Anggito Abimanyu Akui Selama Ini Tidak Pernah Ada Subsidi BBM
http://www.satumedia.info/2012/03/anggito-abimanyu-akui-selama-ini-tidak.html#.Ubhr-lIxVkg
Akhirnya Anggito Abimanyu, salah satu fundamentalis neo-liberal Indonesia yang selalu bersikeras menaikkan harga BBM dengan alasan "mengurangi beban subsidi BBM", mengakui bahwa selama ini tidak pernah ada subsidi dalam BBM. "Masih ada surplus penerimaan BBM dibanding biaya yang dikeluarkan," katanya dalam acara talkshow di TVOne hari Senin (13/03/2012), terkait rencana kenaikan harga BBM akibat kenaikan harga BBM dunia. Anggito menjadi salah satu narasumber bersama Kwik Kian Gie dan Wamen ESDM. Mungkin Anggito tidak akan pernah memberikan pengakuan seperti itu kalau saja tidak karena ada Kwik Kian Gie yang telah lama menyampaikan pendapatnya bahwa isu "subsidi" adalah pembohongan publik, dan pendapat itu diulangi lagi dalam acara talkshow tersebut di atas. Pengakuan tersebut menunjukkan dengan sangat-sangat gamblang bahwa isu "subsidi" yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah sebagai alasan kenaikan harga BBM adalah sebuah "pembohongan". Sebagaimana pengakuan Anggito, tidak ada subsidi BBM, bahkan ketika saat ini harga BBM dunia mencapai $120 per-barrel. Meski dalam blog ini pernah saya kupas secara mendetil mengenai penghitungan biaya dan penerimaan BBM oleh pemerintah, saya ingin kembali mereview-nya secara sederhana. Jika pemerintah mengambil BBM secara cuma-cuma dari dalam bumi Indonesia dan kemudian mengekplorasinya dengan biaya $20 per-barrel, sementara harga minyak dunia tidak pernah di bawah biaya produksi tersebut, darimana munculnya subsidi? Hanya orang bodoh moron idiot yang masih percaya pada bualan soal "subsidi" tersebut. Meski terlambat dan menunjukkan dirinya sebagai pengkhianat rakyat dan pengkhianat nuraninya sendiri selama menjadi pejabat negara (kini Anggito bukan lagi pejabat pengambil kebijakan ekonomi), pengakuan Anggito (mantan dosen saya waktu mahasiswa) sebenarnya menjadi koreksi "kebijakan pemerintah" dalam soal BBM. Namun alih-alih pemerintah terus saja menggunakan isu "subsidi" imaginatif untuk melegitimasi rencana kenaikan harga BBM, termasuk dalam iklan sosialisasi kenaikan harga BBM yang saat ini gencar ditayangkan di televisi. Dalam diskusi tersebut Anggito memang tetap mendukung rencana kenaikan harga BBM, namun kini dengan alasan yang lebih rasional, tidak lagi menggunakan imajinasi "subsidi", melainkan demi mengurangi beban APBN.
Dan inilah yang mestinya menjadi dasar kebijakan pemerintah,
mengurangi beban APBN tanpa harus menipu rakyat.
Baik, kalau hanya mengatasi "tekanan" APBN ada banyak cara untuk mengatasinya tanpa harus menyengsarakan rakyat sebagaimana kebijakan menaikkan harga BBM. Bisa mengintensifkan penerimaan pajak yang selama ini lebih banyak "beredar" di "pasar gelap pajak" sebagaimana ditunjukkan dalam kasus Gayus Tambunan. Bisa dengan mengintensifkan pencegahan tindak korupsi sehingga dana APBN yang banyak bocor bisa diarahkan ke pos-pos yang produktif. Cara lainnya adalah meningkatkan produksi BBM sehingga penerimaan pajak BBM meningkat. Dan tentu saja adalah pengelolaan APBN yang efektif dan efisien. Ada 1.000 cara lebih bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi tekanan APBN akibat kenaikan harga minyak dunia tanpa harus menaikkan harga BBM. |
MuslimDaily/The Truth Seeker Media
Paus Benediktus Menyerah Ditekan Yahudi – Penolakan Holocaust oleh Uskup Inggris Richard Williamson
Posted on Februari 6, 2009 by A Nizami
http://kabarislam.wordpress.com/2009/02/06/paus-benediktus-menyerah-ditekan-yahudi-penolakan-holocaust-oleh-uskup-inggris-richard-williamson/#more-81
Kalau
menghina Islam atau Nabi Muhammad di Eropa bebas dilakukan tanpa sanksi
hukuman. Alasannya kebebasan berpendapat atau HAM. Sebagai contoh
Salman Rushdie yang menghina Al Qur’an dengan Ayat-ayat Setan (Satanic
Verses) dan hinaan lain justru dilindungi dan diberi berbagai
penghargaan.
Namun
jangan coba2 menghina Yahudi. Bisa dikenakan pasal AntiSemitisme.
Jangankan menghina, menolak cerita Holocaust saja dianggap kejahatan.
Uskup Inggris Richard Williamson dipaksa minta maaf karena menolak Holocaust oleh Yahudi. Padahal pendolakannya cukup ilmiyah.
Bayangkan
menurut Yahudi: “Sejumlah data mengungkapkan korban holocoust mencapai
sembilan hingga 11 juta jiwa”. Angkanya saja tidak pasti 9-11 juta
Yahudi katanya tewas akibat Holocaust sementara sumber yang lain
menyebut 6 juta. Jadi angkanya disebut asal-asalan.
Lantas jumlah Yahudi yang selamat berapa? Jumlah seluruh Yahudi di Eropa (terutama di Jerman) memang sampai lebih dari 11 juta?
Lah
jumlahnya di Israel saja tidak sampai 7 juta sementara di Jerman hanya
200 ribu, di Perancis cuma 600 ribu sementara di Inggris yang bebas NAZI
hanya 300 ribu. Jadi 11 juta Yahudi tewas akibat Holocaust sulit
dipercaya. Hanya orang bodoh atau yang benar2 pro Yahudi saja yang mau
mempercayainya.
Oleh
karena itu wajar jika Uskup Inggris tsb meragukan Holocaust. Angkanya
terlampau berlebihan dan tidak masuk akal. Dan harus diingat bahwa
korban Perang Dunia II itu totalnya 54 juta jiwa (termasuk Indonesia 1
juta orang tewas saat penjajahan Belanda dan Jepang). Jadi tak bisa
bangsa Yahudi dengan dalih korban Holocaust mendapat berbagai
keistimewaan termasuk membantai bangsa Palestina dalam Holocaust baru
yang terekam berbagai foto dan video.
Vatikan perintahkan Uskup Inggris tarik ucapannya.
Vatican
memerintahkan kepada uskup Inggris Richard Williamson untuk menarik
kembali pernyataannya mengenai Holocaust atau pembunuhan massal terhadap
umat Yahudi pada perang selama perang dunia ke II.
Keputusan
Paus terbaru ini mengakhiri keresahan akibat pernyataan yang
dilontarkan oleh Uskup Richard Williamson yang kini dikucilkan.
Pada
bulan November lalu, Uskup Williamson menyatakan tidak ada kamar gas
selama perang dunia ke II dan ia menilai hanya sekitar 300 ribu umat
Yahudi yang tewas dalam kamp konsentrasi Nazi yang diciptakan oleh
Hitler. Sejumlah data mengungkapkan korban holocoust mencapai sembilan
hingga 11 juta jiwa..
Dua puluh tahun yang lalu Uskup Williamson dikucilkan atas persoalan yang berbeda.
Dalam
pernyataannya, Vatikan meminta agar Uskup Williamson tidak lagi bicara
mengenai Holocoust bila ia ingin kembali mengabdikan diri kepada gereja
Katolik Roma.
Vatikan
juga mengatakan Paus tidak tahu mengenai pernyataan Uskup Williamson
ketika Paus menghapus pengucilan Williamson bulan lalu.
Kuatnya Pengaruh Yahudi, Uskup Penyangkal Holocaust Didenda
Uskup
Britania, Richard Williamson, yang menyangkal holocaust, akan didenda
dan diberhentikan memimpin gereja. Begitulah tekanan Yahudi
Hidayatullah.com—Uskup
Richard Williamson adalah orang yang menyangkal keberadaan kamar gas
semasa Perang Dunia II, sebagaimana banyak digembar-gemborkan Yahudi.
Pihak Kejaksaan Regensburg memulai penyidikan pendahuluan terhadapnya.
Tapi diperkirakan ia hanya akan kena denda. Sementara kecil kemungkinan
Williamson bisa kembali menjabat uskup.
Undang-undang Jerman dan Austria termasuk yang paling ketat di Eropa, kalau menyangkut penyangkalan holocaust. Karena
itu, Günther Ruckdeschel, Kepala Kejaksaan Regensburg tidak punya
pilihan lain. Ia memulai penyidikan pendahuluan terhadap Uskup Britania,
Richard Williamson.
Sebelum
ini, Williamson menyangkal keberadaan kamar gas di kamp konsentrasi
Nazi. Menurutnya, bukan enam juta orang Yahudi dibunuh, melainkan 300
ribu saja. Williamson mengungkapkan pernyataan kontroversial ini kepada
televisi Swedia, di biara Regensburg, Jerman.
Menurut
undang-undang Jerman, ungkapan tersebut sudah cukup untuk mendakwa
Richard Williamson melakukan penghasutan. Untuk itu, Williamson dapat
dikenai hukuman penjara maksimal lima tahun.
Ungkapan
Richard Williamson dianggap tidak seberat itu. Tapi dianggap cukup
untuk menolak kehadirannya di Regensburg. Bahkan sesama pastor anggota
Pius X, perkumpulan sangat konservatif yang Williamson juga anggotanya,
mengambil jarak darinya. Mereka mengirimkan surat pemberitahuan padanya,
ia tidak lagi diterima pada upacara pentahbisan Mei mendatang.
Eropa
sangat ribut jika ada seseorang atau tokoh tertentu menaifkan dan
mengecilkan arti holocaust. Yahudi bisa menekan pengadilan terhadap
seseorang atau mengucilkannya dari tempat bekerja jika dianggap
anti-Semit dan melawan keberadaan holocaust yang ditengarai hanya cerita
rekaan. Namun di saat yang sama, Barat dan Eropa sering membiarkan jika
ada kelompok bertindak rasis terhadap Islam, seperti menghinakan Nabi
Muhammad dan melecehkan Islam. [ranesi/cha/www.hidayatullah.com]
Baca artikel selengkapnya di:
Who is Gulen?
http://fethullahgulenmovement.weebly.com/about-fethullah-gulen.html
Fethullah
Gulen was born in a small village near Turkey's Erzurum province in
1941. Mr. Gulen's father Ramiz Gulen, was an imam in the region and his
mother, Refia Gulen, was the primary caregiver of the family and a major
influence on Mr. Gulen's spiritual and religious upbringing. Mr. Gulen
attended his formal primary education in his home village, and after the
family moved to a nearby village he began an informal religious
education.
He was known to have an insatiable hunger for reading and knowledge of every subject on his curriculum and during this informal religious education, Fethullah Gulen maintained high interest in contemporary issues of his time. He also studied the classics such as Faust, Les Misérables, Of Mice and Man and many others to gain a better understanding of the western world; moreover, he had a keen interest in fine arts, enjoyed Turkish classical music and found painters such as Picasso and DaVinci awe inspiring. Fethullah Gulen has described the abstract style of Picasso to be in close congruence to the Islamic understanding of art.
Although he earned his preaching license at the age of 21 to deliver lectures in the western province of Edirne, Fethullah Gulen was allowed to start preaching much earlier in Erzurum due to his extraordinary achievements as a student. Mr. Gulen's (Hodja Effendi as his followers refer to him) sermons and lectures were followed by mostly university students and intellectuals. Hodja Effendi's artful and eloquent use of the Turkish language attracted an impressed audience and helped his reputation grow immensely throughout western Turkey.
During the late 1950s, Mr. Gulen discovered the works of another Turkish Muslim Scholar named Said Nursi. Nursi had diagnosed the key problems plaguing the Muslim world and humanity in general and labeled them as, poverty,ignorance and disunity. According to Nursi, these problems had to be tackled first if a revival of human values was to be achieved. Although they never met, Nursi became one of the few intellectuals who helped shape Fethullah Gulen's take on contemporary issues.
Fethullah Gulen stood out among other preachers as he touched upon social, economic, educational and scientific topics in addition to normal religious issues. Gulen emphasized on importance of social activism and encouraged his fellow citizens to take on the country's problems through volunteerism instead of expecting the government to accomplish everything. He preached a moderate version of Islam focusing on personal spiritual advancement through practice of the faith, tolerance towards others and helping fellow Muslims reach the same level of understanding.
In 1966, Mr. Fethullah Gulen was appointed to Izmir as the senior regional preacher, with permission to lecture in several provinces. Hodja Effendi's transfer to Izmir is an important mile stone in hissocial activism. Izmir is where Mr. Gulen's audience started to espouse his ideas around issues concerning social justice, economic recovery, educational revival and technological advancement to cure the aforementioned illnesses described by Nursi.
Hodja Effendi set the wheels of social change in motion utilizing the potential peaceful activism of Turkish people in whom Gulen has a profound trust. He described the society's current situation clearly and showed the means through which poverty, ignorance and disunity could be overcome. The first action being to increase literacy and the quality of education in the country. He was able to mobilize the business people in his congregation to fund such educational institutions, so called "Gulen Schools", as dormitories, college prep centers, K-12 schools and finally universities that had a great emphasis on science and human values.
Having institutions did not mean anything unless they had high quality teachers who would devote themselves to educate the youth to prepare an enlightened future for humanity. Thousands of university students who listened to Fethullah Gulen's lectures chose to become teachers regardless of their field of study. As more and more people attended Hodja Effendi's lectures, the number of educational institutions inspired by his ideas increased rapidly in Turkey.
In the second half of 1980s, Fethullah Gulen's vision for a "better world through a better education" lead him to put forward a new proposal for his audience: to open schools in central Asian countries that were soon to be set free from the Soviet Union. He started with these newly democratized countries because of their ethnic closeness to Turks in Anatolia. In the coming years, Mr. Gulen urged his followers to open and fund educational institutions wherever needed in the World.
To tackle poverty and disunity, in the 1990s, Hodja Effendi encouraged members of his community to set up relief organizations that would operate around the globe and help all individuals in need regardless of their background. Also at this time, he and members of his community started a dialogue among people from all walks of life in Turkey and later carried it to a global scale to achieve a higher level of understanding between different cultures, faiths, traditions and views. Mr. Gulen believes that a sustainable world peace can never be achieved without sincere communication and dialogue.
By the mid 1990s, Hodja Effendi's reached a large enough number to be labeled a social movement, often referred to as "The Gulen Movement" or "The Fethullah Gulen Community" in the media. The Gulen Movement funds all of its activities by donations from members of the community from the general public and does not accept any help support from governments in any form. This approach has helped the Movement stay away from corruption and politics.
Fethullah Gulen currently resides in the US state of Pennsylvania. He suffers from many physical ailments that cause him to live a very austere lifestyle. On occasions of good health, Mr. Gulen welcomes visitors and conducts lectures with members of the Movement.
He was known to have an insatiable hunger for reading and knowledge of every subject on his curriculum and during this informal religious education, Fethullah Gulen maintained high interest in contemporary issues of his time. He also studied the classics such as Faust, Les Misérables, Of Mice and Man and many others to gain a better understanding of the western world; moreover, he had a keen interest in fine arts, enjoyed Turkish classical music and found painters such as Picasso and DaVinci awe inspiring. Fethullah Gulen has described the abstract style of Picasso to be in close congruence to the Islamic understanding of art.
Although he earned his preaching license at the age of 21 to deliver lectures in the western province of Edirne, Fethullah Gulen was allowed to start preaching much earlier in Erzurum due to his extraordinary achievements as a student. Mr. Gulen's (Hodja Effendi as his followers refer to him) sermons and lectures were followed by mostly university students and intellectuals. Hodja Effendi's artful and eloquent use of the Turkish language attracted an impressed audience and helped his reputation grow immensely throughout western Turkey.
During the late 1950s, Mr. Gulen discovered the works of another Turkish Muslim Scholar named Said Nursi. Nursi had diagnosed the key problems plaguing the Muslim world and humanity in general and labeled them as, poverty,ignorance and disunity. According to Nursi, these problems had to be tackled first if a revival of human values was to be achieved. Although they never met, Nursi became one of the few intellectuals who helped shape Fethullah Gulen's take on contemporary issues.
Fethullah Gulen stood out among other preachers as he touched upon social, economic, educational and scientific topics in addition to normal religious issues. Gulen emphasized on importance of social activism and encouraged his fellow citizens to take on the country's problems through volunteerism instead of expecting the government to accomplish everything. He preached a moderate version of Islam focusing on personal spiritual advancement through practice of the faith, tolerance towards others and helping fellow Muslims reach the same level of understanding.
In 1966, Mr. Fethullah Gulen was appointed to Izmir as the senior regional preacher, with permission to lecture in several provinces. Hodja Effendi's transfer to Izmir is an important mile stone in hissocial activism. Izmir is where Mr. Gulen's audience started to espouse his ideas around issues concerning social justice, economic recovery, educational revival and technological advancement to cure the aforementioned illnesses described by Nursi.
Hodja Effendi set the wheels of social change in motion utilizing the potential peaceful activism of Turkish people in whom Gulen has a profound trust. He described the society's current situation clearly and showed the means through which poverty, ignorance and disunity could be overcome. The first action being to increase literacy and the quality of education in the country. He was able to mobilize the business people in his congregation to fund such educational institutions, so called "Gulen Schools", as dormitories, college prep centers, K-12 schools and finally universities that had a great emphasis on science and human values.
Having institutions did not mean anything unless they had high quality teachers who would devote themselves to educate the youth to prepare an enlightened future for humanity. Thousands of university students who listened to Fethullah Gulen's lectures chose to become teachers regardless of their field of study. As more and more people attended Hodja Effendi's lectures, the number of educational institutions inspired by his ideas increased rapidly in Turkey.
In the second half of 1980s, Fethullah Gulen's vision for a "better world through a better education" lead him to put forward a new proposal for his audience: to open schools in central Asian countries that were soon to be set free from the Soviet Union. He started with these newly democratized countries because of their ethnic closeness to Turks in Anatolia. In the coming years, Mr. Gulen urged his followers to open and fund educational institutions wherever needed in the World.
To tackle poverty and disunity, in the 1990s, Hodja Effendi encouraged members of his community to set up relief organizations that would operate around the globe and help all individuals in need regardless of their background. Also at this time, he and members of his community started a dialogue among people from all walks of life in Turkey and later carried it to a global scale to achieve a higher level of understanding between different cultures, faiths, traditions and views. Mr. Gulen believes that a sustainable world peace can never be achieved without sincere communication and dialogue.
By the mid 1990s, Hodja Effendi's reached a large enough number to be labeled a social movement, often referred to as "The Gulen Movement" or "The Fethullah Gulen Community" in the media. The Gulen Movement funds all of its activities by donations from members of the community from the general public and does not accept any help support from governments in any form. This approach has helped the Movement stay away from corruption and politics.
Fethullah Gulen currently resides in the US state of Pennsylvania. He suffers from many physical ailments that cause him to live a very austere lifestyle. On occasions of good health, Mr. Gulen welcomes visitors and conducts lectures with members of the Movement.
Read more on Fethullah Gulen:
ERDOGAN SEGERA MENYUSUL MUBARAK? (2)
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/06/erdogan-segera-menyusul-mubarak-2.html#more
Gambar: Erdogan (kanan) dan Fethullah Gulen.
Faktor penting lainnya yang menjadi penyebab terjadinya aksi-aksi demonstrasi menuntut pengunduran diri Erdogan adalah aksi represif regim Tayyep Erdogan terhadap para jurnalis dan aktifis HAM. Turki merupakan negara terbesar dalam hal pemenjaraan para jurnalis. Ratusan jurnalis kini mendekam dalam penjara dan ribuan lainnya harus menghadapi ancaman penangkapan aparat keamanan dengan berbagai tuduhan termasuk "mendukung terorisme" dan tuduhan-tuduhan lainnya yang tidak jelas.
Setiap aktifitas jurnalisme yang mengkritisi kinerja pemerintah, terlebih lagi skandal para pejabat pemerintah, akan menghadapi tindakan represif aparat keamanan. Sejumlah besar jurnalis harus kehilangan pekerjaannya akibat tekanan pemerintah pada surat-surat kabar kritis. Salah seorang jurnalis Turki terkenal, Ertugrul Mavioglu, pernah berkata: "Anda boleh menulis apapun, namun dengan ancaman pemecatan, denda, penangkapan atau bahkan lebih buruk lagi."
Nafsu berkuasa Erdogan yang tidak terkendali juga membuatnya menjadi mata gelap saat melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji tidak saja pada rakyat Turki sendiri maupun pada rakyat Syria. Meski mengklaim apa yang dilakukannya di Syria adalah untuk melindungi rakyat Syria, maksud sebenarnya atas Syria tidak lagi menjadi rahasia. Turki adalah salah satu pemain utama dari konspirasi jahat zionis internasional atas bangsa Syria.
Turki telah menjadi pendukung utama pemberontakan Syria dengan menyediakan kamp-kamp latihan militer, basis dukungan logistik, serta jalur keluar masuk pemberontak teroris Syria. Lebih jauh Turki bahkan menjadi tuan rumah bagi kelompok-kelompok pemberontak serta pertemuan-pertemuan internasional pendukung pemberontak.
Sikap Turki atas Syria ini telah mendapat respons negatif dari sebagian besar rakyat Turki. Menurut sebuah jajak pendapat sebanyak 70,8 % menganggap sikap Erdogan atas Syria adalah keliru.
SIAPA FETHULLAH GULEN?
Sekarang kita membahas tentang orang yang harus dihadapi Erdogan saat segalanya menjadi sulit bagi dirinya saat ini, yaitu Fethullah Gulen.
Menurut keterangan di situs resminya, ia adalah seorang "cendekiawan muslim Turki terkemuka, pemikir, penulis, penyair, pemimpin opini publik, dan aktifis pendidikan yang mendukung dialog antar-keyakinan, ilmu pengetahuan, demokrasi dan spiritual serta penentang kekerasan dan upaya menjadikan agama sebagai idiologi politik."
Situs tersebut menambahkan bahwa, "menurut berbagai perkiraan, beberapa ratus organisasi pendidikan seperti sekolah-sekolah, universitas dan sekolah bahasa terbentuk dalam satu dunia yang terinspirasi oleh Fethullah Gülen.” Situs tersebut juga menyebutkan bahwa Gulen adalah "cendekiawan muslim pertama yang mengutuk serangan WTC 9/11.”
Fakta yang sebenarnya bisa lebih hebat dari itu semua. Gulen merupakan tokoh bisnis terkemuka di Turki bahkan dunia. Terdapat jutaan pengikut Gulen di Turki. Wakil perdana menteri yang kini berseberangan dengan Erdogan menyebut Gulen sebagai "inspirator bagi 70 juta penduduk Turki".
Berbagai analisis telah mencoba mengestimasi kekuatan keuangan yang eksis di berbagai belahan dunia. Di Amerika sendiri kekayaan Gulen diperkirakan berkisar antara $20 juta hingga $50 juta. Sebagian kekayaan itu adalah rumah pribadi yang kini ditinggalinya di Poconos, Pennsylvania. Di negeri yang kini ditinggalinya itu Gulen dikenal sebagai aktifis pendidikan.
Sejarah hidup Gulen tidak terlepas dari gerakan Nurcu yang lahir dan berkembang di Turki. Said Nursi (1878–1960), pendiri gerakan ini adalah seorang Muslim Sunni Muslim dengan akar tradisi sufi yang kuat. Ia menjadi tokoh agama berpengaruh pada masa-masa akhir Kekhalifahan Ottoman dan masa-masa awal terbentuknya Republik Turki. Buku yang ditulisnya, "Risale-i Nur", mendapat sambutan luas masyarakat Turki dan menjadi sumber inspirasi pengikut Nursi. Pelarangan buku ini oleh regim sekuler justru membuat buku ini semakin populer. Para pengikut Nursi mengklaim buku tersebut merupakan saripati dari Al Qur'an, meski banyak juga orang yang menganggapnya bid'ah atau menyimpang dari ajaran agama. Gerakan Gulen merupakan turunan dari gerakan Nurcu.
Gulen yang lahir tahun 1941 bisa dibayangkan sebagai seorang "tokoh spiritual" semacam pendiri dan pemilik ESQ Ary Ginanjar atau ustad Yusuf Mansyur di Indonesia, yang memiliki jutaan pengikut setia. Dengan kecerdasannya Gulen memanfaatkan potensi pengikut-pengikutnya untuk membangun kekuatan bisnis dan politik dengan memanfaatkan 3 pilar: para pebisnis, jurnalis dan guru. Pilar pertama yang disebut sebagai "para borjuis Anatolia" menyediakan dukungan finansial bagi gerakan Gulen untuk membangun sekolah-sekolah dan universitas, rumah-rumah susun, tempat-tempat perkemahan dan yayasan-yayasan sosial di seluruh dunia.
Pilar kedua, jurnalis memberikan kekuatan melalui pembentukan opini publik. Mereka menjalankan harian terbesar Turki Zaman dan edisi bahasa Inggrisnya, Today’s Zaman, beberapa stasiun televisi, kantor berita "Cihan"; TV kabel, dan beberapa media berita online. Dan terakhir para guru menjalankan sekolah-sekolah dan universitas.
Saat pengaruhnya semakin membesar, seperti biasa kekuatan yang lebih besar, zionis internasional, pun mendekatinya. Sebagaimana slogan yang diucapkan para pendiri gerakan komunis Rusia: "untuk menguasai, jadilah pemimpin". Dalam hal ini zionis internasional menjadi pemimpin dan gerakan Gulen menjadi operatornya. Ia adalah sebagaimana para pengikut okultisme freemason, dan memang ia adalah pengikut freemason, yang menyusup untuk merebut kekuasaan.
Pada tahun 1999 satu video "khotbah" rahasia yang diberikan kepada pengikut-pengikut terdekatnya, bocor ke publik. Dalam video tersebut ia mengatakan:
"Kita harus masuk ke pembuluh darah dari sistem tanpa dicurigai hingga kita meraih pusat-pusat kekuasaan..... Sampai kondisinya matang, para pengikut harus bertindak seperti ini. Jika mereka bertindak terlalu cepat, dunia akan menghancurkan kita, umat muslim akan menderita dimana-mana seperti yang terjadi di Aljazair (pembreidelan partai Islamis FIS), di Syria tahun 1982 (pemberontakan Ikhwanul Muslimin yang gagal), seperti tragedi yang berulangkali terjadi di Mesir. Saatnya belum tepat sekarang. Kita harus bersabar hingga semuanya telah siap dan kondisi telah matang, hingga kita bisa menggendong seluruh dunia. Kita harus menunggu hingga saat dimana kita telah menguasai seluruh kekuatan negara, hingga kita bisa merangkul semua kekuatan institusi-institusi konstitusi di Turki. Kini saya telah mengungkapkan pemikiran-pemikiran saya kepada Anda dengan rahasia. Jagalah kesetian dan kerahasiaan. Saya tahu setelah Anda keluar dari tempat ini, buanglah semua pikiran dan perasaan yang baru saja saya sampaikan."
(BERSAMBUNG)
REF:
"Is Erdogan’s political honeymoon nearing its end?"; Anthony Mathew Jacob; Press TV; 9 Juni 2013
"Who Is Fethullah Gulen?"; Claire Berlinski; City Journal
"Et tu, Gul? Then fall, Erdogan"; M K Bhadrakumar; Asia Times; 5 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar