MENDUDUKAN POLIGAMI DALAM ISLAM : TINJAUAN HISTORIS, POLITIS, DAN NORMATIF *
Oleh : KH M Shiddiq al-Jawi**
http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=329&Itemid=47
1. Pengantar
Sejak Aa Gym diberitakan menikah lagi, pro-kontra
poligami meledak hebat. Namun penyulutnya sebetulnya bukan Aa Gym,
melainkan pemerintah. Sebab pemerintah merespons secara reaksioner
terhadap poligami Aa Gym itu dengan merencanakan kebijakan yang
kontroversial. Sejumlah peraturan yang mempersulit (baca : melarang)
poligami, seperti UU No 1 /1974, PP 10/1983, dan PP 45/1990, akan
direvisi. Larangan poligami akan diperluas tidak hanya kepada PNS dan
TNI/Polri tapi juga kepada masyarakat luas.
Anehnya, setelah menyulut pro-kontra poligami,
pemerintah meminta polemik diakhiri dan meminta masyarakat berpikir
"jernih" dan "proporsional" seputar poligami. Lebih aneh lagi adalah
reaksi pemerintah yang adhem ayem saja terhadap video zina Yahya
Zaini & Maria Eva. Dosa besar yang semestinya dicegah atau
dipersulit, malah disikapi secara dingin. Tidak ada rencana merancang
atau merevisi aturan yang semakin mempersulit zina, melarang prostitusi,
atau memberantas pornografi/pornoaksi. Benar-benar tidak ada. Jadi
terhadap yang haram pemerintah diam (baca : setuju), tapi terhadap
poligami yang halal, pemerintah bergerak kesetanan dan sok pahlawan
sampai-sampai mengatasnamakan "moral obligation" (tanggung jawab moral) dan mengusung slogan palsu "melindungi perempuan."
Pro-kontra poligami pun terus bergulir di masyarakat.
Sebagian elemen masyarakat seperti aktivis HTI dan MMI, membela
poligami dengan gigih. Elemen lainnya seperti Koalisi Perempuan Anti
Poligami dan berbagai LSM liberal (sekuler) mengecam poligami tanpa
ampun. Poligami dianggap sesuatu yang teramat menjijikkan, menistakan
derajat wanita, rawan penyakit seksual, dan seterusnya. Padahal tak
sedikit pengecam poligami ini adalah para intelektual muslim yang
terdidik. Tak jarang mulut mereka memuntahkan berbagai-bagai dalil dari
al-Qur`an dan As-Sunnah.
Melihat kenyataan tersebut, diperlukan upaya untuk
mendudukkan masalah poligami ini dengan perspektif yang komprehensif.
Tujuan tulisan ini adalah :
Pertama, menjelaskan sejarah pro-kontra poligami untuk membuat pemetaan (mapping) mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam pro-kontra ini;
Kedua, menjelaskan motif politik di balik rencana pemerintah merevisi sejumlah peraturan perundangan yang mempersulit poligami;
Ketiga, menjelaskan hukum poligami dalam Islam dan membantah pendapat-pendapat yang mengharamkan poligami.
2. Sejarah Pro-Kontra Poligami
Selama sekitar 1300 tahun para ulama tidak pernah berbeda pendapat dalam hukum poligami (ta’addud al-zawjat).
Hingga abad ke–18 M (ke-13 H) tidak ada pro kontra mengenai bolehnya
poligami, dan semuanya sepakat bahwa poligami itu mubah (boleh). Sebab
kebolehannya telah didasarkan pada dalil yang qath’i (pasti). Abdurrahim Faris Abu Lu’bah dalam kitabnya Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hal. 360 :
"Masalah menikah dengan lebih dari satu isteri menurut para fuqaha, adalah ketentuan syariah yang sudah tetap (syar’un tsabit) dan sunnah/jalan yang diikuti (sunnah muttaba’ah). Dan tidaklah ada keanehan dalam masalah ini, hingga mereka tidak berbeda pendapat sama sekali dalam hukum ini, meskipun mereka berbeda pendapat pada kebanyakan bab dan masalah fikih. Sebab hukum ini didasarkan pada dalil qath’i tsubut (pasti bersumber dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) dan tidak ada lapangan ijtihad padanya…"
Para imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah, sepakat bahwa poligami itu mubah. Hal ini dapat disimpulkan kalau kita menelaah kitab al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah
karya Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry Juz IV hal. 206-217 (Beirut : Darul
Fikr, 1996) yang membahas tentang pembagian nafkah dan bermalam kepada
para isteri (mabahits al-qasm bayna al-zawjat fi al-mabit wa al-nafaqah wa nahwihima).
Dalam kitab Maratib al-Ijma', Ibnu Hazm
menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa apabila seorang muslim
menikahi maksimal empat orang perempuan sekaligus maka hukumnya halal.
(Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma', hal. 62) (Lihat Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), [Jakarta : Darus Sunnah Press, 2006], hal 41)
Jadi selama kurang lebih 1300 tahun tak ada beda
pendapat soal bolehnya poligami ini di kalangan seluruh umat Islam.
Barulah pada abad ke-19 M / ke-14 H ketika imperialis Barat yang
berideologi sekuler menancapkan kukunya di Dunia Islam, muncul beberapa
orang modernis/liberal yang menggugat dan menolak poligami. Mereka itu
misalnya Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), Ameer Ali (1849-1928), Muhammad
Abduh (1849-1905), Qasim Amin (1863-1908), dan Maulana Abul Kalam Azad
(1888-1958) (Lihat Maryam Jameelah, Islam and Modernism, Lahore : Muhammad Yusuf Khan and Sons, 1988).
Sayyid Ahmad Khan misalnya, memandang bahwa asas
pernikahan dalam Islam adalah monogami, sedangkan poligami merupakan
pengecualian. Poligami tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan yang
jarang dan harus terbatas pada kondisi pengecualian saja (Busthami M.
Said, Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin, hal. 141).
Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar (yang
ditulis oleh Rasyid Ridha) pada Juz IV hal. 346-363 juga berpendapat
senada. Intinya, asas pernikahan dalam Islam adalah monogami, bukan
poligami. Poligami diharamkan karena menimbulkan dharar (bahaya) seperti konflik antar isteri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat saja (Tafsir Al-Manar, Juz 4/350).
Pada gilirannya, pendapat Abduh ini selanjutnya
diikuti oleh para pemikir lainnya, baik yang memang modernis/liberal
maupun yang sekedar terpengaruh dengan mereka. Mereka itu misalnya
Syaikh Al-Bahiy al-Khuli, Syaikh Abdul Muta’al Ash-Shaidiy, dan Abdul
Aziz Fahmi (Lihat telaah atas pemikiran tafsir ketiga tokoh ini dalam
Fadhl Hasan Abbas, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr al-Hadits, I/114-115).
Selain mereka, sikap Abduh yang anti poligami sedikit banyak juga mempengaruhi Jamaluddin al-Qasimi (Tafsir al-Qasimi/Mahasin al-Ta`wil, V/30), Ahmad Musthafa al-Maraghi (Tafsir al-Maraghi, IV/183), Muhammad Izzat Darwazah (at-Tafsir al-Hadits, IX/11-13), Abdul Karim Khathib (at-Tafsir al-Qur`ani li al-Qur`an, II/697), Dr. Wahbah Zuhaili (Tafsir al-Munir, IV/242), dan Ali Nasuh ath-Thahir (Tafsir Al-Qur`an al-Karim Kama Afhamuhu,
I/309). Para "ulama" ini boleh dikatakan idenya masih satu nasab dengan
ide Abduh. Abduh-lah yang menjadi inspirator bagi semuanya.
Namun, sebenarnya pendapat mereka yang anti poligami
itu, bukanlah asli dari mereka. Mereka hanyalah mengambil alih dari para
orientalis atau misionaris Kristen/Katholik. Hal ini sejalan dengan
kenyataan bahwa poligami adalah sesuatu yang dilarang dalam masyarakat
Barat. Dalam kitab Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami karya
Dr. Shabir Tha’imah hal. 53 (Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1984),
disebutkan bahwa poligami merupakan salah satu ajaran Islam yang dikecam
oleh kaum misionaris.
Dalam kitab lain, al-Tabsyir wa al-Isti’mar fi al-Bilad al-Arabiyah
hal. 42-43 (Beirut : Maktabah Arabiyah, 1986) Dr. Musthafa al-Khalidi
dan Dr. Umar Umar Farrukh menerangkan, bahwa poligami telah sebagai
sasaran hinaan atau kritikan oleh kaum orientalis kafir, seperti W.
Wilson Cash, dalam bukunya The Moslem World in Revolution (London
: 1926), hal. 98. Orientalis Noel J. Coulson mengatakan, bahwa keadilan
di antara isteri mustahil dipenuhi, dan karena itu, poligami dilarang
sama sekali (Lihat Noel J. Coulson, "Konsep Tentang Kemajuan dan Hukum
Islam", dalam Ahmad Ibrahim dkk (Ed.), Islam di Asia Tenggara, [Jakarta : LP3ES, 1990], hal.170).
Ringkasnya, serangan terhadap poligami sebenarnya
bukan sesuatu yang baru ada sekarang tapi sudah lama, yakni sejak abad
ke-19 M. Kecaman terhadap poligami ini bukanlah dari ulama, tapi aslinya
dari kaum orientalis atau misionatis yang kafir, yang kemudian
diteruskan oleh kaum modernis seperti Sayyid Ahmad Khan dan
kawan-kawannya. Pada gilirannya, pandangan kaum modernis ini diadopsi
dan diundangkan sebagai peraturan publik oleh para penguasa sekuler di
negeri-negeri Islam.
Jadi di sini telah terjadi tiga tahapan serangan terhadap poligami. Pertama, serangan kaum orientalis atau misionaris. Kedua,
selanjutnya –ini amat disayangkan-- serangan para orientalis dan
misonaris itu lalu diteruskan oleh para pemikir modernis/liberal seperti
Abduh dkk. Ketiga, selanjutnya serangan terhadap poligami yang
telah diformalisasikan dalam bentuk peraturan perundangan oleh para
penguasa di negeri-negeri Islam. (Mohammad Baharun, Isu Zionisme Internasional, hal. 53; Dr. Abdul Majid al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr al-Rahin, hal. 187)
Tentu saja, kaum liberal/modernis itu seakan-akan
membela Islam, karena mereka pandai berdalil dengan ayat ini atau hadis
itu. Jadi, generasi muda Islam yang polos akan mudah ditipu dengan
kepandaian mereka memutar-balikkan pengertian ayat untuk tujuan melarang
poligami. Mengomentari kaum modernis yang melarang poligami itu, dengan
tegas dan tepat Abul A’la Al-Maududi –rahimahullah— berkata :
"Demikian pula tentang ide larangan poligami,
tidak lain ia hanyalah barang asing yang diimpor ke negeri kita dengan
alasan palsu yang disandarkan kepada Al-Qur`an." (Abul A’la Al-Maududi, Al-Islam fi Muwajahah Tahaddiyat al-Mu’ashir, hal. 259).
Jelaslah, bahwa penentangan poligami itu hakikatnya
bukanlah karena poligami itu suatu perbuatan dosa atau haram dalam agama
Islam, melainkan karena poligami itu adalah barang najis yang sangat
dibenci oleh masyarakat Barat yang Kristen. Kebencian atas dasar
semangat Nashrani inilah yang kemudian merasuki alam pikiran kaum
orientalis/misionaris yang kafir, selanjutnya merasuki pula alam pikiran
kaum liberal seperti Sayyid Ahmad Khan dan lain-lainnya, dan
selanjutnya merasuki pula benak para penguasa negeri-negeri Islam.
Padahal, agama Nashrani pada mulanya tidak
mengharamkan poligami karena tidak ada satu pun ayat Injil yang secara
tegas melarang poligami. Ketika orang-orang Kristen Eropa melaksanakan
monogami, tidak lain karena kebanyakan bangsa Eropa itu meneruskan
tradisi Yunani dan Romawi yang melarang poligami. Ketika orang-orang
Romawi memeluk Nashrani pada abad ke-4 M, mereka tetap meneruskan
tradisi nenek moyang mereka yang melarang poligami. Jadi, peraturan
monogami sesungguhnya secara normatif bukanlah ajaran agama Nashrani,
melainkan peraturan lama yang secara sosiologis sudah berlaku lama sejak
orang Yunani dan Romawi menganut agama berhala (paganisme).
Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan
menganggapnya sebagai norma agama Nashrani, padahal lembaran-lembaran
Kitab Injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan poligami. (Lihat
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/157; H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam, hal. 79-80; Ahmed Deedat, The Choice Dialog Islam-Kristen, hal. 85-88; David C. Pack, The Truth About Polygamy, http://www.thercg.rg)
Inilah sekilas penjelasan sejarah pro-kontra poligami
di tubuh umat Islam, termasuk sejarah poligami itu sendiri di Eropa.
Siapa saja yang mendalami masalah poligami dari sudut historisnya, akan
sampai pada kesimpulan serupa ini.
Kesimpulannya, serangan terhadap poligami adalah bagian dari Perang Pemikiran (al-Ghazwul Fikri)
antara imperiais Barat yang Kristen dan berideologi kapitalisme-sekular
di satu sisi, dengan kaum muslimin yang meyakini Islam sebagai ideologi
di sisi lain.
Sayangnya, Perang Pemikiran itu nampaknya dimenangkan
oleh imperialis Barat yang kafir. Buktinya banyak negeri Islam yang
melarang atau membatasi poligami. Misalnya, Tunisia (UU Status Pribadi
tahun 1957), Maroko (UU Tahun 1958), Irak (UU tahun 1960), Pakistan
(Ordonansi Hukum Keluarga Muslim Tahun 1961), Indonesia (UU 1/1974),
Mesir (UU Jihan Tahun 1979, tapi dianulir 1985), dan sebagainya. (Lihat
Noel J. Coulson, ibid.; Taufik Adnan Amal & Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam, [Jakarta : Pustaka Alvabet, 2005], hal. 140)
Sesungguhnya negeri-negeri ini tidaklah sedang
menjalankan agama Islam. Negeri-negeri ini sebenarnya telah bertaqlid
buta kepada imperialis Barat yang Kristen, untuk menjalankan ajaran semu
Kristen yang anti poligami, dengan justifikasi palsu dari al-Quran dan
as-Sunnah yang direkayasa oleh kaum modernis yang menjadi agen-agen
Barat. Inilah hakikat yang ada, tidak ada yang lain.
3. Motif Politik Di Balik Larangan Poligami
Berdasarkan tinjauan sejarah di atas, kita akan dapat
mengungkap motif hakiki di balik pembatasan atau larangan poligami oleh
para penguasa di negeri-negeri Islam, tak terkecuali di negeri ini.
Motif ini diungkap dengan gamblang oleh Abdurrahim Faris Abu Lu’bah
dalam kitabnya Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hal. 360.
Motifnya kata beliau, adalah menata ulang
institusi keluarga di negeri Islam mengikuti model institusi keluarga di
Eropa, khususnya Eropa pada masa modern setelah mengalami revolusi
pemikiran (Enlightenment) abad ke-17 M. (liyu’ida tanzhima al-usrati fi al-mujtama’ al-Islami ‘ala ghirari tanzhimi al-usrati fi al-mujtama’ al-gharbiy).
Dengan kata lain, motif sesungguhnya adalah ingin menghancurkan
institusi keluarga muslim untuk digantikan dengan model institusi
keluarga kaum penjajah yang kafir.
Itulah motif sesungguhnya, walaupun penguasa bermanis
kata dan mengumbar propaganda bahwa pembatasan poligami adalah karena
adanya "moral obligation" dan karena ingin "melindungi perempuan."
Bohong! Omongan semacam ini hanyalah tipu daya agar umat Islam terkecoh
dan mau secara ikhlas diatur oleh undang-undang batil yang substansinya
adalah tradisi Barat yang kafir yang diberi justifikasi palsu berupa
dalil-dalil agama oleh kaum modernis-liberal.
Institusi keluarga Eropa, tentunya bukanlah model
ideal bagi institusi keluarga muslim. Keduanya merupakan dua entitas
berbeda, karena keduanya mempunyai identitas, norma, dan sejarah yang
berbeda dan bahkan bertolak belakang. Institusi keluarga Eropa yang
monogami dibentuk oleh ajaran Kristen (Gereja). Perilaku seks bebas
seperti perzinahan, homoseksual, lesbianisme, bukanlah dianggap aib di
Eropa. Anak-anak zina pun dianggap sebagai kewajaran dalam kehidupan
bermasyarakat.
Itu sangat berbeda dengan institusi keluarga muslim.
Institusi keluarga muslim menjalankan pernikahan yang syar’i baik
monogami maupun poligami berdasarkan ajaran Islam. Perilaku seks bebas
seperti perzinahan, homoseksual, lesbianisme, diharamkan dan diberi
sanksi yang tegas. Sedang anak-anak zina dianggap aib dalam masyarakat
Islam. (Abdurrahim Faris Abu Lu’bah, Syawa`ib al-Tafsir, hal. 360-361).
Dengan diberlakukannya peraturan perundangan yang
membatasi poligami, berarti telah dilakukan secara sengaja proses
transformasi sosial untuk merombak institusi keluarga yang Islami
menjadi institusi keluarga yang mengikuti gaya hidup Barat.
Persoalannya, relakah Anda yang muslim dipaksa menjalani gaya hidup
Barat yang kafir? Apakah penguasa tidak lagi punya mata, telinga, dan
nurani sehingga tidak tahu betapa bejat dan rusaknya masyarakat dan
institusi keluarga di Barat? Apakah mereka tidak tahu 75 % anak-anak
Inggris adalah anak zina? Apakah mereka tidak tahu sepertiga (31 %)
masyarakat Amerika yang sudah berumah tangga melakukan hubungan seksual
dengan pasangan lain? Apakah mereka tidak tahu, mayoritas orang Amerika
(62 %) berpendirian bahwa hubungan seksual dengan pasangan lain adalah
sah-sah saja dilakukan? Apakah masyarakat dan keluarga bejat seperti ini
yang menjadi cita-cita para penguasa sekuler saat ini? (Lihat James
Patterson & Peter Kim, The Day American Told the Thruth, New York : Plume Book, 1991).
Jika penguasa negeri Islam menerapkan secara paksa
berbagai aturan Barat atas rakyatnya sendiri yang muslim, seperti
pembatasan poligami, maka terjadilah apa yang oleh Dr. Shabir Tha’imah
disebut "penjajahan modern" (al-isti’mar al-hadits).
Istilah ini, kata beliau, muncul di kalangan bangsa-bangsa lemah yang
terjajah dalam bentuk baru pasca Perang Dunia II. Penjajahan modern pada
hakikatnya adalah dominasi, orientasi, dan eksploitasi melalui
anak-anak negeri sendiri, yang dulunya negeri itu di bawah cengkeraman
penjajahan, lalu anak-anak negeri sendiri itu bertindak seperti penjajah
sebelumnya dengan tangan besi (wa huwa laysa fi haqiqatihi illa
as-saytharah wa at-tawjih wa al-istitsmar ‘an thariq abna’ al-balad
alladziy kaanat fiihi qabdhah al-isti’mar wa ta’mal amalaha
biquwwati al-hadid wa an-nar). (Dr. Shabir Tha’imah, Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami, [Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1984], hal. 50).
Dengan demikian, kalau umat Islam dulu sebelum Perang
Dunia II dijajah secara langsung oleh Barat yang kafir, maka kini pasca
Perang Dunia II umat Islam dijajah oleh para penguasanya sendiri yang
menjadi kepanjangan tangan dari Barat yang kafir. Itulah hakikat yang
terjadi tatkala penguasa menerapkan peraturan dari Barat (seperti
pembatasan poligami) atas umat Islam dengan kekuatan dan paksaan. Inilah
yang disebut penjajahan modern itu.
4. Hukum Poligami dalam Islam
Islam telah menjadikan poligami sebagai sesuatu
perbuatan mubah (boleh), bukan sunnah, bukan pula wajib. Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam hal. 129 :
"Harus menjadi kejelasan, bahwa Islam tidak
menjadikan poligami sebagai kewajiban atas kaum muslimin, bukan pula
suatu perbuatan yang mandub (sunnah) bagi mereka, melainkan sesuatu yang
mubah, yang boleh mereka lakukan jika mereka jika mereka berpandangan
demikian."
Dasar kebolehan poligami tersebut karena Allah SWT telah menjelaskan dengan sangat gamblang tentang hal ini :
"Maka nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat." (QS an-Nisaa’ [4]: 3)
Imam Suyuthi menjelaskan bahwa pada ayat di atas terdapat dalil, bahwa jumlah isteri yang boleh digabungkan adalah empat saja (fiihi anna al-‘adada alladziy yubahu jam’uhu min al-nisaa’ arba’ faqath) (Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 59).
Sababun nuzul ayat ini, bahwa Urwah bin Zubair RA
bertanya kepada ‘Aisyah tentang ayat QS An-Nisaa` : 3 yang lengkapnya
berbunyi :
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat pada tidak berbuat aniaya." (QS an-Nisaa’ [4]: 3)
Maka ‘Aisyah menjawab,"Wahai anak saudara
perempuanku, yatim di sini maksudnya anak perempuan yang ada di bawah
asuhan walinya yang hartanya bercampur dengan harta walinya, dan harta
serta kecantikan yatim itu membuat pengasuh anak yatim itu senang
kepadanya lalu ingin menjadikan perempuan yatim itu sebagai isterinya.
Tapi pengasuh itu tidak mau memberikan mahar (maskawin) kepadanya dengan
adil, yakni memberikan mahar yang sama dengan yang diberikan kepada
perempuan lain. Karena itu pengasuh anak yatim seperti ini dilarang
mengawini anak-anak yatim itu kecuali kalau mau berlaku adil kepada
mereka dan memberikan mahar kepada mereka lebih tinggi dari biasanya.
Dan kalau tidak dapat berbuat demikian, maka mereka diperintahkan kawin
dengan perempuan-perempuan lain yang disenangi." (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) (Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunah (terj), VI/136-137).
Namun demikian, kebolehan poligami pada ayat di atas
tidaklah harus selalu dikaitkan dengan konteks pengasuhan anak yatim,
sebagaimana khayalan kaum liberal yang bodoh. Sebab sebagaimana sudah
dipahami dalam ilmu ushul fiqih, yang menjadi pegangan (al-‘ibrah) adalah bunyi redaksional ayat yang bersifat umum (fankihuu maa thaab lakum mina an-nisaa` dst),
bukan sebab turunnya ayat yang bersifat khusus (pengasuhan anak yatim).
Jadi poligami boleh dilakukan baik oleh orang yang mengasuh anak yatim
maupun yang tidak mengasuh anak yatim. Kaidah ushul fikih menyebutkan :
Idza warada lafzhul ‘umuum ‘ala sababin khaashin lam yusqith ‘umumahu
"Jika terdapat bunyi redaksional yang umum karena
sebab yang khusus, maka sebab yang khusus itu tidaklah menggugurkan
keumumannya." (Abdul Qadir Ad-Dumi tsumma Ad-Dimasyqi, Nuzhatul Khathir Syarah Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 1995], Juz II hal. 123)
Beberapa hadits menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW
telah mengamalkan bolehnya poligami berdasarkan umumnya ayat tersebut,
tanpa memandang apakah kasusnya berkaitan dengan pengasuhan anak yatim
atau tidak. Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata kepada Ghailan bin
Umayyah ats-Tsaqafi yang telah masuk Islam, sedang ia punya sepuluh
isteri,"Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikanlah yang lainnya!" (HR Malik, an-Nasa’i, dan ad-Daruquthni).
Diriwayatkan Harits bin Qais berkata kepada Nabi SAW,"Saya masuk Islam
bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan hal itu
kepada Nabi SAW maka beliau bersabda,"Pilihlah dari mereka empat orang." (HR Abu Dawud). (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/139).
Kebolehan poligami ini tidaklah tepat kalau dikatakan
"syaratnya harus adil." Yang benar, adil bukan syarat poligami,
melainkan kewajiban dalam berpoligami. Syarat adalah sesuatu sifat atau
keadaan yang harus terwujud sebelum adanya sesuatu yang disyaratkan (masyrut).
Wudhu, misalnya, adalah syarat sah shalat. Jadi wudhu harus terwujud
dulu sebelum sholat. Maka kalau dikatakan "adil" adalah syarat poligami,
berarti "adil" harus terwujud lebih dulu sebelum orang berpoligami.
Tentu ini tidak benar. Yang mungkin terwujud sebelum orang berpoligami
bukanlah "adil" itu sendiri, tapi "perasaan" seseorang apakah ia akan
bisa berlaku adil atau tidak. Jika "perasaan" itu adalah berupa
kekhawatiran tidak akan dapat berlaku adil, maka di sinilah syariah
mendorong dia untuk menikah dengan satu isteri saja (fa-in khiftum an-laa ta’diluu fa waahidah, "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja) (QS an-Nisaa` : 3).
Adapun keadilan yang merupakan kewajiban dalam poligami sebagaimana dalam QS an-Nisaa` : 3, adalah keadilan dalam nafkah dan mabit (giliran bermalam). Nafkah tujuannya adalah mencukupi kebutuhan para isteri yaitu mencakup sandang (al-malbas), pangan (al-ma`kal), dan papan (al-maskan). Sedang mabit, tujuannya bukanlah untuk jima’ (bersetubuh) semata, melainkan untuk menemani dan berkasih sayang (al-uns),
baik terjadi jima’ atau tidak. Jadi suami dianggap sudah memberikan
hak mabit jika ia sudah bermalam di sisi salah seorang isterinya,
walaupun tidak terjadi jima’ (Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Juz IV, hal. 206-217).
Yang dimaksud "adil" bukanlah "sama rata" (secara kuantitas) (Arab : al-taswiyah),
melainkan memberikan hak sesuai keadaan para isteri masing-masing.
Namun kalau suami mau menyamakan secara kuantitas juga boleh, namun ini
sunnah, bukan wajib. Isteri pertama dengan tiga anak, misalnya, tentu
kadar nafkahnya tidak sama secara kuantitas dengan isteri kedua yang
hanya punya satu anak. Dalam hal mabit (bermalam), wajib sama secara
kuantitas antar para isteri. Namun isteri yang sedang menghadapi masalah
misalnya sedang sakit atau stress, dapat diberi hak mabit lebih banyak
daripada isteri yang tidak menghadapi masalah, asalkan isteri lainnya
ridha. (Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Juz IV, hal. 206-208; Lihat secara khusus cara berlaku adil terhadap isteri-isteri dalam Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), [Jakarta : Darus Sunnah Press], 2006).
Adapun "adil" dalam QS an-Nisaa’ : 129 yang
mustahil dimiliki suami yang berpoligami, maksudnya bukanlah "adil"
dalam hal nafkah dan mabit, melainkan adil dalam "kecenderungan hati" (al-mail al-qalbi). Allah SWT berfirman :
"Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu) walau pun kamu sangat ingin berbuat demikian." (QS an-Nisaa’ [4] : 129).
Imam Suyuthi menukil pendapat Ibnu Abbas RA, bahwa "adil" yang mustahil ini adalah : rasa cinta dan bersetubuh (al-hubb wa al-jima’) (Lihat Imam Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 83).
Sayyid Sabiq menukilkan riwayat, bahwa Muhammad bin Sirin berkata,"Saya telah mengajukan pertanyaan dalam ayat ini kepada ‘Ubaidah. Jawabnya,’Yaitu dalam cinta dan bersetubuh." (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/143).
Maka tidaklah benar pendapat kaum liberal yang
mengharamkan poligami berdasarkan dalil ayat di atas (QS 4 : 129) yang
dikaitkan dengan kewajiban adil dalam poligami (QS 4 : 3). Mereka
katakan, di satu sisi Allah mewajibkan adil tapi di sisi lain keadilan
adalah mustahil. Lalu dari sini mereka menarik kesimpulan bahwa
sebenarnya poligami itu dilarang alias haram. Mereka menganggap keadilan
pada dua ayat tersebut adalah keadilan yang sama, bukan keadilan yang
berbeda. Padahal yang benar adalah, keadilan yang dimaksud QS 4:3
berbeda dengan keadilan yang dimaksud dengan ayat QS 4:129.
Pemahaman kaum liberal tersebut tidak benar, karena
implikasinya adalah, dua ayat di atas akan saling bertabrakan
(kontradiksi) satu sama lain, di mana yang satu meniadakan yang lain.
Padahal Allah SWT telah menyatakan tidak adanya kontradiksi dalam
Al-Qur`an. Allah SWT berfirman :
"Kalau sekiranya al-Qur`an itu dari sisi selain Allah, niscaya akan mereka dapati pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS an-Nisaa` [4] : 82).
Mengkritisi Beberapa Penolakan Poligami
Berikut ini bantahan terhadap beberapa penolakan terhadap bolehnya poligami.
1. Katanya Poligami Hanya Boleh Dalam Kondisi Darurat
Ada orang yang menolak poligami dengan ungkapan bahwa poligami adalah "emergency exit door"
(pintu keluar darurat). Ini tidak benar dan tidak sesuai dengan
pengertian darurat dalam fiqih dan ushul fiqih. Darurat menurut Imam
Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa an-Nazha`ir fi al-Furu’,
adalah "sampainya seseorang pada suatu batas (kondisi) yang jika dia
tidak mengerjakan yang haram, maka dia akan mati atau hampir mati" (wushuuluhu haddan in lam yatanawal al-mamnu’ halaka aw qaaraba).
Ini artinya, seorang laki-laki baru boleh berpoligami kalau sudah payah
sekali keadaannya, yakni hampir mati kalau tidak berpoligami. Kasihan
sekali. Ini tentu menggelikan dan tidak benar.
Pendapat yang membolehkan poligami dalam kondisi
darurat berarti menganggap poligami itu hukum asalnya haram (seperti
daging babi), dan baru dibolehkan (sebagai hukum rukhshah) jika tak ada
jalan keluar selain poligami. Padahal hukum asal poligami bukan haram,
tapi mubah. Inilah yang benar.
2. Katanya Nabi Melarang Ali bin Abi Thalib Poligami
Ada orang yang mengharamkan poligami dengan alasan
Rasulullah SAW telah melarang Ali bin Abi Thalib berpoligami. Suatu saat
Ali yang sudah beristerikan Fatimah meminta izin kepada lalu Rasulullah
SAW untuk menikah lagi dengan putri Abu Jahal, lalu Rasulullah SAW
bersabda : "Tidak aku izinkan, tidak aku izinkan, tidak aku izinkan,
kecuali Ali bin Abi Thalib rela untuk menceraikan putriku dan menikahi
putrinya Abu Jahal. Sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku,
menyenangkan aku apa yang menyenangkannya, meyakitiku apa yang
menyakitinya."
Jika dilihat sampai disini, seolah-olah Rasulullah
SAW mengharamkan poligami. Kaum liberal yang curang biasanya hanya
menyampaikan hadits di atas tanpa melihat hadits yang sama dari jalur
periwayatan yang lain. Padahal dalam jalur riwayat lain ada pernyataan
Nabi SAW yang justru sangat penting kaitannya dengan status hukum
poligami. Sabda lalu Rasulullah SAW tersebut : "Sungguh aku tidaklah mengharamkan sesuatu yang halal, dan tidak pula menghalalkan sesuatu yang haram. Akan tetapi, demi Allah, tidak akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri musuh Allah dalam suatu tempat selama-lamanya" (HR Bukhari)
Sabda Rasul yang terakhir ini dengan jelas
menunjukkan bahwa poligami itu adalah halal, bukan haram. Jadi larangan
Rasul kepada Ali yang ingin memadu Fatimah dengan putri Abu Jahal
bukanlah karena Rasulullah SAW mengharamkan poligami, melainkan
karena lalu Rasulullah SAW tidak senang Ali mengumpulkan putri
Rasulullah SAW dengan putri musuh Allah di bawah lindungan seorang
lelaki. Ini dapat dipahami dari kalimat selanjutnya yaitu "Akan
tetapi, demi Allah, tidak akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri
musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam suatu tempat selama-lamanya".
Bahkan Ali sendiri sebenarnya berpoligami, setelah
meninggalnya Fathimah. Ibnu Uyainah mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib
mempunyai empat isteri dan 19 budak perempuan, setelah wafatnya Fatimah
RA (Imam Suyuthi, Nuzhatul Muta`ammil wa Mursyidul Muta`ahhil fi al-Khathib wa al-Mutazawwij, [Beirut : Dar Amwaj, 1989, hal 17]
3. Katanya Poligami Yang Menimbulkan Bahaya (Dharar) Haram
Ada orang yang mencoba menolak poligami berdasarkan survei dari data-data empiris yang menjelaskan berbagai bahaya (dharar) dari poligami, misalnya percekcokan antar isteri, rawan penyakit seksual, dan sebagainya.
Secara metodologis (ushul fiqih), cara
berpikir itu salah, sebab tindakan itu berarti menjadikan akal sebagai
satu-satunya alat untuk mengetahui status hukum syara’. Padahal akal
tidak dapat secara independen memutuskan halal-haramnya sesuatu hanya
bertolak dari fakta-fakta empiris semata. Akal tugasnya adalah memahami
teks wahyu, bukan untuk menyimpulkan status hukum secara mandiri
terlepas dari teks.
Di sinilah tepat sekali Imam Ghazali mengatakan, "Al-Ahkam as-sam’iyah laa tudraku bi al-‘aql," (Hukum-hukum syar’i tidaklah dapat dijangkau dengan akal semata) (Imam Ghazali, Al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushul, Juz I hal. 127).
Ada pula yang menggunakan data-data tersebut untuk menolak poligami, dengan ditambah argumen berupa kaidah fiqih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih
(menolak kerusakan, lebih didahulukan daripada memperoleh
kemaslahatan). Jadi, pendapat itu menyatakan poligami harus dilarang,
karena melarang poligami artinya adalah menolak kerusakan, yang harus
didahulukan daripada mencari kemaslahatan, yaitu melakukan poligami).
Pendapat itu batil. Sebab pengamalan kaidah fiqih itu
dapat dikatakan sebagai ijtihad. Padahal ijtihad tidak berlaku jika ada
nash yang qath’i (pasti) dalam suatu masalah. Kaidah fikih menyebutkan laa ijtihaada fi maurid al-nash (Tidak boleh melakukan ijtihad pada saat ada nash yang qath’i). Dalam hal ini telah ada nash yang qath’i yaitu QS 4:3 yang membolehkan poligami. Jika ada nash yang qath’i, tidak boleh lagi berijtihad pada nash yang qath’i itu, apalagi sampai hasil ijtihadnya membatalkan hukum dalam nash qath'i itu..
Tindakan yang benar seharusnya bukan melarang
poligami, melainkan meluruskan penyimpangan dalam berpoligami, atau
menghilangkan bahaya yang muncul dalam berpoligami. Kaidah fiqih
menyebutkan adh-dharaar yuzaalu syar’an (Segala bahaya
wajib secara syar’i untuk dihilangkan). Jadi, kalau dalam berpoligami
seorang suami berbuat zalim, misalnya tidak adil dalam nafkah, atau suka
memukul isteri, maka yang dilakukan bukan membubarkan poligami,
melainkan mengadukan masalah tersebut kepada hakim (peradilan Islam).
Hakim dapat memberikan sanksi syar’i (ta’zir) kepada suami
dan mewajibkan suami agar memenuhi hak-hak isteri. Ibaratnya, kalau
mobil kita rusak, misalnya AC rusak atau ban bocor, solusinya bukanlah
membuang mobil itu. Tapi bawalah mobil itu ke bengkel dan perbaikilah.
Inilah yang haq.
5. Penutup
Sesungguhnya hukum Allah dalam masalah poligami sudah
sangat jelas dan tidak perlu kita terlalu bertele-tele untuk
menerangkan kebolehannya. Yang halal telah jelas dan yang haram pun
telah jelas pula.
Namun bagaimana pun juga, kita harus sadar bahwa akan
selalu ada sebagian umat Islam yang bertaqlid buta dan membebek kepada
kaum kafir. Ketika kaum kafir menolak poligami dan membolehkan zina,
akan selalu ada di antara umat Islam ini yang mengikuti jalan hidup
sesat tersebut. Jadi, tidak usah terlalu heran. Mereka memang ada.
Mereka itu saat ini adalah kelompok liberal (sekuler)
yang mengabdikan dirinya secara tulus kepada kaum penjajah yang kafir.
Mereka inilah yang harus selalu kita waspadai agar umat terlindung dari
tipu daya mereka yang sangat keji, karena mereka mempropagandakan paham
kufur dengan dalil-dalil agama yang dimanipulasi untuk kepentingan
penjajah. Kejahatan kaum liberal ini wajib kita hentikan dan kita
hancurkan.
Marilah kita renungkan dengan seksama sabda Rasulullah SAW :
"Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan
(hidup) orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkjal, sehasta
demi sehasta, hingga kalau pun mereka masuk ke lubang biak, kamu akan
mengikuti mereka. Kami [para sahabat] berkata,’Wahai Rasulullah,
[apakah mereka itu] orang Yahudi dan Nashrani?’ Rasuluyllah
menjawab,"Lalu siapa [kalau bukan mereka]?" (HR Bukhari dan Muslim). [ ]
= = = = = = =
*Makalah disampaikan dalam Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan
(FKSK), kerjasama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Taklim Wisma
Dharmala Sakti (WDS), Khilafah Center, Tabloid Suara Islam, Forum Umat
Islam dan YPI Al Azhar, Tema "Poligami Ditentang, Poligami Dibutuhkan ", diselenggarakan
pada Senin, 18 Desember 2006, di Aula Buya Hamka, Masjid Agung Al
Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Lama - Jakarta Selatan.
**Ketua Lajnah Tsaqofiyah HTI DIY; Dosen STEI
Hamfara Yogyakarta; Pengasuh Ma’had Taqiyuddin an-Nabhani Yogya; dan
Pengelola Situs www.khilafah1924.org
DAFTAR PUSTAKA
Abu Lu'bah, Abdurrahim Faris, Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri,
(Disertasi Doktor), Beirut : Jamiah Beirut al-Islamiyah Kulliyah
Asy-Syariah li Dar al-Fatwa Lubnan Idarat al-Dirasat al-Ulya, 2005
Alhamdani, H.S.A, Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam
Al-Jaziry, Abdurrhaman, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz IV, (Beirut : Darul Fikr), 1996
Al-Khalidi, Musthafa & Farrukh, Umar, al-Tabsyir wa al-Isti’mar fi al-Bilad al-Arabiyah, (Beirut : al-Maktabah al-'Arabiyah), 1986
Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdus Salam, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr al-Rahin,(Beirut : Darul Bayariq), 1992
Amal, Taufik Adnan & Panggabean, Samsu Rizal, Politik Syariat Islam, (Jakarta : Pustaka Alvabet), 2005
As-Sanan, Ariij Binti Abdurrahman, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), (Jakarta : Darus Sunnah Press), 2006
Baharun, Mohammad, Isu Zionisme Internasional
Deedat, Ahmed, The Choice Dialog Islam-Kristen
Ghazali, Imam, Al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushul
Jameelah, Maryam, Islam and Modernism, (Lahore : Muhammad Yusuf Khan and Sons), 1988
Pack, David C., The Truth About Polygamy, http://www.thercg.rg
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunah, Jilid VI, (Bandung : PT Almaarif), 1983
Said, Busthami Musthofa, Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhum Tajdid al-Din), (Bekasi : Wacanalazuardi Amanah), 1996
Tha’imah, Shabir, Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami, (Beirut : ‘Alam al-Kutub), 1984
Coulson, Noel J, "Konsep Tentang Kemajuan dan Hukum Islam", dalam Ahmad Ibrahim dkk (Ed.), Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : LP3ES), 1990
Suyuthi, Imam, Nuzhatul Muta`ammil wa Mursyidul Muta`ahhil fi al-Khathib wa al-Mutazawwij, (Beirut : Dar Amwaj), 1989
----------, al-Asybah wa an-Nazha`ir fi al-Furu’, (Semarang : Usaha Keluarga), tanpa tahun
|
|
Last Updated ( Friday, 14 December 2007 ) |
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Masyarakat/Poligami.html
Hksuyarto’s Weblog
May 26, 2008
KEADILAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ( Aspek Sosiologis Yuridis )
ABSTRAK
Poligami merupakan permasalahan dalam
perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus controversial.
Poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat
normative, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan
gender.
Melihat fenomena tersebut penulis
menelusuri poligami dalam tataran sosiologis yuridis, yang akhirnya
memberi kesimpulan bahwa, Hukum Perkawinan Islam membolehkan bagi
seorang suami melakukan poligami dengan syarat yakin atau menduga kuat
mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, sebagaimana yang di
isyaratkan oleh kata kunci 3 surat al-Nisa’: “maka jika kamu takut tidak
akan mampu berlaku adil, maka kawinlah seorang istri saja”. Kebolehan
poligami ini bukan anjuran tetapi salah satu solusi yang diberikan dalam
kondisi khusus kepada mereka (suami) yang sangat membutuhkan dan
memenuhi syarat tertentu.
Kata Kunci:poligami, gender, yuridis
Pendahuluan
Keputusan
da’i kondang Abdullah Gymnastiar atau yang akrab disapa Aa Gym untuk
berpoligami ternyata tidak hanya mengundang gejolak masyarakat di
seluruh tanah air. Presidenpun kebagian repot, selama sepekan
ponsel Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan ibu negara Ani Yudhoyono
kebanjiran SMS dari masyarakat mengomentari poligami (Tabloid Harian
Republika Dialoq Jum’at, 8 Desember 2006)
Menanggapi
hal itu, Presiden secara khusus memanggil Menneg Pemberdayaan
perempuan, sekretaris kabinet dan Dirjen Binmas Islam untuk menanggapi
gejolak yang muncul di masyarakat. Hasil pembicaraan Presiden dengan
ketiga pejabat negara tersebut adalah pemerintah merasa perlu untuk
melindungi kaum perempuan dan ketentraman di masyarakat dengan rencana
merivisi PP No. 45 Tahun 1990 agar diperluas keberlakuannya tidak hanya
untuk pegawai negeri sipil dan anggota TNI/ Polri tetapi juga untuk
masyarakat umum.
Poligami
merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak
diperdebatkan sekaligus controversial. Poligami ditolak dengan berbagai
macam argumentasi baik yang bersifat normative, psikologis bahkan selalu
dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Para penulis barat sering
mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang
perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Poligami
dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normative yang tegas dan
dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena
selingkuh dan prostitusi (Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, 2004:
156).
Poligami
memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia
itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan
sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu
dapat disebut poligami tak terbatas, bahkan lebih dari itu tidak ada
gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah menentukan sepenuhnya
siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak
terbatas. Isrti-istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha
memperoleh keadilan (Asghar Ali Engineer, 2003: 111).
Kedatangan
Islam dengan ayat-ayat poligaminya ( Q.S. an-Nisa’ ; 3 dan 129 ),
kendatipun tidak menghapus praktek poligami, namun Islam membatasi
kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat
yang ketat pula seperti keharusan adil di antara istri (Abdurrahman I.
Do’i, 2002 : 193-195). Menurut Asghar, sebenarnya dua ayat
diatas menjelaskan betapa al-Qur’an begitu berat untuk menerima
institusi poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi
yang ada, oleh karena al-Qur’an membolehkan laki-laki kawin hingga empat
orang istri, dengan syarat harus adil. Asghar mengutip al-Tabari, inti
ayat diatas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana
berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka
(Asghar Ali Engineer, 2003: 112-113).
Menurut
hukum Islam (fiqh), kebolehan hukum poligami telah menjadi kesepakatan
ulama walaupun dengan persyaratan yang ketat, yaitu harus berlaku adil
terhadap istri-istrinya.
Berkenaan
dengan syarat adil, hal ini sering menjadi perdebatan yang panjang
tidak saja dikalangan ahli hukum tetapi juga di masyarakat. Oleh sebab
itu, dalam makalah ini, penulis mencoba mengkaji, yang pertama ; latar belakang sosiologis sebab turun (Asbabun Nuzul) ayat tentang poligami. Kedua, keabsahan hukum poligami, Ketiga, makna keadilan dalam perkawinan poligami. Keempat, apa yang menjadi illat hukum kebolehan poligami dalam perkawinan.
Hukum Islam
Istilah
Hukum Islam sering diidentikkan dengan Syari’ah dan Fiqh. Ketiga
istilah ini dilihat dari asal usulnya sama-sama berdasarkan al Qur’an
dan Al Hadits. Namun bila dilihat dari metodologinya mempunyai perbedaan
yang signifikan. Syari’ah adalah “al-Nushus al-Muqaddasah” (nash-nash hukum atau norma-norma hukum yang tertulis) dalam wahyu Allah dan al –Sunnah al-Mutawatirah
yang sama sekali belum atau tidak tercampuri oleh daya nalar manusia
sehingga ia tetap dan tidak bisa berubah dan tidak boleh dirubah karena
ia sebagai wahyu Allah. Adapun fiqh adalah pemahaman atau hasil
pengembangan interpretasi nalar manusia (ijtihad mujtahid) dari Syari’ah
(al Qur’an dan al Hadits) sehingga ia bisa berubah dan berkembang
sesuai dengan kapasitas daya nalar mujitahid dan perkembangan zaman.
Sedangkan Hukum Islam meliputi norma-norma hukum yang terdapat dalam al
qur’an dan al Hadits ( wahyu Allah ) yang belum melibatkan daya nalar
manusia dan norma-norma hukum yang dihasilkan oleh daya nalar manusia (
Fiqh Ijtihadi ) sebagai hasil pengembangan pemahaman al Qur’an
dan al Hadits yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan daya nalar
manusia (Satria Efendi, 1991 : 24 – 25).
Berangkat
dari pemikiran diatas, menjadi jelas perbedaan antara syari’ah dengan
fiqh. Syari’ah adalah wahyu itu sendiri yang belum tercampuri oleh daya
nalar manusia. Oleh sebab itu ia bersifat tsubut (tetap) dan
tidak berubah. Sementara fiqh adalah hasil dari proses penalaran
(pemahaman) mujtahid terhadap wahyu. Karena itu, ia bersifat tathawur (berkembang),
bervariasi sesuai dengan tingkat kemampuan daya nalar mujtahid. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa hukum Islam lebih luas dari syar’ah dan
fiqh. Hukum Islam sebagai wahyu Allah (belum tercampuri daya nalar
manusia) adalah syari’ah. Hukum Islam sebagai pemahaman terhadap wahyu
adalah fiqh. Dalam keterpaduan dua sifat ini (dimensi) inilah hukum
Islam bisa bertahan sepanjang masa dan berkembang, tidak kaku dalam
berbagai situasi dan kondisi sosial.
Pengertian Perkawinan
Dalam al-Qur’an , istilah perkawinan biasa disebut dengan nikah dan misaq
(perjanjian) (surat al-Nisa’ ; 3 dan al-Nur ; 32 dengan kata misaq
dalam surat al-Nisa’ ; 21). Nikah ada yang mengartikan sebagai ittifaq (kesepakatan) dan mukhalathat
(percampuran) (Rif’at Syauqi Nawawi, 1994: 98) dan ada pula yang
mengartikan dengan arti sebenarnya bahwa nikah berarti
“dham”(menghimpit), atau “menindih”. Sementara arti kiasan nikah berarti
“wathaa” (setubuh) atau “aqad” (mengadakan perjanjian pernikahan) (Ali
Maqri al-Fayumi, 1974 :11). Dalam pemakaian bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak dipakai dalam arti kiasan dari pada arti yang sebenarnya.
Dalam
masalah perkawinan, para ahli fiqh mengartikan nikah menurut arti
kiasan. Mereka berbeda pendapat tentang arti kiasan yang mereka pakai.
Abu Hanifah memakai arti “setubuh”, sedang Asy Syafi’i memakai arti
“mengadakan perjanjian perikatan” (Abd. Al-Rahman al-Jazairi, 1969:
1-2). Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum dan pemakaian
perkataan “nikah” di dalam al-Qur’an dan Hadits-Hadits, maka “nikah”
dengan arti “perjanjian perikatan” lebih tepat dan banyak dipakai dari
pada “nikah” dengan arti “setubuh” (Kamal Muchtar, 174: 12).
Persoalan
pernikahan adalah persoalan manusia yang banyak seginya, mencakup
seluruh segi kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan
perselisihan. Karena itu adanya kepastian hukum bahwa telah terjadi
suatu perkawinan sangat diperlukan. Dalam hal ini telah terjadinya suatu
aqad (perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan
alat-alat buktinya, sedang telah terjadinya suatu persetubuhan sulit
mengetahuinya dan sukar membuktikannya. Pemakaian kata “nikah” yang
diartikan dengan “perjanjian perikatan” dapat dilihat dalam surat al-Nur
ayat 32, surat al-Baqarah ayat 221, surat al-Nisa ayat 21, demikian
pula perkataan “nikah” yang terdapat dalam hadits Nabi yang pada umumnya
diartikan “perjanjian perikatan”, seperti hadits nabi Saw :
قال رسول الله صلعم ؛ لا نِكاحَ الا بوَلِيّ
Rasulullah Saw bersabda : “Tidak ada (aqad) nikah kecuali dengan wali” (HR. Imam yang lima).
Perkawinan yang disyari’atkan oleh hukum Islam mempunyai beberapa segi di antaranya : Pertama,
segi ibadah ; perkawinan mempunyai unsur ibadah. Melaksanakan
perkawinan berarti melaksanakan sebahagian dari ibadah dan berarti pula
telah menyempurnakan sebahagian dari agama. Rasullah mencela dengan
keras para sahabat yang ingin menandingi ibadatnya dengan cara ;
berpuasa setiap hari, bangun setiap malam untuk bertibadat, hidup
menyendiri dan tidak akan kawin, karena perbuatan yang demikian
menyalahi sunnahnya, sebagaimana dalam sabdanya :
”
Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar orang yang paling takut
diantara kamu kepada Allah dan orang paling taqwa diantara kamu
kepadaNya, tetapi aku berpuasa, berbuka, bersembahyang (ditengah malam),
tidur dan aku mengawini wanita. Maka barang siapa yang membenci
sunnahku bukanlah ia termasuk (umat) ku”. (HR. Jama’ah).
Kedua,
segi hukum; perkawinan merupakan suatu perjanjian yang kuat (Qs.
Al-Nisa’ ; 21), dalam arti perkawinan tidak dapat dilangsungkan tanpa
persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan dan akibat perkawinan ,
masing-masing pihak terikat oleh hak dan kewajiban, bagi suami yang
hendak berpoligami ditentukan syarat-syaratnya, termasuk jika terjadi
pemutusan hubungan perkawinan harus melalui prosedur dan alasan-alasan
kuat.
Ketiga,
segi sosial; perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa
saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota
keluarga. Karena itu Rasulullah Saw melarang kerahiban, hidup menyendiri
dengan tidak kawin yang menyebabkan tidak mendapatkan keturunan,
keluarga dan melenyapkan umat.
Berdasarkan
penjelasan makna nikah dari berbagai segi sebagaimana yang dikemukakan
diatas, dapatlah dirumuskan bahwa perkawinan adalah perjanjian
perikatan anatara pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk
melaksanakan kehidupan suami istri, hidup berumah tangga, melanjutkan
keturunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum agama.
Asas
perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami. Ketentuan ini didasarkan
ayat 3 surat al-Nisa’: “maka jika kamu takut tidak akan mampu berlaku
adil, maka kawinlah seorang istri saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Kelanjutan dari perkawinan monogamy, adalah perkawinan ppologami yaitu
perkawinan seorang suami (laki-laki) dengan lebih dari seorang istri
(Sayuti Thalib, 1974: 57-58). Kebalikan dari perkawinan poligami adalah
poliandri yaitu seorang wanita (istri) mempunyai lebih dari seorang
laki-laki (suami). Perkawinan ini dilarang oleh hokum Ilsm berdasarkan
surat al-Nisa ayat 24 yang menyebutkan bahwa janganlah kamu kawini
seorang wanita yang sedang bersuami. Dilihat dari segi wanita yang
bersangkutan, maka ketentuan ayat ini berupa larangan untuk
berpoliandri. Sedangkan dilihat dari segi seorang laki-laki yang akan
berpoligami, ayat ini berarti melarang berpoligami terhadap wanita yang
sedang bersuami.
Asa
monogamy dalam hokum perkawinan di Indonesia didasarkan pada ayat 3
Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang pada asasnya bahwa dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Sementara
larangan berpoliandri bagi seorang wanita, juga didasarkan pada ayat 3
Undang-Undang tersebut yang menyatakan seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami.
Undang-Undang
No.1 Tahun 1974, meskipun menganut asas monogamy, tetapi membuka
kemungkinan bagi seorang suami untuk berpoligami dengan syarat harus
mendapat izin dari Pengadilan Agama dengan disertai alasan-alasan: Pertama, istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. Kedua, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ketiga, istri tidak dapat melahirkan keturunan. Keempat, ada izin dari istri pertama. Kelima,
ada kepastian bahwa suami mampu menjalin keperluan-keperluan hidup pada
istri dan anak-anaknya (Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Pasal 5, juga Kompilasi Hukum Islam Buku I Tentang perkawinan
Bab IX PAsal 56-58).
Tujuan dan Hikmah Perkawinan
Tujuan
perkawinan dalam hukum Islam dapat dipahami dari pernyataan al-Qur’an
yang menegaskan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Swt ialah
bahwa ia menciptakan isteri-isteri bagi para lelaki dari jenis mereka
sendiri, agar mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah
menjadikan atau menumbuhkan perasaan cinta dan kaish sayang ( mawaddah
wa rahmah) di antara mereka. Yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka yang mau berfikir (QS. Al-Rum ; 21
). Dalam ayat lain mengisyaratkan bahwa para isteri adalah pakaian
(libas) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami adalah
pakaian bagi para isteri (QS. Al-Baqarah ; 187).
Kehidupan
yang tenteram (sakinah) di balut dengan perasaan cinta kasih yang
ditopang saling pengertian di antara suami isteri, karena baik suami
atau isteri menyadari bahwa masing-masing sebagai “pakaian” bagi
pasangannya. Itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama
disyar’atkannya perkawinan. Suasana kehidupan keluarga yang demikian,
dapat diwujudkan dengan mudah apabila perkawinan dibangun di atas dasar
yang kokoh, antara lain antara suami isteri ada dalam sekufu’ (kafa’ah).
Pentingnya kafa’ah dalam perkawinan sangat selaras dengan tujuan
perkawinan di atas ; suatu kehidupan suami isteri yang betul-betul
sakinah dan bahagia. Suami isteri yang sakinah dan bahagia akan mampu
mengembangkan hubungan yang intim dan penuh kemesraan, yang pada
gilirannya akan melahirkan generasi pelanjut yang bertaqwa (li
al-muttaqina imama) (QS. Al-Furqon; 74).
Abbas al-Mahmud al-Aqqad mengemukakan bahwa perkawinan disamping
bertujuan melestarikan keturunan yang baik, juga untuk mendidik jiwa
manusia agar bertambah rasa kasih sayangnya, bertambah kelembutan jiwa
dan kecintaannya, dan akan terjadi perpaduan perasaan antara dua jenis
kelamin. Sebab antara keduanya ada perbedaan cita rasa, emosi
kesanggupan mencintai, kecakapan dan lain-lain (Abbas al-Mahmud
al-Aqqad, 101).
Hikmah
perkawinan sangat berkaitan erat dengan tujuan manusia diciptakannya ke
muka bumi. Al-Jurjani menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia
dengan tujuan untuk memakmurkan bumi, di mana bumi dan segala isinya
diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran
bumi secara lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang bumi
masih ada. Pelestarian keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak,
sehingga eksistensi bumi di tengah-tengah alam semesta tidak menjadi
sia-sia. Pelestarian manusia secara wajar dibentuk melalui perkawinan.
Maka, demi memakmurkan bumi, perkawinan mutlak diperlukan. Ia merupakan
syarat mutlak bagi kemakmuran bumi (Ali Ahmad al-Jurjani, 102). Lebih
lanjut ia mengatakan kehudupan manusia laki-laki tidak akan rapi, tenang
dan mengasyikkan, kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Itu bisa
diwujudkan jika ada tangan trampil dan professional, yaitu tangan-tangan
lembut kaum permpuan, yang memang secara naluriyah mampu mengelola
rumah tangga secara baik., rapi dan wajar. Karena itu perkawinan
disyari’atkan bukan hanya demi memakmurkan bumi, tetapi tak kalah
penting adalah supaya kehadiran manusia yang teratur dan rapi dapat
tercipta.. Kehadiran perempuan di sisi lelaki (suami) melalui perkawinan
sangatlah penting.
Latar Belakang Sosiologis Sebab Turun Ayat Poligami
Firman Allah surat al-Nisa’ ayat 3 berbunyi :
وَاِنْ خِفتمْ الا تقسِطُوْا فِي اليَتامَى
فانكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِسَاءِ مثنى و ثلاث ورباع, فانْ
خِفتمْ الا تعْدِلُوْا فوَاحِدَةٍ اوْمَا مَلكتْ ايْمَانكمْ ذلك اَدْنى الا
تعْدِلوْا
Jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir
tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak
yang kamu meiliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.
Para
ulama fiqh sepakat bahwa kebolehan poligami dalam perkawinan didasarkan
pada firman Allah Swt. surat al-Nisa’ ayat 3 diatas. Ayat 3 al-Nisa’
ini masih ada kaitannya dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 2 al-Nisa’.
Ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim,
bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak
yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah ;
sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang
mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan
adil dan fair, yakni si wali wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya
kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya
dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau
menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini
berdasarkan keterangan Aisyah ra waktu ditanya oleh Urwah bin al-Zubair
ra mengenai maksud ayat 3 surat al-Nisa’ tersebut (Rasyid Ridho,.
344-345). Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak
bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak boleh
mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu,
tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri
sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap
isteri-isterinya. Jika ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap
isteri-isterinya, maka ia hanya beristeri seorang, dan ini pun ia tidak
boleh berbuat dholim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih
takut pula kalau berbuat zalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka
tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya
dengan budak wanitanya.
Rasyid
Ridho lebih lanjut mengemukakan bahwa maksud ayat 3 surat al-Nisa’
ialah untuk memberantas atau melarang tradisi zaman jahiliyyah yang
tidak manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak wanita
yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud
untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah serta ia menghalangi
anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan
harta anak tersebut. Demikian pula tradisi zaman jahiliyyah yang
mengawini isteri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak
manusiawi, dilarang oleh Islam berdasarkan ayat tersebut (Rasyid Ridho,
347-348).
Hukum Poligami Dalam Islam
Ayat
3 surat al-Nisa sebagaimana yang ditulis dimuka secara ekplisit seorang
suami boleh beristri lebih dari seorang sampai batas maksimal empat
orang dengan syarat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya itu. Ayat
ini melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang
istri bagi seorang pria. Ketika turun ayat ini, Rasulullah memerintahkan
semua pria yang memiliki lebih dari empat istri, agar segera
menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal setiap orang hanya
memperistrikan empat orang wanita (M. Quraish Shihab, 1999: 199).
M.
Quraish Shihab lebih lanjut menegaskan bahwa ayat ini, tidak membuat
satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan
dilaksanakan oleh syari’at agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini
juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya
berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat
kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang
tidak ringan. Bukankah kemungkinan mandulnya seorang istri atau
terjangkit penyakit parah, merupakan satu kemungkinan yang tidak aneh?
Bagaimana jalan keluar bagi seorang suami, apabila menghadapi
kemungkinann tersebut? Bagaimana ia menyalurkan nafsu biologis atau
memperoleh dambaannya untuk memiliki anak? Poligami ketika itu adalah
jalan yang paling ideal. Tetapi sekali lagi harus di ingat bahwa ini
bukan berarti anjuran, apalagi kewajiban. Itu diserahkan kepada
masing-masing menurut pertimbangannya. Al-Qur’an hanya memberi wadah
bagi mereka yang menginginkannya.
Musfir
al-Jahrani kebolehan poligami di dalam al-qur’an adalah untuk
kemaslahatan di dunia dan akherat. Poligami bertujuan untuk memelihara
hak-hak wanita dan memelihara kemuliaannya. Kebolehan poligami terdapat
pesan-pesan strategis yang dapat diaktualisasikan untuk kebahagiaan
manusia. Poligami memiliki nilai sosial ekonomis untuk mengangkat harkat
dan martabat wanita. Muh. Abduh berpendapat bahwa poligami merupakan
tindakan yang tidak boleh dan haram. Poligami hanya dibolehkan jika
keadaan benar-benar memaksa seperti tidak dapat mengandung. Kebolehan
poligami juga mensyaratkan kemampuan suami untk berlaku adil. Ini
merupakan sesuatu yang sangat berat, seandainya manusia tetap bersikeras
untuk berlaku adil tetap saja ia tidak akan mampu membagi kasih
sayangnya secara adil (Khoiruddin Nasution, 1996 : 100).
Muhammad Asad mengatakan bahwa kebolehan poligami hingga maksimal empat
istri dibatasi dengan syarat, “jika kamu punya alasan takut, tidak mampu
memperlakukan adil terhadap istri , maka kawinilah satu, karena untuk
membuat perkawinan majemuk ini hanya sangat mungkin dalam kasus-kasus
yang luar biasa dan dalam kondisi yang luar biasa (Asghar Ali Engineer,
2003:117).
Masjfuk
Zuhdi menjelaskan bahwa Islam memandang poligami lebih banyak membawa
resiko atau madarat daripada manfaatnya. Karena manusia menurut
fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh.
Watak-watak tersebut mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam
kehidupan keluarga yang poligamis. Poligami bisa menjadi sumber konflik
dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan isteri-isteri
dan anak-anak dari isteri-isterinya, maupun konflik antara isteri
beserta anak-anaknya masing-masing. Oleh sebab itu, hukum asal
perkawinan dalam Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah
menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam
dalam keluarga monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang
poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan
cemburu, iri hati, dengki dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga
bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat membahayakan keutuhan
keluarga. Dengan demikian, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam
keadaan darurat, misalnya isterinya ternyata mandul (tidak dapat
membuahkan keturunan), isteri terkena penyakit yang menyebabkan tidak
bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri (Masjfuk Zuhdi, 1989:
12.).
Hukum
perkawinan yang baik ialah yang bisa menjamin dan memelihara hakekat
perkawinan, yaitu untuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau yang
mungkin akan terjadi. Perkawinan bukanlah merupakan hubungan jasmani
antara dua jenis hewan, bukan hubungan rohani antara dua malaikat.
Perkawinan adalah hubungan kemanusiaan antara lelaki dengan wanita untuk
menyongsong kehidupan dengan segala problemanya (Rif’at Syaukji Nawawi,
104-105.).
Kesepakatan
sepasang suami isteri untuk saling setia dan tetap sebagai sebuah
keluarga yang utuh memang merupakan dambaan dan suatu kesempurnaan
ruhani. Akan tetapi, kesempurnaan ruhani tidak dapat dipaksakan oleh
kekuatan hukum. Keutamaan di sini tentu bukan dalam arti seorang lelaki
mencukupkan untuk beristeri satu karena ketidakmampuannya beristeri dua
atau tiga. Keutamaan dalam hal ini adalah jika seorang pria sebenarnya
mampu beristeri lebih dari satu, tetapi ia tidak mau melakukannya. Atas
kemauannya sendiri ia tidak berpoligami, berdasarkan kesadaran bahwa
kebahagiaan spiritual terletak dari sikapnya yang menjauhkan diri dari
polgami. Jika beristeri satu karena terpaksa, itu tidak bedanya dengan
berpoligami (Rif’at Syaukji Nawawi, 104-105). Dalam kenyataanya,
adakalanya seorang pria beristeri satu tetapi secara diam-diam
berhubungan dengan sejumlah wanita lain. Perbuatan ini bukan saja
melanggar hukum agama tetapi juga tatakrama spiritual. Tidak ada
pihakpun yang diuntungkan oleh perbuatan ini, baik laki-laki, isterinya
maupun masyarakat. Sisi lain yang dapat menghancurkan kesucian
perkawinan adalah perkawinan hewani yang didasarkan atas selera jasmani
semata. Bila selera itu yang berkembang pada diri suami atau isteri,
maka tiada lagi kemesraan di anatara mereka, bahkan hubungan keduanya
tidak akan lestari. Sebaliknya, tidak mungkin memaksa manusia untuk
hidup seperti malaikat, tetapi juga tidak bisa membiarkan manusia
seperti hewan. Oleh sebab itu, sikap mengingkari kenyataan dan
kemaslahatan berarti menjadikan perkawinan semacam hubungan antara dua
malaikat, sekaligus berarti menjadikannya semacam hubungan antara dua
jenis hewan. Menegakkan hukum perkawinan atas dasar prinsip mengingkari
kenyataan dan kemaslahatan yang mempunyai dua ujung berlawanan itu,
secara asasi bertentangan dengan hukum itu sendiri. Pada dasarnya, hukum
perkawinan hanya dapat ditegakkan atas dasar kenyataan obyektif dan
dalam ruang lingkup yang seluas-luasnya; mengakui keutamaan monogami dan
tidak mutlak melarang poligami. Melarang sesuatu yang kurang sempurna
akan membuat terperosok kedalam kesalahan, yaitu menganggap semua orang
sempurna atau sanggup menempuh cara hidup yang sempurna. Itulah
ketetapan hukum perkawinan dalam Islam, yang mengakui monogami lebih
mendekati keadilan dan kebajikan, tetapi bersamaan dengan itu
membolehkan poligami, karena merupakan hal yang perlu diperhitungkan
dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, tidak seorangpun dapat
mengingkari terjadinya poligami yang sesuai hukum, dan tidak seorangpun
dapat berdalih menggunakan hukum untuk bertindak di luar hokum (Rif’at
Syaukji Nawawi, 106-107). Dalam berbagai keadaan tertentu, poligami
diperlukan untuk melestarikan kehidupan keluarga. Kemandulan seorang
istri atau penyakit yang menahun atau wanita yang telah hilang daya
tarik pisik atau mental yang akan menyeret terjadinya perceraian
daripada poligami. Sudah sepatutnya seorang isteri yang demikian
merelakan suaminya melakukan poligami, bila suaminya berkehendak sebagai
bukti tanggung jawabnya (isteri) dalam rangka melestarikan kehidupan
keluarga dan kemakmuran bumi (Maulana Muhammad Ali,.109).
Makna Keadilan Dalam Poligami
Surat
al-Nisa’ ayat 3 menegaskan bahwa syarat suami yang berpoligami wajib
berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Berkenaan dengan syarat berlaku
adil, hal ini sering menjadi perdebatan yang panjang tidak saja
dikalangan ahli hukum tetapi juga di masyarakat. Oleh sebab itu, apa
yang dimaksud berlaku adil atau makna keadilan sebagai syarat poligami.
Imam
Syafi’i, as-Sarakhsi dan al-Kasani mensyaratkan keadilan diantara para
istri, menurut mereka keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik semisal
mengunjungi istri di malam atau di siang hari (Khoiruddin Nasution,
103-105). Seorang suami yang hendak berpoligami menurut ulama fiqh
paling tidak memliki dua syarat : Pertama, kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri. Kedua,
harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus
diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain
(Abdurrahman I. Doi, 192).
Persyaratan
demikian, nampak sangat longgar dan memberikan kesempatan yang cukup
luas bagi suami yang ingin melakukan poligami. Syarat adil yang
sejatinya mencakup fisik dan non fisik, oleh Syafi’i dan ulama-ulama
Syafi’iyyah dan orang-orang yang setuju dengannya, diturunkan kadarnya
menjadi keadilan fisik atau material saja. Bahkan lebih dari itu, para
ulama fiqh ingin mencoba menggali hikmah-hikmah yang tujuannya adalah
melakukan rasionalisasi terhadap praktek poligami.
Al-Jurjawi menjelaskan ada tiga hikmah poligami. Pertama, kebolehan polgami yang dibatasi emapt orang istri menunjukkan bahwa manusia terdiri dari empat campuran di dalam tubuhnya. Kedua, batasan empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian laki-laki ; pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri. Ketiga,
bagi seorang suami yang memiliki empat orang istri berarti ia mempunyai
waktu senggang tiga hari dan ini merupakan waktu yang cukup untuk
mencurahkan kasih saying (Ali Ahmad al-Jarjawi, 10).
Muhammad
Husein al-Zahabi mendefinisikan adil sebagai adanya persamaan dalam
memberikan nafkah dan pembagian hari terhadap sesama istri dalam batas
yang mampu dilakukan oleh manusia (Pagar, dalam Analytica Islamica,
Vol.3, No.1, 2001, hal. 21). Mustafa al-Siba’i mengatakan bahwa
keadilan yang diperlukan dalam polgami adalah keadilan material seperti
yang berkenaan dengan tempat tinggal, pakaian, makanan, minum, perumahan
dan hal-hal yang bersifat kebutuhan material istri.
Berbagai
pendapat diatas, para ulama fiqh cenderung memahami keadilan secara
kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka. Muhamad Abduh
berpandangan lain, keadilan yang disyaratkan al-Qur’an adalah keadilan
yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang
semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka. Ayat al-Qur’an mengatakan
: “Jika kamu sekalian khawatir tidak bisa berlaku adil, maka kawinilah
satu isrti saja”(QS. An-Nisa ; 3). Muhammad Abduh menjelaskan, apabila
seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak istrinya, rusaklah
struktur rumah tangga dan terjadilah kekacauan dalam kehidupan rumah
tangga tersebut. Sejatinya, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah
tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota
keluarga (Ali Ahmad al-Jurjawi, 10-12.).
Mayoritas
ulama fiqh (ahli hukum Islam) menyadari bahwa keadilan kualitatif
adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Abdurrahman
al-Jaziri menuliskan bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan
kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi
orang yang berpoligami karena sebagai manusia, orang tidak akan mampu
berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu sebenarnya
sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya tertarik
pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini
merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol manusia (Abdurrahman
al-Jaziri, tt : 239).
M.
Quraish Shihab menafsirkan makna adil yang disyaratkan oleh ayat 3
surat al-Nisa’ bagi suami yang hendak berpoligami adalah keadilan dalam
bidang material. Sebagaimana yang ditegaskan oleh ayat 4 al-Nisa’ :
Kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu,
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu senderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang
lain terkatung-katung.
Keadilan
yang dimaksudkan dalam ayat diatas adalah adil dalam bidang
immaterial(cinta). Keadilan ini yang tidak mungkin dicapai oleh
kemampuan manusia. Oleh sebab itu suami yang berpoligami dituntut tidak
memperturutkan hawa nafsu dan berkelebihan cenderung kepada yang
dicintai. Dengan demikian, tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai
dalih untuk menutup rapat pintu poligami (M. Quraish Shihab, 1999: 201).
Berdasarkan
berbagai penafsiran ulama tentang makna adil dalam perkawinan poligami,
dapatlah dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat poligami dalam
perkawinan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Hal ini
menjadikan lebih mudah dilakukan dan poligami menjadi sesuatu lembaga
yang bisa dijalankan. Sebaliknya, jika keadilan hanya ditekankan pada
hal-hal yang kualitatif seperti cinta, kasih sayang, maka poligami itu
sendiri menjadi suatu yang tidak mungkin dilaksanakan. Padahal Allah Swt
menjanjikan dalam surat al-Baqarah ayat 286 :
لا يُكلفُ اللهُ نفسًا إلا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya
Illat Hukum Kebolehan Poligami
Illat secara bahasa berarti
“nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain
dengan keberadaannya.” Misalnya, penyakit itu dikatakan illat,
karena dengan adanya “penyakit” tersebut tubuh manusia berubah dari
sehat menjadi sakit (Abu Hamid al-Ghazali, 1995:.76). Menurut istilah
ushul fiqh, yang dinamakan illat hukum adalah suatu sifat yang menjadi motivasi atau yang melatar-belakangi terbentuknya hukum.
Menentukan illat
hukum kebolehan poligami disamping dengan melihat latar belakang
sosiologis sebab turun ayat poligami (QS. Al-Nisa ; 3 ), juga dapat
dicermati dari peristiwa poligami Nabi Saw. Nabi saw melakukan poligami
setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama setelah meninggalnya
Khadijah RA. Rasulullah menikah pada usia 25 tahun, 15 tahun setelah
pernikahan beliau dengan Khadijah ra, beliau diangkat menjadi Nabi.
Istri beliau ini wafat pada tahun ke 10 kenabian beliau. Ini berarti
beliau bermonogami selama 25 tahun. Tiga atau empat tahun sesudah
meninggalnya Khadijah, baru Nabi saw melakukan awal poligami dengan
Aisyah ra pada tahun kedua atau ketiga hijriyah. Semua istri Nabi selain
Aisyah adalah para janda yang berusia di atas 45 tahun. Janda –Janda
yang dikawin oleh nabi, disamping telah mencapai usia senja yang sudah
tidak ada daya tarik memikat, juga dalam keadaan sedang mengalami
kesusahan hidup karena ditinggal mati suaminya baik mati dimedan perang,
maupun ditinggal mati biasa dan ada pula dicerai oleh suaminya sebab
murtad dan ada yang dicerai karena tidak ada kebahagiaan atau
ketidakcocokkan dengan suaminya (M. Quraish Shihab, 2001: 24, lihat juga
Redaksi Republika, Perempuan-Perempuan di samping Khadijah RA dan Aisyah, dalam Tabloid Dialoq Jum’ah Harian Republika, tgl. 8 Desember 2006).
Melihat
latar belakang sebab turun ayat tentang poligami, yaitu kebiasaan
prilaku wali anak wanita yatim yang mengawini anak yatimnya dengan tidak
adil dan manusiawi, dan memperhatikan latar belakang Nabi melakukan
poligami sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka illat
hukum kebolehan poligami dalam perkawinan Islam, bukan diorong oleh
motivasi seks dan kenikmatan biologis, tetapi oleh motivasi sosial dan
kemanusiaan. Hal ini dilakukan oleh perkawinan poligami Nabi Saw dengan
beberapa janda pahlawan Islam yang telah lanjut usia seperti Saudah
binti Zum’ah (suami meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia),
Hafsah binti Umar ( suami gugur di perang Badar), Zaenab binti Khuzaemah
(suami gugur di perang Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di
perang Uhud). Istri-istri yang lain seperti Ramlah putri Abu Sufyan RA
diceraikan oleh suaminya yang murtad di perantauan. Huriyah binti al
haris RA adalah purti kepala suku dan termasuk salah seorang yang
ditawan pasukan Islam, yang kemudian nabi menikahinya sambil
memerdekaannya. Shafiyah binti Huyai RA, putri pemimpin yahudi dari bani
Quraidhah yang ditawan setelah kekalahan mereka dalam penegpungan yang
dilakukan oleh nabi Saw, diberi pilihan kepada keluarganya atau tinggal
bersama Nabi saw dalam keadaan bebas merdeka,Ia memilih untuk tinggal
hidup bersama Nabi Saw. Zaenab binti Jahesy RA, sepupu Nabi, dinikahkan
langsung oleh Nabi dengan bekas anak angkat dan budak beliau Zaid ibnu
Haritsah RA. Rumah tangga mereka tidak bahagia, sehingga mereka bercerai
dan sebagai penanggungjawab pernikahan itu Nabi Saw menikahinya atas
perintah Allah Swt. uriyahHuMereka ( para istri ) itu memerlukan
perlindungan untuk melindungi jiwa dan agamanya, dan penanggung untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (Rasyid Ridho, 371-372).
Menarik
yang disampaikan oleh M. Quraish Shihab ; bukankah kenyataan
menunjukkan bahwa jumlah lelaki lebih sedikit dari jumlah perempuan?
Bukankah rata-rata usia perempuan lebih panjang dari usia laki-laki,
sedang potensi masa subur lelaki lebih lama daripada potensi masa subur
perempuan? Hal ini bukan saja karena mereka mengalami haid, tetapi juga
karena mereka mengalami masa manopouse, sedang lelaki tidak mengalami
keduanya. Bukankah peperangan yang hingga kini tidak kunjung dapat
dicegah lebih banyak merenggut nyawa lelaki daripada perempuan? Maka
poligami ketika itu adalah jalan keluar yang paling tepat. Namun harus
di ingat, bahwa poligami bukanlah anjuran apalagi kewajiban. Seandainya
poligami merupakan anjuran, pasti Allah Swt menciptakan perempuan lebih
banyak empat kali lipat dari jumlah laki-laki, karena tidak adanya
menganjurkan sesuatu kalau apa yang dianjurkan tidak tersedia. Allah
hanya memberikan wadah bagi orang yang menginginkannya ketika
mengahadapi kondisi atau kasus tertentu. Poligami mirip dengan pintu
darurat dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam kedaan emergency tertentu
(M. Quraish Shihab, ” Ibarat Emergensy Exit di Pesawat “, dalam Tabloid
Republika Dialog Jum’at, tgl. 8 Desember 2006).
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
-
Latar belakang Sosiologis sebab turun ayat tentang poligami, yaitu kebiasaan prilaku wali anak wanita yatim yang mengawini anak yatimnya dengan tidak adil dan manusiawi.
-
Hukum Perkawinan Islam membolehkan bagi seorang suami melakukan poligami dengan syarat yakin atau menduga kuat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, sebagaimana yang di isyaratkan oleh kata kunci 3 surat al-Nisa’: “maka jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka kawinlah seorang istri saja“. Kebolehan poligami ini bukan anjuran tetapi salah satu solusi yang diberikan dalam kondisi khusus kepada mereka (suami) yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat tertentu.
-
Makna keadilan sebagai syarat poligami bukan pada keadilan makna batin (seperti cinta dan kasih sayang) tetapi keadilan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Sebagaimana di isyaratkan oleh ayat 129 surat al-Nisa’dan latar belakang sosiologis sebab turun ayat poligami (ayat 3 al-Nisa’).
-
Illat hukum kebolehan poligami lebih didorong oleh motivasi sosial dan kemanusiaan sebagai sarana dakwah sebagaimana yang menjadi latar belakang sebab turun ayat poligami ( ayat 3 al-Nisa’) dan praktek poligami Rasulullah Saw. bukan pada motivasi seks dan kenikmatan biologis.
Daftar Pustaka:
Al – Jahrani, Musfir, 1996, Poligami Dalam Berbagai Persepsi, Jakarta; Gema Insani Pers.
Al – Jarjawi, Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyre’ wa Falsafatuhu, Beirut; Dar al-Fikri.
Al – Jazairi, Abd. Al-Rahman, 1969, Kitab al Fiqh ‘ala al-Madzahib al-’Arba’ah, Mesir; al-Maktabah al-Tijariyyah.
Do’I, Abd. Rahman I, 2002, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta; Rajawali Press.
Engineer, Asghar Ali, 2003, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta; LKIS.
Husein, Imanuddin, 2003, Satu Istri Tidak Cukup, Jakarta; Khaznah.
Muchtar, Kamal, 1974, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta; Bulan Bintang.
Nasution, Khoiruddin, 1996, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Jakarta; Pustaka Pelajar.
Nurudin, Amiur dan Tarigan, Ahmad Azhari, 2004, Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta; Pernada Media.
Shihab, M. Quraish, 1999, Wawasan al-Qur’an, Bandung; Mizan.
_______________ , 2001, Perempuan, Jakarta; Lentera Hati.
Ridho, Rasyid, Tafsir al-Manar, Mesir; Dar al-Manar.
Redaksi Republika, Mengalir Sampai Istana, dalam Tabloid Harian Republika Dialoq Jum’at, 8 Desember 2006
T. Yanggo, Chuzaemah dan Azhari, Hafiz, 1994, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta; PT. Pustakan Firadus.
Zuhdi, Masjfuk, 1989, Masail Fiqhiyyah, Jakarta; CV. Haji Masagung.
Republika, Perempuan-Perempuan di samping Khadijah RA dan Aisyah, dalam Tabloid Dialoq Jum’ah Harian Republika, tgl. 8 Desember 2006
M. Quraish Shihab, ” Ibarat Emergensy Exit di Pesawat “, dalam Tabloid Republika Dialog Jum’at, tgl. 8 Desember 2006.
Penulis
Harun
Fakultas
Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jl. Ahmad Yani, Tromol
Pos I, Pabelan Kartasura, Surakarta 57102 Telp (0271) 717417, 719483
(Hunting) Faks. (0271) 715448. website: http// http://www.ums.ac.id Email: ums@ums.ac.idPoligami Dalam Pandangan Liberal dan Ulama
http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=524:poligami-dalam-pandangan-liberal-dan-ulama-&catid=62:pemikiran-islam&Itemid=99
A. Pendahuluan
Sebagai sebuah istilah maupun realitas empiris, Poligami,[2]
telah lama terkurung dalam wilayah perdebatan yang tidak ada
habis-habisnya. Jika diteliti, pemicu sebetulnya bukanlah terletak pada
ke-dhannî-an (ketidaktegasan) dalil mengenai kebolehannya, tetapi lebih
banyak didorong oleh sejumlah kepentingan pihak tertentu atau buruknya
praktik poligami yang ditunjukkan oleh pasangan yang berpoligami. Hal
inilah kemudian dijadikan sebagai jastifikasi (pembenar) oleh sebagian
kalangan untuk menolak keabsahan poligami sebagai sebuah realitas hukum
Islam.
Bahkan,
kalangan Islam Liberal, termasuk kaum feminis, memandang poligami
sebagai salah satu bentuk penindasan atau tindakan diskriminatif atas
perempuan. Bagi Abdullah Ahmed Na‘im "poligami" adalah
diskriminasi hukum keluarga dan perdata, dengan asumsi yang dia bangun
"laki-laki muslim dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu
bersamaan, tetapi perempuan hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki.[3]
Jika An-Naim menganggap poligami, sebagai penindas perempuan, Amina
Wadud Muhsin menganggap bahwa poligami sebagai tindakan non Qur'ani dan
dianggap upaya mendukung nafsu tak terkendali kaum pria".[4] Lain pula dengan Mahmud Muhammad Thaha mengatakan :"Bahwa poligami bukan ajaran dasar Islam.[5]
Dan tidak ketinggalan tokoh Feminis Liberal Indonesia, ikut andil
melontarkan penolakan terhadap praktek pernikahan poligami, dengan
alasan Nabi melarang keinginan 'Ali berpoligami.[6]
Dari pandangan dan tuduhan miring perlu kita dudukkan secara benar, pertama : Kalau poligami dianggap
diskriminatif atas perempuan, karena laki-laki bisa mengawini hingga
empat perempuan, sedangkan perempuan tidak bisa. Mengapa Islam tidak
membolehkan perempuan mengawini lebih dari satu?. Ketika perempuan
mempunyai beberapa suami kemudian dia melakukan hubungan seks, dengan
setiap suaminya, kemudian dia hamil. Bagaimanakah, wanita itu bisa
menentukan ayah anak yang dikandungya.[7]
Kedua : Bukan poligami yang tidak Qur'ani[8], tetapi perzinaan[9]
dan perselingkuhan yang tidak Qur'ani, Nafsu yang mana yang tidak
terkendali? Orang pezina yang tak terkendali nafsunya ataukah pelaku
poligami yang dianggap tidak bisa mengendalikan nafsunya?. Ketiga :
Memang benar perinsip dasar Islam wanita setara dengan laki-laki dalam
pernikahan, tetapi apakah semua harus setara, ketika laki-laki boleh
menikahi sampai empat perempuan, dan apakah harus sama perempuan juga
bisa menikahi sampai empat laki-laki, diatas sudah kita jelaskan
sebagaimana disampaikan oleh Ali ra. Keempat : Hak wanita yang mana yang
dilecehkan dengan berpoligami, tidakkah Islam membolehkan poligami itu
dengan syarat, ketika syarat yang ada tidak mampu dipenuhi, Islam
memberikan sebuah solusi maka menikahlah secara monogami[10].
Kelima : Ketika membaca haditsnya sepotong maka benar Rosulullah SAW
melarang keingginan Ali berpoligami. Tetapi ketika membaca secara utuh
maka akan menemukan jawaban yang tepat, mengapa Rosulullah melarang ?[11] inilah yang harus kita dudukkan.
Berpijak pada problematika dan pemaparan diatas, maka perlu dalam pembahasan makalah ini, untuk memetakan masalah utama yang ada. Disini kita bisa mengangkat dua masalah utama. Pertama : Bagaimana Poligami sebelum dan sesudah Islam, Kedua
: pandangan liberalis, feminis, serta ulama terhadap poligami. Dengan
pembatasan masalah tersebut penulis berharap, pembahasan ini tidak
menjadi bias sehingga tidak melupakan pokok masalah yang ada.
B. Pengertian dan Sejarah Pro-Kontra Poligami
1. Pengertian Poligami.
Kata
poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata
polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Jika
pengertian tersebut digabung maka poligami mempunyai arti : "Suatu
perkawinan yang banyak atau lebih dari satu orang. "Sistem perkawinan
yang banyak atau seorang lelaki mempunyai istri lebih dari
satu orang dan sebaliknya, seorang perempuan mempunyai beberapa orang
suami dalam waktu yang bersamaan pada dasarnya disebut poligami.[12]
Pengertian poligami menurut bahasa Indonesia adalah :"Ikatan perkawinan
yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam
waktu yang bersamaan atau poligami adalah adat seorang laki-laki
beristri lebih dari seorang perempuan.[13]
Para
ahli untuk membedakan mana yang mempunyai pasangan banyak, dari pihak
lelaki atau dari pihak wanita, maka dibuatlah istilah yang berbeda.
Untuk lelaki yang berpasangan wanita lebih dari satu dengan istilah
poligini. Sebaliknya jika yang banyak punya pasangan pihak wanita maka
disebut poliandri.[14]
Menurut
syareat Islam, poligami atau ta'addud al-zaujaj diartikan sebagai satu
tindakan membolehkan untuk mengawini perempuan yang disenangi, dua,
tiga, atau empat dengan syarat dapat berlaku adil terhadap mereka.[15]
2. Sejarah Pro Kontra Poligami.
Sebagaimana
telah kita sebutkan diatas bahwa poligami adalah salah satu bentuk
perkawinan yang diperdebatkan oleh publik, baik yang mendukung ataupun
yang menolak, mereka memberikan argumen masing-masing. Poligami termasuk
dari salah satu bentuk perjodohan majmuk. Tetapi poligami, berbeda,
baik dengan poliandri[16] maupun "komunisme seksual"[17]
karena statusnya lebih lumrah dan relatif lebih dapat diterima.
Poligami bukan hanya terdapat pada suku liar tetapi banyak pula bangsa
beradab yang menerapkanya. Disamping bangsa Arab sebelum Islam, adat
kebiasaan itu terdapat dikalangan orang Yahudi, dikalangan bangsa Iran
zaman Sassania[18], dan pada bangsa lainya.[19]
Sejarah
telah mencatat, poligami telah muncul sebelum Islam datang. Islam telah
membolehkan peraktik poligami, Islam membatasi bagi lelaki yang ingin
berpoligami yaitu maksimal empat orang perempuan, dengan syarat harus
berlaku adil. Dari praktek poligami, dimana Islam membolehkan, tetapi
praktek dilapangan terjadi adanya pro dan kontra terhadap poligami.
Masyarakat umum dalam menyikapi praktek poligami yang ada, terbagi
menjadi 4 (empat) golongan yaitu: pertama mereka yang pro terhadap poligami tetapi tidak melaksanakan atau tidak berani melasanakan, kedua mereka yang kontra dan benar-benar tidak setuju terhadap poligami, ketiga mereka dipermukaan menetang poligami tetapi diam-diam melaksanakan, dan yang terakhir tidak setuju dengan poligami tetapi toleran kepada yang melaksanakan.
Sebagai
contoh : Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) yaitu kelompok perempuan
muda NU, mereka memberikan beberapa alasan mengapa mereka menolak
poligami : mereka menolak poligami, karena dilatarbelakangi oleh QS. An
Nisa’(4):129 berbunyi ”Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara
perempuan-perempuan (istri-istrimu) walaupun kamu terlalu cenderung
(kepada perempuan yang engkau cintai) sehingga engkau biarkan perempuan
yang lain) seperti tergantung (terlupakan). Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari sebab-sebab perselisihan) maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Itu
berarti menurut YKF dan banyak penafsir yang lain bahwa seorang suami
yang menikahi lebih dari satu istri harus bertindak secara adil terhadap
istri-istrinya dan tidak boleh membedakan antara yang satu dengan yang
lain.[20]
Demikian
juga Poligami dianggap membawa masalah. Sebagaimana disampaikan Rosyid
ridha ada tiga masalah yang bersifat pokok : yang pertama, Islam tidak
mewajibkan atau menganjurkan poligami, melainkan menunjukkan bahwa
sedikit sekali para pelaku poligami yang membebaskan diri dari kezaliman
yang diharamkan. Hikmah yang terkandung di sini adalah bahwa bagi kaum
pria yang ingin mempraktekkan poligami ini, hendakya berpikir
matang-matang mempertimbangkan kemauannya, serta melihat kemasa depan
yang berkaitan dengan keadilan yang wajib ia laksanakan.[21]kedua,
Islam tidak secara mutlak mengharamkan poligami, namun tidak pula
terlalu longgar, mengingat watak dan kebiasaan kaum pria yang punya
kemampuan tinggi dalam berbagai bidang dan sekaligus pada lazimnya tidak
puas dengan hanya satu istri, dan lantaran adanya tuntutan kebutuhan
sementara kaum pria terhadap keturunan di saat istrinya sudah berusia
lanjut atau adanya sebab-sebab lain yang membuatnya tidak bisa hamil.[22]Ketiga,
persoalan ini di dudukkan oleh Islam dalam hukum mubah (boleh) dengan
ikatan syarat dan sebab yang telah dikemukakan di muka yang harus
dipertimbangkan betul madharatnya, dan akan membawa manfaat bagi mereka
yang memperaktekkannya manakala semua hukum Islam yang berkenaan dengan
itu dipenuhi.[23]
C. Poligami sebelum Islam
Tidak
bisa dipungkiri, bahwa jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw yang
membawa Islam, umat terdahulu telah memperaktikkan sistem poligami[24].
Sebagaimana saya sebutkan dimuka, untuk mempertegas kembali bahwa cukup
banyak fakta sejarah membuktikan. Hal ini diakui oleh Musthafa al-Sibai
seperti dikatakannya : "Poligami itu sudah ada dikalangan
bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba,....pada bangsa Yunani, Cina,
India, Babylonia, Mesir dan lain-lain". Dan ditambahkanya : "Poligami
dikalangan mereka tak terbatas, sehingga mencapai 130 istri bagi
seorang suami; bahkan seorang raja Cina ada yang mempunyai istri
sebanyak 30.000 (tiga puluh ribu) orang".[25]Poligami
dilakukan orang-orang perkasa atau memiliki kekuasaan, seperti para
raja atau para panglima perang. Tradisi poligami kala itu dijadikan
bentuk keperkasaanya seseorang.[26]
Dikalangan
pengikut Yahudi Timur Tengah, bentuk perkawinan poligami lazim
dilaksanakan, bahkan menurut mereka, Injil sendiri tidak menyebutkan
batas dari jumlah istri yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki
begitu juga jumlah gundiknya. Dan dikalangan bangsa Persia, Agama
memberikan penghargaan kepada orang yang mempunyai istri banyak.[27]Agama
Kristen tidak melarang adanya praktik poligami, sebab tidak ada satu
keterangan yang jelas dalam injil tentang landasan perkawinan monogami
atau landasan melarang poligami.[28]
Namun dalam Injil Matius pasal 10 ayat 10-12 dan juga Injil Lukas pasal 16 ayat 18, diterangkan bahwa Isa Al-Masih pernah berkata: "barang
siapa menceraikan istrinya dan lalu menikah dengan wanita lain, maka
hukumnya dia berzina dengan wanita itu. Demikian juga kalau seorang
wanita menceraikan suaminya dan menikah dengan lelaki lain, maka
hukumnya dia berzina dengan lelaki itu. (Matius: 10 : 10-12). Namun
dalam pelaksanaannya hanya golongan Kristen katholik saja yang tidak
membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja. Untuk
aliran orthodoks dan protestan atau Gereja Masehi injil membolehkan
seorang kristen untuk menceraikan istrinya dengan syarat-syarat yang
ditentukan pula.
Tidak
ada Dewan Gereja pada awal Kristen yang menentang Poligami. St.
Agustine secara jelas justru menyatakan bahwa dia tidak mengutuk
poligami. Martin Luther mempunyai sifat yang toleran dan menyetujui
status poligami Philip dan Hasse. Tahun 1531 kaum Anababtis[29]
mendakwahkan poligami. Hingga saat ini beberapa uskup di Afrika masih
mendukung praktik itu dengan berpijak pada dasar modal dan beberapa
pertimbangan lain.[30]
Dari
pemaparan diatas. Tampak jelas bahwa praktek poligami sudah terjadi
jauh sebelum Islam datang, dan masih dipraktekkan hingga saat ini. Yang
kedua poligami sebelum Islam dipraktekkan tanpa ada batasan yang jelas,
atau tanpa batas. Ketiga baik orang Yahudi ataupun Kristen melakukan
praktek poligami, karena tidak ada larangan atau anjuran yang jelas dari
Kitab Injil. Adapun larangan Al-Masih terhadap penceraian
baik yang dilakukan pihak lelaki ataupun perempuan kemudian menikah
dengan yang lain temasuk melakukan perzinaan, lalu bagaimana dengan yang tidak bercerai kemudian melakukan poligami.
Jadi
pelaksanaan poligami sesuai fakta sejarah telah terjadi jauh sebelum
Islam hadir ditengah-tengah genarasi awal Islam hingga generasi
sekarang. Maka terasa aneh, apa yang telah ditulis oleh Will Durant
dalam bukunya :" The Story of Civilization" di abad
pertengahan, para teolog berpendapat melalui propaganda yang dilancarkan
terhadap Islam, ialah Muhammad-lah yang pertama kali memperkenalkan
poligami di dunia, dan fondasi Islam terletak pada poligami. Ditegaskan
bahwa penyebab pesatnya penyebaran agama Islam dikalangan berbagai
bangsa dan rakyat dunia ialah dihalalkanya poligami; sementara penyebab
utama kemunduran dunia timur adalah juga poligami.[31]
Dari
lontaran pendapat para teolog diatas sungguh tidak mendasar, Bahwa
sebelum Rosulullah Muhammad saw melakukan poligami, penduduk disekitar
Makkah ataupun Madinah sudah banyak melakukan poligami. Yang kedua Islam
menyebar dengan pesat karena dakwah yang disampaikan penuh hikmah (yang
berlandaskan pada wahyu) dan mauidhoh hasanah (dengan ungkapan dan
penyampaian yang santun).[32]
D. Poligami dan Kemaslahatan Dalam Islam
Islam
tidak sepenuhnya menghapus poligami, walaupun Islam menghapus
sepenuhnya poliandri. Tetapi Islam membatasinya. Islam menghapus
ketidakterbatasan poligami dan membatasinya hingga empat istri.
Lagipula, Islam menetapkan syarat dan batasan, dan tidak mengizinkan
setiap orang mempunyai beberapa orang Istri.[33]
Sebagaimana kita jelaskan diatas. Bahwa praktek poligami di masa Islam
sangat berbeda dengan praktek poligami sebelum Islam. Perbedaan itu
menonjol pada dua hal. Pertama, pada bilangan istri,
dari tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat. Pembatasan
ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki masa itu sudah terbiasa
dengan banyak istri, lalu mereka di suruh memilih empat saja dan
menceraikan selebihnya. Kedua, pada syarat poligami,
yaitu harus mampu berlaku adil. Sebelumnya, poligami itu tidak mengenal
syarat apa pun, termasuk syarat keadilan. Akibatnya, poligami banyak
membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena para
suami yang berpoligami tidak terikat pada keharusan berlaku adil,
sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti luapan nafsunya[34].
Setiap sesuatu pasti ada hikmahnya. Itulah yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Begitu pula dengan poligami, ada beberapa hikmah poligami yang perlu diketahui, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Masalah sosial
Pertumbuhan
angka wanita dibanding pria saat ini adalah jauh lebih tinggi. Jika
angka wanita lebih banyak ketimbang pria, maka permasalahan disana-sini
sering terjadi, seperti banyaknya perzinaan, perselingkuhan, perkosaan,
merajalelanya para PSK (pekerja seks komersial) atau TTM (teman tapi
mesum) dan masih banyak lagi lainya. Oleh karena itu, adanya poligami
sangat membantu untuk masalah ini. Jadi, dari sisi sosial memang
memungkinkan para laki-laki berpoligami.
Demikian
juga disampaikan olek Yoyoh Yusroh bahwa poligami merupakan pilihan
sosial dan solusi sosial. Yoyoh Yusroh, wakil ketua UU Anti Pornografi,
F.PKS, DPR-RI dengan penuh yakin dengan argumen, ia berkesimpulan bahwa
poligami adalah pilihan sosial karena dapat menjadi solusi sosial.
Menjadi solusi karena dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial.
Argumen sebagai solusi sosial inilah hingga dengan tegas ia menyatakan
bahwa saya setuju poligami dan saya rela dipoligami.
Sedangkan
Aa Gym berpendapat poligami merupakan solusi bagi masalah-masalah
sosial, moral dan akhlak, sehingga poligami harus di proporsionalkan,
tidak dipandang sebagai tidak baik, perbuatan zalim, dan menindas.[35]
2. Kemaslahatan Individu dan Keluarga
Dalam
setiap rumah tangga, banyak sekali permasalahan yang terjadi, di
antaranya adalah masalah individu istri, seperti mandul atau istri
memiliki penyakit yang tidak dapat melayani suami dalam masalah
"kebutuhan biologis" dan lain sebagainya[36].
Adanya poligami merupakan solusi kongkrit dalam mengatasi masalah
tersebut agar tidak terjadi hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam,
seperti perselingkuhan, perzinaan atau lainya, jika istri terkena
penyakit berkepanjangan yang tidak bisa melayani suami sebagaimana
mestinya, sedangkan suami sangat berhasrat untuk melakukan hubungan
suami istri atau istri mandul sedangkan suami sudah sangat menginginkan
untuk memiliki anak. Hal ini dapat diatasi dengan cara poligami dengan
tanpa harus menceraikan istri pertamanya.
E. Penafsiran ayat-ayat poligami
Setelah
kita membahas poligami, dari tinjauan Historis, baik yang terjadi
sebelum Islam datang ataupun setelah Islam datang, maka perlu kita
membahas ayat-ayat poligami dan pandangan para mufassir dan feminis
dalam menafsirkan ayat poligami yaitu surat an-Nisa' ayat : 3 sebagai
berikut :
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ
مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى
أَلَّا تَعُولُوا [37]
Artinya : "Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat[38]. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil[39], maka kawinilah seorang saja, budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adala lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".
Sebelum
menginjak pada tafsir ayat diatas perlu kita melihat sebab ayat ini
diturunkan lebih dahulu. Dalam pangkal ayat ini terdapat lanjutan
tentang memelihara anak yatim dan juga Allah mengizinkan untuk beristri
lebih dari satu, yaitu sampai dengan empat. Untuk mengetahui
duduk persoalan, lebih baik diterangkan riwayat Aisyah istri
Rosulullah, tentang sebab turunya ayat ini, karena menjawab pertanyaan
Urwah bin Zubair, anak Asma kakak Aisyah, yang sering bertanya kepadanya
tentang masalah agama yang musykil. Urwah bertanya bagaimana asal mula
orang dibolehkan beristri lebih dari satu sampai empat, dengan alasan
memelihara hak anak yatim. Aisyah menjawab :
"
Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang dalam
penjagaan walinya, dan telah tercampur harta anak itu dengan harta
walinya. Si wali tertarik pada harta dan kecantikan anak itu, lalu ia
bermaksud menikahinya dengan tidak membayar mahar secara adil,
sebagaimana pembayaran mahar dengan perempuan lain. Oleh
karena niat yang tidak jujur ini, maka dia dilarang menikah dengan anak
yatim itu, kecuali ia membayar mahar secara adil dan layak seperti
kepada perempuan lain. Daripada melangsungkan niat yang tidak jujur itu,
dianjurkan lebih baik menikah dengan perempuan lain, walaupun sampai
dengan empat"[40]
A. Ulama Tafsir
Ulama
Tafsir memahami dan menafsirkan ayat-di atas sebagaimana berikut ini.
Imam Ath-Thabari memahami ayat diatas dalam konteks perlakuan terhadap
anak-anak yatim yang ada dalam asuhan walinya, dan juga
perempuan-perempuan lain yang menjadi istri mereka. Dia menafsirkan ayat
tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap anak yatim dan
kewajiban berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dikawini. Lebih
lanjut menurut Ath-Thabari, apabila seorang laki-laki tidak dapat
berbuat adil terhadap anak yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah
ia mengawini perempuan-perempuan lain yang ia sukai, dua, tiga, maupun
empat. Namun "jika khawatir" tidak dapat berlaku adil terhadap mereka,
maka nikahilah satu orang istri saja. Jika masih juga khawatir tidak
bisa berlaku adil walaupun terhadap satu istri, maka janganlah engkau
menikahinya. Akan tetapi, nikahilah budak-budak yang kamu miliki, karena
mereka itu adalah milikmu dan merupakan hartamu (para budak tidak
menuntut hak sebagaimana hak perempuan-perempuan merdeka). Yang demikian
itu lebih dekat pada keselamatan dari dosa, aniaya, dan penyelewengan
terhadap perempuan.[41]
Dari
penafsiran Imam ath-Thabari diatas, sangat jelas beliau menekankan
untuk berlaku adil bagi kaum lelaki baik terhadap hak-hak anak yatim
maupun terhadap hak-hak perempuan yang dia kawini. Jadi, bukan berarti
ayat ini menunjukkan kebolehan berpoligami sampai empat orang istri
dengan tanpa syarat yang ketat, sehingga syarat tersebut tidak mungkin
(untuk tidak mengatakan mustahil) bisa dipenuhi oleh setiap laki-laki.[42] Adapun syarat-syaratnya, sebagaimana disebuatkan oleh Abdul Halim Abu Syuqqah dalam kitabnya "Pembebasan Wanita" sebagai berikut :
1. Tidak lebih dari 4 (empat) istri, sebagaimana al-Qur’an 4:3.
2. Mampu memberi nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya serta orang yang menjadi tanggunganya.
3. Mampu memeliara istri-istri dan nanak-anaknya dengan baik.
4. Dapat berbuat adil.[43]
Berbeda dengan Ath-Thabari, ar-Razi menambahkan bahwa firman Allah : وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا (jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil) sebagai syarat, dan فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ (maka
nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi) sebagai suatu
kebolehan. Dengan demikian, mesti ada keterangan yang jelas tentang
bagaimana sebenarnya hubungan antara kebolehan menikahi
perempuan-perempuan yang disukai (beristri sampai empat atau poligami)
dengan syarat tersebut di atas.[44]
Menurut ar-Razi, untuk menjawab pertanyaan tersebut, dikalangan para mufassir ada empat alasan :
1.
Karena adanya wali yang tertarik kepada kecantikan dan harta anak yatim
perempuan dan bermaksud menikahinya tetapi enggan membayar mahar.
Sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut ini.
”Bahwa Urwah bin Zubair telah bertanya kepada Aisyah (istri Rasulullah), apa maksud firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
Aisyah menjawab: " wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak yatim
perempuan yang ada dalam asuhan walinya, si wali tertarik pada harta dan
pada kecantikan anak itu. Maka bermaksudlah dia untuk menikahinya
dengan memberi mahar yang paling rendah, kemudian ia menggaulinya dengan
cara yang tidak baik. "Oleh karena itu, Allah berfirman, jika kamu
khawatir akan menganiaya terhadap anak-anak yatim ketika kamu menikahi
mereka, maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang kamu suka. Aisyah
meneruskan pembicaraanya: "Kemudian ada orang meminta fatwa kepada
Rosulullah tentang perempuan-perempuan itu sesudah ayat ini turun. Selanjutnya turunlah ayat (surat an-Nisa' juga ayat 127). Mereka meminta fatwa kepadamu tentang
perempuan-perempuan. Katakanlah : Allah akan memberi keterangan
kepadamu di dalam kitab (ini) dari hal anak-anak yatim perempuan yang
kamu tidak mau memberikan apa yang diwajibkan untuk mereka, padahal kamu
menikahinya. Kata Aisyah selanjutnya: "Yang dimaksud dengan yang dibacakan kepadamu dalam kitab ini ialah ayat yang pertama itu, yaitu jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi,"[45]
2. Karena adanya lelaki yang berpoligami tetapi tidak memberi hak-hak istri-istrinya dan tidak berlaku adil terhadap mereka."[46]
3. Karena
adanya lelaki yang engan menjadi wali disatu sisi bagi anak-anak yatim
perempuan, disisi yang lain dia menginginkan untuk menikahinya akan
tetapi dia takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim,
sementara dia takut juga dari dosa zina, maka hendaknya menikahi saja
perempuan-perempuan yang dihalalkan baginya. "[47]
4. Karena
adanya seorang lelaki yang berpoligami serta mengayomi anak-anak yatim
tetapi tidak mampu memberikan nafkah kepada istri-istri mereka, maka
mereka mengambil harta anak anak yatim yang ada padanya untuk diberikan
kepada istri-istri mereka. Ketika seorang lelaki tidak mampu berlaku
adil terhadap harta anak yatim karena banyak istri maka dilarang untuk
berpoligami. Sebagaimana disebutkana dalam riwayat Ikrimah dibawah ini.
”Diriwayatkan
dari Ikrimah bahwa ia berkata: " Ada seorang laki-laki yang memiliki
banyak istri, dan ia juga mengayomi anak-anak yatim. Ketika ia
menafkahkan harta pribadinya untuk istri-istrinya dan
tidaklah cukup harta tersebut, karena ia banyak kebutuhan, maka
diambillah harta anak yatim untuk menafkahi mereka. Allah berfirman:
Jika kamu takut tidak mampu berlaku adil terhadap harta anak-anak yatim,
karena kamu banyak istri, maka dilarang bagi kamu menikahi lebih dari
empat istri, supaya kamu bebas dari ketakutan itu. Jika kamu masih takut
dengan beristri empat , maka nikahlah dengan seorang istri saja.
Ingatlah, batas maksimal (paling banyak) adalah emapt orang, dan batas
minimal adalah satu orang, dan diperingatkan antara keduanya. Maka Allah
juga mengatakan: Jika kamu khawatir dengan empat orang, maka nikahilah
tiga orang, jika kamu khawatir dengan tiga orang maka nikahilah dua
orang, jika kamu khawatir dengan dua orang, maka nikahilah satu orang
orang saja. Penafsiran ini lebih dekat, seolah-olah Allah
mengkhawatirkan orang yang memiliki banyak istri, boleh jadi ia akan
terjerumus seperti wali yang mengambil harta anak yatim yang ada dalam
asuhannya, untuk menutupi kebutuhan nafkah yang banyak disebabkan ia
memiliki istri yang banyak.[48]
Berdasarkan
penjelasan diatas, baik Ath-Thabari maupun ar-Razi, memahami ayat
tersebut masih dalam kaitanya dengan perintah berlaku adil terhadap
anak-anak yatim dan juga keharusan berlaku adil terhadap
perempuan-perempuan yang dinikahi. At-Thabari mengatakan : "Jika kamu
khawatir tidk mampu berlaku adil terhadap anak yatim, demikian juga
terhadap perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, maka janganlah kamu
nikahi mereka walaupun hanya satu orang. Tetapi cukuplah kamu menikahi
budak-budak yang kamu miliki. Sebab mengawini budaknya sendiri lebih
memungkinkah untuk tidak berbuat penyelewengan (semena-mena terhadap
perempuan).
Sementara
itu, ar-Razi berpendapat bahwa apabila seorang laki-laki khawatir tidak
mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang akan dikawininya, maka
hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan lain sebanyak yang ia sukai,
dua, tiga, maupun empat. Dan jangan menikahi lebih dari empat orang
istri, agar hilang kekhawatiran tersebut. Namun jika masih khawatir
tidak bisa berlaku adil terhadap empat orang istri maka seorang istri
lebih baik bagi mereka. Kemudian ar-Razi memperingatkan bahwa batas
maksimal empat orang istri, dan batas minimal satu orang istri.
Sedangkan diantara dua batas tersebut (dua atau tiga orang istri) itu
boleh-boleh saja, asal kamu mampu berlaku adil.[49]
Dalam memahami ayat 3 dari surat an-Nisa Feminis liberal memberikan pendapat sebagaimana berikut ini.
Amina
Wadud Muhsin memahami ayat di atas dalam kaitanya dengan perlakuan adil
terhadap anak yatim yang harus dipenuhi oleh laki-laki yang bertanggung
jawab mengelola kekayaan mereka. Solusi yang terbaik untuk mencegah
kesalahan adalah dengan mengawininya. Sementara di satu sisi al-Qur'an
membatasi jumlah perempuan yang boleh dikawini, perlakuan adil terhadap
anak yatim dan adil terhadap istri. Tampaknya inilah yang sering
dilupakan oleh yag mendukung poligami.
Amina Wadud mengaitkannya dengan surat an-Nisa' ayat 129 yang mengatakan bahwa kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.
Sebagaimana beberapa penafsir, dia juga berkesimpulan bahwa monogami
merupakan bentuk perkawinan yang lebih disukai oleh al-Qur'an. Dengan
monogami tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang penuh cinta
kasih dan tentram dapat terpenuhi. Sementara dalam poligami hal itu
tidak mungkin karena seorang suami ataupun ayah akan membagi cinta dan
kasih sayangnya pada lebih dari satu keluarga.[50]
Menurut
Asghar Ali Engineer ayat diatas lebih menekankan untuk berbuat adil
terhadap anak-anak yatim, bukan mengawini lebih dari seorang perempuan.
Karena konteks ayat ini adalah tentang kondisi pada masa itu, dimana
mereka yang bertugas memelihara kekayaan anak-anak yatim sering berbuat
tidak semestinya dan terkadang mengawininya tanpa mas kawin. Ayat
Al-Qur'an ini turun untuk memperbaiki perbuatan yang salah tersebut.
Dengan mengemukakan penafsiran Aisyah terhadap ayat tersebut yang
berarti jika para pemelihara anak-anak (perempuan) yatim khawatir dengan
mengawini mereka karena tidak mampu berbuat adil, maka sebaiknya mereka
mengawini perempuan-perempuan lain. Jadi ayat tersebut harus dipahami
menurut konteksnya, bukan pembolehan poligami yang bersifat umum.[51]
Dari
pemaparan penafsiran di atas bisa kita dapatkan adanya perbedaan antara
mufassir dengan para feminis muslim dalam memandang keadilan sebagai
syarat poligami. Para mufassir tidak memandang keadilan sebagai syarat
mutlak poligami tetapi sekedar anjuran, sehingga secara tidak langsung
mereka memperbolehkan poligami. Sebaliknya, para feminis secara ekplisit
melarang poligami karena keadilan adalah syarat mutlak yang harus
dipenuhi. Tanpa adanya keadilan maka poligami dilarang.
F. Pandangan Kaum Liberal dan Feminis Tentang Poligami
Mari
kita lihat bagaimana pandangan kaum liberal dan feminis dalam menyikapi
poligami, para feminis liberal memberikan beberapa pandangan tentang
poligami serta mereka melontarkan beberapa statemen yang mereka anggap
sebagai subhat-subhat yang ada dalam poligami. Diantara subhat-subhat yang mereka lontarkan yaitu :
- Abdullah Ahmed Na‘im,[52]mengatakan Bahwa "poligami"
sebagai diskriminasi Agama dalam hukum keluarga dan perdata, dengan
asumsi yang dia bangun "laki-laki muslim dapat mengawini hingga empat
perempuan dalam waktu bersamaan, tetapi perempuan hanya dapat kawin
dengan seorang laki-laki.[53]
Jika
poligami dianggap sebagai tindakan diskriminasi agama dalam tinjauan
hukum keluarga dan perdata apakah karena laki-laki boleh menikahi
perempuan hingga empat tetapi tidak sebaliknya, karena perempuan tidak
bisa menikahi empat laki-laki sehingga dikatakan sebagai bentuk
diskriminasi. Alasan mereka jelas jelas alasan yang salah dan
bertentangan dengan Islam.
Murtadha
Muthahhari berpendapat bahwa poliandri tidak pernah mampu menarik
perlindungan, cinta kasih, keterpautan, dan bakti setia dari kaum pria
kepadanya. Itulah sebabnya mengapa poliandri, sebagaimana pelacuran,
selalu dibenci wanita. Dengan demikian, poliandri tidak sesuai dengan
selera serta kebutuhan pria, tidak pula seirama dengan selera dan
kebutuhan wanita.[54]
Bahwa wanita yang menikahi lebih dari satu lelaki merupakan bentuk penyelewengan terhadap syareat Islam. Sebagaimana
dijelaskan dalam sebuah riwayat, ketika sekelompok wanita mendatangi
Ali ra. Menanyakan kenapa wanita tidak bisa menikahi lelaki lebih dari
satu. Maka Ali dengan tegas mengatakan ”apabila
seorang wanita mempunyai beberapa suami (poliandri), dengan sendirinya
ia akan mengadakan hubungan seks dengan setiap suaminya itu, dan
kemudian akan hamil. Bagaimanakah, tanya Ali, wanita itu dapat
menentukan ayah anak yang dikandungnya?.[55] Maka dari riwayat diatas menjadi jelas mengapa Islam menolak terhadap poliandri.
Subhat yang kedua disampaikan Mahmud Muhammad Thaha."Bahwa poligami bukan ajaran Prinsip dasar Islam.[56]Karena dia berpendapat:"Bahwa
prinsip dasar dalam Islam adalah wanita setara dengan laki-laki dalam
masalah pernikahan. Laki-laki secara keseluruhan adalah milik wanita
secara keseluruhan, tanpa harus membayar mahar, tanpa ada penceraian
antara keduanya.[57]Adapun
mengenai poligami dikatakan bukan prinsip dasar Islam karena Allah
telah melarang sebagaimana firman-Nya: "Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil maka nikahilah seorang saja, (lihat surah An-Nisa' :
3).
Apa yang disampaikan Thaha adalah suatu kesalahan fatal, ketika
dia memandang bahwa pria dan wanita adalah setara, sehingga dia
berpendapat mahar tidak harus dibayar dalam sebuah pernikahan,
penceraian tidak harus terjadi. Pandangan Thaha adalah keliru karena
al-Qur’an dengan tegas menyampaikan bahwa mahar itu harus dibayar,
hingga seorang lelaki yang ingin menikah dengan seorang budak orang
lain-pun dalam prinsip dasar Islam mahar harus dibayar?.[58]Benar
prinsip dasar dalam pernikahan yang diharapkan oleh Islam adalah
terbinanya keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, ketika tujuan itu
tercapai, maka harapan pernikahan bisa menjadi langgeng. Islam membenci
thalak (penceraian), tetapi Islam membolehkan thalak sebagaimana yang
terjadi pada Zaid bin Haritsah (sahabat dan anak angkat Nabi) yang telah
menceraikan Istrinya (Zainab binti Jahsy).
Amina
Wadud Muhsin mengatakan : "Poligami bukan hanya tak tercantum dalam
al-Qur'an, tetapi jelas merupakan tindakan non Qur'ani serta berupaya
mendukung nafsu yang tak terkendali. Subhat yang dilontarkan Amina Wadud
bahwa poligami merupakan tindakan non Qur’ani adalah tidak bisa di
benarkan karena jelas al-Qur’an membolehkan praktik poligami ketika dia
mampu berbuat adil sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an 4 : 3.
Sedangkan
Sayyid Sabiq dalam memberikan pendapat tentang keadilan sebagaimana
berikut: "Allah membolehkan berpoligami dengan batas samapai empat orang
dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka dalam urusan makan, minum,
tempat tinggal, pakaian, dan kediaman, atau segala sesuatu yang bersifat
kebendaan antara istri yang kaya dengan istri yang fakir, dan yang
berasal dari keturunan tinggi dengan yang bawah. Bila suami khawatir
berbuat zalim dan tidak dapat memenuhi hak-hak mereka, maka diharamkan
berpoligami.[59]Maka
keadilan yang bisa dicapai oleh manusia adalah keadilan yang bersifat
lahiriyah, akan tetapi keadilan bathiniyah yaitu dalam hal cinta kasih
dan kecondongan hati, berada di luar kemampuan manusia[60].
Terhadap
subhat poligami yang kedua yang dilontarkan Amina Wadud bahwa poligami
dianggap upaya mendukung nafsu adalah tidak benar. Ketika poligami
dikatakan pendukung nafsu atau mengumbar nafsu. Perlu kita luruskan
pandangan Amina Wadud terhadap poligami. Bahwa motivasi pernikahan
bukanlah hanya untuk sexual semata, karena kalau kita
hanya melihat dari sisi itu maka hampir semua pernikahan kembalinya
kepada hal tersebut. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah menjaga
diri dari melanggar batas yang sudah ditentukan oleh Allah SWT, seperti
perzinahan, onani, lesbian, homosexual dan lain-lain.[61]
Siti Musda Mulia melontarkan penolakannya terhadap poligami serta tuduhan yang keji terhadap pelaku poligami diantaranya :
1. Nabi melarang keinginan 'Ali berpoligami.
2. Nabi-pun menyatakan sikap ketidakrelaan jika anaknya dimadu.[62]
3. Seorang laki-laki yang berpoligami pada prinsipnya adalah laki-laki yang mengumbar hawa nafsunya.[63]
4. Poligami adalah selingkuh yang dilegalkan, dan lebih menyakitkan perasaan istri[64]
5. Poligami adalah Haram lighoiri[65]
Dari
apa yang telah dilontarkan Ibu Musda Mulia marilah kita dudukkan secara
proporsional sehingga tidak salah dalam memahami hadits nabi dan
memahami poligami. Sebenarnya poligami adalah dibolehkan dalam Islam
dengan syarat yang ditentukan.
Pada poin pertama dan kedua:
Ketika kita berpegang dengan satu hadits Nabi saja maka benar apa yang
dijadikan hujjah Ibu Musda, bahwa Nabi melarang Ali untuk berpoligami,
dan Nabi tidak rela kalau anaknya dimadu, tetapi kalau kita membaca
riwayat yang lain maka menjadi salah.
Yang
kita pertanyakan mengapa Nabi melarang Ali untuk berpoligami ?, dan
mengapa Nabi tidak rela kalau anaknya dimadu (dipoligami)?. inilah yang
perlu kita cari jawabanya. Mari kita lihat hadits yang lain dalam bab
yang sama sehingga menjadi jelas, karena kalau kita memahami hadits
sepotong-sepotong yang kita dapatkan pemahaman sepotong. Bahwa hadits
yang telah diangkat oleh Ibu Musda bukanlah hanya diriwayatkan oleh
Bukhori, Muslim, Turmudzi dan Ibnu majah saja, tetapi masih banyak
perowi lain yang meriwayatkan.[66]Sebagaimana hadits dibawah ini dengan lafadz Baihaqi.
Hadits I
أَنَّ
الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ أَخْبَرَهُ : أَنَّ عَلِىَّ بْنَ أَبِى
طَالِبٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ خَطَبَ ابْنَةَ أَبِى جَهْلٍ وَعِنْدَهُ
فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا سَمِعَتْ
بِذَلِكَ فَاطِمَةُ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ
لَهُ : إِنَّ قَوْمَكَ يَتَحَدَّثُونَ أَنَّكَ لاَ تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ
وَهَذَا عَلِىٌّ نَاكِحٌ ابْنَةَ أَبِى جَهْلٍ. قَالَ الْمِسْوَرُ فَقَامَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمِعْتُهُ حِينَ تَشَهَّدَ ثُمَّ
قَالَ :« أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ فَحَدَّثَنِى
فَصَدَقَنِى وَإِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ بَضْعَةٌ مِنِّى وَإِنِّى
أَكْرَهُ أَنْ يَفْتِنُوهَا وَإِنَّهُ وَاللَّهِ لاَ تَجْتَمِعُ ابْنَةُ
رَسُولِ اللَّهِ وَابْنَةُ عَدُوِّ اللَّهِ عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ أَبَدًا
». فَتَرَكَ عَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ الْخِطْبَةَ. رَوَاهُ
الْبُخَارِىُّ فِى الصَّحِيحِ عَنْ أَبِى الْيَمَانِ وَرَوَاهُ مُسْلِمٌ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِىِّ عَنْ أَبِى
الْيَمَانِ. {ت} وَرَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ حَلْحَلَةَ عَنِ
ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَلِىٍّ عَنِ الْمِسْوَرِ فَزَادَ :« حَدَّثَنِى فَصَدَقَنِى وَوَعَدَنِى فَوَفَى لِى وَإِنِّى لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلاَلاً وَلاَ أُحِلُّ حَرَامًا ».
"Bahwasanya
Miswar bin Makhramah menghabarkanya kepada Ali bin Husein : Bahwasanya
Ali bin Abi Tholib ra hendak melamar putri Abu Jahal (berpoligami), dan Ali
masih memiliki Istri Fathimah binti Rosulullah saw, ketika Fathimah
mendengarnya, maka ia menghadap Rosulullah saw, kemudian berkata:
Sesungguhnya umatmu membicarakan bahwa engkau tidak marah kepada putrimu
ketika Ali hendak berpoligami, menikahi putri Abu Jahal". Miswar
berkata: bahwa Nabi SAW. Berdiri dan saya mendengarkan ketika beliau
bersaksi kemudian bersabda: "adapun setelah itu, maka sesungguhnya aku
telah menikahkan Abu Al-Ash kemudian ia berbicara kepadaku dan
aku membenarkan. Dan sesungguhnya Fathimah binti Muhammad saw. Adalah
darah dagingku dan sesungguhnya aku marah jika ada yang memfitnahnya.
Demi Allah, sesungguhnya tidak akan bisa berkumpul putri Rosulullah
dengan putri musuh Allah selamanya dalam satu laki-laki (dipoligami)."
Maka Ali ra membatalkan rencana khitbahnya. Diriwayatkan oleh Bukhori
dalam kitab Shohihnya dari Abi al-Yamani dan diriwayatkan Muslim dari
Abdillah Bin Abdirrohman al-Darimi dari Abi al-Yamani dan juga
diriwayatkan dari Muhammad bin Amru bin Halhalh dari Ibnu Syihab dari
Ali dari Miswar maka dia menambahkan : dia telah memberitahukan
kepadaku, aku membenarkanya, aku berjanji maka aku menepati dan
sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan juga tidak
menghalalkan yang haram.[67]
Hadits II
(خ
م ت د) المسور بن مخرمة - رضي الله عنه - : قال : « إِنَّ عليّا خطب بنت
أبي جهل ، وعنده فاطمة ابنة النبي -صلى الله عليه وسلم-. فسمعت بذلك فاطمة.
فأتت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- ، فقالت: يزعم قومك أنك لا تغضبُ
لبناتك. وهذا عليّ ناكحا ابنة أبي جهل. فقام رسولُ الله -صلى الله عليه
وسلم- ، فسمعته حين تشهد يقول : أما بعد ، فإِني أنكحت أبا العاص بن
الربيع. فحدّثني وصدقني. وإن فاطمةَ بَضْعة مِنِّي. وأنا أكره أن يسوءوها -
وفي رواية : أن يفتنوها - والله لا تجتمع بنت رسول الله ، وبنت عدوّ الله عند رجل واحد أبدا. فترك عليّ الخِطبة».
Hadits III
• وفي
أخرى قال : سمعتُ رسولَ الله -صلى الله عليه وسلم- يقول ، وهو على المنبر :
«إِن بني هاشم بن المغيرة استأذنوني في أن يُنكِحُوا ابنتهم عليَّ بن أبي
طالب. فلا آذن ، ثم لا آذن ، إِلا أن يريد ابنُ أبي طالب أن يطلق ابنتي
وينكح ابنتهم ، فإنما هي بَضْعة مني. يَريبني ما رابَها. ويؤذيني ما آذاها
». أخرجه البخاري ، ومسلم. وأخرج الترمذي الأولى. وأخرج أبو داود الثانية ،
وزاد الترمذي : « ثم لا آذن » مرة ثالثة.[68]
Dari
hadits diatas marilah kita dudukkan apa yang ada pada poin satu dan dua
diatas, Pertama, mengapa Nabi melarang keinginan Ali berpoligami, dalam
hadits diatas sangat jelas nabi melarang karena calon istri kedua Ali
anak Abu Jahal, dan Nabi dengan tegas mengatakan tidak akan bisa
berkumpul putri Nabi dengan putri musuh Allah dalam satu laki-laki.
Kedua, ketidakrelaan Nabi anaknya dimadu, bukan karena menolak poligami
tetapi menolak pengumpulan putri beliau dengan putri Abu Jahal dalam
satu laki-laki (Poligami). Maka dengan tegas Rosulullah melanjutkan
dari apa yang telah dia sampaikan: sesungguhnya aku tidak mengharamkan
yang halal dan tidak menghalalkan yang haram.
Pada poin ketiga:
Ketika seseorang mampu melakukan poligami dikatakan orang yang
mengumbar hawa nafsunya, lantas orang yang zina, selingkuh, kumpul kebo,
homo seksual, lesbian dikatakan apa? Apa harus dikatakan meliberalkan
hawa nafsunya.
Pada poin keempat:
Poligami adalah selingkuh yang dilegalkan karena lebih menyakitkan
perasaan istri. Disini Ibu musda tidak bisa membedakan poligami dan
selingkuh, dan sepertinya sudah pernah merasakan sakitnya dipoligami
daripada sakitnya di tinggal selingkuh. Abu salma al-Atsari mengatakan
selingkuh itu tidak sama dengan poligami, menyebut
selingkuh itu sama dengan poligami, maka ini artinya sama dengan
menyatakan bahwa Alloh sebagai pencipta alam semesta memperbolehkan
perselingkuhan, karena Alloh memperbolehkan poligami. Jelas ini adalah
suatu kebodohan kalau tidak mau dikatakan kedustaan terhadap Allah Azza wa Jalla.[69]
Pada poin kelima; bahwa poligami membawa ekses-ekses, poligami tidak akan membawa ekses ketika pelaku poligami memperhatikan syarat-syarat poligami.
Maknanya ketika syarat-syarat poligami itu diperhatikan serta
dilaksanakan maka tidak akan menjadi dampak yang negatife bagi pelaku
serta masyarat pada umumnya.
MM.
Billah mengatakan poligami melanggar HAM dan Islam. Apa yang dikatakan
Billah diatas apakah karena adanya ketidaksetaraan dalam poligami
sehingga dikatakan melanggar. Pendapat ini adalah keliru, karena memang
tidak bisa disetarakan antara lelaki dan perempuan dalam poligami
sebagaimana pemakalah terangkan diatas ketika disetarakan perempuan
harus juga memiliki suami lebih dari satu justru inilah yang
bertentangan dengan Islam.
Neneng
Dara Afifah mengatakan bahwa poligami mewadahi keserakahan seksual,
menarik seksual, mencari kesenangan, dan untuk membuktikan masih kuat
dan menarik. Sebagaimana saya jelaskan diatas bahwa tujuan pernikahan
baik itu pernikahan poligami ataupun pernikahan monogami bukanlah
semata-mata untuk memuaskan kebutuhan seksual semata, tetapi ada yang
lebih penting dari itu yaitu menjaga diri dari melanggar batas yang
sudah ditentukan oleh Allah.
G. Pandangan Ulama Tentang Poligami
Sebelumnya
telah kita bahas poligami dalam pandangan kaum liberal dan feminis,
dalam bab ini kita akan melihat, bagaimana pandangan ulama terhadap
poligami. Pada umumnya yang dijadikan dasar kebolehan dan tidak bolehnya
melakukan poligami adalah al-Qur'an surah An-Nisa: 3 dan 129, maka
perlu kita melihat pendapat para ulama tentang kedua ayat tersebut.
1. Pendapat ulama klasik
Selama sekitar 1300 tahun para ulama tidak pernah berbeda pendapat dalam hukum poligami (ta’addud al-zawjat).
Hingga abad ke–18 M (ke-13 H) tidak ada pro kontra mengenai bolehnya
poligami, dan semuanya sepakat bahwa poligami itu mubah (boleh). Sebab
kebolehannya telah didasarkan pada dalil yang qath’i (pasti).[70]
Para imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah, sepakat bahwa poligami itu mubah. Hal ini dapat kita lihat pendapat mereka dalam kitab "al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah", pada pembahasan pembagian nafkah dan bermalam kepada para istri.[71]
Demikian
juga bisa kita lihat, dalam pembahasan sebelumnya pendapat ulama
terutama para (mufassir), baik Thabari ataupun Ar-Razi, bahwa poligami
adalah dibolehkan selama bisa berlaku adil. Sedangkan ulama yang lain
yaitu Al-Jashshash yang juga intensif mengupas poligami, menurut
Jashshash bahwa poligami bersifat boleh (mubah). Kebolehan ini juga
disertai dengan syarat kemampuan berbuat adil diantara para istri,
termasuk material, seperti tempat tinggal, pemberian nafkah, pakaian dan
sejenisnya. Kedua kebutuhan non material, seperti rasa kasih sayang,
kecendrungan hati dan semacamnya. Namun dia memberikan catatan, bahwa
kemampuan berbuat adil di bidang non material ini amat berat.[72]Demikian
juga Zamahsyari berpandangan bahwa poligami adalah dibolehkan, bahkan
pandangan jumlah wanita yang boleh dinikahi bagi laki-laki yang bisa
berbuat adil, bukan empat, sebagaimana pendapat ulama pada umumnya,
tetapi sembilan. Dengan menjumlahkan dua tambah tiga tambah empat sama dengan sembilan.[73]
Para
ilmuan klasik (fuqaha) berpendapat, bahwa Allah mengizinkan menikahi
empat wanita. Menurut mereka, walaupun kebolehan di sini ditambah dengan
kondisi yang tidak mungkin ditunaikan, keadilan dalam kasih sayang,
perasaan, cinta dan semacamnya, namun, selama kemampuan berbuat adil di
bidang nafkah dan akomodasi bisa ditunaikan, izin untuk berpoligami
menjadi sesuatu yang bisa diperoleh. Alasan yang mereka kemukakan untuk
mendudung ide ini adalah, bahwa nabi sendiri pernah berkata hubungannya
dengan ketidakmampuannya berbuat adil dalam hal kebutuhan batin.[74]
2. Pendapat Ulama Kontenporer.
Sebagaimana
telah kita paparkan diatas pendapat ulama klasik dalam poligami, dan
perlu juga kita membaca bagaimana pandangan pemikir kontemporer dalam
menyikapi poligami.
Sayyid
Qutub mengatakan bahwa poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah.
Karena merupakan rukhsah, maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan
darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan
bisa berbuat adil terhadap istri-istri. Keadilan yang dituntut disini
termasuk dalam bidang nafkah, mu'amalat, pergaulan, serta pembagian
malam. Sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka
diharuskan cukup satu saja.[75]
Berbeda
dengan Sayyid Qutub bahwa Muhamammad Abduh dengan sengit menentang
poligami karena dianggap menjadi sumber kerusakan di Mesir, dan dengan
tegas menyatakan bahwa, adalah tidak mungkin mendidik bangsa Mesir
dengan pendidikan yang baik sepanjang poligami yang bobrok ini masih
dipraktekkan secara luas.[76]
Dan bahkan beliau pernah mengeluarkan fatwa tidak resmi yang
menyarankan agar pemerintah mesir melarang poligami diluar kondisi
darurat yang membenarkannya dan tidak membuat kerusakan.[77]
Muhammad Abduh juga berpendapat. Intinya, asas pernikahan dalam Islam
adalah monogami, bukan poligami. Poligami diharamkan karena menimbulkan dharar (bahaya) seperti konflik antar isteri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat saja.[78]
Sedangkan
M. Syahrul berpendapat, bahwa menikah (poligami) adalah boleh dengan
keyakinan bisa berbuat adil pada anak-anak yatim. Ini artinya istri
kedua, ketiga, dan keempat yang boleh dinikahi harus janda yang memiliki
anak-anak yatim yang kemudian menjadi tanggung jawabnya.[79]
H. Kesimpulan dan Penutup
Dari uraian di atas, bertolak pada pemahamn
surat an-Nisa' ayat 3 dan 129, tentang poligami terjadi perbedaan
pandangan dalam memahami dan menafsirinya. Kalangan feminis, kaum
liberal dan para ulama klasik serta ulama kontemporer-pun terjadi
perbedaan dalam memahaminya. Para Ulama klasik yaitu imam madzhab
al-arba' sepakat bahwa poligami adalah diperbolehkan demikian juga para
mufassir klasik seperti Imam al-Thabari, al-Razi, dan
zamahsyari, bahwa poligami adalah diperbolehkan karena mereka memandang
bahwa faktor keadilan bukan suatu yang muthlak tetapi sekedar ditekankan
dan dianjurkan akan tetapi dari mufassir kontemporer, Muhammad Abduh
dan juga para feminis Amina Wadud, Asghar Ali Enggineer bahwa keadailan
adalah suatu yang muthlak maka tanpa keadilan pada dasarnya poligami
dilarang.
Dalam Islam,
poligami telah jelas termaktub dalam Al-Qur'an. Ulama, para mufassir,
kaum feminis, kaum liberal serta pemikir kontemporer, mereka berbeda
dalam memandang poligami ada yang membolehkan dan ada yang tidak
membolehkan, karena adanya perbedaan dalam memahami dan menafsirkan
makna keadilan yang ada. Pada dasarnya ketika melihat orang yang
melakukan poligami dimasyarakat karena mereka memandang dan berpedoman
dengan pandangan ulama yang membolehkan, ketika terjadi penyimpangan dalam praktek di masyarakat, maka bukan sistem ajaran Islamnya yang
salah tetapi faktor individu. Demikian juga orang yang tidak
berpoligami tetapi melakukan bentuk pernikahan monogami ketika terjadi
penyimpangan dalam peraktik dimasyarakat, maka bukanlah sistem ajaran
Islam yang salah tetapi karena faktor individu itu sendiri. Semoga Allah
selalu menunjukkan dan membimbing kita kepada jalan yang benar, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar