Rabu, 26 Desember 2012

..........Kegagalan Pesawat Jet Tempur F-16 TNI Angkatan Udara Hadang F-18 Hornet AS ....>>>...Membeli Pesawat Jet Tempur F-16 Buatan AS, Dalam Jangka Panjang Berbahaya Bagi TNI Angkatan Udara ...>>> TNI AU DAN PRESDIEN SBY DIBODOH-BODOHKAN OLEH TIPU DAYA AS DAN SEKUTUNYA....UNTUK MEMBELI PESAWAT JET TEMPUR F 16 ??? >> TERNYATA PADA SAAT DIPERLUKAN MENYERGAP MUSUH...SANGAT TIDAK BERDAYA DAN GAK ADA KEKUATAN APAPUN....??? SUNGGUH MEMALUKAN DAN MENCEMOOHKAN BANGSA DAN TENTARA ANGKATAN UDARA KITA...???? SIAPAKAH YANG JADI AGEN DAN PENDORONG AGAR MEMBELI F 16 JET TEMPUR ITU??? ....>>> SUNGGUH MEREKA PENGKHIANAT BANGSA... MENIPU DAN MEMBODOHI TNI KITA....???? WASPADALAH BANGSAKU..DAN SELURUH SLAG ORDE TNI BANGSAKU...>>> WASPADA...WASPADA..... >>>> Skenario Amerika Serikat Perlemah ASEAN Melalui KTT ASEAN 17-19 November 2011. Hidupkan Kembali Gagasan Asia Pacific Union (APU) dan East Asia Bloc?...>>



Isu Hangat

22-03-2011   
Membeli Pesawat Jet Tempur F-16 Buatan AS, Dalam Jangka Panjang Berbahaya Bagi TNI Angkatan Udara  
Penulis : Hendrajit - Direktur Eksekutif Global Future Institute















 http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=4476&type=99#.UNr2bFJXlkg
Ada kabar terkini, bahwa Pemerintah Indonesia via Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI sudah pada fase-fase akhir kesepakatan untuk membeli pesawat jet tempur F-16 buatan Amerika Serikat. Ini bukan perkembangan yang cukup menggembirakan. Justru mengkuatirkan.

Betapa tidak. Sebagai produksi buatan Amerika, pesawat jet tempur F-16, Amerika praktis telah mengetahui kelemahan-kelemahannya yang paling utama dari produk-produk militernya yang dijual ke negara-negara lain. Tak terkecuali pesawat jet tempur F-16.

Mau Bukti? Mari kita tengok kejadian beberapa waktu yang lalu. Juli 2003, pesawat jet tempur Amerika F-18 Hornet melewati daerah kedaulatan teritorial Indonesia. Ketika Amerika melakukan manuver pesawat ini, pesawat F-16 TNI Angkatan Udara kita waktu itu langsung melakukan pengejaran. Tapi apa yang terjadi kemudian? Pesawat F-16 milik TNI Angkatan Udara dengan serta merta berhasil dikunci sehingga tidak berkutik.

Bayangkan. Kalau Angkatan Udara Amerika waktu mau, bisa saja langsung menembak jatuh pesawat F-16 tersebut. Mengapa bisa sampai terjadi peristiwa yang cukup memalukan bagi TNI Angkatan Udara kita itu? Karena Angkatan udara Amerika tahu persis titik lemah dari F-16 yang notabene produk Amerika itu sendiri. Kita sebagai pengguna, praktis akan berada dalam posisi yang rawan dan berbahaya ketika suatu saat akan berhadapan secara militer dengan Angkatan Udara Amerika.

Apakah hal seperti ini tidak terpikir oleh para penentu kebijakan strategis pertahanan kita di saat dalam waktu dekat ini akan membeli beberapa buah pesawat Jet Tempur F-16?
Sekadar informasi, pesawat tempur F-18 Hornet tersebut sejatinya baru sekadar pesawat yang lepas landas dari kapal induk Amerika. Bisa dibayangkan betapa runyamnya ketika yang harus dihadapi oleh TNI Angkatan Udara kita adalah pesawat Amerika yang tak terdeteksi radar kita seperti jenis F-117.

Para perancang kebijakan strategis Indonesia sudah selayaknya memperhitungkan skenario terburuk ketika terjadi konflik bersenjata antara Indonesia dengan Amerika ataupun dengan salah satu negara sekutu Amerika. Bayangkan. Ketika dengan menggunakan pesawat jenis F-18 Hornet atau F-117, Amerika atau negara sekutu Amerika, bisa dengan mudahnya melakukan pemboman terhadap beberapa kota strategis di Indonesia.

Karena itu, rencana TNI Angkatan Udara untuk membeli ua skuadron pesawat tempur F-16A/B "Fighting Falcon," meskipun dari Hibah, sebaiknya ditinjau kembali.

Bahkan alasan Panglima TNI bahwa kedua pesawat F-16/B Fighting Falcon itu dianggap efektif dan efisien, rasa-rasanya patut diragukan. Apalagi ketika berkembang informasi bahwa untuk proyeksi 2014 mendatang, TNI akan membeli sektiar 6 buah pesawat F-16 produk baru. Benarkah bahwa pengadaan 6 pesawat F-16 tersebut mampu meningkatkan daya tangkal TNI Angkatan Udara kita? Pengalaman pahit TNI AU Juli 2003 lalu sebaiknya jadi bahan pertimbangan serius untuk membatalkan pembelian tersebut.   

Isu Hangat

22-03-2011
Kilas Balik Kegagalan Pesawat Jet Tempur F-16 TNI Angkatan Udara Hadang F-18 Hornet AS















Dalam tulisan kami sebelumnya, sekelumit kami kisahkah kejadian memalukan yang dialami TNI Angkatan Udara ketika pesawat F-19 Horent Amerika Serikat melewati wilayah kedaulatan udara Republik Indonesia. Namun apa daya, pesawat F-16 TNI AU gagal menghadang manuver angkatan udara AS. Sejarah kelam TNI AU tersebut belakangan popular dengan sebutan insiden Bawean.

Insiden Bawean adalah duel udara pesawat tempur F-16 TNI-AU dengan pewat tempur F/A 18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) yang menerobos masuk wilayah Indonesia di atas kepulauan Bawean. Mulanya orang nyangka ini hanya sekadar latihan militer atau simulasi perang-perangan. Ternyata ini kisah nyata.

Tepatnya pada 3 Juli 2003, kawasan udara di atas Pulau Bawean sontak memanas ketika lima pesawat asing yang kemudian diketahui sebagai pesawat F/A 18 Hornet terdeteksi radar TNI AU.

Dari pantauan radar, kelima Hornet terbang cukup lama, lebih dari satu jam dengan manuver sedang latihan tempur. Untuk semenntara Kosek II Hanudnas (Komando Sektor II Pertahanan Udara Nasional) dan Popunas (Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional) belum melakukan tindakan identifikasi dengan cara mengirimkan pesawat tempur karena kelima Hornet kemudian menghilang dari layar radar.

Sekitar dua jam kemudian, Radar Kosek II kembali menangkap manuver Hornet. Karena itu panglima Konanudnas menurunkan perintah untuk segera melakukan identifikasi. Apalagi manuver sejumlah Hornet itu sudah mengganggu penerbangan komersial yang akan menuju ke Surabaya dan Bali serta sama sekali tak ada komunikasi dengan ATC terdekat.

Lalu, dua pesawat tempur buru sergap F-16 TNI-AU yang masing-masing diawaki Kapten Pnb. Ian Fuadi/Kapten Fajar Adrianto dan Kapten Pnb. Tony Heryanto/Kapten Pnb. Satro Utomosegera disiapkan.

Misi kedua F-16 itu sangat jelas yaitu melakukan identifikasi visual dan sebisa mungkin menghindari konfrontasi mengingat keselamatan penerbang merupakan yang utama.
Selain itu, para penerbang diminta agar tidak mengunci (lock on) sasaran dengan radar atau rudal sehingga misi identifikasi tidak dianggap mengancam. Namun demikian, untuk menghadapi hal yang terduga kedua F-16 masing-masing dua rudal AIM-9 P4 dan 450 butir amunisi kanon kaliber 20 mm.

Menjelang petang, Falcon Fligh F-16 melesat ke udara dan tak lama kemudian kehadiran mereka langsung disambut dua pesawat Hornet. Radar Falcon Fligh segera menangkap kehadiran dua Hornet yang terbang cepat dalam posisi siap tempur. Perang radar atau jamming antara kedua pihak pun berlangsung seru. Yang lebih menegangkan pada saat yang sama, F-16 yang berada pada posisi pertama telah dikunci, lock on oleh radar dan rudal Hornet. F-16 kedua yang terbang dalam posisi supporting Fighter juga dikejar oleh Hornet lainnya. Namun posisi F-16 kedua lebih menguntungkan. Jika memang harus terjadi dog fight ia bisa melancarkan bantuan.

Untuk menghindari sergapan rudal lawan seandainya memang benar-banar diluncurkan, F-16 pertama lalu melakukan manuver menghindar, yakni hard break berbelok tajam hampir 90 derajat ke arah kanan dan kiri serta melakukan gerakan zig-zag. Manuver tempur itu dilakukan secara bergantian baik oleh F-16 maupun Hornet yang terus ketat menempel. Melihat keadaan yang semakin memanas, F-16 kedua lalu mengambil inisiatif menggoyang sayap (rocking wing) sebagai tanda bahwa kedua pesawat F-16 TNI-AU tidak mempunyai maksud mengancam.

Sekitar satu menit kemudian, kedua F-16 berhasil berkomunikasi dengan kedua Hornet yang mencegat mereka. Dari komunikasi singkat itu akhirnya diketahui bahwa mereka mengklaim sedang terbang di wilayah perairan internasional. "We are F-18 Hornets from US Navy Fleet, our position on International Water, stay away from our warship". F-16 pertama lalu menjelaskan bahwa mereka sedang melaksanakan patroli dan bertugas mengidentifikasi visual serta memberi tahu bahwa posisi F-18 berada di wilayah Indonesia. Mereka juga diminta mengontak ke ATC setempat, karena ATC terdekat Bali Control belum mengetahui status mereka.

Usai kontak Hornet AS itu terbang menjauh sedang kedua F-16 TNI-AU return to base, kembali ke pangkalannya Lanud Iswahjudi Madiun. Selain berhasil bertemu dengan Hornet, kedua F-16 TNI-AU juga melihat sebuah kapal perang Frigat yang sedang berlayar ke arah timur. Setelah kedua F-16 mendarat selamat di pangkalan TNI-AU menerima laporan dari MCC Rai (ATC Bali) bahwa fligh Hornet merupakan bagian dari armada US Navy. Namun yang paling penting dan merupakan tolak ukur suksesnya tugas F-16, Hornet AL AS itu baru saja mengontak MCC RAI dan melaporkan kegiatannya.

Keesokan harinya TNI-AU terus mengadakan pemantauan terhadap konvoi armada laut AS itu dengan mengirimkan pesawat intai B737. Hasil pengintaian dan pemotretan menunjukkan bahwa armada laut AS yang terdiri dari kapal induk USS Carl Vinson, dua frigat dan satu destroyer sedang berlayar diantara Pulau Madura dan Kangean menuju Selat Lombok. Selama operasi pengintaian itu pesawat surveillance B737 terus dibanyangi dua F/A 18 Hornet AL AS. Bahan-bahan yang didapat dari misi itu kemudian dipakai oleh pemerintah untuk melancarkan "keberatan" secara diplomatik terhadap pemerintah AS.

Isu Hangat

25-07-2011
Amerika Serikat Di Balik Aliansi Vietnam Dan India Hadapi Ancaman Cina
Penulis : Hendrajit - Direktur Eksekutif Global Future Institute

Sepertinya ramalan pakar politik Amerika Samuel Huntington semakin dekati kenyataan. India dan Amerika Serikat bersepakat untuk bersekutu melindungi Vietnam dari ancaman militer Cina. Dalam waktu dekat, kapal perang India akan tiba di Laut Cina Selatan. Bukan itu saja, angkatan laut India berencana untuk mangkal di Laut Cina Selatan dalam waktu yang cukup lama.

Perkembangan terkini tersebut agaknya patut jadi perhatian para pengkaji dan perancang kebijakan nasional di Indonesia maupun Departemen Luar Negeri RI. Betapa tidak. Hal ini jelas mengindikasikan kehadiran militer India di kawasan ini, yang barang tentu harus dibaca sebagai adanya restu Washington dan London terhadap manuver angkatan laut India tersebut.

Dalam skenario Samuel Huntington dalam bukunya bertajuk The Clash of Civilization, akan pecah perang Amerika versus Cina dengan dipicu oleh penyerbuan Cina ke Vietnam. Dalam perkembangannya kemudian, begitu menurut skenario Huntington, Cina akan mendapat dukungan penuh dari Saudi Arabia, Iran dan Pakistan. Tentu saja soal kemungkinan persekutuan Cina dengan beberapa negara Islam tersebut, masih perlu diperdebatkan. Namun satu hal, perkembangan terkini yang mengindikasikan adanya persekutuan segitiga Amerika-India-Vietnam menghadapi ancaman Cina, nampaknya ramalan Huntington semakin mendekati kenyataan.

Yang menarik dari sudut pandang Indonesia sebagai negara ASEAN, kehadiran angkatan laut India di Laut Cina Selatan,berarti semakin meningkatkan peran strategis militer India di kawasan Asia Tenggara. Apalagi mengingat lokasi strategis Selat Malaka sebagai jalur pelayaran strategis kapal-kapal dari berbagai negeara (Strategic Shipping Lines).

Tren ini tentu saja bisa semakin runyam mengingat selama ini Cina secara intensif meningkatkan wilayah pengaruhnya (Sphere of Influence) di kawasan pulau-pulau sekitar Laut Cina Selatan. Saat ini, Cina berhasil menguasai Pulau Paracel yang mereka rebut pada 1974 dari Vietnam Selatan. Termasuk sebagian kecil dari Pulau Spratly.

Pertaruhan Amerika dan Cina di Laut Cina Selatan memang punya nilai yang cukup strategis. Disamping nilai strategisnya sebagai jalur pelayaran dari kawasan Pasifik menuju Lautan Hindia, yang tak kalah strategis adalah karena sumber kekayaan alamnya di bidang sumber daya biologis dan hidrokarbon.

Sedangkan Vietnam sendiri secara geopolitik cukup strategis. Dengan kehadiran angkatan laut India, India praktis mendapat akses pintu masuk bagi kapal-kapal lautnya ke Vietnam sekaligus mendapatkan akses pangkalan laut di Halong Bay dan Nhatraneg. Sedangkan secara timbale-balik, Vietnam bisa meningkatkan postur angkatan lautnya dengan pembangunan dan pengembangan kualitas kapal-kapal angkatan lautnya sekaligus mendapatkan pelatihan bagi para pelaut Vietnam. Benar-benar suatu persekutuan strategis India-Vietnam bakal tercipta.

Vietnam memang cukup beralasan untuk kuatir dengan ancamn Cina, terutama di matra laut. Pada 1988, terbukti angkatan laut Vietnam gagal menghadang gerak laju angkatan laut Cina untuk menguasai Pulau Spratly.

Kecemasan Vietnam terhadap ancaman Cina semakin menjadi-jadi ketika Cina dalam beberapa bulan terakhir dalam mengklaim beberapa bagian wilayah di Pulau Spratly. Bukan Vietnam saja, bahkan Filipina yang selama ini memang sekutu tradisional Amerika di kawasan ASEAN, juga mengalami kecemasan yang sama terkait ancaman Cina di Laut Cina Selatan.

Sepertinya, kecemasan Filipinan itu pula yang kemudian mendesak Manila agar Washington ikut membantu dan mulai mempertimbangkan persektuan strategis segitiga India-Vietnam dan Amerika Serikat. Karena India dan Filipina nampaknya sadar bahwa dalam kondisi sekarang, keduanya bakal tidak mampu untuk mengimbangi kekuatan dan superioritas angkatan laut Cina.

Menariknya lagi, Perdana Menteri Vietnam Nguyen Tan Dung pada 14 Juni lalu telah mengeluarkan dekrit yang menyerukan kewaspadaan seluruh jajaran angkatan lautnya jika sewaktu-waktu konflik antara Vietnam dan Cina semakin tajam dan memanas.

Tentu saja perkembangan ini semakin mencemaskan Indonesia dan beberapa negara kawasan ASEAN seperti Malaysia dan Filipina. Selain bisa meningkatkan ketegangan di kawasan Asia Tenggara, pada perkembangannya juga akan meluas ke kawasan Asia Selatan jika India semakin terseret dalam persekutuan pertahanan bersama Amerika dan Vietnam.

Pertimbangan India Bersekutu Dengan Vietnam

Adapun kenapa India sepertinya antusias membantu Vietnam dan Amerika menghadang Cina di kawasan Laut Cina Selatan dan Asia Tenggara, hal tersebut akibat reaksi terhadap semakin eratnya persekutuan Cina dan Pakistan. Beberapa waktu lalu ada informasi bahwa Pakistan telah memberikan sebuah pangkalan bagi angkatan laut Cina di lepas pantai wilayah Pakistan. Melihat konstalasi seperti itu, jika terjadi eskalasi konflik yang kian menajam di Laut Cina Selatan  dan semakin kuatnya kontol militer Cina di kawasan ini, maka India bisa dipastikan akan merasa dalam posisi yang tidak menguntungkan akibat kepungan Pakistan-Cina.

Di atas semua itu, mengingat kepentingan strategisnya dan pertaruhannya yang besar untuk menguasai Laut Cina Selatan dan juga Selat Malaka, maka bisa dipastikan Amerika berada di balik sentiman anti Cina terhadap India. Apalagi fakta bahwa sampai hari ini, India masih termasuk dalam persekutuan strategis dengan mantan penjajahnya yaitu7 Inggris dalam payung Common Wealth (Persekutuan Negara-Negara Persemakmuran).

Selain itu, ada beberapa cerita menarik. Sejak 2007, beberapa pejabat teras pemerintahan Amerika, termasuk beberapa petinggi CIA, secara intensif telah berkunjung ke Vietnam. Nampaknya pengalaman pahit kedua negara menyusul terusirnya tentara Amerika dari Vietnam oleh Vietnam Utara pada 1975, telah disepakati kedua belah pihak untuk dilupakan, karena ada musuh bersama yang lebih berbahaya saat ini: Yaitu semakin menguatnya ancaman Cina di Asia Tenggara, khususnya terkait beberapa wilayah yang masuk dalam kedaulatan Vietnam.

Bagi Amerika ini jelas dipandang sebagai sebuah peluang yang terbuka untuk menguasai geopolitik kawasan Laut Cina Selatan, termasuk beberapa wilayah sengketa antara Vietnam dan Cina. Karena itu, kehadiran militer Amerika, khususnya angkata lautnya di wilayah kedaulatan laut Vietnam, akan segera terjadi dalam waktu dekat.

Bisa dibayangkan betapa rawan dan krusialnya kawasan ini jika skenario ini benar-benar terjadi. Dan bisa bisa, skenario Huntington akan benar benar terjadi. Bahwa perang terbuka AS-Cina akan terjadi dipicu oleh serbuan militer Cina ke Vietnam.   

Isu Hangat
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6407&type=99#.UNr5DFJXlkg
17-11-2011
Perkembangan ASEAN
Skenario Amerika Serikat Perlemah ASEAN Melalui KTT ASEAN 17-19 November 2011. Hidupkan Kembali Gagasan Asia Pacific Union (APU) dan East Asia Bloc?
Penulis : Ferdiansyah Ali dan Hendrajit, Global Future Institute (GFI)

Menyusul berakhirnya Konferensi Tingkat Tinggi APEC 14 November lalu, pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 17-19 November mendatang, Amerika Serikat dan Jepang sepertinya sedang berencanan menyusun operasi politik memperlemah ASEAN melalui terbentuknya East Asia Bloc atau Asia Pacific Union (APU). Sasaran strateginya, mengamankan skema kebijakan neo-liberalisme di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara pada khususnya.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-19 Forum Kerja Sama Ekonomi Asia- Pasifik (APEC) di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (AS) telah berakhir Senin kemarin 14 November, dengan menghasilkan salah satu kesepakatan utamanya yaitu meningkatkan perekonomian dan menghilangkan hambatan perdagangan diantara negara-negara anggota APEC.

Dimana komitmen bersama ini, berarti mengikuti seruan yang disampaikan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang menjamin kesepakatan lebih luas perjanjian perdagangan bebas atau Trans Pacific Partnership (TPP).

Seruan ini memang langsung ditanggapi secara positif dari  beberapa negara anggota APEC, yaitu Jepang, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura,Vietnam, Cile, dan Peru.

Mereka menganggap kesepakatan ini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengurangan hambatan perdagangan dan investasi, meningkatkan ekspor, dan menciptakan lapangan kerja. Yang kemudian, kesepakatan ini coba untuk diajukan pada saat berlangsungnya KTT ASEAN yang akan diselenggarakan pada 17-19 November 2011 di Bali, yang akan dilanjutkan dengan KTT ASEAN+3 yang melibatkan Jepang, Korea Selatan, dan China.  Serta KTT Asia Timur yang kabarnya  Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitri Medvedev bakal datang.

Namun, dalam memahami agenda ini, Indonesia wajib waspada. Inisiatif yang diajukan AS tidak terlepas dari upaya menjalankan kepentingan dan dominasi AS. Dalam hal ini AS hendak meyakinkan kebijakan ekonomi internasionalnya berjalan baik.

Padahal, jika mengacu pada krisis moneter di dunia yang terjadi pada 1997-1998 maupun akhir 2008 serta 2011 ini, mekanisme pasar bebas dan liberalisasi perdagangan justru menjadikan ketimpangan antarnegara di dunia. Negara-negara maju yang terus meneriakkan perdagangan bebas, ternyata tetap menjunjung tinggi nasionalisme masing-masing. Artinya, mereka tetap mementingkan kepentingan nasionalnya atau melakukan proteksi. Tidak ada kebersamaan seperti yang mereka katakan selama ini.

Asia Pasifik Kawasan Bernilai Geoekonomis Yang Sangat Penting

Deasy Silvya Sari, Magister HI UNPAD, dalam artikelnya di The Global Review yang berjudul Dollar Diplomacy Amerika Serikat Dalam Politik Keamanan Asia Pasifik, dengan cermatnya memetakan kawasan yang terdiri diri negara-negara yang secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik dalam nilai geoekonomis yang sangat penting.

Pertama, keberagaman ras yang menyebabkan beragamnya bahasa dan kebudayaan. Keberagaman budaya dalam era globalisasi menjadi asset berharga, khususnya dalam bidang pariwisata, dalam menikmati magis keunikan lokal. Eat, Pray and Love, misalnya, menggambarkan bagaimana Bali mampu menarik banyak orang dengan latar belakang ras yang berbeda dalam menikmati magis Bali. Ras yang menempati Asia Pasifik, secara umum adalah Ural-Altaic, Eropa, Indo-Cina, Melayu, Negro-Hamit, Australia, Indian, dan Eskimo. Bahasa yang umumnya tersebar di wilayah ini adalah Rusia, Jepang-Korea, Cina/Mandarin, Inggris, Spanyol, Perancis, dan bahasa lokal seperti Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya.

Kedua, temperatur dan arus samudera yang dinamis yang memungkinkan arus lalu lintas laut sepanjang tahun. Hal ini sangat penting bagi kelancaran perdagangan, migrasi, dan transportasi. Dengan karakteristik geografis seperti ini, memposisikan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka, sebagai transit sekaligus penghubung Asia Pasifik dengan Samudera Hindia dalam rute laut; dan benua Asia-Autralia dalam rute darat.

Ketiga, beragamnya iklim yang memungkinkan beragamnya sumber daya alam, baik yang dimanfaatkan dari laut maupun kontinental di negara-negara lingkar Pasifik.

Keempat, pangsa pasar yang sangat luas karena populasi penduduk yang banyak. Cina memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, lebih dari 50 orang/km2. Daerah Asia Tenggara dan Amerika Latin memiliki kepadatan sedang, sekitar 6-49 orang/km2. Sementara wilayah Rusia, Amerika Utara, Australia dan sebagian Indonesia kepadatannya antara jarang (1-5 orang/km2) atau bahkan terpencil (kurang dari 1 orang/km2). Tingkat kepadatan ini diiringi dengan tingkat pertambahan penduduk yang tinggi dan sedang di wilayah Cina, sebagian Asia Tenggara dan Amerika Latin; atau pertumbuhan yang kurang dari rata-rata dunia di wilayah Indonesia, Rusia, Australia, Amerika Utara dan sebagian Cina. Dengan piramida penduduk yang umumnya seimbang, memungkinkan dinamisnya hubungan antar orang-orang dalam berbagai aspek kehidupan.

Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan potensi geoekonomis Asia Pasifik, tak heran jika AS akan berupaya terlibat dalam setiap dinamika hubungan di kawasan ini guna meningkatkan pengaruhnya terhadap negara-negara lain.

Kesepakatan KTT APEC untuk Melemahkan ASEAN

Sebagai pengingat, apa yang telah disampaikan oleh Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI, dalam artikel terdahulunya di The Global Review ini juga dengan judul “Waspadai Permainan Tingkat Tinggi Amerika-Jepang-Australia Lemahkan ASEAN Pada Pertemuan APEC di Singapore”, mengatakan pertemuan forum kerjasama ekonomi Asia Pasifik akan dijadikan sebagai ajang kesepakatan terselubung antara Amerika dan Cina untuk berbagi pengaruh di kawasan ASEAN. Di lain pihak, kelompok kanan dari Partai Republik Amerika memandang pertemuan APEC di Singapore sebagai momentum untuk merebut kembali pengaruh Amerika di kawasan Asia Tenggara menyusul semakin kuatnya pengaruh dan kerjasama ASEAN-Cina.

Dengan begitu, kunjungan Obama ke Singapore tiada lain untuk merangkul ASEAN sebagai mitra strategis melalui momentum dukungan Washington terhadap segera diluncurkannya Skema Free Trade Agreement pada 2015. Hanya saja, niat Obama tersebut tidak murni untuk membangun kerjasama strategis dengan negara-negara ASEAN, melainkan hanya menjadikan ASEAN sebagai alat tawar-menawar politik terhadap Cina.

Belum lama ini, terbentuk sebuah badan riset ASEAN dan Asia Timur yang bernama ERIA, dan berkantor di sekretariat ASEAN jalan Sisingamangaraja. Negara pemrakarsa ERIA yang tujuan strategisnya adalah segera terbentuknya Blok Asia Timur (East Asia Bloc), adalah Jepang. Dan dalam prosesnya, terkesan Jepang bermaksud merangkul Cina ke dalam blok Asia Timur ini. Tentu saja pada saat yang sama merangkul ASEAN sebagai representasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Selain itu, Australia, juga ikut serta secara aktif dalam pengembangan ERIA sebagai think-thank yang melalui kapasitasnya sebagai badan riset dan penelitian, menerbitkan berbagai produk penelitian berupa kertas kerja (Discussion Paper) maupun buku yang mempromosikan betapa pentingnya segera membentuk Blok Ekonomi Asia Timur.

Apakah Jepang melalui ERIA memprakarsai terbentuknya Blok Ekonomi Asia Timur semata-mata karena ambisi dan keinginan negara matahari terbit tersebut? Tentu saja sangat tidak masuk akal mengingat sampai hari ini Jepang tetap terikat dalam perjanjian keamanan (Security Arrangement) dengan Amerika Serikat. Sehingga, peran aktif Jepang dalam mensponsori ERIA dan Blok Asia Ekonomi Asia Timur, bisa dibaca sebagai bagian dari skema strategis Amerika untuk menguasai kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik pada umumnya.

Dan untuk mewujudkan rencana strategis Amerika tersebut, maka Jepang dijadikan sebagai instrumen strategis Amerika dalam merangkul elemen-elemen strategis di Asia Timur dan Tenggara yang selama ini terikat dalam jalinan kerjasama strategis dengan  Jepang.

Australia, meski berada di kawasan Asia Pasifik, praktis merupakan mata-rantai dari kepentingan strategis Uni Eropa, khususnya Inggris. Karena itu, dukungan aktif Australia dalam pengembangan badan riset Asia Timur dan ASEAN (ERIA) dengan agenda terbentuknya Blok Ekonomi Asia Timur, maka harus dibaca sebagai upaya Australia menyinergikan kepentingan Inggris dan Uni Eropa melalui skema Komunitas Ekonomi Asia Timur ini

Dalam konteks memahami agenda seperti ini, Indonesia sudah seharusnya menaruh kewaspadaan dan kehati-hatian yang tinggi dalam mengantisipasi permainan tingkat tinggi yang dilancarkan segitiga Amerika, Jepang dan Australia. Karena pada perkembangannya, pertemuan kerjasama ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Honolulu tersebut, bisa jadi akan merupakan menjadi strategi kelanjutan dari upaya melemahnya posisi tawar ASEAN sebagai kekuatan dan entitas politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan.

Karena bukan tidak mungkin, dalam KTT ASEAN 17-19 November mendatang, gagasan East Asia Bloc atau Asia Pacific Union (APU) akan dihidupkan kembali oleh Amerika Serikat, Jepang dan Australia. Sampai detik ini, gagasan ini masih sulit diwujudkan Amerika dan Jepang karena Indonesia belum mengambil sikap tegas mendukung skema neo-liberal Amerika tersebut.

Indonesia Harus Berperan Sebagai Negara Berpengaruh di ASEAN

Sejatinya, dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan KTT ASEAN Indonesia harus bisa memanfaatkan dalam menciptakan kemandirian di bidang ekonomi dan politik sehingga tidak lagi berharap kepada kekuatan ekonomi Amerika Serikat (AS), China atau India. Indonesia juga harus bisa mendorong ASEAN sebagai kekuatan ekonomi baru.

Seiring dengan kesepakatan Forum APEC yang ingin mendorong pelaksanaan perdagangan bebas di kawasan Asia, termasuk ASEAN maka perdagangan bebas dan kebebasan modal bergerak makin menguat. Agenda perdagangan dan investasi akan memperkuat penyatuan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik. Kondisi ini oleh AS akan dijadikan cara mempertahankan dominasi di kawasan Asia khususnya Indonesia.

Sangatlah jelas, bahwa AS berkeinginan untuk menjadikan negara-negara di ASEAN menjadi perpanjangan tangannya dalam forum APEC ini, AS mempunyai kepentingan agar mereka lebih berpihak kepadanya dan sekutunya dibandingkan dengan China dan negara-negara bagian ketiga.

Dalam menyikapi kondisi ini, Indonesia seharusnya dapat membawa ASEAN menjadi satu komunitas yang membawa pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan rakyatnya. Dalam hal ini, Indonesia dan negara-negara di ASEAN juga harus saling berkontribusi dalam menciptakan kerja sama bidang perdagangan. Tentunya yang saling menguntungkan dan bukannya saling menjatuhkan. Seharusnya ASEAN tidak lagi didominasi oleh kekuatan ekonomi adidaya, seperti Amerika Serikat maupun kekuatan ekonomi yang sedang bangkit seperti China dan India. Dalam hal ini, Indonesia dapat mengembalikan perannya sebagai salah satu negara yang melindungi dan berpengaruh dalam menggalang negara-negara melawan hegemoni global.

Sumber :
1. Hendrajit, The Global Review, 8 November 2009, Waspadai Permainan Tingkat Tinggi Amerika-Jepang-Australia Lemahkan ASEAN Pada Pertemuan APEC di Singapore,   http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=892&type=4

2. Deasy Silvya Sari , The Global Review, 5 Agustus 2011, Dollar Diplomacy Amerika Serikat Dalam Politik Keamanan Asia Pasifik, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=5571&type=4

3. SINDO.COM, 15 November 2011, APEC Soroti Krisis Eropa,  http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/443867/

4.Suara Karya, 15 November, Indonesia Harus Tunjukkan Kemandirian, http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Ekonomi.


Isu Hangat 
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=7645&type=99#.UNr4c1JXlkg
14-03-2012
Menaksir Cina: Bertarung di Perang Dunia III
Penulis : M Arief Pranoto dan Hendrajit, Peneliti Senior Global Future Institute
















Latar belakang tulisan ini ialah pro-kontra prakiraan Perang Dunia (PD) III yang semakin mengental auranya, entah di Jalur Sutra (Selat Hormuz) atau bergeser di Laut Cina Selatan dan lainnya. Entahlah. Telah banyak telaah tentang trendmapping dan negara mana kelak terlibat di dalamya. Global Future Institute (GFI), Jakarta perlu menurunkan artikel tentang kekuatan para adidaya atau negara yang akan terlibat, baik sisi peluang, ancaman, kekuatan maupun kelemahanya. Cina sebagai adidaya baru dipastikan ---baik langsung maupun tak langsung--- bakal terlibat secara masif dalam PD nanti. Dengan merujuk berbagai sumber pustaka baik buku, diskusi-diskusi di internal GFI maupun data yang berserak di dunia maya, maka inilah ulasan kami sesuai judul di atas


Mengurai Cina memang panjang, namun catatan ini dimulai sejak awal abad ke-20, ketika ia mencoba melibatkan diri dalam kancah perdagangan global, maka wilayah pesisir menjadi makmur sedangkan daerah pedalaman ---sekitar 160 km dari pantai dan 1.600 km arah barat--- masih melarat. Inilah persoalan mapping kependudukan yang mendasar. Keberadaan kaum miskin sebagian besar di sebelah barat wilayah pesisir yang memang lebih kaya. Perbedaan kekayaan ini berdampak pada “ketegangan sosial” antara kaum pesisir dengan orang-orang dari pedalaman. 
Sukses Cina kini tak lepas dari kiprah Mao Zedong dekade 1927-an. Ia melakukan long march ke pedalaman-pedalaman guna mencairkan “ketegangan” kedua golongan tersebut. Mao meningkatkan jiwa juang kaum pedalaman untuk mampu bersaing dan “menaklukkan” wilayah pesisir. Pada akhirnya ia pun mengambil keputusan menutup Cina dari dunia luar (perdagangan internasional) agar lebih bersatu dan setara. Mungkin inilah titik awal kenapa ia dijuluki sebagai Tirai Bambu, negeri yang tertutup bagi dunia luar!
Agaknya untuk saat ini, pemerintah telah mempunyai format cocok tentang kekayaan dalam mencapai stabilitas. Menurut George Friedman, ada tiga kepentingan inti yang dianggap strategis oleh Cina karena bermuara kepada perwujudan kesejahteraan (kepentingan nasional) di dalam negeri. 
Stategi pertama ialah membangkitkan dan “membeli” loyalitas warganya melalui kerja massal; rencana ekspansi industri dengan cara memaksimalkan kerja sebagai tujuan namun sedikit pemikiran soal pasar, karena pemasaran menjadi domain atau urusan negara; tabungan swasta dimanfaatkan untuk membiayai industri, meninggalkan sedikit modal dalam negeri untuk membeli output; dan terutama ekspor harus sesuai permintaan pasar dunia.
Strategi kedua bahwa desain industri Cina berbasis produksi yang lebih daripada kebutuhan (konsumsi) nasional. Artinya kegiatan ekspor dilakukan setelah tercukupi dahulu konsumsi internal. Kemudian impor bahan baku dilakukan manakala ia mengekspor barang-barang ke seluruh dunia. Dengan demikian, Cina memastikan dahulu permintaan internasional atas ekspornya, termasuk berbagai kegiatan investasi uang di negara-negara konsumen guna membangun akses hingga ke jalur global.
Strategi ketiga ialah kontrol stabilitas atas empat “wilayah penyangga” yang meliputi Mongolia Dalam, Manchuria, Xinjiang dan Tibet. Mengamankan daerah penyangga identik dengan melindungi Cina dari serangan Rusia, India atau negara lain di Asia Tenggara, kendati rata-rata daerah penyangga telah memiliki “hambatan” baik hutan, gunung, padang rumput maupun gurun Siberia ---- dimana tercipta pertahanan secara alami yang membuat setiap upaya penyerangan dari luar selalu dalam posisi lemah. 
Adapun urgensi wilayah penyangga berdasar mapping kependudukan, selain suku Han yang mendominir Cina, ada empat suku lain non-Han yang tersebar serta merupakan kelompok mayoritas di daerah penyangga.  
Antara Krisis, Masalah Pedalaman dan Wilayah Peyangga
Tampaknya krisis ekonomi global yang menimpa Uni Eropa (EU) dan Amerika Serikat (AS) selaku pelanggan utamanya, berimbas sangat negatif terhadap ekspor barang di kedua kawasan tadi. Di satu sisi, ia belum mampu secara maksimal meningkatkan permintaan domestik dan jaminan akses global terutama melalui perairan, sedang di sisi lain intensitas kepentingan AS terlihat mulai hilir-mudik dan “mancing-mancing” di Laut Cina dan sekitarnya. 
Tekanan ekonomi menjadi tantangan tersendiri bagi Cina. Misalnya kekayaan laut yang melimpah pun ternyata tergantung dari perdagangan yang kini mulai goyah. Maraknya kemiskinan di daerah pedalaman membutuhkan banyak subsidi, tetapi karena pertumbuhan ekonomi melambat secara substansial akibat krisis, maka bantuan pun sulit direalisasi. 
Ada dua wilayah penyangga Cina yang hingga sekarang masih dikategorikan “rawan”. Terdapat unsur-unsur perlawanan, di Tibet dan Xinjiang gigih menentang “pendudukan” suku Han yang sengaja di-drop oleh pusat. Dalam perspektif stabilitas, lepasnya kedua daerah ini dapat menimbulkan gangguan bagi kedaulatan Cina. Misalnya, ancaman India melalui utara Himalaya bisa menciptakan radikalisme Islam di Xinjiang; Tibet pun berpotensi membuat “kegaduhan” internal dan lainnya. 
Memang perang terbuka antara Cina dan India akan sulit terjadi karena hambatan Himalaya. Dalam logika militer modern, droppinglogistik dalam skala besar dalam peperangan relatif lama akan mengalami hambatan dengan kondisi medan seperti itu. Bila kelak terjadi clash, maka pertempuran-pertempuran kecil mungkin lebih efektif. Kedua negara telah “saling mengancam”, apalagi coba-coba hendak membangun kekuatan militer di sekitar gunung dan menyeberangi Himalaya.
Bagi India, gangguan akan muncul jika pasukan Cina memasuki Pakistan dalam jumlah besar, sebaliknya bagi Cina gangguan timbul bila pasukan India masuk melalui Tibet. Yang berlangsung sekarang ialah saling intip dan waspada. Cina menciptakan “skenario” seolah-olah mengirim pasukan via Pakistan, meskipun Pakistan sendiri sesungguhnya tidak memiliki kepentingan dengan pendudukan Cina bila kelak ia mampu menduduki India. Cina pun demikian, tidak ada minat untuk melakukan operasi keamanan di Pakistan
Berbeda dengan Cina, justru India memiliki minat mengirimkan pasukan ke Tibet bila terjadi revolusi nanti. Karena bagi India, kemerdekaan Tibet tanpa kehadiran tentara Beijing akan menarik perhatian dunia. Dalam perspektif hegemoni India, persoalan Tibet sebenarnya hanya masalah pengelolaan saja. Dan disinyalir pemberontak-pemberontakan Tibet mendapat dukungan dari India meski dalam skala minimal sehingga tidak akan mengancam kendali Cina. 
Persoalan dominasi suku Han di wilayah-wilayah penyangga sebenarnya bisa direduksi dengan pengelolaaan yang baik melalui beberapa upaya sehingga bisa memperbaiki reputasi Cina di forum internasional. Kuncinya adalah stabilitas wilayah pedalaman. Tetapi bila porsi ini diserahkan sepenuhnya kepada suku Han maka kontrol terhadap daerah penyangga justru melonggar. Itulah dilematisnya. 
Memelihara wilayah pedalaman memerlukan transfer berbagai sumberdaya. Hal ini bermakna harus menumbuhkan ekonomi pesisir guna menghasilkan modal untuk transfer (subsidi) daerah pedalaman. Cina memang jauh dari revolusi namun dekade ini ketegangan sosial terus meningkat. 
Mempertahankan kestabilan pedalaman merupakan tantangan besar. Ritme antara model kerja, pasar profibialitas, sumberdaya dan jaringan antara supply and demand mutlak harus dikendalikan. Faktor yang akan mengganggu ialah inflasi karena meningkatnya subsidi bagi kaum pedalaman, otomatis mengurangi daya saingnya terhadap eksportir lain di tingkat global.
Inilah tantangan strategis Cina. Tantangan yang hanya dapat diatasi dengan meningkatkan profibilitas pada aktivitas ekonomi, sehingga mustahil dihadapi dengan produk yang bernilai rendah. Solusinya barangkali ialah memulai dengan manufaktur dan produk yang memiliki nilai tambah (sepatu, motor, mobil dll). Tetapi konsekuensi yang muncul perlu tenaga kerja terdidik dan terlatih. Selain butuh waktu yang relatif lama juga akan bersaing secara langsung melawan negara-negara industri mapan seperti Jepang, Jerman, AS dan lainnya. Inilah medan tempur strategis bagi Cina yang mutlak harus direbutnya bila ingin mempertahankan stabilitas.
Kelemahan dan Kekuatan Militer 
Selain terdapat masalah ekonomi, persoalan militer pun tak kalah pelik. Misalnya dari aspek geostrategi, sistem pertahanannya sangat tergantung pada laut lepas, sedang konfigurasi Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur sangat mudah diblokade dari luar. Laut Timur terbentang di antara pulau-pulau Korea, Jepang dan Taiwan, kemudian Laut Cina Selatan lebih tertutup lagi yakni pada bentangan antara Taiwan, Filipina, Indonesia dan Singapura. Keprihatinan besar Beijing saat ini adalah rencana blokade oleh AS yang akan berdampak signifikan terhadap perekonomian Cina secara menyeluruh. Barangkali inilah shock and awe yang tengah dijalankan oleh AS dalam rangka “melemahkan” Cina, belum lagi bakal muncul ancaman dari Taiwan, Korea Selatan, Philipina dan lainnya. 
Dekade 2008-an kekuatan militernya memang terbesar kedua setelah AS, namun pada tahun 2011-an Rusia mampu menyalip sehingga kini menempati urutan ketiga. Menurut Dewi Fortuna Anwar dalam diskusi ASEAN-US Relations: What Are the Talking Points? yang digelar di @america Mall Pacific Place Jakarta, Senin (5/3/2012). “Hingga saat ini anggaran militer AS jauh lebih besar dari jumlah anggaran sebagian negara-negara besar," katanya, sekalipun anggaran belanja militer sebagian negara-negara besar seperti Jepang, Inggris, Rusia ditambah dengan anggaran militer ke sepuluh negara ASEAN bahkan anggaran militer AS masih tetap yang tertinggi. 
Data 2011 anggaran militer AS berjumlah 692 milyar USD, bandingkan dengan Cina sekitar 100 milyar USD, Rusia 56 milyar USD, India 36,030 milyar USD, atau Iran 9,174 milyar USD dan sebagainya (www.globalfirepower.com). 
Rincian selanjutnya adalah sebagai berikut. Saat ini, The People’s Liberation Army (PLAN) memiliki 250.000 tentara yang didalamnya termasuk 35.000 tentara Coastal Defense Force (Pasukan Pertahanan Lepas Pantai). Sedangkan infantri marinir lautnya berjumlah 56.000 tentara. Belum lagi termasuk 56.000 Aviation Naval Air (Pasukan Unit Udara Angkatan Laut).
Bukan itu saja. Jumlah kapal selam milik PLAN pun boleh dibilang cukup fantastis. Saat ini Cina memiliki 972  unit kapal selam. Kemajuan yang sangat pesat mengingat sebelummnya PLAN hanya memiliki 35 unit kapal selam. Sedangkan kapal pembawa rudal juga meningkat dari 20 menjadi 100 buah. 
Dengan demikian, postur angkatan bersenjata Cina diprediksi akan semakin meningkat, sehingga pada 2015 mendatang, Cina diyakini akan memiliki anggaran militer dua kali lipat dari  yang saat ini sebesar 100 miliar dolar AS. Suatu fakta yang tentunya mencemaskan bagi Amerika dan Uni Eropa, apalagi bagi berbagai elemen yang meyakini prediksi Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization. Dalam bukunya tersebut, pakar politik Amerika dari Universitas Harvard tersebut memprediksi akan meletus perang terbuka AS-Cina, dan melibatkan polarisasi baru antara AS-Uni Eropa versus Cina-Negara-negara Islam.
Begitupun,dengan data yang tersaji tersebut di atas, tetap saja Cina belum bisa dikatakan telah memiliki angkatan laut handal. Hingga saat ini Cina masih dalam proses penyelesaian kapal induk pertama. Angkatan lautnya tidak cukup kualitas, kuantitas dan pengalaman untuk bertempur melawan militer AS dan sekutu. Sejak usai Perang Dunia II, geliat militer Cina belum memiliki kelompok tempur kapal perang yang teruji dan tidak pernah lagi memiliki laksamana tangguh seperti kisah Cheng Ho dulu. 
Strategi Kontra
Tampaknya Cina memahami masalah ini. Dalam rangka mencegah blokade laut oleh AS, selain tahun ini (2012) menaikkan budget militernya hingga 11% lebih, ia juga membangun kapal selam besar sebagai strategi kontra. Kemudian mengembangkan rudal anti kapal yang mampu menembus kapal perang bahkan kapal induk sekalipun. 
Pada satu sisi, Cina juga memiliki sistem rudal darat yang mampu menangkis serangan rudal jelajah, kemudian kini mempunyai pesawat terbang siluman, pesawat tanpa awak saat ini masih dalam pengembangan, namun di sisi lain strategi rudal akan bekerja dengan baik bila memiliki kemampuan intai efektif. Artinya rudal tidak dapat menghancurkan kapal jika tidak tahu posisinya, lalu ia pun membangun teknologi smart satelit sebagai supporting system dalam perang rudal kelak.
Selain itu kemampuan Cina dalam pertempuran jangka lama masih belum teruji. Kendati kekalahannya sewaktu ia menyerang Vietnam tahun 1979-an tidak boleh dijadikan patokan, karena kemampuan militernya telah melesat jauh daripada sebelumnya, kini terbesar ketiga setelah AS dan Rusia.
Strategi kontra lain ialah berusaha mendapat akses pelabuhan di beberapa negara di kawasan Lautan Hindia dengan membangun pelabuhan di Myanmar, Pakistan, Kolombo dan Sri Lanka, termasuk membangun rel serta sistem transportasi jalan sebagai infrastruktur menuju pelabuhan-pelabuhan tersebut. Tetapi yang urgen ialah memelihara hubungan politik dengan negara yang diakses terutama beberapa negara yang memiliki kadar ketidakstabilan tinggi seperti di Myanmar, Pakistan dan lainnya. 
Inilah salah satu kepentingan stategis lagi fundamental bagi China. Ia pun tidak boleh berasumsi bahwa dengan membangun sebuah pelabuhan akan memberikan akses tak terbatas di negara tersebut, sebab jalan dan jalur rel mudah disabotase gerilyawan suatu negara, atau mudah dihancurkan melalui serangan udara. Dengan demikian, Beijing harus mampu mengendalikan situasi politik di negara tuan rumah dalam waktu lama. Dan jaminan atas kendali pada negara lain mutlak harus memiliki kekuatan besar untuk memaksa akses ke pelabuhan dan sistem transportasi. 
Semenjak Komunis mengambil alih kekuasaan, Cina jarang bahkan hampir tidak pernah melakukan operasi militer secara ofensif. Hanya sekali-sekali saja. Suksesnya invasi ke Tibet bukan jaminan kehebatan militernya, karena daya tempur unsur-usur perlawanan memang tidak maksimal. Demikian pula intervensi ke Korea mengalami kerugian karena biaya relatif besar namun menemui jalan buntu. Hal ini membuat ia harus berhati-hati di masa depan. Yang memalukan ketika ia menyerang Vietnam tetapi menderita kekalahan (1979). Dengan demikian, setidaknya “bangunan militer”-nya kini telah mengadopsi beberapa pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu. 
Semenjak dekade 1980-an, Cina telah menyerahkan tanggung jawab internalnya kepada polisi, pasukan perbatasan dan pasukan keamanan internal lainnya yang telah diperluas serta terlatih dalam rangka menangani ketidakstabilan sosial. Pengalaman atas konflik internal di masa lalu telah meletakkan pula The Peoples’s Liberation Army (PLA) atau Tentara Pembebasan Rakyat sebagai organ yang ditunjuk dalam rangka mengendalikan konfigurasi sosial di dalam negeri hingga level terburuk. PLA adalah secondery force selain militer, ia dipersiapkan dalam rangka menghadapi tantangan pendudukan dari Myanmar, atau Pakistan misalnya, intinya adalah mengendalikan situasi internal bukan untuk proyeksi keluar.
Secara fisik ia mampu mengendalikan di dalam tetapi kontrol terhadap negara-negara tetangganya sangat terbatas. Salah satu kelemahanya ialah ketidakmampuan dalam penyediaan logistik perang jarak jauh dengan waktu lama disebabkan faktor alam, infrastruktur transportasi, serta dikelilingi oleh negara-negara yang secara politis berseberangan. Solusi sederhana bagi Cina, terutama untuk kontrol eksternal ialah membuka jalur-jalur laut dan metode gerilya bersenjatakan rudal, ranjau dan kalal selam. Ini yang seharusnya dibangunnya.
Strategi Politik 
Melihat fakta di atas, tampaknya Cina menghadapi masalah strategi yang cukup signifikan. Sepertinya ia belum mampu jika melawan AS dan sekutu di perairan. Kontra strategi yang diterapkan pun belum sepenuhnya efektif mengingat biaya besar dan kondisi akses politik yang tidak pasti di negara-negara di sekitar Lautan Hindia. Apa boleh buat. Tuntutan menciptakan kekuatan guna mampu menjamin akses politik diluar, justru bertentangan dengan persyaratan keamanan dalam negerinya sendiri. Ya. Kekuatan dominan angkatan laut dunia saat ini adalah Paman Sam beserta koalisi dengan puluhan kapal induk diiringi kapal freegat serta ratusan kapal selam siap tempur, belum lagi pangkalan militer yang tersebar di berbagai belahan dunia. 
Upaya menetralisir kelemahan strateginya, Cina mencoba melibatkan sebagai bagian yang urgen bagi AS itu sendiri. Misalnya surat utang sebesar 1,107 triliun USD per September 2011 milik AS (CNBC, 2/2/2012) yang dipegang oleh Cina memang bisa menjadi kartu truf dalam satu sisi, kendati belum menjamin sepenuhnya terutama sisi politik global. 
Pengalaman Libya merupakan contoh riil. Kepercayaan diri Gaddafi yang berbasis keyakinan bahwa ia tidak akan diserang oleh AS dan NATO karena disamping tengah menjalin konsesi minyak beberapa perusahaan minyak milik Barat, juga Barat memiliki utang sekitar 600 milyar USD kepada Libya. Dari aspek politik ternyata bertolak belakang. Resolusi PBB nomor 1973 tentang No Fly Zone merupakan jawaban fatal atas “kesalahan keyakinan”-nya Gaddafi kepada Barat. Seri baru perang kolonial yakni utang dibayar bom dan perampokan internasional berkedok pembekuan aset-aset di luar negeri pun diterapkan oleh AS dan sekutu terhadap Libya (baca: Perampok Internasional dan Utang Dibayar Bom, di www.theglobal-review.com). Libya kini porak-poranda. 
Persepsi kebangkitan Cina memang tak bisa dipungkiri siapapun, namun mengingat masih besarnya tantangan internal sementara postur militernya tengah berformat mencari bentuk ideal merujuk geostrategi dan geopolitik, maka dibutuhkan kajian secara mendalam oleh think-tank Beijing jika memutuskan hendak melawan AS dan sekutu di wilayah perairan.
Rekomendasi
“Setiap sistem dominasi tergantung kekuatan militer, tetapi selalu membutuhkan pembenaran ideologis” (Jean Bricmont). 
Menaksir kemampuan Cina dari teori ini, tampaknya kedua elemen sebagai syarat pokok yakni power militer dan senjata ideologis belum dimilikinya. Jujur saja, Cina tidak punya citra ideologis guna  “menerobos” lorong-lorong politis negara lain dan juga belum memiliki power militer dalam rangka akses politis di luar kendati kekuatan militernya ketiga terbesar di dunia. Berbeda dengan AS yang mampu menebar ideologis melalui paket demokrasi, HAM dan lingkungan (DHL) serta para personel dan pangkalan militer, capacity building bahkan doktrin militernya bertebaran di banyak negara. 
Pendekatan asimetris (non militer) Cina dianggap luar biasa, bahkan ditakuti oleh jajaran negara Barat di Afrika, Asia, Timor Leste dan lainnya. Hal ini menjadikan Cina lebih populer daripada kelompok negara Barat yang sering usil dengan urusan internal negeri lain. Namun langkah asimetris bukanlah jaminan, selain tidak memiliki efek signifikan bila terjadi perang terbuka nanti, niscaya akan mengendala ketika merambah suatu negara yang secara ekonomi telah mapan serta sudah mampu mengelola “jati diri”-nya secara berkelanjutan seperti Brazil, Venezuela, Bolivia, Iran dan lainnya.
Namun demikian ada beberapa hal yang kiranya perlu mendapat perhatian kita secara seksama terkait postur kekuatan angkatan bersenjata Cina yang cenderung kian meningkat dari waktu ke waktu.  Berdasarkan data kekuatan militer Cina yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute(GFI), kekuatan angkatan bersenjata Cina bagaimanapun juga tetap tidak boleh diremehkan, bahkan oleh Amerika Serikat sekalipun.
Tentara Aktif berjumlah 2.255.000 (dua juta duaratus limapuluh lima ribu) orang. Tentara cadangan, 800.000(delapan ratus ribu) orang. Paramiliter aktif 3.969.000(tiga juta sembilanratus enampuluh sembilan ribu) orang. 
Angkatan Darat, Cina memiliki senjata berbasis darat sejumlah 31.300, tank sejumlah 8200, kendaraan pengangkut pasukan sebesar 5000, meriam sejumlah 14.000, senjata pendorong 1.700, sistem peluncur roket 2.400, mortir sejumlah 16.000, senjata kendali anti tank 6500, dan senjata anti-pesawat 7.700. 
Di matra laut, Cina pun cukup berjaya. Kapal perang, berjumlah 760 unit, kapal pengangkut 1822 unit, pelabuhan utama 8, pengangkut pesawat 1 unit, kapal penghancur 21 unit, kapal selam 68 unit, fregat 42, kapal patroli pantai 368 unit 6, kapal penyapu ranjau sekitar 39 unit, dan kapal amphibi sekitar 121 unit. 
Angkatan Udara, Cina punya jumlah pesawat 1900 unit. Cukup menakjubkan. Helikopter 491 unit, lapangan udara 67 unit.
Mengakhiri catatan ini, rekomendasi yang diberikan ialah agar pancingan AS dan kelompok negara proxy-nya sekutu terhadap Cina supaya masuk ke lingkaran tema PD III di Laut Cina Selatan sebaiknya dihindari sementara ---diulur-ulur waktu--- sambil ia terus membangun kontra strategi dan meningkatkan kemampuan “gerilya”-nya guna menaklukkan negara di sekelilingnya. Akan tetapi rekomendasi ini boleh saja diabaikan apabila telah ada komitmen jelas, bahwa Rusia pun terlibat langsung bersama-sama Cina melawan AS dan sekutu. Itu baru imbang!
(Analisa ini disarikan dari berbagai sumber)
DATA TAMBAHAH TERKAIT KEKUATAN ANGKATAN BERSENJATA CINA TERKINI:
Total Navy Ships: 972
Merchant Marine Strength: 2,012 [2012]
Major Ports & Terminals: 8
Aircraft Carriers: 1 [2012]
Destroyers: 25 [2012]
Submarines: 63 [2012]
Frigates: 47 [2012]
Patrol Craft: 332 [2012]
Mine Warfare Craft: 52 [2012]
Amphibious Assault Craft: 233 [2012]NI;
SUMBER: www.globalfirepower.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar