Jul 222012
Tanggal 25-26 Juli 2012 bisa menjadi hari bersejarah bagi dunia militer
dan dunia teknologi Indonesia. Republik Indonesia akan memasuki babak
baru dengan lompatan yang sangat signifikan di bidang peluru kendali.
Di hari itu Kementerian Pertahanan akan kedatangan tamu istimewa dari
China, untuk menetapkan perjanjian dimulainya alihteknologi
pengembangan produksi bersama peluru kendali C-705 yang digunakan TNI
Angkatan Laut.
China setuju untuk membangun pabrik pembuatan rudal C-705 di Indonesia dan siap berbagi teknologi sejak awal pembuatan rudal. PT Pindad telah menyiapkan lahan sebagai tempat perakitan rudal C-705. Kementerian Pertahanan juga menyiapkan pasokan bahan baku roket (propelan) yang pabriknya baru dibangun di Kalimantan.
Spesifikasi rudal C-705:
Anti-Kapal Permukaan
Jangkauan: 75 km; 170 km dengan second stage.
Penjejak: Radar, TV, Infra Merah, Mid-course guidance, GPS / GLONASS.
Warhead: 110 Kg
Engine: Solid rocket
Cruise altitude: 12.15 meter (lowest)
Ukuran Target: Kapal berbobot hingga 1500 ton.
Launching platform: Aircraft, Surface vessels, Vehicles
Kill probability: > 95.7%
Jika kerjasama itu ditandatangani pada tanggal 25 Juli 2012, maka kemampuan tempur Indonesia akan berubah secara signifikan.
Sudah belasan tahun pakar-pakar LAPAN bekerja menciptakan berbagai jenis
roket. Tahun demi tahun ujicoba roket balistik dijalani dengan penuh
ketabahan. Hasilnya diameter roket bisa diperbesar menjadi RX 420, RX
550 dan RX 750. Roket berdiameter besar berhasil dibangun, setelah PT
Krakatau Steel menciptakan tabung roket berdiameter 0,55 meter, seperti
yang diinginkan LAPAN.
Sebelumnya bahan bakar roket pun diimpor dari luar negeri. Kini propelan itu mulai diproduksi di dalam negeri.
Namun ada satu teknologi yang belum dikuasai LAPAN, yakni bagaimana
agar roket itu bisa dikendalikan alias, menjadi peluru kendali. Negara
yang bisa membuat peluru kendali memang sangat sedikit. Jika Indonesia
berhasil menguasai teknologi ini, maka kelas dan derajat Indonesia akan
naik di mata dunia Internasional.
Melalui rudal C-705 diharapkan para pakar roket Indonesia mampu
mengadopsi teknologi guided missile. Roket-roket Indonesia seperti RX
0707.01, RX 0707.02, RX 0807.01, RX 1110.01, RKX 100S, RKX 10C,
RX1512.02, RX1515.01, RX 1712.01, RX 2428.04 DAN RX 2728.01, RX 420, RX
550,RX 750 bisa berubah menjadi peluru kendali.
Peluru-peluru kendali tersebut bisa ditempatkan di kapal ataupun di
berbagai pulau di Indonesia. Ribuan pulau-pulau Indonesia akan berubah
menjadi semacam destroyer atau kapal induk yang siap menyergap setiap
kapal laut maupun pesawat tempur yang hendak masuk ke wilayah Indonesia.
Jika proyek kerjasama pembuatan rudal C-705 ini kembali gagal,
berarti memang ada yang gak beres dengan manusia yang bernama “Orang
Indonesia”. Pihak China sudah menyatakan kesiapannya dan malah balik
menantang kapan proyek itu akan dimulai. “Go and get it, Mister…!”.
Ibarat perlombaan lari, Indonesia bisa dikatakan belum juga masuk garis finish, sementara peserta lain telah makan di rumah atau bahkan tidur ngorok. What’s wrong with us ?.
Pada tahun 1960-an, Indonesia bersama dengan India, China, Pakistan dan Korea Utara belajar membuat rudal ke Uni Soviet.
Rudal-rudal Uni Soviet itu dibawa ke Indonesia. lebih jauh lagi,
rudal itu pun dibelah dua (dibedah), agar orang Indonesia bisa
mempelajarinya. Tidak itu saja, pakar rudal Uni Soviet pun didatangkan
Ke Indonesia untuk membantu para teknisi Indonesia. Praktek lapangan
dari para ahli rudal Uni Soviet ini, dilakukan di Pameungpeuk Garut,
Jawa Barat.
Awalnya Indonesia seperti siswa yang cerdas. Munculah Roket pertama
yang diberi nama Kartika I. Namun setelah roket itu berhasil
diluncurkan, Indonesia memutuskan keluar dari sekolah, padahal masih
sekolah di bangku SD.
Sementara China, India, Pakistan dan Korea Utara terus melanjutkan
sekolah dan kini telah menjadi sarjana dengan nilai Cum Laude. Mereka
berhasil membuat peluru kendali dengan hulu ledak nuklir.
Melihat teman-teman seangkatannya telah sukses, Indonesia pun
berpikir ulang untuk kembali melanjutkan sekolah. Dalam hatinya berkata
“Tidak ada kata terlambat dalam belajar (sambil meunuduk tersipu malu).
Namun apa daya guru yang mengajarinya pada tahun 1960-an telah
meninggal dunia (Uni Soviet). Untunglah ada teman seangkatan yang mau
membantu ,dari Sekolah Jakarta-Peking-PyongYang.
“Sudah….sekarang belajar dulu membuat peluru kendali jarak pendek
aja. Gak usah macam-macam deh…nanti bolos sekolah lagi”, ujar negara
China.
Materi pelajaran yang disiapkan China antara lain: Alih teknologi
rudal dari proses awal, Perakitan, pengujian, pemeliharaan, modifikasi,
“up-grade” rudal dan pelatihan.
Produksi dan pemasaran bersama atas produk persenjataan tertentu
antara lain peluru kendali C-705. Jika rudal itu berhasil dibuat, maka
setiap pembeliannya oleh pihak lain harus dilakukan antarpemerintah “G
to G”.
China telah menawarkan les privat bagi Indonesia, untuk mengejar
ketinggalannya dalam ilmu peluru kendali. Apakah Indonesia akan ikut les
privat itu atau kembali mabal alias bolos seperti dulu kala. Kita lihat
saja nanti.(Jkgr).
PKS Watch
Catatan seorang simpatisan kepada jamaah Al-Ikhwan
Al-Muslimun Indonesia a.k.a. Partai Keadilan Sejahtera, atas dasar
cinta pada gerakan dakwah yang lurus dan konsisten di jalan Allah,
dengan manhaj dakwah para nabi. http://purwoko.staff.ugm.ac.id/pw2/mega-skandal-blbi-dan-sikap-fpks.html
23 Juni 2008
Mega Skandal BLBI dan Sikap FPKS
Akhirnya saya membahas sebuah topik
yang sepertinya sudah membuat gregetan ikhwah yang terusik nuraninya
belakangan ini, yaitu penolakan PKS terhadap penggalangan hak angket
terhadap skandal BLBI di DPR. Antusiasme ini terlihat dari maraknya
diskusi mengenai topik ini di tulisan-tulisan yang lalu, di mana topik
tulisan tersebut tidaklah secara spesifik membahas mengenai hal ini.
Well, meskipun di atas saya menulis "akhirnya saya membahas...", sebenarnya pembahasan ini tidaklah dari saya, lebih tepatnya saya mengutip hasil riset dan analisis orang-orang yang jauh lebih berkompeten yang memang dulu terlibat langsung dengan carut-marutnya masalah ini. Hal ini saya lakukan, mengingat masalah ini sama sekali tidak trivial, ini sebuah mega problem, yang impactnya membelit bangsa ini, menyengsarakan langsung atau tidak langsung ratusan juta manusia di negara ini, dan sangat mungkin akan tetap dirasakan akibatnya selama beberapa generasi ke depan.
Saya harapkan para pembaca, terutama ikhwah kader dan simpatisan PKS, fully aware dengan masalah ini, dan memahami mengapa timbul kekecewaan teramat besar dengan sikap FPKS yang menjegal penggalangan hak angket untuk mengungkap masalah ini. Sikap itu dijelaskan dalam rapat paripurna DPR, tgl 10 Juni 2008 yang dibacakan oleh aleg Andi Rahmat.
Saya mengamati diskusi yang berlangsung di berbagai forum diskusi mengenai hal ini, di mana sikap FPKS itu untuk ke sekian kalinya dijadikan sebagai jawaban final atas berbagai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada PKS baik langsung maupun tidak langsung.
Agar memberikan pemahaman yang sama tentang masalah ini, saya memulai pembahasan dari definisi, ikhtisar kejadian, aspek hukum, sorotan lebih dalam terhadap dua kasus BLBI (grup Salim dan Sjamsul Nursalim), kemudian sikap FPKS. Tulisan ini saya susun dengan menggabungkan beberapa tulisan dari orang-orang yang memang mengetahui detil masalah ini, yaitu:
Well, meskipun di atas saya menulis "akhirnya saya membahas...", sebenarnya pembahasan ini tidaklah dari saya, lebih tepatnya saya mengutip hasil riset dan analisis orang-orang yang jauh lebih berkompeten yang memang dulu terlibat langsung dengan carut-marutnya masalah ini. Hal ini saya lakukan, mengingat masalah ini sama sekali tidak trivial, ini sebuah mega problem, yang impactnya membelit bangsa ini, menyengsarakan langsung atau tidak langsung ratusan juta manusia di negara ini, dan sangat mungkin akan tetap dirasakan akibatnya selama beberapa generasi ke depan.
Saya harapkan para pembaca, terutama ikhwah kader dan simpatisan PKS, fully aware dengan masalah ini, dan memahami mengapa timbul kekecewaan teramat besar dengan sikap FPKS yang menjegal penggalangan hak angket untuk mengungkap masalah ini. Sikap itu dijelaskan dalam rapat paripurna DPR, tgl 10 Juni 2008 yang dibacakan oleh aleg Andi Rahmat.
Saya mengamati diskusi yang berlangsung di berbagai forum diskusi mengenai hal ini, di mana sikap FPKS itu untuk ke sekian kalinya dijadikan sebagai jawaban final atas berbagai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada PKS baik langsung maupun tidak langsung.
Agar memberikan pemahaman yang sama tentang masalah ini, saya memulai pembahasan dari definisi, ikhtisar kejadian, aspek hukum, sorotan lebih dalam terhadap dua kasus BLBI (grup Salim dan Sjamsul Nursalim), kemudian sikap FPKS. Tulisan ini saya susun dengan menggabungkan beberapa tulisan dari orang-orang yang memang mengetahui detil masalah ini, yaitu:
- Definisi BLBI, saya ringkas dari buku Skandal BLBI: Ramai-Ramai Merampok Keuangan Negara, disusun oleh Marwan Batubara, anggota DPD RI
- Ikhtisar Penghancuran Keuangan Negara, oleh Kwik Kian Gie, mantan Menko Perekonomian dan Kepala Bappenas, yang selama ini berbeda suara dengan para tim ekonomi pemerintah yang pro IMF
- Skandal BLBI, Misteri Yang Harus Diungkap, oleh Syamsul Balda, mantan anggota komisi IX (Keuangan dan Perbankan) DPR RI
- Sikap FPKS, dikutip utuh dari website FPKS DPR RI
- FPKS Menolak Dialog Terbuka, tulisan ini kita akhiri dengan pembahasan sikap FPKS dan penolakan FPKS untuk dialog terbuka dengan ikhwah kadernya sendiri.
Definisi BLBI
Oleh: Marwan Batubara (anggota DPD RI). Disarikan dari buku Skandal BLBI: Ramai-Ramai Merampok Negara, Marwan Batubara, dkk.
Mantan gubernur Bank Indonesia (BI), Prof. Dr. Soedrajad Djiwandono mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI sebagai fasilitas yang diberikan oleh BI untuk menjaga stabilitas sistem pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank baik jangka pendek maupun panjang.
Berdasarkan definisi itu, dapat dipahami dua hal pokok sebagai berikut:
Pertama, BLBI merupakan fasilitas khusus kepada pihak perbankan;
Kedua, pemberian BLBI dimaksudkan untuk menanggulangi masalah yang dihadapi perbankan akibat adanya ketidakseimbangan antara dana yang diterima dengan kwajiban pembayaran yang harus dikeluarkannya.
Menurut Soedrajad, bantuan likuiditas dari BI kepada pihak perbankan sebenarnya sudah berlangsung lama, namun istilah BLBI baru dipergunakan secara khusus sejak 1998, untuk merujuk pada bantuan likuiditas yang diberikan oleh BI kepada pihak perbankan di saat terjadinya krisis moneter dan ekonomi di Indonesia.
BLBI harus dibedakan dengan KLBI (kredit likuiditas bank Indonesia) berdasarkan aspek tujuan pengucurannya. Jika BLBI ditujukan untuk mengatasi kondisi likuiditas perbankan dalam situasi krisis, maka KLBI ditujukan untuk membantu perbankan dalam menyukseskan program-program perbangunan ekonomi pemerintah.
Jadi BLBI sifatnya mendesak atau darurat, sementara KLBI lebih kepada program yang terencana. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa BLBI adalah bantuan pinjaman dana yang diberikan oleh BI kepada sejumlah bank yang mengalami krisis likuiditas atau krisis persediaan uang saat terjadinya krisis moneter pada tahun 1997.
BI, lender of the last resort
Mengapa BI bisa memberikan pinjaman dana kepada perbankan? dan mengapa perbankan harus diberikan pinjaman dana (BLBI)? Semua ini tidak terlepas dari salah satu fungsi BI sebagai bankers' bank atau lender of the last resort.
Bank melakukan transaksi setiap harinya. Salah satu yang termasuk kegiatan bank paling intensif adalah lalu lintas uang antar bank yang disebabkan karena lalu lintas giro dari semua pemegang rekening bank. Bank berutang kepada bank lain kalau uang nasabah berpindah ke bank lain tersebut, dan sebaliknya. Jumlah uang keseluruhan yang setiap harinya masuk ke dalam bank tidak pernah persis sama dengan jumlah uang keluarnya.
Di antara seluruh bank yang ada di negeri ini, semuanya dihitung menjadi satu, sehingga setiap akhir hari posisinya setiap bank ketahuan, apakah saldonya positif atau negatif. Penyatuan keseluruhan ikhtisar lalu lintas uang antara semua bank ini disebut clearing (kliring). Kalau sebuah bank mengalami saldo minus, tetapi masih mempunyai uang sendiri untuk membayarnya, itu sangat normal.
Terkadang bank berakhir dengan posisi minus yang lebih besar jumlahnya dari uang yang dimilikinya. Dalam hal seperti ini, namanya "bank kalah kliring", atau bank dalam posisi negatif.
Biasanya, dalam posisi seperti ini, kalau jumlahnya tidak terlampau besar, bank yang kalah kliring bisa meminjam dari inter bank money market atau call money market yang kegiatannya pinjam meminjam dalam waktu 24 jam dan hanya dibolehkan untuk bank.
Kalau jumlahnya terlampau besar, sehingga minusnya tidak dapat ditutup dengan pinjaman dari inter bank call money market, bank sentral wajib turun tangan membantunya. Namun dengan persyaratan tertentu dan kehati-hatian yang sebagaimana mestinya. Bank dalam posisi seperti ini sudah harus diawasi dengan ketat.
Walaupun harus dengan persyaratan, bank sentral wajib memberikan talangan supaya bank yang bersangkutan dapat membayar kepada bank yang mempunyai piutang.
Bank umum wajib menyimpan dana cadangan atau statutory reserve dalam bentuk Giro Wajib Minimum (GWM) di BI (mirip dengan tabungan nasabah perorangan di bank umum), yang saat ini besarnya ditetapkan minimal sebesar 5% dari dana pihak ketiga (seperti tabungan, deposito) yang ada di bank tersebut. Salah satu fungsi GWM ini, menurut Peraturan Bank Indonesia nomor 6/15/PBI/2004 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia adalah sebagai salah satu sarana pengendalian inflasi, yang dilakukan dengan menyeimbangkan jumlah penawaran uang dengan permintaan uang yang sesuai dengan kondisi dan arah perekonomian. Salah satu piranti moneter yang dapat digunakan Bank Indonesia untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran uang tersebut adalah dengan mengendalikan likuiditas perbankan melalui penerapan giro wajib minimum yang merupakan perbandingan antara saldo giro bank yang wajib ditempatkan pada Bank Indonesia terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki bank.
Fasilitas Perbankan Yang Tergolong BLBI
Setelah kita memahami salah satu fungsi penting dari BI sebagai bank sentral, kita bisa membahas lima jenis fasilitas perbankan yang digolongkan sebagai BLBI, yaitu:
Mantan gubernur Bank Indonesia (BI), Prof. Dr. Soedrajad Djiwandono mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI sebagai fasilitas yang diberikan oleh BI untuk menjaga stabilitas sistem pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank baik jangka pendek maupun panjang.
Berdasarkan definisi itu, dapat dipahami dua hal pokok sebagai berikut:
Pertama, BLBI merupakan fasilitas khusus kepada pihak perbankan;
Kedua, pemberian BLBI dimaksudkan untuk menanggulangi masalah yang dihadapi perbankan akibat adanya ketidakseimbangan antara dana yang diterima dengan kwajiban pembayaran yang harus dikeluarkannya.
Menurut Soedrajad, bantuan likuiditas dari BI kepada pihak perbankan sebenarnya sudah berlangsung lama, namun istilah BLBI baru dipergunakan secara khusus sejak 1998, untuk merujuk pada bantuan likuiditas yang diberikan oleh BI kepada pihak perbankan di saat terjadinya krisis moneter dan ekonomi di Indonesia.
BLBI harus dibedakan dengan KLBI (kredit likuiditas bank Indonesia) berdasarkan aspek tujuan pengucurannya. Jika BLBI ditujukan untuk mengatasi kondisi likuiditas perbankan dalam situasi krisis, maka KLBI ditujukan untuk membantu perbankan dalam menyukseskan program-program perbangunan ekonomi pemerintah.
Jadi BLBI sifatnya mendesak atau darurat, sementara KLBI lebih kepada program yang terencana. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa BLBI adalah bantuan pinjaman dana yang diberikan oleh BI kepada sejumlah bank yang mengalami krisis likuiditas atau krisis persediaan uang saat terjadinya krisis moneter pada tahun 1997.
BI, lender of the last resort
Mengapa BI bisa memberikan pinjaman dana kepada perbankan? dan mengapa perbankan harus diberikan pinjaman dana (BLBI)? Semua ini tidak terlepas dari salah satu fungsi BI sebagai bankers' bank atau lender of the last resort.
Bank melakukan transaksi setiap harinya. Salah satu yang termasuk kegiatan bank paling intensif adalah lalu lintas uang antar bank yang disebabkan karena lalu lintas giro dari semua pemegang rekening bank. Bank berutang kepada bank lain kalau uang nasabah berpindah ke bank lain tersebut, dan sebaliknya. Jumlah uang keseluruhan yang setiap harinya masuk ke dalam bank tidak pernah persis sama dengan jumlah uang keluarnya.
Di antara seluruh bank yang ada di negeri ini, semuanya dihitung menjadi satu, sehingga setiap akhir hari posisinya setiap bank ketahuan, apakah saldonya positif atau negatif. Penyatuan keseluruhan ikhtisar lalu lintas uang antara semua bank ini disebut clearing (kliring). Kalau sebuah bank mengalami saldo minus, tetapi masih mempunyai uang sendiri untuk membayarnya, itu sangat normal.
Terkadang bank berakhir dengan posisi minus yang lebih besar jumlahnya dari uang yang dimilikinya. Dalam hal seperti ini, namanya "bank kalah kliring", atau bank dalam posisi negatif.
Biasanya, dalam posisi seperti ini, kalau jumlahnya tidak terlampau besar, bank yang kalah kliring bisa meminjam dari inter bank money market atau call money market yang kegiatannya pinjam meminjam dalam waktu 24 jam dan hanya dibolehkan untuk bank.
Kalau jumlahnya terlampau besar, sehingga minusnya tidak dapat ditutup dengan pinjaman dari inter bank call money market, bank sentral wajib turun tangan membantunya. Namun dengan persyaratan tertentu dan kehati-hatian yang sebagaimana mestinya. Bank dalam posisi seperti ini sudah harus diawasi dengan ketat.
Walaupun harus dengan persyaratan, bank sentral wajib memberikan talangan supaya bank yang bersangkutan dapat membayar kepada bank yang mempunyai piutang.
Bank umum wajib menyimpan dana cadangan atau statutory reserve dalam bentuk Giro Wajib Minimum (GWM) di BI (mirip dengan tabungan nasabah perorangan di bank umum), yang saat ini besarnya ditetapkan minimal sebesar 5% dari dana pihak ketiga (seperti tabungan, deposito) yang ada di bank tersebut. Salah satu fungsi GWM ini, menurut Peraturan Bank Indonesia nomor 6/15/PBI/2004 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia adalah sebagai salah satu sarana pengendalian inflasi, yang dilakukan dengan menyeimbangkan jumlah penawaran uang dengan permintaan uang yang sesuai dengan kondisi dan arah perekonomian. Salah satu piranti moneter yang dapat digunakan Bank Indonesia untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran uang tersebut adalah dengan mengendalikan likuiditas perbankan melalui penerapan giro wajib minimum yang merupakan perbandingan antara saldo giro bank yang wajib ditempatkan pada Bank Indonesia terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki bank.
Fasilitas Perbankan Yang Tergolong BLBI
Setelah kita memahami salah satu fungsi penting dari BI sebagai bank sentral, kita bisa membahas lima jenis fasilitas perbankan yang digolongkan sebagai BLBI, yaitu:
- Fasilitas dalam rangka mempertahankan stabilitas sistem pembayaran yang terganggu karena adanya ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana perbankan.
- Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka sejalan dengan program moneter (surat berharga pasar uang / SBPU).
- Fasilitas dalam rangka penyehatan bank atau kredit likuiditas darurat.
- Fasilitas untuk mempertahankan stabilitas sistem perbankan dan sistem pembayaran sehubungan dengan terjadinya rush dalam bentuk penarikan cadangan wajib (giro wajib minimum/GWM) atau adanya saldo negatif bank di BI.
- Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat pada perbankan dalam bentuk dana talangan untuk membayar kewajiban luar negeri bank dan untuk pelaksanaan sistem penjaminan.
Seperti diketahui pada saat krisis moneter, terjadi aksi rush atau penarikan uang besar-besaran oleh masyarakat yang membuat persediaan likuiditas bank terkuras. Kondisi tersebut membuat bank kesulitan dalam membayar dana-dana nasabahnya, sehingga membutuhkan bantuan BI. Jadi pengucuran BLBI terutama ditujukan untuk menjamin pembayaran dana nasabah oleh bank yang bersangkutan, sehingga dengan penjaminan tersebut diharapkan masyarakat dapat pulih kepercayaannya kepada perbankan.
Ketika krisis terjadi, karena mengalami penarikan dana besar-besaran oleh nasabah, posisi pembayaran sejumlah bank yang mengikuti proses kliring menunjukkan kedudukan negatif. Artinya jumlah kewajiban yang harus dibayarkan lebih besar daripada jumlah dana yang diterima oleh bank itu, sehingga dinyatakan bank itu kalah kliring.
Dalam kegiatan kliring yang dilakukan oleh BI, sebuah bank tidak dapat menolak penarikan dana nasabah dan kreditur lainnya, meskipun dana yang ada pada rekening giro bank (GWM) tersebut tidak mencukupi lagi. Karena itu, jika hasil penghitungan kliring suatu bank menunjukkan mereka telah kalah kliring, maka mereka harus mencari sumber pendanaan untuk menutupi kekurangan tersebut.
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, ketika terjadi kalah kliring, bank harus menutupi kekalahan tersebut dengan sumber pendanaan yang diperoleh dari dana simpanan bank itu sendiri atau pinjaman dari bank lain (biasanya dengan bunga sangat tinggi). Ketika kedua sumber pendanaan itu sudah tidak mencukupi, maka kekurangan tersebut akan diambil dari rekening giro mereka di BI.
Jika penarikan rekening giro di BI terus berlanjut, maka bank tersebut akan sampai pada tahap penyusutan GWM mereka di BI. Pada saat krisis, GWM sejumlah bank di BI bahkas sudah berada pada posisi negatif. Pada saat itulah pemberian fasilitas berupa BLBI diberikan oleh BI, yang di kemudian hari dalam waktu yang tidak lama terbukti merusak sendi-sendi perekonomian Indonesia habis-habisan. Untuk mengetahui ikhtisar kerusakan yang disebabkan oleh hal ini, saya kutipkan ikhtisar yang ditulis oleh Kwik Kian Gie, ahli ekonomi, mantan menteri Perekonomian dan ketua Bappenas. Satu-satunya orang di kabinet Megawati yang selalu bersikap berbeda dengan mente
Ikhtisar Penghancuran Keuangan Negara
Oleh: Kwik Kian Gie, mantan anggota Komisi IX DPR, Menko Perekonomian dan Kepala Bappenas
Istilah BLBI untuk menggambarkan keseluruhan masalah yang dihadapi oleh bangsa kita beserta dampaknya yang cukup dahsyat agak menyesatkan. Karena BLBI hanya satu dari beberapa masalah gigantic yang membelit bangsa ini.
BLBI kepada bank-bank yang sedang menghadapi rush adalah yang sangat wajar, bahkan harus. Bank Indonesia sebagai bank sentral berfungsi sebagai bank of the last resort harus memberikan bantuannya untuk menghentikan rush.
Istilah BLBI untuk menggambarkan keseluruhan masalah yang dihadapi oleh bangsa kita beserta dampaknya yang cukup dahsyat agak menyesatkan. Karena BLBI hanya satu dari beberapa masalah gigantic yang membelit bangsa ini.
BLBI kepada bank-bank yang sedang menghadapi rush adalah yang sangat wajar, bahkan harus. Bank Indonesia sebagai bank sentral berfungsi sebagai bank of the last resort harus memberikan bantuannya untuk menghentikan rush.
Pakto dan Kelemahan Pengawasan
Yang
merupakan kesalahan fatal ialah kebijakan BI yang mendahuluinya.
Pertama, tentu liberalisasi perbankan yang kita kenal dengan nama
Kebijakan Paket Oktober 1998 atau PAKTO. Liberalisasi ini menghasilkan
ratusan bank yang berhasil menghimpun dana masyarakat dalam jumlah
sangat besar yang dikelola sembarangan.
Akibatnya banyak bank yang kalah kliring, di sinilah cikal bakal kesulitan yang kita hadapi. Bank yang kalah kliring tidak dihukum oleh BI, tetapi justru ditolong berkali-kali dengan likuiditas dengan berbagai fasilitas.
Akibatnya banyak bank yang kalah kliring, di sinilah cikal bakal kesulitan yang kita hadapi. Bank yang kalah kliring tidak dihukum oleh BI, tetapi justru ditolong berkali-kali dengan likuiditas dengan berbagai fasilitas.
IMF Beserta Kroninya yang Bodoh atau Jahat?
Ketika
krisis moneter menimpa Indonesia mulai pertengahan tahun 1997, dan kita
minta bantuan IMF, IMF melihat betapa dunia perbankan telah rusak
berat. Namun kerusakan ini tidak diketahui masyarakat, karena laporan
keuangan dari bank-bank yang diumumkan masih dibuat bagus dan sehat.
Dalam kondisi seperti ini, masih bisa diperbaiki secara diam-diam.
Tetapi IMF melakukan kesalahan fatal yang merupakan titik awal dan
serentetan blunder demi blunder yang semuanya didiktekan oleh IMF dan
dilaksanakan secara membabi buta oleh pemerintah Indonesia.
Titik awal tersebut adalah ditutupnya 16 bank tanpa persiapan, sambil mengatakan bahwa bank-bank ini terlampau rusak sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kalau masih dibolehkan beroperasi dan menerima simpanan dari masyarakat.
BLBI
Para nasabah bank-bank lainnya yang tidak ditutup merasa sangat tidak aman, karena bagaimana mereka mengetahui bahwa banknya sehat dan tidak akan ditutup? Maka terjadilah rush besar-besaran (penarikan besar-besaran oleh nasabah). Ketika ini terjadi, memang tidak ada pilihan lain kecuali menghentikannya dengan likuiditas berapa saja. Rush dihentikan dengan mengucurkan dana sebesar 144 trilyun (144.000.000.000.000) rupiah. Jumlah uang ini adalah talangan dari BI kepada bank-bank yang terkena rush. Dipastikan bank-bank itu tidak mungkin mampu membayarnya kembali. Maka dikonversi menjadi modal equiti (penyertaan modal pemerintah). Dengan demikian bagian terbesar atau bahkan 100% dari modal ekuiti bank-bank swasta beralih ke tangan pemerintah.
Dengan beralihnya (atau disitanya) bank-bank ke tangan pemerintah, maka utang para pemilik bank dalam bentuk BLBI sudah lunas dibayar dengan kepemilikan banknya yang beralih ke pemerintah. Dengan demikian masalah BLBI selesai, pemerintah kehilangan uang sebesar 144 trilyun, tetapi memperoleh kepemilikan banyak bank-bank swasta.
Titik awal tersebut adalah ditutupnya 16 bank tanpa persiapan, sambil mengatakan bahwa bank-bank ini terlampau rusak sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kalau masih dibolehkan beroperasi dan menerima simpanan dari masyarakat.
BLBI
Para nasabah bank-bank lainnya yang tidak ditutup merasa sangat tidak aman, karena bagaimana mereka mengetahui bahwa banknya sehat dan tidak akan ditutup? Maka terjadilah rush besar-besaran (penarikan besar-besaran oleh nasabah). Ketika ini terjadi, memang tidak ada pilihan lain kecuali menghentikannya dengan likuiditas berapa saja. Rush dihentikan dengan mengucurkan dana sebesar 144 trilyun (144.000.000.000.000) rupiah. Jumlah uang ini adalah talangan dari BI kepada bank-bank yang terkena rush. Dipastikan bank-bank itu tidak mungkin mampu membayarnya kembali. Maka dikonversi menjadi modal equiti (penyertaan modal pemerintah). Dengan demikian bagian terbesar atau bahkan 100% dari modal ekuiti bank-bank swasta beralih ke tangan pemerintah.
Dengan beralihnya (atau disitanya) bank-bank ke tangan pemerintah, maka utang para pemilik bank dalam bentuk BLBI sudah lunas dibayar dengan kepemilikan banknya yang beralih ke pemerintah. Dengan demikian masalah BLBI selesai, pemerintah kehilangan uang sebesar 144 trilyun, tetapi memperoleh kepemilikan banyak bank-bank swasta.
Sekarang tinggal masalahnya, bank-bank tersebut adalah aset yang sehat atau busuk?
Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (OR)
Oleh
IMF, bank-bank ini dinilai rusak dalam berbagai tingkat keparahannya.
Tindakannya ada bank yang ditutup, ada yang disehatkan dengan cara
menyuntik surat utang negara khusus yang dinamakan Obligasi
Rekapitalisasi Perbankan, yang kita kenal dengan singkatannya Obligasi
Rekap (OR). Jumlahnya sangat besar, yaitu 430 trilyun
(430.000.000.000.000) rupiah. Kalau setiap lembar OR dibayar oleh
pemerintah tepat pada waktunya, maka kewajiban pembayaran bunganya Rp
600 trilyun. Ini beban tersendiri yang jauh lebih besar dari BLBI.
(ingat, pada prinsipnya OR adalah surat hutang pemerintah kepada publik
pemilik OR, di mana pemerintah berkewajiban membayar bunganya per tahun
kepada pemilik OR).
Setelah bank-bank swasta beralih menjadi milik pemerintah, ternyata bank-bank ini mempunyai tagihan dalam jumlah yang sangat besar kepada para pemiliknya, karena mereka menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan dan dihimpun di dalam banknya untuk memberikan kredit kepada dirinya sendiri, jauh melebihi batas maksimum pemberian kredit kepada pihak terkait kepemilikan bank dari BI. Sehingga muncullah tagihan dari bank tersebut (yang kini sudah dimiliki oleh pemerintah) kepada mantan pemilik bank. Jumlahnya sangat besar, keseluruhan diperkirakan sejumlah 400 trilyun.
Setelah bank-bank swasta beralih menjadi milik pemerintah, ternyata bank-bank ini mempunyai tagihan dalam jumlah yang sangat besar kepada para pemiliknya, karena mereka menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan dan dihimpun di dalam banknya untuk memberikan kredit kepada dirinya sendiri, jauh melebihi batas maksimum pemberian kredit kepada pihak terkait kepemilikan bank dari BI. Sehingga muncullah tagihan dari bank tersebut (yang kini sudah dimiliki oleh pemerintah) kepada mantan pemilik bank. Jumlahnya sangat besar, keseluruhan diperkirakan sejumlah 400 trilyun.
Utang Para Mantan Pemilik Bank Swasta
Para mantan pemilik bank tidak mampu membayarnya dengan uang tunai. Mereka membayarnya dengan perusahaan-perusahaan dan aset-aset lainnya. Ketika dijual, aset-aset itu hanya menghasilkan sekitar 15% s.d. 20% dari keseluruhan jumlah utangnya. Sisanya menjadi kerugian pemerintah. Oleh pemerintah ketika itu dinyatakan wajar bahwa negara yang terkena krisis merugi sebesar itu.
Namun publik berpendapat lain. Mereka mengetahui adanya salah urus dan manipulasi dalam skala besar. Maka masalah ini masih mengganjal sampai saat ini, yang sampai sekarang masih belum selesai ditangani oleh kejaksaan agung (ditambah carut marutnya wajah bopeng kejaksaan menyusul tertangkanya jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani, yang diduga kuat terkait dengan penghentian penyelidikan kasus BLBI).
Resume
IMF dengan gegabah menutup 16 bank. Akibatnya rush besar-besaran yang membuat BI terpaksa menghentikannya dengan Rp 144 trilyun, yang notabene banyak disalahgunakan.
Bank-bank yang sudah menjadi milik pemerintah karena konversi talangan BLBI ke dalam modal ekuiti harus disehatkan atas perintah dan cara IMF, yaitu menginjeksi dengan surat utang negara yang dimanakan Obligasi Rekap (OR). Maksudnya untuk meningkatkan kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) sampai menjadi 8% sesuai dengan ketentuan Bank for International Settlement (BIS) di Swiss.
Bank-bank yang di dalamnya mengandung tagihan (OR) kepada pemerintah dalam jumlah sangat besar ini, diharuskan dijual oleh IMF dalam waktu singkat dengan harga berapa saja. Maka pemerintah memperoleh hasil penjualan bank dalam jumlah kecil, tetapi membayar kepada pemilik baru utangnya dalam bentuk OR beserta bunganya yang sampai sekarang dan entah sampai kapan merupakan sekitar 25% dari APBN kita setiap tahunnya.
Jadi ada tiga macam kerugian negara dalam jumlah besar, sbb:
Pertama, ialah pengeluaran uang untuk menghentikan rush. Ini adalah BLBI sejumlah sekitar 144 trilyun.
Kedua, menginjeksi bank-bank yang sudah menjadi milik pemerintah dengan OR dengan kewajiban membayar oleh pemerintah yang keseluruhannya, jumlah pokok dan bunganya sebesar Rp 1.030 trilyun (1.030.000.000.000.000) rupiah.
Ketiga, pemerintah yang kini memiliki bank-bank harus merugi lagi dalam bentuk tagihannya kepada pemilik bank lama yang dibayar dengan perusahaan-perusahaan dan aset-aset busuk, yang ketika dijual hanya laku sekitar 20% saja.
Pemerintah menjual bank-bank yang di dalamnya mengandung tagihan kepada dirinya sendiri dalam jumlah sangat-sangat besar dengan harga yang sangat-sangat murah kepada swasta, domestik maupun asing. (Di antaranya malah ada pemilik lama yang sudah "berjasa" merusak bank-bank itu sebelumnya)
Inilah garis besar kebijakan pemerintah RI yang didiktekan oleh IMF. Sangat konyol dan sangat bodoh, karena banyak cara lain yang lebih efisien dan jauh lebih murah. Semuanya dikemukakan oleh putra-putri terbaik bangsa Indonesia. Tetapi digilas oleh IMF yang dibantu oleh tim ekonomi pemerintah RI sendiri. Pertanyaannya: bodohkah, atau sebuah grand design yang sengaja merusak perekonomian Indonesia?
Skandal BLBI, Misteri Yang Harus Diungkap
Oleh: Syamsul Balda, mantan anggota komisi IX DPR
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
adalah sebuah drama besar dalam perjalanan sejarah Bank Indonesia yang
menyemburatkan nuansa keterlibatan multi pihak dan multi dimensi. Di
sana ada nuansa kriminal, keputus-asaan, penyelamatan ekonomi, dan juga
kepentingan politik.
Kasus BLBI menjadi lebih menarik perhatian
masyarakat setelah dokumen BLBI musnah terbakar (?) di lantai III Gedung
BPKP Jakarta, pada tanggal 12 Oktober 2000. Kebakaran tersebut
berselang sehari setelah Komisi IX DPR-RI bersama menteri Keuangan dan
BI menyepakati perlunya dilakukan verifikasi jumlah BLBI yang
betul-betul menjadi beban Pemerintah dalam waktu satu bulan. Peristiwa
kebakaran itu mengingatkan kita semua pada kebakaran yang menimpa Gedung
Arsip BI beberapa tahun sebelumnya, dan saat itu diduga keras dokumen
penting termasuk data BLBI ikut musnah.
Akibatnya, BPK mengalami
kesulitan dalam memperoleh dokumen yang terkait dengan pengucuran BLBI,
saat melakukan audit investigasi atas permintaan DPR-RI. Walaupun pada
akhirnya BPK berhasil melakukan tugasnya dengan baik, di tengah
kesulitan yang sangat tinggi, dan menyerahkan hasil audit tersebut
kepada Pimpinan DPR-RI. Hasil audit inilah yang menjadi pokok bahasan
dalam RDP Komisi IX dengan Menteri Keuangan dan BI pada tanggal 10
Oktober 2000. Rapat tersebut dinyatakan terbuka untuk umum. Ini berarti
hal-hal yang dibahas dalam rapat tersebut telah menjadi milik publik dan
publik berhak mengetahuinya.
Hasil Audit Investigasi BPK
Atas
permintaan DPR, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menerbitkan laporan
audit investigasi bernomor 06/01/Auditama II/AI/VII/2000 tertanggal 31
Juli 2000, dengan judul: “LAPORAN AUDIT INVESTIGASI Penyaluran dan
Penggunaan BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA (BLBI)”
Ringkasan
Eksekutifnya dimulai dengan “Audit dilakukan pada Bank Indonesia dan 48
bank penerima BLBI, yaitu 10 Bank Beku Operasi (BBO), 5 Bank Take Over
(BTO), 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan 15 Bank Dalam Likuidasi
(BDL).”
Penulis kutip beberapa butir yang penting sebagai berikut.
“BI tetap tidak melakukan stop kliring kepada bank-bank yang sudah mengalami overdraft dalam jumlah besar dan waktu yang lama.”
“Dispensasi
kepada bank-bank yang rekening gironya bersaldo debet untuk tetap
mengikuti kliring, pada mulanya diberikan dalam jangka waktu tertentu
tanpa ada batasan jumlah maksimal. Namun dalam perkembangan selanjutnya
dispensasi tersebut diberikan tanpa batasan waktu dan jumlah maksimal.”
“Dispensasi
semacam itu sudah dilakukan oleh BI jauh sebelum krisis menimpa sistem
perbankan nasional. Hal ini terbukti dari adanya beberapa bank yang
sudah lama overdraft sebelum krisis, namun tidak dikenakan sanksi stop
kliring.”
Di halaman viii (Laporan Audit Investigasi) di bawah
huruf C dengan judul “Potensi Kerugian Negara Dalam Penyaluran BLBI”
ditulis “Dari hasil audit investigasi terhadap penyaluran BLBI posisi
tanggal 29 Januari 1999 yang telah dialihkan menjadi kewajiban
pemerintah sebesar Rp. 144.536.086 juta, kami menemukan berbagai
penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku, kelemahan sistem dan
kelalaian dalam penyaluran BLBI, yang menimbulkan potensi kerugian
negara sebesar Rp. 138.442.026 juta atau 95,78 % dari jumlah BLBI yang
disalurkan pada tanggal tersebut.”
Di halaman x diberikan
perincian dari “jumlah penyimpangan dalam penggunaan BLBI untuk
transaksi periode sampai dengan 29 januari 1999 sebesar Rp. 84.842.162
juta atau 58,70 % dari jumlah BLBI yang disalurkan per 29 Januari 1999
sebesar Rp. 144.536.086 juta.”
Perincian di halaman x tersebut adalah penyimpangan dalam penggunaan BLBI beserta jumlah uangnya sebagai berikut :
“BLBI digunakan untuk membayar/melunasi modal pinjaman/pinjaman
subordinasi sebesar Rp. 46,088 milyar. Untuk membayar/melunasi kewajiban
pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya
berdasarkan dokumen yang lazim untuk transaksi sejenis (G-3) sebesar Rp.
113,812 milyar. Untuk membayar kepada pihak terkait (G-4) sebesar Rp.
20, 367458 triliun. Untuk transaksi surat berharga sebesar Rp. 136,902
milyar. Untuk membayar/melunasi dana pihak ketiga yang melanggar
ketentuan (G-6) sebesar Rp. 4,472831 triliun. Untuk membiayai kontrak
derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh
tempo/cut loss (G-7) sebesar Rp. 22,463004 triliun. Untuk membiayai
placement baru di PUAB (G- 8) sebesar Rp. 9,822383 triliun. Untuk
ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang
sudah ada (G-9) sebesar Rp. 16,814646 triliun. Untuk membiayai
investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, penggantian sistem
baru (G-10) sebesar Rp. 456,357 milyar. Untuk membiayai overhead bank
umum (G-11) sebesar Rp. 87,144 milyar. Untuk membiayai lain-lain yang
tidak termasuk dalam G-1 s.d. G-11 (G-12) sebesar Rp. 10,061537 triliun.
Kesimpulan dari hasil audit investigasi BPK terhadap BI dan 48 bank pengguna BLBI, yakni 5 BTO (Bank Take Over),
15 BDL (Bank Dalam Likuidasi), 10 BBO (Bank Beku Operasi), dan 18 BBKU
(Bank Beku Kegiatan Usaha) itu menyebutkan bahwa dalam pelaksanaannya
ditemukan indikasi penyimpangan sebesar Rp 138,442 triliun (96% dari Rp
144, 536 triliun).
Dari sebagian penyimpangan ini saja
bisa kita lihat betapa ngawurnya pimpinan BI ketika itu.. Komentar yang
paling tepat untuk skandal raksasa ini adalah: “TER….LA….LU !!”
Tetapi anehnya, menurut BPK, “jika ada keputusan politik soal BLBI mungkin saja jumlah yang dianggap menyimpang akan berkurang.”.
Apa maknanya? Maknanya, BPK terlihat seperti ragu atas hasil audit yang
dilakukannya. Kenapa? Karena memang lingkup yang diinvestigasi cuma BI
dan Bank-bank penerima BLBI, tanpa masuk ke latar penyebab BLBI
dikucurkan. Dengan kata lain, BPK tidak menyinggung sama sekali ‘keterlibatan’ pemerintah dalam proses membludaknya BLBI. Jelas berdasarkan setting seperti itu banyak hal yang masih bisa diperdebatkan.
Pemerintah Harus Ikut Bertanggungjawab
Ketika BLBI menjadi wacana publik yang mengasyikkan, dan kemudian DPR
membentuk Panja untuk ‘menelanjangi’ masalahnya. Apa yang terjadi?
Menurut Panja, penyimpangan BLBI lebih disebabkan intervensi
pemerintah. Pada waktu Panja bekerja, tercetus pendapat bahwa BI telah
melakukan kesalahan prosedur. Alasannya bahwa BI tidak lagi menggunakan mekanisme stop kliring terhadap bank-bank yang bersaldo negatif.
Di sisi lain, Panja juga mengatakan bahwa semua itu mestinya menjadi
tanggung jawab pemerintah. Jelas ada ambivalensi. Jadi dalam hal ini
investigasi audit secara menyeluruh menjadi urgen.
Panja BLBI
juga beranggapan pemerintah turut bertanggung jawab terhadap soal BLBI.
Sebab, saat BLBI dikucurkan belum ada UU No. 23/1999 yang memberi status
independen terhadap BI. Artinya, keliru kalau tanggung jawab pemerintah
hanya sebatas tanggung jawab finansial sesuai dengan muatan UU No.
23/1999. Lebih dari itu, tanggung jawab (oknum) pemerintah juga meliputi
kemungkinan terjadinya penyalah-gunaan kekuasaan untuk kepentingan
tertentu –bisa bisnis atau politik- dengan cara mengintervensi BI.
Bagaimanapun, kita tentu masih ingat mengenai bocornya surat Mensesneg,
yang menyebutkan keinginan pemerintah agar BI menyelamatkan perbankan
melalui mekanisme bantuan likuiditas. Jadi, aspek ini harus diangkat
pula ke permukaan. Kongkritnya, jika tidak dilakukan penelusuran secara
runut dan teliti mengenai latar belakang penyalurannya, maka soal BLBI
sulit untuk dianggap tuntas.
Mengapa BLBI Menjadi Skandal?
Asal muasal munculnya kasus ini adalah hasil audit BPK terhadap posisi BI per 17 Mei 1999 yang dinyatakan tanpa opini (disclaimer). Hal ini disebabkan karena antara BI dan BPK tidak menemukan kata sepakat perihal prosedur penyaluran BLBI.
Menurut BI, penyaluran itu lebih merupakan kasus darurat, dimana
pemerintah pada waktu itu tidak menginginkan adanya bank-bank yang
kolaps. Sementara pada saat yang bersamaan, begitu banyak bank yang
dicekik masalah likuiditas.
Selain itu, proses pemberian BLBI itu sendiri sebenarnya bukanlah dalam bentuk fresh, melainkan hasil konversi berbagai kebijakan moneter yang dikedepankan BI dalam rangka menjaga likuiditas perbankan.
Menurut BPK, BI melakukan penyimpangan dalam penyaluran BLBI melalui beberapa skenario.
Pertama, BLBI yang diperuntukkan menutupi saldo debet dan fasilitas saldo debet. Dalam skema ini ditengarai BI memberikan fasilitas BLBI kepada bank-bank tertentu tanpa mengindahkan ketentuan yang berlaku. Artinya, BI tidak tegas dalam menjalankan ketentuan yang dibuatnya sendiri.
Kedua, skema BLBI yang berasal dari fasilitas diskonto. Dalam term ini
BPK beranggapan jumlah BLBI yang bisa dialihkan sebagai tanggung jawab
pemerintah masih di bawah catatan BI. Dalam konteks ini beberapa hal
yang janggal konon adalah perihal penetapan bunga diskonto yang tidak
sesuai dengan ketentuan. Kemudian ada pula perpanjangan fasilitas
diskonto kepada sebuah bank yang dianggap tidak wajar.
Ketiga, Fasilitas
Surat Berharga Pasar Uang Khusus (FSBPUK). Di sini, ada sejumlah BLBI
yang disalurkan tidak merujuk ketentuan BI, yakni promes yang
diserahkan bank tidak mencukupi. Kemudian, penyaluran FSBPUK yang
berasal dari konversi fasilitas diskonto, melampaui 5% dana pihak
ketiga. Juga ada bank yang CAR-nya di bawah 2%, masih juga diberikan
FSBPUK.
Diperkirakan ada 22 bank yang mendapatkan FSBPUK tidak
memenuhi kriteria. Dikatakan pula, pemberian BLBI dalam bentuk FSBPUK
tidak melalui analisa kelayakan. Pemberian itu lebih didasarkan kepada
kebijakan direksi BI pada saat itu.
Keempat, BLBI sebagai dana talangan untuk memenuhi kewajiban trade finance arrears dan interbank debt bank dalam negeri terhadap mantaining bank di luar negeri, dalam rangka Frankfurt Agreement.
Dalam skema ini konon ditemukan perbedaan angka antara yang dibayarkan
BI dengan catatan kreditur di luar negeri, dan BI belum memverifikasi
kebenaran transaksi yang dilakukan bank komersial sehingga munculnya
kewajiban itu.
Selain kejanggalan dalam penyaluran BLBI dengan
berbagai skemanya itu, BPK juga mempermasalahkan pengembalian BLBI dari
beberapa bank yang semula ditampung dalam blocked account. Dalam perkembangannya, menurut BPK ada bank pembayar menggunakan dana yang semestinya diblokir untuk ditempatkan dalam SBI.
Itulah temuan BPK pada saat melakukan general audit
atas posisi BI 17 Mei 1999. BPK melakukan audit dengan parameternya
sendiri, sementara di sisi lain BI juga menggunakan parameternya
sendiri.
Tragisnya, berdasarkan parameter yang ‘tidak ketemu’
itu pula, investigasi audit dilakukan sehingga memunculkan dakwaan bahwa
ada Rp 138,442 triliun BLBI yang menyimpang dari prosedur, dan dakwaan
itu hingga kini terus menjadi polemik.
Skandal BLBI Harus Diusut Tuntas
Sesuai amanat TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelanggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta TAP MPR
Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN dan UU Nomor 28 tahun 1999 tentang
Penyelanggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, maka menjadi relevan dan signifikan jika penyimpangan dan
kebocoran dana BLBI tersebut harus diusut tuntas.
Alasannya, pertama,
menyangkut beban ekonomi rakyat melalui APBN, dimana biaya yang
diperlukan untuk melaksanakan rekapitalisasi dalam tiga tahun sejak 1998
hingga kini sudah sangat besar. Untuk menutupinya, pemerintah telah
menerbitkan obligasi hampir Rp 525 triliun. Akibatnya beban bunganya
sangat besar dan sangat memberatkan anggaran, apalagi jika depresiasi
rupiah terus melorot dan bunga SBI terus meningkat akan menjadi beban
besar bagi APBN. Padahal nilai anggaran ini akan mempengaruhi
efektifitas kebijakan fiskal yang sebenarnya sangat diperlukan untuk
mendorong recovery ekonomi; serta munculnya rasa ketidakadilan sosial, yang pada gilirannya akan melahirkan kecemburan sosial. Kedua, keinginan untuk mewujudkan clean government and good governance sesuai amanat reformasi.
Meskipun penyelesaian kasus ini telah diserahkan kepada BPPN dengan menggunakan metode Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA),
namun metode penyelesaian MSAA ternyata lebih banyak menguntungkan
pihak pengusaha kakap (konglomerat hitam) yang menikmati BLBI. Sebab:
Pertama,
setelah MSAA ditandatangani, pemerintah tidak bisa menuntut pemegang
saham jika ternyata jaminan yang diserahkan kurang dari jumlah kewajiban
yang seharusnya diserahkan.
Kedua, tidak adanya peraturan yang jelas mengenai masalah penjualan aset BPPN kepada mantan pemiliknya.
Ketiga, MSAA membebaskan (realease and discharge) pemegang saham dari tindakan pidana yang telah mereka lakukan, seperti pada pelanggaran legal lending limits
(BMPK). Di sini, para konglomerat bermasalah akan lepas. Padahal selama
ini telah terbukti, pelanggaran BMPK telah banyak dilakukan bank-bank
milik mereka.
Keempat, tidak ada sanksi yang tegas sekiranya pemegang saham melanggar MSAA, terutama sanksi atas pelanggaran terhadap batas waktu.
Kelima,
kepemilikan aset-aset yang diserahkan pemegang saham tetap atas nama
mereka, sementara BPPN hanya melakukan kontrol terhadap kegiatan
operasional.
Dengan kata lain, MSAA ini justru merupakan pintu musibah bagi rakyat Indonesia.
Hampir Semua Data Di Bank-Bank Penerima BLBI Dirusak
Info ini bersumber dari rapat-rapat resmi di bawah koordinasi Menko
EKUIN di masa pemerintahan Presiden Gus Dur. Para pejabat BPPN
mengungkapkan bahwa penyalahgunaan BLBI memang ada. Dan tidak saja ada,
tetapi brutal. Setelah merampok dana BLBI yang tidak dibayarkan kepada para deposannya, karena rush-nya
jauh lebih kecil jumlahnya, mereka sadar betul bahwa cepat atau lambat
pasti ketahuan. Maka data yang tersimpan di dalam CPU computer itu,
tidak saja dihapus, tetapi Personal Computers (PC) yang banyak itu
dijebol, kabelnya dirusak dan diputus begitu saja seperti orang panik.
Kantor-kantor bank ketika itu seperti habis dirampok, dirusak dan
diacak-acak.
Gedung Bank Indonesia Terbakar
Beberapa waktu kemudian mungkin ada yang berpikir bahwa BI memiliki
copy dari semua transaksi. Maka gedung BI dan ruang yang menyimpan
dokumen-dokumen tersebut terbakar. Setelah itu POLRI menyimpulkan tidak
mustahil kebakaran itu bukan kecelakaan, tetapi dibakar. Semua ini
termuat di berbagai media massa nasional.
Kemungkinan Adanya Aliran Dana (suap) ke DPR RI?
Ketika laporan tersebut diserahkan kepada DPR RI, maka DPR segera membentuk Panja untuk membahas laporan tersebut.
Rapat-rapat Panja dihadiri oleh para pejabat dari Bank Indonesia dan
Departemen Keuangan. Rapat-rapatnya tidak di gedung DPR, tetapi di
hotel-hotel berbintang.
Kesimpulan Panja mengejutkan publik. Menurut BPK sejumlah Rp. 138.442.026 juta atau 96 % dikategorikan oleh BPK sebagai “berbagai
penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku, kelemahan sistem dan
kelalaian dalam penyaluran BLBI yang menimbulkan potensi kerugian
negara.”
Oleh Panja disepakati bahwa BI hanya
disuruh bertanggung jawab sebesar Rp. 24,5 triliun saja, karena kalau
lebih dari ini Bank Indonesia akan bangkrut. Mana ada Bank Sentral suatu
Negara bisa bangkrut. Ada dua anggota Komisi IX, Syamsul Balda dan Kwik
Kian Gie, protes keras karena merasa DPR telah melecehkan dan
mempermainkan institusi Negara yang menjadi mitranya sendiri, yaitu BPK.
“Kalau DPR tidak percaya dengan BPK, lebih baik BPK-nya dibubarkan saja
atau Kepala beserta staf intinya dipecat, tapi jangan dipermainkan
begitu” , protes mereka berdua.
Akhirnya keputusan Panja
tersebut diambangkan sampai Presiden RI berganti dari Gus Dur ke
Megawati. Menko Ekonomi terpilih, Prof. Dorodjatun, meminta advis kepada
mantan Gubernur FEDERAL RESERVE (Bank sentralnya AS) Paul Volcker.
Advisnya dipakai dan diberlakukan, yaitu: Seluruh skandal itu
diselesaikan hanya dengan secarik kertas dengan susunan kata-kata
yang intinya, Departemen Keuangan menjamin segala sesuatunya akan
beres. Tentu dengan rumusan yang ilmiah, sophisticated. Nama secarik kertas sakti itu adalah: Capital Maintenance Note.
Tentang kemungkinan adanya aliran dana dari BI kepada beberapa anggota
Panja BLBI yang sampai menyimpulkan bahwa BI “digantung” dengan tanggung
jawab sebesar Rp. 24,5 triliun saja, hanya Allah Azza wa Jalla yang
tahu. (Kini Komisi Pemberantasan Korupsi tengah memeriksa beberapa
anggota DPR yang diduga menerima suap dalam kasus ini).
Bencana Obligasi Rekap
Sejak badai moneter menerjang Indonesia pada tahun 1997, banyak
bank-bank di Indonesia yang hancur dan kemudian tutup usaha. Bank-bank
yang tidak ditutup dinilai kembali oleh IMF. Bank yang mempunyai nilai
Capital Adequacy Ratio (CAR) – Nilai Kecukupan Modal antara minus 25 %
atau lebih baik, harus dinaikkan sampai menjadi 8% sesuai dengan
ketentuan Bank for International Settlement (BIS) di Bazel, Swiss.
Caranya yaitu dengan menaikkan modal ekuitinya, karena CAR adalah Modal
Ekuiti dibagi dengan Asset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Tetapi
dikarenakan pemerintah tidak memiliki uang tunai untuk menaikkan Ekuiti,
maka sebagai penggantinya diterbitkan Surat Hutang yang diinjeksikan
kepada bank-bank tersebut hingga nilai CAR-nya mencapai 8%.
Jumlah keseluruhan surat hutang tersebut sebesar Rp. 430 triliun. Surat
hutang yang khusus diterbitkan untuk meningkatkan CAR bank-bank agar
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh BIS dan diwajibkan oleh IMF
ini disebut Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau Obligasi Rekap (OR).
Sebagaimana layaknya surat hutang, OR juga mengandung kewajiban
pembayaran bunga. Bunga yang dibebankan kepada bank-bank yang memiliki
OR ini juga bertujuan untuk memberi subsidi kepada bank-bank yang sedang
menderita kerugian. Jadi OR mempunyai dua fungsi, yaitu yang pertama
untuk meningkatkan kecukupan modal atau solvency. Sedangkan yang kedua untuk memperoleh pendapatan bunga, agar bank tidak menderita kerugian.
Ada pertanyaan yang muncul, “Apakah OR yang dimaksudkan untuk
meningkatkan kecukupan modal sampai 8 % (sesuai dengan formula yang
ditetapkan oleh BIS dan dengan sendirinya akan memberikan pendapatan
bunga) menyebabkan rugi/laba bank impas? Tidak rugi dan tidak untung?
Jelas tidak.
OR Membangkrutkan Keuangan Negara
Kalau setiap lembar dari OR dibayar tepat pada waktunya oleh
pemerintah, jumlah kewajiban pembayaran bunganya sebesar Rp. 600
triliun. Dan pemerintah tidak dapat menghindar dari kewajiban pembayaran
hutang OR yang diciptakan beserta kewajiban pembayaran bunga yang
melekat pada OR tersebut. Bagaimana halnya jika pada saat tanggal jatuh
tempo OR tiba, ternyata pemerintah tidak mampu membayar karena tidak
mempunyai cukup uang? Jelas pembayarannya terpaksa ditunda dengan
menerbitkan surat hutang baru untuk membayar OR yang sudah jatuh tempo.
Bagaimana gambarannya?
Tiga staf sekretariat dari BPPN, yaitu
Gatot Arya Putra, Ira Setiati dan Dani Damayanti di tahun 2002
mengembangkan sebuah skenario dalam tiga buah tulisannya. Tulisan yang
pertama dan kedua sempat dimuat dalam Bulletin resmi BPPN berjudul
“Analisa Ekonomi”, tetapi yang ketiga dilarang terbit. Namun mereka
mengirimkannya kepada Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie, dengan nama
pengirim “Kami yang peduli kepada bangsa ini”.
Kepala Bappenas kemudian menggandakan dan membagikannya kepada para
anggota DPR dan pers. Mereka bertiga langsung dipecat. Apa yang ditulis
oleh mereka sehingga dilarang terbit, dan kemudian mereka dipecat?
Dengan jumlah kewajiban pembayaran yang sedemikian besarnya, sangat
besar kemungkinannya pemerintah tidak akan mempunyai cukup uang untuk
membayar kewajibannya tepat pada tanggal jatuh tempo. Atas dasar ini,
ketiga staf BPPN tersebut mengembangkan enam skenario tentang sampai
berapa besar membengkaknya kewajiban pemerintah membayar cicilan utang
pokok beserta bunganya.
Skenario terbaik adalah apabila setiap lembar OR dapat dibayar tepat pada waktunya. Dalam hal ini besarnya kewajiban pemerintah sebesar Rp. 1.030 triliun, yang terdiri dari Rp. 430 triliun utang pokok dan Rp. 600 triliun bunganya.
Skenario terburuk adalah apabila setiap lembar OR yang jatuh tempo ditunda pembayarannya dengan satu tenor
yang sama (berjangka waktu sama dengan OR yang pertama kali
diterbitkan). Akan tetapi bunganya akan membengkak luar biasa besarnya,
sehingga jumlah kewajiban pembayarannya akan mencapai Rp. 14.000 triliun.
Menteri Keuangan ketika itu, Boediono, telah mencapai kata sepakat
dengan DPR tentang penataan ulang jadwal pemerintah membayar OR yang
disebutnya dengan istilah reprofiling. Kesimpulannya, dengan cara reprofiling
tersebut, kewajiban pembayaran oleh pemerintah akan membesar
(bertambah) Rp. 860 miliar per tahunnya selama 8 tahun (karena
peningkatan besaran bunga reprofiling).
Hasil yang telah dicapai
dengan cara tersebut hingga saat ini sama sekali tidak jelas. Yang kita
baca di berbagai media hanya berita diterbitkannya surat hutang negara
terus menerus. Posisi hutang negara, terutama yang berkaitan dengan OR
tidak pernah diumumkan dengan jelas dan terbuka.
Seperti kita
ketahui, bahwa hal yang sangat memberatkan keuangan Negara, sehingga
boleh dikatakan sudah bangkrut, adalah porsi pembayaran cicilan hutang
pokok dan bunga yang rata-rata besarnya 25 % dari APBN.
Kesalahan Fatal Dalam Mengejar Solvency dan Rentabilitas Sekaligus
Pertanyaan
terdahulu mengenai, apakah penerbitan OR dengan jumlah besar yang
bertujuan untuk memenuhi kecukupan modal atau CAR hingga 8 %, dengan
sendirinya juga memenuhi kebutuhan menutup kerugian bank hingga jumlah
yang tidak berlebihan atau kekurangan ?
Ternyata tidak. Secara teoritis dan logis, bisa dikatakan bahwa tidak mungkin sama. Atau kalaupun pernah sama, itu merupakan sebuah kebetulan yang luar biasa.
Penyuntikan bank dengan OR bertujuan untuk memperbaiki kecukupan modal
dengan surat hutang, sehingga jumlah dari keseluruhan surat hutangnya
yang bernama OR ditentukan sebesar angka yang akan membuat CAR nya
menjadi 8 %. Tingkat suku bunga untuk OR ditentukan sesuai dengan
tingkat suku bunga yang berlaku. Apakah tingkat suku bunga ini kemudian
harus menghasilkan pendapatan bunga yang berjumlah sama (impas) dengan
kerugian bank, supaya bank tidak merugi (atau diistilahkan IMF ketika
itu agar bank tidak “bleeding” lagi)?
Penulis membuat
suatu analisis dari Neraca per 31 Desember 2002 dari 10 bank yang
menerima OR paling banyak. Perlu diketahui bahwa setelah tanggal
tersebut di atas, analisis sangat sulit dibuat karena pendapatan bunga
dari OR pada laporan keuangan bank-bank yang menerima OR sengaja
dikaburkan, artinya pendapatan bunga dari OR tersebut dicampur aduk
dengan pendapatan-pendapatan lainnya sehingga tidak bisa diperoleh angka
yang khusus menunjukkan besarnya pendapatan bunga dari OR.
Analisis tersebut di atas dirumuskan dalam bentuk Tabel sebagai berikut :
Kerugian bank-bank rekap apabila bunga O.R dicabut (per 31 Desember 2002)
No | Bank | Laba (Rugi) Bersih | Bunga O.R |
Laba (Rugi) Tanpa Bunga O.R
|
1 | Mandiri | 5.809.970.000.000 | 21.434.822.000.000 | (15.624.852.000.000) |
2 | BNI | 2.510.653.000.000 | 7.537.490.000.000 | (5.026.837.000.000) |
3 | BRI | 1.469.670.000.000 | 3.735.770.000.000 | (2.266.100.000.000) |
4 | BTN | 303.043.000.000 | 1.844.796.000.000 | (1.541.753.000.000) |
5 | BII | 131.876.000.000 | 2.207.806.000.000 | (2.075.930.000.000) |
6 | Danamon | 989.284.000.000 | 3.331.297.000.000 | (2.342.013.000.000) |
7 | Permata | (847.855.000.000) | 1.106.363.000.000 | (1.954.218.000.000) |
8 | Niaga | 76.593.000.000 | 1.134.047.000.000 | (1.057.454.000.000) |
9 | Lippo | 192.564.000.000 | 739.755.000.000 | (547.191.000.000) |
10 | BCA | 3.400.066.000.000 | 8.591.568.000.000 | (5.191.502.000.000) |
| Jumlah | 14.035.864.000.000 | 51.663.714.000.000 | (37.627.850.000.000) |
Jika penerbitan OR bertujuan hanya sekedar untuk menutup kerugian supaya bank impas atau berhenti bleeding,
maka dari table tersebut diatas dapat dilihat bahwa dari sepuluh bank
yang menerima OR agar kecukupan modalnya (CAR) memenuhi syarat yang
ditentukan, ternyata memperoleh pendapatan bunga yang jauh lebih besar
dari nilai tersebut.
Pada Bank Mandiri, perolehan pendapatan
bunga dari OR yang disuntikkan sebesar Rp. 21,435 triliun, sedangkan
kerugiannya Rp. 15,625 triliun. OR yang disuntikkan kepada Bank Mandiri
tidak hanya membuat Bank Mandiri berhenti bleeding, tetapi memperoleh
laba gratisan sebesar Rp. 5,810 triliun, karena disubsidi sebesar Rp.
21,435 triliun dalam bentuk bunga OR.
Sekarang kita perhatikan
BCA (no.10 dalam Tabel). BCA merugi Rp. 5,192 triliun. Tetapi injeksi OR
sebesar Rp. 60 triliun membuahkan pendapatan bunga sebesar Rp. 8,592
triliun, sehingga akhirnya membukukan laba sebesar Rp. 3,4 triliun.
Tetapi bank ini akhirnya dijual dengan nilai hanya sebesar Rp. 10
triliun saja. Tentang hal ini akan penulis bahas tersendiri.
Kekeliruan Menghitung Kecukupan Modal dan Akibatnya
Kecukupan Modal atau yang dinamakan CAR adalah Modal Ekuiti dibagi
dengan Asset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Komponen dari ATMR
bermacam-macam, dan oleh karena itu resikonya juga bermacam-macam. Cara
Bank for International Settlement (BIS) di Bazel, Swiss menentukan
resiko buat Indonesia juga sangat aneh. Resiko dari semua asset berupa
pemberian kredit kepada perusahaan dianggap 100 %, tanpa memperdulikan
tingkat bonafiditas perusahaan yang memperoleh kredit. Akibatnya,
semakin bank yang disehatkan oleh pemerintah berhasil, semakin memburuk
CAR-nya.
Penjelasannya sebagai berikut:
Andaikan pada
suatu waktu tertentu ATMR sebesar Rp. 1,25 triliun dan modal ekuitinya
sebesar Rp. 100 miliar, maka jika dihitung besarnya CAR adalah 8 %,
yaitu Rp. 100 miliar dibagi dengan Rp. 1,25 triliun dikali 100 %.
Setelah ini, ceteris paribus, bank berhasil menarik deposito dan
tabungan sebesar Rp. 5 triliun yang seluruhnya disalurkan dalam bentuk
kredit kepada perusahaan-perusahaan sangat bonafid. Modal ekuiti tidak
bertambah, tetapi nilai ATMR-nya bertambah Rp. 5 triliun, sehingga
perhitungan CAR menjadi Rp. 100 miliar dibagi Rp. 6,25 triliun, yaitu
ATMR lama sebesar Rp. 1,25 triliun ditambah pemberian kredit baru
sebesar Rp. 5 triliun. Nilai CAR-nya menjadi 1,6% yang diperoleh dari
Rp. 100 miliar dibagi dengan Rp. 6,25 triliun dikali 100 %.
Memang hal ini dalam kondisi ceteris paribus,
sedangkan pada kenyataannya tidak. Laba bersih ditambahkan pada modal
ekuiti yang dampaknya memperbesar CAR. Betul, tetapi kondisi tersebut
membutuhkan waktu, sehingga terjadi time lag. Sedangkan penarikan
deposito dan tabungan berjalan terus dan harus sesegera mungkin
disalurkan ke sektor produktif, bukannya dibelikan SBI atau apa saja
yang dijamin oleh pemerintah kalau mau dikatakan sehat.
Kondisi
tersebut menyebabkan bank-bank tidak mau memberi kredit, akan tetapi
lebih berminat untuk membeli SBI. Pertimbangannya adalah karena SBI dan
sejenisnya dianggap tidak beresiko, sehingga tidak menurunkan CAR. Oleh
karena itu sangat mengherankan jika nilai Loan to Deposit Ratio (LDR)
setelah sekian lamanya tetap saja rendah. Dan juga sangat mengherankan
kalau di masa mendatang keuangan negara akan tetap saja sangat-sangat
berat.
Sudah keliru seperti ini, Bank Indonesia yang independen
merasa perlu terus menerus menerbitkan SBI dengan tingkat suku bunga
yang menarik. Selain memberikan pendapatan kepada bank-bank yang
mempunyai likuiditas tanpa bekerja, BI juga mengeluarkan sangat banyak
uang untuk membayar bunga SBI. Berapa besar nilai totalnya juga sangat
sulit ditelusuri, karena BI tidak pernah pro aktif memberikan
angka-angkanya secara transparan.
Yang memberatkan APBN kita itu
disebabkan oleh karena prinsip-prinsip pengelolaan perbankan didasarkan
atas resep-resep IMF dan ketentuan-ketentuan BIS, bukan naiknya harga
minyak dunia! Jadi subsidi terbesar diberikan kepada perbankan. Pertama
BLBI, lantas OR beserta bunganya, blanket quarantee, penentuan CAR yang asetnya beresiko nol kalau ada dukungan dari pemerintah dalam bentuk apa saja.
Mengabaikan Pendapat Jenial
Penerbitan OR untuk memenuhi persyaratan BIS dalam CAR memang
dipaksakan oleh IMF. Akibatnya adalah kewajiban pembayaran utang OR
beserta bunganya dapat dikatakan membangkrutkan keuangan negara entah
sampai kapan. Sedikit orang yang mengerti dan memahaminya telah berbuat
sekuat tenaga untuk menghindarinya. Semua upaya mereka gagal karena
kuatnya pengaruh Berkeley Mafia. Yang pertama menyadari adalah Prof.
Bambang Sudibyo selaku Menteri Keuangan pada kabinet Gus Dur dan Kwik
Kian Gie selaku Menko EKUIN-nya. Mereka berdua telah sepakat bahwa OR
harus ditarik kembali oleh pemerintah tanpa membuat banknya bangkrut
sebelum dijual kepada swasta atau diprivatisasi, yang juga merupakan
persyaratan IMF.
OR adalah piutang dari bank-bank yang telah
menjadi milik pemerintah kepada pemerintah, atau pemerintah berutang
kepada bank-bank yang dimiliki oleh pemerintah sendiri. Jadi ibaratnya
hutang dari kantong kiri kemeja satu orang kepada kantong kanan dari
kemeja yang sama. Sehingga permasalahannya hanya bagaimana tekniknya.
Teknik atau cara penarikannya, termasuk dalam domain sub ilmu
pengetahuan yang sama sekali tidak dipahami oleh para teknokrat Berkeley
Mafia maupun teknokrat IMF. Atau mungkin mereka memahaminya, tetapi
sengaja mau mengobral bank-bank dengan harga murah seraya membangkrutkan
keuangan negara.
Cara mengeluarkannya yang pertama kali
disepakati antara Menkeu (ketika itu) Bambang Sudibyo dan Kwik Kian Gie
secara diam-diam adalah mengganti OR dengan apa yang dinamakan zero coupon bond (ZCB).
Ini adalah dokumen semacam obligasi yang diterbitkan oleh Menteri
Keuangan. Isinya jaminan pemerintah bahwa CAR senantiasa memenuhi
persyaratan BIS. Tetapi ZCB tidak mengandung kewajiban pembayaran bunga.
Isinya hanya angka yang harus dianggap sebagai Modal Ekuiti agar
CAR-nya 8 %. Jadi ZCB adalah dokumen jaminan pemerintah untuk membawa solvency
bank pada persyaratan IMF. Tetapi ZCB sama sekali tidak mengandung
kewajiban membayar bunga kepada pemegangnya. Bank yang merugi atau
bleeding dibuat impas dengan subsidi tunai oleh pemerintah setiap
bulannya yang jumlahnya persis sama dengan kerugiannya.
Semua
bank diberi tenggang waktu 5 tahun untuk menjadi sehat atas kekuatan
sendiri. Kalau tidak ditutup, dan kalau sudah sehat atas kekuatan
sendiri, ZCB ditarik. Kalau penyehatan harus dicapai melalui privatisasi
lebih baik. Tetapi ini berarti bahwa pembeli bank harus menginjeksi
dengan uang segar yang tunai untuk secara riil meningkatkan modal
ekuitinya.
Setelah itu, para ahli dalam bidang keuangan dan
perbankan berdasarkan idealisme mengembangkan 6 (enam) alternatif solusi
dalam menarik OR sebelum bank dijual berikut OR-nya. Kesemua pikiran
ini dimuat di Kompas tanggal 26 dan 27 Agustus 2002. Setelah itu
dibukukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang dibagikan
kepada semua anggota DPR, Bank Dunia, para Menteri dan Pers. Tim para
ahli ini terdiri dari Dr. Dradjat Wibowo sebagai koordinator dan para
anggotanya adalah: Anthony Budiawan, Dandossi Matram, Djoko Retnadi, Eko
B. Supriyanto, Elvyn G. Masassya, Ito Warsito dan Lenny Sugihat.
Semuanya tidak digubris walaupun akibatnya kita rasakan sendiri sampai
sekarang, yaitu mengeluarkan uang sebesar sekitar 25 % dari APBN entah
sampai kapan. Motifnya hanya satu, yaitu patuh pada IMF secara mutlak
dan habis-habisan.
Prinsip dan inti pikiran Zero Coupon Bond yang sama sekali tidak digubris sebagai cara untuk menarik kembali OR, merupakan konsep yang sama dengan Capital Maintenance Note
- nya Paul Volcker, yang diterapkan untuk menyelesaikan masalah
sengketa BLBI antara BI dan Menteri Keuangan. Apa lagi sebabnya kalau
bukan mental inlander yang hanya bisa menerima pikiran orang Barat?
Bank-Bank Dijual Dengan OR Didalamnya
Akhirnya tanpa ada selembarpun OR yang ditarik kembali, bank-bank eks
swasta yang di dalamnya masih mengandung OR atau tagihan kepada
pemerintah dalam jumlah besar dijual kepada swasta. Banyak swasta asing
yang membelinya dengan harga murah. OR-nya segera dijual kepada publik,
sehingga pemerintah sudah tidak bisa mengenali lagi kepada siapa
pihaknya berutang.
Contoh yang paling spetakuler adalah
penjualan BCA dengan nilai Rp. 10 triliun. Pembelinya akhirnya memiliki
BCA yang mempunyai tagihan dalam bentuk OR kepada pemerintah sebesar Rp.
60 triliun. Sekarang setelah telat mikir lebih dari 7 tahun, seperti
halnya dengan perhatian terhadap BLBI beserta malapetakanya, orang baru
menyadari betapa tidak masuk akal dan betapa pemerintah dirugikan dengan
penjualan BCA, yang seharusnya sangat bisa dihindari.
Mega Skandal (1): BCA (Liem Swie Liong)
Dengan terjadinya krisis moneter dan ekonomi tahun 1997 BCA terkena
rush. Untuk meredam rush, BCA menerima BLBI yang jumlah seluruhnya Rp.
32 triliun.
Jumlah tersebut diberikan secara bertahap dengan
jumlah Rp. 8 triliun, Rp. 13,28 triliun dan Rp. 10,71 triliun, atau
seluruhnya Rp. 31,99 triliun (dibulatkan menjadi Rp. 32 triliun)
Dari jumlah ini yang telah dibayarkan oleh BCA adalah cicilan utang
pokok sebesar Rp. 8 triliun dan pembayaran bunga sebesar Rp. 8,3 triliun
yang tingkat bunganya ketika itu sebesar 70 % per tahun.
Pemerintah menganggap hanya pembayaran cicilan utang pokoknya saja
sebesar Rp. 8 triliun yang mengurangi utangnya. Pembayaran bunga,
walaupun sebesar Rp. 8,3 triliun dengan tingkat bunga yang 70 % setahun
ketika itu tidak dianggap oleh pemerintah sebagai mengurangi utang
BLBI-nya keluarga Salim. Karena itu, jumlah sisa utang BLBI oleh
pemerintah dianggap sebesar Rp. 23,99 triliun. Jumlah ini dianggap
ekivalen dengan 92,8 % dari nilai saham-saham BCA. Maka kepemilikan BCA
sebesar ini disita oleh pemerintah sebagai pelunasan utang BLBI oleh
keluarga Salim. Dengan disitanya 92,8 % saham-saham BCA dari tangan
keluarga Salim menjadi milik pemerintah, utang BLBI keluarga Salim
lunas. Jadi ketika itu juga keluarga Salim sudah tidak mempunyai utang
BLBI. Utang keluarga Salim sebesar Rp. 52,7 triliun adalah utang bab
lain lagi, bukan utang BLBI. Penggunaan istilah “BLBI” sebagai istilah
generik untuk segala permasalahan sangat keliru.
Utang mantan Pemegang Saham BCA sebesar Rp. 52,7 triliun.
Penjelasannya adalah sbb:
Ketika masih dimiliki sepenuhnya oleh keluarga Salim, sebagai pemilik
BCA keluarga Salim mengambil kredit dari BCA senilai Rp. 52,7 triliun.
(Sebuah pelanggaran besar terhadap UU perbankan, bahwa Bank tidak boleh
memberikan kredit kepada perusahaan pemilik bank atau keluarganya).
Maka ketika 93 % BCA dimiliki oleh Pemerintah, utang keluarga Salim
tersebut beralih menjadi utang kepada pemerintah. Jadi Pemerintah
menagihnya kepada keluarga Salim.
Keluarga Salim tidak memiliki
uang tunai. Maka dibayarlah dalam skema Pelunasan Kewajiban Pemegang
Saham (PKPS) yang wujudnya Master Settlement and Acquisition Agreement
(MSAA) dengan uang tunai sebesar Rp. 100 milyar dan 108 perusahaan.
Yang menentukan bahwa penyelesaian atau settlement seperti ini bagus
dan absah adalah pemerintah sendiri. Yang menentukan bahwa nilai 108
perusahaan memang sebesar Rp. 51,9 triliun adalah pemerintah sendiri.
Dalam penentuan ini, pemerintah menggunakan jasa Danareksa, Bahana dan
Lehman Brothers. Kita membaca di media massa nasional berbagai uraian
dari para ahli Danareksa dan Bahana yang dianggap sangat pakar dan pasti
betulnya. Lehman Brothers bahkan menyatakan secara tertulis bahwa
nilainya 108 perusahaan tersebut terlampau kecil, dengan selisih angka
sebesar Rp. 204 milyar.
Jadi menurut Lehman Brothers, pembayaran
utang oleh Salim sebesar Rp. 100 milyar tunai ditambah dengan 108
perusahaan nilainya Rp. 53,204 triliun, atau kelebihan Rp. 204 milyar
dibandingkan dengan utangnya. Namun pendapat Lehman Brothers tentang
yang kelebihan Rp. 204 milyar ini tidak dianggap atau tidak digubris
oleh pemerintah.
Selisih Penilaian
Penilaian dari
108 perusahaan yang semula Rp. 52,8 triliun oleh Bahana, Danareksa dan
Lehman Brothers kemudian dinilai ulang oleh Price Waterhouse Coopers
(PWC) dengan titik tolak penjualan “paksa” tidak lebih lambat dari
tanggal tertentu. PWC tiba pada angka Rp. 20 triliun saja. Titik tolak
dan asumsi ini tertuang dalam Letter of Intent dengan IMF.
Dalam prakteknya keseluruhan 108 perusahaan ternyata memang hanya laku dijual dengan nilai sekitar Rp. 20 triliun saja.
Mengapa bisa terjadi selisih penilaian oleh Bahana, Danareksa, Lehman
Brothers di satu pihak dan oleh Price Water House Coopers di lain pihak
dijelaskan dalam sub judul tersendiri.
Release and Discharge (R&D) atau Surat Keterangan Lunas (SKL)
Karena sudah dianggap lunas, maka kepada Salim Group diberikan Surat
Keterangan Lunas (SKL) atau Release and Discharge (R&D) oleh
Presiden Megawati. Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH) menggugat
keputusan pemerintah ini, tetapi kemudian Mahkamah Agung mengalahkan
gugatan LBH tersebut.
Adanya Konspirasi
Apa
masalah besar yang sekarang ini sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung
(Kejagung)? Beberapa tokoh masyarakat dan pimpinan lembaga tinggi negara
telat mikir (telmi). Setelah dahulunya ikut menggebu-gebu menyetujui
dan membela penyelesaian seperti yang digambarkan di atas, sekarang
marah, karena ternyata dampak ketidakadilannya luar biasa besarnya.
Asset yang dinilai Rp. 52,6 triliun ketika dijual ternyata hanya laku
sekitar Rp. 20 triliun, sehingga keuangan negara dirugikan sebesar
sekitar Rp. 32,7 triliun.
Anehnya, sebelum dijual PWC sudah
ditugasi oleh Pemerintah untuk menilainya kembali dengan TOR yang
berbeda. Jatuhnya sekitar Rp. 20 triliun. Toh ini yang dijadikan acuan
menjual, dan akhirnya memang hanya laku sekitar Rp. 20 triliun.
Jadi pemerintah menerima nilai asset sebesar Rp. 52,8 triliun sebagai
pelunasan utang keluarga Salim, tetapi pemerintah juga yang bangga bisa
menjualnya dengan nilai Rp. 20 triliun. Bangganya karena bisa memperoleh
recovery rate sekitar 34 %, sedangkan dari obligor lainnya rata-rata
hanya memperoleh 15 % yang dianggap sangat normal oleh para teknokrat
penguasa ekonominya Presiden Megawati.
Bahana, Dana Reksa dan Lehman Brothers ditugasi menilai dengan asumsi
“Pandangan yang positif tentang hari depan ekonomi Indonesia dan
lingkungan politik yang normal” (normalised economic and political
scenarios). Jadi mereka disuruh menilai 108 perusahaan itu sebagai going
concern dalam lingkungan ekonomi makro yang bagus.
Price
Waterhouse Coopers (PWC) ditugasi dengan asumsi dan TOR yang intinya
berbunyi : “harus dijual dalam waktu antara 8 dan 10 minggu”, dengan
“transaksi penjualan dilakukan antara pembeli yang mau membeli tetapi
ogah-ogahan, dan penjual yang mau menjual tapi ogah-ogahan” (willing but
not anxious). Jadi PWC ditugasi menilai 108 perusahaan itu dengan titik
tolak dan asumsi liquidation value dalam lingkungan ekonomi makro yang
para investornya ogah-ogahan melakukan investasi atau membeli 108 asset
keluarga Salim.
Jadi ketika menerima 108 perusahaan sebagai
pelunasan utang, pemerintah yang menilainya sebagai going concern.
Tetapi ketika menjual, pemerintah sendiri juga yang menilainya dengan
titik tolak dan asumsi liquidation value.
Nilai perusahaan bisa
didasarkan atas replacement value, discounted cash flow value, net
present value, historical value, liquidation value dan yang lainnya
lagi. Hasil dari berbagai metoda penilaian ini juga berbeda-beda.
Begitu nilai PWC keluar, kecuali KKG, seluruh anggota kabinet Gotong
Royong, KKSK ( Komite Kebijakan Sektor Keuangan ) dan BPPN setuju dijual
dengan nilainya PWC. Menko Dorodjatun K yang ketika itu didukung penuh
oleh Menteri Keuangan Boediono dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi
berujar dengan keras dan tegas bahwa negara manapun di dunia yang
terkena krisis memang harus menanggung kerugian besar. Biasanya harus
rugi sekitar 85 % dari nilai asset yang dipakai untuk membayar, atau
uang yang kembali rata-rata 15 % (yang disebut recovery rate). Maka ada
yang menganggap Salim Group “pahlawan” karena recovery rate-nya sekitar
34 %.
Bukankah IMF yang
memerintahkan bahwa asset SG harus dijual tidak lebih lambat dari
tanggal tertentu tanpa peduli berapa lakunya ? Dan batas waktu ini
diumumkan kepada dunia. Mengapa tak berani? Karena kalau berani tidak
patuh pada IMF, Indonesia diancam diisolasi oleh masyarakat dunia, ancam
IMF.
Semua anggota Kabinet Gotong Royong, kecuali KKG, termasuk
Presiden dan Wakil Presidennya ketika itu juga setuju dengan penjualan
model IMF yang diobral tanpa harga minimum. Ketika itu SBY, JK dan
Boediono, para Menteri dalam Kabinet Gotong Royong yang juga ikut
mendukung semua kebijakan. DPR pada waktu itu, kecuali seorang anggota
Komisi IX, SB, juga mendukung dan menyuarakan koor SETUJU, sampai
menghasilkan UU nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas dan MPR-nya juga
ikut-ikutan mendukung dengan semangatnya melalui TAP MPR nomor
VIII/MPR/2000.
Pada saat yang bersamaan, Hubert Neiss, orang
sangat penting dalam hubungan IMF dan Pemerintah Indonesia pensiun dari
IMF. Kemudian diangkat menjadi penasihat Deutsche Bank di Singapura. Dan
langsung saja disewa oleh Farralon sebagai pelobi untuk memenangkan
pembelian 51 % BCA dengan harga Rp. 5 triliun, sedangkan BCA punya
tagihan kepada Pemerintah berupa Obligasi Rekap. sebesar Rp. 60 triliun.
BCA Dijual Seperti Pisang Goreng
Penjualan BCA bisa diibaratkan menjual pisang goreng di pinggir jalan.
Ada orang lewat yang bernama Ujang memasang papan yang berbunyi :
“Pisang Goreng ini harus terjual habis tidak lewat dari jam 17.00 tidak
peduli harga berapapun lakunya.” Tentu saja si Penjual pisang goreng
marah, papannya dihancurkan dan Ujang dipukuli.
Ketika menjual
BCA, IMF memasang papan nama yang berbunyi “BCA harus dijual tidak lebih
lambat dari tanggal tertentu tanpa peduli dengan harga berapa saja.”
Apa yang terjadi ? Hubert Neiss menjadi pelobi (yang dianggap tidak ada
conflict of ineterst) dan para Menteri Kabinet Gotong Royong memasang
lampu sorot ke arah papan, dan papan pengumumannya dihiasi dengan
huruf-huruf yang mencolok dan kontras,”
Karuan saja lakunya
hanya Rp. Rp. 5 triliun untuk 51 % atau dinilai hanya sekitar Rp. 10
triliun untuk 100 %, tapi di dalamnya ada tagihan kepada Pemerintah
sebesar Rp. 60 triliun, dan BCA ketika dijual sudah punya laba ditahan
sebesar Rp. 4 triliun.
Kerugian Luar Biasa Besar Akibat Konspirasi IMF, Pemerintah & DPR.
Di atas telah diuraikan bahwa BCA menjadi milik pemerintah sebagai
pembayaran utang BLBI oleh keluarga Salim. Artinya, pemerintah telah
mengeluarkan uang sebesar Rp. 23,99 triliun untuk membeli 92,8 %
saham-saham BCA. Setelah itu, BCA yang sudah menjadi milik pemerintah
harus “disehatkan” dengan menginjeksi Obligasi Rekapitalisasi Perbankan
atau OR sebesar Rp. 60 triliun. Dalam BCA sudah ada laba bersih sebesar
sekitar Rp. 4 triliun. Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA
sebesar jumlah dari tiga angka ini atau Rp. 87,99 triliun (dibulatkan
Rp. 88 triliun).
Namun BCA dijual kepada Farallon senilai Rp. 10
triliun, atas usulan Pemerintah yang disetujui DPR. Jadi ada kerugian
yang dibuat oleh pemerintah sendiri sebesar Rp. 78 triliun. Angka ini
jauh lebih besar dari kerugian sebesar Rp. 33 triliun sebagai selisih
nilai 108 perusahaan yang diserahkan oleh keluarga Salim sebagai
pembayaran utangnya dengan nilai realisasinya.
Jadi, TOTAL KERUGIAN pemerintah RI dalam skandal penjualan BCA ini adalah: Rp 32,7 triliun + Rp 78 triliun = Rp 110,7 triliun !
Mega Skandal (2): BDNI (Sjamsul Nursalim)
Jumlah hutang mantan pemilik BDNI Sjamsul Nursalim (SN) dalam bentuk BLBI adalah sebesar Rp. 30,9 triliun.
Bagaimana cara penyelesaian BLBI ini sampai sekarang masih misteri.
Sebagai perbandingan, dalam kasus BCA, hutang BLBI kelompok Salim
diselesaikan melalui pembayaran dengan 93 % dari pemilikan BCA.
Nampaknya dikarenakan modal ekuiti BDNI sudah negatif dan tidak ada
nilainya sama sekali, sehingga tidak dapat dilakukan cara pembayaran
yang sama dengan BCA. Akibatnya hutang BLBI menjadi bagian dari
keseluruhan utang SN yang harus dilunasi.
Modal Ekuiti BDNI Sudah Negatif
Pada tanggal 03 Pebruari 2000, BPPN menerbitkan buku yang berjudul “Shareholders Settlement. An Outline of Its Concepts and Objectives”, dimana pada halaman 13 tercantum “Consolidated balance sheet of BDNI before and after adjustment based on Indonesian GAAP” dengan tanda bintang (*).
Tanda
bintang menunjukkan adanya catatan kaki yang mencantumkan “Source :
ADDP Ernst and Young”. Kepanjangan dari “ADDP” adalah Accepted Due
Diligence Process dan kepanjangan dari “GAAP” adalah General Accepted
Accounting Principle.
Jumlah kekayaan (asset) BDNI yang unadjusted
sebesar Rp. 33,572 triliun dan dengan sebutan “GAAP adjustment” asset
ini dikurangkan dengan Rp. 27,994 triliun, sehingga menurut Ernst and
Young nilai asset yang tersisa hanya sebesar Rp. 5,578 triliun.
Jumlah kewajiban (liabilities)
BDNI yang tercatat adalah sebesar Rp. 32,275 triliun, kemudian
dikoreksi dengan tambahan Rp. 15,882 triliun, sehingga besarnya
kewajiban akhir yang benar menurut Ernst and Young adalah Rp. 48,157
triliun.
Dengan demikian, menurut Ernst and Young, nilai Modal Ekuitinya menjadi negatif sebesar Rp. 42,579 triliun.
Rincian Rekapitulasinya adalah sebagai berikut :(dalam triliun rupiah)
• | Aktiva sebelum dikoreksi oleh Ernst & Young atas dasar GAAP | 33,572 |
• | Koreksi sesuai dengan GAAP | (27,994) |
• | Aktiva setelah dikoreksi | 5,578 |
• | Kewajiban sebelum dikoreksi | (32,275) |
• | Koreksi sesuai dengan GAAP | (15,882) |
• | Kewajiban setelah dikoreksi sesuai GAAP | (48,157) |
• | Modal Ekuiti menjadi Negatif sebesar | (42,579) |
Penanganan BLBI BDNI
Karena nilai Modal Ekuiti BDNI sudah lama negatif, sehingga BLBI BDNI
tidak dapat dikonversi menjadi pemilikan seperti halnya dengan BLBI BCA.
Berbeda dengan BCA, status BDNI adalah Bank Beku Operasi (BBO). Oleh
karena itu tidak ada gunanya Pemerintah memilikinya melalui konversi
BLBI ke dalam pemilikan saham-saham, karena BDNI sudah tidak akan
beroperasi lagi.
Cara penyelesaiannya adalah dengan menentukan
hutang SN seluruhnya kepada negara. Jumlah BLBI BDNI sepenuhnya
diperhitungkan dengan keseluruhan kekayaan (asset) dan kewajiban (liability) BDNI, yang perinciannya adalah sebagai berikut :
Jumlah Hutang Sjamsul Nursalim
Jumlah keseluruhan hutang bersih SN kepada Pemerintah sebesar Rp. 28,4 triliun yang dapat dirinci sebagai berikut :
(dalam triliun rupiah)
• | BLBI | (30,9) |
• | Deposito dan Pinjaman | (7,1) |
• | Pinjaman kepada BI melalui Guarantee Scheme | (4,7) |
• | LC dll. | (4,6) |
| Total Hutang | (47,3) |
(dalam triliun rupiah)
• | Kas | 1,3 |
• | Pinjaman kepada Petambak Udang(via PT Dipasena) | 4,8 |
• | Aktiva Tetap dan Penyertaan | 4,6 |
• | Pinjaman Pihak Ketiga dan Aktiva Lainnya | 8,2 |
| Total Aktiva yang dapat di-offset | 18,9 |
| Jumlah Hutang Neto | (28,4) |
Penyelesaian Utang
Penyelesaian hutang BLBI BDNI dilakukan dengan MSAA yang isinya sebagai berikut:
• | Dengan uang tunai sebesar | Rp. 1,0 triliun |
• | Dengan Asset sebesar | Rp. 27,4 triliun |
• | 50 % dari GT Petrochem | 344.100.000 |
• | 55,3 % dari Filamindo Sakti | 87.000.000 |
• | 56,5 % dari Sentra Sentetika | 52.700.000 |
• | 78 % dari Gajah Tunggal | 176.300.000 |
• | 39,8 % dari Meshindo Alloy | 14.800.000 |
• | 39,8 % dari Langgeng Baja Pratama | 5.300.000 |
• | 99,9 % dari Dipasena | 1.802.400.000 |
| Jumlah | 2.482.600.000 |
Apabila dihitung dengan kurs Rp. 11.075 per US $, maka nilai total perusahaan-perusahaan tersebut sebesar Rp. 27,495 triliun
Nilai tambak udang PT Dipasena yang ditentukan oleh Credit Suisse First Boston sebesar US$ 1.802.400.000 sangat kontroversial. Karena terdapat penilaian oleh Price Waterhouse Coopers yang menyatakan nilai tambak udang PT Dipasena adalah NOL. Hal tersebut diakibatkan karena kondisinya yang kosong dan beracun pada saat itu.
SKL (Release and Discharge)
Dalam dokumen yang berkop surat BPPN tanggal 25 Mei 1999 Pemerintah Indonesia memberikan Release and Discharge (R&D) atas pelanggaran BMPK !
Dokumen R&D ini ditandatangani oleh Kepala BPPN Farid Harjanto. Hal
ini terlihat aneh, karena SKL diterbitkan sebelum Inpres no. 8 tahun
2002 yang diterbitkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Atas dasar
Inpres ini Kepala BPPN menerbitkan SKL sekali lagi untuk Sjamsul
Nursalim.
Sengketa Dalam Pembayaran Tunai Sebesar Rp 1 Triliun
SN merasa telah membayar tunai yang disyaratkan sebesar Rp. 1 triliun dengan perincian sebagai berikut :
• | Pembayaran untuk OHS (US$ 154.950,13) | Rp. 1.262.843.559,50 |
• | Pembayaran untuk Nauta Dutilh (US$ 212.015,87) | Rp. 1.727.929.340,50 |
• | Pembayaran notaris dan pengacara (cadangan) | Rp. 500.000.000,00 |
• | Dana shareholder yang barada di BDNI (BBO) berupa deposito, tabungan dan Giro | Rp. 598.858.731.426,43 |
| Total | Rp. 602.349.504.326,43 |
| Penyelesaian sisa settlement BDNI(final) | Rp. 500.000.000.000,00 |
| Kelebihan dana shareholder | Rp. 102.349.504.326,43 |
Dalam suratnya kepada BPPN tertanggal 12 Juni 2000, SN menyatakan telah
kelebihan membayar Rp. 172.963.477.615,23 sebagai hasil perincian yang
tercantum dalam suratnya tersebut.
Pendirian BPPN
Pada tanggal 16 Mei 2000 dalam buku berjudul “Kronologi Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) BDNI”, pada halaman 4 (empat) dalam
tulisan yang berjudul “Masalah Terkini” tercantum hal-hal sebagai
berikut :
1. | Pembayaran tunai Rp. 1 triliun belum diselesaikan |
2. | SN belum menyerahkan saham GT, GTPI, dan DCD kepada TSI |
3. | Saham-saham holdback asset belum diserahkan ke escrow |
4. | Prakondisi lain yang belum dipenuhi : |
Mispresentasi Utang Petambak Udang
Ada dua hal penting dalam perhitungan utang petambak udang, yaitu :
1. | Komponen terbesar dari pembayaran oleh SN adalah PT Dipasena |
2. | Dalam rangka PT Dipasena, BPPN menganggap ada “mispresentasi” hutang petambak. |
• | Petambak
udang bekerja dalam bentuk Pola Inti Rakyat (PIR) sebagai plasma.
Tetapi para petambak sama sekali tidak bebas, karena diikat dengan
pemberian kredit kepadanya oleh BDNI yang milik SN. |
• | Kredit diberikan dalam US$ yang nilai rupiahnya berfluktuasi. |
• | Petambak tidak diberi pengertian yang jelas, sehingga terjadi demonstrasi berkali-kali dengan kericuhan sampai ada yang tewas. |
• | Harga beli dari petambak ditentukan sepihak oleh Dipasena, yaitu US$ 4,50 per kg., sedangkan ongkos produksinya US$ 7,5 |
• | Kerugian ini tidak diberitahukan kepada petambak, tetapi dibukukan oleh Dipasena sebagai utang petambak kepada BDNI |
• | Supaya
petambak tenang, walaupun sistem PIR, kepada mereka diberikan gaji
sebesar Rp. 650.000 yang (mungkin) diperhitungkan dengan harga belinya. |
Penutup
Dua
contoh kasus di atas, dari 48 kasus dalam skandal BLBI ini, sampai saat
ini masih menyimpan misteri dalam upaya penyelesaiannya. Yang sangat
aneh, tidak ada satu pun partai yang memiliki wakil-wakil rakyat nya di
DPR, yang berbicara mengungkap mega skandal yang telah merugikan Negara
demikian besar, dan menyengsarakan jutaan rakyat Indonesia. Alih-alih
mengungkap, yang terjadi justru menjegal setiap upaya untuk menyelidiki
kembali kasus ini melalui hak Angket.
Karena menjadi antek IMF, menerima suap, atau karena bodoh ?
Wallahu a’lam bish-shawwab.Sikap FPKS terkait Hak Angket Kasus KLBI dan BLBI
Fraksi-PKS Online: Pada prinsipnya, Presiden telah sampai pada satu kesimpulan bahwa proses penuntasan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tidaklah berdiri sendiri, melainkan merupakan satu rangkaian kebijakan yang dimulai semenjak era presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid hingga Presiden Megawati. Demikian pula dengan landasan hukum yang menjadi dasar kebijakan penyelesaian kasus BLBI maupun produk hukum yang dihasilkan oleh ketiga rejim pemerintahan tersebut, kesemuanya merupakan bagian yang terintegrasi dan saling melengkapi satu sama lain
PANDANGAN FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP USUL PENGGUNAAN HAK ANGKET TERHADAP PENYELESAIAN KASUS KLBI DAN BLBIDisampaikan oleh: ANDI RAHMAT
No Anggota : A-282
BismillahirrahmanirrahimYang kami hormati,
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Hadirin yang berbahagia.
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.Salam Sejahtera Untuk kita semua
Dalam forum paripurna Dewan pada tanggal 12 Februari 2008, Presiden Republik Indonesia melalui menteri-menterinya telah menyampaikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui penggunaan hak interpelasi. Pada prinsipnya, Presiden telah sampai pada satu kesimpulan bahwa proses penuntasan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tidaklah berdiri sendiri, melainkan merupakan satu rangkaian kebijakan yang dimulai semenjak era presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid hingga Presiden Megawati. Demikian pula dengan landasan hukum yang menjadi dasar kebijakan penyelesaian kasus BLBI maupun produk hukum yang dihasilkan oleh ketiga rejim pemerintahan tersebut, kesemuanya merupakan bagian yang terintegrasi dan saling melengkapi satu sama lain. Dan terutama karena kebijakan-kebijakan tersebut, antara lain, tidak saja merupakan perintah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tetapi juga dilaksanakan dibawah pengawasan penuh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Termasuk juga dengan kebijakan yang telah diambil oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Akan tetapi, sebagaimana yang sudah dipahami khalayak luas, tetap saja produk kebijakan yang berkaitan dengan BLBI menimbulkan kontroversi dan perdebatan luas. Kami menyadari sepenuhnya bahwa alasan utama dibalik meluasnya kontroversi tersebut semata-mata didorong oleh keinginan untuk memperoleh keadilan, untuk memperoleh kepastian mengenai manfaat dari kebijakan yang sangat mahal dan membebani kehidupan bangsa Indonesia hinggá puluhan tahun kedepan. Postulat ekonomi meyakinkan kita bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh satu bangsa haruslah merupakan kompensasi bagi penciptaan kejehateraan. Atau dalam bahasa yang lazim dalam konstitusi kita, Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, ..."dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.."
Pimpinan dan Anggota Dewan Yang Terhormat...
Fraksi PKS memandang penggunaan hak angket Dewan sebagai hal yang harus didukung. Apalagi jika penggunaan hak angket tersebut memiliki implikasi langsung terhadap perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, karena pengertian, bobot dan implikasinya yang demikian berat, disamping juga karena haruslah merupakan tafsir yang tepat terhadap implikasi hukum dari produk kebijakan pemerintah, maka penggunaan hak angket sudah semestinya juga dicermati dan disikapi secara hati-hati.
Dalam memandang usul penggunaan hak angket atas penuntasan kasus BLBI, Fraksi PKS menggaris bawahi tiga hal penting. Pertama, konsideran yang melandasi penggunaan hak angket tersebut. Kedua, struktur argumen yang dipergunakan dalam merumuskan pokok-pokok isu yang hendak ditelusuri oleh dewan. Ketiga, materi muatan yang ada dalam gagasan pengusul penggunaan hak angket.
Berdasarkan ketiga hal tersebut, tentunya setelah membaca dan mencermati pidato pengusul pada sidang paripurna dewan pada tanggal..., Fraksi kami memandang konsideran yang mendasari penggunaan hak angket tersebut sangat kabur sebab tidak meyertakan landasan-landasan hukum dan preseden yang memiliki hubungan langsung dengan penggunaan hak angket. Sehingga, tujuan-tujuan yang hendak diungkapkan menjadi tidak jelas.
Berkaitan dengan struktur argumentasinya, Fraksi kami memandang bahwa sebagian besar argumentasi yang dimuat dalam usulan pengusul, bukanlah argumentasi yang dapat dijadikan dasar bagi penggunaan hak angket. Yang kami maksudkan bukannya dari sudut formalitasnya, tetapi dari sudut bahwa para pengusul telah mencampuradukkan antara kebijakan yang diambil oleh rejim pemerintahan yang berbeda, politik anggaran nasional (APBN) yang setiap tahun disahkan menjadi Undang-Undang oleh paripurna Dewan dengan peristiwa hukum yang terjadi pada aparat Kejaksaan Agung. Kami tentunya sangat menghargai bangunan argumentasi pengusul sebagai upaya yang sungguh demi kepentingan bangsa dan negara.
Berkaitan dengan materi muatan, Fraksi PKS juga tidak menemukan muatan baru yang berbeda dari apa yang menjadi pertanyaan dan jawaban pemerintah terhadap interpelasi anggota Dewan pada forum siding paripurna sebelumnya.
Sidang Paripurna Dewan Yang Terhormat.
Fraksi PKS memandang bahwa pelaksaanaan kebijakan lanjutan pemerintah yang berkaitan dengan Obligor tidak kooperatiflah yang harus menjadi focus perhatian Dewan. Dalam hal ini, kami mengusulkan agar pimpinan Dewan dan pimpinan komisi III dan Komisi XI DPR RI segera melakukan koordinasi dan rapat-rapat dengan pihak pemerintah untuk melanjutkan proses penuntasan kasus ini. Termasuk juga untuk mengembangkan pilihan-pilihan kebijakan yang tepat untuk memulihkan perekonomian nasional dan mengembalikan wibawa penegakan hukum pasca penangkapan Aparat Kejagung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Demikianlah pendapat Fraksi PKS, lebih dan kurangnya kami mohon maaf....
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 6 Jumadil Tsaniyah 1429 H
10 Juni 2008 M
PIMPINAN FRAKSI
PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
DRS. H. MAHFUDZ SIDDIQ, M.Si MUSTAFA KAMAL, SS
No. Angg. : A-265 No. Angg. : A-248
Kalau memang ada yang tak beres, tolong bereskan sama anda. Kamipun rakyat kecil bisa menyalahkan orang, tapi membenahi kesalahan itu yang sulit. Bukan negara atau bangsa ku ini yang tak beres tetapi terlalu banyak orang yang berambisi di negeri Kami tercinta ini, sampai2 pemuka Agama Islam Ku berambisi untul menjadi pemimpin, mana contoh baik bagi kami.... bahkan kami jadi malu terhadap Agama lain!!!!... Kami rakyat Indonesia sudah tak percaya terhadap Politisi dari patai manapun. Ketika mereka butuh suara berbondong-bondong menarik simpati kami sebagai rakyat kecil dan ketika mereka berkedudukan hanya sibuk dengan golongannya saja... semua sama,,,
BalasHapusya benar Sdr Jaka.... memang seharusnya ada yang bisa membereskan semua carut marut di negara tercinta kita ini... Sayangnya kita yang awam dan hanya sbg rakyat sepertinya hanya bisa membaca cerita...dan ikut merasakan apa yang awam rasakan sebagai akibat banyaknya carut marut...dan gk pedulinya konon orang 2 yang sdh terpilih-baik di eksekutif maupun yudikatif dan legislatif...
BalasHapusmungkin gk usah yang terlalu jauh... selama menjelang ramadhan hingg a idul fitri..saja... kita merasakan betapa terasa ada beban yg luar biasa... dlam memenuhi keperluan sehari-hari... yg biasanya...juga sudah relatif mahal2... malahan waktu2 bulan2 ramadhan-menjelang ramadhan..dan untuk kebutuhan idul fitri...
harga2...benar2...sangatlah luar biasa dibanding tahun2 yang lalu.. sedangkan bagi awam dan terlebih para pensiunan..dan kaum common people.. sangatlah terbingungkan..
Namun anehnya... apakah menteri terkait..atu pemda..atw siapa saja yang mewakili rakyat... tiada terdengar upaya bagaimana bis memulihkan atw setidaknya... ikut melakukan menurunkan harga2 yang selayaknya... Jangan seperti kita2 berada dirimba raya..dan siapa kuat siapa menang...??
Inilah gambaran sederhana... belum lagi yang konon sangat rumit dan menyangkut para penggede negara ini...yg sangat pintar..dan tentu banyak pendukungnya.. baik jaringan dalam negeri- dan luar negeri-pendanaan..entah dari mana?
tapi faktanya masyarakat awam..sangatlah mnerasakan langsung beban2 yang semakin...tinggi..??
Adakah kita2...ini memang diperlukan saat harus memilih... dan konon beliau2..itulah yang telah menjadi calon2 yang aptut dipercaya...??
Inilah dilema di republik ini...
APAKAH MASIH ADA YANG BENAR2...MEMILIKI KEMAMPUAN UNTUK BISA MENJADIKAN KEMAKMURAN DAN KEADILAN BAGI RAKYAT..
KONON KATA BUNG KARNO... HANYA DENGAN KAMANDIRIAN ITULAH BANGSA DAN NEGARA AKAN BISA BENAR2 MAKMUR..DAN TIDAK MENJADI SANGAT TERGANTUNG DENGAN BANGSA DAN NEGARA LAIN...?? MUNGKINKAH, ?
KALAU KONON HUTANGAN NEGARA SEPERTI MANJADI SANDERA BAGI RAKYAT DAN PARA PEMIMPIN DINEGARA INI...DAN KITA2 DIATUR DAN MENJADI ALAT PERMAINAN PARA INVESTOR DAN PARA KOLABORATOR DAN JARINGAN2NYA...
APAKAH MASIH ADA YANG BISA KELUAR DARI KEMELUT NEGERI INI...?? DAN RAKYAT JANGAN DIJADIKAN SASARAN..KEMURKAAN DAN KESERAKAHAN MEREKA2 YANG MERASA TELAH MENGHUTANGI DAN SELALU MENGATUR...NEGARA DAN PARA APARATNYA...SEHINGGA KORBAN LANGSUNG ADALAH RAKYAT AWAM...??>>
TIDAK SAJA PEMIMPIN AGAMA-DAN AJARAN AGAMA TERKADANG DIJADIKAN KORBAN... TETAPI SEGALA HAL DIHALALKAN DAN AKHIRNYA... RAKYAT AWAM TANPA KECUALI TELAH MENJADI..SANDERA..BAGI KESERAKAHAN KAUM KREDITOR DAN KAUM BORJUIS..DAN PARA KAUM KAPITALIS SERAKAH...>>
SEMOGA KEDEPAN KITA BISA MENEMUKAN PEMIMPIN YANG BENAR-LURURS-JUJUR-OPEN MIND-DAN BENAR2 BERAKAL SEHAT..DAN BERAKHLAK MULIA...
SEMOGA ALLAH MENUNJUKKAN KITA..SEGALA KEBAIKAN2... KARENA KAUM AWAM HANYA BISA BERDOA..DAN BERSABAR...
TIADA YANG PEDULI KEPADA RAKYAT AWAM...>> KALAUPU SEKALI2 ADA INI ITU... SEMUANYA HANYA UNTUK KEPENTINGAN2 SESAAT....
MERDEKA..ALLAHU AKBAR3X WALILLAHILHAMDU...
SELAMAT IEDULFITRI ALMUBARAK..MOHON MAAF ZHAHIR BATIN.... WASSALAM WW
Salam kepada semua warga negara Indonesia, nama saya INDALH HARUM, TOLONG, saya ingin memberikan kesaksian hidup saya di sini di platform ini sehingga semua warga negara Indonesia berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, Tuhan mendukung saya melalui ibu yang baik, LASSA JIM , Setelah beberapa waktu mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan menolak, maka saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tetapi saya curang dan saya kehilangan lebih dari 50 juta rupiah dengan pemberi pinjaman yang berbeda karena saya mencari pinjaman (Rp800) setelah membayar biaya dan tidak mendapat pinjaman. Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi Salam kepada semua warga negara Indonesia, nama saya INDALH HARUM, TOLONG, saya ingin memberikan kesaksian hidup saya di sini di platform ini sehingga semua warga negara Indonesia berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, Tuhan mendukung saya melalui seorang ibu yang baik, LASSA JIM, Setelah beberapa waktu mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan menolak, jadi saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tetapi saya menipu dan saya kehilangan lebih dari 50 juta rupiah dengan Pemberi pinjaman karena saya mencari pinjaman (Rp800) setelah membayar biaya dan tidak mendapat pinjaman. Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi saya berdiskusi dengan seorang teman saya, Harum kemudian memperkenalkan saya kepada Ibu LASSA JIM, seorang pemberi pinjaman di sebuah perusahaan bernama ACCESS LOAN FIRM sehingga teman saya meminta saya untuk melamar ibu LASSA, jadi saya mengumpulkan keberanian dan menghubungi Ms. LASSA.
BalasHapusSaya mengajukan pinjaman 2 miliar rupiah dengan tingkat bunga 2%, sehingga pinjaman disetujui tanpa tekanan dan semua pengaturan dilakukan dengan transfer kredit, karena tidak memerlukan jaminan dan keamanan untuk transfer pinjaman yang baru saja saya katakan kepada dapatkan perjanjian lisensi, aplikasi mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari 48 jam pinjaman itu disetorkan ke rekening bank saya.
Saya pikir itu lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya dikreditkan dengan jumlah 2 miliar. Saya sangat senang bahwa Tuhan akhirnya menjawab doa saya dengan memesan pinjaman saya dengan pinjaman asli saya, yang memberi saya keinginan hati saya. mereka juga memiliki tim ahli yang akan memberi tahu Anda tentang jenis bisnis yang ingin Anda investasikan dan cara menginvestasikan uang Anda, sehingga Anda tidak akan pernah bangkrut lagi dalam hidup Anda. Semoga Tuhan memberkati Mrs. LASSA JIM untuk membuat hidup saya lebih mudah, jadi saya sarankan siapa pun yang tertarik mendapatkan pinjaman untuk menghubungi Mrs. LASSA melalui email: lassajimloancompany@gmail.com
Anda juga dapat menghubungi nomor JIM ibu LASSA whatsApp +1(301)969-1955.
Akhirnya, saya ingin berterima kasih kepada Anda semua karena telah meluangkan waktu untuk membaca kesaksian sejati hidup saya tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar Tuhan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda. Sekali lagi nama saya adalah INDALH HARUM, Anda dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut melalui email saya: Indalhharum@gmail.com