan oleh HT untuk menjustifikasi syarat wajib baligh adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa pena (beban hukum) telah diangkat dari tiga golongan: anak hingga ia baligh, orang yang tidur hingga ia bangun, dan orang yang hilang akal hingga ia sembuh. Juga riwayat dari Bukhari, ketika seorang anak dibawa oleh ibunya untuk membaiat Rasulullah, beliau saw berkata bahwa ia masih kecil. Kemudian beliau saw mengusap kepalanya dan mendoakannya.
Namun demikian, saya tidak melihat adanya keterkaitan hadis ini dengan syarat wajib baligh bagi pemimpin. Hadis pertama hanya terkait dengan taklif syar’i (kewajiban melaksanakan syariat). Bila hadis ini tetap ingin digunakan, maka konsekuensinya adalah seorang khalifah itu tidak boleh tidur, karena hal ini akan menggugurkan posisinya sebagai khalifah. Apa seperti itu?
Pada hadis kedua, bila diasumsikan dapat diterima, juga terkait dengan taklif syar’i. Pada hadis ini, saya justru melihat bahwa Rasulullah saw hendak menjelaskan bahwa anak yang belum baligh itu tidak memiliki kewajiban untuk memberi baiat. Mungkin menurut beliau saw, cukup diwakili oleh baiat kedua orang tuanya. Sehingga, dengan mengikuti keimanan kedua orang tuanya, si anak sama saja telah menyatakan keimanannya kepada Rasulullah saw.
2. Negara Khilafah Bukan Teokrasi
HT menyatakan bahwa negara khilafah itu bukan teokrasi (daulah ilahiyah), melainkan negara manusiawi (daulah basyariyah). Negara teokrasi hanya bisa dikelola oleh para nabi, karena mereka maksum. Sehingga, khalifah merupakan jabatan duniawi, yang tugasnya adalah menegakkan hukum syariat Islam. [Struktur Negara Khilafah, hal. 77-83]
Ini mengherankan. Bagaimana bisa hukum Tuhan ditegakkan oleh orang yang tidak memiliki legitimasi dari Tuhan? Apa hak orang itu? Atau dengan pertanyaan lain: Apakah mungkin Tuhan mengizinkan hukum-Nya dikelola oleh orang yang tidak direstui-Nya?
3. Daulah Utsmaniyah
HT dengan tegas mendukung Daulah Utsmaniyah, yang tidak segan-segan mereka sebut sebagai model Negara Khilafah. Ini terlihat jelas dalam buku “Kaifa Hudimatil Khilafah”, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Malapetaka Runtuhnya Khilafah” (Al-Azhar Press, 2007). Buku ini merupakan karya salah seorang pemimpin HT, Abdul Qadim Zallum.
Aneh, terdapat paradoks di sini. Dinasti Utsmaniyah itu menganut sistem monarki (kerajaan), alias tidak menganut sistem khilafah-syura yang dibangun oleh Abu Bakar dan Umar. Sementara itu, HT menegaskan bahwa sistem khilafah mereka mengacu pada sistem syura Abu Bakar dan Umar, yang menolak sistem monarki. Kalimatnya begini:
“Islam tidak mengakui sistem kerajaan. Sistem pemerintahan Islam juga tidak menyerupai kerajaan. Hal itu karena dalam sistem kerajaan, seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pewarisan. Umat tidak memiliki andil dalam pengangkatan raja. Adapun dalam sistem Khilafah tidak ada pewarisan. Akan tetapi, baiat dari umatlah yang menjadi metode untuk mengangkat Khalifah..…Dengan meneliti tatacara pembaiatan Khulafaur Rasyidin di atas oleh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kepada masyarakat, dan jelas pula bahwa syarat in’iqad terpenuhi dalam diri masing-masing calon. Kemudian diambillah pendapat dari ahlul hal wal ‘aqd di antara kaum Muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Mereka yang merepresentasikan umat ini telah dikenal luas pada masa Khulafaur Rasyidin, karena mereka adalah para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—atau penduduk Madinah. Siapa saja yang dikehendaki oleh para Sahabat atau mayoritas para Sahabat untuk dibaiat dengan baiat in’iqad, yang dengan itu ia menjadi Khalifah, maka kaum Muslim wajib pula membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah proses terwujudnya Khalifah yang menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.” [Struktur Negara Khilafah, hal. 20-21 dan 48]
* (Doktor bidang Pemikiran Politik Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Dari: Syria News Indonesia; http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12196&type=4&fb_source=message#.UblD2NhmOWp
Saat mengikuti perkembangan konstelasi politik di Timur Tengah, lagi-lagi saya dikejutkan ulah Hizbut Tahrir yang meneriakkan slogan Khilafah. Dalam konflik Libya, HT memprediksikan bahwa khilafah akan tegak di sana pasca tumbangnya rezim Qadafi. Karena itu, HT dengan bangga mengucapkan selamat atas terbunuhnya Qadafi.
Tapi kenyataannya, yang tegak justru pemerintahan boneka AS yang rela memanggil-manggil perusahaan asing untuk mengeruk minyak negerinya. Saat ini prediksi serupa juga dilontarkan HT kepada Suriah, bahwa khilafah akan tegak pasca tumbangnya rezim Assad. Padahal, kita tahu persis seperti apa karakter kubu oposisi, yang jelas sekali jauh dari nilai-nilai khilafah yang diidealkan HT. Bagaimana mungkin koalisi Al-Nusrah dan Al-Qaeda—yang bengis dan kanibal itu—layak menegakkan syariat Islam? Dan apakah mungkin SNC yang jelas pro Barat mau menegakkan khilafah? Hanya mimpi dan ilusi saja.
Tanpa sistem khilafah, rakyat Suriah selama puluhan tahun telah hidup rukun dan damai. Hal ini terungkap gamblang dalam sebuah wawancara apik Dina Sulaeman dengan seorang jurnalis senior Suriah (The Global Review, 24 Mei 2013), yang menguak banyak fakta penting. “Sepanjang hidup, saya bahkan tidak tahu apa agama tetangga-tetangga saya. Saya tidak peduli apa mazhab orang yang duduk di sebelah saya. Begitulah kehidupan kami. Yang penting bagi kami adalah hati dan perilakunya. Syria adalah untuk semua orang, Kristen, Sunni, Syiah, Druze, Alawi, Yahudi,…,” ungkap sang narasumber. Kekacauan muncul justru saat sekelompok orang asing Al-Nusrah tiba-tiba menyelonong begitu saja masuk ke Suriah, lalu melakukan perlawanan bersenjata demi menggulingkan pemerintahan Bashar Assad dan menegakkan khilafah. Apa hak mereka memaksakan kehendak seperti itu? Ini mirip dengan tindakan sekelompok zionis yang secara ilegal memasuki Palestina dan memaksakan berdirinya negara Israel.
Paradoks dan keganjilan tidak hanya terlihat pada perilaku politik HT di atas, melainkan terlihat pula pada pemikiran politiknya. Dalam upaya mengkaji itu, saya menggunakan buku HT yang berjudul “Struktur Negara Khilafah” (HTI Press, 2008). Karena, buku ini merupakan pedoman terlengkap dalam memaparkan pemikiran politik HT, sesuai dengan penjelasan yang tertulis di cover dalamnya bahwa buku ini merevisi semua buku yang bertentangan dengannya. Namun demikian, saya juga menggunakan buku HT lainnya sekaitan dengan Daulah Utsmaniyah. Untuk itu, saya ingin menyampaikan beberapa kritik sebagai berikut.
1. Syarat Baligh
HT menyatakan bahwa salah satu syarat wajib (in’iqad) seorang khalifah adalah baligh. Sementara, syarat kefaqihan/kemujtahidan (berpengetahuan agama secara mendalam) ataupun intelektualitas justru diletakkan sebagai syarat keutamaan (afdhaliyah) saja. Kalimatnya begini:
“Dalam diri khalifah wajib terpenuhi tujuh syarat, sehingga ia layak menduduki jabatan khilafah dan sah akad baiat kepadanya dalam kekhilafahan. Tujuh syarat tersebut merupakan syarat in’iqad (syarat legal). Jika kurang satu syarat saja, maka akad kekhalifahannya tidak sah.” Ketujuh syarat itu adalah: Muslim, laki-laki, baligh, sehat akalnya, adil, merdeka (bukan budak), dan kemampuan dalam memimpin….Adapun syarat-syarat lainnya yang memiliki dalil yang sahih hanya merupakan syarat afdhaliyah, seperti ketentuan khalifah harus dari kalangan Quraisy, atau ketentuan khalifah harus seorang mujtahid, atau ahli menggunakan senjata, atau syarat-syarat lainnya yang memiliki dalil yang tidak tegas.” [Struktur Negara Khilafah, hal. 34-41]
Saya heran, semestinya keilmuan atau intelektualitas justru menjadi syarat wajib seorang pemimpin. Karena, bagaimana mungkin sebuah pemerintahan bisa ditegakkan oleh seorang pemimpin yang bodoh dan tidak berwawasan?
Demikian halnya, saya juga tidak melihat urgensi kebalighan diletakkan sebagai syarat wajib. Karena, terbukti banyak orang yang belum baligh, tetapi memiliki pengetahuan luar biasa. Sebagai contoh, diberitakan bahwa Sufyan bin Uyainah telah mampu menghafal Al-Quran dan mendebatkannya di hadapan para ulama dan raja, ketika ia masih berusia empat tahun. Demikian pula dengan Ibn al-Haj, yang menulis syair tentang ilmu logika pada usia enam tahun. Abu Bakar ibn Syihab juga menyatakan bahwa semua orang bisa menerima ‘udzur (alasan/argumen) dari orang yang belum mencapai usia sepuluh tahun. [Biografi Habib Ali Habsyi, hal. 86-87]
Apalagi para Imam Ahlul Bait. Banyak riwayat yang memberitakan bahwa mereka telah mampu menyelesaikan persoalan pelik masyarakat, saat mereka masih anak-anak. Sehingga, menurut saya, syarat yang ditetapkan HT itu terbalik. Mestinya keilmuan atau kefaqihan dijadikan sebagai syarat wajib, sedangkan kebalighan dijadikan syarat tambahan atau afdhaliyah saja.
Dalil yang digunakan oleh HT untuk menjustifikasi syarat wajib baligh adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa pena (beban hukum) telah diangkat dari tiga golongan: anak hingga ia baligh, orang yang tidur hingga ia bangun, dan orang yang hilang akal hingga ia sembuh. Juga riwayat dari Bukhari, ketika seorang anak dibawa oleh ibunya untuk membaiat Rasulullah, beliau saw berkata bahwa ia masih kecil. Kemudian beliau saw mengusap kepalanya dan mendoakannya.
Namun demikian, saya tidak melihat adanya keterkaitan hadis ini dengan syarat wajib baligh bagi pemimpin. Hadis pertama hanya terkait dengan taklif syar’i (kewajiban melaksanakan syariat). Bila hadis ini tetap ingin digunakan, maka konsekuensinya adalah seorang khalifah itu tidak boleh tidur, karena hal ini akan menggugurkan posisinya sebagai khalifah. Apa seperti itu?
Pada hadis kedua, bila diasumsikan dapat diterima, juga terkait dengan taklif syar’i. Pada hadis ini, saya justru melihat bahwa Rasulullah saw hendak menjelaskan bahwa anak yang belum baligh itu tidak memiliki kewajiban untuk memberi baiat. Mungkin menurut beliau saw, cukup diwakili oleh baiat kedua orang tuanya. Sehingga, dengan mengikuti keimanan kedua orang tuanya, si anak sama saja telah menyatakan keimanannya kepada Rasulullah saw.
2. Negara Khilafah Bukan Teokrasi
HT menyatakan bahwa negara khilafah itu bukan teokrasi (daulah ilahiyah), melainkan negara manusiawi (daulah basyariyah). Negara teokrasi hanya bisa dikelola oleh para nabi, karena mereka maksum. Sehingga, khalifah merupakan jabatan duniawi, yang tugasnya adalah menegakkan hukum syariat Islam. [Struktur Negara Khilafah, hal. 77-83]
Ini mengherankan. Bagaimana bisa hukum Tuhan ditegakkan oleh orang yang tidak memiliki legitimasi dari Tuhan? Apa hak orang itu? Atau dengan pertanyaan lain: Apakah mungkin Tuhan mengizinkan hukum-Nya dikelola oleh orang yang tidak direstui-Nya?
3. Daulah Utsmaniyah
HT dengan tegas mendukung Daulah Utsmaniyah, yang tidak segan-segan mereka sebut sebagai model Negara Khilafah. Ini terlihat jelas dalam buku “Kaifa Hudimatil Khilafah”, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Malapetaka Runtuhnya Khilafah” (Al-Azhar Press, 2007). Buku ini merupakan karya salah seorang pemimpin HT, Abdul Qadim Zallum.
Aneh, terdapat paradoks di sini. Dinasti Utsmaniyah itu menganut sistem monarki (kerajaan), alias tidak menganut sistem khilafah-syura yang dibangun oleh Abu Bakar dan Umar. Sementara itu, HT menegaskan bahwa sistem khilafah mereka mengacu pada sistem syura Abu Bakar dan Umar, yang menolak sistem monarki. Kalimatnya begini:
“Islam tidak mengakui sistem kerajaan. Sistem pemerintahan Islam juga tidak menyerupai kerajaan. Hal itu karena dalam sistem kerajaan, seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pewarisan. Umat tidak memiliki andil dalam pengangkatan raja. Adapun dalam sistem Khilafah tidak ada pewarisan. Akan tetapi, baiat dari umatlah yang menjadi metode untuk mengangkat Khalifah..…Dengan meneliti tatacara pembaiatan Khulafaur Rasyidin di atas oleh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kepada masyarakat, dan jelas pula bahwa syarat in’iqad terpenuhi dalam diri masing-masing calon. Kemudian diambillah pendapat dari ahlul hal wal ‘aqd di antara kaum Muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Mereka yang merepresentasikan umat ini telah dikenal luas pada masa Khulafaur Rasyidin, karena mereka adalah para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—atau penduduk Madinah. Siapa saja yang dikehendaki oleh para Sahabat atau mayoritas para Sahabat untuk dibaiat dengan baiat in’iqad, yang dengan itu ia menjadi Khalifah, maka kaum Muslim wajib pula membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah proses terwujudnya Khalifah yang menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.” [Struktur Negara Khilafah, hal. 20-21 dan 48]
* (Doktor bidang Pemikiran Politik Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Dari: Syria News Indonesia; http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12196&type=4&fb_source=message#.UblD2NhmOWp
It is a well-known fact that Illuminati consist of Multi Millionaires,
BalasHapusBillionaires who have major influence regarding most global affairs,
including the planning of a New World Order. Many world leaders,
Presidents, Prime Ministers, royalty and senior executives of major Fortune
500 companies are members of Illuminati. join a secret cabal of mysterious
forces and become rich with boundless measures of wealth in your company or
any given business, the great Illuminati can make everything possible just
contact : join666cult@gmail.com or WhatsApp +1(646)481-0376 EL
IAI LEXION Thaddeus Iam Vice-President of Citizen Outreach THE ILLUMINATI
ORGANIZATION
Do not hesitate to contact us by WhatsApp.
Whatsapp: +1(646)481-0376
Email : join666cult@gmail.com
BEWARE OF SCAMMERS, THERE IS NO SUCH THING AS REGISTRATION FEE AND YOU MUST
BE ABOVE THE AGE OF 18YRS.
THANKS...