Sejarah Munculnya Syi’ah
http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/2.htm
a.Kapan Syi’ah Muncul?
Syi’ah
sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. (imam pertama kaum Syi’ah) sudah
muncul sejak Rasulullah SAWW masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan dengan
realita-realita berikut ini:
Pertama, ketika
Rasulullah SAWW mendapat perintah dari Allah SWT untuk mengajak keluarga
terdekatnya masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara
kalian yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku setelah aku meninggal dunia”.
Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bersedia untuk mengikutinya kecuali
Ali a.s.
"Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin pergerakan --di hari pertama ia memulai
langkah-langkahnya--memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat kepada orang
lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya yang setia.
Atau ia
mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya, akan tetapi, di sepanjang masa
aktifnya pergerakan tersebut ia tidak memberikan tugas sedikit pun kepada
penggantinya dan memperlakukannya sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan
di atas adalah bukti kuat bahwa Imam Ali a.s. setelah diperkenalkan sebagai
pengganti dan washi Rasulullah SAWW
di hari pertama dakwah, memiliki misi yang tidak berbeda dengan missi
Rasulullah SAWW dan orang yang mengikutinya berarti ia juga mengikuti
Rasulullah SAWW."
Kedua,
berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang
dinukil oleh Ahlussunnah dan Syi’ah, Rasulullah SAWW pernah bersabda bahwa Imam
Ali a.s. terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun
perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia
adalah orang yang paling tahu tentang Islam.
Ketiga,
Imam Ali a.s. adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan
pengorbanan-pengorbanan yang telah lakukannya. Seperti, ia pernah tidur di atas
ranjang Rasulullah SAWW di malam peristiwa lailatul
mabit ketika Rasulullah SAWW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya
di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar. Seandainya
pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya Islam akan
sirna di telan gelombang kebatilan.
Keempat,
peristiwa Ghadir Khum adalah puncak keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Ali
a.s. Sebuah peristiwa --yang seandainya dapat direalisasikan sesuai dengan
kehendak Rasulullah SAWW-- akan memberikan warna lain terhadap Islam.
Semua
keistimewaan dan keistimewaan-keistimewaan lain yang diakui oleh Ahlussunnah
bahwa semua itu hanya dimiliki oleh Imam Ali a.s. secara otomatis akan
menjadikan sebagian pengikut Rasulullah SAWW yang memang mencintai kesempurnaan
dan hakikat, akan mencintai Imam Ali a.s. dan lebih dari itu, akan menjadi
pengikutnya. Dan tidak menutup kemungkinan bagi sebagian pengikutnya yang memang
memendam rasa dengki di hati kepada Imam Ali a.s., untuk membencinya meskipun
mereka melihat ia telah berjasa dalam mengembangkan dan menjaga Islam dari
kesirnaan.
b.Mengapa Minoritas Syi’ah berpisah dari mayoritas Ahlussunnah? "ATAUKAH ADA UPAYA PIHAK2 PENGUASA PENYINGKIRKAN PENDUKUNG AJARAN ALI R.A. ?"
Dengan
melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s., para
pengikutnya meyakini bahwa ia adalah satu-satunya sahabat yang berhak untuk
menggantikan kedudukan Rasulullah SAWW setelah ia wafat. Keyakinan ini menjadi
semakin mantap setelah peristiwa “kertas dan pena” yang terjadi beberapa hari
sebelum ia meninggal dunia. Akan tetapi, kenyataan bericara lain. Ketika Ahlul
Bayt a.s. dan para pengikut setia mereka sedang sibuk mengurusi jenazah
Rasulullah SAWW untuk dikebumikan, mayoritas sahabat yang didalangi oleh
sekelompok sahabat yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi dengan Islam,
berkumpul di sebuah balai pertemuan yang bernama Saqifah Bani Sa’idah guna
menentukan khalifah pengganti Rasulullah SAWW. Dan dengan cara dan metode keji,
para dalang “permainan” ini menentukan Abu Bakar sebagai khalifah pertama
muslimin.
Setelah para
pengikut Imam Ali a.s. yang hanya segelintir selesai mengebumikan jenazah
Rasulullah SAWW, mereka mendapat berita bahwa khalifah muslimin telah dipilih.
Banyak pengikut Imam Ali a.s. seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Ammar
Yasir dan lain-lain yang protes atas pemilihan tersebut dan menganggapnya tidak
absah. Yang mereka dengar hanyalah alasan yang biasa dilontarkan oleh orang
ingin membela diri. Mereka hanya berkata: “Kemaslahatan muslimin menuntut
demikian”.
Protes minoritas
inilah yang menyebabkan mereka memisahkan diri dari mayoritas masyarakat yang
mendominasi arena politik kala itu. Dengan demikian, terwujudlah dua golongan
di dalam tubuh masyarakat muslim yang baru ditinggal oleh pemimpinnya. Akan
tetapi, pihak mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui oleh para musuh
luar Islam, mereka mengeksposkan sebuah berita kepada masyarakat bahwa pihak
minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi. Akibatnya, mereka
dianggap sebagai musuh Islam.
Meskipun
adanya tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas, kelompok minoritas ini masih
tetap teguh memegang keyakinannya bahwa kepemimpinan adalah hak Imam Ali a.s.
setelah Rasulullah SAWW meninggal dunia. Bukan hanya itu, dalam menghadapi
segala problema kehidupan, mereka hanya merujuk kepada Imam Ali a.s. untuk memecahkannya,
bukan kepada pemerintah. Meskipun demikian, berkenaan dengan problema-problema yang
menyangkut kepentingan umum, mereka tetap bersedia untuk ikut andil
memecahkannya. Banyak problema telah terjadi yang tidak dapat dipecahkan oleh
para khalifah, dan Imam Ali a.s. tampil aktif dalam memecahkannya.
c. Penyelewengan pada Masa Tiga Khalifah
Pada masa kepemimpinan
tiga khalifah pertama muslimin, banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan dilakukan
oleh mereka dalam menjalankan pemerintahan yang tidak sesuai dengan rel Islam
dan sunnah Rasulullah SAWW. Diamnya pemerintah atas pembunuhan yang telah
dilakukan oleh Khalid bin Walid terhadap Malik bin Nuwairah yang berlanjut dengan
pemerkosaan terhadap istrinya, pembagian harta baitul mal yang tidak merata sehingga menimbulkan perbedaan strata
masyarakat kaya dan miskin, penghapusan dua jenis mut’ah yang sebelumnya pernah
berlaku pada masa Rasulullah SAWW, penghapusan khumus dari orang-orang yang
berhak menerimanya, pelarangan penulisan hadis-hadis Rasulullah SAWW,
pelarangan mengucapkan hayya ‘alaa
khairil ‘amal dalam azan, pemberian harta dan dukungan istimewa kepada
Mu’awiyah sehingga ia dapat berkuasa di Syam dengan leluasa, dan lain
sebagainya, semua itu adalah bukti jelas penyelewengan dan kepincangan yang
terjadi pada masa tiga khalifah pertama. Semua itu jelas terjadi sehingga orang
yang berpikiran jernih dan tidak dipengaruhi oleh fanatisme mazhab akan dapat
menerimanya dengan menelaah buku-buku sejarah yang otentik.
Setelah Utsman
bin Affan, Khalifat ketiga muslimin dibunuh oleh para “pemberontak” yang tidak
rela dengan kinerjanya selama ia memegang tampuk khilafah, masyarakat dengan
serta merta memilih Imam Ali a.s. secara aklamasi untuk memegang tampuk
khilafah. Di antara Muhajirin yang pertama kali berbai’at dengannya adalah
Thalhah dan Zubair. Hal ini terjadi pada tahun 5 H. Sangat disayangkan
kekhilafahannya hanya berjalan sekitar 4 tahun 5 bulan, masa yang sangat
sedikit untuk mengadakan sebuah perombakan dan reformasi mendasar.
