Mengurai
Cina memang panjang, namun catatan ini dimulai sejak awal abad ke-20,
ketika ia mencoba melibatkan diri dalam kancah perdagangan global, maka
wilayah pesisir menjadi makmur sedangkan daerah pedalaman ---sekitar 160
km dari pantai dan 1.600 km arah barat--- masih melarat. Inilah
persoalan mapping kependudukan
yang mendasar. Keberadaan kaum miskin sebagian besar di sebelah barat
wilayah pesisir yang memang lebih kaya. Perbedaan kekayaan ini berdampak
pada “ketegangan sosial” antara kaum pesisir dengan orang-orang dari
pedalaman.
Sukses Cina kini tak lepas dari kiprah Mao Zedong dekade 1927-an. Ia melakukan long march ke
pedalaman-pedalaman guna mencairkan “ketegangan” kedua golongan
tersebut. Mao meningkatkan jiwa juang kaum pedalaman untuk mampu
bersaing dan “menaklukkan” wilayah pesisir. Pada akhirnya ia pun
mengambil keputusan menutup Cina dari dunia luar (perdagangan
internasional) agar lebih bersatu dan setara. Mungkin inilah titik awal
kenapa ia dijuluki sebagai Tirai Bambu, negeri yang tertutup bagi dunia
luar!
Agaknya
untuk saat ini, pemerintah telah mempunyai format cocok tentang
kekayaan dalam mencapai stabilitas. Menurut George Friedman, ada tiga
kepentingan inti yang dianggap strategis oleh Cina karena bermuara
kepada perwujudan kesejahteraan (kepentingan nasional) di dalam negeri.
Stategi pertama ialah
membangkitkan dan “membeli” loyalitas warganya melalui kerja massal;
rencana ekspansi industri dengan cara memaksimalkan kerja sebagai tujuan
namun sedikit pemikiran soal pasar, karena pemasaran menjadi domain
atau urusan negara; tabungan swasta dimanfaatkan untuk membiayai
industri, meninggalkan sedikit modal dalam negeri untuk membeli output; dan terutama ekspor harus sesuai permintaan pasar dunia.
Strategi kedua bahwa
desain industri Cina berbasis produksi yang lebih daripada kebutuhan
(konsumsi) nasional. Artinya kegiatan ekspor dilakukan setelah tercukupi
dahulu konsumsi internal. Kemudian impor bahan baku dilakukan manakala
ia mengekspor barang-barang ke seluruh dunia. Dengan demikian, Cina
memastikan dahulu permintaan internasional atas ekspornya, termasuk
berbagai kegiatan investasi uang di negara-negara konsumen guna
membangun akses hingga ke jalur global.
Strategi ketiga ialah
kontrol stabilitas atas empat “wilayah penyangga” yang meliputi
Mongolia Dalam, Manchuria, Xinjiang dan Tibet. Mengamankan daerah
penyangga identik dengan melindungi Cina dari serangan Rusia, India atau
negara lain di Asia Tenggara, kendati rata-rata daerah penyangga telah
memiliki “hambatan” baik hutan, gunung, padang rumput maupun gurun
Siberia ---- dimana tercipta pertahanan secara alami yang membuat setiap
upaya penyerangan dari luar selalu dalam posisi lemah.
Adapun urgensi wilayah penyangga berdasar mapping kependudukan,
selain suku Han yang mendominir Cina, ada empat suku lain non-Han yang
tersebar serta merupakan kelompok mayoritas di daerah penyangga.
Antara Krisis, Masalah Pedalaman dan Wilayah Peyangga
Tampaknya
krisis ekonomi global yang menimpa Uni Eropa (EU) dan Amerika Serikat
(AS) selaku pelanggan utamanya, berimbas sangat negatif terhadap ekspor
barang di kedua kawasan tadi. Di satu sisi, ia belum mampu secara
maksimal meningkatkan permintaan domestik dan jaminan akses global
terutama melalui perairan, sedang di sisi lain intensitas kepentingan AS
terlihat mulai hilir-mudik dan “mancing-mancing” di Laut Cina dan
sekitarnya.
Tekanan
ekonomi menjadi tantangan tersendiri bagi Cina. Misalnya kekayaan laut
yang melimpah pun ternyata tergantung dari perdagangan yang kini mulai
goyah. Maraknya kemiskinan di daerah pedalaman membutuhkan banyak
subsidi, tetapi karena pertumbuhan ekonomi melambat secara substansial
akibat krisis, maka bantuan pun sulit direalisasi.
Ada
dua wilayah penyangga Cina yang hingga sekarang masih dikategorikan
“rawan”. Terdapat unsur-unsur perlawanan, di Tibet dan Xinjiang gigih
menentang “pendudukan” suku Han yang sengaja di-drop oleh
pusat. Dalam perspektif stabilitas, lepasnya kedua daerah ini dapat
menimbulkan gangguan bagi kedaulatan Cina. Misalnya, ancaman India
melalui utara Himalaya bisa menciptakan radikalisme Islam di Xinjiang;
Tibet pun berpotensi membuat “kegaduhan” internal dan lainnya.
Memang perang terbuka antara Cina dan India akan sulit terjadi karena hambatan Himalaya. Dalam logika militer modern, droppinglogistik
dalam skala besar dalam peperangan relatif lama akan mengalami hambatan
dengan kondisi medan seperti itu. Bila kelak terjadi clash, maka
pertempuran-pertempuran kecil mungkin lebih efektif. Kedua negara telah
“saling mengancam”, apalagi coba-coba hendak membangun kekuatan militer
di sekitar gunung dan menyeberangi Himalaya.
Bagi
India, gangguan akan muncul jika pasukan Cina memasuki Pakistan dalam
jumlah besar, sebaliknya bagi Cina gangguan timbul bila pasukan India
masuk melalui Tibet. Yang berlangsung sekarang ialah saling intip dan
waspada. Cina menciptakan “skenario” seolah-olah mengirim pasukan via
Pakistan, meskipun Pakistan sendiri sesungguhnya tidak memiliki
kepentingan dengan pendudukan Cina bila kelak ia mampu menduduki India.
Cina pun demikian, tidak ada minat untuk melakukan operasi keamanan di
Pakistan
Berbeda
dengan Cina, justru India memiliki minat mengirimkan pasukan ke Tibet
bila terjadi revolusi nanti. Karena bagi India, kemerdekaan Tibet tanpa
kehadiran tentara Beijing akan menarik perhatian dunia. Dalam perspektif
hegemoni India, persoalan Tibet sebenarnya hanya masalah pengelolaan
saja. Dan disinyalir pemberontak-pemberontakan Tibet mendapat dukungan
dari India meski dalam skala minimal sehingga tidak akan mengancam
kendali Cina.
Persoalan
dominasi suku Han di wilayah-wilayah penyangga sebenarnya bisa
direduksi dengan pengelolaaan yang baik melalui beberapa upaya sehingga
bisa memperbaiki reputasi Cina di forum internasional. Kuncinya adalah
stabilitas wilayah pedalaman. Tetapi bila porsi ini diserahkan
sepenuhnya kepada suku Han maka kontrol terhadap daerah penyangga justru
melonggar. Itulah dilematisnya.
Memelihara
wilayah pedalaman memerlukan transfer berbagai sumberdaya. Hal ini
bermakna harus menumbuhkan ekonomi pesisir guna menghasilkan modal untuk
transfer (subsidi) daerah pedalaman. Cina memang jauh dari revolusi
namun dekade ini ketegangan sosial terus meningkat.
Mempertahankan
kestabilan pedalaman merupakan tantangan besar. Ritme antara model
kerja, pasar profibialitas, sumberdaya dan jaringan antara supply and demand mutlak
harus dikendalikan. Faktor yang akan mengganggu ialah inflasi karena
meningkatnya subsidi bagi kaum pedalaman, otomatis mengurangi daya
saingnya terhadap eksportir lain di tingkat global.
Inilah
tantangan strategis Cina. Tantangan yang hanya dapat diatasi dengan
meningkatkan profibilitas pada aktivitas ekonomi, sehingga mustahil
dihadapi dengan produk yang bernilai rendah. Solusinya barangkali ialah
memulai dengan manufaktur dan produk yang memiliki nilai tambah (sepatu,
motor, mobil dll). Tetapi konsekuensi yang muncul perlu tenaga kerja
terdidik dan terlatih. Selain butuh waktu yang relatif lama juga akan
bersaing secara langsung melawan negara-negara industri mapan seperti
Jepang, Jerman, AS dan lainnya. Inilah medan tempur strategis bagi Cina
yang mutlak harus direbutnya bila ingin mempertahankan stabilitas.
Kelemahan dan Kekuatan Militer
Selain
terdapat masalah ekonomi, persoalan militer pun tak kalah pelik.
Misalnya dari aspek geostrategi, sistem pertahanannya sangat tergantung
pada laut lepas, sedang konfigurasi Laut Cina Selatan dan Laut Cina
Timur sangat mudah diblokade dari luar. Laut Timur terbentang di antara
pulau-pulau Korea, Jepang dan Taiwan, kemudian Laut Cina Selatan lebih
tertutup lagi yakni pada bentangan antara Taiwan, Filipina, Indonesia
dan Singapura. Keprihatinan besar Beijing saat ini adalah rencana
blokade oleh AS yang akan berdampak signifikan terhadap perekonomian
Cina secara menyeluruh. Barangkali inilah shock and awe yang tengah
dijalankan oleh AS dalam rangka “melemahkan” Cina, belum lagi bakal
muncul ancaman dari Taiwan, Korea Selatan, Philipina dan lainnya.
Dekade
2008-an kekuatan militernya memang terbesar kedua setelah AS, namun
pada tahun 2011-an Rusia mampu menyalip sehingga kini menempati urutan
ketiga. Menurut Dewi Fortuna Anwar dalam diskusi ASEAN-US Relations: What Are the Talking Points? yang
digelar di @america Mall Pacific Place Jakarta, Senin (5/3/2012).
“Hingga saat ini anggaran militer AS jauh lebih besar dari jumlah
anggaran sebagian negara-negara besar," katanya, sekalipun anggaran
belanja militer sebagian negara-negara besar seperti Jepang, Inggris,
Rusia ditambah dengan anggaran militer ke sepuluh negara ASEAN bahkan
anggaran militer AS masih tetap yang tertinggi.
Data
2011 anggaran militer AS berjumlah 692 milyar USD, bandingkan dengan
Cina sekitar 100 milyar USD, Rusia 56 milyar USD, India 36,030 milyar
USD, atau Iran 9,174 milyar USD dan sebagainya
(www.globalfirepower.com).
Rincian selanjutnya adalah sebagai berikut. Saat ini, The People’s Liberation Army (PLAN) memiliki 250.000 tentara yang didalamnya termasuk 35.000 tentara Coastal Defense Force (Pasukan Pertahanan Lepas Pantai). Sedangkan infantri marinir lautnya berjumlah 56.000 tentara. Belum lagi termasuk 56.000 Aviation Naval Air (Pasukan Unit Udara Angkatan Laut).
Bukan
itu saja. Jumlah kapal selam milik PLAN pun boleh dibilang cukup
fantastis. Saat ini Cina memiliki 972 unit kapal selam. Kemajuan yang
sangat pesat mengingat sebelummnya PLAN hanya memiliki 35 unit kapal
selam. Sedangkan kapal pembawa rudal juga meningkat dari 20 menjadi 100
buah.
Dengan
demikian, postur angkatan bersenjata Cina diprediksi akan semakin
meningkat, sehingga pada 2015 mendatang, Cina diyakini akan memiliki
anggaran militer dua kali lipat dari yang saat ini sebesar 100 miliar
dolar AS. Suatu fakta yang tentunya mencemaskan bagi Amerika dan Uni
Eropa, apalagi bagi berbagai elemen yang meyakini prediksi Samuel
Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization. Dalam bukunya
tersebut, pakar politik Amerika dari Universitas Harvard tersebut
memprediksi akan meletus perang terbuka AS-Cina, dan melibatkan
polarisasi baru antara AS-Uni Eropa versus Cina-Negara-negara Islam.
Begitupun,dengan
data yang tersaji tersebut di atas, tetap saja Cina belum bisa
dikatakan telah memiliki angkatan laut handal. Hingga saat ini Cina
masih dalam proses penyelesaian kapal induk pertama. Angkatan lautnya
tidak cukup kualitas, kuantitas dan pengalaman untuk bertempur melawan
militer AS dan sekutu. Sejak usai Perang Dunia II, geliat militer Cina
belum memiliki kelompok tempur kapal perang yang teruji dan tidak pernah
lagi memiliki laksamana tangguh seperti kisah Cheng Ho dulu.
Strategi Kontra
Tampaknya
Cina memahami masalah ini. Dalam rangka mencegah blokade laut oleh AS,
selain tahun ini (2012) menaikkan budget militernya hingga 11% lebih, ia
juga membangun kapal selam besar sebagai strategi kontra. Kemudian
mengembangkan rudal anti kapal yang mampu menembus kapal perang bahkan
kapal induk sekalipun.
Pada
satu sisi, Cina juga memiliki sistem rudal darat yang mampu menangkis
serangan rudal jelajah, kemudian kini mempunyai pesawat terbang siluman,
pesawat tanpa awak saat ini masih dalam pengembangan, namun di sisi
lain strategi rudal akan bekerja dengan baik bila memiliki kemampuan
intai efektif. Artinya rudal tidak dapat menghancurkan kapal jika tidak
tahu posisinya, lalu ia pun membangun teknologi smart satelit sebagai
supporting system dalam perang rudal kelak.
Selain
itu kemampuan Cina dalam pertempuran jangka lama masih belum teruji.
Kendati kekalahannya sewaktu ia menyerang Vietnam tahun 1979-an tidak
boleh dijadikan patokan, karena kemampuan militernya telah melesat jauh
daripada sebelumnya, kini terbesar ketiga setelah AS dan Rusia.
Strategi
kontra lain ialah berusaha mendapat akses pelabuhan di beberapa negara
di kawasan Lautan Hindia dengan membangun pelabuhan di Myanmar,
Pakistan, Kolombo dan Sri Lanka, termasuk membangun rel serta sistem
transportasi jalan sebagai infrastruktur menuju pelabuhan-pelabuhan
tersebut. Tetapi yang urgen ialah memelihara hubungan politik dengan
negara yang diakses terutama beberapa negara yang memiliki kadar
ketidakstabilan tinggi seperti di Myanmar, Pakistan dan lainnya.
Inilah
salah satu kepentingan stategis lagi fundamental bagi China. Ia pun
tidak boleh berasumsi bahwa dengan membangun sebuah pelabuhan akan
memberikan akses tak terbatas di negara tersebut, sebab jalan dan jalur
rel mudah disabotase gerilyawan suatu negara, atau mudah dihancurkan
melalui serangan udara. Dengan demikian, Beijing harus mampu
mengendalikan situasi politik di negara tuan rumah dalam waktu lama. Dan
jaminan atas kendali pada negara lain mutlak harus memiliki kekuatan
besar untuk memaksa akses ke pelabuhan dan sistem transportasi.
Semenjak
Komunis mengambil alih kekuasaan, Cina jarang bahkan hampir tidak
pernah melakukan operasi militer secara ofensif. Hanya sekali-sekali
saja. Suksesnya invasi ke Tibet bukan jaminan kehebatan militernya,
karena daya tempur unsur-usur perlawanan memang tidak maksimal. Demikian
pula intervensi ke Korea mengalami kerugian karena biaya relatif besar
namun menemui jalan buntu. Hal ini membuat ia harus berhati-hati di masa
depan. Yang memalukan ketika ia menyerang Vietnam tetapi menderita
kekalahan (1979). Dengan demikian, setidaknya “bangunan militer”-nya
kini telah mengadopsi beberapa pengalaman tidak menyenangkan di masa
lalu.
Semenjak
dekade 1980-an, Cina telah menyerahkan tanggung jawab internalnya
kepada polisi, pasukan perbatasan dan pasukan keamanan internal lainnya
yang telah diperluas serta terlatih dalam rangka menangani
ketidakstabilan sosial. Pengalaman atas konflik internal di masa lalu
telah meletakkan pula The Peoples’s Liberation Army (PLA) atau Tentara
Pembebasan Rakyat sebagai organ yang ditunjuk dalam rangka mengendalikan
konfigurasi sosial di dalam negeri hingga level terburuk. PLA adalah
secondery force selain militer, ia dipersiapkan dalam rangka menghadapi
tantangan pendudukan dari Myanmar, atau Pakistan misalnya, intinya
adalah mengendalikan situasi internal bukan untuk proyeksi keluar.
Secara
fisik ia mampu mengendalikan di dalam tetapi kontrol terhadap
negara-negara tetangganya sangat terbatas. Salah satu kelemahanya ialah
ketidakmampuan dalam penyediaan logistik perang jarak jauh dengan waktu
lama disebabkan faktor alam, infrastruktur transportasi, serta
dikelilingi oleh negara-negara yang secara politis berseberangan. Solusi
sederhana bagi Cina, terutama untuk kontrol eksternal ialah membuka
jalur-jalur laut dan metode gerilya bersenjatakan rudal, ranjau dan
kalal selam. Ini yang seharusnya dibangunnya.
Strategi Politik
Melihat
fakta di atas, tampaknya Cina menghadapi masalah strategi yang cukup
signifikan. Sepertinya ia belum mampu jika melawan AS dan sekutu di
perairan. Kontra strategi yang diterapkan pun belum sepenuhnya efektif
mengingat biaya besar dan kondisi akses politik yang tidak pasti di
negara-negara di sekitar Lautan Hindia. Apa boleh buat. Tuntutan
menciptakan kekuatan guna mampu menjamin akses politik diluar, justru
bertentangan dengan persyaratan keamanan dalam negerinya sendiri. Ya.
Kekuatan dominan angkatan laut dunia saat ini adalah Paman Sam beserta
koalisi dengan puluhan kapal induk diiringi kapal freegat serta ratusan
kapal selam siap tempur, belum lagi pangkalan militer yang tersebar di
berbagai belahan dunia.
Upaya
menetralisir kelemahan strateginya, Cina mencoba melibatkan sebagai
bagian yang urgen bagi AS itu sendiri. Misalnya surat utang sebesar
1,107 triliun USD per September 2011 milik AS (CNBC, 2/2/2012) yang
dipegang oleh Cina memang bisa menjadi kartu truf dalam satu sisi,
kendati belum menjamin sepenuhnya terutama sisi politik global.
Pengalaman
Libya merupakan contoh riil. Kepercayaan diri Gaddafi yang berbasis
keyakinan bahwa ia tidak akan diserang oleh AS dan NATO karena disamping
tengah menjalin konsesi minyak beberapa perusahaan minyak milik Barat,
juga Barat memiliki utang sekitar 600 milyar USD kepada Libya. Dari
aspek politik ternyata bertolak belakang. Resolusi PBB nomor 1973
tentang No Fly Zone merupakan jawaban fatal atas “kesalahan
keyakinan”-nya Gaddafi kepada Barat. Seri baru perang kolonial yakni
utang dibayar bom dan perampokan internasional berkedok pembekuan
aset-aset di luar negeri pun diterapkan oleh AS dan sekutu terhadap
Libya (baca: Perampok Internasional dan Utang Dibayar Bom, di
www.theglobal-review.com). Libya kini porak-poranda.
Persepsi
kebangkitan Cina memang tak bisa dipungkiri siapapun, namun mengingat
masih besarnya tantangan internal sementara postur militernya tengah
berformat mencari bentuk ideal merujuk geostrategi dan geopolitik, maka
dibutuhkan kajian secara mendalam oleh think-tank Beijing jika
memutuskan hendak melawan AS dan sekutu di wilayah perairan.
Rekomendasi
“Setiap sistem dominasi tergantung kekuatan militer, tetapi selalu membutuhkan pembenaran ideologis” (Jean Bricmont).
Menaksir
kemampuan Cina dari teori ini, tampaknya kedua elemen sebagai syarat
pokok yakni power militer dan senjata ideologis belum dimilikinya. Jujur
saja, Cina tidak punya citra ideologis guna “menerobos” lorong-lorong
politis negara lain dan juga belum memiliki power militer dalam rangka
akses politis di luar kendati kekuatan militernya ketiga terbesar di
dunia. Berbeda dengan AS yang mampu menebar ideologis melalui paket
demokrasi, HAM dan lingkungan (DHL) serta para personel dan pangkalan
militer, capacity building bahkan doktrin militernya bertebaran di
banyak negara.
Pendekatan
asimetris (non militer) Cina dianggap luar biasa, bahkan ditakuti oleh
jajaran negara Barat di Afrika, Asia, Timor Leste dan lainnya. Hal ini
menjadikan Cina lebih populer daripada kelompok negara Barat yang sering
usil dengan urusan internal negeri lain. Namun langkah asimetris
bukanlah jaminan, selain tidak memiliki efek signifikan bila terjadi
perang terbuka nanti, niscaya akan mengendala ketika merambah suatu
negara yang secara ekonomi telah mapan serta sudah mampu mengelola “jati
diri”-nya secara berkelanjutan seperti Brazil, Venezuela, Bolivia, Iran
dan lainnya.
Namun
demikian ada beberapa hal yang kiranya perlu mendapat perhatian kita
secara seksama terkait postur kekuatan angkatan bersenjata Cina yang
cenderung kian meningkat dari waktu ke waktu. Berdasarkan data kekuatan
militer Cina yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future
Institute(GFI), kekuatan angkatan bersenjata Cina bagaimanapun juga
tetap tidak boleh diremehkan, bahkan oleh Amerika Serikat sekalipun.
Tentara
Aktif berjumlah 2.255.000 (dua juta duaratus limapuluh lima ribu)
orang. Tentara cadangan, 800.000(delapan ratus ribu) orang. Paramiliter
aktif 3.969.000(tiga juta sembilanratus enampuluh sembilan ribu) orang.
Angkatan
Darat, Cina memiliki senjata berbasis darat sejumlah 31.300, tank
sejumlah 8200, kendaraan pengangkut pasukan sebesar 5000, meriam
sejumlah 14.000, senjata pendorong 1.700, sistem peluncur roket 2.400,
mortir sejumlah 16.000, senjata kendali anti tank 6500, dan senjata
anti-pesawat 7.700.
Di
matra laut, Cina pun cukup berjaya. Kapal perang, berjumlah 760 unit,
kapal pengangkut 1822 unit, pelabuhan utama 8, pengangkut pesawat 1
unit, kapal penghancur 21 unit, kapal selam 68 unit, fregat 42, kapal
patroli pantai 368 unit 6, kapal penyapu ranjau sekitar 39 unit, dan
kapal amphibi sekitar 121 unit.
Angkatan Udara, Cina punya jumlah pesawat 1900 unit. Cukup menakjubkan. Helikopter 491 unit, lapangan udara 67 unit.
Mengakhiri catatan ini, rekomendasi yang diberikan ialah agar pancingan AS dan kelompok negara proxy-nya
sekutu terhadap Cina supaya masuk ke lingkaran tema PD III di Laut Cina
Selatan sebaiknya dihindari sementara ---diulur-ulur waktu--- sambil ia
terus membangun kontra strategi dan meningkatkan kemampuan
“gerilya”-nya guna menaklukkan negara di sekelilingnya. Akan tetapi
rekomendasi ini boleh saja diabaikan apabila telah ada komitmen jelas,
bahwa Rusia pun terlibat langsung bersama-sama Cina melawan AS dan
sekutu. Itu baru imbang!
(Analisa ini disarikan dari berbagai sumber)
DATA TAMBAHAH TERKAIT KEKUATAN ANGKATAN BERSENJATA CINA TERKINI:
Total Navy Ships: 972
Merchant Marine Strength: 2,012 [2012]
Major Ports & Terminals: 8
Aircraft Carriers: 1 [2012]
Destroyers: 25 [2012]
Submarines: 63 [2012]
Frigates: 47 [2012]
Patrol Craft: 332 [2012]
Mine Warfare Craft: 52 [2012]
Amphibious Assault Craft: 233 [2012]NI;
SUMBER: www.globalfirepower.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar