Emil Salim: Tinggalkan Pembangunan Kapitalisme!
April 17, 2013 at 11:44 | Share via Facebook Twitter Google+
Tajuk.co, JAKARTA – http://tajuk.co/2013/04/emil-salim-tinggalkan-pembangunan-kapitalisme/
PENUTUP
Pakar lingkungan
hidup Emil Salim menegaskan bahwa pembangunan dengan pola kapitalisme
harus diubah, dengan pembangunan ekonomi dan nilai sosial plus
kepentingan lingkungan. Untuk dapat melakukan pembangunan ekonomi,
sosial, plus lingkungan secara bersamaan maka pasar harus diintervensi
dengan menggunakan “Reducing emissions from deforestation and forest
degradation and enhancing forest carbon stock in developing countries”
(REDD+) dan pembangunan hijau.
“Kapitalisme itu sudah usang, sudah lewat masanya. Harus berubah,
pembangunan ekonomi plus sosial plus lingkungan,” kata Guru Besar
Universitas Indonesia itu, dalam diskusi “Kedaulatan Rakyat dalam
Politik Ekonomi Perubahan Iklim di Jakarta, Selasa (16/4).
Emil mengatakan, pembangunan ekonomi hijau adalah pola pembangunan
yang mengelola sumber daya alam dengan memperhitungkan daya dukung
ekosistem sebagai sistem penopang kehidupan alam, termasuk manusia.
REDD+, menurut pencetus penghargaan lingkungan Kalpataru itu, menjaga
keutuhan ekosistem hutan dalam pembangunan Produk Domestik Bruto (PDB).
Maka fungsi REDD+ merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi
hijau.
“Tapi untuk melaksanakan itu butuh perubahan konstitusi yang jelas,” ujar keponakan Pahlawan Nasional Haji Agus Salim itu.
Ekonomi komersial mengandalkan mekanisme pasar yang tidak menampung
isyarat ekosistem hutan, sehingga menurut dia, diperlukan intervensi
pemerintah untuk melakukan koreksi pasar.
REDD+, lanjutnya, juga menyusun satu peta rujukan geospasial yang
juga memuat peta masyarakat adat. Melalui moratorium kelola hutan dan
gambut izin eksploitasi hutan ditertibkan agar sesuai dengan REDD+.
Untuk itu, anggota Wantimpres itu menambahkan, perlu diutamakan
pengelolaan hutan sesuai dengan kearifan lokal dengan menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat.(LES)
STATE CAPITALISM: “3 Dekade Otoritarianisme Orde Baru”
Pendahuluan
Sistem Demokrasi pada
hakekatnya menghendaki suatu kondisi struktur pemerintahan untuk rakyat.
Kehendak semacam itu menempatkan kedaulatan rakyat pada posisi yang sangat
sentral dalam relung kehidupan berbangsa dan bernegara (Usman, 1998:68)[1].
Sistem Demokrasi menjadi ruh dalam sistem Ekonomi Indonesia. Dilihat dari aspek
politiknya selama periode Orde Lama ditahun 1950-1959, Indonesia pernah
menerapkan sistem poltik yang sangat demokratis sebelum akhirnya berganti
dengan periode demokrasi terpimpin. (Tulus:2006)[2].
Akan tetapi Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa sistem demokrasi menyebabkan instabilitas politik dan perekonomian nasional Indonesia. Di awal sistem Ekonomi Terpimpin memperlihatkan haluan politik Indonesia yang berbau komunis. Sikap antikolonialisasi, antiimperialisasi dan antikapitalisasi Indonesia saat itu menjadikan Indonesia sulit untuk memperoleh bantuan dana pembangunan dari negara-negara Barat. Kondisi demikian menjadi awal mula hancurnya perekonomian Indonesia sekaligus lengsernya penerintahan Orde Lama dibawah kepemimpinanan Soekarno dan berganti dengan Pemerintahan Orde Baru.
Akan tetapi Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa sistem demokrasi menyebabkan instabilitas politik dan perekonomian nasional Indonesia. Di awal sistem Ekonomi Terpimpin memperlihatkan haluan politik Indonesia yang berbau komunis. Sikap antikolonialisasi, antiimperialisasi dan antikapitalisasi Indonesia saat itu menjadikan Indonesia sulit untuk memperoleh bantuan dana pembangunan dari negara-negara Barat. Kondisi demikian menjadi awal mula hancurnya perekonomian Indonesia sekaligus lengsernya penerintahan Orde Lama dibawah kepemimpinanan Soekarno dan berganti dengan Pemerintahan Orde Baru.
Meski
secara secara normatif legal sistem ekonomi politik Indonesia menunjukkan pada
kategori sistem sosialisme. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 telah jelas
menunjukkan bahwa sistem perekonomian Indonesia menganut suatu sistem yang
dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideologi
Pancasila. Akan tetapi dalam praktik yang dilakukan dimasa Orde Baru sangat
bertolak belakang. Dibawah pemerintahan tirani Soeharto intervensi negara
terhadap masyarakat begitu kuat dalam segala bidang kehidupan entah itu masalah
ekonomi, politik, maupun sosial. Haluan sistem perekonomian Indonesia justru
menunjukkan tendensi ke arah sistem kapitalis yang mengakibatkan kesenjangan
ekonomi yang semakin besar terutama pasca krisis tahun 1997.
Pembahasan
Tidak
dipungkiri memang, di bawah kepemimpinan pemerintahan Otoritariannya, Soeharto
tidak hanya berhasil melanggengkan tampuk kekuasaannya selama 3 dekade, namun
juga diakui cukup berhasil membawa perubahan bagi perekonomian Indonesia yang
saat itu tengah terpuruk akibat peninggalan Orde Lama melalui stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi. Keberhasilan perekonomian yang sempat dicapai Soeharto tidak serta merta menjadikan perjalanan
kepemimpinan otoriter Orde Baru bukanlah
tanpa cacat.
Kebijakan
ekonomi terbuka Soeharto membuat kepercayaan negara-negara Barat terhadap
prospek perekonomian Indonesia.
Menurut Emil Salim, mantan penasehat ekonomi Presiden ketika itu, menjelaskan bahwa Soeharto
menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi
Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas. Pemerintah lalu
melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara
periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun) yang dengan
melibatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh
pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank
Dunia[3].
Kebijakan
Soeharto memang diakui membawa stabilitas ekonomi dan politik yang cukup mapan
selama beberapa lama bahkan membawa transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan menurunnya angka inflasi yang
semula 500% ditahun 1966 berhasil ditekan hingga mencapai 10% hingga 5% diawal
dekade 1970-an. Akan tetapi perlu diketahui pula bahwa semua itu dicapai dengan
biaya ekonomi yang tinggi, dan fundamental ekonomi yang rapuh. Dibukanya Liberalisasi
perdagangan dan investasi ekonomi terhadap modal asing semakin menyebabkan
Indonesia mengalami ketergantungan Finansial terhadap negara donor. Gaya
kepemimpinan otoriter Soeharto diakui memang dibutuhkan untuk membenahi
perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960. Namun, dengan
menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, bukan berarti semua kekuatan yang
berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat dengan melakukan
berbagai tindakan represif seperti melakukan kontrol militer, membatasi
kebebasan pers atau penyensoran media, penekanan terhadap suku Tiong Hoa,
melarang protes
mahasiswa melawan korupsi.
penghilangan orang secara paksa yang berusaha mengkritik pemerintahannya, dan
serangkaian tindakan pelanggaran HAM lainnya.
Pada akhirnya, selama
3 Dekade peerintahan Otoritarian Soeharto, membawa pada kegerahan masyarakat
untuk segera mengakhiri kediktatoran Soeharto melalui berbagai
gerakan masif dari mahasiswa yang berupaya untuk menggulirkan rezim otoriter
Soeharto pada 21 Mei 1998, berganti era
reformasi yang diharapkan terjadi pembaharuan kehidupan politik ke arah yang
lebih demokratis serta dibukanya ruang kebebasan masyarakat untuk menuntukan
haluan pembangunannya sendiri berdasarkan asas Demokrasi Kerakyatan.
PENUTUP
Kesejahteraan pada Orde Baru boleh
dikatakan memang terwujud, namun secara tidak kita sadari bahwa kesejahteraan
tersebut bersifat semu. Lebih lanjut Pratikno (1998) mengatakan sumber utama
kedua yang dipergunakan untuk membangun otoritarianisme, berhasil dilakukan
berkat melimpahnya sumber daya ekonomi dan hasil alam.
Dengan sumber daya
inilah Soeharto secara
efektif mampu membeli dukungan dari elit politik dan masyarakat luas. Faktanya
ketika Orde Baru runtuh maka indikator kesejahteraan juga turut menghilang
perlahan dengan sendirinya, hanya untuk pencitraan saja.
Dengan demikian, Sistem Kapitalis jelaslah sangat
bertentangan dengan asas Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi Pancasila. Sistem
Ekonomi Politik yang diharapkan masyarakat adalah sistem ekonomi yang berpihak
pada rakyat. Sistem Ekonomi Kerakyatan dirasa paling tepat untuk menghilangkan
segala bentuk kediktatoran pemerintah dan melanggengakan kekuasaan oligarki
yang menjadi ciri khas sistem kapitalis.
Perlu
digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen
politik dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat
program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi
produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa
membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political
will) dari pemerintah.
[1] Dikutip dari buku (Usman,
Sunyoto, Dr. 1998. “Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat”.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
[2] Dikutip dari buku Tambunan,
Tulus. 2006. “Perekonomian Indonesia:Beberapa Masalah Penting”. Jakarta: Ghalia
Indonesia).
KOLONISASI BBM BERLANJUT?
http://awansantosa.blogspot.com/
Kenaikan harga BBM Sabtu, 24 Mei 2008 lalu belum akan menyurutkan gerakan penolakannya. Hal ini mengingat kenaikan harga BBM bukanlah kebijakan yang berdiri sendiri. Kebijakan yang telah memicu naiknya harga sembako, tarif angkutan umum, dan PHK tersebut lebih merupakan refleksi struktur ekonomi kolonialistik dan implikasi jalan ekonomi neoliberal pemerintah. Bagaimana bisa?
Kolonisasi BBM?
Lihatlah struktur produksi minyak Indonesia. Sebagian besar kontrol migas Indonesia hari ini berada di tangan segelintir korporasi asing, yang menguasai 85,4% dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia, sekaligus menduduki 10 besar produsen minyak di Indonesia.
Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007).
Penguasaan minyak oleh korporasi asing ini telah melemahkan kontrol negara terhadap alokasi produksi, biaya produksi, cost recovery, dan tingkat harga minyak. Akibatnya pemenuhan kebutuhan domestik yang sekiranya dapat menstabilkan harga domestik tidak lagi menjadi utama. Indonesia memang mengimpor BBM sebesar 302,599 barel/hari pada tahun 2007. Tetapi pada saat yang sama minyak kita pun dijual ke luar negeri sebanyak 348.314 barel/hari (ESDM, 2008).
Sementara itu, biaya produksi minyak di Indonesia membengkak hingga 9 dollar AS per barrel. Padahal di Malaysia hanya sekitar 3,7 dollar AS per barrel dan di North Sea yang paling sulit pun juga hanya sekitar 3 dollar AS per barrel. Di samping itu, cost recovery menjadi kian meningkat dan hampir mencapai 30% pada tahun 2007.
Kontrol minyak oleh pasar (korporasi?) pada akhirnya diwujudkan melalui “pemaksaan” penentuan harga minyak internasional di New York Merchantile Exchange. Padahal hampir tidak ada minyak Indonesia yang diperdagangkan di sana, bahkan volume transaksi di pasar minyak tersebut hanya meliputi 30% transaksi minyak dunia (Kwik, 2007).
Akibatnya harga minyak tidak lagi di bawah kendali akal sehat dan negara yang berdaulat. Harga diciptakan untuk memaksakan keuntungan maksimum bagi korporasi minyak, yang hingga kini keuntungannya telah mencapai US$ 123 milyar atau setara dengan Rp 1.131 Trilyun (http://www.voanews.com/, 3 April 2008).
Kolonisasi ini kian dikukuhkan melalui kepatuhan (keterpaksaan?) menteri-menteri ekonom neoliberal rezim pemerintahan SBY-JK dalam menjalankan agenda-agenda Konsensus Washington. Naiknya harga BBM merupakan implikasi dilakukannya liberalisasi, privatisasi, pengahapusan subsidi, dan deregulasi migas yang menjadi pilar agenda tersebut. Jalan ekonomi neoliberal inilah yang memaksa diperkecilnya peran Pemerintah dan Pertamina, berubahnya BBM dari barang publik ke barang privat, dilepasnya harga BBM ke mekanisme pasar (penghapusan subsidi), dan masuknya korporat swasta dalam bisnis migas hingga sektor hilir.
Menyusul kenaikan harga BBM pada 2005 lalu, beberapa pemodal asing mulai menancapkan kukunya dalam bisnis eceran BBM di Indonesia. Sejauh ini, jaringan SPBU mereka masih terbatas dalam wilayah Jabodetabek. Tetapi dalam jangka panjang, mereka jelas ingin mengepakkan sayapnya ke seluruh penjuru Indonesia.
Bagi perusahaan multinasional, harga BBM bersubsidi adalah musuh besar yang harus secepatnya disingkirkan. Sebagai perusahaan multinasional, mereka menjual BBM sesuai dengan standar harga internasional. Jika Pertamina masih tetap menjual BBM dengan harga bersubsidi, bagaimana mungkin mereka dapat memperluas jaringan SPBU-nya? (Baswir, 2008).
Kebohongan Publik?
Tanpa melakukan koreksi struktur dan jalan ekonomi tersebut, maka kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah akan cenderung tidak pro-rakyat. Hal inilah yang rupanya tidak diakui oleh rezim pemerintahan SBY-JK yang dalam upayanya meyakinkan tiadanya pilihan selain menaikkan harga BBM menyampaikan alasan-alasan yang tidak disertai dengan data dan fakta yang lengkap (terbuka). Mengapa?
Pertama, alasan bahwa tanpa menaikkan BBM maka APBN akan “jebol” terkesan mengada-ada. Kenaikan harga minyak internasional selain menambah pengeluaran untuk pembelian impor BBM sebenarnya juga menambah penerimaan negara dari ekspor dan pajak dari minyak.
Data APBN-P 2008 menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak dunia selain menambah besaran “subsidi” BBM dari Rp. 45,8 T menjadi Rp. 126,8 T (naik Rp. 81 T) juga menambah PPH migas dari Rp. 41.6 T menjadi Rp. 53,6 T, pajak ekspor dari Rp. 4,0 T menjadi Rp. 11,1 T, dan Penerimaan Minyak Bumi dari Rp. 84,3T menjadi sebesar Rp. 149 T. Total perkiraan kenaikan penerimaan negara adalah sebesar Rp. 84 T. Ini yang tidak pernah dijelaskan pemerintah.
Kedua, alasan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati orang-orang kaya sehingga perlu dihapus cenderung dicari-cari. Pelaku usaha transportasi rakyat, industri kecil, dan nelayan juga merupakan konsumen terbesar BBM. Dalam struktur ekonomi yang timpang dan kolonialistik seperti di atas memang hampir semua layanan publik sepertihalnya jalan tol, jasa kepolisian, dan belanja publik lainnya akan lebih banyak dinikmati orang-orang kaya, bahkan termasuk keberadaan pemerintah itu sendiri. Apakah pemerintah dengan begitu perlu dihapuskan?
Dalam logika barang publik maka akses didapat dengan biaya sama karena yang membedakan adalah besaran pajak (progresif) yang harus dibayar orang-orang kaya dalam jumlah makin besar. Lagi pula, mengapa pemerintah tidak menghapus subsidi ke bank-bank yang jelas-jelas milik orang kaya yang dibayar sebesar Rp.40 T/tahun melalui oblikasi rekap?
Ketiga, alasan bahwa harga bensin premium di Indonesia terlalu murah dibanding negara lain pun terkesan menutup-nutupi fakta. Harga bensin di Venezuela hanya Rp 460/liter, di Saudi Arabia Rp 1.104/liter, di Nigeria Rp 920/liter, di Iran Rp 828/liter, di Mesir Rp 2.300/liter, dan di Malaysia Rp 4.876/liter. Rata-rata pendapatan per kapita di negara-negara tersebut lebih tinggi dari kita. Sebagai contoh Malaysia sekitar 4 kali lipat dari negara kita.
Sementara itu, AS dan Cina yang importer minyak terbesar dan ketiga di dunia tetapi harga minyak di AS cuma Rp 8.464/liter sementara Cina Rp 5.888/liter.. Padahal penduduk kedua negara lebih besar dari Indonesia (Cina penduduknya 1,3 milyar). Indonesia meski premium cuma Rp 4.500 (yang akan dinaikkan jadi Rp 6.000/liter) namun harga Pertamax mencapai Rp 8.700/liter. Lebih tinggi dari harga di AS. Padahal UMR di Indonesia cuma US$ 95/bulan sementara di AS US$ 980/bulan (nizaminz, 2008).
Keempat, alasan bahwa harga BBM yang terlalu murah telah memicu pemborosan konsumsi BBM di Indonesia terlalu dipaksakan. Data statistik menunjukkan untuk konsumsi minyak per kapita di Indonesia menempati urutan 116 di bawah negara Afrika seperti Namibia dan Botswana dengan 1,7 barrel per tahun (0,7 liter per hari). Untuk jumlah keseluruhan, Indonesia yang jumlah penduduknya terbesar ke 4 di dunia hanya menempati peringkat 17. (ibid).
Kelima, alasan bahwa pemerintah tidak memiliki opsi lain dalam “menyelamatkan APBN” selain menaikkan harga BBM pun terlalu lemah. Tersedia berbagai opsi untuk itu sepertihalnya penghapusan utang haram rezim korup dan diktator (odious debt) yang telah menguras seperempat APBN, pencabutan pembayaran bunga obligasi rekap, penetapan pajak progresif, dan penyelamatan aset-aset (SDA) negara yang dicuri.
Keenam, alasan bahwa dampak negatif kenaikan harga BBM dapat dieliminasi dan melalui penyaluran BLT sungguh terlalu naif. Belajar dari tahun 2005, BLT tidak ada kaitannya dengan pengurangan kemiskinan karena BLT sekedar diupayakan untuk meredam resistensi rakyat miskin. Selain nilai tambah ekonominya yang tidak lagi signifikan (kalah dengan makin beratnya ongkos hidup), nilai tambah sosial-kulturalnya sama sekali tidak berasa. Lagi-lagi rakyat miskin dipaksa “mengemis-ngemis” sekedar untuk mengharap belas kasihan Pemerintah.
Dekolonisasi Migas?
Berpijak pada pemikiran di atas maka tidak pada tempatnya mengakhiri perlawanan kebijakan BBM ketika melihat bahwa hakekat dari kebijakan tersebut adalah kegagalan pemerintah menjalankan amanat konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) akibat paksaan struktur, jalan, dan pemikiran ekonomi kolonialistik di Indonesia.
Oleh karenanya, segenap elemen bangsa kini perlu menempuh langkah-langkah yang lebih progresif untuk mengembalikan jalan ekonomi nasional ke jalan konstitusi, di mana kontrol negara atas migas dan aset-aset strategis bangsa yang lain, akan menjadi kunci penting bagi tegaknya kembali kedaulatan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat.
Kembalinya kontrol migas oleh negara akan memungkinkan alokasi produksi migas untuk kebutuhan domestik ketimbang luar negeri. Di samping itu, tingkat harga migas dapat ditentukan oleh pemerintah secara wajar sebagai bagian dari Public Service Obligation (PSO), ketimbang sebagai upaya maksimisasi profit melalui pemaksaan sistem pasar bebas (free-market mechanism) migas seperti yang berlaku saat ini.
Kita perlu mendesak pemerintah untuk menjalankan agenda nasionalisasi migas, yang diantaranya dapat dilakukan melalui penegasan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk memutus ketergantungan terhadap korporasi migas asing, penghentian perpanjangan kontrak-kontrak kerja sama (KKKS) lama, dan negosiasi ulang dengan pemegang KKKS asing.
Pemerintah harus segera memobilisasi sumber daya baik modal, teknologi, institusi, dan SDM (pakar) nasional untuk mengelola migas Indonesia sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Pelibatan Pertamina dan BUMD perlu lebih diperluas untuk turut mengelola ladang-ladang migas Indonesia dan melaksanakan agenda konservasi dan diversifikasi sumber-sumber energi nasional.
Saatnya mengakhiri sindrom kompradorisme dan mental inlander bangsa dengan mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama bangkit. Bangkit tidak lain adalah memperjuangkan tegaknya konstitusi dan mengakhiri neokolonialisme ekonomi Indonesia.
Yogyakarta, 25 Mei 2008
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/messages/107828?m=e&l=1
Rezim SBY Gagal Mensejahterakan Rakyat. Ganti Rezim, Ganti Sistem; Setahun Rezim Menipu, Setahun Rakyat Melawan; Lebih Sibuk pada Pencitraan-NARSIS; Pasar Lupa dan Transaksi Politik; Gelembung Harapan Kosong Pengelolaan Aset Alam dan Penanggulangan Bencana ; SBY-Boediono Kecanduan Utang!; Rezim Penggusuran Pernyataan Front Oposisi Rakyat Indonesia (FORI) “Rezim SBY Gagal Mensejahterakan Rakyatâ€; Ganti Rezim, Ganti Sistem http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2010/10/fori-rezim-sby-gagal-mensejahtera\ kan.html Pernyataan Front Perjuangan Rakyat SETAHUN REZIM MENIPU, SETAHUN RAKYAT MELAWAN SBY-Boediono Harus Bertanggungjawab atas Segala Penderitaan Rakyat! http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2010/10/fpr-setahun-rezim-menipu
-setahun-\ rakyat.html PERNYATAAN SIKAP PENGURUS PUSAT KONFEDERASI - KONGRES ALIANSI SERIKAT BURUH INDONESIA ( KASBI ) Satu tahun SBY-Budiono berkuasa dalam pemerintahan RI dan 6 tahun SBY, Lebih sibuk pada Pencitraan atau lebih tepatnya NARSIS
Satu tahun SBY-Budiono berkuasa dalam pemerintahan RI dan 6 tahun SBY, Lebih sibuk pada Pencitraan atau lebih tepatnya NARSIS
PERNYATAAN SIKAP PENGURUS PUSAT KONFEDERASI - KONGRES ALIANSI SERIKAT BURUH INDONESIA ( KASBI )
20 Oktober 2010
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, Dituduh subversif dan mengganggu keamanan,
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Wiji tukul “ peringatan “
Satu tahun SBY-Budiono berkuasa dalam pemerintahan RI dan 6 tahun SBY, Lebih sibuk pada Pencitraan atau lebih tepatnya NARSIS dan aktifitas pemerintahannya lebih sering membeo pada kepentingan asing, yakni : IMF, World Bank, WTO, FTA dan tentu tunduk pada Negara maju bekas penjajah Indonesia – Jepang, Inggris, Amerika dll. Jadi pemerintahannya tidak lebih dari BONEKA kapitalis, Sebagai Boneka, tentu tidak memiliki KEMERDEKAAN dan KEBEBASAN dalam mengelola Negara. Hal ini bisa ditunjukkan dengan potret Indonesia hari ini :
1.Kekayaan dan Sumber Daya Alam Indonesia sudah tertumpuk kedalam genggaman beberapa kapitalis Internasional, seperti Exxon mobil, Petrochina, Newmont dll.
2.Jumlah Rakyat Miskin meningkat pesat
3.Pertentangan kelas penguasa dengan rakyat, makin lama semakin tajam.
4.Pemerintah SBY – Boediono semakin reaksioner, otoriter dan represif terhadap Rakyat.
Empat hal tersebut menjadi wajah Indonesia hari ini dan akan tetap menjadi belenggu bagi rakyat Indonesia, dan atau kita sebagai rakyat Indonesia menginginkan di HENTIKANNYA ketidak adilan bagi rakyat Indonesia.
Kebijakan Neoliberalis dan menjadi boneka IMPERIALIS KAPITALIS adalah wajah pemerintahan SBY – boediono. Menjadi antek dari kepentingan kaum pemilik modal tentu tidak akan pernah memikirkan kesejahterahan rakyat. Artinya rakyat akan dibiarkan melarat dan bila melawan akan ditindas dengan kekuatan reaksioner aparat bersenjata!!
Dibidang industri dan kebijakan keum buruh Indonesia, yang merupakan PENGGERAK UTAMA EKONOMI dalam Bayangan kelabu dan masa depan kehidupan buruh seolah redup tanpa sinar. Kaum Buruh Indonesia semakin dalam ketidak pastian Nasibnya. Kaum Buruh Indonesia yang terperangkap dalam jerat upah murah, semakin tertindas dalam hubungan kerja yang flexible yaitu kerja kontrak dan outsourcing. Dan pemerintah dengan begitu saja tidak peduli kepada rakyatnya, yang sudah menghasilkan begitu besar Nilai bagi negara Ini.
Kebijakan Neoliberlisme, ditunjukkan oleh rezim SBY-Budiono dengan mulai menggulirkan kebijakan melepas tanggung jawab dan peran Pemerintah dalam urusan kesejahteraan Buruh (termasuk TKI, PRT, dll) dan membiarkan bertarung dengan pemilik modal.
Seperti pada contoh kasus upah pekerja, dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-masalah tenaga kerja sepenuhnya ini urusan antara si pengusaha pemilik modal dan si pekerja. Seperti juga, Urusan jaminan sosial diserahkan kepihak ASURANSI/Swasta bukan negara. Yang lebih besar, urusan perlindungan buruh dari PHK dan Upah yang murah tidak dilakukan oleh rezim antek Imperialis SBY-Budiono, tetapi semakin lepas tangan dengan membiarkan sistem kontrak dan outsourcing menjamur dan marak. Yang hakikatnya adalah perbudakan modern, karena manusia diperjual belikan semau nya oleh pemilik modal dan negara tak mau tahu. Semua kondisi yang membuat rakyat sulit, miskin dan tidak memiliki masa depan tersebut dalam tahun 2011, akan dibuat payung hukumnya dengan merevisi UUK 13/2003 menjadi lebih liberal, sangat liberal dan distulah Neoliberalisme menunjukkan buktinya dalam tubuh rezim SBY-Budiono.
SBY-Boediono telah GAGAL men-sejahterahkan rakyat!!!! Kalimat tersebut layak disandang bagi pemerintah BONEKA IMPERIALIS yang sangat tunduk pada kuasa neoliberalisme-kapitalisme.
Prestasi pemerintahan SBY – Boediono dimata kaum buruh Indonesia adalah Penindas tulen. Prestasi itu adalah :
1.Pembiaran SBY-Boediono terhadap PHK massal.
2.Pembiaran SBY-Boediono terhadap anti Serikat Buruh ( union busting ).
3.Pembiaran SBY-Boediono terhadap praktek kontrak dan outsourcing ( manusia sebagai komoditi, diperjual belikan seperti perbudakan ).
4.Pembiaran SBY-Boediono terhadap pemberlakukan upah murah
5.Pembiaran SBY-Boediono terhadap penjualan manusia ke luar negeri.
6.Pembiaran SBY-Boediono terhadap penjualan asset BUMN kepada swasta.
7.Pembiaran SBY-Boediono terhadap pengurasan kekayaan dan Sumber daya Alam Indonesia.
8.Pembiaran SBY-Boediono terhadap Nasib Petani yang semakin miskin, Nelayan yang semakin suram dan Miskin kota yang terus digusur.
Dengan segala Pembiarannya terhadap kaum Buruh dan nasib rakyat Indonesia, serta kepatuhannya terhadap pemodal Internasional maka rezim SBY-Budiono sudah sepantasnya MUNDUR atau DIHENTIKAN oleh rakyat. Karena bila di LANJUTKAN, maka kesengsaraan, kemiskinan dan keterpurukan rakyat dan bangsa ini semakin mendalam sehingga menjadi Bangsa yang tidak berdaya dan tidak berguna.
Disampaikan dengan rasa keprihatinan kepada seluruh rakyat dan kemarahan kepada rezim penindas.
Salam Pembebasan.
Jakarta, 20 Oktober 2010.
Pengurus Pusat
Konfederasi KASBI
Ketua Umum Sekretaris Jendral
Nining Elitos Khamid Isthakory
PERNYATAAN SIKAP PENGURUS PUSAT KONFEDERASI - KONGRES ALIANSI SERIKAT BURUH INDONESIA ( KASBI )
20 Oktober 2010
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, Dituduh subversif dan mengganggu keamanan,
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Wiji tukul “ peringatan “
Satu tahun SBY-Budiono berkuasa dalam pemerintahan RI dan 6 tahun SBY, Lebih sibuk pada Pencitraan atau lebih tepatnya NARSIS dan aktifitas pemerintahannya lebih sering membeo pada kepentingan asing, yakni : IMF, World Bank, WTO, FTA dan tentu tunduk pada Negara maju bekas penjajah Indonesia – Jepang, Inggris, Amerika dll. Jadi pemerintahannya tidak lebih dari BONEKA kapitalis, Sebagai Boneka, tentu tidak memiliki KEMERDEKAAN dan KEBEBASAN dalam mengelola Negara. Hal ini bisa ditunjukkan dengan potret Indonesia hari ini :
1.Kekayaan dan Sumber Daya Alam Indonesia sudah tertumpuk kedalam genggaman beberapa kapitalis Internasional, seperti Exxon mobil, Petrochina, Newmont dll.
2.Jumlah Rakyat Miskin meningkat pesat
3.Pertentangan kelas penguasa dengan rakyat, makin lama semakin tajam.
4.Pemerintah SBY – Boediono semakin reaksioner, otoriter dan represif terhadap Rakyat.
Empat hal tersebut menjadi wajah Indonesia hari ini dan akan tetap menjadi belenggu bagi rakyat Indonesia, dan atau kita sebagai rakyat Indonesia menginginkan di HENTIKANNYA ketidak adilan bagi rakyat Indonesia.
Kebijakan Neoliberalis dan menjadi boneka IMPERIALIS KAPITALIS adalah wajah pemerintahan SBY – boediono. Menjadi antek dari kepentingan kaum pemilik modal tentu tidak akan pernah memikirkan kesejahterahan rakyat. Artinya rakyat akan dibiarkan melarat dan bila melawan akan ditindas dengan kekuatan reaksioner aparat bersenjata!!
Dibidang industri dan kebijakan keum buruh Indonesia, yang merupakan PENGGERAK UTAMA EKONOMI dalam Bayangan kelabu dan masa depan kehidupan buruh seolah redup tanpa sinar. Kaum Buruh Indonesia semakin dalam ketidak pastian Nasibnya. Kaum Buruh Indonesia yang terperangkap dalam jerat upah murah, semakin tertindas dalam hubungan kerja yang flexible yaitu kerja kontrak dan outsourcing. Dan pemerintah dengan begitu saja tidak peduli kepada rakyatnya, yang sudah menghasilkan begitu besar Nilai bagi negara Ini.
Kebijakan Neoliberlisme, ditunjukkan oleh rezim SBY-Budiono dengan mulai menggulirkan kebijakan melepas tanggung jawab dan peran Pemerintah dalam urusan kesejahteraan Buruh (termasuk TKI, PRT, dll) dan membiarkan bertarung dengan pemilik modal.
Seperti pada contoh kasus upah pekerja, dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-masalah tenaga kerja sepenuhnya ini urusan antara si pengusaha pemilik modal dan si pekerja. Seperti juga, Urusan jaminan sosial diserahkan kepihak ASURANSI/Swasta bukan negara. Yang lebih besar, urusan perlindungan buruh dari PHK dan Upah yang murah tidak dilakukan oleh rezim antek Imperialis SBY-Budiono, tetapi semakin lepas tangan dengan membiarkan sistem kontrak dan outsourcing menjamur dan marak. Yang hakikatnya adalah perbudakan modern, karena manusia diperjual belikan semau nya oleh pemilik modal dan negara tak mau tahu. Semua kondisi yang membuat rakyat sulit, miskin dan tidak memiliki masa depan tersebut dalam tahun 2011, akan dibuat payung hukumnya dengan merevisi UUK 13/2003 menjadi lebih liberal, sangat liberal dan distulah Neoliberalisme menunjukkan buktinya dalam tubuh rezim SBY-Budiono.
SBY-Boediono telah GAGAL men-sejahterahkan rakyat!!!! Kalimat tersebut layak disandang bagi pemerintah BONEKA IMPERIALIS yang sangat tunduk pada kuasa neoliberalisme-kapitalisme.
Prestasi pemerintahan SBY – Boediono dimata kaum buruh Indonesia adalah Penindas tulen. Prestasi itu adalah :
1.Pembiaran SBY-Boediono terhadap PHK massal.
2.Pembiaran SBY-Boediono terhadap anti Serikat Buruh ( union busting ).
3.Pembiaran SBY-Boediono terhadap praktek kontrak dan outsourcing ( manusia sebagai komoditi, diperjual belikan seperti perbudakan ).
4.Pembiaran SBY-Boediono terhadap pemberlakukan upah murah
5.Pembiaran SBY-Boediono terhadap penjualan manusia ke luar negeri.
6.Pembiaran SBY-Boediono terhadap penjualan asset BUMN kepada swasta.
7.Pembiaran SBY-Boediono terhadap pengurasan kekayaan dan Sumber daya Alam Indonesia.
8.Pembiaran SBY-Boediono terhadap Nasib Petani yang semakin miskin, Nelayan yang semakin suram dan Miskin kota yang terus digusur.
Dengan segala Pembiarannya terhadap kaum Buruh dan nasib rakyat Indonesia, serta kepatuhannya terhadap pemodal Internasional maka rezim SBY-Budiono sudah sepantasnya MUNDUR atau DIHENTIKAN oleh rakyat. Karena bila di LANJUTKAN, maka kesengsaraan, kemiskinan dan keterpurukan rakyat dan bangsa ini semakin mendalam sehingga menjadi Bangsa yang tidak berdaya dan tidak berguna.
Disampaikan dengan rasa keprihatinan kepada seluruh rakyat dan kemarahan kepada rezim penindas.
Salam Pembebasan.
Jakarta, 20 Oktober 2010.
Pengurus Pusat
Konfederasi KASBI
Ketua Umum Sekretaris Jendral
Nining Elitos Khamid Isthakory
Add a comment
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2010/10/6-tahun-sby-lebih-sibuk-pada
-penc\itraan.html Pernyataan Korban dan Keluarga Korban Pelanggaran HAM berat Setahun Kabinet Indonesia Bersatu II SBY : “Pasar Lupa dan Transaksi Politik†http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2010/10/setahun-kabinet-indonesia-
bersatu\-ii.html Evaluasi Kinerja Kabinet SBY-Boediono dalam Pengelolaan Aset Alam dan Penanggulangan Bencana (HuMa - Institut Hijau Indonesia – ICEL – JATAM – KIARA - Sawit Watch – WALHI) http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2010/10/evaluasi-kinerja-kabinet-
sby-boediono.html Pernyataan Sikap Koalisi Anti Penggusuran http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2010/10/hentikan-pembahasan-ruu-
pengadaan\-tanah.html Pernyataan INFID SETAHUN BERKUASA, PEMERINTAHAN, SBY – BOEDIONO KECANDUAN UTANG ! http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2010/10/setahun-berkuasa-
pemerintahan-sby\.html
SUBVERSI FINANSIAL GLOBAL
Awan Santosa[1]
http://awansantosa.blogspot.com/
Dibalik Krisis Yang Berulang
Dibalik Krisis Yang Berulang
“Siapa yang mengendalikan volume uang di sebuah negara adalah tuan sebenarnya dari industri dan perdagangan”. Demikian kata Garfield –Presiden AS- yang ditembak mati setelah melawan kekuasaan bankir pengatur uang di AS. Jauh di tahun 48 SM pun Julius Caesar dibunuh setelah mengambil kembali hak membuat koin emas dari tangan pedagang uang.
Lincoln mati ditembak setelah menerbitkan mata uang “greenbacks” yang tanpa bunga dan utang dari bankir internasional. Jackson, yang berusaha melawan Second Bank of the United States coba dibunuh, namun gagal. Terakhir, Kennedy dibunuh juga setelah mengeluarkan EO No 11110 yang mengembalikan kekuasaan mencetak uang kepada pemerintah, tanpa melalui Federal Reserve.
Demikian, pengembalian kontrol negara atas uang di AS memang seringkali dibayar mahal karena bankir internasional tidak pernah tinggal diam. Mereka menghalangi setiap upaya membongkar sistem bunga utang, yang terpaksa dibayar dengan menaikkan pajak penghasilan rakyat AS.
Memang, elit pengatur uang ini telah berpengalaman dalam melipatgandakan kekayaan dan kekuasaannya. Mereka ahli dalam mengatur saat yang tepat membuat uang over-supply, memaksa likuiditas kering, dan memanen aset perusahaan yang gagal bayar (bangkrut) akibat bunga utang dan tiadanya likuiditas disaat diperlukan.
Upaya mereka melipatgandakan kekayaan –apalagi jika dilawan- biasanya beriringan dengan terjadinya krisis finansial, kelumpuhan sektor riil (depresi), keterjebakan negara pada utang, bahkan perang. Krisis semacam ini telah berulang sejak tahun 1553 dan 1815 di Inggris, dan berturut-turut pada tahun 1833, 1866, 1877, 1891, 1907, dan 1929 di AS.
Ujung-Pangkal Krisis Finansial 2008
Krisis finansial tahun 2008 oleh karenanya bukanlah barang baru. Apalagi menilik konstelasi kekuasaan, modus, dan implikasinya bagi perekonomian AS dan dunia. Konstelasi kekuasaan saat ini ditengarai Chomsky sebagai USA neo-imperialism, di mana AS berkuasa atas ekonomi, militer. media, dan pendidikan di dunia. Di balik itu. Petras melihatnya sebagai ‘the power of Israel in USA”.
Kontrol uang di AS hari ini masih dipegang Federal Reserve, yang disahkan 22 Desember 1913 saat sebagian anggota Senat liburan Natal. The Fed “dimiliki secara privat” oleh elit bankir swasta di London, New York, Berlin, Hamburg, Amsterdam, Paris, dan Italy, yang dikuasai Zionis Internasional.
Di samping itu, krisis berlangsung dengan “modus klasik”. Bermula dari lembaga keuangan AS yang menggelontorkan begitu banyak uang (kredit) di sektor properti melalui berbagai instrumen derivatif. Meski beberapa pihak sudah mendesakkan perlunya regulasi, namun Bush dan The Fed tak bergeming. Akhirnya, seperti yang diperingatkan Buffett dan Krugman, pada saat jatuh tempo dan uang tidak di tangan maka ‘gagal bayar” pun tak terelakkan.
Proses selanjutnya adalah munculnya krisis likuiditas yang berujung kolaps-nya lembaga keuangan Wall Street sepertihalnya Lehman Brothers, Bear Streans, Fannie Mac dan Freddie Mac, serta AIG yang memang saling “terintegrasi” satu sama lain.
Implikasi krisis pun seperti biasa. Pemerintah AS harus menalangi likuiditas (bail-out) 700 milyar US. Setelah itu, satu persatu aset perusahaan bangkrut terpaksa dijual, yang berarti beralihnya kepemilikan ke elit pengatur uang. Pun. Pemerintah AS terpaksa membuat surat utang baru, dus makin terjerat imperium finansial.
Konsolidasi dan pelipatgandaan kekuasaan dan kekayaan seperti biasa disertai paksaan penarikan likuiditas di emerging market. Krisis memukul pasar uang dan pasar modal negara lain, yang diikuti dengan beralihnya penguasaan aset “perusahaan korban”. Perusahaan eksportir di ambang kebangkrutan. Ancaman PHK massal berlanjut “penyesuaian paksa” upah buruh, yang dalam konteks Indonesia diawali dengan keluarnya SKB 4 Menteri..
Imperium Belum Akan Tumbang?
Boleh saja menafsirkan krisis ini adalah akhir dari imperium AS, kapitalisme, dan neoliberalisme. Tetapi rasanya hal itu baru sebatas harapan normatif. Seperti pengalaman krisis-krisis sebelumnya, transformasi “isme” –kalaupun ada- tidak bertujuan membongkar struktur kekuasaan ekonomi politik yang ada. Pun setelah Obama menjadi Presiden AS, tidak akan ada perubahan radikal selama tidak ada reposisi negara-The Fed dan reforma tata ekonomi AS.
Krisis finansial bukan berarti goyahnya posisi bankir internasional, yang bahkan masih mencengkeram perekonomian AS dengan utang senilai 11,7 trilyun US. Tidak ada yang berubah dari para pemilik The Fed yang makin kaya raya setelah menguasai lebih banyak lagi aset perusahaan bangkrut secara “cuma-cuma”. Sementara kontrol ekonomi, politik, militer, media, dan pendidikan di AS dan sekutunya pun tetap di tangan mereka.
Agen-agen mereka tetap mendominasi berbagai sektor vital negara berkembang –termasuk Indonesia. IMF dan Bank Dunia masih leluasa memperdaya pemerintah dengan utangnya. Media massa tidak banyak bersuara lantang tentang sepak terjang mereka. Pun, institusi pendidikan ekonomi tetap banyak yang berkiblat pada kurikulum, ajaran, dan program mereka.
Sementara itu tidak ada agenda neolib yang dibatalkan. Tidak ada pembatalan privatisasi BUMN dan UU/UU yang melegitimasi privatisasi SDA Tidak ada penghapusan utang lama dan pembatalan utang baru. Pun, tidak ada yang berubah dari rezim kurs, rezim devisa, dan rezim pasar modal, yang tetap di bawah kontrol ideologi pasar bebas (neolib) buatan mereka.
Pondasi moneter dan fiskal negara-negara di dunia pun tetap mengukuhkan kekuasaan mereka, yaitu bunga utang dan pajak. Kedua pilar ini tetap menjerat perusahaan (kecil), buruh, dan anggaran negara. Pendarahan APBN akibat cicilan pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri tahun 2009 pun tetap akan dibayar dengan mengoptimalkan penerimaan pajak.
Melihat kenyataan tersebut jelas kiranya imperium finansial belum (akan) tumbang. Implikasinya berupa pemiskinan rakyat di negara kaya SDA, pengangguran massal, ketimpangan pendapatan, degradasi lingkungan, dan kerusakan moral yang menimpa negara berkembang pun kiranya belum akan berakhir dengan segera.
Keluar Dari Jerat Imperium Finansial
Demikian, kerusakan yang menimpa manusia seringkali bermula dari upaya subversi finansial. Ambisi bankir internasional untuk menguasai dan mengatur dunia mendorong mereka untuk mengambilalih kekuasaan negara –setelah kekuasaan Tuhan-, tidak peduli dengan “isme” apa negara tersebut kemudian dijalankan.
Tetapi bagaimanapun subversi harus dihentikan. Semua negara berdaulat harus bersatu padu keluar dari subversif imperium finansial. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan tatanan ekonomi yang bebas riba. Kegiatan spekulasi (judi) di pasar uang dan pasar modal harus dihentikan melalui regulasi negara yang tegas dan memuliakan Tuhan.
Dalam konteks Indonesia perlu dilakukan penghapusan utang haram (odious debt) dan penghentian utang-utang baru. Selanjutnya perlu penegakan kedaulatan pangan, energi, reforma agraria, serta nasionalisasi aset strategis bangsa yang hingga saat ini masih didominasi pemodal internasional. UU/UU ekonomi sepertihalnya UU Migas, UU SDA, UU BUMN, UU Pelayaran, dan UU PM, yang cenderung berwatak “subversif” pun mendesak untuk ditinjau ulang.
Pada saat bersamaan, pendidikan ekonomi perlu dibebaskan dari hegemoni pemikiran neoliberal yang menjadikan intelektualnya sebagai “agen” modal internasional. Pendidikan harus dikembalikan jatidiri Ketuhanan dan Ke-Indonesiannya. Pun, hal ini perlu dibarengi dengan penghapusan dominasi “Mafia Berkeley” dalam kabinet ekonomi Indonesia.
Begitulah, kapan tumbangnya imperium finansial akan bergantung juga dari kuatnya keyakinan, keberanian, kebersatuan, dan usaha keras kita semua untuk mengubah nasib dan keadaan. Tetapi tentu saja semakin cepat semakin baik. Wallahu’alam.
Yogyakarta, 10 Nopember 2008
[1] Dosen Negeri dpk di Universitas Mercu Buana Yogyakarta (www.unwama.ac.id) dan Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id) email: satriaegalita@yahoo.com, personal web: www.awansantosa.blogspot.com, hp. 0816-169-1650