Begitu ia
menjadi khalifah, khotbah pertama yang dilontarkannya adalah sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa segala kesulitan yang pernah kalian alami di masa-masa
pertama Rasulullah SAWW diutus menjadi nabi, sekarang akan kembali menimpa
kalian. Sekarang orang-orang yang memiliki keahlian dan selama ini disingkirkan
harus memiliki kedudukan yang layak dan orang-orang yang tidak becus harus
disingkirkan dari kedudukan yang telah diberikan kepada mereka dengan tidak
benar”.
Ia mengadakan
perombakan-perombakan secara besar-besaran, baik di bidang birokrasi maupun
bidang pembagian harta baitul mal. Ia
mengganti semua gubernur daerah yang telah ditunjuk oleh para khalifah
sebelumnya dengan orang-orang yang layak untuk memegang tampuk tersebut dan
membagikan harta baitul mal dengan
sama rata di antara masyarakat. Hal ini menyebabkan sebagian sahabat sakit
hati. Tentunya mereka yang merasa dirugikan oleh metode Imam Ali a.s. tersebut.
Hal itu dapat kita pahami dalam peristiwa-peristiwa berdarah berikut:
Faktor utama perang
Jamal adalah rasa sakit hati Thalhah dan Zubair karena hak mereka --sebagai
sahabat senior-- dari harta baitul mal
merasa dikurangi dan disamaratakan dengan masyarakat umum. Dengan alasan ingin
menziarahi Ka’bah, mereka masuk ke kota Makkah dan menemui A’isyah yang
memiliki hubungan tidak baik dengan Imam Ali a.s. demi mengajaknya memberontak
atas pemerintahan yang sah. Slogan yang mereka gembar-gemborkan untuk menarik
perhatian opini umum adalah membalas dendam atas kematian Utsman. Padahal,
ketika Utsman dikepung oleh para “pemberontak” yang ingin membunuhnya, mereka
ada di Madinah dan tidak sedikit pun usaha yang tampak dari mereka untuk
membelanya. A’isyah sendiri adalah orang pertama dan paling bersemangat mensupport
masyarakat untuk membunuhnya. Ketika ia mendengar Utsman telah terbunuh, ia
mencelanya dan merasa bahagia karena itu.
Faktor utama
perang Shiffin adalah rasa tamak Mu’awiyah atas khilafah, karena ia telah disingkirkan
oleh Imam Ali a.s. dari kursi kegubernuran Syam. Perang ini berlangsung selama
1,5 tahun yang telah memakan banyak korban tidak bersalah. Slogan Mu’awiyah di
perang adalah membalas dendam atas kematian Utsman juga. Padahal, selama Utsman
dalam kepungan para “pemberontak”, ia meminta bantuan dari Mua’wiyah yang bercokol
di Syam demi membasmi mereka. Dengan satu pleton pasukan lengkap, Mu’awiyah
berangkat dari Syam ke arah Madinah. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka
sengaja memperlambat jalannya pasukan sehingga Utsman terbunuh. Setelah
mendengar Utsman terbunuh, mereka kembali ke Syam dan kemudian bergerak kembali
menuju ke Madinah dengan slogan “membalas dendam atas kematian Utsman”.
Akhirnya pecahlah Shiffin.
Anehnya,
ketika Imam Ali a.s. syahid dan Mu’awiyah berhasil memegang tampuk khilafah,
mengapa ia tidak mendengung-dengungkan kembali slogan “membalas dendam atas
kematian Utsman”?
Setelah
perang Shiffin berhasil dipadamkan, perang Nahrawan berkecamuk. Faktornya
adalah ketidakpuasan sebagian sahabat yang disulut oleh Mu’awiyah atas
pemerintahan Imam Ali a.s. dan atas hasil perdamaian yang dipaksakan oleh
mereka sendiri terhadap Imam Ali a.s. yang menghasilkan pencabutannya dari
kursi khilafah dan penetapan Mu’awiyah sebagai khalifah muslimin. Tapi
akhirnya, Imam Ali a.s. juga berhasil memadamkan api perang tersebut.
Tidak lama
berselang dari peristiwa Nahrawan, Imam Ali a.s. syahid dengan kepala yang
mengucurkan darah akibat tebasan pedang Abdurrahman bin Muljam di mihrab masjid
Kufah.
d. Keberhasilan-keberhasilan Pemerintahan Imam Ali a.s.
Meskipun Imam
Ali a.s. tidak berhasil memapankan kembali situasi masyarakat Islam yang sudah
bobrok itu secara sempurna, akan tetapi, dalam tiga segi ia dapat dikatakan
berhasil:
Pertama, dengan
kehidupan sederhana yang dimilikinya, ia berhasil menunjukkan kepada masyarakat
luas, khususnya para generasi baru, metode hidup Rasulullah SAWW yang sangat
menarik dan pantas untuk diteladani. Hal ini berlainan sekali dengan kehidupan
Mu’awiyah yang serba mewah. Ia a.s. tidak pernah mendahulukan kepentingan
keluarganya atas kepentingan umum.
Kedua, dengan
segala kesibukan dan problema sosial yang dihadapinya, ia masih sempat
meninggalkan warisan segala jenis ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan
masyarakat dan dapat dijadikan sebagai penunjuk jalan untuk mencapai tujuan hidup
insani yang sebenarnya. Ia mewariskan sebelas ribu ungkapan-ungkapan pendek dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan rasional, sosial dan keagamaan. Ia adalah
pencetus tata bahasa Arab dan orang pertama yang mengutarakan
pembahasan-pembahasan filosofis yang belum pernah dikenal oleh para filosof
kaliber kala itu. Dan ia juga orang pertama dalam Islam yang menggunakan
argumentasi-argumentasi rasional dalam menetapkan sebuah pembahasan filosofis.
Ketiga, ia
berhasil mendidik para pakar agama Islam yang dijadikan sumber rujukan dalam
bidang ilmu ‘irfan oleh para ‘arif di masa sekarang, seperti Uwais Al-Qarani,
Kumail bin Ziyad, Maitsam At-Tammar dan Rusyaid Al-Ĥajari.
e.Masa Sulit bagi Kaum Syi’ah
Setelah Imam
Ali a.s. syahid di mihrab shalatnya, masyarakat waktu itu membai’at Imam Hasan
a.s. untuk memegang tampuk khilafah. Setelah ia dibai’at, Mu’awiyah tidak tinggal
diam. Ia malah mengirim pasukan yang berjumlah cukup besar ke Irak sebagai
pusat pemerintahan Islam waktu itu untuk mengadakan peperangan dengan
pemerintahan yang sah. Dengan segala tipu muslihat dan iming-iming harta yang
melimpah, Mu’wiyah berhasil menipu para anggota pasukan Imam Hasan a.s. dan dengan
teganya mereka meninggalkannya sendirian. Melihat kondisi yang tidak berpihak
kepadanya dan dengan meneruskan perang Islam akan hancur, dengan terpaksa ia
harus mengadakan perdamaian dengan Mu’awiyah. (Butir-butir perjanjian ini dapat
dilihat di sejarah 14 ma’shum a.s.)
Setelah
Mu’awiyah berhasil merebut khilafah dari tangan Imam Hasan a.s. pada tahun 40
H., --sebagaimana layaknya para pemeran politik kotor-- ia langsung
menginjak-injak surat perdamaian yang telah ditandatanganinya. Dalam sebuah
kesempatan ia pernah berkata: “Aku tidak berperang dengan kalian karena aku
ingin menegakkan shalat dan puasa. Sesungguhnya aku hanya ingin berkuasa atas
kalian, dan aku sekarang telah sampai kepada tujuanku”.
Dengan
demikian, Mu’awiyah ingin menghidupkan kembali sistem kerajaan sebagai ganti
dari sistem khilafah sebagai penerus kenabian. Hal ini diperkuat dengan
diangkatnya Yazid, putranya sebagai putra mahkota dan penggantinya setelah ia
mati.
Mua’wiyah
tidak pernah memberikan kesempatan kepada para pengikut Syi’ah untuk bernafas
dengan tenang. Setiap ada orang yang diketahui sebagai pengikut Syi’ah, ia akan
langsung dibunuh di tempat. Bukan hanya itu, setiap orang yang melantunkan
syair yang berisi pujian terhadap keluarga Ali a.s., ia akan dibunuh meskipun ia
bukan pengikut Syi’ah. Tidak cukup sampai di sini saja, ia juga memerintahkan
kepada para khotib shalat Jumat untuk melaknat dan mencerca Imam Ali a.s.
Kebiasaan ini berlangsung hingga masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz pada
tahun 99-101 H.
Masa pemerintahan
Mu’awiyah (selama 20 tahun) adalah masa tersulit bagi kaum Syi’ah di mana
mereka tidak pernah memiliki sedikit pun kesempatan untuk bernafas.
Mayoritas
pengikut Ahlussunnah menakwilkan semua pembunuhan yang telah dilakukan oleh
para sahabat, khususnya Mu’awiyah itu dengan berasumsi bahwa mereka adalah
sahabat Nabi SAWW dan semua perilaku mereka adalah ijtihad yang dilandasi oleh
hadis-hadis yang telah mereka terima darinya. Oleh karena itu, semua perilkau
mereka adalah benar dan diridhai oleh Allah SWT. Seandainya pun mereka salah
dalam menentukan sikap dan perilaku, mereka akan tetap mendapatkan pahala
berdasarkan ijtihad tang telah mereka lakukan.
Akan tetapi,
Syi’ah tidak menerima asumsi di atas dengan alasan sebagai berikut:
Pertama,
tidak masuk akal jika seorang pemimpin yang ingin menegakkan kebenaran,
keadilan dan kebebasan dan mengajak orang-orang yang ada si sekitarnya untuk merealisasikan
hal itu, setelah tujuan yang diinginkannya itu terwujudkan, ia merusak sendiri
cita-citanya dengan cara memberikan kebebasan mutlak kepada para pengikutnya,
dan segala kesalahan, perampasan hak orang lain dengan segala cara, serta tindakaan-tindakan
kriminal yang mereka lakukan dimaafkan.
Kedua, hadis-hadis
yang “menyucikan” para sahabat dan membenarkan semua perilaku non-manusiwi
mereka berasal dari para sahabat sendiri. Dan sejarah membuktikan bahwa mereka
tidak pernah memperhatikan hadis-hadis di atas. Mereka saling menuduh,
membunuh, mencela dan melaknat. Dengan bukti di atas, keabsahan hadis-hadis di atas
perlu diragukan.
Mu’awiyah
menemui ajalnya pada tahun 60 H. dan Yazid, putranya menduduki kedudukannya
sebagai pemimpin umat Islam. Sejarah membuktikan bahwa Yazid adalah sosok
manusia yang tidak memiliki kepribadian luhur sedikit pun. Kesenangannya adalah
melampiaskan hawa nafsu dan segala keinginannya. Dengan latar belakangnya yang
demikian “cemerlang”, tidak aneh jika di tahun pertama memerintah, ia tega
membunuh Imam Husein a.s., para keluarga dan sahabatnya dengan dalih karena
mereka enggan berbai’at dengannya. Setelah itu, ia menancapkan kepala para
syahid tersebut di ujung tombak dan mengelilingkannya di kota-kota besar; Di
tahun kedua memerintah, ia mengadakan pembunuhan besar-besaran di kota Madinah
dan menghalalkan darah, harta dan harga diri penduduk Madinah selama tiga hari
kepada para pasukannya; Di tahun ketiga memerintah, ia membakar Ka’bah, kiblat
muslimin.
Setelah masa
Yazid dengan segala kebrutalannya berlalu, Bani Marwan yang masih memiliki
hubungan keluarga dengan Bani Umaiyah menggantikan kedudukannya. Mereka pun
tidak kalah kejam dan keji dari Yazid. Mereka berhasil berkuasa selama 70 tahun
dan jumlah khalifah dari dinasti mereka adalah sebelas orang. Salah seorang
dari mereka pernah ingin membuat sebuah kamar di atas Ka’bah dengan tujuan
untuk melampiaskan hawa nafsunya di dalamnya ketika musim haji tiba.
Dengan
melihat kelaliman yang dilakukan oleh para khalifah waktu itu, para pengikut
Syi’ah makin kokoh dalam memegang keyakinan mereka. Di akhir-akhir masa kekuasaan
Bani Umaiyah, mereka dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa mereka
masih memilliki eksistensi dan mampu untuk melawan para penguasa lalim. Di masa
keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan belum 40 tahun berlalu dari terbunuhnya
Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah yang berdomisili di berbagai negara dengan
memanfaatkan kelemahan pemerintahan Bani Umaiyah karena tekanan-tekanan dari
para pemberontak yang tidak puas dengan perilaku mereka, datang ke Madinah
untuk belajar dari Imam Baqir a.s. Sebelum abad ke-1 H. usai, beberapa pembesar
kabilah di Iran membangun kota Qom dan meresmikannya sebagai kota pemeluk
Syi’ah. Beberapa kali para keturunan Imam Ali a.s. karena tekanan yang
dilakukan oleh Bani Umaiyah atas mereka, mengadakan pemberontakan-pemberontakan
melawan penguasa dan perlawanan mereka --meskipun mengalami kekalahan-- sempat
mengancam keamanan pemerintah. Realita ini menunjukkan bahwa eksistensi Syi’ah
belum sirna.
Dikarenakan
kelaliman dinasti Bani Umaiyah yang sudah melampui batas, opini umum sangat
membenci dan murka terhadap mereka. Setelah dinasti mereka runtuh dan penguasa
terkahir mereka (Marwan ke-2 yang juga dikenal dengan sebutan Al-Himar,
berkuasa dari tahun 127-132 H.) dibunuh, dua orang putranya melarikan diri
bersama keluarganya. Mereka meminta suaka politik kepada berbagai negara, dan
mereka enggan memberikan suaka politik kepada para pembunuh keluarga Rasulullah
SAWW tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung di gurun pasir yang panas,
mayoritas mereka binasa karena kehausan dan kelaparan. Sebagian yang masih
hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan berpakaian compang-camping ala
pengangkat barang di pasar-pasar mereka berhasil memasuki kota Makkah. Di
Makkah pun mereka tidak berani menampakkan batang hidung, mungkin karena malu
atau karena sebab yang lain.
f. Syi’ah Pada Abad Ke-2 H.
Di
akhir-akhir sepertiga pertama abad ke-2 H., karena kelaliman dinasti Bani
Umaiyah, muncul sebuah pemberontakan dari arah Khurasan, Iran dengan
mengatasnamakan Ahlu Bayt a.s. Pemberontakan ini dipelopori oleh seorang
militer berkebangsaan Iran yang bernama Abu Muslim Al-Marwazi. Dengan syiar
ingin membalas dendam atas darah Ahlu Bayt a.s., ia memulai perlawanannya
terhadap dinasti Bani Umaiyah. Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar
tersebut sehingga mereka mendukung pemberontakannya. Akan tetapi, pemberontakan
ini tidak mendapat dukungan dari Imam Shadiq a.s. Ketika Abu Muslim menawarkan
kepadanya untuk dibai’at sebagai pemimpin umat, ia menolak seraya berkata:
“Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan masaku untuk memberontak”.
Setelah
mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Umaiyah, di hari-hari
pertama berkuasa mereka memperlakukan para keturunan Imam Ali a.s. dengan baik,
dan demi membalas dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan, mereka membunuh
semua keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka menggali kuburan-kuburan para
penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka. Tidak lama berlalu, mereka
mulai mengadakan penekanan-penekanan serius terhadap para keturunan Imam Ali
a.s. dan para pengikut mereka serta orang-orang yang simpatik kepada mereka.
Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin
Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan
keji, dibunuh dengan racun dan para keturunan Imam Ali a.s. dibunuh atau
dikubur hidup-hidup.
Kesimpulannya,
kondisi para pengikut Syi’ah pada masa berkuasanya dinasti Bani Abasiah tidak
jauh berbeda dengan kondisi mereka pada masa dinasti Bani Umaiyah.
g.Syi’ah Pada Abad Ke-3 H.
Dengan
masuknya abad ke-3 H., para pengikut Syi’ah Imamiah mendapatkan kesempatan baru
untuk mengembangkan missi mereka. Mereka dapat menikmati sedikit keleluasaan
untuk mengembangkan dakwah di berbagai penjuru. Faktornya adalah dua hal
berikut:
Pertama, banyaknya
buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan masyarakat bersemangat
untuk memperlajari ilmu-ilmu rasional dengan antusias. Di samping itu, peran
Ma`mun Al-Abasi (195-218 H.) juga tidak patut dilupakan. Ia menganut mazhab
Mu’tazilah yang sangat mendorong para pengikutnya untuk mengembangkan dan
mempelajari argumentasi-argumentasi rasional. Oleh karena itu, ia memberikan
kebebasan penuh kepada para pemikir dan teolog setiap agama untuk menyebarkan
teologi dan keyakinan mereka masing-masing. Para pengikut Syi’ah tidak
menyia-siakan kesempatan ini. Mereka mengembangkan jangkauan mazhab Syi’ah ke
berbagai penjuru kota dan mengadakan dialog dengan para pemimpin agama lain
demi mengenalkan keyakinan mazhab Syi’ah kepada khalayak ramai.
Kedua, Ma`mun
Al-Abasi mengangkat Imam Ridha a.s. sebagai putra mahkota. Dengan ini, para
keturunan Imam Ali a.s. dan sahabat mereka terjaga dari jamahan tangan para penguasa, dan menemukan ruang
gerak yang relatif bebas.
Akan tetapi,
kondisi ini tidak berlangsung lama. Karena setelah semua itu berlalu, politik
kotor dinasti Bani Abasiyah mulai merongrong para keturunan Imam Ali a.s. dan
pengikut mereka kembali. Khususnya pada masa Mutawakil Al-Abasi (232-247 H.). Atas
perintahnya, kuburan Imam Husein a.s. di Karbala` diratakan dengan tanah.
h.Syi’ah Pada Abad ke-4 H.
Pada abad
ke-4 H., dengan melemahnya kekuatan dinasti Bani Abasiyah dan kuatnya pengaruh
para raja dinasti Alu Buyeh yang menganut mazhab Syi’ah di Baghdad (pusat
khilafah Bani Abasiyah kala itu), terwujudlah sebuah kesempatan emas bagi para
penganut Syi’ah untuk mengembangkan mazhab mereka dengan leluasa. Dengan
demikian, --menurut pendapat para sejarawan--mayoritas penduduk jazirah Arab,
seperti Hajar, Oman, dan Sha’dah, kota Tharablus, Nablus, Thabariah, Halab dan
Harat menganut mazhab Syi’ah kecuali mereka yang berdomisili di kota-kota
besar. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab Ahlussunnah dan kota Kufah
sebagai pusat mazhab Syi’ah selalu terjadi gesekan-gesekan antar mazhab. Tidak
sampai di situ, penduduk kota Ahvaz dan Teluk Persia di Iran juga memeluk
mazhab Syi’ah.
Di awal abad
ini, seorang mubaligh yang bernama Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Hasan bin Ali
bin Umar bin Ali bin Imam Husein a.s. yang dikenal dengan sebutan Nashir
Uthrush (250-320 H.) melakukan aktifitas dakwahnya di Iran Utara dan berhasil
menguasai Thabaristan. Lalu ia membentuk sebuah kerajaan di sana. Sebelumnya,
Hasan bin Yazid Al-Alawi juga pernah berkuasa di daerah itu.
Pada abad ini
juga tepatnya tahun 296-527 H., dinasti Fathimiyah yang menganut mazhab Syi’ah
Isma’iliyah berhasil menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan besar di sana.
Sangat sering
terjadi gesekan-gesekan antar mazhab di kota-kota seperti Bahgdad, Bashrah dan
Nisyabur antara mazhab Ahlusunnah dan Syi’ah, dan di mayoritas gesekan antar
mazhab tersebut, Syi’ah berhasil menang dengan gemilang.
i. Syi’ah Pada Abad ke-5 hingga Abad ke-9 H.
Dari abad
ke-5 hingga abad ke-9 H., sistematika perkembangan mazhab Syi’ah tidak jauh
berbeda dengan sistematika perkembangannya pada abad ke-4. Perkembangannya
selalu didukung oleh kekuatan pemerintah yang memang menganut mazhab Syi’ah. Di
akhir abad ke-5 H., mazhab Syi’ah Isma’iliyah berkuasa di Iran selama kurang
lebih satu setengah abad dan ia dapat menyebarkan ajaran-ajaran Syi’ah dengan
leluasa. Dinasti Al-Mar’asyi bertahun-tahun berkuasa di Mazandaran, Iran.
Setelah masa mereka berlalu, dinasti Syah Khudabandeh, silsilah kerajaan Mongol
memeluk dan menyebarkan mazhab Syi’ah. Dan kemudian, raja-raja dari dinasti Aaq
Quyunlu dan Qareh Quyunlu yang berkuasa di Tabriz dan kekuasaan mereka
terbentang hingga ke daerah Kerman serta dinasti Fathimiyah di Mesir berhasil
menyebarkan mazhab Syi’ah ke seluruh masyarakat ramai.
Akan tetapi,
hal itu tidak berlangsung lama. Setelah dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran
dan dinati Alu Ayyub berkuasa, para pengikut Syi’ah mulai terikat kembali dan
mereka tidak bebas menyebarkan mazhab mereka. Banyak para tokoh Syi’ah yang
dipenggal kepalanya pada masa itu. Seperti Syahid Awal dan seorang faqih
kenamaan Syi’ah, Muhammad bin Muhammad Al-Makki dipenggal kepalanya pada tahun
786 H. di Damaskus karena tuduhan menganut mazhab Syi’ah, dan Syeikh Isyraq,
Syihabuddin Sahruwardi dipenggal kepalanya di Halab karena tuduhan mengajarkan
filsafat.
j. Syi’ah Pada Abad ke-10 hingga ke-11 H.
Pada tahun
906 H., Syah Isma’il Shafawi yang masih berusia 13 tahun, salah seorang keturunan
Syeikh Shafi Al-Ardabili (seorang syeikh thariqah
di mazhab Syi’ah dan meninggal pada tahun 153 H.), ingin mendirikan sebuah
negara Syi’ah yang mandiri. Akhirnya, ia mengumpulkan para Darwisy pengikut kakeknya dan mengadakan pemberontakan dimulai dari
daerah Ardabil dengan cara memberantas sistem kepemimpinan kabilah yang dominan
kala itu dan membebaskan seluruh daerah Iran dari cengkraman dinasti Utsmaniyah
dengan tujuan supaya Iran menjadi negara yang tunggal. Dan ia berhasil
mewujudkan cita-citanya tersebut sehingga sebuah kerajaan Syi’ah Imamiah
terbentuk dan berdaulat kala itu. Setelah ia meninggal dunia, kerajaannya
diteruskan oleh putra-putranya. Mazhab Syi’ah kala itu memiliki legistimasi
hukum yang sangat kuat sehingga semua organ pemerintah menganut mazhab Syi’ah.
Pada masa kecemerlangan dinasti Shafawiyah di bawah pimpinan Syah Abbas yang
Agung, kuantitas pengikut Syi’ah mencapai dua kali lipat penduduk Iran pada
tahun 1384 H.
k. Syiah Pada Abad ke-12 hingga ke-14 H.
Di tiga abad
terakhir ini, mazhab Syi’ah berkembang dengan sangat pesat, khususnya setelah
ia menjadi mazhab resmi Iran setelah kemenangan Revolusi Islam. Begitu juga di
Yaman dan Irak, mayoritas penduduknya memeluk mazhab Syi’ah. Dapat dikatakan
bahwa di setiap negara yang penduduknya muslim, akan ditemukan para pemeluk
Syi’ah. Di masa sekarang, diperkirakan bahwa pengikut Syi’ah di seluruh dunia
berjumlah 300.000 .000 lebih.
Bismillahirrahmanirrahim
Sebelum kita
membahas mengenai sejarah kemunculan Syi’ah dan aneka ragam aliran yang ada di
dalamnya, ada baiknya --secara global-- kita mengetahui terlebih dahulu
definisi agama, Islam dan Syi’ah.
http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/1.htm
a.Agama
Tidak
diragukan lagi bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan untuk hidup
bermasyarakat dengan sesama jenisnya. Di dalam hidup bermasyarakat tersebut
sangat sering terjadi aktifitas, seperti makan, minum, tidur, berbicara,
berkorelasi dan lain sebagainya yang secara lahiriah berbeda dari satu individu
ke individu yang lain. Akan tetapi, pada hakikatnya semua aktifitas tersebut sangat
berhubungan erat antara yang satu dengan lainnya. Semua aktifitas tersebut
memiliki aturan dan ketentuan tertentu yang menyebabkan setiap aktifitas tidak layak
dikerjakan kecuali dalam ruang lingkup yang sesuai dengan eksistensinya.
Apa yang diinginkan oleh manusia dengan semua aktifitas itu? Jawabannya sangat mudah dan
jelas. Ia ingin memiliki sebuah kehidupan yang terhormat bagi dirinya dan --sebisa
mungkin-- ia ingin menggapai semua tujuan hidup yang telah dicanangkannya. Untuk
merealisasikan hal itu, ia akan selalu berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan
hidupnya demi menikmati hidup yang lebih lama.
Dari sinilah,
supaya tidak terjadi gesekan-gesekan dengan masyarakatnya yang dapat
memngundang kebinasaannya, ia akan selalu melaksanakan semua aktifitasnya sesuai
dengan hukum dan undang-undang yang telah disepakati oleh masyarakatnya, baik
undang-undang tersebut adalah buatan mereka sendiri atau hasil menyontek dari orang
lain. Pokoknya, ia akan memilih sebuah metode khusus yang sesuai dengan
keinginannya dalam menjalani kehidupan ini.
Undang-undang
yang telah disepakati tersebut pasti dilandasi oleh satu keyakinan mendasar
yang dijadikannya sebagai pegangan utama dalam hidupnya. Itu adalah pandangan
dunianya. Orang yang meyakini bahwa dunia ini hanyalah materi dan manusia
adalah makhluk materi belaka yang dengan ditiupkannya ruh ke dalam tubuhnya, ia
akan hidup dan dengan dicabutnya kembali ruh tersebut, ia akan binasa, segala
usahanya akan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan materi ini belaka. Dan sebaliknya,
orang yang meyakini bahwa di samping kehidupan materi ini, manusia juga akan memiliki
kehidupan kekal di alam akhirat dan ia akan mendapat balasan yang setimpal di
sana, ia akan berusaha untuk memenuhi kehidupan materi ini dan menyelamatkan
diri dari azab Ilahi di alam sana. Dengan kata lain, ia akan berusaha untuk
memperoleh kebahagiaan di alam materi ini dan di alam kiamat kelak.
Gabungan antara
pandangan dunia dan undang-undang yang sesuai dengan pandangan dunia ini
disebut agama. Dan jika agama
itu memiliki aliran-aliran cabang yang tentunya akan saling berbeda antara satu
dengan lainnya, aliran tersebut dinamakan mazhab. Seperti Syi’ah dan Ahlussunnah
dalam agama Islam dan Protestan dan Katolik dalam agama Kristen.
Dengan penjelasan
global di atas dapat ditari sebuah kesimpulan bahwa setiap manusia --meskipun
ia tidak meyakini adanya Tuhan-- pasti memiliki sebuah “agama” yang akan dipraktekkan
dalam kehidupannya sehari-hari. Dan tentunya, orang yang memilih agama yang
telah ditentukan oleh Allah SWT sebagai pencipta alam semesta, niscaya ia akan
bahagia. Sementara orang yang memilih selain agama tersebut, akibatnya akan
fatal, baik di dunia ini maupun di alam akhirat kelak.
b.Islam
Secara lenguistik, Islam adalah pasrah
terhadap sesuatu. Arti teminologisnya tidak jauh berbeda dengan arti
lenguistiknya. Dan Al Quran menamakan agama yang telah ditentukan oleh Allah
dengan Islam, karena pokok ajarannya
adalah kepasrahan manusia kepada segala ketentuan dan undang-undang yang telah
ditentukan oleh-Nya. Konsekuensinya, ia tidak akan menyembah selain Tuhan yang
Esa.
c. Syi’ah
Secara lenguistik,
Syi’ah adalah pengikut. Seiring
dengan bergulirnya masa, secara terminologis Syi’ah hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa hanya
Rasulullahlah SAWW yang berhak menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya.
Dan dalam semua hal, mereka hanya mengikuti ajaran Ahlul Bayt a.s.
Aliran-aliran Cabang dalam Syi’ah
http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/3.htm
Setiap mazhab
memiliki ajaran-ajaran pokok sebagai pondasi mazhab tersebut. Dengan
bergulirnya masa, akan ditemukan beberapa ajaran baru yang berbeda dengan
dengan ajaran-ajaran tersebut dari segi kurus dan gemuknya. Sebagai contoh,
satu mazhab meyakini bahwa harus ada sistem imamah yang ditentukan oleh pembawa
Syari’at sebagai penerus keberlangsungan dakwah Rasulullah SAWW. Ini adalah
sebuah ajaran pokok yang harus dimiliki oleh mazhabnya. Akan tetapi,
kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat di antara para pemeluknya dalam
menentukan siapakah yang berhak menjadi imam sebagai penerusnya. Dengan
demikian, akan muncul aliran baru yang merupakan cabang dari mazhab itu.
Mayoritas agama langit seperti agama Yahudi, Kristen, Majusi dan Islam
mengalami realita tersebut di atas.
Mazhab Syi’ah
pun tidak terkecualikan dari realita ini. Pada masa hidupnya Imam Ali a.s.,
Imam Hasan a.s. dan Imam Husein a.s. tidak terjadi perpecahan dalam tubuh
mazhab Syi’ah. Setelah Imam Husein a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah
menjadikan Imam Ali As-Sajjad a.s. sebagai imam keempat dan kelompok minoritas
yang dikenal dengan sebutan “Kaisaniyah” menjadikan putra ketiga Imam Ali a.s.
yang bernama Muhammad bin Hanafiah sebagai imam keempat dan mereka meyakini
bahwa ia adalah Imam Mahdi a.s. yang ghaib di gunung Ridhawi. Di akhir zaman ia
akan muncul kembali.
Setelah Imam
Sajjad a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah mengakui Imam Baqir a.s.,
putranya sebagai imam Syi’ah dan kelompok minoritas meyakini Zaid, putranya
yang lain sebagai penggantinya. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama
Syi’ah Zaidiyah.
Pasca
syahadah Imam Baqir a.s., para pengikut Syi’ah menjadikan Imam Ja’far
Ash-Shadiq a.s., putranya sebagai imam keenam Syi’ah. Dan setelah Imam Shadiq
a.s. syahid, para pengikut Syi’ah terpecah menjadi lima golongan:
a.
Mayoritas pengikut Syi’ah yang
meyakini Imam Musa Al-Kazhim a.s., putranya sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.
b.
Kelompok kedua menjadikan
putra sulungnya yang bernama Ismail sebagai imam Syi’ah yang ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal
dengan nama “Syi’ah Ismailiyah”.
c.
Kelompok ketiga menjadikan
putranya yang bernama Abdullah Al-Afthah sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.
Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Fathahiyah”.
d.
Kelompok keempat menjadikan
putranya yang bernama Muhammad sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.
e.
Kelompok kelima menganggap
bahwa Imam Shadiq a.s. adalah imam Syi’ah terakhir dan tidak ada imam lagi
sepeningalnya.
Setelah Imam
Musa Al-Kazhim a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah meyakini Imam Ridha a.s.,
putranya sebagai imam Syi’ah yang kedelapan dan kelompok minoritas dari mereka
mengingkari imamahnya dan menjadikan Imam Kazhim a.s. sebagai imam Syi’ah
terakhir. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Waqifiyah”.
Setelah Imam
Ridha a.s. syahid hingga lahirnya Imam Mahdi a.s., di dalam tubuh Syi’ah tidak
terjadi perpecahan yang berarti. Jika terjadi perpecahan pun, itu hanya
berlangsung beberapa hari dan setelah itu sirna dengan sendirinya. Seperti
peristiwa Ja’far bin Imam Ali Al-Hadi a.s., saudara Imam Hasan Al-Askari a.s.
yang mengaku dirinya sebagai imam Syi’ah setelah saudaranya syahid.
Semua
kelompok dan aliran cabang di atas telah sirna dengan bergulirnya masa kecuali tiga
aliran yang hingga sekarang masih memiliki pengikut yang tidak sedikit. Tiga
aliran Syi’ah tersebut adalah Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah dan Syi’ah
Imamiah Itsna ‘Asyariyah.
a.Syi’ah Zaidiyah
Zaidiyah
adalah para pengikut Zaid bin Ali As-Sajjad a.s. Pada tahun 121 H., ia mengadakan
pemberontakan terhadap Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah dinasti
Bani Umaiyah. Sebagian masyarakat berbai’at dengannya dan ketika terjadi
peperangan di Kufah antara kelompoknya dan tentara penguasa, ia syahid. Ia
dianggap sebagai imam Syi’ah yang kelima oleh para pengikutnya. Setelah ia syahid,
putranya yang bernama Yahya menggantikan keududukannya. Yahya sempat mengadakan
pemberontakan terhadap Walid bin Yazid. Setelah ia meninggal dunia, Muhammad
bin Abdullah dan Ibrahim bin Abdullah menggantikan kedudukannya sebagai imam
Syi’ah. Mereka sempat mengadakan pemberontakan terhadap Manshur Dawaniqi, salah
seorang khalifah dinasti Bani Abasiyah dan terbunuh dalam sebuah peperangan.
Setelah
mereka terbunuh, Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang hampir menyebabkan
kelompok ini punah. Pada tahun 250-320 H., Nashir Uthrush, salah seorang anak
cucu saudara Zaid bin Ali, mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan.
Karena dikejar-kejar oleh pihak penguasa yang berusaha untuk membunuhnya, ia
melarikan diri ke Mazandaran yang hingga saat itu penduduknya belum memeluk
agama Islam. Setelah 13 tahun bertabligh, ia akhirnya dapat mengislamkan
mayoritas penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka penganut mazhab Syi’ah
Zaidiyah. Dengan bantuan mereka, ia dapat menaklukkan Thabaristan dan daerah
itu menjadi pusat bagi kegiatan Syi’ah Zaidiyah.
Menurut
keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah
Az-Zahra` a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi
kelaliman, bisa menjadi imam. Syi’ah Zaidiyah menggabungkan dua ajaran dalam
mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu’tazilah dan dalam
bidang furu’uddin ia menganut paham Hanafiah.
b.Syi’ah Ismailiyah dan Aliran-aliran Cabangnya
Ø Bathiniyah
Imam Shadiq
a.s. mempunyai seorang putra sulung yang bernama Ismail. Ia meninggal dunia
ketika ayahnya masih hidup. Imam Shadiq a.s. mempersaksikan kepada seluruh
khalayak bahwa putranya yang bernama Islma’il telah meninggal dunia. Ia pun
telah mengundang gubernur Madinah kala itu untuk menjadi saksi bahwa putranya
itu telah meninggal dunia. Meskipun demikian, sebagian orang meyakini bahwa ia
tidak meninggal dunia. Ia ghaib dan akan muncul kembali. Ia adalah Imam Mahdi
a.s. yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya. Mereka meyakini bahwa
persaksian Imam Shadiq a.s. di atas hanyalah sebuah taktik yang dilakukannya untuk
mengelabuhi Manshur Dawaniqi karena khawatir ia akan membunuhnya.
Sebagian
kelompok meyakini bahwa imamah adalah hak mutlak Ismail yang setelah
kematiannya, hak itu berpindah kepada putranya yang bernama Muhammad. Akan
tetapi, sebagian kelompok yang lain meyakini bahwa meskipun Ismail telah
meninggal dunia ketika ayahnya hidup, ia adalah imam yang harus ditaati.
Setelah masanya berlalu, imamah itu berpindah kepada putranya yang bernama
Muhammad bin Ismail dan akan diteruskan oleh para anak cucunya.
Dua kelompok
pertama telah punah ditelan masa. Kelompok ketiga hingga sekarang masih
memiliki pengikut dan mengalami perpecahan internal juga.
Secara
global, Ismailiyah memiliki ajaran-ajaran filsafat yang mirip dengan filsafat
para penyembah bintang dan dicampuri oleh ajaran irfan India. Mereka meyakini
bahwa setiap hukum Islam memiliki sisi lahiriah dan sisi batiniah. Sisi
lahiriah hukum hanya dikhususkan bagi orang-orang awam yang belum berhasil
sampai kepada strata spiritual yang tinggi. Oleh karena itu, mereka harus
melaksanakan hukum tersebut dengan praktik rutin sehari-hari.
Mereka juga
meyakini bahwa hujjah Allah ada dua macam: nathiq
(berbicara) dan shaamit (diam).
Hujjah yang pertama adalah Rasulullah SAWW dan hujjah yang kedua adalah imam
sebagai washinya.
Bumi ini
tidak akan pernah kosong dari hujjah Allah, dan hujjah tersebut selalu
berjumlah 7 orang. Ketika seorang nabi diutus, ia akan memiliki syari’at dan
wilayah. Setelah ia meninggal dunia, tujuh washi
datang silih berganti untuk meneruskan ajarannya. Ketujuh washi tersebut memiliki kedudukan yang sama, yaitu kewashian kecuali washi terakhir. Ia memiliki tiga kedudukan sekaligus: kenabian, kewashian dan wilayah. Dan begitulah
seterusnya, setelah washi ketujuh
meninggal dunia, ia akan memiliki tujuh orang washi dan washinya yang
ketujuh memiliki tiga kedudukan di atas sekaligus.
Menurut
keyakinan mereka, Nabi Adam a.s. diutus dengan mengemban kenabian dan wilayah. Setelah
meninggal dunia, ia memiliki tujuh orang washi.
Washinya yang ketujuh adalah Nabi Nuh a.s. yang memiliki kedudukan
kenabian, kewashian dan wilayah. Nabi
Ibrahim a.s. adalah washi ketujuh
Nabi Nuh a.s., Nabi Musa a.s. adalah washi
ketujuh Nabi Ibrahim a.s., Nabi Isa a.s. adalah washi ketujuh Nabi Musa a.s., Muhammad bin Ismail adalah washi ketujuh Rasulullah SAWW (Imam Ali
a.s., Imam Husein a.s., Imam Sajjad a.s., Imam Baqir a.s., Imam Shadiq a.s.,
Ismail dan Muhammad bin Ismail). Setelah Muhammad bin Ismail, terdapat tujuh
orang washi yang nama dan identitas
mereka tidak diketahui oleh siapa pun. Dan setelah masa tujuh orang washi tak dikenal itu berlalu, terdapat
tujuh orang washi lagi. Mereka adalah
tujuh raja pertama dinasti Fathimiyah di Mesir. Raja pertama adalah Ubaidillah
Al-Mahdi.
Mereka juga
meyakini bahwa di samping hujjah-hujjah Allah tersebut, terdapat dua belas
orang nuqaba`. Mereka adalah para
sahabat pilihan hujjah-hujjah Allah tersebut. Akan tetapi, sebagian aliran
cabang Ismailiyah yang bernama Bathiniyah (Duruziyah) meyakini bahwa enam orang
dari dua belas nuqaba` tersebut
adalah para imam dan enam yang lainnya adalah selain imam.
Pada tahun
278 H., beberapa tahun sebelum Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika,
seorang misterius yang berasal dari Khuzestan, Iran dan tidak pernah
menyebutkan identitas dirinya muncul di Kufah. Di siang hari ia selalu berpuasa
dan di malam hari ia selalu beribadah. Ia tidak pernah meminta bantuan dari orang
lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia mengajak masyarakat setempat untuk
menganut mazhab Ismailiyah dan mereka menjawab ajakannya. Kemudian ia memilih
dua belas orang di antara pengikutnya sebagai nuqaba`. Setelah itu, ia keluar dari Kufah untuk menuju ke Syam dan
tidak lama kemudian ia menghilang.
Setelah orang
tak dikenal itu menghilang, ada seseorang yang bernama Ahmad dan dikenal dengan
julukan Qirmith menggantikan kedudukannya untuk menyebarkan ajaran-ajaran
Bathiniyah. Para sejarawan mengatakan bahwa ia menciptakan shalat baru sebagai
ganti dari shalat lima waktu yang telah ditetapkan oleh Islam, menghapus mandi
jenabah dan menghalalkan khamer. Para pemimpin Bathiniyah mengajak masyarakat
untuk memberontak terhadap para penguasa waktu itu.
Para pengikut
Bathiniyah ini menganggap halal darah orang-orang yang tidak mengikuti ajaran
Bathiniyah. Atas dasar keyakinan ini, mereka pernah mengadakan pembunuhan dan
perampokan besar-besaran di Irak, Bahrain, Yaman dan kota-kota sekitar. Sering
kali mereka merampok kafilah haji yang sedang menuju Makkah dan membunuh semua
orang yang ada di kafilah tersebut.
Abu Thahir
Al-Qirmithi, salah seorang pemimpin Bathiniyah menaklukkan Bashrah pada tahun
311 H. dan ia membunuh penduduk secara besar-besaran serta merampok semua harta
yang mereka miliki. Pada tahun 317 H., ia bersama para pengikut Bathiniyah
pergi ke Makkah dan setelah terjadi pertempuran kecil antara mereka dan pasukan
keamanan pemerintahan setempat, mereka dapat mengalahkan pasukan tersebut dan
berhasil memasuki kota suci Makkah. Begitu memasuki kota Makkah, semua jenis
pembunuhan dan perampokan mereka lakukan. Masjidil Haram pun sudah tidak
memiliki arti bagi mereka. Dari dalam masjid suci tersebut darah mengalir bak
air mengalir di dalam parit. Kain penutup Ka’bah mereka robek-robek dan
dibagikan di antara mereka sendiri. Tidak hanya sampai di situ, pintu Ka’bah
mereka hancurkan dan Hajar Aswad mereka bawa ke Yaman. Hajar Aswad berada di
tangan Qaramithah selama 22 tahun.
Karena
perilaku mereka yang asusila dan menentang agama, mayoritas pengikut Bathiniyah
yang lain menganggap kelompok ini telah keluar dari agama Islam. Ubaidillah
Al-Mahdi sendiri yang waktu itu adalah khalifah pertama dinasti Fathimiyah di
Mesir, pemimpin mazhab Ismailiyah dan menganggap dirinya adalah Imam Mahdi a.s.
yang telah dijanjikan oleh hadis-hadis mutawatir, menyatakan tidak ikut campur
tangan berkenaan dengan mazhab Qaramithah.
Ø Nazzariyah dan Musta’liyah
Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika (tepatnya di Mesir) pada tahun 296 H. dan ia
adalah pendiri dinasti Fathimiyah. Mazhab yang dianutnya adalah Syi’ah
Ismailiyah. Setelah ia meninggal dunia, tujuh orang dari keturunannya
meneruskan dinastinya tanpa terjadi perpecahan di dalam tubuh mazhab
Ismailiyah. Perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah terjadi setelah raja
ketujuh dinasti Fathimiyah, Mustanshir Billah Sa’d bin Ali meninggal dunia. Ia
memiliki dua orang putra yang masing-masing bernama Nazzar dan Musta’li.
Setelah ayah mereka meninggal dunia, terjadi persengketaan di antara kakak dan
adik tersebut berkenaan dengan urusan khilafah. Setelah terjadi peperangan di
antara mereka yang memakan banyak korban, Musta’li dapat mengalahkan Nazzar. Ia
mengangkap Nazzar dan menghukumnya hingga ajal menjemputnya.
Setelah persengketaan
tersebut, dinasti Fathimiyah yang bermazhab Ismailiyah terpecah menjadi dua
golongan: Nazzariyah dann Musta’liyah.
Nazzariyah adalah para
pengikut Hasan Ash-Shabaah, seseorang yang pernah memiliki hubungan dekat
dengan Mustanshir Billah. Setelah Mustanshir Billah meninggal dunia, ia diusir
dari Mesir oleh Musta’li karena dukungannya terhadap Nazzar. Ia lari ke Iran,
dan akhirnya muncul di benteng “Al-Maut” yang berada di sebuah daerah dekat
kota Qazvin. Ia berhasil menaklukkan benteng tersebut dan benteng-benteng yang
berada di sekitarnya. Kemudian, ia memerintah di situ. Sejak pertama kali
memerintah, ia mengajak penduduk sekitar untuk menghidupkan kembali nama baik
Nazzar dan mengikuti ajaran-ajarannya.
Setelah Hasan
Ash-Shabaah meninggal dunia pada tahun 518 H., Buzurg Oumid Rudbari
menggantikan kedudukannya dan setalah ia meninggal dunia, putranya yang bernama
Kiyaa Muhammad mengganti kedudukannya. Keduanya memerintah dengan mengikuti
cara dan metode Hasan Ash-Shabaah. Sepeninggal Kiyaa Muhammad, putranya yang
bernama Hasan Ali Dzikruhus Salam menggantikan kedudukannya. Ia menghapus semua
cara dan ajaran Hasan Ash-Shabaah dan mengikuti ajaran-ajaran aliran
Bathiniyah.
Hal ini terus
berjalan lancar hingga Holaku Khan dari dinasti Mongol menyerang Iran. Ia
berhasil menguasai semua benteng pertahanan mazhab Ismailiyah dan
menyamaratakannya dengan tanah. Setelah peristiwa itu berlalu, Aqa Khan
Mahallati yang bermazhab Nazzariyah memberontak terhadap Qajar Syah. Di sebuah
pertempuran yang terjadi di Kerman, ia kalah dan melarikan diri ke Bombay,
India. Setelah sampai di Bombay, ia mulai menyebarkan ajaran-ajaran Nazzariyah.
Ajaran-ajarannya sampai sekarang masih diikuti oleh penduduk di sana. Dengan
ini, aliran Nazzariyah juga dikenal dengan sebutan “Aqa-khaniyah”.
Musta’liyah adalah para
pengikut Musta’li, salah seorang raja dinasti Fathimiyah yang pernah berkuasa
di Mesir. Aliran ini akhirnya musnah pada tahun 557 H. Setelah beberapa tahun
berlalu, sebuah aliran baru muncul di India yang bernama “Buhreh” (Buhreh
adalah bahasa Gujarat yang berarti pedagang) dan meneruskan ajaran-ajaran
Musta’liyah yang hingga sekarang masih memiliki pengikut.
Ø
Duruziyah
Pada mulanya
Duruziyah adalah para pengikut setia para kahlifah dinasti Fathimiyah. Akan
tetapi, ketika Khalifah keenam dinasti Fathimiyah memegang tampuk kekuasaan,
atas ajakan Neshtegin Duruzi mereka memeluk aliran Bathiniyah. Mereka meyakini
bahwa Al-Hakim Billah ghaib dan naik ke atas langit. Ia akan muncul kembali di
tengah-tengah masyarakat.
Ø
Muqanni’iyah
Pada mulanya
Muqanni’iyah adalah pengikut ‘Atha` Al-Marvi yang lebih dikenal dengan sebutan
Muqanni’. Ia adalah salah seorang pengikut Abu Muslim Al-Khurasani. Setelah
Abu Muslim meninggal dunia, ia mengaku bahwa ruhnya menjelma dalam dirinya.
Tidak lama setelah itu, ia mengaku nabi dan kemudian mengaku dirinya Tuhan. Pada
tahun 163 H., ia dikepung di benteng Kish yang berada di salah satu negara-negara
Maa Wara`annahr. Karena yakin dirinya
akan tertangkap dan akhirnya terbunuh, ia menyalakan api unggun lalu terjun ke
dalamnya bersama beberapa orang pengikutnya. Para pengikutnya akhirnya menganut
mazhab Ismailiyah yang beraliran faham Bathiniyah.
c. Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah
Mayoritas
Syi’ah adalah Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah. Seperti yang telah disinggung di
atas, mazhab ini memisahkan diri dari mayoritas muslimin setelah Rasulullah
SAWW meniggal dunia dikarenakan dua faktor urgen yang tidak diindahkan oleh
mayoritas muslimin kala itu. Dua faktor urgen tersebut adalah imamah (kepemimpinan)
dan kewajiban untuk merujuk kepada Ahlul Bayt a.s. dalam segala bidang ilmu
pengetahuan.
Mereka
meyakini bahwa Rasulullah SAWW adalah penutup semua nabi dan para imam a.s.
tersebut --berdasarkan hadis-hadis mutawatir yang disabdakan olehnya-- berjumlah
dua belas orang, tidak lebih dan tidak kurang.
Mereka juga meyakini
bahwa Al Quran mencakup semua hukum yang diperlukan oleh kehidupan manusia dan
hukum-hukum tersebut tidak akan pernah mengalami perubahan dan renovasi. Bahkan
hukum-hukum tersebut adalah kekal dan abadi hingga hari kiamat.
Dari sini
dapat diketahui perbedaan mendasar antara Syi’ah Imamiah, Syi’ah Zaidiyah dan
Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Zaidiyah meyakini bahwa imamah bukanlah hak
prerogatif Ahlul Bayt a.s. dan para imam tidak berjumlah dua belas orang serta
mereka tidak mengikuti fiqih Ahlul Bayt a.s. Sementara, Syi’ah Ismailiyah
meyakini bahwa para imam berjumlah tujuh orang, Rasulullah SAWW bukanlah
penutup para nabi dan hukum-hukum syari’at bisa dirubah. Bahkan --menurut
keyakinan Bathiniyah-- kewajiban manusia sebagai makhluk Allah (taklif) bisa dihapus total.
SEJARAH ISLAM AWAL YANG MEMRLUKAN KEJERNIHAN DAN KEJUJURAN.. DEMI UMAT YANG HARUS BERSATU..
BalasHapusSEMOGA SEMUA KITA BISA BELAJAR DENGAN KEBESARAN JIWA..SEMOGA KITA DAPAT MEMETIK RUH ISLAM YANG LUHUR YANG DIAJARKAN DAN DICONTOHKAN RASULULLAH SAW..SEUTUHNYA...
SEMOGA KITA BELAJAR TULUS..
saya yang awam sangat tidak dapat memahami... mengapa Syd Ali RA tidak diajak berembuk pada saat pemilihan khalifah awal.. bahkan konon sahabat2 yang setia kpd ahlul bayt cq Fathimah/Syd Ali agak masygul...karena para sahabat senior itu seperti kurang menghargai kondisi Rasulullah SAW yang sedang dalam sakit keras..bahkan saat wafatnya..dan dalam suasana duka malah para senior itu sibuk memperebutkan kekhalifahan..antara kelompok Madinah dan kelompok Makkah..?? Benarkah..??
sesungguhnya konon sudah ada arahan secara langsung dan terbuka dari Rasulullah SAW bagaimana seharusnya kekhalifahan dilaksanakan pasca Rasulullah SAW..
Yang anehnya lagi.. ada beberapa pendapat pembelaan terhadap cara2 tersebut.. dengan berbagai dalih...
namun fakta sejarah berlanjut..dengan pengucilan Syd Ali RA yang tidak masuk dalam jajaran Kekhalifahan awal...hingga terjadi berbagai protes dan seakan perlawanan rakyat yang tentu saja langsung dapat diatasi..diawalnya..dan konon puncaknya pada kekhalifahan Utsman RA..
Walaupun Syd Ali sempat jadi khalifah..tetapi para senior dan kelompok2 khalifah masa lalu yng sudah kuat kedudukannya memberontak dan membuat kekacauan..dengan berbagai isue perpecahan umat..hingga harus berperang sesama muslim dan sesama sahabat...
Dalam kekalahan diplomasi culas oleh kelompok Muawiyah..malahan Syd Ali RA yang sudah tidak lag sebagai khalifah.. dibunuh secara sangat culas oleh permainan politik dan inteligen penguasa..yang konon dibela sebagai adanya kelompok2lain yang sangat engkar dan radikal.. Namun setelah Syd Ali terbunuh..Penguasa2 itu berlanjut dengan membunuh seluruh keluarga Syd Ali RA sampai semwa anak cucu-cicitnya..?? berpuluh tahun bahkan ratusan tahun hingga kini semwa pengikut Syd Ali sangat dimusuhi oleh mazhab yang konon dahulunya pendukung yang memusushi Ali RA..
INI FENOMENA APA? ADA APA? SEBAB APA? MENGAPA HARUS DEMIKIAN KEJAM KEPADA AJARAN SYD ALI RA..?? TENTU ADA BERBAGAI DALIH DAN ALASAN..BAIK YANG SEAKAN LOGIS..BAHKAN ADA YANG LANGSUNG MENGUTUKNYA..?? INI ADA APA?? KENAPA UMAT ISLAM KOK JADI BEGINI..?? TERLEBIH SETELAH CAMPUR TANGAN PARA PENJAJAH NON MUSLIM BERKUASA..MAKA SEMAKIN RUNYAM DAN SEMAKIN BANYAK ISUE PERPECAHAN UMAT ISLAM INI??
KENAPA DAN ALASAN APA AJARAN SYD ALI RA DAN PARA PENGIKUTNYA HARUS DIBURU DAN DITIDAS SESDEMIKIAN RUPA...BAHKAN SEAKAN HARUS DIMUSNAHKAN..?? BAHKAN TERKADANG DENGAN SEGALA CARA DAN ALASAN..TERMASUK KOLABORASI DENGAN PARA PENJAJAH NON MUSLIM?? ADA APA DENGAN AJARAN SYD ALI R.A. SESUNGGUHNYA??
INI MENJADI KEWAJIBAN KITA UMAT ISLAM UNTUK KEMBALI BERSATU-BERSILATURAHIM-BERSAUDRA-DAN MEMBANGUN UMAT YANG KUAT DAN SATU.. DAN MEMBANGUN KEMANDIRIAN DAN KEJAYAAN ISLAM SEUTUHNYA... HENTIKAN PERTIKAIAN..DAN IKHLASKAN HATI UNTUK SALING TERBUKA..SECARA TULUS DAN JUJUR...
KONON BANYAK HADIS PALSU DICIPTAKAN KARENA DEMIKIAN KUATNYA HASRAT PENGUASA UNTUK MENGHANCURKAN KELOMPOK SYD ALI RA..YANG KONON MEMBAWA AJARAN YANG KUHUR..DAN AKHLAK MULIA..??
SEMOGA KITA SEMUA BISA BERSABAR DAN SALING BELAJAR..DAN MEMILAH DAN MEMILIH APA YANG SEMESTINYA DAN SEBENARNYA..DEMI KELUHURAN ISLAM DAN UMAT ISLAM..
MAAFKAN KALAU ADA SSUATU YANG GK BERKENAN...