Penghitungan Subsidi BBM di-Mark Up Rp 30 Triliun
Posted by KabarNet pada 29/03/2012 http://kabarnet.wordpress.com/2012/03/29/penghitungan-subsidi-bbm-di-mark-up-rp-30-triliun/
Jakarta – KabarNet: Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga ada penggelembungan (mark up) penghitungan subsidi bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah. Nilainya tidak tanggung-tanggung, sebesar lebih dari Rp 30 triliun.
Hal itu diutarakan Koordinator Program
Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas dalam konferensi pers
di kantor ICW, Jakarta, Rabu (28/3). Ilyas memaparkan, metode dan cara
penghitungan ICW sama dengan yang dipakai pemerintah. Penghitungan, kata
Ilya, dilakukan dengan metode mean oil platt singapore (MOPS) dikurangi
harga minyak mentah di indonesia (ICP).
Menurut ICW, jika harga BBM premium dan
solar tidak naik, dalam arti tetap di harga Rp 4.500 per liter, maka
total beban subsidi BBM dan LPG hanya Rp 148 triliun. Hal ini berbeda
dengan versi pemerintah yang menyebut jika harga BBM tidak naik maka
beban subsidi BBM bisa mencapai Rp 178 triliun. Perbedaan hitungan
inilah yang, menurut ICW, menunjukkan indikasi mark up mencapai sekitar
Rp 30 triliun.
“Skenarionya, kalau BBM tidak naik,
pemerintah berkali-kali mengatakan, subsidi kan jebol sampai Rp 178
triliun. Pertanyaannya, kalau kita hitung lagi secara detail, kita hanya
dapatkan bahwa beban subsidi hanya Rp 148 triliun. Ada selisih lebih
rendah Rp 30 triliun dari yang dibilang pemerintah. Pertanyaannya dari
mana masalah perbedaan ini muncul,” jelas Koordinator Divisi Monitoring
Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas, dalam jumpa pers di kantor ICW,
Jakarta Selatan, Rabu (28/3/2012).
Firdaus mempertanyakan bagaimana metode
perhitungan biaya subsidi BBM ini versi pemerintah yang tidak
transparan. ICW, kata dia, menggunakan metode perhitungan-perhitungan
umum, yang lazim digunakan dalam penghitungan harga BBM di Pertamina,
BPH Migas, maupun Kementerian ESDM.
Sementara patokan harganya mengacu pada
Mean Oils Platt Singapore atau harga rata-rata transaksi bulanan minyak
di pasar Singapura. Metode ini dipakai secara umum di Indonesia tahun
2006. “Jika harga BBM dinaikkan menjadi Rp 6.000 dari hitungan ICW,
total beban subsidi Rp 68 triliun, sedangkan menurut hitungan pemerintah
Rp 111 triliun. Selisihnya hampir Rp 43 triliun. Kita menggunakan
parameter asumsi yang sama, metode yang sama dengan pemerintah. Tetapi,
kenapa ada hasil perhitungannya bisa berbeda. Ini persoalan pada tidak
transparan penghitungan,” jelas Firdaus.
Ia menyatakan tak tahu akan mengalir ke
mana dana selisih itu jika memang ada indikasi mark up. Dugaan ICW,
banyak pihak yang berkepentingan dengan bisnis minyak saat ini yang
perlu diwaspadai. “Saya tidak tahu akan masuk ke kantong mana saja jika
biaya subsidi BBM di-mark up. Tapi, pihak yang memiliki kepentingan
dengan bisnis ini banyak. Mungkin saja pemerintah, legislatif, dan
pengusaha,” terangnya.
Ia menyatakan, ICW siap berdiskusi dengan
pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM, Pertamina maupun BPH Migas
terkait perbedaan perhitungan tersebut. Publik, kata dia, perlu tahu
jika memang ada perhitungan dan dugaan mark up karena ini menyangkut
kepentingan publik.
“Kita merasa belum perlu menaikkan harga
BBM 2012, cukup dengan harga premium dan solar Rp 4.500. Datanya dari
mana? Ya dari perhitungan kami itu tadi. Saya tidak tahu, di mana
salahnya hitungan pemerintah sehingga ada selisih ini, tapi harus dibuka
satu-satu. ICW siap, kami dengan senang hati, kita buka datanya
satu-satu,” pungkas Firdaus.
ICW menuding pemerintah tidak terbuka
dalam penghitungan BBM dari hulu ke hilir kepada masyarakat. Ilyas
melihat DPR hanya membahas secara umum. Alasan persetujuan atau
penolakan yang disampaikan tidak detail pada proses perhitungan. “Apakah
ini adalah modus pemerintah untuk menaikkan harga BBM, sehingga ketika
mendekati pemilu bisa mengurangi lagi harga BBM,” tanya Ilyas. ICW
berencana melaporkan dugaan mark up itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
ICW meminta KPK mengaudit terbuka. [KbrNet/Kompas/MetroTV]
Pengendalian BBM, Mengulang Lagu Lama
Rabu, 27 Maret 2013 | 09:06 WIB http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/03/27/09065495/Pengendalian.BBM.Mengulang.Lagu.Lama
KOMPAS/PRIYOMBODO
Ilustrasi
Dengan menggunakan sistem pemantauan dan pengendalian berbasis teknologi, pemerintah akan mengontrol pembelian BBM bersubsidi di setiap stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Tujuannya, agar pengguna kendaraan memakai bahan bakar bersubsidi di tingkat yang wajar.
Penjatahan pembelian BBM bersubsidi itu juga diyakini pemerintah bisa mencegah praktik penyalahgunaan BBM bersubsidi. Salah satu modus yang sering dilakukan di sejumlah daerah adalah membeli BBM bersubsidi jenis solar berulang kali untuk dijual kembali ke industri.
Selama ini penyalahgunaan dalam penyaluran BBM bersubsidi dituding sebagai salah satu penyebab tingginya konsumsi BBM bersubsidi hingga melampaui kuota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun lalu, pemerintah menambah kuota BBM bersubsidi dua kali sehingga kuotanya bertambah dari 40 juta kiloliter dalam APBN 2012 menjadi 45,27 juta kiloliter.
Dalam APBN 2013, kuota BBM bersubsidi ditetapkan 46 juta kiloliter, dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) 100 dollar AS per barrel dan subsidi BBM Rp 193,8 triliun. Jika ICP mencapai 115 dollar AS per barrel, subsidi BBM diperkirakan bertambah Rp 50 triliun dari yang dianggarkan. Belum lagi jika konsumsi BBM bersubsidi melampaui kuota.
Terkait hal itu, penerapan sistem pengendalian BBM bersubsidi berbasis teknologi diklaim mampu mengubah perilaku pengguna kendaraan menjadi hemat BBM, mengatasi praktik penyalahgunaan BBM bersubsidi, dan menjaga kuota BBM bersubsidi agar tidak kembali jebol.
Dalam sistem itu, penghitungan volume penyaluran BBM bersubsidi dilakukan di tingkat stasiun pengisian bahan bakar untuk umum, bukan lagi dihitung berdasarkan volume BBM bersubsidi yang keluar dari depot BBM. Seluruh transaksi pembelian BBM bersubsidi tercatat di komputer, termasuk data kendaraan, dan terhubung dengan SPBU lain.
Uji coba telah dilakukan di Banjarmasin tahun lalu, tetapi sebatas mencatat transaksi pembelian BBM bersubsidi. Kini pemerintah berencana memanfaatkan sistem itu untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi. Jadi, setiap kendaraan dijatah volume harian pembelian BBM bersubsidi. Jika jatahnya habis, mulut selang tangki tidak lagi mengucurkan bahan bakar.
Namun, belum ada kejelasan pendanaan pengadaan perangkat teknologi itu, apakah dengan penambahan alpha (margin dan biaya distribusi) dalam APBN atau ditanggung Pertamina lewat pemotongan dividen ke pemerintah. Apalagi sejauh ini belum ada payung hukum dan aspek konstitusional sebagai dasar pembenaran pemerintah untuk membatasi masyarakat hanya mengonsumsi BBM bersubsidi dalam volume tertentu.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto menilai, jika berhasil diterapkan, hal itu merupakan pencitraan bagi pemerintah karena tidak harus menaikkan harga BBM bersubsidi untuk sementara. Penerapan sistem itu juga bisa untuk mengetahui tingkat konsumsi BBM bersubsidi oleh masyarakat yang sebenarnya dan berapa yang salah sasaran.
Di sisi lain, penerapan kebijakan itu dinilai rumit dan kompleks dalam implementasi, memerlukan waktu, kesiapan infrastruktur dan jaringan teknologi informasi yang andal, serta kesiapan petugas di lapangan. Apalagi tercatat ada sekitar 98.000 dispenser yang harus dipasangi perangkat teknologi yang tersebar di sekitar 5.000 SPBU.
Namun, efektivitas kebijakan mengendalikan volume BBM bersubsidi agar tidak jebol itu masih diragukan. Sebenarnya hal itu pernah diwacanakan pada tahun 2008, dengan ide kartu pintar yang juga berbasis teknologi, tetapi batal diterapkan karena kompleksitas dan rendahnya efektivitas.
Karena itu, pemerintah mesti mengkaji dan mempersiapkan kebijakan itu secara komprehensif agar tak sampai dipermasalahkan. Jangan sampai kebijakan itu hanya seperti mengulang lagu lama karena keengganan memilih opsi kenaikan harga yang jelas lebih rasional secara ekonomi. (EVY RACHMAWATI)
Subsidi BBM Menyesatkan
Istilah Subsidi BBM Menyesatkan. Mengapa Dipakai Untuk Menaikkan Harga Lagi??
Kwik Kian Gie
Dalam
tulisan ini saya membuat beberapa kalkulasi tentang jumlah uang yang
masuk karena penjualan BBM dan uang yang harus dikeluarkan untuk
memproduksi dan mengadakannya. Hasilnya pemerintah kelebihan uang.
Mengapa dikatakan pemerintah harus mengeluarkan uang untuk memberi
subsidi, sehingga APBN-nya jebol. Dan karena itu harus menaikkan harga
BBM yang sudah pasti akan lebih menyengsarakan rakyat lagi setelah
kenaikan luar biasa di tahun 2005 sebesar 126%.
Mari kita segera saja melakukan kalkulasinya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (Menteri Ani) memberi keterangan kepada Rakyat Merdeka yang dimuat pada tanggal 24 April 2008.
Angka-angka
yang dikemukakannya adalah angka-angka yang terakhir disepakati antara
Pemerintah dan DPR, yang sekarang tentunya sudah ketinggalan lagi.
Maka dalam
perhitungan yang saya tuangkan ke dalam tiga buah Tabel Kalkulasi saya
menggunakan angka-angkanya Menteri Ani yang diperlukan untuk mengetahui
berapa persen bagian bangsa Indonesia dari minyak mentah yang
dikeluarkan dari perut bumi Indonesia. Berapa jumlah penerimaan
Pemerintah dari Migas di luar pajak. Jadi yang saya ambil angka-angka
yang masih dapat dipakai walaupun banyak angka yang sudah ketinggalan
oleh perkembangan, seperti harga minyak mentahnya sendiri. Angka
kesepakatan antara Pemerintah dan Panitya Anggaran harga minyak masih
US$ 95 per barrel. Sekarang sudah di atas US$ 120. Saya mengambil US$
120 per barrel.
Keseluruhan data dan angka yang menjadi landasan kalkulasi saya tercantum dalam tabel-tabel kalkulasi yang bersangkutan.
Setiap Tabel kalkulasi sudah cukup jelas. Untuk memudahkan memahaminya, saya jelaskan sebagai berikut.
Menteri Ani antara lain mengemukakan bahwa lifting (minyak mentah yang disedot dari dalam perut bumi Indonesia ) sebanyak 339,28 juta barrel per tahun. Dikatakan bahwa angka ini tidak seluruhnya menjadi bagian Pemerintah. (baca : bagian milik bangsa Indonesia).
Kita mengetahui bahwa 90% dari minyak kita dieksploitasi oleh
perusahaan-perusahaan minyak asing. Maka mereka berhak atas sebagian
minyak mentah yang digali. Berapa bagian mereka? Menteri Ani tidak
mengatakannya. Tetapi kita bisa menghitungnya sendiri berdasarkan
angka-angka lain yang dikemukakannya, yaitu sebagai berikut.
Menteri Ani memberi angka-angka sebagai berikut.
Lifting : 339,28 juta barrel per tahunHarga minyak mentah : US$ 95 per barrel
Nilai tukar rupiah : Rp. 9.100 per US$
Penerimaan Migas diluar pajak : Rp. 203,54 trilyun.
Dari
angka-angka tersebut dapat dihitung berapa hak bangsa Indonesia dari
lifting dan berapa persen haknya perusahaan asing. Perhitungannya
sebagai berikut.
Hasil Lifting dalam rupiah : (339.280.000 x 95) x Rp. 9.100 = Rp. 293,31 trilyun.
Penerimaan
Migas Indonesia : Rp. 203,54 trilyun. Ini sama dengan (203,54 : 293,31) x
100 % = 69,39%. Untuk mudahnya dalam perhitungan selanjutnya, kita
bulatkan menjadi 70% yang menjadi hak bangsa Indonesia.
Jadi dari
sini dapat diketahui bahwa hasil lifting yang miliknya bangsa Indonesia
sebesar 70%. Kalau lifting seluruhnya 339,28 juta barrel per tahunnya,
milik bangsa Indonesia 70% dari 339,28 juta barrel atau 237,5 juta
barrel per tahun.
Berapa
kebutuhan konsumsi BBM bangsa Indonesia? Banyak yang mengatakan 35,5
juta kiloliter per tahun. Tetapi ada yang mengatakan 60 juta kiloliter.
Saya akan mengambil yang paling jelek, yaitu yang 60 juta kiloliter,
sehingga konsumsi minyak mentah Indonesia lebih besar dibandingkan
dengan produksinya.
Produksi yang haknya bangsa Indonesia : 237,5 juta kiloliter.
Konsumsinya
60 juta kiloliter. 1 barrel = 159 liter. Maka 60 juta kiloliter sama
dengan 60.000.000.000 :159 = 377,36 juta barrel.
Walaupun
kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang dikatakan Menteri Ani
tentang harga minyak mentah US$ 95 per barrel, saya ambil US$ 120 per
barrel.
Walaupun
kesepakatan antara Pemerintah dan DPR seperti yang diungkapkan Menteri
Ani tentang nilai tukar adalah Rp. 9.100 per US$, saya ambil Rp. 10.000
per US$.
TABEL III
Hasilnya
seperti yang tertera dalam Tabel III, yaitu Pemerintah kelebihan uang
tunai sebesar Rp. 35,71 trilyun, walaupun dihadapkan pada keharusan
mengimpor dalam memenuhi kebutuhan konsumsi rakyatnya. Produksi minyak
mentah yang menjadi haknya bangsa Indonesia 237,5 juta barrel.
Konsumsinya 60 juta kiloliter yang sama dengan 377,36 juta barrel.
Terjadi kekurangan sebesar 139,86 juta barrel yang harus dibeli dari
pasar internasional dengan harga US$ 120 per barrelnya dan nilai tukar
diambil Rp. 10.000 per US$. Toh masih kelebihan uang tunai.
TABEL II
Apalagi
kalau kita merangkaikan semua data kesepakatan terakhir antara
Pemerintah dengan Panitya Anggaran DPR. Seperti yang diungkapkan oleh
Menteri Ani kepada Rakyat Merdeka tanggal 24 April yang lalu
kesepakatannya adalah sebagai berikut.
Lifting : 339,28 juta barrel per tahunHarga : US$ 95 per barrel
Nilai tukar : Rp. 9.100 per US$
Penerimaan Migas di luar pajak : Rp. 203,54 trilyun.
Kalkulasi tentang uang yang harus dikeluarkan dan uang yang masuk seperti dalam Tabel I.
Kita lihat
dalam Tabel I tersebut bahwa kelebihan uang tunainya sebesar Rp. 82,63
trilyun. Ketika itu Pemerintah sudah teriak bahwa kekurangan uang dalam
APBN dan minta mandat dari DPR supaya diperbolehkan menggunakan uang
APBN sebesar lebih dari Rp. 100 trilyun, yang disetujui oleh DPR.
TABEL I
Dalam Tabel
II saya mengakomodir pikiran teoretis dari Pemerintah yang mengatakan
bahwa Pertamina harus membeli minyak mentahnya dari Menteri Keuangan
dengan harga internasional yang dalam kesepakatan antara Pemerintah dan
Panitya Anggaran US$ 95 per barrel dan nilai tukar ditetapkan Rp. 9.100
per US$.
Seperti
dapat kita lihat, hasilnya memang Defisit sebesar Rp. 122,69 trilyun.
Tetapi uang yang harus dibayar oleh Pertamina kepada Menteri Keuangan
yang sebesar Rp. 205,32 trilyun kan milik rakyat Indonesia juga? Maka
kalau ini ditambahkan menjadi surplus, kelebihan uang yang jumlahnya Rp.
82,63 trilyun, persis sama dengan angka surplus yang ada dalam Tabel I.
MENGAPA?
Mengapa Pemerintah mempunyai pikiran bahwa subsidi sama dengan pengeluaran uang tunai? Mengapa DPR menyetujuinya? Itulah yang menjadi pertanyaan terbesar buat saya yang sudah saya kemukakan selama 10 tahun dalam bentuk puluhan tulisan di berbagai media massa. Dibantah tidak, digubris tidak.
Mengapa Pemerintah mempunyai pikiran bahwa subsidi sama dengan pengeluaran uang tunai? Mengapa DPR menyetujuinya? Itulah yang menjadi pertanyaan terbesar buat saya yang sudah saya kemukakan selama 10 tahun dalam bentuk puluhan tulisan di berbagai media massa. Dibantah tidak, digubris tidak.
Sekarang
saya mengulanginya lagi, karena masalahnya sudah menjadi kritis dalam
dua aspek. Yang pertama, kesengsaraan rakyat sudah sangat parah. Kedua,
kenaikan harga BBM lagi bisa memicu kerusuhan sosial. Kali ini jangan
main-main. Semoga saya salah.
PIKIRAN BINGUNG YANG ZIG-ZAG
Ketika harga
BBM di tahun 2005 dinaikkan dengan 126%, bensin premium menjadi Rp.
4.500 per liter. Ketika itu, harga bensin ini ekivalen dengan harga
minyak mentah sebesar US$ 61,5 per barrel.
Pemerintah
mengatakan bahwa mulai saat itu sudah tidak ada istilah subsidi lagi,
karena harga BBM di dalam negeri sudah sama dengan harga minyak mentah
yang setiap beberapa kali sehari ditentukan oleh New York Mercantile
Exchange. Memang betul, bahkan lebih tinggi sedikit, karena ketika itu
harga minyak mentah US$ 60 per barrel.
Ketika harga
minyak mentah turun sampai sekitar US$ 57 dan Wapres JK ditanya
wartawan apakah harga BBM akan diturunkan, beliau menjawab “tidak”.
Lantas harga minyak meningkat sampai US$ 80. Wartawan bertanya lagi
kepadanya, apakah harga BBM akan dinaikkan? Dijawab : “Tidak, dan tidak
akan dinaikkan walaupun harga minyak mentah meningkat sampai US$ 100 per
barrel.”
Lantas
Presiden mengumumkan bahwa kalau harga minyak sudah US$ 120 pemerintah
akan kekurangan uang untuk memberikan subsidi kepada rakyatnya dalam
jumlah besar, sehingga APBN akan jebol. Maka terpaksa menaikkan harga
BBM pada akhir Mei dengan sekitar 30 %. Jadi sangatlah jelas bahwa
Presiden menganggap subsidi BBM sama dengan uang tunai yang harus
dikeluarkan oleh Pemerintah.
Pada tanggal 13 Mei jam 22.05 Metro TV menayangkan Today’s Dialogue, di mana Wapres Jusuf Kalla mengakui bahwa pemerintah akan kelebihan uang, yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur.
Jadi dalam
pengadaan BBM pemerintah kekurangan uang karena harus memberikan
subsidi, atau kelebihan uang yang akan dipakai untuk membangun
infrastruktur?
Penutup
Tulisan ini baru awal dari sebuah perdebatan publik. Ayo, saya mohon dibantah. Wahai media televisi, selenggarakanlah debat publik tanpa batas waktu siapa yang benar dan siapa yang salah? Buat urusan perut rakyat yang termiskin yang notabene pemilik minyak, janganlah lebih mementingkan iklan – iklan.
Tulisan ini baru awal dari sebuah perdebatan publik. Ayo, saya mohon dibantah. Wahai media televisi, selenggarakanlah debat publik tanpa batas waktu siapa yang benar dan siapa yang salah? Buat urusan perut rakyat yang termiskin yang notabene pemilik minyak, janganlah lebih mementingkan iklan – iklan.
Tunggu
artikel-artikel berikutnya di KoranInternet ini. Artikel-artikel
berikutnya akan membahas masalah penentuan harga BBM untuk rakyatnya ini
dari segi disiplin ilmu cost accounting beserta landasan falsafahnya
yang nampaknya tidak dikuasai dan tidak dipahami oleh para teknokrat,
tetapi selalu bersikap gebrak dulu dengan sikap ”biar bodoh asal
sombong”. Pokoknya gebrak dan gertak. Boleh – boleh saja, tetapi kalau
lantas menyengsarakan rakyat ya ayolah berdebat keras!
Source: koraninternet.com http://dhymas.wordpress.com/indonesiaku/subsidi-bbm-menyesatkan/
Pramono: Kenapa Rencana Kenaikan BBM Dilakukan Jelang Pemilu?
Tribunnews.com - Selasa, 16 April 2013 16:45 WIB
http://www.tribunnews.com/2013/04/16/pramono-kenapa-rencana-kenaikan-bbm-dilakukan-jelang-pemilu
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik memberikan keterangan sebelum
mengikuti Rapat Koordinasi tentang BBM Bersubsidi di kantor
Kementerian
Dalam Negeri, Jakarta, Selasa (16/4/2013). Pemerintah mensinyalkan akan
membatasi anggaran subsidi bahan bakar minyak untuk kendaraan pribadi,
khususnya mobil pelat hitam. Rapat tersebut dihadiri sejumlah menteri
dan gubernur se-Indonesia. KOMPAS/HERU SRI KUMORO
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengingatkan kepada pemerintah tidak menjadikan program kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi dengan program kompensasinya untuk mengambil simpati publik pada kepentingan Pemilu 2014 mendatang.
Apalagi, pengalaman yang hampir sama pernah terjadi pada jelang-jelang Pemilu 2009 lalu. Karena itu, kalau hal ini terulang, sangatlah tidak adil--ada sebuah program yang akan sangat menguntungkan partai tertentu.
Karenanya, Wakil Ketua DPR Pramono Anung mempertanyakan kenapa rencana kenaikan harga BBM ini tidak dilakukan saat tidak sedang mendekati pemilu.
"Kenapa itu baru dilakukan menjelang atau dipepetkan dengan pemilu, kemudian ada wacana BLT, ini kan mengulang hal-hal yang sebelumnya sudah terjadi pada 2008-2009," tegas dia mempertanyakan rencana pemerintah, saat ditemui di Kompleks Gedung DPR, Jakarta, Selasa (16/4/2013).
Politisi PDI-Perjuangan ini juga mengkritisi rencana pemerintah yang akan mengambil opsi untuk membagi BBM premium menjadi dua jenis harga. Harga premium yang pertama seharga Rp 4.500 khusus untuk motor dan angkutan umum. Sedangkan harga premium untuk kendaraan pribadi harganya lebih mahal.
Menurutnya, program sendiri malah akan menimbulkan polemik baru yakni terbentuknya disparitas harga yang akhirnya membuat adanya black market.
"Ini hanya akan menimbulkan black market. Karena orang kaya akan beli di pinggir jalan," tegasnya.
Karenanya, dia ingatkan pemerintah harus benar-benar melakukan kajian mendalam apapun itu yang akan menjadi kebijakan nantinya.
"Maka dengan demikian, apa pun yang akan dilakukan pemerintah itu harus dikaji yang mendalam. Sebelum keputusan itu menjadi keputusan yang pasti, jangan dipolemikkan karena persoalan BBM ini dari dulu selalu sensitif sekali," ujarnya menanggapi.
Lebih lanjut Pramono juga mengatakan DPR belum menerima skenario pemerintah terkait program pengendalian atau menaikkan harga BBM.
Dia tegaskan, pemerintah diminta untuk tidak mengulur-ulur waktu mengenai kebijakan ini. Menurutnya pemerintah harus segera memutuskan kebijakan apa yang diambil terkait BBM. Dan kebijakan itu sendiri harus disampaikan pemerintah segera kepada DPR.
"Harap segera disampaikan secara resmi. Jangan dipolemikan. Kalau dipolemikkan makin panjang, pasti ada orang yang menikmati," tegas dia.
Apalagi, pengalaman yang hampir sama pernah terjadi pada jelang-jelang Pemilu 2009 lalu. Karena itu, kalau hal ini terulang, sangatlah tidak adil--ada sebuah program yang akan sangat menguntungkan partai tertentu.
Karenanya, Wakil Ketua DPR Pramono Anung mempertanyakan kenapa rencana kenaikan harga BBM ini tidak dilakukan saat tidak sedang mendekati pemilu.
"Kenapa itu baru dilakukan menjelang atau dipepetkan dengan pemilu, kemudian ada wacana BLT, ini kan mengulang hal-hal yang sebelumnya sudah terjadi pada 2008-2009," tegas dia mempertanyakan rencana pemerintah, saat ditemui di Kompleks Gedung DPR, Jakarta, Selasa (16/4/2013).
Politisi PDI-Perjuangan ini juga mengkritisi rencana pemerintah yang akan mengambil opsi untuk membagi BBM premium menjadi dua jenis harga. Harga premium yang pertama seharga Rp 4.500 khusus untuk motor dan angkutan umum. Sedangkan harga premium untuk kendaraan pribadi harganya lebih mahal.
Menurutnya, program sendiri malah akan menimbulkan polemik baru yakni terbentuknya disparitas harga yang akhirnya membuat adanya black market.
"Ini hanya akan menimbulkan black market. Karena orang kaya akan beli di pinggir jalan," tegasnya.
Karenanya, dia ingatkan pemerintah harus benar-benar melakukan kajian mendalam apapun itu yang akan menjadi kebijakan nantinya.
"Maka dengan demikian, apa pun yang akan dilakukan pemerintah itu harus dikaji yang mendalam. Sebelum keputusan itu menjadi keputusan yang pasti, jangan dipolemikkan karena persoalan BBM ini dari dulu selalu sensitif sekali," ujarnya menanggapi.
Lebih lanjut Pramono juga mengatakan DPR belum menerima skenario pemerintah terkait program pengendalian atau menaikkan harga BBM.
Dia tegaskan, pemerintah diminta untuk tidak mengulur-ulur waktu mengenai kebijakan ini. Menurutnya pemerintah harus segera memutuskan kebijakan apa yang diambil terkait BBM. Dan kebijakan itu sendiri harus disampaikan pemerintah segera kepada DPR.
"Harap segera disampaikan secara resmi. Jangan dipolemikan. Kalau dipolemikkan makin panjang, pasti ada orang yang menikmati," tegas dia.
Gara-gara BBM Mau Naik, Mahasiswi Jahit Mulut
Tribunnews.com - Rabu, 17 April 2013 15:17 WIB
http://www.tribunnews.com/2013/04/17/gara-gara-bbm-mau-naik-mahasiswi-jahit-mulut
Theo Yonathan Simon Laturiuw/Warta Kota
Angel
(tengah), mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) ikut
menjahit mulut bersama dua rekannya. Mereka beraksi di Jalan Diponegoro,
Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (17/4/2013). Aksi ini untuk menolak
kenaikan BBM dan akan beraksi sampai batas waktu yang tak
ditentukan.(Theo Yonathan Simon Laturiuw)
Laporan wartawan Wartakotalive.com, Theo Yonathan Simon Laturiuw
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gara-gara Bahan Bakar Minyak mau naik bulan Mei 2013, seorang mahasiswi dan dua mahasiswa menjahit mulutnya menolak kenaikan BBM tersebut.
Mereka beraksi di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (17/4/2013). Aksi itu dilakukan persis di depan kantor LBH Jakarta. Mereka mendirikan tenda diatas trotoar.
Mahasiswi yang menjahit mulutnya itu bernama Angel. Dia adalah mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK).
Sementara itu, dua lainnya adalah Jati, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Satya Negara Indonesia. Lalu, seorang lagi adalah Alfred, mahasiswa Fakultas Hukum UBK.
Mereka tampak menjahit mulutnya di bagian sisi-sisinya. Tali jahit itu tampak berwarna hitam.
Selain itu, sambil beraksi mahasiswa ini juga membawa spanduk-spanduk bertuliskan penolakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM).
Ketiga mahasiswa ini tergabung dalam aliansi bernama Mahasiswa Melawan. Mahasiswa Melawan ini terdiri dari empat kampus. Antara lain, Universitas Satya Negara Indonesia, Universitas Bung Karno, Universitas Mpu Tantular, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Humas Mahasiswa Melawan, Dwi Puspa Adi, mengatakan, aksi jahit mulut dan tak makan ini akan berlangsung selama mungkin. Menurut Dwi, jahitan di mulut sudah aman, karena dijahit oleh dokter dan nantinya akan dibuka lagi oleh dokter.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gara-gara Bahan Bakar Minyak mau naik bulan Mei 2013, seorang mahasiswi dan dua mahasiswa menjahit mulutnya menolak kenaikan BBM tersebut.
Mereka beraksi di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (17/4/2013). Aksi itu dilakukan persis di depan kantor LBH Jakarta. Mereka mendirikan tenda diatas trotoar.
Mahasiswi yang menjahit mulutnya itu bernama Angel. Dia adalah mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK).
Sementara itu, dua lainnya adalah Jati, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Satya Negara Indonesia. Lalu, seorang lagi adalah Alfred, mahasiswa Fakultas Hukum UBK.
Mereka tampak menjahit mulutnya di bagian sisi-sisinya. Tali jahit itu tampak berwarna hitam.
Selain itu, sambil beraksi mahasiswa ini juga membawa spanduk-spanduk bertuliskan penolakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM).
Ketiga mahasiswa ini tergabung dalam aliansi bernama Mahasiswa Melawan. Mahasiswa Melawan ini terdiri dari empat kampus. Antara lain, Universitas Satya Negara Indonesia, Universitas Bung Karno, Universitas Mpu Tantular, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Humas Mahasiswa Melawan, Dwi Puspa Adi, mengatakan, aksi jahit mulut dan tak makan ini akan berlangsung selama mungkin. Menurut Dwi, jahitan di mulut sudah aman, karena dijahit oleh dokter dan nantinya akan dibuka lagi oleh dokter.
Berita Terkait: BBM Naik
- Menteri ESDM Pusing Atur BBM
- PDIP: Pantaskah Pemerintah Katakan BBM Harus Naik?
- Pengguna BBM Bukan Cuma Gubernur, tapi Rakyat
- Pramono: Kenapa Rencana Kenaikan BBM Dilakukan Jelang Pemilu?
- Opsi Dua Harga BBM Subsidi Malah akan Timbulkan Black Market
- Pemprov DKI Masih Tak Punya Uang untuk Transportasi
PDIP: Pantaskah Pemerintah Katakan BBM Harus Naik?
Tribunnews.com - Selasa, 16 April 2013 18:56 WIB
http://www.tribunnews.com/2013/04/16/pdip-pantaskah-pemerintah-katakan-bbm-harus-naik
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menteri
Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa memberikan keterangan mengenai
hasil Rapat Koordinasi tentang BBM Bersubsidi di kantor Kementerian
Dalam Negeri, Jakarta, Selasa (16/4/2013). Pemerintah mensinyalkan akan
membatasi anggaran subsidi bahan bakar minyak untuk kendaraan pribadi,
khususnya mobil pelat hitam. Rapat tersebut dihadiri sejumlah menteri
dan gubernur se-Indonesia. KOMPAS/HERU SRI KUMORO
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Dewi Aryani menilai
sangat tidak tepatlah jika kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak
(BBM) subsidi didasarkan pemerintah dalam rangka menyelamatkan APBN.
"Saya rasa tidak tepat," tegas Politisi PDI-Perjuangan ini kepada Tribunnews.com, Selasa (16/4/2013), menyikapi rencana pemerintah menaikkan harga BBM subisidi.
Dewi juga katakan, bukan pertama kalinya rakyat menjadi penanggung beban kewajiban pemerintah untuk mengelola APBN melalui pengurangan subsidi BBM. Bukan juga pertama kalinya, subsidi dianggap oleh kalangan elite negara ini sebagai distorsi, sebagai inefesiensi, yang akan membuat rakyat tidak mandiri.
"Untuk kesekian kalinya, rakyat harus merasakan kenaikan BBM demi memenuhi “ego” pemimpinnya. Rakyatku sayang, rakyatku malang," ujar anggota DPR ini.
Kata dia pula, betapa konyol saat Pemerintah menjadikan alasan “penyelamatan APBN” untuk menaikkan harga BBM. Dengan mengambil kebijakan ini, Pemerintah merasa APBN akan terselamatkan dari jurang ke-inefisensi-an. Kenaikan harga BBM dianggap pemerintah akan mampu menghemat pengeluaran sebesar Rp 38-55 triliun.
Namun, dia ingkatkan kembali, bahwa nyatannya tanpa sedikitpun berhubungan dengan harga dan subsidi BBM, instansi-instansi Pemerintah kerap menyerap anggaran setiap akhir tahun tiba. Itu tampak pada awal Desember 2011, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa potensi Sisa Lebih Pembiyaan Anggaran (SILPA) 2011 mencapai Rp 20-30 Triliun. Itu jika realisasi defisit anggaran berada di kisaran 1,6% terhadap PDB.
SILPA 2011 akan menambah akumulasi Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang hingga saat itu berada di kisaran Rp 97 Triliun. Pada 2010 pun demikian. Bahwa APBN 2010 mengalami kelebihan Rp 47 Triliun yang berasal dari SILPA. Data tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah sangat tidak efisien dalam menggunakan APBN.
"Uang kelebihannya sebanyak itu. Bukankah masih dapat dialokasikan untuk subsidi? Lantas masihkah pantas Pemerintah berkata BBM harus naik agar APBN selamat? Mari merenung," ungkapnya.
Lebih lanjut kata dia, betapa harus disadari bahwa kebijakan kenaikan BBM tidak lebih hanya akan menganggu kestabilan akan keadilan di Indonesia.
Karenanya, tegas Dewi, rakyat berhak menolak kenaikan BBM. Pun demikian sudah seharusnya pemerintah berpikir ulang dan lebih jujur mengenai alasan-alasan jebolnya APBN yang sesungguhnya.
"Jelas-jelas itu bukan karena adanya subsidi untuk rakyat," ucapnya.
"Saya rasa tidak tepat," tegas Politisi PDI-Perjuangan ini kepada Tribunnews.com, Selasa (16/4/2013), menyikapi rencana pemerintah menaikkan harga BBM subisidi.
Dewi juga katakan, bukan pertama kalinya rakyat menjadi penanggung beban kewajiban pemerintah untuk mengelola APBN melalui pengurangan subsidi BBM. Bukan juga pertama kalinya, subsidi dianggap oleh kalangan elite negara ini sebagai distorsi, sebagai inefesiensi, yang akan membuat rakyat tidak mandiri.
"Untuk kesekian kalinya, rakyat harus merasakan kenaikan BBM demi memenuhi “ego” pemimpinnya. Rakyatku sayang, rakyatku malang," ujar anggota DPR ini.
Kata dia pula, betapa konyol saat Pemerintah menjadikan alasan “penyelamatan APBN” untuk menaikkan harga BBM. Dengan mengambil kebijakan ini, Pemerintah merasa APBN akan terselamatkan dari jurang ke-inefisensi-an. Kenaikan harga BBM dianggap pemerintah akan mampu menghemat pengeluaran sebesar Rp 38-55 triliun.
Namun, dia ingkatkan kembali, bahwa nyatannya tanpa sedikitpun berhubungan dengan harga dan subsidi BBM, instansi-instansi Pemerintah kerap menyerap anggaran setiap akhir tahun tiba. Itu tampak pada awal Desember 2011, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa potensi Sisa Lebih Pembiyaan Anggaran (SILPA) 2011 mencapai Rp 20-30 Triliun. Itu jika realisasi defisit anggaran berada di kisaran 1,6% terhadap PDB.
SILPA 2011 akan menambah akumulasi Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang hingga saat itu berada di kisaran Rp 97 Triliun. Pada 2010 pun demikian. Bahwa APBN 2010 mengalami kelebihan Rp 47 Triliun yang berasal dari SILPA. Data tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah sangat tidak efisien dalam menggunakan APBN.
"Uang kelebihannya sebanyak itu. Bukankah masih dapat dialokasikan untuk subsidi? Lantas masihkah pantas Pemerintah berkata BBM harus naik agar APBN selamat? Mari merenung," ungkapnya.
Lebih lanjut kata dia, betapa harus disadari bahwa kebijakan kenaikan BBM tidak lebih hanya akan menganggu kestabilan akan keadilan di Indonesia.
Karenanya, tegas Dewi, rakyat berhak menolak kenaikan BBM. Pun demikian sudah seharusnya pemerintah berpikir ulang dan lebih jujur mengenai alasan-alasan jebolnya APBN yang sesungguhnya.
"Jelas-jelas itu bukan karena adanya subsidi untuk rakyat," ucapnya.
Pengguna BBM Bukan Cuma Gubernur, tapi Rakyat
Tribunnews.com - Selasa, 16 April 2013 18:36 WIB
http://www.tribunnews.com/2013/04/16/pengguna-bbm-bukan-cuma-gubernur-tapi-rakyat
WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
Menteri
Perekonomian Hatta Radjasa, memberikan keterangan kepada wartawan
seusai rapat dengan para Mentri dan para Gubernur di Kantor Kementrian
Dalam Negri, Jakarta Pusat, Selasa (16/04/2013). Rapat tersebut, hanya
menhasilkan persetujuan untuk dilakukan pengendalian BBM susidi dengan
memperhatikan inflasi dan dampaknya bagi perekonomian. Dengan fokus
mengurangi konsumsi BBM bersubsidi bagi kendaraan pribadi. (Warta Kota/
Angga Bhagya Nugraha)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri
ESDM Jero Wacik mengungkapkan hampir seluruh seluruh Gubernur yang
hadir dalam Rapat Kerja menyatakan persetujuannya jika Pemerintah
menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Bersubsidi.
Terkait klaim itu, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan, Dewi Aryani angkat suara menanggapi. Politisi PDI-Perjuangan ini menegaskan yang menggunakan BBM bukan cuma Gubernur, tapi kebanyakan adalah rakyat.
Karenanya, dia tegaskan, kemauan dan persetujuan Gubernur itu belum tentu menyuarakan harapan rakyat.
"Ingat, yang menggunakan BBM bukan cuma Gubernur, tapi rakyat! Kemauan dan persetujuan Gubernur belum tentu menyuarakan harapan rakyat," tegas Dewi kepada Tribunnews.com, Selasa (16/4/2013).
Dewi juga tegaskan, sebelum pemerintah membeberkan secara terbuka penyebab jebolnya APBN yang menjadi alasan utama menaikkan harga BBM, maka rakyat tidak akan pernah percaya kepada pemerintah.
Menurutnya, kebijakan kenaikan BBM tidak dapat disebut sebagai kebijakan yang memenuhi asas keadilan. Padahal, dalam kebijakan publik, keadilan seharusnya menjadi preferensi utama, terlebih dalam masyarakat plural seperti Indonesia.
Lebih lanjut menurutnya, teori Utilitarian berbicara mengenai memaksimalkan jumlah kebahagian terbesar bagi seluruh masyarakat dengan cara menghambat sifat egois individu dengan legislasi serta kesadaran bahwa manusia hidup dalam satu tubuh sosial.
Namun, sayangnya, katanya, Pemerintah tidak melakukan itu. "Betapa harus disadari bahwa kebijakan kenaikan BBM tidak lebih hanya akan menganggu kestabilan akan keadilan di Indonesia," ucapnya.
Kata dia pula, rencana akan menaikkan harga BBM subsidi diajukan dalam APBN-Perubahan nanti, itu menjadi bukti pemerintah tidak mampu membuat perencanaan yang benar.
"Subsidi dianggap oleh kalangan elite negara ini sebagai distorsi, sebagai inefesiensi, yang akan membuat rakyat tidak mandiri. Untuk kesekian kalinya, rakyat harus merasakan derita kenaikan BBM demi memenuhi “ego” pemimpinnya. Rakyatku sayang, rakyatku malang!" keluhnya.
Terkait klaim itu, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan, Dewi Aryani angkat suara menanggapi. Politisi PDI-Perjuangan ini menegaskan yang menggunakan BBM bukan cuma Gubernur, tapi kebanyakan adalah rakyat.
Karenanya, dia tegaskan, kemauan dan persetujuan Gubernur itu belum tentu menyuarakan harapan rakyat.
"Ingat, yang menggunakan BBM bukan cuma Gubernur, tapi rakyat! Kemauan dan persetujuan Gubernur belum tentu menyuarakan harapan rakyat," tegas Dewi kepada Tribunnews.com, Selasa (16/4/2013).
Dewi juga tegaskan, sebelum pemerintah membeberkan secara terbuka penyebab jebolnya APBN yang menjadi alasan utama menaikkan harga BBM, maka rakyat tidak akan pernah percaya kepada pemerintah.
Menurutnya, kebijakan kenaikan BBM tidak dapat disebut sebagai kebijakan yang memenuhi asas keadilan. Padahal, dalam kebijakan publik, keadilan seharusnya menjadi preferensi utama, terlebih dalam masyarakat plural seperti Indonesia.
Lebih lanjut menurutnya, teori Utilitarian berbicara mengenai memaksimalkan jumlah kebahagian terbesar bagi seluruh masyarakat dengan cara menghambat sifat egois individu dengan legislasi serta kesadaran bahwa manusia hidup dalam satu tubuh sosial.
Namun, sayangnya, katanya, Pemerintah tidak melakukan itu. "Betapa harus disadari bahwa kebijakan kenaikan BBM tidak lebih hanya akan menganggu kestabilan akan keadilan di Indonesia," ucapnya.
Kata dia pula, rencana akan menaikkan harga BBM subsidi diajukan dalam APBN-Perubahan nanti, itu menjadi bukti pemerintah tidak mampu membuat perencanaan yang benar.
"Subsidi dianggap oleh kalangan elite negara ini sebagai distorsi, sebagai inefesiensi, yang akan membuat rakyat tidak mandiri. Untuk kesekian kalinya, rakyat harus merasakan derita kenaikan BBM demi memenuhi “ego” pemimpinnya. Rakyatku sayang, rakyatku malang!" keluhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar