Bagaimana Kaum Yahudi Mendirikan Negara Israel?
TANGERANG (voa-islam.com) -http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/12/10/22281/bagaimana-kaum-yahudi-mendirikan-negara-israel/
Banyak diantara kaum Muslimin yang tidak mengetahui, tentang kisah di
balik bangsa Yahudi yang memimpikan berdirinya sebuah negara, walaupun
negara itu sudah dihuni oleh bangsa Palestina selama berabad-abad.
Hal itu
diungkapkan ustadz Fuad Al Hazimi saat menyampaikan kuliah shubuh dengan
tema, “Dari Negara Tanpa Bangsa Menjadi Bangsa Tanpa Negara; Sejarah
Panjang Penjajahan Yahudi Atas Palestina.”
Lebih
lanjut, mantan Imam Masjid Al Hijrah Sydney NSW Australia itu
menjelaskan bahwa Yahudi telah lama memimpikan sebuah negara Israel
Raya.
“Negara tanpa bangsa itulah Israel yang memimpikan Israel Raya. Ibaratnya, ada seseorang yang mengaku bahwa mbahnya
pernah mimpi bahwa kamu (cucuku) berhak atas tanah yang ditinggali oleh
orang lain itu. Lalu tiba-tiba dia katakan pada orang yang punya tanah
itu, wahai orang yang tinggal di sini dulu mbah saya pernah berwasiat bahwa tanah ini punya saya, padahal orang yang memiliki tanah itu sudah tinggal berabad-abad.
Sementara,
bangsa tanpa negara itu adalah Palestina. Penduduknya kocar-kacir
kemana-mana sehingga sampai hari ini ada saja yang masih tidak mengakui
negara Palestina,” jelasnya di hadapan jamaah masjid jami’ Al-Ukhuwah,
Palem Semi, Tangerang, Ahad (9/12/2012).
Ironisnya,
menurut ustadz Fuad Al Hazimi ternyata negara tanpa bangsa itu (Israel)
justru berawal dari keyakinan Yahudi akan janji dalam kitabnya.
Sedangkan bangsa tanpa negara saat ini (Palestina) justru karena tidak
berdirinya kaum muslimin dengan kitab sucinya.
“Orang
kafir meyakini kitab sucinya, orang muslim malah tidak percaya dengan
janji-janji Allah dan peringatan dari Allah tentang situasi dan kondisi
tersebut,” ungkapnya.
Ustadz Fuad pun menyitir sebuah ayat dalam Bible tentang janji terhadap orang-orang Yahudi yang kelak menjadi sebuah bangsa.
Thus
saith the LORD, which giveth the sun for a light by day, and the
ordinances of the moon and of the stars for a light by night, which
divideth the sea when the waves thereof roar; The LORD of hosts is his
name: If those ordinances depart from before me, saith the LORD, then
the seed of Israel also shall cease from being a nation before me for
ever.
Beginilah
firman TUHAN, yang memberi matahari untuk menerangi siang, yang
menetapkan bulan dan bintang-bintang untuk menerangi malam, yang
mengharu biru laut, sehingga gelombang-gelombangnya ribut, -- TUHAN
semesta alam nama-Nya: Sesungguhnya, seperti ketetapan-ketetapan ini
tidak akan beralih dari hadapan-Ku, demikianlah firman TUHAN,
demikianlah keturunan Israel juga tidak akan berhenti menjadi bangsa di
hadapan-Ku untuk sepanjang waktu.” (Yeremia 31: 35-36).
Berdasarkan
ayat Bible tersebut, akhirnya orang-orang Yahudi atas izin PBB
mendirikan sebuah negara agama satu-satunya di dunia yaitu Israel.
Sementara kaum muslimin yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara
justru dilarang.
“Inilah
ayat yang mereka yakini untuk mendirikan sebuah bangsa negara agama
Yahudi. Maka satu-satunya agama yang diizinkan oleh PBB dan
antek-anteknya untuk menjadi bangsa, negara, sekaligus agama adalah
Yahudi. Sementara umat Islam tidak boleh, Islam hanya boleh mengatur
urusan pribadi sedangkan negara adalah urusan lain,” tuturnya.
Selanjutnya,
Theodore Herzl seorang tokoh Yahudi kelahiran Budapest menggagas
berdirinya Negara Yahudi. Tujuannya untuk membuat negara bagi orang
Yahudi di Palestina, didukung oleh uang hasil sumbangan dari seluruh
orang Yahudi di dunia. Herzl ini juga dikenal pendiri Zionisme.
...Akan aku dirikan sebuah negara Yahudi. Jika aku mengatakan itu hari ini, mungkin seluruh dunia akan menertawakanku. Atau bisa jadi 5 dalam tahun. Namun yang pasti adalah dalam 50 tahun setiap orang akan menyaksikannya
Dalam
slide yang dipaparkan ustadz Fuad Al Hazimi mengungkapkan bahwa tahun
1897 Theodore Herzl menggelar kongres Zionis sedunia di Basel Swiss.
Peserta Kongres I Zionis mengeluarkan resolusi, yang isinya:
Bahwa umat
Yahudi tidaklah sekedar umat beragama, namun adalah bangsa dengan tekad
bulat untuk hidup secara berbangsa dan bernegara. Dalam resolusi itu,
kaum zionis menuntut tanah air bagi umat Yahudi – walaupun secara
rahasia – pada “tanah yang bersejarah bagi mereka” atau “Tanah Yang
Dijanjikan Allah” yaitu Palestina.
Sebelumnya Inggris hampir menjanjikan
“tanah protektorat Uganda atau di Amerika Latin” ! Di kongres itu,
Herzl menyebut, Zionisme adalah jawaban bagi “diskriminasi dan
penindasan” atas umat Yahudi yang telah berlangsung ratusan tahun.
Pergerakan ini mengenang kembali
bahwa nasib umat Yahudi hanya bisa diselesaikan di tangan umat Yahudi
sendiri. Di depan kongres, Herzl berkata, “…Akan aku dirikan sebuah
negara Yahudi. Jika aku mengatakan itu hari ini, mungkin seluruh dunia
akan menertawakanku. Atau bisa jadi 5 dalam tahun. Namun yang pasti
adalah dalam 50 tahun setiap orang akan menyaksikannya” (Negara Israel
didirikan Mei 1948, 50 tahun 3 bulan, setelah catatan Herzl tersebut).
[Ahmed Widad]
Kefrustasian Amerika Menghadapi Ketangguhan Assad
http://forum.republika.co.id/showthread.php?34845-Kefrustasian-Amerika-Menghadapi-Ketangguhan-Assad
Inggris Lengkapi Pemberontak Bersenjata Dengan Handset Satelit
Telepon satelit baru, yang dioperasikan oleh Departemen Pertahanan Inggris, dirancang untuk lingkungan berbatu dan tahan banting, debu dan tahan air.
Sumber Whitehall mengungkapkan bahwa Kementerian Luar Negeri Inggris juga melatih pemimpin pemberontak bersenjata di Suriah memberikan mereka keterampilan manipulatif dan psikologis untuk meyakinkan kepada orang-orang Suriah dan khalayak internasional.
Menurut para ahli, kehadiran pejabat Departemen Luar Negeri Inggris dengan menyediakan pelatihan dan peralatan untuk teroris mengungkapkan bahwa pasukan khusus Inggris hadir misi yang sedang beroperasi di Suriah.
Hal ini datang seperti dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada Jumat 20 Juli, The Mail mengaku bahwa mantan pasukan Khusus Inggris (SAS) melatih pemimpin kelompok teroris bersenjata di Suriah.
Dan melaporkan bahwa negara tetangga Yordania sedang digunakan sebagai base untuk Inggris, SAS dan Layanan Perahu Khusus (SBS) kekuatan khusus untuk menggelincirkan Suriah.
Menteri Luar Negeri Inggris William Hague telah berjanji untuk meningkatkan dukungan Inggris bagi gerilyawan di dalam wilayah Suriah dan mengatakan Inggris harus bertindak di luar Dewan Keamanan PBB.(IslamTimes/TGM)
http://www.islamtimes.org/vdca6mn6o49nay1.h8k4.html
Blackwater Dirikan Kamp Militer untuk Teroris di Turki
http://forum.republika.co.id/showthread.php?34845-Kefrustasian-Amerika-Menghadapi-Ketangguhan-Assad
Islam Times- Sebuah laporan yang diterbitkan oleh surat kabar Idinik Turki mengatakan, agen Blackwater telah beroperasi di daerah perbatasan dan saat ini sedang dikerahkan ke Suriah melalui provinsi Turki Hatay.
AS perusahaan keamanan AS Blackwater mendirikan kamp-kamp militer di perbatasan Turki-Suriah untuk melatih kelompok bersenjata melawan pemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Sebuah laporan yang diterbitkan oleh surat kabar Idinik Turki mengatakan, agen Blackwater telah beroperasi di daerah perbatasan dan saat ini sedang dikerahkan ke Suriah melalui provinsi Turki Hatay.
Pasukan keamanan Suriah di barat kota Homs juga mengatakan bahwa badan mata-mata Israel Mossad, CIA, dan Blackwater terlibat dalam kerusuhan di negara itu.
Peran Blackwater dalam kerusuhan Suriah tersebut terkuak setelah penulis Mesir Mohammad Husain Haikal mengatakan bahwa Blackwater memiliki lebih dari 6.000 tentara bayaran yang saat ini beroperasi di Damaskus dalam dan luar negeri.
Haikal dalam artikelnya menjelaskan bahwa kegiatan Blackwater di dalam wilayah Suriah berada disepanjang perbatasan negara itu sebagai upaya membeli waktu untuk Israel dan untuk mengubah konflik Arab-Israel menjadi konflik sektarian antara Syiah dan Sunni.
Ahli Suriah untuk urusan strategis, Salim Harba juga mengatakan senada bahwa basis pemberontakan pusat anti-Damaskus didirikan di Qatar untuk mempertemukan AS, Perancis, Qatar, Saudi, dan agen intelijen Israel serta anggota Blackwater dengan oposisi Suriah.
Persenjataan canggih yang digunakan oleh geng-geng bersenjata di Suriah, kehadiran tentara bayaran asing di antara para pemberontak, dan dokumen bocor menujukkan keterlibatan Blackwater dalam krisis di Suriah dan perusahaan keamanan itu pula sebagai pemicu kekerasan di negara Arab tersebut untuk membantu AS menggulingkan pemerintah Assad.
Dengan menyewa para pembunuh Blackwater tersebut efisien melindungi kepentingan AS dan Tel Aviv di wilayah tersebut tetap terjada dan terpelihara. [Islam Times/on/Press TV]
http://islamtimes.org/vdcc10qsi2bq4i8.5fa2.html
AS dinilai telah frustrasi dengan fakta bahwa Assad tetap berkuasa di Suriah begitu lama, dan kini Washington beralih menggunakan taktik pemerasan dalam rangka menekan melalui resolusi PBB yang memungkinkan penggunaan kekuatan militer asing. Demikian dikatakan seorang aktivis Brian Becker kepada Russia Today (29/7).
Moskow Senin (30/7) menyatakan bahwa Barat berusaha memeras Rusia agar mendukung rencana mereka mengupayakan resolusi anti-Suriah dan mengancam akan mengakhiri misi pengamat PBB jika tidak tercapai kesepahaman.
Direktur koalisi anti-perang ANSWER, Brian Becker, mengatakan bahwa AS hendak mengintimidasi Beijing dan Moskow di arena internasional sehingga dapat menyukseskan tujuan mereka yaitu penggulingan pemerintahan Assad.
Kebijakan luar negeri AS era Clinton-Obama, menggunakan sistem mafia: "Jika Anda tidak sejalan dengan kami, jika Anda tidak melakukan apa yang kami lakukan, kami akan mematahkan kaki Anda, kami akan membuatnya tidak mungkin, kami akan mengancam Anda."
Amerika Serikat berharap dapat memaksa Rusia dan Cina sejalan dengan rencananya yaitu menyulut perang saudara dengan menggunakan semua elemen kekerasan yang tersedia, menyingkirkan semua peluang perdamaian untuk mencapai tujuan utama penggulingan pemerintahan Assad. Bukan karena pemerintah Assad tidak demokratis atau anti-kemanusiaan tapi karena tidak menguntungkan Barat. Dan inilah tujuan sejati AS di Timur Tengah, di Suriah dan di tempat lain.
Perubahan Taktik
Sekarang AS sedang frustasi karena pemerintah Assad mampu bertahan meski menghadapi tekanan hebat dari Barat, Turki, Arab Saudi dan Qatar, yang mempersenjatai kelompok pemberontak. Mereka sangat frustasi karena mereka ingin negara-negara lemah jatuh ketika AS sudah menetapkan "Anda harus jatuh."
Akan tetapi, pemerintah Assad menunjukkan keuletan yang dahsyat dan daya tahan kokoh, karena benar seperti yang dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, mayoritas rakyat Suriah masih mendukung pemerintah.
Pengerahan Kekuatan NATO
Amerika Serikat tidak akan berhenti. Jika gagal di arena diplomatik maka Washington akan mencari cara lain dengan menggunakan kekerasan demi menggulingkan pemerintahan Assad. Menurut Becker, hal ini tidak akan berhenti kecuali salah satu pihak meraih kemenangan secara militer dan Amerika Serikat telah membulatkan tekadnya untuk menggulingkan rezim.
Bagaimana hal itu dapat terealisasi? Becker menegaskan bahwa untuk menjawabnya kita harus merujuk pada sejarah. Apa yang terjadi dalam kasus Yugoslavia. Di sana, ketika Amerika Serikat dan Barat tidak mencapai kesepahaman di atas meja PBB dalam menyelesaikan krisis Yugoslavia, maka mereka menggunakan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Untuk kasus Suriah, Amerika Serikat dapat memanfaatkan NATO. Turki juga merupakan sayap kiri NATO di kawasan. Selain itu, Amerika juga dapat merangkul mitra-mitranya di kawasan yang dalam hal ini adalah Arab Saudi dan negara-negara Teluk Persia.
Becker menyimpulkan bahwa kondisi saat ini sedang mengarah pada intervensi militer jika pemerintah Assad mampu bertahan menghadapi berbagai tekanan.(IRIB Indonesia/MZ)
http://indonesian.irib.ir/hidden-1/-..._col_count%3D1
Inggris Lengkapi Pemberontak Bersenjata Dengan Handset Satelit
IslamTimes. Inggris diam-diam melengkapi gerilyawan dab pemberontak bersenjata di Suriah dengan telepon satelit baru dalam upaya untuk lebih mengobarkan api kerusuhan di negara itu.Inggris Lengkapi Pemberontak Bersenjata Dengan Handset Satelit
Kantor Luar Negeri Inggris telah datang dengan taktik baru untuk memperluas campur tangan dan krusuhan berskala besar di Suriah. Gerilyawan yang bertanggung jawab atas kematian ribuan warga sipil Suriah kini sedang dilengkapi dengan handset generasi baru dari Inggris.
Telepon satelit baru, yang dioperasikan oleh Departemen Pertahanan Inggris, dirancang untuk lingkungan berbatu dan tahan banting, debu dan tahan air.
Sumber Whitehall mengungkapkan bahwa Kementerian Luar Negeri Inggris juga melatih pemimpin pemberontak bersenjata di Suriah memberikan mereka keterampilan manipulatif dan psikologis untuk meyakinkan kepada orang-orang Suriah dan khalayak internasional.
Menurut para ahli, kehadiran pejabat Departemen Luar Negeri Inggris dengan menyediakan pelatihan dan peralatan untuk teroris mengungkapkan bahwa pasukan khusus Inggris hadir misi yang sedang beroperasi di Suriah.
Hal ini datang seperti dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada Jumat 20 Juli, The Mail mengaku bahwa mantan pasukan Khusus Inggris (SAS) melatih pemimpin kelompok teroris bersenjata di Suriah.
Dan melaporkan bahwa negara tetangga Yordania sedang digunakan sebagai base untuk Inggris, SAS dan Layanan Perahu Khusus (SBS) kekuatan khusus untuk menggelincirkan Suriah.
Menteri Luar Negeri Inggris William Hague telah berjanji untuk meningkatkan dukungan Inggris bagi gerilyawan di dalam wilayah Suriah dan mengatakan Inggris harus bertindak di luar Dewan Keamanan PBB.(IslamTimes/TGM)
http://www.islamtimes.org/vdca6mn6o49nay1.h8k4.html
Blackwater Dirikan Kamp Militer untuk Teroris di Turki
http://forum.republika.co.id/showthread.php?34845-Kefrustasian-Amerika-Menghadapi-Ketangguhan-Assad
Islam Times- Sebuah laporan yang diterbitkan oleh surat kabar Idinik Turki mengatakan, agen Blackwater telah beroperasi di daerah perbatasan dan saat ini sedang dikerahkan ke Suriah melalui provinsi Turki Hatay.
AS perusahaan keamanan AS Blackwater mendirikan kamp-kamp militer di perbatasan Turki-Suriah untuk melatih kelompok bersenjata melawan pemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Sebuah laporan yang diterbitkan oleh surat kabar Idinik Turki mengatakan, agen Blackwater telah beroperasi di daerah perbatasan dan saat ini sedang dikerahkan ke Suriah melalui provinsi Turki Hatay.
Pasukan keamanan Suriah di barat kota Homs juga mengatakan bahwa badan mata-mata Israel Mossad, CIA, dan Blackwater terlibat dalam kerusuhan di negara itu.
Peran Blackwater dalam kerusuhan Suriah tersebut terkuak setelah penulis Mesir Mohammad Husain Haikal mengatakan bahwa Blackwater memiliki lebih dari 6.000 tentara bayaran yang saat ini beroperasi di Damaskus dalam dan luar negeri.
Haikal dalam artikelnya menjelaskan bahwa kegiatan Blackwater di dalam wilayah Suriah berada disepanjang perbatasan negara itu sebagai upaya membeli waktu untuk Israel dan untuk mengubah konflik Arab-Israel menjadi konflik sektarian antara Syiah dan Sunni.
Ahli Suriah untuk urusan strategis, Salim Harba juga mengatakan senada bahwa basis pemberontakan pusat anti-Damaskus didirikan di Qatar untuk mempertemukan AS, Perancis, Qatar, Saudi, dan agen intelijen Israel serta anggota Blackwater dengan oposisi Suriah.
Persenjataan canggih yang digunakan oleh geng-geng bersenjata di Suriah, kehadiran tentara bayaran asing di antara para pemberontak, dan dokumen bocor menujukkan keterlibatan Blackwater dalam krisis di Suriah dan perusahaan keamanan itu pula sebagai pemicu kekerasan di negara Arab tersebut untuk membantu AS menggulingkan pemerintah Assad.
Dengan menyewa para pembunuh Blackwater tersebut efisien melindungi kepentingan AS dan Tel Aviv di wilayah tersebut tetap terjada dan terpelihara. [Islam Times/on/Press TV]
http://islamtimes.org/vdcc10qsi2bq4i8.5fa2.html
Israel Mendukung Perubahan Rezim di Suriah
IslamTimes - Kepala mata-mata Israel mengatakan Tel Aviv mendukung perubahan rezim di Suriah, di tengah upaya berkelanjutan oleh kelompok anti-Suriah untuk menggulingkan pemerintah Presiden Bashar al-Assad.
"Saya berharap itu (pergantian rezim di Suriah) akan terjadi, meskipun saya tidak tahu kapan atau bagaimana," kata Dan Meridor, yang juga menjabat sebagai wakil perdana menteri rezim Tel Aviv, Selasa (7/8/12).
Dia juga menyatakan "harapan" bahwa "Suriah baru akan mengerti bahwa bergabung dengan Iran adalah kesalahan yang membawa isolasi dari dunia Barat."
IslamTimes - Kepala mata-mata Israel mengatakan Tel Aviv mendukung perubahan rezim di Suriah, di tengah upaya berkelanjutan oleh kelompok anti-Suriah untuk menggulingkan pemerintah Presiden Bashar al-Assad.
"Saya berharap itu (pergantian rezim di Suriah) akan terjadi, meskipun saya tidak tahu kapan atau bagaimana," kata Dan Meridor, yang juga menjabat sebagai wakil perdana menteri rezim Tel Aviv, Selasa (7/8/12).
Dia juga menyatakan "harapan" bahwa "Suriah baru akan mengerti bahwa bergabung dengan Iran adalah kesalahan yang membawa isolasi dari dunia Barat."
Pernyataan terakhir oleh pejabat Israel datang ketika beberapa rejim anti-Suriah Barat bersama dengan Arab Saudi, Turki dan Qatar telah mendukung gerilyawan di dalam wilayah Suriah.
Pada tanggal 5 Agustus senator AS John McCain, Joseph Lieberman dan Lindsey Graham mengatakan Washington harus "secara langsung dan terbuka" memberikan bantuan, termasuk senjata, intelijen dan pelatihan, untuk para pemberontak di Suriah.
Surat kabar Inggris Guardian melaporkan pada tanggal 22 Juni bahwa rezim Saudi akan membayar gaji anggota teroris Tentara Suriah Bebas untuk mendorong "pembelotan massal dari militer dan ... tekanan pemerintah Damaskus."
Pada tanggal 21 Juni, New York Times melaporkan bahwa sekelompok perwira CIA beroperasi diam-diam di Turki selatan dan bahwa agen agen itu membantu anti- pemerintah Suriah memutuskan geng mana di dalam negara Arab yang akan menerima senjata untuk melawan pemerintah Suriah.
Teroris Al-Qaeda juga terlibat dalam kampanye melawan Damaskus selama beberapa bulan terakhir kerusuhan.
Pada Selasa (7/8), pasukan keamanan Suriah melakukan operasi di kota Tal Rafa'at, sekitar 38 kilometer (23 mil) utara kota Aleppo, menewaskan dua pemimpin lokal al-Qaeda. [IT/r]
http://islamtimes.org/vdcbgsb80rhbw9p.qnur.html
Api Kekerasan di Suriah, Sampai Kapan?
Posted: 27/04/2012 10:39
Liputan6.com, Jakarta: Rentetan perubahan
besar melanda beberapa negara di kawasan Arab. 'Arab Upspring' terjadi
di Timur Tengah dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Perubahan itu
ditandai oleh tumbangnya para pemimpin yang sangat berpengaruh dan telah
berkuasa secara otoriter puluhan tahun.
Revolusi di tanah Arab itu diawali dari negeri Tunisia. Kekuasaan Presiden Ben Ali yang korup tumbang oleh percikan api perlawanan yang dilakukan pemuda pedagang asongan. Percikan api antikediktatoran merembet ke Mesir. Rezim Hosni Mubarak yang korup dan berkuasa puluhan tahun itu pun ambruk.
Api perlawanan rakyat atas kekuasaan kaum diktator meluas hingga menginspirasi kawasan utara Benua Afrika. Negeri Libia pun dijilat api revolusi perlawanan rakyat. Penguasa absolut diktator Muammar Khadafi runtuh. Bahkan nyawa pemimpin Libia yang sempat menyatakan diri antibarat itu meregang di tangan rakyatnya sendiri. Khadafi tewas ditembak.
Ancaman sanksi dari negara-negara yang masuk dalam komunitas Liga Arab nyaris tak digubris Presiden Assad. Demikian pula, tekanan yang disampaikan Barat seolah tak dianggap penguasa Suriah itu. Bentrokan bersenjata dan aksi kekerasan terus terjadi dan memakan korban jiwa warga sipil. Pemerintah pendukung Presiden Assad menghadapi kelompok oposisi dan kaum pemberontak sipil dengan kekuatan militer dan senjata berat. Krisis Suriah telah berlangsung lebih dari setahun dan tercatat sebagai kondisi terburuk yang paling lama dibanding krisis di Tunisia, Mesir, dan Libia.
Pihak oposisi menyatakan, sebanyak 130 tank dan kendaraan lapis baja telah menyapu bersih wilayah Deraa, Idlib, dan kawasan pantai dekat al-Haffa.
"Mereka telah membumihanguskan tempat kelahiran kita," kata seorang warga yang menjadi korban aksi militer pemerintah.
Apa yang sebenarnya terjadi di Suriah?
Dalam sebuah diskusi tentang Suriah yang dilakukan oleh para mahasiswa Muslim Scientist Community Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terungkap bahwa biang dari krisis berkepanjangan di Suriah itu tak bisa dilepaskan dari andil Amerika Serikat dan Inggris.
Menurut mahasiswa S2 program studi Kajian Timur Tengah, Ahmad Jaelani, AS dan Inggris telah menggunakan kelompok oposisi untuk upaya menumbangkan Assad.
Pasti ada kepentingan ekonomi dan politik di balik tekanan Barat atas Presiden Assad dan dukungannya atas perlawanan kaum demonstran. Analisis ini berdasarkan pada tinjauan historis, ketika Inggris menguasai Suriah di masa pemerintahan boneka Presiden Shukri al Quwatli (1943). Kemudian AS mulai ikut campur di negeri tersebut pada 1949 yang menyebabkan adanya konflik kepentingan imperialistik antara Inggris dan AS. Beberapa kali pergantian presiden terjadi di negeri ini. Di antaranya, penggulingan Shukri al Quwatli oleh Jenderal Husni Zaim, 30 Maret 1949. Husni Zaim dikenal punya hubungan sangat dengan AS. Tak lama setelah itu, hanya berselang waktu lima bulan, Kolonel Sammi al Hinnawi melakukan kudeta.
Revolusi terus berulang. Kolonel Adib al Syisyakli menumbangkan Kolonel Sammi al Hinnawi, Desember 1949. Di masa kekuasaan Adib al Syisyakli, Suriah sempat bersatu dengan Libanon pada 1950. Hanya empat tahun berkuasa, Kolonel Adib pun digulingkan oleh kaki tangan Inggris dengan dukungan Irak.
Situasi tak menentu terjadi di Suriah. Parlemen lemah dan konstitusi tak kuat. Dalam kondisi itulah muncul tokoh baru Hafez al Assad pada 1971. Tokoh ini yang didukung Partai Baath dalam perkembangannya kemudian sangat berpengaruh di kawasan Timur Tengah. Hafez Assad berkuasa selama 30 tahun. Selama pemerintahannya, militer begitu berkuasa.
Pengaruh AS terhadap Suriah masih saja begitu besar. Bahkan setelah Bashar al-Assad menggantikan ayahnya, Hafez al Assad menjadi presiden (10 Juni 2000), pengaruh AS tetap saja dominan. Pihak oposisi menuduh banyak kebijakan pemerintahan Assad yang lebih menguntungkan diri dan kelompoknya. Itulah yang kemudian membuat rakyat bergolak. Rakyat di antaranya menuntut dicabutnya Undang-Undang Darurat 1963 yang amat mengungkung kebebasan warga negara dan media massa.
Ketika Presiden Bashar al-Assad kemudian mencabut UU Darurat pertengahan April lalu [baca: Suriah Umumkan Pencabutan UU Keadaan Darurat], rakyat sudah telanjur kecewa dan justru berkembang menuntut dirinya mundur. Perlawanan rakyat kian melebar dan kelompok anti-Assad makin membesar dan menyebar ke seluruh Suriah. Krisis Suriah pun semakin panjang dan dunia pun ikut terkena getahnya [baca: Suriah Kembali Tegang, Minyak Naik Lagi].
PBB ikut turun tangan membantu memperbaiki situasi di Suriah. Namun Presiden Assad sepertinya tak menggubris. Kelompok Liga Arab pun berupaya mengutus mantan Sekjen PBB Kofi Annan untuk membantu mencari solusi damai atas krisis yang terjadi di Suriah, tapi belum juga mendapatkan hasil. Kekerasan terus terjadi, gencatan senjata tak berjalan dan bahkan dilanggar [baca: Annan Gagal Bujuk Assad Hentikan Kekerasan].
Beberapa negara dalam komunitas Uni Eropa bahkan sampai menekan dan mengancam pencekalan terhadap istri Assad, Asma al-Assad dan keluarga yang mempunyai dua kewarganegaraan Suriah dan Inggris [baca: Asma al-Assad dan Kerabat Dicekal Masuk Eropa]. Itu pun, masih tidak membuahkan hasil.
Konflik di Suriah, menurut buku A Peace to End All Peace yang ditulis David Fromkin, tak terlepas dari akar masalah ribetnya persoalan di Timur Tengah. Yakni dalam kaitan pembagian bekas Kekaisaran Turki Ottoman atau Utsmaniyah pasca Perang Dunia I.
Sebagian besar negara di kawasan Timur Tengah beraliansi ke Barat. Sementara Suriah lebih cenderung ke Rusia. Ketika Suriah dilanda konflik kekerasan internal, negara-negara Barat mulai masuk melalui pintu 'anti-kekerasan' yang memang sangat relevan dengan kondisi aktual rakyat. Pemerintah berusaha meredam aksi perlawanan dengan kekuatan militer. Rakyat dan pihak oposisi melawan dan bahkan menentang langsung Presiden Assad [baca: Oposisi Tolak Ajakan Dialog Presiden Assad].
Kepedulian dunia internasional yang tergabung dalam "Teman-Teman Suriah" yang digalang AS berhasil mengumpulkan 60 negara untuk mendukung gencatan senjata di Suriah. Pertemuan yang digelar Februari lalu di Tunisia itu bersepakat memberikan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Suriah yang sedang dilanda konflik.
Aksi solidaritas ini, 1 April lalu menindaklanjuti hasil pertemuan Annan dengan Assad digelar di Istanbul, Turki. Salah satu hasil pertemuan yang diikuti oleh perwakilan dari 71 negara tersebut adalah meningkatkan tekanan kepada rezim Bashar al-Assad dan mengakhiri penindasan rakyat Suriah.
Kita lihat saja, apa yang akan terjadi selanjutnya di Suriah. Sampai kapan api kekerasan akan terus berlangsung? (* dari berbagai sumber)
Revolusi di tanah Arab itu diawali dari negeri Tunisia. Kekuasaan Presiden Ben Ali yang korup tumbang oleh percikan api perlawanan yang dilakukan pemuda pedagang asongan. Percikan api antikediktatoran merembet ke Mesir. Rezim Hosni Mubarak yang korup dan berkuasa puluhan tahun itu pun ambruk.
Api perlawanan rakyat atas kekuasaan kaum diktator meluas hingga menginspirasi kawasan utara Benua Afrika. Negeri Libia pun dijilat api revolusi perlawanan rakyat. Penguasa absolut diktator Muammar Khadafi runtuh. Bahkan nyawa pemimpin Libia yang sempat menyatakan diri antibarat itu meregang di tangan rakyatnya sendiri. Khadafi tewas ditembak.
Kini Bahrain dan Suriah juga bergolak. Setahun sudah Suriah dilanda situasi krisis politik dan sosial. Sebagian rakyatnya menentang dan angkat senjata melawan kekuasaan Presiden Bashar al-Assad. PBB mencatat 10.000 ribuan warga tewas akibat aksi kekerasan di Suriah. Ratusan jiwa kini menjadi pengungsi [baca: Ribuan Warga Suriah Kabur ke Turki]. Sementara sekitar 150 ribu orang ditangkap dan dipenjara oleh penguasa.
Ancaman sanksi dari negara-negara yang masuk dalam komunitas Liga Arab nyaris tak digubris Presiden Assad. Demikian pula, tekanan yang disampaikan Barat seolah tak dianggap penguasa Suriah itu. Bentrokan bersenjata dan aksi kekerasan terus terjadi dan memakan korban jiwa warga sipil. Pemerintah pendukung Presiden Assad menghadapi kelompok oposisi dan kaum pemberontak sipil dengan kekuatan militer dan senjata berat. Krisis Suriah telah berlangsung lebih dari setahun dan tercatat sebagai kondisi terburuk yang paling lama dibanding krisis di Tunisia, Mesir, dan Libia.
Pihak oposisi menyatakan, sebanyak 130 tank dan kendaraan lapis baja telah menyapu bersih wilayah Deraa, Idlib, dan kawasan pantai dekat al-Haffa.
"Mereka telah membumihanguskan tempat kelahiran kita," kata seorang warga yang menjadi korban aksi militer pemerintah.
Apa yang sebenarnya terjadi di Suriah?
Dalam sebuah diskusi tentang Suriah yang dilakukan oleh para mahasiswa Muslim Scientist Community Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terungkap bahwa biang dari krisis berkepanjangan di Suriah itu tak bisa dilepaskan dari andil Amerika Serikat dan Inggris.
Menurut mahasiswa S2 program studi Kajian Timur Tengah, Ahmad Jaelani, AS dan Inggris telah menggunakan kelompok oposisi untuk upaya menumbangkan Assad.
Pasti ada kepentingan ekonomi dan politik di balik tekanan Barat atas Presiden Assad dan dukungannya atas perlawanan kaum demonstran. Analisis ini berdasarkan pada tinjauan historis, ketika Inggris menguasai Suriah di masa pemerintahan boneka Presiden Shukri al Quwatli (1943). Kemudian AS mulai ikut campur di negeri tersebut pada 1949 yang menyebabkan adanya konflik kepentingan imperialistik antara Inggris dan AS. Beberapa kali pergantian presiden terjadi di negeri ini. Di antaranya, penggulingan Shukri al Quwatli oleh Jenderal Husni Zaim, 30 Maret 1949. Husni Zaim dikenal punya hubungan sangat dengan AS. Tak lama setelah itu, hanya berselang waktu lima bulan, Kolonel Sammi al Hinnawi melakukan kudeta.
Revolusi terus berulang. Kolonel Adib al Syisyakli menumbangkan Kolonel Sammi al Hinnawi, Desember 1949. Di masa kekuasaan Adib al Syisyakli, Suriah sempat bersatu dengan Libanon pada 1950. Hanya empat tahun berkuasa, Kolonel Adib pun digulingkan oleh kaki tangan Inggris dengan dukungan Irak.
Situasi tak menentu terjadi di Suriah. Parlemen lemah dan konstitusi tak kuat. Dalam kondisi itulah muncul tokoh baru Hafez al Assad pada 1971. Tokoh ini yang didukung Partai Baath dalam perkembangannya kemudian sangat berpengaruh di kawasan Timur Tengah. Hafez Assad berkuasa selama 30 tahun. Selama pemerintahannya, militer begitu berkuasa.
Pengaruh AS terhadap Suriah masih saja begitu besar. Bahkan setelah Bashar al-Assad menggantikan ayahnya, Hafez al Assad menjadi presiden (10 Juni 2000), pengaruh AS tetap saja dominan. Pihak oposisi menuduh banyak kebijakan pemerintahan Assad yang lebih menguntungkan diri dan kelompoknya. Itulah yang kemudian membuat rakyat bergolak. Rakyat di antaranya menuntut dicabutnya Undang-Undang Darurat 1963 yang amat mengungkung kebebasan warga negara dan media massa.
Ketika Presiden Bashar al-Assad kemudian mencabut UU Darurat pertengahan April lalu [baca: Suriah Umumkan Pencabutan UU Keadaan Darurat], rakyat sudah telanjur kecewa dan justru berkembang menuntut dirinya mundur. Perlawanan rakyat kian melebar dan kelompok anti-Assad makin membesar dan menyebar ke seluruh Suriah. Krisis Suriah pun semakin panjang dan dunia pun ikut terkena getahnya [baca: Suriah Kembali Tegang, Minyak Naik Lagi].
PBB ikut turun tangan membantu memperbaiki situasi di Suriah. Namun Presiden Assad sepertinya tak menggubris. Kelompok Liga Arab pun berupaya mengutus mantan Sekjen PBB Kofi Annan untuk membantu mencari solusi damai atas krisis yang terjadi di Suriah, tapi belum juga mendapatkan hasil. Kekerasan terus terjadi, gencatan senjata tak berjalan dan bahkan dilanggar [baca: Annan Gagal Bujuk Assad Hentikan Kekerasan].
Beberapa negara dalam komunitas Uni Eropa bahkan sampai menekan dan mengancam pencekalan terhadap istri Assad, Asma al-Assad dan keluarga yang mempunyai dua kewarganegaraan Suriah dan Inggris [baca: Asma al-Assad dan Kerabat Dicekal Masuk Eropa]. Itu pun, masih tidak membuahkan hasil.
Konflik di Suriah, menurut buku A Peace to End All Peace yang ditulis David Fromkin, tak terlepas dari akar masalah ribetnya persoalan di Timur Tengah. Yakni dalam kaitan pembagian bekas Kekaisaran Turki Ottoman atau Utsmaniyah pasca Perang Dunia I.
Sebagian besar negara di kawasan Timur Tengah beraliansi ke Barat. Sementara Suriah lebih cenderung ke Rusia. Ketika Suriah dilanda konflik kekerasan internal, negara-negara Barat mulai masuk melalui pintu 'anti-kekerasan' yang memang sangat relevan dengan kondisi aktual rakyat. Pemerintah berusaha meredam aksi perlawanan dengan kekuatan militer. Rakyat dan pihak oposisi melawan dan bahkan menentang langsung Presiden Assad [baca: Oposisi Tolak Ajakan Dialog Presiden Assad].
Kepedulian dunia internasional yang tergabung dalam "Teman-Teman Suriah" yang digalang AS berhasil mengumpulkan 60 negara untuk mendukung gencatan senjata di Suriah. Pertemuan yang digelar Februari lalu di Tunisia itu bersepakat memberikan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Suriah yang sedang dilanda konflik.
Aksi solidaritas ini, 1 April lalu menindaklanjuti hasil pertemuan Annan dengan Assad digelar di Istanbul, Turki. Salah satu hasil pertemuan yang diikuti oleh perwakilan dari 71 negara tersebut adalah meningkatkan tekanan kepada rezim Bashar al-Assad dan mengakhiri penindasan rakyat Suriah.
Kita lihat saja, apa yang akan terjadi selanjutnya di Suriah. Sampai kapan api kekerasan akan terus berlangsung? (* dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar