Sejarah Syiah (Sejak Zaman Rasulullah SAW sampai Abad 14 H)
Sejarah Syiah (Sejak Zaman Rasulullah SAW sampai Abad 14 H).
a.Kapan Syiah Muncul?
Syiah sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib
a.s. (imam pertama Mazhab Syiah) sudah muncul sejak Nabi Muhammad SAW
masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan dengan realita-realita berikut
ini:
Pertama, ketika Nabi Muhammad SAW
mendapat perintah dari Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya
masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian
yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku
setelah aku meninggal dunia”. Tidak ada seorang pun di antara mereka
yang bersedia untuk mengikutinya kecuali Sayyidina Ali bin abi thalib
a.s. Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin pergerakan –di hari
pertama ia memulai langkah-langkahnya– memperkenalkan penggantinya
setelah ia wafat kepada orang lain dan tidak memperkenalkanya kepada
para pengikutnya yang setia. Atau ia mengangkat seseorang untuk menjadi
penggantinya, akan tetapi, di sepanjang masa aktifnya pergerakan
tersebut ia tidak memberikan tugas sedikit pun kepada penggantinya dan
memperlakukannya sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan di atas
adalah bukti kuat bahwa Imam Ali bin abi thalib as setelah diperkenalkan
sebagai pengganti dan washi Nabi Muhammad SAW di hari pertama dakwah,
memiliki misi yang tidak berbeda dengan missi Nabi Muhammad SAW dan
orang yang mengikutinya berarti ia juga mengikuti Nabi Muhammad SAW.
Kedua, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syiah,
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa Imam Ali bin abi thalib as
terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun
perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan
ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam.
Ketiga, Imam Ali bin abi thalib as
adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan
pengorbanan-pengorbanan yang telah lakukannya. Seperti, ia pernah tidur
di atas ranjang Nabi Muhammad SAW di malam peristiwa lailatul mabit
ketika Nabi Muhammad SAW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya
di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar. Seandainya
pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya
Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.
Keempat, peristiwa Ghadir Khum adalah puncak keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Ali bin abi thalib as Sebuah peristiwa –yang seandainya dapat direalisasikan sesuai dengan kehendak Nabi Muhammad SAW– akan memberikan warna lain terhadap Islam.
Semua keistimewaan dan
keistimewaan-keistimewaan lain yang diakui oleh Ahlussunnah bahwa semua
itu hanya dimiliki oleh Imam Ali bin abi thalib as secara otomatis akan
menjadikan sebagian pengikut Nabi Muhammad SAW yang memang mencintai
kesempurnaan dan hakikat, akan mencintai Imam Ali bin abi thalib as dan
lebih dari itu, akan menjadi pengikutnya. Dan tidak menutup kemungkinan
bagi sebagian pengikutnya yang memang memendam rasa dengki di hati
kepada Imam Ali bin abi thalib as, untuk membencinya meskipun mereka
melihat ia telah berjasa dalam mengembangkan dan menjaga Islam dari
kesirnaan.
b.Mengapa Minoritas Syi’ah berpisah dari mayoritas Ahlussunnah?
Dengan melihat keistimewaan dan kedudukan
yang dimiliki oleh Imam Ali bin abi thalib as, para pengikutnya
meyakini bahwa ia adalah satu-satunya sahabat yang berhak untuk
menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW setelah ia wafat. Keyakinan ini
menjadi semakin mantap setelah peristiwa “kertas dan pena” yang terjadi
beberapa hari sebelum ia meninggal dunia. Akan tetapi, kenyataan
bericara lain. Ketika Ahlul Bayt a.s. dan para pengikut setia mereka
sedang sibuk mengurusi jenazah Nabi Muhammad SAW untuk dikebumikan,
mayoritas sahabat yang didalangi oleh sekelompok sahabat yang memiliki
kepentingan-kepentingan pribadi dengan Islam, berkumpul di sebuah balai
pertemuan yang bernama Saqifah Bani Saidah
guna menentukan khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW. Dan dengan cara
dan metode keji, para dalang “permainan” ini menentukan Abu Bakar
sebagai khalifah pertama muslimin.
Setelah para pengikut Imam Ali bin abi
thalib as yang hanya segelintir selesai mengebumikan jenazah Nabi
Muhammad SAW, mereka mendapat berita bahwa khalifah muslimin telah
dipilih. Banyak pengikut Imam Ali bin abi thalib as seperti Abbas,
Zubair, Salman, Abu Dzar, Ammar Yasir dan lain-lain yang protes atas
pemilihan tersebut dan menganggapnya tidak absah. Yang mereka dengar
hanyalah alasan yang biasa dilontarkan oleh orang ingin membela diri.
Mereka hanya berkata: “Kemaslahatan muslimin menuntut demikian”.
Protes minoritas inilah yang menyebabkan
mereka memisahkan diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi arena
politik kala itu. Dengan demikian, terwujudlah dua golongan di dalam
tubuh masyarakat muslim yang baru ditinggal oleh pemimpinnya. Akan
tetapi, pihak mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui oleh para
musuh luar Islam, mereka mengeksposkan sebuah berita kepada masyarakat
bahwa pihak minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi.
Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh Islam.
Meskipun adanya tekanan-tekanan dari
kelompok mayoritas, kelompok minoritas ini masih tetap teguh memegang
keyakinannya bahwa kepemimpinan adalah hak Imam Ali bin abi thalib as
setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Bukan hanya itu, dalam
menghadapi segala problema kehidupan, mereka hanya merujuk kepada Imam
Ali bin abi thalib as untuk memecahkannya, bukan kepada pemerintah.
Meskipun demikian, berkenaan dengan problema-problema yang menyangkut
kepentingan umum, mereka tetap bersedia untuk ikut andil memecahkannya.
Banyak problema telah terjadi yang tidak dapat dipecahkan oleh para
khalifah, dan Imam Ali bin abi thalib as tampil aktif dalam
memecahkannya.
c. Penyelewengan pada Masa Tiga Khalifah
Pada masa kepemimpinan tiga khalifah
pertama muslimin, banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan dilakukan
oleh mereka dalam menjalankan pemerintahan yang tidak sesuai dengan rel
Islam dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Diamnya pemerintah atas pembunuhan
yang telah dilakukan oleh Khalid bin Walid terhadap Malik bin Nuwairah
yang berlanjut dengan pemerkosaan terhadap istrinya, pembagian harta
baitul mal yang tidak merata sehingga menimbulkan perbedaan strata
masyarakat kaya dan miskin, penghapusan dua jenis mut’ah yang sebelumnya
pernah berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW, penghapusan khumus dari
orang-orang yang berhak menerimanya, pelarangan penulisan hadis-hadis
Nabi Muhammad SAW, pelarangan mengucapkan hayya ‘alaa khairil ‘amal
dalam azan, pemberian harta dan dukungan istimewa kepada Mu’awiyah
sehingga ia dapat berkuasa di Syam dengan leluasa, dan lain sebagainya,
semua itu adalah bukti jelas penyelewengan dan kepincangan yang terjadi
pada masa tiga khalifah pertama. Semua itu jelas terjadi sehingga orang
yang berpikiran jernih dan tidak dipengaruhi oleh fanatisme mazhab akan
dapat menerimanya dengan menelaah buku-buku sejarah yang otentik.
Setelah Utsman bin Affan, Khalifat ketiga
muslimin dibunuh oleh para “pemberontak” yang tidak rela dengan
kinerjanya selama ia memegang tampuk khilafah, masyarakat dengan serta
merta memilih Imam Ali bin abi thalib as secara aklamasi untuk memegang
tampuk khilafah. Di antara Muhajirin yang pertama kali berbai’at
dengannya adalah Thalhah dan Zubair. Hal ini terjadi pada tahun 5 H.
Sangat disayangkan kekhilafahannya hanya berjalan sekitar 4 tahun 5
bulan, masa yang sangat sedikit untuk mengadakan sebuah perombakan dan
reformasi mendasar.
Begitu ia menjadi khalifah, khotbah
pertama yang dilontarkannya adalah sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa
segala kesulitan yang pernah kalian alami di masa-masa pertama Nabi
Muhammad SAW diutus menjadi nabi, sekarang akan kembali menimpa kalian.
Sekarang orang-orang yang memiliki keahlian dan selama ini disingkirkan
harus memiliki kedudukan yang layak dan orang-orang yang tidak becus
harus disingkirkan dari kedudukan yang telah diberikan kepada mereka
dengan tidak benar”.
Ia mengadakan perombakan-perombakan
secara besar-besaran, baik di bidang birokrasi maupun bidang pembagian
harta baitul mal. Ia mengganti semua gubernur daerah yang telah ditunjuk
oleh para khalifah sebelumnya dengan orang-orang yang layak untuk
memegang tampuk tersebut dan membagikan harta baitul mal dengan sama
rata di antara masyarakat. Hal ini menyebabkan sebagian sahabat sakit
hati. Tentunya mereka yang merasa dirugikan oleh metode Imam Ali bin abi
thalib as tersebut. Hal itu dapat kita pahami dalam peristiwa-peristiwa
berdarah berikut:
Faktor utama perang Jamal adalah rasa
sakit hati Thalhah dan Zubair karena hak mereka –sebagai sahabat senior–
dari harta baitul mal merasa dikurangi dan disamaratakan dengan
masyarakat umum. Dengan alasan ingin menziarahi Ka’bah, mereka masuk ke
kota Makkah dan menemui A’isyah yang memiliki hubungan tidak baik dengan
Imam Ali bin abi thalib as demi mengajaknya memberontak atas
pemerintahan yang sah. Slogan yang mereka gembar-gemborkan untuk menarik
perhatian opini umum adalah membalas dendam atas kematian Utsman.
Padahal, ketika Utsman dikepung oleh para “pemberontak” yang ingin
membunuhnya, mereka ada di Madinah dan tidak sedikit pun usaha yang
tampak dari mereka untuk membelanya. A’isyah sendiri adalah orang
pertama dan paling bersemangat mensupport masyarakat untuk membunuhnya.
Ketika ia mendengar Utsman telah terbunuh, ia mencelanya dan merasa
bahagia karena itu.
Faktor utama perang Shiffin adalah rasa
tamak Mu’awiyah atas khilafah, karena ia telah disingkirkan oleh Imam
Ali bin abi thalib as dari kursi kegubernuran Syam. Perang ini
berlangsung selama 1,5 tahun yang telah memakan banyak korban tidak
bersalah. Slogan Mu’awiyah di perang adalah membalas dendam atas
kematian Utsman juga. Padahal, selama Utsman dalam kepungan para
“pemberontak”, ia meminta bantuan dari Mua’wiyah yang bercokol di Syam
demi membasmi mereka. Dengan satu pleton pasukan lengkap, Mu’awiyah
berangkat dari Syam ke arah Madinah. Akan tetapi, di tengah perjalanan
mereka sengaja memperlambat jalannya pasukan sehingga Utsman terbunuh.
Setelah mendengar Utsman terbunuh, mereka kembali ke Syam dan kemudian
bergerak kembali menuju ke Madinah dengan slogan “membalas dendam atas
kematian Utsman”. Akhirnya pecahlah Shiffin.
Anehnya, ketika Imam Ali bin abi thalib
as syahid dan Mu’awiyah berhasil memegang tampuk khilafah, mengapa ia
tidak mendengung-dengungkan kembali slogan “membalas dendam atas
kematian Utsman”?
Setelah perang Shiffin berhasil
dipadamkan, perang Nahrawan berkecamuk. Faktornya adalah ketidakpuasan
sebagian sahabat yang disulut oleh Mu’awiyah atas pemerintahan Imam Ali
bin abi thalib as dan atas hasil perdamaian yang dipaksakan oleh mereka
sendiri terhadap Imam Ali bin abi thalib as yang menghasilkan
pencabutannya dari kursi khilafah dan penetapan Mu’awiyah sebagai
khalifah muslimin. Tapi akhirnya, Imam Ali bin abi thalib as juga
berhasil memadamkan api perang tersebut.
Tidak lama berselang dari peristiwa
Nahrawan, Imam Ali bin abi thalib as syahid dengan kepala yang
mengucurkan darah akibat tebasan pedang Abdurrahman bin Muljam di mihrab
masjid Kufah.
d. Keberhasilan-keberhasilan Pemerintahan Imam Ali bin abi thalib as
Meskipun Imam Ali bin abi thalib as tidak
berhasil memapankan kembali situasi masyarakat Islam yang sudah bobrok
itu secara sempurna, akan tetapi, dalam tiga segi ia dapat dikatakan
berhasil:
Pertama, dengan kehidupan sederhana yang
dimilikinya, ia berhasil menunjukkan kepada masyarakat luas, khususnya
para generasi baru, metode hidup Nabi Muhammad SAW yang sangat menarik
dan pantas untuk diteladani. Hal ini berlainan sekali dengan kehidupan
Mu’awiyah yang serba mewah. Ia a.s. tidak pernah mendahulukan
kepentingan keluarganya atas kepentingan umum.
Kedua, dengan segala kesibukan dan
problema sosial yang dihadapinya, ia masih sempat meninggalkan warisan
segala jenis ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan masyarakat dan
dapat dijadikan sebagai penunjuk jalan untuk mencapai tujuan hidup
insani yang sebenarnya. Ia mewariskan sebelas ribu ungkapan-ungkapan
pendek dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan rasional, sosial dan
keagamaan. Ia adalah pencetus tata bahasa Arab dan orang pertama yang
mengutarakan pembahasan-pembahasan filosofis yang belum pernah dikenal
oleh para filosof kaliber kala itu. Dan ia juga orang pertama dalam
Islam yang menggunakan argumentasi-argumentasi rasional dalam menetapkan
sebuah pembahasan filosofis.
Ketiga, ia berhasil mendidik para pakar
agama Islam yang dijadikan sumber rujukan dalam bidang ilmu ‘irfan oleh
para ‘arif di masa sekarang, seperti Uwais Al-Qarani, Kumail bin Ziyad,
Maitsam At-Tammar dan Rusyaid Al-Hajari.
e.Masa Sulit bagi Mazhab Syiah
Setelah Imam Ali bin abi thalib as syahid
di mihrab shalatnya, masyarakat waktu itu membai’at Imam Hasan a.s.
untuk memegang tampuk khilafah. Setelah ia dibai’at, Mu’awiyah tidak
tinggal diam. Ia malah mengirim pasukan yang berjumlah cukup besar ke
Irak sebagai pusat pemerintahan Islam waktu itu untuk mengadakan
peperangan dengan pemerintahan yang sah. Dengan segala tipu muslihat dan
iming-iming harta yang melimpah, Mu’wiyah berhasil menipu para anggota
pasukan Imam Hasan a.s. dan dengan teganya mereka meninggalkannya
sendirian. Melihat kondisi yang tidak berpihak kepadanya dan dengan
meneruskan perang Islam akan hancur, dengan terpaksa ia harus mengadakan
perdamaian dengan Mu’awiyah. (Butir-butir perjanjian ini dapat dilihat
di sejarah 14 ma’shum a.s.)
Setelah Mu’awiyah berhasil merebut
khilafah dari tangan Imam Hasan a.s. pada tahun 40 H., –sebagaimana
layaknya para pemeran politik kotor– ia langsung menginjak-injak surat
perdamaian yang telah ditandatanganinya. Dalam sebuah kesempatan ia
pernah berkata: “Aku tidak berperang dengan kalian karena aku ingin
menegakkan shalat dan puasa. Sesungguhnya aku hanya ingin berkuasa atas
kalian, dan aku sekarang telah sampai kepada tujuanku”.
Dengan demikian, Mu’awiyah ingin
menghidupkan kembali sistem kerajaan sebagai ganti dari sistem khilafah
sebagai penerus kenabian. Hal ini diperkuat dengan diangkatnya Yazid,
putranya sebagai putra mahkota dan penggantinya setelah ia mati.
Mua’wiyah tidak pernah memberikan
kesempatan kepada para pengikut Syi’ah untuk bernafas dengan tenang.
Setiap ada orang yang diketahui sebagai pengikut Syi’ah, ia akan
langsung dibunuh di tempat. Bukan hanya itu, setiap orang yang
melantunkan syair yang berisi pujian terhadap keluarga Ali a.s., ia akan
dibunuh meskipun ia bukan pengikut Syi’ah. Tidak cukup sampai di sini
saja, ia juga memerintahkan kepada para khotib shalat Jumat untuk
melaknat dan mencerca Imam Ali bin abi thalib as Kebiasaan ini
berlangsung hingga masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz pada tahun
99-101 H.
Masa pemerintahan Mu’awiyah (selama 20
tahun) adalah masa tersulit bagi Mazhab Syiah di mana mereka tidak
pernah memiliki sedikit pun kesempatan untuk bernafas.
Mayoritas pengikut Ahlussunnah
menakwilkan semua pembunuhan yang telah dilakukan oleh para sahabat,
khususnya Mu’awiyah itu dengan berasumsi bahwa mereka adalah sahabat
Nabi SAWW dan semua perilaku mereka adalah ijtihad yang dilandasi oleh
hadis-hadis yang telah mereka terima darinya. Oleh karena itu, semua
perilkau mereka adalah benar dan diridhai oleh Allah SWT. Seandainya pun
mereka salah dalam menentukan sikap dan perilaku, mereka akan tetap
mendapatkan pahala berdasarkan ijtihad tang telah mereka lakukan.
Akan tetapi, Syi’ah tidak menerima asumsi di atas dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, tidak masuk akal jika seorang
pemimpin yang ingin menegakkan kebenaran, keadilan dan kebebasan dan
mengajak orang-orang yang ada si sekitarnya untuk merealisasikan hal
itu, setelah tujuan yang diinginkannya itu terwujudkan, ia merusak
sendiri cita-citanya dengan cara memberikan kebebasan mutlak kepada para
pengikutnya, dan segala kesalahan, perampasan hak orang lain dengan
segala cara, serta tindakaan-tindakan kriminal yang mereka lakukan
dimaafkan.
Kedua, hadis-hadis yang “menyucikan” para
sahabat dan membenarkan semua perilaku non-manusiwi mereka berasal dari
para sahabat sendiri. Dan sejarah membuktikan bahwa mereka tidak pernah
memperhatikan hadis-hadis di atas. Mereka saling menuduh, membunuh,
mencela dan melaknat. Dengan bukti di atas, keabsahan hadis-hadis di
atas perlu diragukan.
Mu’awiyah menemui ajalnya pada tahun 60
H. dan Yazid, putranya menduduki kedudukannya sebagai pemimpin umat
Islam. Sejarah membuktikan bahwa Yazid adalah sosok manusia yang tidak
memiliki kepribadian luhur sedikit pun. Kesenangannya adalah
melampiaskan hawa nafsu dan segala keinginannya. Dengan latar
belakangnya yang demikian “cemerlang”, tidak aneh jika di tahun pertama
memerintah, ia tega membunuh Imam Husein a.s., para keluarga dan
sahabatnya dengan dalih karena mereka enggan berbai’at dengannya.
Setelah itu, ia menancapkan kepala para syahid tersebut di ujung tombak
dan mengelilingkannya di kota-kota besar; Di tahun kedua memerintah, ia
mengadakan pembunuhan besar-besaran di kota Madinah dan menghalalkan
darah, harta dan harga diri penduduk Madinah selama tiga hari kepada
para pasukannya; Di tahun ketiga memerintah, ia membakar Ka’bah, kiblat
muslimin.
Setelah masa Yazid dengan segala
kebrutalannya berlalu, Bani Marwan yang masih memiliki hubungan keluarga
dengan Bani Umaiyah menggantikan kedudukannya. Mereka pun tidak kalah
kejam dan keji dari Yazid. Mereka berhasil berkuasa selama 70 tahun dan
jumlah khalifah dari dinasti mereka adalah sebelas orang. Salah seorang
dari mereka pernah ingin membuat sebuah kamar di atas Ka’bah dengan
tujuan untuk melampiaskan hawa nafsunya di dalamnya ketika musim haji
tiba.
Dengan melihat kelaliman yang dilakukan
oleh para khalifah waktu itu, para pengikut Syi’ah makin kokoh dalam
memegang keyakinan mereka. Di akhir-akhir masa kekuasaan Bani Umaiyah,
mereka dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa mereka masih
memilliki eksistensi dan mampu untuk melawan para penguasa lalim. Di
masa keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan belum 40 tahun berlalu dari
terbunuhnya Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah yang berdomisili di
berbagai negara dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan Bani Umaiyah
karena tekanan-tekanan dari para pemberontak yang tidak puas dengan
perilaku mereka, datang ke Madinah untuk belajar dari Imam Baqir a.s.
Sebelum abad ke-1 H. usai, beberapa pembesar kabilah di Iran membangun
kota Qom dan meresmikannya sebagai kota pemeluk Syi’ah. Beberapa kali
para keturunan Imam Ali bin abi thalib as karena tekanan yang dilakukan
oleh Bani Umaiyah atas mereka, mengadakan pemberontakan-pemberontakan
melawan penguasa dan perlawanan mereka –meskipun mengalami kekalahan–
sempat mengancam keamanan pemerintah. Realita ini menunjukkan bahwa
eksistensi Syi’ah belum sirna.
Dikarenakan kelaliman dinasti Bani
Umaiyah yang sudah melampui batas, opini umum sangat membenci dan murka
terhadap mereka. Setelah dinasti mereka runtuh dan penguasa terkahir
mereka (Marwan ke-2 yang juga dikenal dengan sebutan Al-Himar, berkuasa
dari tahun 127-132 H.) dibunuh, dua orang putranya melarikan diri
bersama keluarganya. Mereka meminta suaka politik kepada berbagai
negara, dan mereka enggan memberikan suaka politik kepada para pembunuh
keluarga Nabi Muhammad SAW tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung
di gurun pasir yang panas, mayoritas mereka binasa karena kehausan dan
kelaparan. Sebagian yang masih hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan
berpakaian compang-camping ala pengangkat barang di pasar-pasar mereka
berhasil memasuki kota Makkah. Di Makkah pun mereka tidak berani
menampakkan batang hidung, mungkin karena malu atau karena sebab yang
lain.
f. Sejarah Syiah pada Abad Ke-2 H.
Di akhir-akhir sepertiga pertama abad
ke-2 H., karena kelaliman dinasti Bani Umaiyah, muncul sebuah
pemberontakan dari arah Khurasan, Iran dengan mengatasnamakan Ahlu Bayt
a.s. Pemberontakan ini dipelopori oleh seorang militer berkebangsaan
Iran yang bernama Abu Muslim Al-Marwazi. Dengan syiar ingin membalas
dendam atas darah Ahlu Bayt a.s., ia memulai perlawanannya terhadap
dinasti Bani Umaiyah. Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar
tersebut sehingga mereka mendukung pemberontakannya. Akan tetapi,
pemberontakan ini tidak mendapat dukungan dari Imam Shadiq a.s. Ketika
Abu Muslim menawarkan kepadanya untuk dibai’at sebagai pemimpin umat, ia
menolak seraya berkata: “Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan
masaku untuk memberontak”.
Setelah mereka berhasil merebut kekuasaan
dari tangan Bani Umaiyah, di hari-hari pertama berkuasa mereka
memperlakukan para keturunan Imam Ali bin abi thalib as dengan baik, dan
demi membalas dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan, mereka
membunuh semua keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka menggali
kuburan-kuburan para penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka.
Tidak lama berlalu, mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius
terhadap para keturunan Imam Ali bin abi thalib as dan para pengikut
mereka serta orang-orang yang simpatik kepada mereka. Abu Hanifah pernah
dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga
pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji,
dibunuh dengan racun dan para keturunan Imam Ali bin abi thalib as
dibunuh atau dikubur hidup-hidup.
Kesimpulannya, kondisi para pengikut
Syi’ah pada masa berkuasanya dinasti Bani Abasiah tidak jauh berbeda
dengan kondisi mereka pada masa dinasti Bani Umaiyah.
g. Sejarah Syiah pada Abad Ke-3 H.
Dengan masuknya abad ke-3 H., para
pengikut Syi’ah Imamiah mendapatkan kesempatan baru untuk mengembangkan
missi mereka. Mereka dapat menikmati sedikit keleluasaan untuk
mengembangkan dakwah di berbagai penjuru. Faktornya adalah dua hal
berikut:
Pertama, banyaknya buku-buku berbahasa
Yunani dan Suryani dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan masyarakat bersemangat untuk
memperlajari ilmu-ilmu rasional dengan antusias. Di samping itu, peran
Ma`mun Al-Abasi (195-218 H.) juga tidak patut dilupakan. Ia menganut
mazhab Mu’tazilah yang sangat mendorong para pengikutnya untuk
mengembangkan dan mempelajari argumentasi-argumentasi rasional. Oleh
karena itu, ia memberikan kebebasan penuh kepada para pemikir dan teolog
setiap agama untuk menyebarkan teologi dan keyakinan mereka
masing-masing. Para pengikut Syi’ah tidak menyia-siakan kesempatan ini.
Mereka mengembangkan jangkauan mazhab Syi’ah ke berbagai penjuru kota
dan mengadakan dialog dengan para pemimpin agama lain demi mengenalkan
keyakinan mazhab Syi’ah kepada khalayak ramai.
Kedua, Ma`mun Al-Abasi mengangkat Imam
Ridha a.s. sebagai putra mahkota. Dengan ini, para keturunan Imam Ali
bin abi thalib as dan sahabat mereka terjaga dari jamahan tangan para
penguasa, dan menemukan ruang gerak yang relatif bebas.
Akan tetapi, kondisi ini tidak
berlangsung lama. Karena setelah semua itu berlalu, politik kotor
dinasti Bani Abasiyah mulai merongrong para keturunan Imam Ali bin abi
thalib as dan pengikut mereka kembali. Khususnya pada masa Mutawakil
Al-Abasi (232-247 H.). Atas perintahnya, kuburan Imam Husein a.s. di
Karbala` diratakan dengan tanah.
h. Sejarah Syiah pada Abad ke-4 H.
Pada abad ke-4 H., dengan melemahnya
kekuatan dinasti Bani Abasiyah dan kuatnya pengaruh para raja dinasti
Alu Buyeh yang menganut mazhab Syi’ah di Baghdad (pusat khilafah Bani
Abasiyah kala itu), terwujudlah sebuah kesempatan emas bagi para
penganut Syi’ah untuk mengembangkan mazhab mereka dengan leluasa. Dengan
demikian, –menurut pendapat para sejarawan–mayoritas penduduk jazirah
Arab, seperti Hajar, Oman, dan Sha’dah, kota Tharablus, Nablus,
Thabariah, Halab dan Harat menganut mazhab Syi’ah kecuali mereka yang
berdomisili di kota-kota besar. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab
Ahlussunnah dan kota Kufah sebagai pusat mazhab Syi’ah selalu terjadi
gesekan-gesekan antar mazhab. Tidak sampai di situ, penduduk kota Ahvaz
dan Teluk Persia di Iran juga memeluk mazhab Syi’ah.
Di awal abad ini, seorang mubaligh yang
bernama Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Hasan bin Ali bin Umar bin Ali
bin Imam Husein a.s. yang dikenal dengan sebutan Nashir Uthrush (250-320
H.) melakukan aktifitas dakwahnya di Iran Utara dan berhasil menguasai
Thabaristan. Lalu ia membentuk sebuah kerajaan di sana. Sebelumnya,
Hasan bin Yazid Al-Alawi juga pernah berkuasa di daerah itu.
Pada abad ini juga tepatnya tahun 296-527
H., dinasti Fathimiyah yang menganut mazhab Syi’ah Isma’iliyah berhasil
menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan besar di sana.
Sangat sering terjadi gesekan-gesekan
antar mazhab di kota-kota seperti Bahgdad, Bashrah dan Nisyabur antara
mazhab Ahlusunnah dan Syi’ah, dan di mayoritas gesekan antar mazhab
tersebut, Syi’ah berhasil menang dengan gemilang.
i. Sejarah Syiah pada Abad ke-5 hingga Abad ke-9 H.
Dari abad ke-5 hingga abad ke-9 H.,
sistematika perkembangan mazhab Syi’ah tidak jauh berbeda dengan
sistematika perkembangannya pada abad ke-4. Perkembangannya selalu
didukung oleh kekuatan pemerintah yang memang menganut mazhab Syi’ah. Di
akhir abad ke-5 H., mazhab Syi’ah Isma’iliyah berkuasa di Iran selama
kurang lebih satu setengah abad dan ia dapat menyebarkan ajaran-ajaran
Syi’ah dengan leluasa. Dinasti Al-Mar’asyi bertahun-tahun berkuasa di
Mazandaran, Iran. Setelah masa mereka berlalu, dinasti Syah Khudabandeh,
silsilah kerajaan Mongol memeluk dan menyebarkan mazhab Syi’ah. Dan
kemudian, raja-raja dari dinasti Aaq Quyunlu dan Qareh Quyunlu yang
berkuasa di Tabriz dan kekuasaan mereka terbentang hingga ke daerah
Kerman serta dinasti Fathimiyah di Mesir berhasil menyebarkan mazhab
Syi’ah ke seluruh masyarakat ramai.
Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung
lama. Setelah dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran dan dinati Alu
Ayyub berkuasa, para pengikut Syi’ah mulai terikat kembali dan mereka
tidak bebas menyebarkan mazhab mereka. Banyak para tokoh Syi’ah yang
dipenggal kepalanya pada masa itu. Seperti Syahid Awal dan seorang faqih
kenamaan Syi’ah, Muhammad bin Muhammad Al-Makki dipenggal kepalanya
pada tahun 786 H. di Damaskus karena tuduhan menganut mazhab Syi’ah, dan
Syeikh Isyraq, Syihabuddin Sahruwardi dipenggal kepalanya di Halab
karena tuduhan mengajarkan filsafat.
j. Sejarah Syiah pada Abad ke-10 hingga ke-11 H.
Pada tahun 906 H., Syah Isma’il Shafawi
yang masih berusia 13 tahun, salah seorang keturunan Syeikh Shafi
Al-Ardabili (seorang syeikh thariqah di mazhab Syi’ah dan meninggal pada
tahun 153 H.), ingin mendirikan sebuah negara Syi’ah yang mandiri.
Akhirnya, ia mengumpulkan para Darwisy pengikut kakeknya dan mengadakan
pemberontakan dimulai dari daerah Ardabil dengan cara memberantas sistem
kepemimpinan kabilah yang dominan kala itu dan membebaskan seluruh
daerah Iran dari cengkraman dinasti Utsmaniyah dengan tujuan supaya Iran
menjadi negara yang tunggal. Dan ia berhasil mewujudkan cita-citanya
tersebut sehingga sebuah kerajaan Syi’ah Imamiah terbentuk dan berdaulat
kala itu. Setelah ia meninggal dunia, kerajaannya diteruskan oleh
putra-putranya. Mazhab Syi’ah kala itu memiliki legistimasi hukum yang
sangat kuat sehingga semua organ pemerintah menganut mazhab Syi’ah. Pada
masa kecemerlangan dinasti Shafawiyah di bawah pimpinan Syah Abbas yang
Agung, kuantitas pengikut Syi’ah mencapai dua kali lipat penduduk Iran
pada tahun 1384 H.
k. Sejarah Syiah Pada Abad ke-12 hingga ke-14 H.
Di tiga abad terakhir ini, mazhab Syi’ah
berkembang dengan sangat pesat, khususnya setelah ia menjadi mazhab
resmi Iran setelah kemenangan Revolusi Islam. Begitu juga di Yaman dan
Irak, mayoritas penduduknya memeluk mazhab Syi’ah. Dapat dikatakan bahwa
di setiap negara yang penduduknya muslim, akan ditemukan para pemeluk
Syi’ah. Di masa sekarang, diperkirakan bahwa pengikut Syi’ah di seluruh
dunia berjumlah 300.000.000 lebih.
Fatimah puteri Nabi SAW mati muda karena sakit akibat keguguran setelah perutnya dipukul Umar Bin Khattab hingga Fatimah keguguran, peristiwa tersebut terjadi sewaktu Umar cs menyerbu ke rumah Fatimah malam hari pasca tragedi Pemilihan Abubakar di Saqifah… Logiskah Umar bin Khattab dijamin surga ???
Posted on Maret 25, 2011 by syiahali
http://syiahali.wordpress.com/2011/03/25/fatimah-puteri-nabi-saw-mati-muda-karena-sakit-akibat-keguguran-setelah-perutnya-dipukul-umar-bin-khattab-hingga-fatimah-keguguran-peristiwa-tersebut-terjadi-sewaktu-umar-cs-menyerbu-ke-rumah-f/
Pintu yang menjadi saksi gugurnya Muhsin ; Martyrdom of the Unborn Child, Mohsin
Ringkasan Pertanyaan
.
Apakah hal-hal yang berkenaan dengan syahâdah Hadhrat Fatimah Sa dapat dijumpai pada literatur-literatur Ahlusunnah?
.
Pertanyaan
Apakah hal-hal yang berkenaan dengan syahâdah Hadhrat Fatimah Sa
dapat dijumpai pada literatur-literatur Ahlusunnah? Tolong Anda sebutkan
literatur-literatur itu dan sedapat mungkin dikirim ke email saya.
Terima kasih.
.
Jawaban Global
Fakta sejarah ini tetap hidup dan terjaga dalam kitab-kitab sejarah
dan hadis. Para pembesar Ahlusunnah seperti Ibnu Abi Syaibah, Baladzuri,
Ibnu Qutaibah dan sebagainya mengakui fakta ini. Untuk mengetahui lebih
jauh beberapa referensi terkait dengan penyerangan rumah Hadhrat Zahra
Sa demikian juga beberapa referensi berkenaan dengan syahâdah Hadhrat
Fatimah Zahra Sa kami persilahkan Anda untuk melihat jawaban detil dari
site ini
.
Jawaban Detil
Peristiwa Seputar Wafatnya Fatimah RA
Enam bulan kemudian
Satu penggal kisah yang terhimpun dalam buku-buku sejarah, adalah sebuah episode kesedihan nan memilukan.
Tampaknya, meskipun Sayyidina ‘Ali memutuskan untuk mengurung diri di
rumah dan memilih untuk tidak ambil bagian dalam politik kekuasaan,
namun pintu rumah tinggalnya dibakar ketika istri tercinta, Sayyidah
Fatimah, putri Rasulullah, sedang berada di dalam.
Pintu yang dibakar, pukulan keras
gagang pedang, dorongan keras dan itu semua yang mematahkan rusuk dan
tangan Fatimah dan mengakibatkan luka serius, hingga bayi dalam
kandungannya pun keguguran.
Tampaknya penyerbuan itu terjadi secara mendadak dan tak terduga, tak
seorang pun siap siaga menghadapinya. Putri Rasulullah itu menderita
luka serius, hingga akhirnya pingsan. Sementara pintu rumah itu diliputi
kepulan asap yang menyisakan trauma mendalam bagi anak-anaknya. Ketika
Sayyidina ‘Ali merawat istrinya dan anak-anaknya yang hampir mati lemas,
dia disergap dan diseret keluar dari rumahnya. Bahkan setelah peristiwa
ini, warisan Fatimah dari ayahnya, Rasulullah Saw, pun ikut disita
Dua hari setelah Kewafatan nabi Muhammad Saww, maka Umar bin Khattab
memimpin tentara ke rumah ALI AS. Mereka berteriak memanggil orang
orang yang ada di dalam rumah untuk berbaiat kepada Abu Bakar dan
mengancam untuk membakar rumah bila tidak ada yang mau keluar. karena
tidak ada orang yang mau keluar rumah, tentara – tentara itu memaksa
masuk. Fatimah AS yang sedang hamil sedang berdiri di belakang pintu.
Umar bin Khattab mendorong fatimah AS ke belakang pintu yang terbakar.
Umar telah mematahkan tulang rusuk dan pergelangan tangan bunda Fatimah
AS, dan Bahkan bunda Fatimah AS juga kemudian keguguran atas putranya
yang bernama Muhsin AS.Sekujur tubuh Fatimah terluka parah, mentalnya
terguncang. Hal ini menyebabkan kondisi tubuhnya semakin lemah
.Enam bulan kemudian
Ali dan Fatimah menangis sesaat. Kemudian, Imam ‘Ali as memegang
kepala Sayyidah Fathimah dan menyandarkan ke dadanya. Beliau berkata.
“Wasiatkanlah kepadaku apa yang ingin kau wasiatkan.”
Sayyidah Fathimah lalu berwasiat, “Semoga Tuhanmu membalas
kebaikanmu, wahai anak pak cik Rasulullah! Wasiatku yang pertama adalah
agar engkau menikahi Umamah, puteri saudaraku. Sebab dia sangat
menyayangi anak-anakku dan kaum lelaki memang harus memiliki isteri.
Wasiatku yang lain, siapapun di antara mereka yang menzalimiku dan
merampas hakku tidak boleh menghadiri upacara pemakamanku. Sebab, mereka
musuhku dan musuh Rasulullah saww. Jangan biarkan salah seorang di
antara mereka, atau pengikut mereka, mensolati jenazahku. Wahai Abul
Hasan! Kuburkan jenazahku di malam hari, saat semua mata tertidur…”
Setelah beberapa bulan kemudian Fatimah wafat pada tanggal 14 Jumadil
Awal 11 H. Fatimah dimakamkan pada malam harinya. Hanya keluarga Bani
Hasyim, dan para sahabat pilihan saja, seperti Salman, Abu Dzarr, Ammar
bin Yasir dan Miqdal al-Aswad yang diperkenankan menyertai pemakamannya
…………………..
Terkait dengan hal ini kami akan mengutip beberapa matan dari
kitab-kitab Ahlusunnah sehingga menjadi jelas bahwa masalah penyerangan
kediaman Hadhrat Fatimah Zahra Sa merupakan sebuah peristiwa sejarah
faktual dan niscaya serta bukan sebuah mitos dan legenda!! Meski pada
masa para khalifah terjadi sensor besar-besaran terhadap penulisan
keutamaan dan derajat (para maksum); akan tetapi kaidah menyatakan bahwa
“hakikat (kebenaran) adalah penjaga sesuatu.” Hakikat sejarah ini tetap
hidup dan terjaga dalam kitab-kitab sejarah dan hadis. Di sini kami
akan mengutip beberapa referensi dengan memperhatikan urutan masa
semenjak abad-abad pertama hingga masa kiwari.
1. Ibnu Abi Syaibah dan kitab “Al-Musannif”
Abu Bakar bin Abi Syaibah (159-235 H) pengarang kitab al-Mushannif dengan sanad sahih menukil demikian:
“Tatkala orang-orang memberikan baiat kepada Abu Bakar, Ali dan
Zubair berada di rumah Fatimah berbincang-bincang dan melakukan
musyawarah. Hal ini terdengar oleh Umar bin Khattab. Ia pergi ke rumah
Fatimah dan berkata, “Wahai putri Rasulullah, ayahmu merupakan orang
yang paling terkasih bagi kami dan setelah Rasulullah adalah engkau.
Namun demi Allah! Kecintaan ini tidak akan menjadi penghalang. Apabila
orang-orang berkumpul di rumahmu maka Aku akan perintahkan supaya
rumahmu dibakar. Umar bin Khattab menyampaikan ucapan ini dan keluar.
Tatkala Ali As dan Zubair kembali ke rumah, putri Rasulullah Saw
menyampaikan hal ini kepada Ali As dan Zubair: Umar datang kepadaku dan
bersumpah apabila kalian kembali berkumpul maka ia akan membakar rumah
ini. Demi Allah! Apa yang ia sumpahkan akan dilakukannya![1]
2. Baladzuri dan kitab “Ansab al-Asyrâf”
Ahmad bin Yahya Jabir Baghdadi Baladzuri (wafat 270) penulis masyhur
dan sejarawan terkemuka, mengutip peristiwa sejarah ini dalam kitab
“Ansab al-Asyrâf” sebagaimaan yang telah disebutkan.
Abu Bakar mencari Ali As untuk mengambil baiat darinya, namun Ali
tidak memberikan baiat kepadanya. Kemudian Umar bergerak disertai dengan
alat untuk membakar dan kemudian bertemu dengan Fatima
di depan rumah. Fatimah berkata, “Wahai putra Khattab! Saya melihat kau
ingin membakar rumahku? Umar berkata, “Iya. Perbuatan ini akan membantu
pekerjaan yang untuknya ayahmu diutus.”[2]
3. Ibnu Qutaibah dan kitab “Al-Imâmah wa al-Siyâsah”
Sejarawan kawakan Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Dainawari
(216-276) yang merupakan salah seorang tokoh dalam sastra dan penulis
kawakan dalam bidang sejarah Islam, penulis kitab “Ta’wil Mukhtalaf
al-Hadits” dan “Adab al-Kitab” dan sebagainya. Dalam kitab “Al-Imamah wa
al-Siyasah” ia menulis sebagai berikut:
“Abu Bakar mencari orang-orang yang menghindar untuk memberikan baiat
kepadanya dan berkumpul di rumah Ali bin Abi Thalib. Kemudian ia
mengutus Umar untuk mendatangi mereka. Ia datang ke rumah Ali As dan
tatkala ia berteriak untuk meminta mereka keluar namun orang-orang dalam
rumah tidak mau keluar.
Melihat hal ini Umar meminta supaya kayu bakar
dikumpulkan dan berkata, “Demi Allah yang jiwa Umar di tangan-Nya!
Apakah kalian akan keluar atau aku akan membakar rumah (ini).” Seseorang
berkata kepada Umar, “Wahai Aba Hafs (julukan Umar) dalam rumah ini ada
Fatimah, putri Rasulullah.” Umar menjawab: “Sekalipun.”!![3]
Ibnu Qutaibah sebagai kelanjutan kisah ini, menulis lebih mengerikan,
“Umar disertai sekelompok orang mendatangi rumah Fatimah. Ia mengetuk
rumah. Tatkala Fatimah mendengar suara mereka, berteriak keras: “Duhai
Rasulullah! Selepasmu alangkah besarnya musibah yang ditimpakan putra
Khattab dan putra Abi Quhafah kepada kami.” Tatkala orang-orang yang
menyertai Umar mendengar suara dan jerit tangis Fatimah, maka mereka
memutuskan untuk kembali namun Umar tinggal disertai sekelompok orang
dan menyeret Ali keluar rumah dan membawanya ke hadapan Abu Bakar dan
berkata kepadanya, “Berbaiatlah.” Ali berkata, “Apabila Aku tidak
memberikan baiat lantas apa yang akan terjadi?” Orang-orang berkata,
“Demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya, kami akan memenggal kepalamu.”[4]
Tentu saja penggalan sejarah ini sangat berat dan pahit bagi mereka
yang mencintai syaikhain (dua orang syaikh, Abu Bakar dan Umar). Karena
itu, mereka meragukan kitab ini sebagai karya Ibnu Qutaibah. Padahal
Ibnu Abil Hadid, guru sejarah ternama, memandang bahwa kitab ini
merupakan karya Ibnu Qutaibah dan senantiasa menukil hal-hal di atas.
Namun amat disayangkan kitab ini telah mengalami distorsi dan sebagian
hal telah dihapus tatkala dicetak sementara hal yang sama disebutkan
dalam Syarh Nahj al-Balâghah karya Ibnu Abil Hadid.
Zarkili menegaskan bahwa kitab “Al-Imâmah wa al-Siyâsah” ini
merupakan karya Ibnu Qutaibah dan mengimbuhkan bahwa sebagian memiliki
pendapat terkait dengan masalah ini. Artinya keraguan dan sangsi
disandarkan kepada orang lain bukan kepada mereka, sebagaimana Ilyas
Sarkis[5] memandang bahwa kitab ini merupakan salah satu karya Ibnu Qutaibah.4. Thabari dan kitab “Târikh”
Muhammad bin Jarir Thabari (W 310 H) dalam Târikh-nya peristiwa penyerangan ke rumah wahyu menjelaskan demikian:
Umar bin Khattab mendatangi rumah Ali bin Abi Thalib sementara
sekelompok orang-orang Muhajir berkumpul di tempat itu. Umar berkata
kepada mereka: “Demi Allah! Saya akan membakar rumah ini kecuali kalian
keluar untuk memberikan baiat.” Zubair keluar dari rumah sembari membawa
pedang terhunus, tiba-tiba kakinya terjungkal dan pedangnya terjatuh.
Dalam kondisi ini, orang lain menyerangnya dan mengambil pedang darinya.[6]
Penggalan sejarah ini merupakan sebuah indikator bahwa pengambilan
baiat dilakukan dengan intimidasi dan ancaman. Seberapa nilai baiat
semacam ini? Kami persilahkan Anda untuk menjawabnya sendiri.
5. Ibnu Abdurabih dan kitab “Al-‘Aqd al-Farid”
Syihabuddin Ahmad yang lebih dikenal dengan Ibnu Abdurabih Andalusi
(463 H) penulis kitab al-Aqd al-Farid dalam kitabnya menulis sebuah
pembahasan rinci terkait dengan sejarah Saqifah dengan judul
“Orang-orang yang menentang baiat kepada Abu Bakar.” Berikut tulisannya,
“Ali, Abbas dan Zubair duduk di rumah Fatimah dimana Abu Bakar mengutus
Umar bin Khattab untuk mengeluarkan mereka dari rumah Fatimah. Ia
berkata kepadanya, “Apabila mereka tidak keluar, maka berperanglah
dengan mereka! Dan ketika itu, Umar bin Khattab bergerak menuju ke rumah
Fatimah dengan membawa api untuk membakar rumah tersebut. Dalam kondisi
seperti ini, ia berjumpa dengan Fatimah. Putri Rasulullah Saw berkata,
“Wahai putra Khattab! Kau datang untuk membakar (rumah) kami. Ia
menjawab: “Iya. Kecuali kalian memasuki apa yang telah dimasuki umat![7]
Kiranya kami cukupkan sampai di sini penggalan kisah tentang adanya
keinginan untuk menyerang rumah Fatimah. Sekarang mari kita mengulas
pembahasan kedua kita yang menunjukkan alasan adanya niat untuk
menyerang ini.
Apakah penyerangan itu benar-benar terjadi?
Di sini ucapan-ucapan kelompok yang hanya menyinggung niat buruk
khalifah dan para pendukungnya berakhir sampai di sini saja. Sebuah
kelompok yang tidak ingin atau tidak mampu menyuguhkan laporan tragedi
yang terjadi dengan jelas, sementara sebagian kelompok menyinggung inti
tragedi yaitu penyerangan terhadap rumah dan sebagainya, sehingga
tersingkap kedok yang sebenarnya meski pada tingkatan tertentu. Di sini
kami akan menyebutkan beberapa referensi terkait dengan penyerangan dan
penodaan kehormatan (pada bagian ini juga dalam mengutip beberapa
literatur dan referensi ghalibnya dengan memperhatikan urutan masa
penulis atau sejarawan):
1. Abu Ubaid dan kitab “Al-Amwâl”
Abu Ubaid Qasim bin Salam (W 224 H) dalam kitabnya “Al-Amwâl” yang
menjadi sandaran para juris Islam menukil: “Abdurrahman bin Auf berkata,
“Aku datang ke rumah Abu Bakar untuk membesuknya yang tengah sakit.
Setelah berbicara panjang-lebar, ia berkata: “Saya berharap kiranya saya
tidak melakukan tiga perbuatan yang telah saya lakukan. Demikian juga
saya berharap saya bertanya tiga hal kepada Rasulullah Saw. Adapun tiga
hal yang telah saya lakukan dan saya berharap kiranya saya tidak
melakukannya adalah: “Kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah
Fatimah dan membiarkanya begitu saja meski pintunya tertutup untuk
(siap-siap) perang.”[8]
Abu Ubaid tatkala sampai pada redaksi ini, tatkala sampai pada
redaksi ini, alih-alih menulis “Lam aksyif baita Fatima wa taraktuhu…”
Ia malah menulis, “kadza..kadza..” dan menambahkan bahwa saya tidak
ingin menyebutkannya!
Namun kapan saja Abu Ubaid berdasarkan fanatisme mazhab atau alasan
lainnya menolak untuk menukil kebenaran dan hakikat ini; namun para
peneliti kitab al-Amwâl menulis pada catatan kaki: Redaksi kalimatnya
telah dihapus dan disebutkan pada kitab “Mizân al-I’tidâl” (sebagaimana
yang telah dijelaskan). Di samping itu, Thabarani dalam “Mu’jam” dan
Ibnu Abdurrabih dalam “Aqd al-Farid” dan lainnya menyebutkan redaksi
kalimat yang telah dihapus itu. (Perhatikan baik-baik)
2. Thabarani dan kitab “Mu’jam al-Kabir”
Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad Thabarani (260-360 H) dimana Dzahabi
bercerita tentangnya dalam Mizân al-I’tidâl: Ia adalah seorang yang
dapat dipercaya.[9]
Dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir yang berulang kali telah dicetak,
terkait dengan Abu Bakar, khutbah-khutbah dan wafatnya, Thabarani
menyebutkan: “Abu Bakar sebelum wafatnya ia berharap dapat melakukan
beberapa hal. Kiranya saya tidak melakukan tiga hal. Kiranya saya
melakukan tiga hal. Kiranya saya bertanya tiga hal kepada Rasulullah.
Ihwal tiga perkara yang dilakukan dan berharap kiranya tidak
dilakukannya, Abu Bakar menuturkan, “Saya berharap saya tidak melakukan
penodaan atas kehormatan rumah Fatimah dan membiarkannya begitu saja![10] Redaksi-redaksi ini dengan baik menunjukkan bahwa ancaman Umar itu terlaksana.
3. Ibnu Abdurrabih dan “Aqd al-Farid”
Ibnu Abdurrabih Andalusi (W 463 H) penulis kitab “Aqd al-Farid” dalam
kitabnya menukil dari Abdurrahman bin Auf: ““Aku datang ke rumah Abu
Bakar untuk membesuknya yang tengah sakit. Setelah berbicara
panjang-lebar, ia berkata: “Saya berharap kiranya saya tidak melakukan
tiga perbuatan yang telah saya lakukan. Salah satu dari tiga hal
tersebut adalah. Kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah Fatimah dan
membiarkanya begitu saja meski pintunya tertutup untuk (siap-siap)
perang.”[11] Dan juga nama-nama dan ucapan-ucapan orang-orang yang menukil ucapan khalifah ini akan disebutkan bagian mendatang.
Ibrahim bin Sayyar Nazzham Muktalizi (160-231) yang lantaran
keindahan tulisannya dalam puisi dan prosa sehingga ia dikenal sebagai
Nazzham. Dalam beberapa kitab menukil tragedi pasca hadirnya beberapa
orang di rumah Fatimah As. Ia berkata, “Umar, pada hari pengambilan
baiat untuk Abu Bakar, memukul perut Fatimah dan ia keguguran seorang
putra yang diberi nama Muhsin yang ada dalam rahimnya.”[12] (Perhatikan baik-baik)
5. Mubarrad dan kitab “Kâmil”
Muhammad bin Yazid bin Abdulakbar Baghdadi (210-285), seorang
sastrawan, penulis terkenal dan pemilik karya-karya terkemuka, dalam
kitab “Al-Kâmil”-nya, mengutip kisah harapan-harapan khalifah dari
Abdurrahman bin Auf. Ia menyebutkan, “Saya berharap kiranya saya tidak
menyerang rumah Fatimah dan membiarkannya begitu saja pintunya (meski)
tertutup untuk (siap-siap) perang.”[13]
6. Mas’udi dan “Murûj al-Dzahab”
Mas’udi (W 325 H) dalam Murûj al-Dzahab menulis: “Tatkala Abu Bakar
menjelang wafatnya berkata demikian, “Tiga hal yang saya lakukan dan
berharap kiranya saya tidak melakukannya. Salah satunya adalah: Saya
berharap kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah Fatimah. Hal ini
banyak (kali) ia sebutkan.”[14]
Mas’udi meski ia memiliki kecendrungan yang baik kepada Ahlulbait
namun sayang ia menghindar untuk mengungkap ucapan khalifah dan
menyampaikannya dengan bahasa kiasan. Akan tetapi Tuhan mengetahui dan
hamba-hamba Tuhan juga secara global mengetahui hal ini!
7. Ibnu Abi Daram dalam Mizân al-I’tidâl
Ahmad bin Muhammad yang dikenal sebagai “Ibnu Abi Daram” ahli hadis
Kufa (W 357 H), adalah seseorang yang dikatakan oleh Muhammad bin Ahmad
bin Himad Kufah: “Ia adalah orang yang menghabiskan seluruh hidupnya di
jalan lurus.”
Dengan memperhatikan martabat ini, ia menukil bahwa di hadapannya
berita ini dibacakan, “Umar menendang Fatimah dan ia keguguran seorang
putra bernama Muhsin yang ada dalam rahimnya![15] (Perhatikan baik-baik)
8. Abdulfatah Abdulmaqshud dan kitab “Al-Imâm Ali”
Ia menyebutkan dua hal terkait dengan penyerangan ke rumah wahyu dan
kita hanya menukil satu darinya: “Demi (Dzat) yang jiwa Umar berada di
tangan-Nya. Apakah kalian keluar atau aku akan membakar rumah ini
(berikut penghuninya). Sebagian orang yang takut (kepada Allah) dan
menjaga kedudukan Rasulullah Saw dari akibat perbuatan ini, mereka
berkata: “Aba Hafs, Fatimah dalam rumah ini.” Tanpa takut, Umar
berteriak: “Sekalipun!! Ia mendekat, mengetuk pintu, kemudian menggedor
pintu dengan tangan dan kaki untuk masuk ke dalam rumah secara paksa.
Ali As muncul.. pekik jeritan suara Zahra kedengaran di dekat tempat
masuk pintu rumah… suara ini adalah suara meminta pertolongan..”[16]
Kami ingin mengakhiri pembahasan ini dengan satu hadis lainnya dari
“Maqatil Ibnu ‘Athiyyah” dalam kitab al-Imâmah wa al-Siyâsah (Meski
masih banyak yang belum diungkap di sini!)
Ia menulis dalam kitab ini sebagai berikut:
“Tatkala Abu Bakar mengambil baiat dari orang-orang dengan ancaman, pedang dan paksaan, Umar, mengirim Qunfudz dan sekelompok orang ke rumah Ali dan Fatimah As dan Umar mengumpulkan kayu bakar dan membakar pintu rumah…”[17]
ng ahli sejarah mengatakan : Amirul Mu’minin Ali tinggal di rumahnya beserta beberapa pengikutnya, seperti yang dipesankan oleh Rasulullah, lalu mereka menuju rumah Ali dan menyerbunya, membakar pintu rumah dan memaksa orang yang di dalamnya untuk keluar…. mereka memaksa Ali untuk berbaiat dan Ali menolak, dan mengatakan : aku tidak mau, mereka mengatakan : kalau begitu kami akan membunuhmu, Ali mengatakan: jika kalian membunuhku maka aku adalah Hamba Allah dan saudara RasulNya. ( Lihat Itsbatul Washiyyah hal 123.)
.……gugurnya janin Muhsin, dan membuat Fatimah sakit parah, dia melarang orang yang menyakitinya dari menjenguknya, ( Lihat Dala’ilul Imamah, At Thabari, hal 45)
As Shaduq meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu Alaihi wasallam bersabda : seakan saya melihat rumahnya dimasuki kehinaan, kehormatannya dilecehkan, diserobot haknya, dihalangi untuk menerima warisannya, tulang rusuknya dipatahkan, dan janinnya digugurkan.Amali Shaduq hal 100
Umar menyerbu rumah Ali bersama tiga ratus orang.
Diriwayatkan mengenai penyebab wafatnya Fatimah :
Umar bin Khattab menyerang rumah Ali dan Fatimah bersama tiga ratus orang. Lihat dalam kitab Al Awalim jilid 2 hal 58
Apakah dengan seluruh referensi dan literatur jelas yang umumnya dari
literatur-literatur Ahlusunnah mereka masih berkata-kata bahwa syahâdah
Hadhrat Fatimah itu sebagai mitos dan legenda..” Dimana sikap fair
Anda? Pasti setiap orang yang membaca pembahasan pendek ini dengan
bersandar pada beberapa referensi jelas memahami prahara yang terjadi
pasca wafatnya Rasulullah Saw. Untuk sampai pada kekuasaan dan khilafah
apa yang telah mereka lakukan. Hal ini merupakan penuntasan hujjah Ilahi
(itmâm al-hujjah) bagi seluruh pemikir bebas yang jauh dari sikap
fanatik. Lantaran kami tidak menulis sesuatu dari kami sendiri, apa
pun yang kami tulis semuanya dari literatur-literatur yang mereka terima
sendiri.[18] [IQuest]
[1]. Ibnu Abi Saibah, al-Musannif, 8/572, Kitab al-Maghazi:
« انّه حین بویع لأبی بکر بعد رسول اللّه(صلى الله علیه وآله) کان علی و الزبیر یدخلان على فاطمة بنت رسول اللّه، فیشاورونها و یرتجعون فی أمرهم. فلما بلغ ذلک عمر بن الخطاب خرج حتى دخل على فاطمة، فقال: یا بنت رسول اللّه(صلى الله علیه وآله) و اللّه ما أحد أحبَّ إلینا من أبیک و ما من أحد أحب إلینا بعد أبیک منک، و أیم اللّه ما ذاک بمانعی إن اجتمع هؤلاء النفر عندک أن امرتهم أن یحرق علیهم البیت. قال: فلما خرج عمر جاؤوها، فقالت: تعلمون انّ عمر قد جاءَنى، و قد حلف باللّه لئن عدتم لیُحرقنّ علیکم البیت، و أیم اللّه لَیمضین لما حلف علیه.»
« انّه حین بویع لأبی بکر بعد رسول اللّه(صلى الله علیه وآله) کان علی و الزبیر یدخلان على فاطمة بنت رسول اللّه، فیشاورونها و یرتجعون فی أمرهم. فلما بلغ ذلک عمر بن الخطاب خرج حتى دخل على فاطمة، فقال: یا بنت رسول اللّه(صلى الله علیه وآله) و اللّه ما أحد أحبَّ إلینا من أبیک و ما من أحد أحب إلینا بعد أبیک منک، و أیم اللّه ما ذاک بمانعی إن اجتمع هؤلاء النفر عندک أن امرتهم أن یحرق علیهم البیت. قال: فلما خرج عمر جاؤوها، فقالت: تعلمون انّ عمر قد جاءَنى، و قد حلف باللّه لئن عدتم لیُحرقنّ علیکم البیت، و أیم اللّه لَیمضین لما حلف علیه.»
[2]. Ansab al-Asyrâf, 1/582, Dar Ma’arif, Kairo:
«انّ أبابکر أرسل إلى علىّ یرید البیعة فلم یبایع، فجاء عمر و معه فتیلة! فتلقته فاطمة على الباب. فقالت فاطمة: یابن الخطاب، أتراک محرقاً علىّ بابى؟ قال: نعم، و ذلک أقوى فیما جاء به أبوک…»
«انّ أبابکر أرسل إلى علىّ یرید البیعة فلم یبایع، فجاء عمر و معه فتیلة! فتلقته فاطمة على الباب. فقالت فاطمة: یابن الخطاب، أتراک محرقاً علىّ بابى؟ قال: نعم، و ذلک أقوى فیما جاء به أبوک…»
[3]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, hal. 12, Maktab Tijariyah Kubra, Mesir:
« انّ أبابکر رضی اللّه عنه تفقد قوماً تخلّقوا عن بیعته عند علی کرم اللّه وجهه فبعث إلیهم عمر فجاء فناداهم و هم فی دار على، فأبوا أن یخرجوا فدعا بالحطب و قال: والّذی نفس عمر بیده لتخرجن أو لاحرقنها على من فیها، فقیل له: یا أبا حفص انّ فیها فاطمة فقال، و إن!! »
« انّ أبابکر رضی اللّه عنه تفقد قوماً تخلّقوا عن بیعته عند علی کرم اللّه وجهه فبعث إلیهم عمر فجاء فناداهم و هم فی دار على، فأبوا أن یخرجوا فدعا بالحطب و قال: والّذی نفس عمر بیده لتخرجن أو لاحرقنها على من فیها، فقیل له: یا أبا حفص انّ فیها فاطمة فقال، و إن!! »
[4]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, hal. 13, Maktab Tijariyah Kubra, Mesir:
« ثمّ قام عمر فمشى معه جماعة حتى أتوا فاطمة فدقّوا الباب فلمّا سمعت أصواتهم نادت بأعلى صوتها یا أبتاه رسول اللّه ماذا لقینا بعدک من ابن الخطاب، و ابن أبی قحافة فلما سمع القوم صوتها و بکائها انصرفوا. و بقی عمر و معه قوم فأخرجوا علیاً فمضوا به إلى أبی بکر فقالوا له بایع، فقال: إن أنا لم أفعل فمه؟ فقالوا: إذاً و اللّه الّذى لا إله إلاّ هو نضرب عنقک…!»
« ثمّ قام عمر فمشى معه جماعة حتى أتوا فاطمة فدقّوا الباب فلمّا سمعت أصواتهم نادت بأعلى صوتها یا أبتاه رسول اللّه ماذا لقینا بعدک من ابن الخطاب، و ابن أبی قحافة فلما سمع القوم صوتها و بکائها انصرفوا. و بقی عمر و معه قوم فأخرجوا علیاً فمضوا به إلى أبی بکر فقالوا له بایع، فقال: إن أنا لم أفعل فمه؟ فقالوا: إذاً و اللّه الّذى لا إله إلاّ هو نضرب عنقک…!»
[5]. Mu’jam al-Mathbu’ât al-Arabiyah, 1/212.
[6]. Târikh Thabari, 2/443:
« أتى عمر بن الخطاب منزل علی و فیه طلحة و الزبیر و رجال من المهاجرین، فقال و اللّه لاحرقن علیکم أو لتخرجنّ إلى البیعة، فخرج علیه الزّبیر مصلتاً بالسیف فعثر فسقط السیف من یده، فوثبوا علیه فأخذوه.»
« أتى عمر بن الخطاب منزل علی و فیه طلحة و الزبیر و رجال من المهاجرین، فقال و اللّه لاحرقن علیکم أو لتخرجنّ إلى البیعة، فخرج علیه الزّبیر مصلتاً بالسیف فعثر فسقط السیف من یده، فوثبوا علیه فأخذوه.»
[7]. Aqd al-Farid, 4/93, Maktabatu Hilal:
.« فأمّا علی و العباس و الزبیر فقعدوا فی بیت فاطمة حتى بعثت إلیهم أبوبکر، عمر بن الخطاب لیُخرجهم من بیت فاطمة و قال له: إن أبوا فقاتِلهم، فاقبل بقبس من نار أن یُضرم علیهم الدار، فلقیته فاطمة فقال: یا ابن الخطاب أجئت لتحرق دارنا؟! قال: نعم، أو تدخلوا فیما دخلت فیه الأُمّة!»
.« فأمّا علی و العباس و الزبیر فقعدوا فی بیت فاطمة حتى بعثت إلیهم أبوبکر، عمر بن الخطاب لیُخرجهم من بیت فاطمة و قال له: إن أبوا فقاتِلهم، فاقبل بقبس من نار أن یُضرم علیهم الدار، فلقیته فاطمة فقال: یا ابن الخطاب أجئت لتحرق دارنا؟! قال: نعم، أو تدخلوا فیما دخلت فیه الأُمّة!»
[8]. Al-Amwâl,
Catatan Kaki 4, Nasyr Kulliyat Azhariyah, al-Amwal, hal. 144, Beirut
dan juga dinukil Ibnu Abdurrabih dalam Aqd al-Farid, 4/93:
« وددت انّی لم أکشف بیت فاطمة و ترکته و ان اغلق على الحرب»
« وددت انّی لم أکشف بیت فاطمة و ترکته و ان اغلق على الحرب»
[9]. Mizân al-I’tidâl, jil. 2, hal. 195.
[10]. Mu’jam Kabir Thabarani, 1/62, Hadis 34, Tahqiq Hamdi Abdulmajid Salafi:
« أمّا الثلاث اللائی وددت أنی لم أفعلهنّ، فوددت انّی لم أکن أکشف بیت فاطمة و ترکته. »
« أمّا الثلاث اللائی وددت أنی لم أفعلهنّ، فوددت انّی لم أکن أکشف بیت فاطمة و ترکته. »
[11]. Aqd al-Farid, 4/93, Maktabatu al-Hilal:
« وودت انّی لم أکشف بیت فاطمة عن شی و إن کانوا اغلقوه على الحرب.»
« وودت انّی لم أکشف بیت فاطمة عن شی و إن کانوا اغلقوه على الحرب.»
[12]. Al-Wâfi bil Wafâyât, 6/17, No. 2444. Al-Milal wa al-Nihal, Syahrastani, 1/57, Dar al-Ma’rifah, Beirut. Dan pada terjemahan Nazzham silahkan lihat, Buhuts fi al-Milal wa al-Nihal, 3/248-255.
« انّ عمر ضرب بطن فاطمة یوم البیعة حتى ألقت المحسن من بطنها.»
« انّ عمر ضرب بطن فاطمة یوم البیعة حتى ألقت المحسن من بطنها.»
[13]. Syarh Nahj al-Balâghah, 2/46-47, Mesir:
« وددت انّی لم أکن کشفت عن بیت فاطمة و ترکته ولو أغلق على الحرب.»
« وددت انّی لم أکن کشفت عن بیت فاطمة و ترکته ولو أغلق على الحرب.»
[14]. Muruj al-Dzahab, 2/301, Dar Andalus, Beirut:
« فوددت انّی لم أکن فتشت بیت فاطمة و ذکر فی ذلک کلاماً کثیراً! »
« فوددت انّی لم أکن فتشت بیت فاطمة و ذکر فی ذلک کلاماً کثیراً! »
[16]. Abdulfattah Abdulmaqshud, ‘Ali bin Abi Thalib, 4/276-277:
« و الّذی نفس عمر بیده، لیَخرجنَّ أو لأحرقنّها على من فیها…! قالت له طائفة خافت اللّه، و رعت الرسول فی عقبه: یا أبا حفص، إنّ فیها فاطمة…! فصاح لایبالى: و إن..! و اقترب و قرع الباب، ثمّ ضربه و اقتحمه… و بداله علىّ… و رنّ حینذاک صوت الزهراء عند مدخل الدار… فان هى الا طنین استغاثة…»
« و الّذی نفس عمر بیده، لیَخرجنَّ أو لأحرقنّها على من فیها…! قالت له طائفة خافت اللّه، و رعت الرسول فی عقبه: یا أبا حفص، إنّ فیها فاطمة…! فصاح لایبالى: و إن..! و اقترب و قرع الباب، ثمّ ضربه و اقتحمه… و بداله علىّ… و رنّ حینذاک صوت الزهراء عند مدخل الدار… فان هى الا طنین استغاثة…»
[17]. Maqatil ibn ‘Athiyyah, Kitâb al-Imâmah wa al-Khilâfah,
hal. 160-161, diterbitkan dengan kata pengantar Dr. Hamid Daud, dosen
Universitas ‘Ain al-Syams, Kairo, Cetakan Beirut, Muassasah al-Balagh:
« ان ابابکر بعد ما اخذ البیعة لنفسه من الناس بالارهاب و السیف و القوّة ارسل عمر، و قنفذاً و جماعة الى دار علىّ و فاطمه(علیه السلام) و جمع عمر الحطب على دار فاطمه و احرق باب الدار!..»
« ان ابابکر بعد ما اخذ البیعة لنفسه من الناس بالارهاب و السیف و القوّة ارسل عمر، و قنفذاً و جماعة الى دار علىّ و فاطمه(علیه السلام) و جمع عمر الحطب على دار فاطمه و احرق باب الدار!..»
[18]. Jawaban ini diadaptasi dan diringkas dari makalah Ayatullah Makarim Syirazi. Demikan juga Anda dapat mengklik http://www.tebyan.net/index.aspx?pid=67823 untuk telaah lebih jauh.
Peringatan Wafat Fatimah Az Zahra
Jamadil Awal, bulan yang berkah ini mengandungi hari kesedihan buat
pencinta Ahlulbait(as), bunda kepada Hassanain, Qurrata ainar Rasul,
dan penyambung antara Nubuwwah dan Imamah
.
Seperti biasa, di mana-mana sahaja ada pengikut Ahlulbait(as), maka
akan di adakanlah majlis peringatan hari kesedihan ini. Di bawa ini
ialah majlis yang dihadiri oleh Ayatollah Khamenei dan pemuka-pemuka
politik di Iran.
Ini pula di Qom, yang dihadiri oleh para Marja’, antaranya, Ayatollah
Saafi Gulpaigani, Wahid Khurasani dan Ali al Milani. Perhatikan
bagaimana orang Syiah berinteraksi dengan ulama mereka, menunjukkan
peranan penting ulama dalam sistem sosial masyarakat Syiah, dan
perhatikan juga cara mereka dalam mengenang tragedi kepada
Ahlulbait(as).
Wow, tidak syak lagi, mereka memang mencintai Ahlulbait(as) samada
dari percakapan atau perbuatan. Kat Malaysia ramai orang mengaku cinta
Ahlulbait(as) jugak, tapi hampeh, tiada sebarang majlis diadakan di
masjid-masjid, of course, kecuali penduduk Syiah di Malaysia la.
Hujjatul Islam Moawenian dalam ceramahnya menceritakan kisah berikut. Ulama besar Syiah, Allamah Amini, menyampaikan sebuah pertanyaan sederhana di hadapan para ulama ahlusunah: Siapakah imamnya Fatimah binti Muhammad?
Ada sebuah kisah nyata tentang Allamah Amini (penulis kitab al-Ghadir). Allamah Amini diundang oleh para ulama suni dalam sebuah acara makan malam ketika beliau ada di Mekah
atau Madinah. Pertama kalinya beliau menolak, tapi mereka memaksa.
Namun kemudian, beliau menerima dengan satu syarat bahwa dia hanya
datang untuk makan malam, bukan diskusi, karena pandangan beliau sudah
dikenal. Mereka menerima persyaratannya. Mereka mengatakan kalau beliau
datang, barulah akan dipikirkan apa yang akan dilakukan.
Dalam pertemuan tersebut terdapat sekitar 70-80 ulama besar suni yang
menghafal antara 10-100 ribu hadis yang ada. Setelah mereka makan,
mereka ingin mengajaknya terlibat dalam diskusi dan dengan cara ini
mereka dapat membuatnya terdiam. Tapi Allamah Amini mengingatkan mereka
tentang peraturan bahwa dia datang hanya untuk makan malam.
Salah satu di antara mereka kemudian mengatakan bahwa akan lebih baik
jika masing-masing di antara yang hadir dapat mengutipkan sebuah hadis.
Dengan cara ini, allamah juga akan terlibat menyampaikan hadis dan
hadis tersebut dapat membantu mereka untuk memulai diskusi. Semuanya
menyampaikan sebuah hadis sampai akhirnya giliran Allamah Amini. Mereka
memintanya untuk menyampaikan sebuah hadis dari Nabi Muhammad saw.
Allamah mengatakan tidak masalah, tapi dia akan menyampaikan sebuah
hadis dengan satu syarat: setelah hadis disampaikan, masing-masing dari
kalian harus menyampaikan pandangan tentang sanad dan kebenaran hadis
tersebut. Mereka menerimanya.
Kemudian, beliau menyampaikan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda:
“Siapa yang tidak mengenal imam zamannya kemudian meninggal, maka
meninggalnya sama seperti pada masa jahiliah.”
من مات و لم يعرف إمام زمانه مات ميتة جاهلية
Kemudian ia bertanya kepada masing-masing dari mereka tentang
kebenaran hadis tersebut. Mereka semua menyatakan bahwa hadis tersebut
benar dan tidak ada keraguan tentangnya dalam semua kitab rujukan suni.
Kemudian allamah mengatakan bahwa kalian semua sepakat tentang
kebenaran hadis ini. “Baiklah, saya mempunyai satu pertanyaan. Katakan
kepada saya apakah Fatimah mengenali imamnya? Lalu siapakah imamnya?
Siapakah imamnya Fatimah?”
Tidak ada yang menjawabnya. Mereka semua terdiam dan setelah beberapa lama satu per satu meninggalkan tempat. “Allah
mengetahui bahwa saya melakukan diskusi ini dengan ulama suni di
Masjidilharam dan dia adalah orang yang sangat ahli dan berpengetahuan.
Dia hanya tertawa. Aku tanyakan kepadanya jawaban pertanyaan saya, tapi
dia hanya tertawa.”
Saya mulai marah dan mengatakan padanya, “Apa yang Anda tertawakan?”
Dia menjawab, “Saya menertawakan diri saya sendiri.” Saya tanya,
“Benarkah?” Dia menjawab, “Ya.” Saya tanya lagi, “Mengapa?”
“Karena saya tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan Anda. Jika saya
katakan Fatimah tidak mengenal imam pada zamannya, itu berarti dia
wafat sebagai orang kafir. Tapi tidak mungkin pemimpin para wanita di
dunia ini tidak mengenal imamnya. Tidak pernah mungkin!”
“Jika Fatimah mengenal imamnya, bagaimana saya bisa mengatakannya?
Misal Abu Bakar adalah imamnya, tetapi Bukhari dalam kitabnya menuliskan
fakta bahwa Fatimah wafat dalam keadaan marah… Tidak mungkin bagi
Fatimah untuk marah kepada imamnya!”
Fatimah
adalah alasan terkuat kami. Karena Fatimah, tidak ada tempat untuk
menyembunyikan kebenaran. Karenanya, menghidupkan nama Fatimah dan
menangis untuk kesyahidahannya adalah seruan kepada tauhid. Menangis
untuk Fatimah, pintu dan rumahnya yang terbakar adalah menangis untuk Alquran yang juga terbakar!
Fathimah az-Zahra (as) telah berwasiat agar
dikuburkan pada malam hari. Permintaannya agar kuburannya disembunyikan
merupakan pesan tersendiri yang ingin disampaikan lewat rintang sejarah
hingga ke masa yang akan datang. Fathimah Az-Zahra (as) ingin agar pesan
ini sampai kepada seluruh umat Islam………….pesan yang menyatakan bahwa
keluarga Nabi telah disia-siakan dan didzalimi serta hak-haknya dirampas
oleh rezim yang berkuasa. Dan ini bisa menjadi titik balik sejarah di
kehidupan seseorang yang hanya mengetahui satu versi sejarah yaitu
sejarah yang ditulis dan diajarkan penguasa dan diindoktrinkan ke dalam
sel-sel darah umat Islam
.
Fathimah Az-Zahra membangkitkan kehidupan dari
kematian; memberikan kemenangan dari kekalahan; dan sebuah cerita
kepahlawanan dan perdamaian dari jaman ke jaman ia ciptakan dari
hidupnya yang penuh kepedihan. Fathimah menciptakan sebuah revolusi di
setiap jantung kaum Muslim yang sadar dari satu generasi ke generasi
lainnya. Jantung Fathimah masih berdetak di sela-sela detak jantung umat
Islam. Dan kedua belah matanya terjaga menunggu bendera kebebasan yang
akan berkibar bersama dengan kedatangan puteranya yang ditunggu-tunggu
yaitu Imam Mahdi (as)
.
Sekarang ini, seperti juga pada jaman-jaman lainnya
yang telah lalu, kita semua menghadapi kepedihan dan penindasan. Kita
harus bersabar dalam menghadapi kepedihan ini. Kita harus meneruskan
pesan Fathimah ini ke generasi selanjutnya. Kita harus sampaikan
penderitaan keluarga Nabi ini kepada generasi kita dan selanjutnya agar
mereka tahu bahwa Rasulullah dan misi keIslamannya telah mendapatkan
tekanan dari orang-orang terdekatnya dan Islam telah dicampuri dan
dikotori oleh mereka.
Misalnya, ketika Bunda Fathimah Az-Zahra mendengar hadits palsu yang disampaikan oleh khalifah pertama,
ia marah sekali. Ia tahu betul bahwa hadits palsu itu (yang sengaja
dibuat oleh khalifah pertama untuk mencegahnya menuntut haknya atas
tanah Fadak. Beberapa perawi hadits dan sejarawan seperti Bukhari, Ahmad
bin Hanbal, Ibn Sa’ad, Ibn Katsir dan lain-lain telah mencatat dan
melaporkan bahwa Fathimah az-Zahra tetap marah kepada khalifah yang
pertama hingga beliau wafat menemui ayahnya yang tercinta
.
Ketika tubuh Rasulullah yang suci dibaringkan di
liang lahat dan kemudian dikuburkan, terkubur juga kata-katanya tentang
peran Imam Ali dan kepemimpinannya atas umat Islam. Dengan kepandaian
berbicara yang fasih, Rasulullah menyebut Imam Ali sebagai “pemimpin
orang-orang beriman” dan bukannya “pemimpin orang-orang Islam”. Dengan
kata-kata itu, Rasulullah ingin menegaskan bahwa mereka yang menerima
Islam dibawah tekanan politis tidak akan bisa menerima kepemimpinan Imam
Ali (as). Sedangkan mereka yang menerima kepemimpinan dan kenabian
Muhammad, akan bisa menerima kepemimpinan Imam Ali (as)
.
.
Pada saat-saat terakhir kehidupan Fathimah, Ummu
Salamah (salah satu isteri Rasulullah yang baik) menanyakan tentang
keadaannya. Fathimah dengan gamblang berkata, “Saya merasa
kehilangan Rasulullah yang amat sangat; dan kesedihan serta kepedihan
saya itu ditambah dengan kenyataan pahit harus berhadapan dengan
penguasa dzalim.” Dalam kesempatan yang lain, Fathimah menjelaskan
dengan kata-kata yang hampir sama akan tetapi lebih rinci ketika kaum
wanita datang menjenguk keadaannya yang sedang sakit dan terbaring lemah
di ranjangnya. Kepada kaum wanita yang datang menjenguknya itu,
Fathimah berkata: “Demi Allah, aku melalui hari-hari pertamaku
dengan bertahan dari perbuatan buruk yang kalian lakukan padaku dan juga
dari para suamimu. Celakalah kalian semua! Mengapa mereka menolak
ketentuan Allah (dalam penunjukkan Imam Ali sebagai penerus Nabi),
seperti yang sudah disampaikan oleh Rasulullah? Mengapa mereka rampas
hak orang yang lebih mendatangkan manfaat bagi kalian; yang lebih
mengetahui tentang urusan dunia dan akhirat kalian? Mengapa kalian
sampai benci pada Ali? Demi Allah seandainya mereka membantunya dalam
mengurus pemerintahan ini, Ali akan menjalankannya dengan baik sekali.
Seandainya mereka melakukan itu, maka pintu-pintu keberkahan akan
terbuka dari langit dan bumi.”
.
Fathimah Az-Zahra (as) seringkali menggunakan
setiap kesempatan untuk memperingatkan dan memberitahu orang-orang
tentang penyelewengan ketentuan Allah yang telah disampaikan oleh
Rasulullah itu, akan tetapi mereka tidak menghiraukannya. Lalu kalau
begitu bagaimana dengan masa depan nanti? Siapa lagi yang akan
mengingatkan mereka dari penyelewengan ini? Bagaimana pesan suci dari
Nabi ini bisa sampai pada generasi nanti? Sekarang saja sudah begini. “Ketika
Rasulullah wafat, pesan sucinya langsung diinjak-injak oleh para
pencari kekuasaan, yang menghendaki Islam karena ingin mendapatkan
keuntungan duniawi darinya; dengan memanfaatkan kejahilan orang-orang
yang ada di sekelilingnya.” Bagaimana bisa keberatan Fathiimah itu
mencapai masa yang jauh? Bagaimana Fathimah bisa menyampaikan
keberatannya kepada generasi yang akan datang yang terlahir jauh
kemudian? Karena ……… dalam masa-nya saja Fathimah tak pernah memiliki
kebebasan untuk menyampaikan rasa kehilangannya akan ayahandanya; ia tak
punya kebebasan untuk menyampaikan apa yang pernah disampaikan
ayahandanya.
KESYAHIDAN FATHIMAH DAN HARI-HARI TERAKHIR DARI KEHIDUPANNYA
Catatan
dari hari-hari terakhir kehidupan Fathimah (as) menunjukkan secara
jelas siapa sebenarnya wanita suci dari durriyyat Nabi ini. Hari itu
tanggal 3 Jumadil Tsani tahun 11H. Hari itu Fathimah Az-Zahra berkata
kepada seluruh anggota keluarganya bahwa sekarang merasa baikan. Rasa
nyeri yang ada di beberapa tulang iganya dan di tangannya sudah jauh
berkurang dan panas demam yang ditimbulkan oleh rasa sakitnya itu sudah
menurun. Kemudian ia bangkit dari tidurnya dan mulai mengerjakan
pekerjaan rumah tangganya. Ia memaksakan dirinya untuk memandikan
anak-anaknya; akan tetapi kemudian muncul Bibi Fizzza dan Imam Ali untuk
membantu dirinya memandikan anak-anak. Fathimah selesai memandikan
anak-anak kemudian memakaikan pakaian dan memberikan makanan hingga
kenyang. Setelah itu mengirimkan anak-anak itu kepada saudara sepupunya
.
Imam Ali (as) merasa terkejut melihat isterinya
yang tercinta bangkit dari ranjangnya dan sudah mulai pekerjaan rumah
tangganya. Lalu Imam Ali bertanya kepada isterinya apa yang terjadi
dengan dirinya. Fathimah (as) menjawab, “Hari ini adalah hari terakhir
dari hidupku. Aku ingin memandikan anak-anakku dan memakaikannya baju
untuk yang terakhir kalinya karena setelah ini mereka akan menjadi
anak-anak piatu, tak beribu!”
.
Imam Ali (as) kemudian bertanya bagaimana Fathimah
bisa tahu bahwa ini adalah hari terakhir hidupnya dan sebentar lagi akan
datang hari kematiannya. Kemudian Fathimah Az-Zahra (as) menjawab bahwa
ia melihat ayahanda tercintanya (Rasulullah) di dalam mimpinya.
Rasulullah berkata bahwa Fathimah akan segera bergabung dengan
Rasulullah pada malam itu.
.
IMAM ALI: “Sebutkanlah apa yang ingin engkau aku lakukan, wahai puteri Rasulullah”
(Imam Ali lalu meminta setiap orang untuk
meninggalkan rumah itu agar bisa bicara tenang dengan isterinya. Imam
Ali kemudian duduk di samping isterinya)
.
FATHIMAH: “Suamiku tercinta, engkau tahu benar apa
yang telah aku lakukan dan untuk apa aku lakukan itu semua. Aku mohon
agar engkau memaafkan kecerewetanku selama ini; mereka telah menderita
terlalu banyak karena kecerewetanku ini selama aku sakit dan aku
sekarang ingin melihat mereka bahagia di akhir hidupku ini. Aku bahagia
sekaligus aku juga bersedih hati. Aku bahagia karena sebentar lagi aku
terbebas dari segala kesulitan hidupku dan aku akan segera bertemu
dengan ayahku; dan aku bersedih hati karena sebentar lagi aku akan
berpisah dengan engkau, suamiku. Suamiku tercinta…………engkau tahu benar
bahwa aku tak pernah berdusta; aku juga tetap setia dan berkhidmat
padamu……………pernahkah aku membantahmu selama aku menjadi isterimu?”
.
IMAM ALI: “Masya Allah! Engkau adalah orang yang
paling mengenal Allah’; isteri yang paling berbakti pada suaminya;
isteri yang paling shalehah. Engkau lebih mulia dan lebih bertakwa
sehingga takkan mungkin engkau membangkang kepadaku. Sungguh betapa
beratnya aku harus berpisah denganmu dan harus kehilanganmu akan tetapi
peristiwa ini memang takkan mungkin terelakan. Demi Allah! Engkau telah
membuat kedukaanku kembali lagi. Baru saja aku bersedih hati karena
ditinggalkan oleh Rasulullah, sekarang aku harus ditinggalkan olehmu.
Sungguh kematianmu dan berpulangnya engkau itu adalah sebuah musibah
yang sangat besar bagiku; akan tetapi kepada Allah-lah semua kita
berpulang; semuanya ini milik Allah ta’ala, dan kepadaNyalah kita akan
kembali (QS. 2: 156). Betapa pedihnya musibah ini. Musibah ini begitu
besarnya hingga tak ada lagi bandingan yang sepadan dengannya.”
.
(Kemudian mereka berdua menangis bersama. Imam Ali memeluk isterinya yang tercinta seraya berkata)
IMAM ALI: “Suruhlah aku untuk melakukan apa yang
engkau mau; engkau niscaya akan melihatku patuh dan setia pada apa yang
engkau perintahkan. Akan aku utamakan segala apa yang engkau mintakan
kepadaku. Akan aku utamakan kemauanmu itu diatas kemauanku.”
FATHIMAH: “Semoga Allah melimpahkan keberkahan
kepadamu, suamiku. Sekarang, dengarlah wasiatku ini. Pertama, menikahlah
segera sepeninggalku, akan tetapi engkau harus terlebih dahulu menikahi
keponakanku Umamah. Umamah itu akan memperlakukan anak-anak kita
seperti aku memperlakukan anak-anak kita. Selain itu, laki-laki itu tak
bisa hidup layak tanpa adanya kehadiran seorang perempuan di sisinya.
Umamah mencintai anak-anak kita dan Husein sangat dekat dengannya. Lalu
biarkanlah Fizza (pembantu keluarga Imam Ali) tetap bersamamu hingga ia
menikah, apabila ia masih mau bersamamu keluarga kita, biarlah ia tetap
bersama. Fizza itu lebih dari sekedar pembantu bagiku. Aku mencintai
Fizza seperti aku mencintai anak perempuanku sendiri.”
.
FATHIMAH: (kemudian melanjutkan pembicaraannya)
“Aku mohon padamu agar nanti ketika aku dikuburkan jangan sampai ada
satu orangpun yang pernah mendzalimiku hadir di pemakamanku, karena
mereka telah menjadi musuhku; dan yang telah menjadi musuhku itu telah
menjadi musuh Allah dan RasulNya. Jangan juga memberikan kesempatan
kepada mereka untuk menshalatiku; jangan juga beri kesempatan yang sama
kepada para pengikutnya. Aku ingin engkau memandikan jenazahku di malam
hari; kafani aku juga di malam hari dan shalati aku dan kuburkan aku di
malam yang sama ketika semua mata umat manusia sedang tertutup dan semua
pandangan tak terjaga. Dan setelah penguburan selesai, duduklah di
dekat kuburku dan bacakan AlQur’an untukku.”
.
“Jangan sampai kematianku ini membuatmu patah
semangat. Engkau harus berkhidmat kepada Islam dan kemanusiaan dalam
jangka waktu yang lama setelah kematianku. Jangan sampai penderitaanku
ini menjadikan hidupmu susah, berjanjilah kepadaku wahai suamiku.”
IMAM ALI: “Baik, Fathimah isteriku tercinta. Aku berjanji.”
FATHIMAH: “Aku tahu bagaimana rasa cintamu kepada
anak-anak kita akan tetapi berhati-hatilah dengan anak kita Husein. Ia
sangat mencintaiku dan ia akan merasa sangat kehilangan diriku. Jadilah
seorang ibu utuknya. Hingga saat ini ia masih sukan tidur di dadaku, dan
sekarang ia akan segera kehilangan itu.”
.
(Imam Ali membelai tangan Fathimah yang patah (akibat dari penyerangan yang dilakukan oleh para pengawal kekhalifahan ke rumah mereka—red) dan menyapu air matanya yang hangat. Fathimah memandang sendu kepada Imam Ali dan kemudian berkata:)
.
FATHIMAH: “Janganlah meratapiku, wahai suamiku. Aku
tahu betul di balik wajahmu yang keras ada hati yang sangat lembut.
Engkau sudah terlalu banyak menderita dan engkau akan menderita lagi
lebih banyak.”
.
Fathimah Az-Zahra sudah siap menemui Tuhannya. Ia
sekarang mandi membersihkan dirinya kemudian berpakaian lengkap dan
sudah itu langsung berbaring di atas ranjangnya. Ia memintah Asma binti
Umays untuk menunggu dirinya sebentar dan kemudian memanggil namanya.
Apabila tidak ada jawaban ketika namanya dipanggil……………berarti Fathimah
sudah meninggalkan dunia ini menemui Tuhannya
.
Asma bint Umays menunggu beberapa waktu lamanya dan
kemudian ia memanggil-manggil nama Fathimah akan tetapi tidak ada
jawaban dari Fathimah. Asma binti Umays memanggil sekali lagi: “Wahai
puteri terkasih Muhammad! Duhai puteri paling mulia yang pernah
dilahirkan oleh wanita mulia! Duhai puteri terbaik dari orang-orang yang
terbaik yang pernah berjalan di muka bumi ini! Duhai puteri Rasulullah
yang kedekatannya sama dengan jarak dua busur panah bahkan lebih dekat
lagi (QS. 53: 9)”
.
Tak ada jawaban sama sekali yang bisa terdengar
dari puteri Nabi………; kebisuan mencekik ruangan sempit dimana jenazah
suci sang puteri Nabi tergeletak tak bergerak. Asma binti Umays kemudian
mendekat ke jenazah suci itu dan memang betul tubuh kurus puteri Nabi
itu sudah tak bernyawa lagi. Ruh suci yang harum telah meninggalkan
tubuh kuyu itu dan menjumpai ayahnya, Rasulullah, di hadapan sang maha
lembut, maha kasih dan maha sayang
.
Tepat pada saat itulah Imam Hasan (as) dan Imam
Husein (as) yang masih kanak-kanak memasuki rumah dan bertanya pada Asma
binti Umays: “Dimanakah ibu?” “Ibu kami tidak biasanya tidur pada saat
siang hari seperti ini!”
.
Asma bint Umays menjawab: “Wahai putera Rasulullah!
Ibumu itu tidak sedang tidur………ia telah mendahului kalian semua. Ia
sudah meninggal dunia!”
Ketika Imam Hasan (as) mendengar kata-kata seperti
itu, ia menjatuhkan dirinya ke tubuh ibunya yang sudah dingin dan ia
menciumi pipi ibunya dan wajahnya seraya berkata kepadanya: “Ibuku yang
kusayang! Berbicaralah kepadaku sebelum engkau meninggal dunia.”
Imam Husein (as) datang dan kemudian ia juga
mendekati ibunya dan menciumi kaki ibunya dan berkata: “Ibuku sayang!
Ini aku Husein, anakmu. Bicaralah kepadaku sebelum engkau meninggal.”
.
Kemudian, Imam Husein berpaling kepada Imam Hasan dan berkata: “Semoga Allah menghibur dirimu atas kepergian ibunda kita”
Ada dua hadits yang berbeda tentang keberadaan Imam
Ali (as) ketika Fathimah meninggal dunia. Salah satunya menyebutkan
bahwa Imam Ali ada bersama Fathimah pada saat kematian isterinya itu.
Dan hadits yang lain adalah sebagai berikut
:
(Imam Ali sedang berada di mesjid. Imam Hasan dan
Imam Husein pergi ke mesjid dan menceritakan tentang wafatnya ibu mereka
kepada ayahnya. Segera setelah Imam Ali mendengar berita itu, ia
terjatuh pingsan. Ketika siuman, ia berkata: “Siapa lagi yang bisa
menghiburku ketika aku sedih dan pilu, wahai puteri Muhammad? Engkau
dulu selalu menghiburku dan sekarang siapakah yang bisa menggantikan
kedudukanmu?” Fathimah Az-Zahra (sa) meninggal dalam usia yang masih
muda dan Imam Ali senantiasa mengenang saat-saat indah bersamanya. Imam
Ali senantiasa berkata: ““Sekuntum bunga tumbuh berkembang; bunga itu
berasal dari surga dan kembali ke surga…………akan tetapi keharumannya yang
ia tinggalkan, tetap bersemayam dalam ingatan”
Kaum wanita dari bani Hasyim kemudian dikumpulkan dan diberitahu
tentang musibah yang sangat besar itu. Betul, memang musibah yang sangat
besar. Dan musibah besar itu datang setelah musibah besar lainnya
datang sebelumnya. Belum lagi sembuh luka hati ini karena telah
ditinggal Nabi; sekarang beberapa kelompok umat Islam yang masih setia
kepada keluarga Nabi ditinggalkan pula oleh puteri Nabi yang mereka
cintai itu
.
Ketika orang-orang di kota Madinah sadar bahwa
Fathimah Az-Zahra itu sudah menemui kesyahidannya (syahid karena
luka-luka—luka dalam dan luka luar—yang telah diderita olehnya karena
serangan yang dilakukan oleh para pengawal khalifah pertama atas
perintahnya—red). Mereka berkumpul di depan rumah Fathimah dan menunggu
untuk melakukan upacara penguburan. Akan tetapi kemudian mereka
mendengar bahwa upacara penguburannya akan ditunda. Pada malam hari,
ketika orang-orang sudah tertidur dengan lelapnya, Imam Ali (as) mulai
memandikan jenazah Fathimah dan mengkafaninya dengan rapi
.
Dan itu dilakukannya—sesuai dengan bunyi wasiat
isterinya—dengan tanpa kehadiran orang-orang yang telah membenci dan
dibenci oleh Fathimah. Orang-orang yang sudah melakukan penyerbuan ke
rumahnya dan hendak membakar rumahnya. Setelah Imam Ali selesai
memulasara jenazah Fathimah, Imam Ali menyuruh Imam Hasan dan Imam
Husein yang waktu itu masih kecil untuk memanggil beberapa sahabat Nabi
yang setia dan jujur yang juga disukai oleh Fathimah agar membantu
proses penguburannya hingga selesai. Tidak lebih dari 7 orang saja yang
dilaporkan oleh sejarah yang turut membantu dalam proses penguburan itu.
Setelah mereka datang; Imam Ali melakukan shalat dan berdoa dan
kemudian menguburkan jenazah isterinya yang tercinta itu. Sementara itu
kedua putera tercintanya berdiri sedih tidak jauh dari liang lahat yang
sebentar lagi akan ditutup memisahkan mereka berdua dengan ibunya yang
tercinta. Mereka berdua menangis diam-diam menahan rasa pilu yang
membuncah di dalam dada keduanya
fatimah Az Zahra As berpesan pada Imam ‘Ali AS agar
memakamkan jenazahnya pada malam hari karena tidak mau dishalatkan oleh
“kedua sahabat” Nabi yang menzolimi beliau perihal tanah fadak dan
ke-pemimpinan Imam ‘Ali AS selepas wafatnya Nabi Muhammad SAW.Rasa
sakit hati beliau semakin memuncak ketika sahabat Umar ibn Khattab RA
menyerbu rumah beliau dan menyeret Imam ‘Ali AS selayaknya seekor anjing
yang hina. Sayidah Fatimah yang ketika itu sedang hamil tua berusaha
menolong suaminya, namun atas perintah Umar untuk mencegahnya.
Pencegahan tersebut menggunakan kekerasan dengan memukul perut (sebagian
riwayat rusuk) sayidah Fatimah AS sehingga beliau terjatuh dan
keguguran.Abu Bakr RA yang mengetahui hal ini segera
meminta maaf di hari-hari terakhir Sayidah AS Fatimah karena takut akan
kutukan tersebut. Namun sampai di akhir hayatnya, Sayidah Fatimah tetap
bersikeras pada prinsipnya. Dan penyesalan Abu Bakr RA dan Umar ibn
Khttab RA adalah karena tidak beroleh maaf dari Sayidah Fatimah
-
.Tidak ada yang aneh dengan bai’at Imam
Ali pada Abubakar… Apakah aneh seorang Nabi Harun as terpaksa
membiarkan kaum Musa as menyembah berhala sapi emas buatan Samiri,
sehingga sepulangnya Musa as dari bukit Tursina, Musa as menarik
janggutnya lantas “Berkata Musa: “Hai Harun, apa yang menghalangi kamu
ketika kamu melihat mereka telah sesat, kamu tidak mengikuti aku? Maka
apakah kamu telah mendurhakai perintahku?” Harun menjawab’ “Hai putera
ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan kepalaku; sesungguhnya
aku khawatir bahwa kamu akan berkata : “Kamu telah memecah antara Bani
Israil dan kamu tidak memelihara amanatku”. (QS Thaha ayat 92-94 ; Baca
lebih seksama teks al-Quran ini dan renungkan kaitannya dengan kasus yg
anda anggap aneh!)
.
Banyak sejarah yang telah dimanipulasi untuk mengangkat
derjat dan keutamaan beberapa “sahabat” Nabi. Sedangkan keluarga Nabi
direndahkan. Seperti ucapan Ibnu Taymiah yang menyatakan bahwa Imam ‘Ali
AS bukan saudara Nabi Muhammad SaaW, sedangkan fakta menyatakan bahwa
Imam ‘Ali AS memang saudara Nabi MuhammadAS.
.
Sejarah telah diatur dan kita hanya memiliki rekaan sebuah
cerita ‘sejarah’ kononnya…aku dari dulu mengkaji perihal sahabat² yang
di ’angkat’ kononnya penuh keistimewaan disisi nabi. aku tahu siapa abu
bakar, umar, usman dan aisyah. kalau mereka hidup, mereka pasti malu kerana
aku tahu siapa mereka…apa tujuan abu bakar berdamping dengan Nabi,apa
keistimewaan umar dalam islam…?gagah?sebutkan nama² orang yang mati
ditangan umar?!10 orang pun cukup…tak ada kan…usman dan femili muawiyah…
.
dan apa wasiat Nabi pada aisyah sebelum wafat. jgn sekali-kali
keluar dari rumah…tapi macammana pula dengan wataknya sebagai ketua
peperangan antara beliau dan Ali. Nabi sudah berkata bahawa baginda
gedung ilmu dan ali pintunya….kenapa kita berpaksikan hadis sibapak
kucing yang nyaris dihukum mati oleh umar. banyak lagi yang kita
tenggelam oleh cerita rekaan antara zaman kita sehingga zaman
nabi. contoh seperti politik sekarang. media sentiasa menggambarkan
pemimpin arus perdana sebagai wira dan tiada ruang untuk kita lihat apa
keburukannya. cukuplah berpegang pada al-quran dan sunah. sayangi ahlul
bait….aku bukan sunnah mahupun syiah…aku pencari kebenaran
.
bila kita kaji perihal diatas kita akan dapat sedikit
sebanyak fakta pada persoalan dimana dan mengapa makamnya fatimah
dirahsiakan.apakah kerana bimbang ancaman musuh dalam selimut.lihat
sahaja pada cara kematian ahlul bait yg lain selain Fatimah. Ali, Hasan
dan Husin.tragis bukan. benar kita terleka pada sejarah peperangan Aisyah
dan Ali. kenapa orang yang paling hampir dengan nabi saling berperang.
bukan lah perselisihan kecil anak beranak jika sudah
segerombolan angkatan perang tersedia. Allah sahaja yang maha
mengetahui. Allahumasalli ala Muhammad, wa-ala ali muhammad.itu sahaja
tanda kasihnya aku pada Nabi dan keluarga nabi
.
bahwa tidak ada 1 orang pun yg boleh mengetahui makamnya
selain para pengubur…Ali bahkan membuat 7 kubur untuk mengecoh Abu n
Umar…ketika Abu n Umar ingin mbongkar semua makam tuk dapat memandikan
dan mensholati lagi jenazah Fatimah, Ali menjaga Baqi dengan membawa
Zulfikar dan menyatakan akan terjadi pertumpahan darah bila tetap
dlakukan pbongkaran. Abu n Umar pada akirnya mengalah agar tidak terjadi
pertumpahan darah walau mereka terus bersedih dan menangis atas
penolakan Fatimah…bahkan Abu meminta semua membatalkan baiat atas
dirinya…namun semua itu sudah tidak berlaku…fatimah telah murka…smua
wasiat dilakukan karna rasa marah yg luar biasa terhadap abu n umar
dan alasan kenapa fatimah, dan juga al-Hasan yang sungguh
ingin dmakamkan di samping makam rosul tidak dapat terwujud karena
penolakan dari Aisyah bahkan sampai jenazah al-Hasan yang merupakan
ahlul bait..cucu kebanggaan Rosul…dihujani dengan panah dan
tombak…(Semoga Allah menunjukkan jalan yang benar pada kita)
.
sungguh di luar apa yg telah saya ketahui apa yg terdapat
dalam buku tersebut…jika selama ini dalam buku2 plajaran kbanyakan
mengagungkan Abu Bakar n Umar…mbaca buku ini benar2 mbuat saya dalam
keadaan bingung n berusaha mcari jawab…sbgian besar teman bdiskusi
menyatakan itu buku dari kelompok yg tlalu mengagungkan Ali….n ingin
memecah belah Islam..tapi smakin saya mencari jawaban…hampir semua buku
dengan judul berbeda memiliki alur cerita yang sama hanya beda cara
penyampaian…
.
tapi…patutkah juga keluarga Rosul dperlakukan sperti
tu??sedang Rosul mengatakan pada mereka bahwa Fatimah adalah penghulu
wanita di surga??ali adalah suami penghuni surga…hasan dan husein adalah
cucu yang dikasihinya…malah kaum muslim juga yang membunuh husein
dengan sangat biadab..pbunuhan terkeji pertama yg ada di muka
bumi..hingga seluruh binatang dan malaikat mengutuk perbuatan
tersebut..bahkan jika boleh memilih mereka tidak ingin lagi berada di
dunia..Maha Besar Allah…semoga apa yg kita ketahui bukanlah suatu
kesesatan…
.
benar benar bingung….segala yg awalnya stau qt baik..kok jadi buruk???.
tdk ada satupun yg mngetahui dimana kbradaan makam sayyidah fatimah,krna beliau mmng tidak inggin kuburanx diketahui oleh orng2 munafiq,beliau wafat dlm keadaan sakit hati yg tramat dlm,rosul jauh lbh mncintai putrix dibnding sapapun,”fatimah bit atu minni’fatimah adlh sbgian dr aq,mk jgn sekali2 mnyakiti sydh fatimah krna rosul akan trsakiti,dan apabila rosul sdh trsakiti mk allah akan murka kpdax,krna rosul mrpakan kekasih allah,dan allah tdk akan mnciptakan dunia dan seisix klo bkn krna rosulullah
Inilah umat Islam sepeninggal Rasulullah SAW…selalu mencakar dirinya sendiri dari dalam. ada teman mengatakan bahwa terkadang sejarah adalah milik siapa yang berkuasa saat itu…,mungkin ada benarnya juga tapi kita lupa satu hal bahwa Allah menjadikan sejarah agar umat yang “belakangan” bisa belajar “positif dan negatif-nya”sejarah tersebut. Dienul Islam adalah agama pembawa kedamaian,kesejahteraan dan kemajuan,yang mendukung manusia selaku khalifah Allah dimuka bumi. Ia bukanlah agama yang membawa kebencian menjadi sesuatu yang absolut karena Sang Pencipta adalah Maha Pemaaf,jika “produk”nya bertaubat.
.
Marilah kita jalankan Dien ini sesuai dengan aslinya tanpa
melibatkan oknum yang lain,biarlah mereka dan diri kita akan bertanggung
jawab atas apa yang telah dilakukan dikehidupan dunia ini. Dien ini
dilaksanakan dengan “manual” yang telah diberikan “Pencipta”nya dan akal
pikiran kita serta hati nurani sebagai nilai pembandingnya.. Ada
kisah yang menceritakan seorang shahabat bertanya pada Baginda Rasul
tentang konsep dan hakikat dosa serta pahala lalu Rasul berkata
“Tanyalah hati nuranimu jika kamu melakukan sesuatu,jika hatimu gundah
gulana dan rasa bersalah setelah melakukan sesuatu maka itulah perbuatan
dosa..begitupun sebaliknya..WaLlaahu a’lam..Allahumma Shalli ‘ala
Muhammad wa ‘ala aali Muhammad
Teka-teki yang hendak kita cari jawabannya. Sebenarnya jika
kita kritis pula maka kita harus bertanya pula, kenapa Sy. Fathimah
Zahra as mewasiatkan untuk dimakamkan pada malam hari?
.
Amirul Mukminin Imam Ali sendiri mengetuai mandi jenazah beliau.
Turut dilaporkan membantu dalam urusan itu ialah Asma binti Umays. Asma
meriwayatkan: “Fatimah telah menyatakan di dalam wasiat beliau yang
tiada orang lain di benarkan menguruskan jenazahnya kecuali Imam Ali dan
diriku(Asma). Olwh itu kami memandikan beliau bersama, dan Amirul
Mukminin bersolat untuk Fatimah bersama Hassan, Hussain, Ammar,
Miqdad,’Aqil, Az Zubair, Abu Dzar, Salman, Burydah dan beberapa orang
dari Bani Hasyim. Mereka bersolat di waktu malam ,dan demi menuruti
wasiat Fatimah, Imam Ali, mengebumikan beliau dalam rahsia.”
.Pengebumian Yang Sunyi
Di dalam kegelapan malam, apabila mata-mata sedang tertutup terlena
dan suasana yang sunyi, upaca pengebumian jenazah meninggalak rumah Imam
Ali, membawa anak perempuan Rasulullah(sawa) ke tempat persemadian
terakhir beliau. Ini berlaku pada malam 3 Jamadil Akhir 11AH.
Upacara yang menyentuh hati ini menuju ke suatu tempat yang tidak
diketahui, diikuti oleh beberapa hamba Allah yang setia. Mereka ialah
Ali(A.S.), Hasan(A.S.), Hussain(A.S.), Zainab(A.S.) and Umm
Kulthum(A.S.)… Abu Dhar, Ammar, Miqdad, dan Salman
Di mana lagi ribuan yang tinggal di Madinah? Seseorang mungkin
bertanya, dan jawapan yang datang berbunyi begini: Fatimah telah
meminta agar tiada orang lain hadir di majlis pengebumian beliau! Ahli
keluarga terdekat dan sahabat bergegas untuk mengebumikan Fatimah dan
pulang ke rumah agar tiada orang lain mengetahui kedudukan sebenar kubur
beliau.
Imam Ali, suami beliau berasa sangat sedih atas pemergian ini, namau
siapa yang tidak apabila dipisahkan dengan wanita terbaik alam ini?
Dalam keadaan menangis, Imam Ali berbicara dengan Rasulullah(sawa);
“Ya Rasulullah, salam keatas kamu dari ku dan dari anak perempuan mu
yang telah pergi menemui mu. Ya Rasulullah(sawa)! Kesabaran ku semakin
menipis dan ketahanan ku semakin lemah(atas kejadian ini), kecuali aku
mempunyai asas yang cukup kuat untuk bertahan dalam kejadian yang sangat
menghancurkan hati ku iaitu dengan pemergian mu. Aku membaringkan kamu
di dalam kubur mu, apabila kamu tidak lagi bernyawa, dan kepalamu di
antara leherku dan dada ku. “Sesungguhnya dari Allah kita datang dan
kepadaNya kita kembali”(2″56)
Sekarang amanah telah dikembalikan dan apa yang telah diberi kini
telah di ambil semula. Kesedihanku tidak mempunya sempadan dan
malam-malamku tidak akan lena tidurnya sehingga Allah swt memilihkan
untukku sebuah rumah yang di dalamnya ada kamu. Semestinya anak kamu
pasti mengadukan kepada mu akan Ummah yang menindas beliau. Kamu bertnya
keadaan sebenar kapadanya dan mendapat berita akan situasi sebenar,
Perkara ini terjadi sewaktu masa belum lama berlalu dan memori mu masih
belum menghilang. Salam ku ke atas kamu berdua, salam seorang yang
bersedih dan berduka dan bukan dari seorang yang membenci dan mecemuh,
jika aku pergi sekarang, ia bukanlah kerana aku sudah letih akan kalian
dan jika aku tinggal, ia bukanlah kerana kurangnya kepercayaan ku atas
janji Allah kepada orng-orang yang sabar.”
Percubaan yang Gagal
Pada waktu subuh, orang ramai berkumpul untuk menyertai pengebumian
Fatimah, akan tetapi mereka telah di beritahu bahawa puteri Rasulullah
telah di kebumikan secara rahsia di waktu malam. Sementara itu Imam Ali
telah membuat 4 kuburan baru di Baqi’ untuk memalsukan kedudukan sebenar
Fatimah.
Apabila orang ramai memasuki tanah perkuburan itu, mereka berasa
keliru akan kedudukan sebenar kubur beliau, mereka memandang antara satu
sama lain, dan dengan nada menyesal, mereka berkata: “Nabi kita hanya
meninggalkan seorang anak perempuan, namun beliau meninggal dalam
keadaan tanpa penyertaan kita dalam pengebumiannya. Malah kita langsung
tidak mengetahui lokasi nya!”
Menyedari pemberontakan yang mungkin terjadi dari suasana beremosi
ini, pihak pemerintah mengumumkan: “Pilihlah sekumpulan wanita Muslim,
dan minta mereka menggali tanah-tanah ini, agar kita dapat menemui
Fatimah dan menyolatkan beliau.
Ya! Mereka mencuba untuk menjalankan rancangan itu, melanggar wasiat
Fatimah, dan menyebabkan percubaan Imam Ali untuk merahsiakan lokasi
sebenar Fatimah gagal. Apakah mereka telah lupa akan ketajaman pedang
Imam Ali dan keberanian beliau yang terkenal itu? Adakah mereka
menyangkakan Imam Ali akan duduk senyap dalam menghadapi rancangan
mereka yang tidak masuk akal itu?
Imam Ali tidak membalas balik selepas kewafatan Rasulullah kerana
beliau mementingkan kesatuan Muslim sebagai sesuatu yang lebih utama.
Bagaimanapun ini tidak bermakna beliau akan membiarkan jenayah mereka ke
atas Fatimah Az Zahra walaupun selepas pemergian beliau.
Dalam kata lain, Rasulullah meminta Imam Ali untuk bersabar, tetapi
hanyalah sehingga peringkat tertentu. Apabila Imam Ali mendengar
rancangan mereka, beliau bergegas memakai pakaian perang dan menuju ke
Baqi’.
“JIka kamu -berani mengubah walau satu sahaja batu dari kubur-kubur
ini, akan ku serang walaupun sehingga mereka ialah pengikut terakhir
ketidakadilan.”
Orang ramai menyedari keseriusan kata-kata Imam Ali, dan mengambil
amaran beliau dengan penuh kepercayan yang beliau akan melakukan
sebagaimana yang diucapkan. Namun seseorang dari pihak pemerintah
berkata kepada Imam Ali dengan kata-kata ini:
“Apa masalahnya Abul Hassan? Demi Allah, kami akan menggali semula
kubur Fatimah dan menyolatkan beliau.” Imam Ali kemudiannya memegang
pakaian orang itu dan membaling orang itu ke tanah dan berkata:
“Ibnu Sawada! Aku telah meninggalkan hak ku untuk mengelakkan orang
ramai dari meninggalkan kepercayaan mereka, tetapi dalam kes Fatimah,
demi Dia yang nyawa ku berada di dalam tangannya, jika kamu dan pengikut
kamu berani mencuba sesuatu, aku akan mengalirkan tanah dengan darah
kamu.”
Pada ketika ini Abu Bakr berkata:
“Abu al Hassan, aku meminta kepadamu demi hak Rasulullah dan demi Dia
yang berada di atas arash, lepaskan dia dan kami tidak akan melakukan
sesuatu yang tidak kau sukai.” Seterusnya sehingga ke hari ini,
kedudukan sebenar kubur Fatimah masih belum di ketahui.
Fathimah ra mempunyai tiga orang putra Al Hasan, Al Husin dan Muhsin
serta dua orang putri Ummu Kalsum dan Zainab… Tapi Muhsin gagal lahir
kedunia ini karena sewaktu dalam kandungan Fatimah ; perut Fatimah
dipukul Umar Bin Khattab hingga Fatimah keguguran, peristiwa tersebut
terjadi sewaktu Umar cs menyerbu ke rumah Fatimah malam hari pasca
tragedi Pemilihan Abubakar di Saqifah…
Fatimah tidak wafat secara alamiah, melainkan karena sakit
bekas pukulan lahir dan bathin… Jelas Fatimah Az Zahra mati syahid
" Perlu ANDA ketahui bahwa ; Keturunan baginda Nabi MUH
BalasHapusAMMAD SAW bukanlah Syi'ah tapi orang2 seperti kalianlah yg membuat pernyataan yg meniyimpag dari Akidah Agama ISLAM dengan mengatakan Sayydinah ALI BIN ABI THALIB adalah Imam Syi'ah yg pertama dan maksum dan juga anak keturunannya kalian baiat dgn sendirinya menjadi penganut Syi'ah " ..... Tidakkah kalian lihat dan pelajari ketika Sayydinah ALI BIN ABI THLALIB ketika ia masih hidup dia memberlakukan perilaku beribadah maupun berbuat seperti yg orang2 Syiah lakukan !!!! begitupun juga dengan anak2nya , apakah HASAN dan HUSEIN mengajarkan Akidah yg seperti orang2 Syiah lakukan . Orang - orang seperti kalian inilah sejak dari jaman RASULLULLAH yg menginginkan ke Hancuran Agama ISLAM dari dalam Hati umat Muslim dengan mengaku - ngaku sebagai orang yg ber Agama ISLAM tapi sesungguhnya tidak mau menjalankan SYAH'RIAT Agama ISLAM yg Sebenar - benarnya telah di ajarkan oleh RASULLULLAH SAW ... Saran saya bentuklah Agama lain yg cocok dgn pemahaman dan ajaran Syia'ah yg kalian IMANI.......
Klo saya sih ga mau ikutan yg benci sayyidina abu bakar dan kolega serta ga mau ikutan benci sama para pelaku syiah.. buat saya jalani ajah apa yg di yakini.. pilih sesuai hati kita mana yg lebih banyak datangkan manfaat dan yang tidak.. belajar langsung dari para guru biar ga mudah terprovokasi hehehe
BalasHapus