Habib Rizieq Ternyata Mufti Besar Kesultanan Sulu
Posted by KabarNet pada 08/04/2013
http://kabarnet.wordpress.com/2013/04/08/habib-rizieq-dinobatkan-sebagai-mufti-besar-kesultanan-sulu/
http://kabarnet.wordpress.com/2013/04/08/habib-rizieq-dinobatkan-sebagai-mufti-besar-kesultanan-sulu/
WAWANCARA KHUSUS DENGAN MUFTI BESAR KESULTANAN SULU DARUL ISLAM AL-HABIB MUHAMMAD RIZIEQ BIN HUSEIN SYIHAB, MA, DPMSS.
Nama Kesultanan Sulu yang semula
tersembunyi dan hampir tidak ada yang tahu, tiba-tiba sontak
menggemparkan dunia, akibat sekumpulan orang bersenjata mendatangi dan
menyerang Lahad Datu – Sabah, Malaysia, atas nama “Tentara Kesultanan
Sulu” untuk menuntut pengembalian Sabah ke pangkuan Kesultanan Sulu.
Perang antara mereka dengan Tentara Diraja Malaysia pun tak dapat
dielakkan lagi.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata
The Grand Mufti of Sulu adalah orang Indonesia yang sudah tidak asing
lagi kiprahnya dalam dunia pergerakan Islam, dialah Al-Habib Muhammad
Rizieq bin Husein Syihab. Dengan menyandang gelar Datu Paduka Maulana
Syar’i Sulu disingkat DPMSS beliau dinobatkan oleh Sultan Sulu sebagai
Mufti Besar bagi Sultanate of Sulu Darul Islam (SSDI) sejak tanggal 23
Rabi’ul Awwal 1430 H / 19 Maret 2009 M, tatkala beliau masih mendekam di
sel penjara Polda Metro Jaya terkait Insiden Monas 1 Juni 2008.
Pada hari Senin 4 Maret 2013, Habib
Rizieq selaku Mufti Besar Negeri Sulu dengan didampingi Menteri Luar
Negeri Sulu Datu H. Zakariya dan menteri Pemuda Sulu Datu Asree Moro,
sibuk dari pagi hingga malam melakukan pembicaraan dengan berbagai pihak
dari para petinggi Malaysia. Puncaknya menjelang tengah malam,
rombongan Kesultanan Sulu yang dipimpin Sang Mufti diterima Menteri
Pertahanan Malaysia Datu Sri Zahid Hamidi di sebuah Hotel Berbintang di
Kuala Lumpur. Apa yang dirundingkan ? Berikut wawancara khusus SUARA ISLAM dengan Mufti Besar Sultanate of Sulu Darul Islam (SSDI) tentang apa dan bagaimana yang terjadi dengan Negeri Sulu sebenarnya.
SI : Habib, ada sejumlah penulis
dan pengamat di Indonesia melalui berbagai media massa, yang menyebut
persoalan Sulu hanyalah “pepesan kosong”, menurut Habib ?
HABIB : Ungkapan tersebut hanya keluar dari sekumpulan orang yang “tidak tahu” apa-apa tentang Sulu, tapi “sok tahu”.
SI : Habib bisa ceritakan sedikit tentang letak Kesultanan Sulu dan asal usulnya ?
HABIB : Pada awal abad 13
Miladiyyah, telah ramai datang para Ulama Ahlul Bait, yaitu para Habaib
yang berasal dari Hadramaut – Yaman ke kepulauan Sulu dan Mindanau di
Selatan Philipina untuk menyebarkan Islam. Da’wah mereka sukses dan
berkah, sehingga hampir seluruh masyarakat disana memeluk Islam.
Pada Tahun 1405 M, Syariful Hasyim yang
nama aslinya adalah Sayyid Abu Bakar, karena jasanya mengislamkan Sulu,
maka dinobatkan oleh masyarakat Sulu sebagai Sultan untuk memimpin
Kesultanan Islam Sulu, yang wilayahnya meliputi Pulau Palawan,
Tawi-Tawi, Sabah, Sulu, Basilan dan Zamboanga.
Dan di Tahun 1515 M, masyarakat Mindanau
menobatkan kerabat Sultan Sulu, yaitu Syarif Muhammad Kabungsuan, karena
jasanya mengislamkan Mindanau, sebagai Sultan Mindanau dengan wilayah
kekuasaan mencakup seluruh kepulaun Mindanau kecuali Zamboanga. Kedua
Kesultanan Islam bersaudara, saling cinta dan bekerja sama. Bahkan
ketika Spanyol datang hendak menjajah, kedua Kesultanan Islam tersebut
bahu membahu mengalahkan Tentara Spanyol.
SI : Tapi dalam sejarah dunia disebutkan bahwa Spanyol dan Amerika Serikat pernah berkuasa atas Sulu dan Mindanau ?
HABIB : Tidak betul ! Yang benar
Spanyol dan Amerika Serikat secara bergantian menguasai Phlipina, bukan
Sulu dan Mindanau. Ada TIGA BUKTI sejarah yang menunjukkan hal terdebut :
Pertama, pada tangal 7 November 1873,
Menteri Inggris di Madrid, A.H.Layard, menyurati Kerajaan Spanyol dan
menyatakan bahwa Inggris punya hak menolak kedaulatan Spanyol atas Sulu,
karena masyarakat Sulu tidak pernah mengakui dan tunduk menyerah kepada
Spanyol.
Kedua, dalam Perjanjian Paris Treaty
tahun 1898 yang mengharuskan Spanyol menyerahkan seluruh jajahannya di
Philipina kepada Amerika Serikat hanya menyebutkan dari wilayah Luzon
sampai wilayah Vesayas, sehingga tidak termasuk Sulu dan Mindanau,
karena memang Spanyol tidak pernah berhasil menguasai Sulu dan Mindanau.
Ketiga, dalam PETA yang
dikeluarkan Perjanjian Paris Treaty tahun 1898 antara Amerika Serikat
dan Spanyol dibuat GARIS PEMISAH antara wilayah jajahan Spanyol yang
meliputi Luzon dan Vesayas dengan wilayah Moroland yang meliputi Sulu
dan Mindanau.
Tapi memang, Spanyol dan Amerika Serikat
selalu berupaya untuk menguasai Sulu dan Mindanau yang mereka sebut
dengan bangsa MORO, tapi mereka selalu mendapat perlawanan sengit dari
rakyat Sulu dan Mindanau,
Jadi jelas, bahwa sejak berdiri
Kesultanan Sulu mau pun Kesultanan Mindanau adalah Negeri Merdeka yang
berdaulat, bukan bagian dari Philipina, Spanyol atau pun AS.
SI : Lalu, bagaimana ceritanya
Kesultanan Sulu dan Kesultanan Mindanau yang semula adalah Negara
Merdeka berdaulat, tapi kini dikuasai Philipina ?
HABIB : Setelah Syariful Hasyim
menjadi Sultan Sulu, maka anak cucunya secara turun temurun menjadi
Sultan Sulu, hingga giliran Sultan Badaruddin I yang memiliki dua putera
: Pertama Sultan Azimuddin I, yaitu moyang dari keluarga Kiram yang
saat ini dinobatkan oleh pemerintah Philipina sebagai Sultan Sulu dan
beristana di Manila. Dan kedua, Raja Muda Datu Bantilan, yaitu moyang
dari Sultan Bantilan Mu’izzuddin II yang saat ini dinobatkan sebagai
Sultan Sulu oleh para Syarif, Datu, Ulama, Tokoh dan Rakyat Sulu melalui
Musyawarah di RUMAH BICARA yaitu semacam Rumah Majelis Syura Rakyat
Sulu di Jolo ibukota Sulu.
Ketika Sultan Azimuddin I berkuasa,
hubungannya sangat dekat dengan Spanyol, bahkan sampai ada “issu” bahwa
dia “dibaptis” di Manila ibu kota Philipina. Sultan Azimuddin I berkilah
bahwa itu hanya “siasat”, namun tatakala dia mengizinkan Spanyol
membangun gereja di Sulu, maka rakyat Sulu pun marah, sehingga Sultan
Azimuddin I dima’zulkan dan diganti dengan adiknya, yaitu Raja Muda Datu
Bantilan yang dinobatkan sebagai Sultan Mu’izzuddin I. Namun, 30 tahun
kemudian Sultan Mu’izzuddin I mengembalikan tahta Kesultanan kepada
kakaknya Sultan Azimuddin I tatkala diketahui sudah bertaubat dan
usianya pun sudah sangat lanjut, sebagai tanda cinta antara dua
bersaudara.
Sejak saat itu, proses sejarah berjalan,
keturunan kakak beradik Sultan Azimuddin I dan Sultan Mu’izzuddin I
secara bergantian menjadi Sultan Sulu melalui musyawarah di RUMAH
BICARA.
Jatuhnya Sulu dan Mindanau ke Philipina
bermula dari datangnya Amerika Serikat dan sekutunya menjajah Philipina.
Kemudian dari Philipina, AS dan sekutunya terus menerus melancarkan
serangan ke Sulu dan Mindanau untuk dijajah. Namun rakyat Sulu dan
Mindanau terus melakukan perlawanan sengit.
Akhirnya, AS berhasil mengadu-domba
keluarga Kesultanan Sulu dan Mindanau, sehingga ada sejumlah keluarga
kesultanan yang bersekutu dengan AS, sehingga AS lebih mudah mengklaim
bahwasanya Sulu dan Mindanau sudah dikuasainya. Padahal, di Sulu dan
Mindanau tiada hari tanpa perlawanan rakyat terhadap AS dan sekutunya.
Ketika AS dan sekutunya melepaskan
Philipina, maka mereka memasukkan Sulu dan Mindanau ke wilayah
Philipina, sehingga pemerintah Philipina mengklaim Sulu dan Mindananu
merupakan bagian dari negerinya. Hal ini tentu ditolak oleh rakyat Sulu
dan Mindanau, karenanya hingga kini terjadi perlawanan sengit dari
rakyat Sulu dan Mindanau melalui perjuangan MNLF yang dipimpin Nur
Missuari, dan MILF yang dipimpin Haji Murad, serta ABG yaitu ABU SAYYAF
GROUP, dan kelompok lainnya.
Sementara keluarga Kesultanan Sulu dan
Mindanau kembali dipecah belah dan di adu domba oleh Pemerintah
Philipina dengan menciptakan banyak Sultan dan Datu PALSU untuk
melemahkan perjuangan rakyat Sulu dan Mindanau.
Maka itu, tidak heran jika pada tanggal
12 September 1962, Sultan Ismail Kiram I, yang dinobatkan oleh
Philipina, menanda tangani penyerahan Kedaulatan Sabah dan seluruh
Kepulauan Sulu kepada Pemerintah Philipina. Apalagi Sultan ini pernah
ikut sebagai Tentara AS dalam Perang Dunia II dengan pangkat Mayor.
Nah, sejak saat itulah hingga kini
Philipina mengklaim bahwa Sulu dan Mindanau, termasuk Sabah di
Kalimantan Utara menjadi wilayah kedaulatannya.
SI : Kenapa Philipina hanya
mengakui Sultan Keluarga Kiram dari keturunan Sultan Azimuddin I, sedang
keluarga Sultan Bantilan dari keturunan Sultan Mu’izzuddin I tidak
diakui Philipina ?
HABIB : Ada dua alasan utama :
Pertama, karena keluarga Sultan Kiram mau mengakui kedaulatan Philipina
atas Sulu dan Mindanau, sehingga rela jadi warga negara Philipina.
Sedang keluarga Sultan Bantilan tidak mengakui hal tersebut, bahkan
berjuang untuk kemerdekaan Sulu dan Mindanau, sejak dahulu hingga kini.
Kedua, Philipina berpegang kepada putusan
Hakim Makaskie pada pengadilan British di Borneo tahun 1939 M, yang
menyebutkan bahwa pewaris Kesultanan Sulu yang berhak atas “Uang Sewa
Sabah” ada sembilan, yaitu dua pria dan tujuh wanita, yang kesemuanya
dari keluarga Sultan Kiram. Padahal, putusan tersebut hanya terkait
tuntutan kesembilan pewaris tersebut terhadap “Uang Sewa Sabah” saja,
sementara keluarga Sultan Bantilan ketika itu memang tidak mengajukan
tuntutan “Uang Sewa Sabah”, tapi yang mereka tuntut adalah KEMERDEKAAN
SULU.
Jadi, jelas kenapa Philipina mau mengakui Sultan Kiram dan menolak Sultan Bantilan.
SI : Kalau begitu, siapa Sultan Sulu yang sah ?
HABIB : Bagi rakyat Sulu bahwa
Sultan yang sah adalah Sultan yang dipilih dan direstui oleh para
Syarif, Datu, Ulama, Tokoh dan Rakyat Sulu melalui Musyawarah di RUMAH
BICARA, dan Sultan tersebut wajib berkomitmen untuk MEMERDEKAKAN SULU
dan MINDANAU dari penjajahan Philipina.
Dengan demikian, Sultan Kiram yang
dinobatkan oleh Pemerintah Philipina bagi rakyat Sulu TIDAK SAH, karena
tidak dinobatkan melalui Musyawarah di RUMAH BICARA. Apalagi Sultan
Kiram ikut tunduk kepada Pemerintah Kafir Philipina, dan menganggap
dirinya sebagai warga Philipina. Begitu pula beberapa Sultan lain yang
menobatkan dirinya sendiri sebagai Sultan dan mengakui Philipina sebagai
negara mereka. Ada pun Sultan Bantilan Mu’izzuddin II bagi rakyat Sulu
adalah SULTAN SAH, karena dinobatkan melalui musyawarah para Syarif,
Datu, Ulama, Tokoh dan Rakyat Sulu melalui Musyawarah di RUMAH BICARA
dengan komitmen MEMERDEKAKAN Sulu dan Mindanau dari penjajahan Kafir
Philipina.
SI : Lalu apa saja yang sudah dan akan dilakukan oleh Sultan Sulu yang sah untuk kemerdekaan Sulu dari penjajahan Philipina ?
HABIB : Pertama, Sultan Bantilan
Mu’izzuddin II sejak dinobatkan sebagai Sultan Sulu sudah
mendeklarasikan KEMERDEKAAN SULU dan MINDANAU secara terbuka.
Kedua, Sultan Bantilan sudah membentuk
KABINET pemerintahannya dan mengumumkannya kepada rakyat Sulu. dan
Mindanau, bahkan dunia internasional.
Ketiga, Sultan sudah mengembalikan semua
simbol Kesultanan Sulu dan Mindanau sebagaimana mestinya, seperti Islam
sebagai dasar negara, syariat sebagai hukum negara, logo, lambang,
bendera, panji, stempel, nasyid kenegaraan dan sebagainya.
Keempat, Sultan sudah dan sedang
menyurati berbagai Kepala Negara untuk meminta dukungan pengakuan
kemerdekaan Sulu dan Mindanau, termasuk para Sultan di Nusantara.
Kelima, Sultan mengangkat duta-duta
kesultanan yang dikirim ke berbagai negara untuk menggalang dukungan
bagi kemerdekaan Sulu dan Mindanau.
Keenam, Sultan bertekad untuk menyatukan
semua Faksi Perlawanan terhadap Philipina, baik MNLF di Sulu, atau MILF
di Mindanau, atau ABU SAYYAF di Basilan, dan faksi-faksi lainnya. Sebab
tanpa persatuan, rakyat Sulu dan Mindanau tidak akan pernah meraih
KEMERDEKAAN.
Ketujuh, Sultan bertekad untuk
memerdekakan Sulu dan Mindanau dengan jalan DAMAI, artinya melalui jalur
politik dan diplomatik, selama Philipina tidak lagi melakukan serangan
terhadap rakyat Sulu dan Mindanau. Berapa pun lama masanya, karena sudah
puluhan tahun rakyat Sulu dan Mindanau melalui MNLF dan MILF mau pun
ABU SAYYAF dan lainnya, BERPERANG melawan Philipina, puluhan ribu rakyat
Sulu dan Mindanau gugur sebagai Syuhada, namun belum mengantarkan
kepada kemerdekaan. Jadi, Sultan mau coba jalan lain, tanpa memadamkan
semangat perlawanan dalam jiwa rakyat Sulu dan Mindanau terhadap
penjajah Philipina.
Kedelapan, jika upaya damai pun tak
membuahkan hasil, lalu Philipina tetap melakukan serangan kepada rakyat
Sulu dan Mindanau, maka Sultan Bantilan akan menyerukan segenap rakyat
Sulu dan Mindanau untuk JIHAD FI SABILILLAH secara besar-besaran, karena
tidak ada jalan lain lagi.
Kesembilan, Sultan menyerukan rakyat Sulu
dan Mindanau untuk membuang KTP Philipina, tapi menggantinya dengan KTP
Kesultanan, sebagai bentuk ikrar bahwa Sulu dan Mindanau BUKAN
PHILIPINA. Kini, sudah puluhan ribu rakyat menyambut seruan Sultan. Ke
depan kita berharap SEMUA rakyat Sulu dan Mindanau melakukan hal yang
sama. Termasuk, turunkan Bendera Philipina di wilayah Sulu dan Mindanau,
dan naikkan Bendera Kesultanan.
Kesepuluh, Sultan mengangkat Mufti Besar
untuk membimbing Sultan dan Rakyatnya agar tetap berjalan di jalan Allah
SWT dan Rasulullah SAW sesuai Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
SI : Habib sendiri bagaimana bisa
menjadi The Grand Mufti of Sulu ? Habib kan warga negara Indonesia kok
boleh jadi Mufti Besar Sulu ?
HABIB : Sepuluh tahun terakhir
saya bersama Tuan Guru Haji Abdulhalim Abbas, mantan orang nomor dua di
ARQOM, dan kawan-kawan, bekerja sama dengan Majelis Ugama Islam Sabah
(MUIS) sering SAFARI DA’WAH berkeliling keluar masuk berbagai kota dan
kampung di seluruh Sabah.
Dalam Safari Da’wah tersebut lah saya
banyak bertemu dan berkumpul serta berkomunikasi dengan warga Sulu, baik
yang telah menjadi warga negara Malaysia mau pun belum. Termasuk para
Syarif, Ulama dan Datu dari Sulu, yang kemudian mereka lah yang
mengusulkan kepada Sultan Bantilan untuk mengangkat saya sebagai Mufti
Besar Sulu dan Tuan Guru Haji Abdulhalim Abbas sebagai Pemasihat Utama
Sultan. Akhirnya, usulan tersebut disetujui oleh Sultan dan seluruh
anggota kabinet kesultanannya.
Dalam Konstitusi Sultanate of Sulu Darul
Islam (SSDI) bahwa Mufti Besar Negeri Sulu mau pun Penasihat Sultan,
boleh diambil dari negara dan bangsa mana pun, termasuk Indonesia dan
Malaysia. Sebab, persaudaraan Islam itu lintas sektoral dan teritorial.
Habaib dan Ulama itu milik umat Islam dimana pun mereka berada, tanpa
peduli negeri mau pun suku bangsanya.
SI : Apa Peran dan Tugas Utama seorang Mutti Besar Sulu saat ini, selain memberi fatwa dalam urusan agama ?
HABIB : Tugas Besar Mufti Besar
Sulu saat ini adalah ikut serta secara pro aktif memperjuangkan
KEMERDEKAAN SULU dan MINDANAU dari penjajahan Philipina.
SI : Apakah benar Sabah milik Kesultanan Sulu ? Bagaimana duduk persoalan sebenarnya ?
HABIB : Ya. Pada awalnya memang
Sabah milik Kesultanan Sulu, dan warga asli Sabah itu adalah rakyat
Sulu. Nah, pada tanggal 22 Januari 1878, Kesultanan Sulu menyewakan
Sabah kepada British North Borneo Company (BNBC) dengan syarat selama
BNBC memerlukan dan mau mengelolanya, dan selama ada “Bulan dan
Bintang”.
Namun pada Tahun 1946, saat BNBC tidak
lagi memerlukan Sabah dan tidak mau lagi mengelolanya, pihak BNBC tidak
mengembalikan Sabah ke Kesultanan Sulu sebagaimana mestinya, tapi
menyerahkan Sabah kepada Kerajaan Inggris yang menjajah Malaysia, dengan
dalih syarat perjanjian selama ada “Bulan dan Bintang” yang ditafsirkan
sebagai perjanjian selamanya. Sedang Kesultanan Sulu menafsirkan “Bulan
dan Bintang” sebagai simbol Kesultanan, yaitu keturunan Sultan
Azimuddin I sebagai Bulannya dan keturunan Sultan Mu’izzuddin I sebagai
Bintangnya.
Dengan penafsiran sepihak dan dalih over
sewa, Inggris pun melanjutkan sewa Sabah tanpa batas waktu. Pada
akhirnya, saat Inggris melepaskan Malaysia, maka Sabah dimasukkan ke
wilayah Malaysia, namun tetap dalam status sewa tanpa batas waktu,
hingga kini.
Nah, kini banyak muncul kerabat
Kesultanan Sulu atau pihak lain yang mengatas-namakan Kesultanan Sulu,
menobatkan diri sebagai Sultan Sulu. Salah satu sebabnya adalah karena
banyak yang ingin mendapatkan “Uang Sewa Sabah” berikut aneka fasilitas
dan pelayanan khusus. Pemerintah Malaysia sendiri melalui Kedubesnya di
Manila, masih tetap membayar sewa tersebut kepada keluarga Kiram, dengan
alasan karena diakui sebagai Sultan Sah oleh pihak pemerintah
Philipina.
SI : Kalau Malaysia sudah bayar sewa, kenapa pihak keluarga Sultan Kiram justru mengirim tentaranya menyerang Lahad Datu di Sabah ?
HABIB : Malaysia terjebak dalam
permainan pemerintah Philipina, karena Malaysia membayar sewa untuk
“pribadi” keluarga Kiram yang dipelihara oleh pemerintah Philipina,
bukan untuk rakyat dan negara Sulu.
Padahal, Malaysia tahu bahwa selama ini
Philipina selalu mengklaim Sabah sebagai bagian wilayahnya dengan
menggunakan dokumen Kesultanan Sulu. Itulah sebabnya, kenapa Philipina
tetap mempertahankan keberadaan “Sultan Sulu” bukan “Kesultanan Sulu”,
agar bisa dijadikan “alat politik” untuk menuntut Sabah.
Jadi, saya menduga kuat bahwa Philipina
berada di balik peristiwa Lahad Datu. Sultan Kiram dijadikan bonekanya,
sementara rakyat Sulu yang dikirim sebagai “Tentara Kesultanan Sulu”
hanya dikorbankan untuk nafsu serakah Philipina. Saat gagal, Philipina
dengan mudah bisa cuci tangan, dan mengkambing-hitamkan Sultan Kiram.
SI : Apa Habib punya data dan fakta tentang keterlibatan Philipina di balik peristiwa Lahad Datu ?
HABIB : Data dan Fakta dalam
bentuk hitam di atas putih secara eksplisit yang menyatakan bahwa
Philipina terlibat dalam peristiwa Lahad Datu memang tidak ada, tetapi
indikatornya banyak dan kuat, antara lain :
Pertama, yang paling banyak diuntungkan
dari peristiwa Lahad Datu adalah Philipina, karena yang selama ini
membantu rakyat Sulu, baik langsung mau pun tidak langsung adalah
Malaysia. Dengan terjadinya peristiwa Lahad Datu, maka hubungan Sulu dan
Malaysia memburuk, sehingga posisi Sulu di dalam menghadapi penjajah
Philipina semakin melemah.
Kedua, Philipina sudah kelelahan
menghadapi perlawanan rakyat Sulu dan Mindanau, sehingga Philipina punya
kepentingan untuk memindahkan KONFLIK MORO dari Sulu dan Mindanau ke
Sabah.
Ketiga, Philipina memang sudah lama
mengklaim kedaulatannya atas Sabah. Bahkan pada tahun 1967, di zaman
Marcos, Philipina pernah membentuk pasukan berisikan dua ratus tentara
dari bangsa Sulu dan Mindanau, yang kemudian terkenal dengan nama
JABIDAH SPECIAL FORCE sesuai nama komandannya, Jabidah. Mereka dilatih
secara khusus di pulau Corregidor di wilayah Luzon – Philipina, tanpa
tahu tujuan sebenarnya. Pada tahun 1968, tatkala mereka akan dikirim ke
Sabah untuk membantai bangsa Sulu dan Mindanau di Sabah yang setuju ikut
Malaysia melalui Referendum 16 September 1963, maka mereka menolak
untuk memerangi saudaranya sendiri. Akhirnya, seluruh anggota Unit
Komando Jababidah dibantai di pulau tersebut atas perintah Marcos. Namun
ada beberapa yang berhasil menyelamatkan diri, sehingga peristiwa keji
tersebut terbongkar. Inilah peristiwa yang membuat bangsa Moro
demonstrasi berbulan-bulan di Manila, Mindanau dan Sulu, yang akhirnya
melahirkan pembentukan MNLF untuk melawan Philipina. Jadi, jika
Philipina pernah menempuh jalan keji untuk merebut Sabah, maka tidak
heran jika Philipinan mampu mengulangi kekejiannya melalui peristiwa
Lahad Datu di Sabah. Dan bisa terulang kembali di masa mendatang.
Keempat, dalam peristiwa Lahad Datu,
respon Philipina agak dingin, bahkan ikut meloloskan para penyerbu saat
lari dari kejaran Tentara Diraja Malaysia. Tidak sampai disitu, Presiden
Philipina secara terang-terangan memberi pernyataan terkait peristiwa
Lahad Datu, bahwa Philipina akan terus memperjuangkan kedaulatannya atas
Sabah secara diplomatik melalui forum internasional.
SI : Sikap Sultan Bantilan sendiri
terhadap masalah Sabah bagaimana ? Dan bagaimana pula sikap Sultan
Bantilan terhadap peristiwa Lahad Datu ?
HABIB : Sultan Bantilan tidak akan
pernah mempermasalahkan Sabah berada dalam wilayah kedaulatan Malaysia,
selama Malaysia merupakan negeri Islam dan mengelola Sabah dengan baik
dan memperlakukan warga Sulu di Sabah dengan baik pula. Tak pernah
terbersit di benak Sultan Bantilan untuk menuntut pengembalian Sabah.
Hanya saja, Sultan berharap “Sewa Sabah”
dibayar oleh Malaysia untuk negara “Kesultanan Sulu” bukan pribadi
“Sultan Sulu” atau keluarganya. Artinya, uang sewa tersebut mestinya
disetorkan kepada pihak yang tepat untuk digunakan bagi pembangunan
Negeri Sulu dan peningkatan kesejahteraan rakyat Sulu.
Soal peristiwa Lahad Datu, Sultan
Bantilan melihat bahwa itu hanya merupakan rekayasa politik jahat yang
ingin merusak hubungan baik Kesultanan Sulu dengan Malaysia, sekaligus
ingin mengadu-domba antar umat Islam di dalam mau pun di luar Sulu. Dan
Sultan sangat berduka dengan korban yang berjatuhan, baik dari pihak
rakyat Sulu mau pun saudara muslim Malaysia.
SI : Habib sendiri selaku Mufti Besar Sulu, bagaimana peran Habib dalam kasus tersebut ?
HABIB : Saya bersama Menteri Luar
Negeri Sulu Datu H.Zakariya dan Menteri Pemuda Sulu Datu Asree Moro
sejak awal Maret terus melakukan pertemuan dan pembicaraan dengan
berbagai pihak dari para petinggi Malaysia, termasuk Menteri Pertahanan
Malaysia Datu Sri Zahid Hamidi. Intinya, kami menjelaskan tentang apa
dan bagaimana sikap sebenarnya Sultan Bantilan Mu’izzuddin II terhadap
Sabah dan peristiwa Lahad Datu, sekaligus kita mencari solusi terbaik
agar ke depan tidak terulang lagi peristiwa serupa.
Bahkan sampai saat ini, upaya diplomatik
Kesultanan Sulu masih terus kami lakukan di Malaysia. Rencana ke depan,
kita akan ajak bicara juga Kesultanan Brunei selaku kerabat Kesultanan
Sulu.
SI : Solusi apa yang Habib dan kawan-kawan tawarkan atas nama Kesultanan Sulu ?
HABIB : Ada banyak solusi kita tawarkan, kesemuanya untuk kebaikan Malaysia dan Sulu serta Mindanau, antara lain :
Pertama, Kesultanan Sulu harus mengakui
kedaulatan Malaysia atas Sabah, sehingga status Sabah sebagai milik
Malaysia tidak boleh dipersoalkan lagi oleh Sulu selamanya.
Kedua, nilai sewa Sabah tetap harus
dibayar oleh Malaysia selamanya, tapi nilainya harus disesuaikan dengan
kurs yang berlaku, karena sewa Sabah dengan 5000 (lima ribu) ringgit
atau pound sterling per tahun di zaman sekarang sudah tidak logis lagi
dengan alasan apa pun.
Ketiga, pembayaran sewa Sabah diberikan
kepada “Kesultanan Sulu” bukan “Sultan Sulu”. Artinya, bukan untuk
pribadi Sultan Sulu atau keluarganya, tapi untuk membangun negeri Sulu
dan mensejahterakan rakyat Sulu. Malaysia boleh membayar sewa Sabah
dalam bentuk pembangunan infrastruktur di Sulu, sekaligus berinvestasi
di Sulu yang saling menguntungkan, agar Sulu tidak lagi miskin dan
terbelakang seperti saat ini.
Keempat, Malaysia harus mengakui dan ikut
memperjuangkan di forum internasional kedaulatan Kesultanan Sulu
sebagai negara merdeka, sebagaimana Malaysia selama ini telah mengakui
dan melaksanakan kewajiban pembayaran sewa Sabah kepada Kesultanan Sulu.
Kelima, Malaysia dan Sulu harus saling
bekerja sama di semua bidang, termasuk saling mempermudah rakyat
masing-masing untuk keluar masuk mau pun berdomisili dan bekerja di
kedua negara.
SI : Hikmah apa yang Habib lihat di balik peristiwa Lahad Datu – Sabah ?
HABIB : Sekali pun peristiwa
tersebut merupakan tragedi yang membuat kita semua prihatin, namun tetap
kita harus mengambil Hikmahnya, antara lain :
Pertama, mendorong Malaysia dan
Kesultanan Sulu yang sah untuk duduk kembali bersama bermusyawarah
mencari solusi terbaik untuk Sulu, Mindanau dan Sabah.
Kedua, membuka mata dunia internasional
bahwa nun jauh di Asia Tenggara ada satu negeri merdeka, yaitu
Kesultanan Sulu, yang tertindas dan melarat selama beratus tahun, akibat
kezaliman Spanyol dan Amerika Serikat serta Philipina.
SI : Apa betul Sultan Sulu saat ini adalah Sultan termiskin di dunia ?
HABIB : Sultan Sulu yang
dinobatkan Philipina dan beristana di Manila tentu kaya raya, karena
mendapat gaji dari pemerintah Philipina dan memperoleh uang “Sewa Sabah”
serta berbagai fasilitas kemewahan. Ada pun Sultan Sulu yang sah
dinobatkan oleh para Syarif, Datu, Ulama, Tokoh dan Rakyat Sulu dengan
komitmen memerdekan Sulu dan Mindanau, selama ini hidup sederhana penuh
syukur dan sabar. Istana kecil berlantai tanah dan beratapkan ijuk
dengan nafkah halal dari bertani dan berdagang. Alhamdulillah.
SI : Andaikata upaya politik dan diplomatik untuk kemerdekaan Sulu dan Mindanau gagal, apa yang akan dilakukan Sultan Bantilan ?
HABIB : Bagi Sultan Bantilan
selama masih ada Bulan dan Bintang, maka Rakyat Sulu akan terus bertahan
dan berjuang. Artinya, kita tidak akan pernah putus asa. Upaya
diplomatik akan terus dilakukan tanpa henti sampai kapan pun, hingga
Sulu dan Mindanau MERDEKA. Walau pun suatu saat kami diserang sehingga
dipaksa perang, maka kami akan berjihad, sambil tetap melakukan lobby
diplomatik tingkat tinggi dengan berbagai negara Islam khususnya.
SI : Andaikata Jihad dikobarkan Sultan Bantilan di bumi Sulu dan Mindanau, akankah FPI yang Habib pimpin mengambil bagian ?
HABIB : Insya Allah, FPI akan tetap ISTIQOMAH untuk selalu mengambil bagian dalam Jihad di negeri kaum muslimin mana pun.
SI : Apakah Habib sudah mengkomunikasikan persoalan Sulu ke pemerintah Indonesia ?
HABIB : Dari sekian banyak pejabat
yang saya hubungi, hanya Menteri Agama RI Suryadarma Ali yang merespon
dan memberi apresiasi serta motivasi kepada saya selaku anak bangsa
Indonesia yang ikut berperan dalam persoalan internasional tersebut.
Lainnya bungkam tuh ?!
Padahal, saya berharap pemerintah
Indonesia bisa memainkan peranan lebih besar. Ingat, bahwa sebab
kekalahan Indonesia dari Malaysia dalam kasus pulau Sipadan dan Ligitan
di Mahkamah Internasional, salah satunya adalah karena Malaysia
menggunakan dokumen yang berasal dari Kesultanan Sulu tentang kedua
pulau tersebut. Disana masih ada beberapa pulau lagi yang berpotensi
jadi masalah perbatasan antara Indonesia – Malaysia – Philipina yang
kesemuanya akan melibatkan dokumen Kesultanan Sulu.
Apalagi Kesultanan Sulu dan Mindanau juga
punya hubungan kekeluargaan dengan berbagai kerajaan di Indonesia,
seperti Kerajaan Kubu di Kalimantan Barat, Kerajaan Bulungan di
Kalimantan Timur, serta Kerajaan Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan,
hingga Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku, termasuk para Datu di
Buol dan Toli-Toli hingga Menado di Sulawesi Utara.
SI : Hikmah lain apakah yang bisa diambil oleh pemerintah RI dari peristiwa Lahad Datu ?
HABIB : Pemerintah RI harus pandai
menghargai dan menghormati jasa seluruh Kesultanan di Indonesia yang
telah dengan sukarela masuk ke dalam wilayah RI. Berikan mereka peran
yang lebih konkrit dan jadikan mereka sebagai ujung tombak pemerintah
pusat untuk menjaga persatuan dan kesatuan NKRI di wilayah
masing-masing. Dengan demikian, tidak akan pernah terbersit di benak
kesultanan mana pun di Indonesia untuk keluar dari wilayah RI. Termasuk
oemerintah wajib menjunjung tinggi SYARIAT ISLAM yang sejak awal sudah
menjadi KONSTITUSI seluruh Kesultanan di Indonesia. [KbrNet/Slm]
oh... ternyata si rizieq itu orang sulu? bukan orang indonesia to? makanya disini bikin onar terus
BalasHapus