TURKI: PRESIDEN GUL "SERANG" PM ERDOGAN ???
Isu perpecahan antara Presiden Abdullah Gul dengan PM Tayyip Erdogan
seakan mendapatkan konfirmasi dengan adanya pernyataan Gul yang
"menyerang" Erdogan terkait aksi-aksi kerusuhan yang melanda Turki.
Berbicara di hadapan para wartawan dalam sebuah acara di Istana Kepresidenan di Ankara, 18 Juni 2013 lalu, Abdullah Gul menyebut kondisi Turki saat ini mengkhawatirkan, terutama "image" buruk yang disandang Turki di mata internasional yang dapat mempengaruhi para investor serta mengganggu ambisi penyelenggaraan "event-event" besar seperti Olimpiade.
Sampai di sini publik masih belum bisa membaca siapa yang "diserang" Gul dalam pernyataannya tersebut. Namun saat memberikan pernyataan berikut, para analis baru mengetahui, ia "menyerang" Erdogan:
"Tidak diragukan terdapat banyak pelajaran bagi semua orang. Kini semua orang harus menyadarinya bersama-sama, kalau tidak kita akan mulai menghancurkan diri sendiri. Anda bisa menghabiskan waktu 10 tahun membangun imej baik namun menghancurkannya hanya dalam waktu seminggu."
Pernyataan tersebut diberikan Gul sebagai jawaban pertanyaan wartawan tentang tuduhan PM Erdogan tentang adanya “konspirasi besar dalam negeri dan internasional” dan “bagian dari permainan besar yang dimainkan atas Turki" atas berbagai aksi kerusuhan yang kini terus melanda Turki.
Selama hampir 10 tahun Erdogan berhasil membangun citra baik tentang Turki dan sekaligus citra dirinya, namun saat ini ia menjadi sorotan negatif publik Turki termasuk dunia internasional atas sikap kerasnya terhadap para demonstran. Tidak disangsikan lagi, pernyataan Gul di atas sebagai "serangan" terhadap Erdogan.
Gul, yang pernyataannya tersebut dipublikasikan luas oleh media massa Turki, mengingatkan bahwa kekhawatiran kini mulai melanda para investor asing tentang kondisi Turki, pada saat Turki membutuhkan partisipasi investor bagi pembangunan infrastruktur Turki, termasuk persiapan menyambut pesta Olimpiade.
Analisa bahwa pernyataan Gul tersebut sebagai "serangan" terhadap Erdogan, dikukuhkan oleh salah seorang petinggi partai AKP yang merupakan pendukung setia Erdogan, Samil Tayyar. Mantan jurnalis ini menuduh Gul berusaha "mengail di air keruh". Ia juga menyinggung pernyataan Gul sebelumnya yang dianggap sebagai "serangan" terhadap Erdogan beberapa waktu lalu dengan mengatakan, "demokrasi bukan hanya sekedar memenangkan pemilu."
Menurut Tayyar, Gul tengah berupaya mendapatkan keuntungan politis dari masalah yang kini dihadapi Erdogan, khususnya untuk menghadapi pemilihan presiden tahun depan dimana disebut-sebut Erdogan sangat berambisi untuk menduduki jabatan tersebut setelah 2 kali kepemimpinannya sebagai perdana menteri berakhir. Para analis percaya, Gul yang selama ini adalah sekutu dekat Erdogan di AKP namun selama krisis demonstrasi melanda Turki mulai menunjukkan rivalitas, bakal menjadi pesaing Erdogan.
Sejauh ini Gul belum memberikan pernyataan apapun tentang partisipasinya dalam pemilihan presiden mendatang, namun berbagai indikasi kuat menunjukkan ia bakal maju, dan hal inilah yang menjadi pembicaraan para aktifis AKP. Beberapa komentar-komentar dan aksi-aksinya terkesan "memojokkan" Erdogan, apalagi dengan kesan positif yang diberikan oleh pejabat dan media-media massa barat atas Gul sementara kesan negatif justru ditimpakan pada Erdogan. Ketika aksi-aksi demonstrasi baru berjalan beberapa hari dan Erdogan tengah berada di luar negeri, Abdullah Gul bertemu wakil perdana menteri di istana negara dan kemudian secara mengejutkan wakil perdana menteri mengeluarkan permintaan ma'af pada para demonstran, yang bertolak belakang dengan pernyataan-pernyataan keras Erdogan terhadap para demonstran termasuk menuduh mereka sebagai "penjarah" hingga "teroris". Ini merupakan aksi "serangan" yang vulgar yang dilakukan Gul dan sang wakil perdana menteri terhadap Erdogan.
Di sisi lain para pejabat dan media massa Amerika dan Uni Eropa seia sekata memperlakukan Erdogan sebagai "pesakitan". Bahkan tidak sekedar kecaman terhadap Erdogan, kanselir Jerman Angela Markel sampai menolak pembahasan bergabungnya Turki dengan Uni Eropa. Sementara pada saat yang sama mereka memberikan puji-pujian pada Gul.
Sebagai contoh majalah berpengaruh Inggris The Economist, pada edisi 8 Juni lalu menyerukan Erdogan untuk mundur dari pemerintahan pada tahun 2014 untuk memberi kesempatan orang yang lebih tepat, yaitu Abdullah Gul. Itulah sebabnya Erdogan dan pendukung-pendukungnya menuduh ada “konspirasi besar dalam negeri dan internasional”.
Pernyataan-pernyataan keras para pendukung Erdogan seperti menlu Ahmet Davutoglu menteri urusan Uni Eropa Egemen Bagis terhadap-terhadap media-media asing tidak menghentikan mereka untuk memojokkan Erdogan. Media online The Huffington Post pada tgl 13 Juni lalu misalnya, memuat pernyataan Stanley Weiss, Ketua Dewan Pendiri "Business Executives for National Security" Amerika, bahwa aksi-aksi demonstrasi di Turki tidak bisa dihentikan dengan gas air mata dan meriam air. "Tidak peduli betapa keras upaya yang dilakukan aparat keamanannya Erdogan terhadap para demonstran," kata Weiss.
Menyebut aksi-aksi demonstrasi di Turki sebagai "perjuangan bagi jiwa modern Turki“, Weiss melanjutkannya dengan pernyataan yang lebih keras: "
"Perjuangan ini akan menentukan apakah anggota lama NATO dan sekutu Amerika ini (Turki) akan tetap berjalan di jalur sekularisme atau akan menjadi Turki versi Muslim Brotherhood.”
Weiss melanjutkan dengan menyebutkan, “Sepanjang karier politiknya, sang megalomaniak Islam Erdogan (yang menyebut dirinya sebagai "imam Istanbul" dan "pelayan hukum shariah") tidak pernah bisa menyembunyikan jati diri sebenarnya.”
Sementara itu wartawan Thomas Friedman dari New York Times dengan keras menyinggung Erdogan:
"Rakyat Mesir menghendaki tumbangnya Presiden Hosni Mubarak. Mereka melakukan apa yang disebut "revolution". Apa yang dilakukan rakyat Turki adalah "revulsion". Mereka tidak ingin menumbangkan perdana menteri yang terpilih secara demokrasi, Recep Tayyip Erdogan. Apa yang mereka lakukan adalah memintanya menyingkir. Pesan mereka sederhana saja: menyingkir dari wajah kami, hentikan menghambat demokrasi kami dan hentikan bertingkah seperti seorang Sultan."
Kritikan-kritikan keras juga dilontarkan oleh media massa mapan Inggris The Guardian, sebagaimana media-media barat lainnya, sebagaimana para pejabat Amerika, Uni Eropa dan Council of Europe. Hal inilah yang memberi justifikasi Abdullah Gul untuk melakukan "serangannya" terhadap Erdogan.
DIKRITIK MITRA SE-PARTAI
Apa yang dilakukan oleh Erdogan dengan memerintahkan polisi bertindak keras terhadap aksi damai di Taman Gezi tgl 31 Maret, memang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Tidak heran jika beberapa rekan se-partai Erdogan di AKP sendiri melakukan kritikan tajam terhadapnya.
"Ya Tuhan, jauhkan kami dari kegilaan ini. Kegaduhan apa ini namanya?", tulis menteri kebudayaan Ertugrul Gunay pada akun Twitter nya menanggapi aksi kekerasan yang dilakukan polisi terhadap para demonstran di Taman Gezi.
Sementara anggota parlemen dari AKP, Erdal Kalkan, menulis di akun Twitter-nya: “Apakah Anda (Erdogan) mau memulai perang saudara atau semacamnya? Apakah orang-orang harus saling membunuh?".
Berbicara di hadapan para wartawan dalam sebuah acara di Istana Kepresidenan di Ankara, 18 Juni 2013 lalu, Abdullah Gul menyebut kondisi Turki saat ini mengkhawatirkan, terutama "image" buruk yang disandang Turki di mata internasional yang dapat mempengaruhi para investor serta mengganggu ambisi penyelenggaraan "event-event" besar seperti Olimpiade.
Sampai di sini publik masih belum bisa membaca siapa yang "diserang" Gul dalam pernyataannya tersebut. Namun saat memberikan pernyataan berikut, para analis baru mengetahui, ia "menyerang" Erdogan:
"Tidak diragukan terdapat banyak pelajaran bagi semua orang. Kini semua orang harus menyadarinya bersama-sama, kalau tidak kita akan mulai menghancurkan diri sendiri. Anda bisa menghabiskan waktu 10 tahun membangun imej baik namun menghancurkannya hanya dalam waktu seminggu."
Pernyataan tersebut diberikan Gul sebagai jawaban pertanyaan wartawan tentang tuduhan PM Erdogan tentang adanya “konspirasi besar dalam negeri dan internasional” dan “bagian dari permainan besar yang dimainkan atas Turki" atas berbagai aksi kerusuhan yang kini terus melanda Turki.
Selama hampir 10 tahun Erdogan berhasil membangun citra baik tentang Turki dan sekaligus citra dirinya, namun saat ini ia menjadi sorotan negatif publik Turki termasuk dunia internasional atas sikap kerasnya terhadap para demonstran. Tidak disangsikan lagi, pernyataan Gul di atas sebagai "serangan" terhadap Erdogan.
Gul, yang pernyataannya tersebut dipublikasikan luas oleh media massa Turki, mengingatkan bahwa kekhawatiran kini mulai melanda para investor asing tentang kondisi Turki, pada saat Turki membutuhkan partisipasi investor bagi pembangunan infrastruktur Turki, termasuk persiapan menyambut pesta Olimpiade.
Analisa bahwa pernyataan Gul tersebut sebagai "serangan" terhadap Erdogan, dikukuhkan oleh salah seorang petinggi partai AKP yang merupakan pendukung setia Erdogan, Samil Tayyar. Mantan jurnalis ini menuduh Gul berusaha "mengail di air keruh". Ia juga menyinggung pernyataan Gul sebelumnya yang dianggap sebagai "serangan" terhadap Erdogan beberapa waktu lalu dengan mengatakan, "demokrasi bukan hanya sekedar memenangkan pemilu."
Menurut Tayyar, Gul tengah berupaya mendapatkan keuntungan politis dari masalah yang kini dihadapi Erdogan, khususnya untuk menghadapi pemilihan presiden tahun depan dimana disebut-sebut Erdogan sangat berambisi untuk menduduki jabatan tersebut setelah 2 kali kepemimpinannya sebagai perdana menteri berakhir. Para analis percaya, Gul yang selama ini adalah sekutu dekat Erdogan di AKP namun selama krisis demonstrasi melanda Turki mulai menunjukkan rivalitas, bakal menjadi pesaing Erdogan.
Sejauh ini Gul belum memberikan pernyataan apapun tentang partisipasinya dalam pemilihan presiden mendatang, namun berbagai indikasi kuat menunjukkan ia bakal maju, dan hal inilah yang menjadi pembicaraan para aktifis AKP. Beberapa komentar-komentar dan aksi-aksinya terkesan "memojokkan" Erdogan, apalagi dengan kesan positif yang diberikan oleh pejabat dan media-media massa barat atas Gul sementara kesan negatif justru ditimpakan pada Erdogan. Ketika aksi-aksi demonstrasi baru berjalan beberapa hari dan Erdogan tengah berada di luar negeri, Abdullah Gul bertemu wakil perdana menteri di istana negara dan kemudian secara mengejutkan wakil perdana menteri mengeluarkan permintaan ma'af pada para demonstran, yang bertolak belakang dengan pernyataan-pernyataan keras Erdogan terhadap para demonstran termasuk menuduh mereka sebagai "penjarah" hingga "teroris". Ini merupakan aksi "serangan" yang vulgar yang dilakukan Gul dan sang wakil perdana menteri terhadap Erdogan.
Di sisi lain para pejabat dan media massa Amerika dan Uni Eropa seia sekata memperlakukan Erdogan sebagai "pesakitan". Bahkan tidak sekedar kecaman terhadap Erdogan, kanselir Jerman Angela Markel sampai menolak pembahasan bergabungnya Turki dengan Uni Eropa. Sementara pada saat yang sama mereka memberikan puji-pujian pada Gul.
Sebagai contoh majalah berpengaruh Inggris The Economist, pada edisi 8 Juni lalu menyerukan Erdogan untuk mundur dari pemerintahan pada tahun 2014 untuk memberi kesempatan orang yang lebih tepat, yaitu Abdullah Gul. Itulah sebabnya Erdogan dan pendukung-pendukungnya menuduh ada “konspirasi besar dalam negeri dan internasional”.
Pernyataan-pernyataan keras para pendukung Erdogan seperti menlu Ahmet Davutoglu menteri urusan Uni Eropa Egemen Bagis terhadap-terhadap media-media asing tidak menghentikan mereka untuk memojokkan Erdogan. Media online The Huffington Post pada tgl 13 Juni lalu misalnya, memuat pernyataan Stanley Weiss, Ketua Dewan Pendiri "Business Executives for National Security" Amerika, bahwa aksi-aksi demonstrasi di Turki tidak bisa dihentikan dengan gas air mata dan meriam air. "Tidak peduli betapa keras upaya yang dilakukan aparat keamanannya Erdogan terhadap para demonstran," kata Weiss.
Menyebut aksi-aksi demonstrasi di Turki sebagai "perjuangan bagi jiwa modern Turki“, Weiss melanjutkannya dengan pernyataan yang lebih keras: "
"Perjuangan ini akan menentukan apakah anggota lama NATO dan sekutu Amerika ini (Turki) akan tetap berjalan di jalur sekularisme atau akan menjadi Turki versi Muslim Brotherhood.”
Weiss melanjutkan dengan menyebutkan, “Sepanjang karier politiknya, sang megalomaniak Islam Erdogan (yang menyebut dirinya sebagai "imam Istanbul" dan "pelayan hukum shariah") tidak pernah bisa menyembunyikan jati diri sebenarnya.”
Sementara itu wartawan Thomas Friedman dari New York Times dengan keras menyinggung Erdogan:
"Rakyat Mesir menghendaki tumbangnya Presiden Hosni Mubarak. Mereka melakukan apa yang disebut "revolution". Apa yang dilakukan rakyat Turki adalah "revulsion". Mereka tidak ingin menumbangkan perdana menteri yang terpilih secara demokrasi, Recep Tayyip Erdogan. Apa yang mereka lakukan adalah memintanya menyingkir. Pesan mereka sederhana saja: menyingkir dari wajah kami, hentikan menghambat demokrasi kami dan hentikan bertingkah seperti seorang Sultan."
Kritikan-kritikan keras juga dilontarkan oleh media massa mapan Inggris The Guardian, sebagaimana media-media barat lainnya, sebagaimana para pejabat Amerika, Uni Eropa dan Council of Europe. Hal inilah yang memberi justifikasi Abdullah Gul untuk melakukan "serangannya" terhadap Erdogan.
DIKRITIK MITRA SE-PARTAI
Apa yang dilakukan oleh Erdogan dengan memerintahkan polisi bertindak keras terhadap aksi damai di Taman Gezi tgl 31 Maret, memang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Tidak heran jika beberapa rekan se-partai Erdogan di AKP sendiri melakukan kritikan tajam terhadapnya.
"Ya Tuhan, jauhkan kami dari kegilaan ini. Kegaduhan apa ini namanya?", tulis menteri kebudayaan Ertugrul Gunay pada akun Twitter nya menanggapi aksi kekerasan yang dilakukan polisi terhadap para demonstran di Taman Gezi.
Sementara anggota parlemen dari AKP, Erdal Kalkan, menulis di akun Twitter-nya: “Apakah Anda (Erdogan) mau memulai perang saudara atau semacamnya? Apakah orang-orang harus saling membunuh?".
REF:
"Turkey’s Declining Image Alarms Gul"; Semih Idiz; Al-Monitor; 21 Juni 2013
"Erdogan Cheered, Criticized In AKP Stronghold"; Sibel Utku Bila; Al-Monitor; 21 Juni 2013
"KATAK TEROBSESI LEMBU" ITU NEGARA BAGIAN AMERIKA
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/06/katak-terobsesi-lembu-itu-negara-bagian.html#more
Persis seperti telah menjadi pemberitaan media massa internasional
beberapa waktu lalu, termasuk ditulis dalam blog ini, penguasa Qatar,
Emir Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani secara resmi akhirnya
mengundurkan diri dari kekuasaan dan menyerahkannya kepada putra
mahkotanya Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani. Meski tentu saja tidak
disebutkan secara resmi oleh pemerintah Qatar maupun Amerika, penyerahan
kekuasaan tersebut sekaligus mengkonfirmasi rumor yang menyebutkan
peran Amerika sebagai faktor penentu transfer kekuasaan tersebut.
"Anda menyerahkan kekuasaan kepada salah seorang putra Anda yang kami setujui, atau kami akan membekukan harta Anda di seluruh dunia," demikian ancaman seorang pejabat CIA yang menjadi penghubung antara pemerintah Amerika dan Qatar, kepada Emir Hamad bin Khalifa beberapa waktu lalu sebagaimana dikutip berbagai media massa dunia termasuk blog ini.
Dan "perintah" itupun dipatuhi oleh Emir Qatar hari Selasa lalu (25/6) dan rakyatnya, termasuk ulama takfiri terkenal Yusuf Qardhawi, meski ia tahu apa yang terjadi bertentangan dengan hukum Islam ataupun prinsip dasar demokrasi modern.
"Saya sarankan Anda untuk melihat konstitusi Qatar. Itu adalah konstitusi dagelan. Pada Pasal 64 konstitusi itu ada 68 atau 69 kalimat tentang Emir. Ada satu bab khusus yang berbicara tentang emir, para pangeran dan penguasa. Pada dasarnya satu-satunya konstitusi di negeri ini adalah para penguasa," kata analis politik Timur Tengah Entifadh Qanbar dalam wawancara dengan Press TV tgl 25 Juni lalu, tentang perpindahan kekuasaan di Qatar.
"Jadi, menyerukan negara lain untuk menerapkan demokrasi, atau bersama-sama negara-negara barat menyerukan demokrasi di Syria, hal itu lebih tepat sebagai dagelan daripada realitas," tambahnya menyinggung tingkah polah Qatar yang mengklaim sebagai negara demokratis.
Tentang peran Amerika dalam politik Qatar, Entifadh Qanbar menyebutkan bahwa Amerika menganggap Qatar hanya sebagai kantor "Public Relation" yang berada di kawasan Teluk Parsi.
"Ini bukan sebuah negara dalam arti sebenarnya, dan tanpa bermaksud menyinggung rakyat Qatar, pemerintahan mereka bukanlah pemerintahan yang semestinya. Pada dasarnya Emir Qatar adalah seorang "menteri" dalam kabinet pemerintahan Amerika, yang menempatkan kekuatan besarnya pada Central Command (CENTCOM, pusat komando militer Amerika di Timur Tengah yang bermarkas di Qatar) dan juga memproses proyek-proyek untuk negara-negara di Timur Tengah dan Israel."
Berbagai analisa mengiringi penyerahan kekuasaan di Qatar. Beberapa analis memperkirakan Amerika menganggap Qatar telah membuat Amerika kesulitan mengontrol gerakan pemberontakan di Syria karena terlalu agresif menggelontorkan bantuan pada para teroris di Syria. Analisa lainnya menyebutkan adanya desakan Saudi, melalui Amerika, yang tidak senang dengan ambisi Qatar untuk menjadi "pemain utama" perpolitikan Timur Tengah sekaligus menyingkirkan peran Saudi.
Namun yang pasti, proses peralihan kekuasaan tersebut di atas, sekali lagi membuktikan bahwa Qatar tidak lebih dari "katak yang terobesesi menjadi lembu", alias negara kecil yang ingin dihormati sebagai negara besar.
PIDATO SERBA MUNAFIK SANG EMIR BARU
"Anda menyerahkan kekuasaan kepada salah seorang putra Anda yang kami setujui, atau kami akan membekukan harta Anda di seluruh dunia," demikian ancaman seorang pejabat CIA yang menjadi penghubung antara pemerintah Amerika dan Qatar, kepada Emir Hamad bin Khalifa beberapa waktu lalu sebagaimana dikutip berbagai media massa dunia termasuk blog ini.
Dan "perintah" itupun dipatuhi oleh Emir Qatar hari Selasa lalu (25/6) dan rakyatnya, termasuk ulama takfiri terkenal Yusuf Qardhawi, meski ia tahu apa yang terjadi bertentangan dengan hukum Islam ataupun prinsip dasar demokrasi modern.
"Saya sarankan Anda untuk melihat konstitusi Qatar. Itu adalah konstitusi dagelan. Pada Pasal 64 konstitusi itu ada 68 atau 69 kalimat tentang Emir. Ada satu bab khusus yang berbicara tentang emir, para pangeran dan penguasa. Pada dasarnya satu-satunya konstitusi di negeri ini adalah para penguasa," kata analis politik Timur Tengah Entifadh Qanbar dalam wawancara dengan Press TV tgl 25 Juni lalu, tentang perpindahan kekuasaan di Qatar.
"Jadi, menyerukan negara lain untuk menerapkan demokrasi, atau bersama-sama negara-negara barat menyerukan demokrasi di Syria, hal itu lebih tepat sebagai dagelan daripada realitas," tambahnya menyinggung tingkah polah Qatar yang mengklaim sebagai negara demokratis.
Tentang peran Amerika dalam politik Qatar, Entifadh Qanbar menyebutkan bahwa Amerika menganggap Qatar hanya sebagai kantor "Public Relation" yang berada di kawasan Teluk Parsi.
"Ini bukan sebuah negara dalam arti sebenarnya, dan tanpa bermaksud menyinggung rakyat Qatar, pemerintahan mereka bukanlah pemerintahan yang semestinya. Pada dasarnya Emir Qatar adalah seorang "menteri" dalam kabinet pemerintahan Amerika, yang menempatkan kekuatan besarnya pada Central Command (CENTCOM, pusat komando militer Amerika di Timur Tengah yang bermarkas di Qatar) dan juga memproses proyek-proyek untuk negara-negara di Timur Tengah dan Israel."
Berbagai analisa mengiringi penyerahan kekuasaan di Qatar. Beberapa analis memperkirakan Amerika menganggap Qatar telah membuat Amerika kesulitan mengontrol gerakan pemberontakan di Syria karena terlalu agresif menggelontorkan bantuan pada para teroris di Syria. Analisa lainnya menyebutkan adanya desakan Saudi, melalui Amerika, yang tidak senang dengan ambisi Qatar untuk menjadi "pemain utama" perpolitikan Timur Tengah sekaligus menyingkirkan peran Saudi.
Namun yang pasti, proses peralihan kekuasaan tersebut di atas, sekali lagi membuktikan bahwa Qatar tidak lebih dari "katak yang terobesesi menjadi lembu", alias negara kecil yang ingin dihormati sebagai negara besar.
PIDATO SERBA MUNAFIK SANG EMIR BARU
Sehari setelah pengumuman pemindahan kekuasaan, pada hari Rabu (26/6) Emir baru Qatar Sheikh Tamim bin Hamad memberikan pidato politik pertamanya. Dilihat dari apa yang telah dilakukan Qatar terhadap rakyatnya sendiri selama ini, dan terutama terhadap Libya dan Syria, pidato itu penuh dengan kemunafikan.
Sebagai contoh, ia menyebut dirinya "mendukung aspirasi rakyat Arab untuk hidup dalam kebebasan", sementara negaranya adalah negara otoriter: tanpa parlemen, tidak ada pemilu dan pers yang dikontrol penguasa (Al Jazeera). Lalu ia menyatakan menolak perpecahan di antara bangsa-bangsa Arab berdasar sektarian dan doktrin. Padahal selama ini para pemimpin Qatar, termasuk Sheikh Qardhawi, terus-menerus menyerukan sentimen anti-Shiah, sekte terbesar Islam kedua di tanah Arab.
Namun tentu saja kemunafikan terbesar Qatar terlihat jelas selama Revolusi Libya, Mesir dan konflik di Syria. Dengan membantu para zionis internasional, Qatar turut menyingkirkan pemimpin-pemimpin Arab dan menyerahkan nasib rakyat se-bangsanya di Libya dan Mesir ke tangan para zionis.
SUMBER:
almanar.com.lb; 25 Juni 2013
"Sheikh Tamim Hints at Unchangeable Foreign Policy of Qatar"; almanar.com.lb; 26 Juni 2013