MELACAK KELOMPOK PENGKHIANAT KEPADA IMAM ALI as, IMAM HASAN as DAN IMAM HUSAIN as DARI MASYARAKAT KUFFAH (1) Struktur Sosial Penyusun Masyarakat Kufah
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma sholi ala muhammad wa ali muhammad
Para pengikut sekte Nawashib sudah sejak lama membuat tuduhan yang
menyebut syiah telah melakukan pengkhianatan kepada Imam mereka sendiri.
Kepada Ali bin Abi Thalib, orang-orang syiah yang semula mendukung Ali,
kemudian balik memusuhi dan mengkhianati dengan membentuk aras baru
bernama khawarij. Nawashib menuduh, khawarij lahir dari rahim syiah dan
mereka semula adalah orang-orang syiah. Kepada Hasan, syiah kembali
berkhianat dengan melakukan penyerangan kepada Imam mereka sendiri, dan
puncak pengkhianatan syiah adalah dengan dikirimnya 18.000 surat yang
ditulis oleh warga kufah kepada Imam Husain
Tuduhan tersebut adalah sebagai bentuk kedustaan belaka, karena
faktanya, kalangan sejahrawan ahlu sunnah sendiri tidak pernah
menyebutkan bahwa telah terjadi pengkhianatan syiah kepada Imam Ali as,
Imam Hasan as dan Imam Husain as. Para sejahrawan ahlu sunnah
menuliskan bahwa para pengkhianat itu dilakukan oleh para badut politik
yang hendak melakukan tawar menawar politik demi meraih peruntungan
pribadi.
Sejahrwan ahlu sunnah menyebut para pengkhianat ini dengan sebutan
Asyraf al Qaba’il, menariknya kelompok ini terbentuk dari hasil
kebijakan Abu Bakar di perteguh oleh Umar bin Khatab dan sempurna
ditangan Usaman bin Affan. Melalui artikel ini ibnu jawi al jogjakartani
mencoba melacak jejak siapakah kelompok Asyraf al Qaba’il dan
bagaimana motif-motif pengkhinatanya.
DEMOGRAFI MASYARAKAT KUFAH
Untuk mengetahui siapakah masyarakat kufah dan kecendrungan aliranya
maka yang perlu dilihat dalah struktur kemasyarakat (demografi) dari
penghuni kufah tersebut. Ibnu Jawi al Jogjakartani sebelumnya telah
menulis komposisi masyarakat kufah dalam tulisan ”Syiah terlibat dalam
pembunuhan Imam husain as ?” untuk lebih jelasnya silahkan merujuk ke
blog kami syiahnews.wordpress.com. Namu secara sepintas kami akan
mengulang sebagian pada artikel ini.
Menurut Baladzuri (Futuh al Buldan) kota Kufah didirikan pada Tahun
17/638, sekitar tiga tahun setelah Umar bin Khatab menjabat khalifah di
Madinah, kota ini didirikan atas perintah khalifah kepada Sa’ad bin Abi
Waqqas, usai pasukan Muslimin memperoleh kemenangan dalam pertempuran al
Qadisiyah (15/636H). Lamanya jarak pendirian kota Kufah yang memakan
waktu dua tahun tersebut, disebabkan pada faktor pemilihan lokasi, bahwa
tempat tersebut harus sesuai dengan lingkungan orang Arab serta dapat
memenuhi kebutuhan mereka. Sa’ad meminta bantuan Salman al Farisi dan
Hudzaifah al Yamani, dan pilihan jatuh di tepi barat sungai Efrat dekat
Hira kota lama Persia.
Kota Kufah semula ditujukan sebagai garninsun prajurit Islam, menilik
dari instruksi Umar bin Khatab yang menyebut, agar memilih tempat untuk
tentara Islam sebagai dar hijrah (tempat beremigrasi dalam Istilah TNI
disebut sebagai Garninsun) dan markas untuk melancarkan perang (dalam
surat Umar disebut Manzil Jihad). Baladzuri menambahkan bahwa tempat
tersebut dikemudian hari dapat difungsikan sebagai tempat berkumpulnya
kesatuan-kesatuan militer ( dalam surat umar menyebut qayrawan/ kalau di
Indonesia sejenis dengan Resimen Induk Daerah Militer (RINDAM)) Dan
kota tersebut sesuai perencanaanya kemudian menjadi Qayrawan Kufah
(kalau dibahasa indonesiakan RESIMEN INDUK DAERAH MILITER /RINDAM
KUFAH). Kesatuan-kesatuan yang berkumpul disini, menurut Baladzuri,
berasal dari veteran Al Qadisiyah atau dikenal sebagai Ahl Al Ayyam Wa
al Qadisiyah.
Menurut sarjana ahlu sunnah Muhammad Jafri dalam bukunya Origin and Early Development of shi’a Islam hal
149, Orang-orang Arab (termasuk para sahabat) tidak banyak pengalaman
dalam mendirikan kota. Konsepsi kota sebagai unit politik dan sosial
yang komplek masih terasa asing bagi mereka. Kota-kota di tanah mereka
berasal seperti Thaif, makkah dan Madinah, unit sosio politiknya
bukanlah kota melainkan kabilah/suku. Sementara itu kesatuan-kesatuan
militer Islam tersebut sangat heterogen sehingga diperlukan cara
penyusunan administratif dan bagaimana melakukan deployment tempat
tinggal mereka.
Oleh karenanya kemudian Sa’ad bin abi waqash sebagimana diceritakan
oleh Baladzuri dan Yaqut (Mu’jam al Buldan IV/323) menyusun masyarakat
kufah kedalam katagori kesukuan yang luas, yaitu Kelompok Nizari (Orang
Arab Utara) yang diberikan tempat diwilayah Barat dan Kelompok Yamani (
Orang Arab Selatan) tinggal di wilayah Timur, wilayah tinggal
tersebut dibatasi ditengah-tengahnya dengan Masjid, Baitul Mal dan
kediaman Gubernur Kufah.
Tetapi penempatan dengan cara membagi wilayah kufah menjadi dua
tempat, kemudian terbukti gagal dan menimbulkan persoalan, menurut
Thabari (Tarikh I/2495) permasalahan yang dihadapi masyarakt kufah yang
disusun atas para wajib militer ini adalah kesukaran dalam
pendistribusian gaji (diwan) yang merupakan sumber pendapatan penduduk
kufah.
Sebagai solisunya, sebagaiaimana diceritakan oleh Thabari, Umar bin
Khatab (Tarikh I/2496) memerintahkan kepada Saad bin Abi Waqash agar
mereorganisir populasi penduduk kufah dengan cara seperti menyusun
masyarakat seperti sebelum islam datang (pra Islam). Para penduduk kufah
akan dikelompkan berdasarkan organisasi kesukuan tradisional arab
dimana klan atau suku-suku dijadikan persekutuan politik dalam bentuk
konfiderasi longgar. Dalam meralisasikan itu maka ’addala, ta’dil
dibuat berdasarkan silsilah dan persekutuan, Umar memerintahkan Sa’ad
agar meminta bantuan dua ahli dalam masalah keturunan Arab (Nussab).
Akhirnya, masyarakat kufah dikelompokan menjadi tujuh kelompok,
ulama ahlu sunnah seperti Thabari dalam Tarikh Juz I mulai halaman
mulai 2497, Umar Rida Kahhalah, dalam kitab Mu’jam Qaba’il al Arab, Ibn
Abd Rabbih kitab al ‘Iqd al Farid khususnya pada juz III. Struktur
Demografi masyarakat Kuffah yang terbagi menjadi tujuh klan yang
terdiri dari :
1. Kinana dan ahabisy , Qays’ Ailan2. Quda’ah, Ghassan, Bajilah, Kats’am, Kinda, Hadzramaut dan Azd
3. Madzhik, Humyar, Hamdan,
4. Grup Mudhar, yang di isi dari Tamim, Rihab, Hawzin
5. Asad Ghatfan, Muharib, Nimr, Dubay’ah dan Taghlib
6. Iyad, ’Akk, ’Abd al Qays, Ahl al Hajar dan Hamra
7. Sub’
Thabari, Umar Ridha Kahhalah menammbahkan, Ketujuh kelompok penduduk
kufah tersebut kemudian dinamakan dengan Tujuh Kesatuan Suku
(Muqatilah), mereka menempati tujuh distrik militer di kota kufah, dan
di setiap distrik masing-masing disediakan lokasi untuk :
- Tempat pertemuan mobilisasi persiapan perang.
- Tempat untuk distribusi Gaji (diwan)
- Tempat untuk pembagian harta rampasan perang
- Tempat untuk menggembalakan ternak dan alat transportasi kavaleri (tempatnya dinamakan Jabbanah)
- Tempat Pekuburan
Menurut Thabari (Tarikh I/2414 dst) Untuk melaksanakan tugas-tugas
administratif, Umar bin Khatab mengorganisir para petugas yang
mengatur diwan (gaji), pembagian rampasan perang dan lain-lain sebagai
berikut : ”bahwa untuk mendistribusikan tiap kelompok dipecah kedalam
group-group (unit-unit kecil) sebagai penanggungjawab unit kecil/ group
ditunjuk satu orang pengawas dari tiap group. Para pengawas group/unit
kecil tersebut dinamakan dengan ’Irafah (sipemikul tanggung jawab
sebagai arif (jamak ’urafa), dan sejumlah besar para ’Urafa tersebut,-
sebagaimana disebutkan oleh Thabari (Tarikh I/2496)- kemudian dinamakan
dengan ASYRAF AL QABA’IL, mereka yang mendapat sebutan ASYRAF AL QABAIL
ini bukan hanya para ’Urafa saja, tetapi juga para pemimpin
Klan/Kabilah. Karena Para Pemimpin Klan ada yang merangkap jabatan
sebagai ’Urafa.
Menurut Thabari di halaman yang sama, Umar bin Khatab pada tahun
20/641 menetapkan kriteria diwan (penggajian) penduduk kufah sebagai
berikut :
Bahwa jumlah gaji yang diterimakan (penduduk kufah) besaranya mengkiti urutan sebagai berikut
- Penerima gaji tertinggi adalah group Muhajirin dan Anshar.
- Urutan kedua adalah mereka yang ikut dalam operasi melawan kemurtadan dan pemberontakan
- Urutan ketiga mereka yang disebut sebagai Ahl al ayyam wa’l Qadisiyah yakni mereka yang ikut ke Yarmuk dan Qadisiyah dan kemudian ambil bagian dalam pertempuran ini.
- Urutan ke empat adalah mereka yang disebut sebagai rawadif yakni mereka yang datang ke kufah setelah Yarmuk dan Qadisiyah,
- Berikutnya adalah gelombang imigran yang dijenjangkan menurut waktu mereka pertama kali ikut penakulukan-penaklukan
Perlu ditambahkan dari keterangan yang tidak ditulis Thabari,
menurut Ad Duri ( Muqaddamah fi Tarikh Shadr al Islam hal 50-58), Bahwa
Umar bin Khatab menetapkan distribusi diwan (selain yang disebut
diatas-ibnu jawi al jogjakartani) umar membedakan diwan (gaji) antara
orang Qurasy dan non Qurasy, dimana orang-orang Qurasy diberikan
tunjangan lebih tinggi. Umar bin Khatab juga menetapkan perbedaan
pendapatan dimana Orang Arab memperoleh tunjangan lebih banyak dari pada
non Arab.
Bahkan ulama ahlu sunnah Ad Dinawari ( ’Uyun al Akhbar I/230) dan al
Baihaqi (al Mahasin wa al masawi 2/150) menyebutkan dalam kitab mereka
mengutip dari Ma’mun bahwa, Umar bin Khatab berpendapat, jika seorang
Arab membutuhkan uang, dan tetangga seorang arab itu seorang non Arab
(dalam bukunya disebut Nibthi), maka orang arab tersebut boleh menjual
orang Nibthi tersebut agar orang arab mendapatkan uang.
Sistim Muqatilah tersebut berlaku selama hampir 20 tahun, hingga
mengalami perubahan lagi dimasa Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib.
KUFFAH DIMASA PEMERINTAHAN USMAN BIN AFFAN
Dimasa pemerintahan Usman bin Affan, kedudukan Asyraf Al Qabail
semakin disempurnakan. Menurut Rasul Ja’farian ( History of the caliphs
: From the Death of the messenger (s) to the decline of the umayyad
dynaty 11 – 132 AH hal 222-223) ”Usman bin Afan meneruskan kebijakan
Umar bin Khatab, dengan meneruskan dan menyempurnakan system yang
dibentuk Umar yang telah membentuk system dan dewan yang berbasis system
etnis, guna melindungi identitas Arab disatu sisi dan Qurasy disisi
lain”. Dan kebijakan itupun akhirnya berdampak pula pada rekonstruksi
pejabat Asyraf al Qabail.
Setelah Usman mengangkat Al Walid b Uqbah sebagai gubernur Kufah,
kebijakan yang dirintis Umar bin khatab diteruskan dan disempurnakan,
para Asyraf al Qabail pun diformat ulang, ada yang semakin kukuh
posisinya, ada pula yang di singkirkan, mereka yang bukan berasal dari
keluarga prestis di singkirkan, meskipun memiliki prestise keislaman
yang tinggi, Muhammad Jafri (Origin and Early Development of shi’a Islam hal
170) menyebutkan”dibawah kekuasaan Al Walid bin Uqbah, pemimpin klan (
dan asyraf al qabail) Kufah banyak yang digantikan, penggantian tidak
didasarkan pada prestise keislaman tetapi lebih mempertimbangkan
keunggulan suku dan keluarga. Sebagai contoh Al Asy’ats bin Qays al
Kindi –dia kelak yang menggalang asyraf al qabail melakukan
pengkhianatan- menggeser Hujr b ’Adi al Kindi ”, Jafri menyebutkan
”Hujar b Adi al Kindi memiliki prestis keislaman, tetapi digeser oleh
seorang aristokrat yang pernah memimpin kaum murtad”. Jafri memberikan
contoh yang lain, Sa’d b Qays al Hamdani (seorang aristokrat yang
tidak memiliki keunggulan Islam) menggantikan Yazid bin Qays al Arhabi
yang dikenal sebagai pemimpin Islam yang shaleh”
Baladzuri ( Ansab V/46) menyebutkan dalam daftar panjang para ’urafah
yang tergabung dalam Asyraf al Qabail yang digantikan, untuk
disebutkan sebagian kecil saja adalah sebagai berikut, Musayyab bin
Najabah al Fazari, yazid bin Qays al Arhabi, Adi Bin Hatim al Thai,
Sha’sha’ah bin shuhan al ”abdi dll. Dengan demikian komposisi
masyarakat kufah baik ditinjau dari pemimpin suku maupun pemimpin
group/unit terkecil (’Urafah) di isi oleh orang-orang dari kalangan
ningrat. Ibn Sa’d (ath thabaqat al kabir, VI/11) menyebutkan ”Bahwa
seluruh kaum ningrat Arab (ibnu Sa’ad menyebut sebagai Zuyutat al ’Arab)
terwakili dan duduk dalam struktur penting asyraf al qabail)”. Ini
menjadikan bukti program Umar bin Khatab dalam membentuk landscap
masyarakat kufah dimana Qurasy menjadi unsur utama yang harus
diprioritaskan diatas suku arab lain, dan arab atas non arab mendekati
kesempurnaan ditangan Usman bin affan. (Al tanzimat al Ijtima’yah wa’l
iqtishadiyah fi’l Bashrah hal 88 mencatat ” dimasa Umar dan Utsman,
orang-orang non Arab yang tinggal dikufah diperlakukan agak berbeda dari
orang-orang Arab menyangkut jiziah dan kharaj, dan warga non arab
adalah warga kelas dua”.
Meskipun masih menggunakan polah tujuh, menurut jafri (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 172) hakekatnya kota kufah terbagi menjadi hanya du kelompok besar, yaitu :
- Kelompok Asyraf al Qabail , mereka yang disebut sebagai pemimpin Klan, pemimpin group/unit terkecil (’irafah) yang sebagian besar diisi oleh kalangan ningrat arab yang disebut Ibn Sa’ad sebagi Zuyutat al ’Arab. Masing-masing memiliki sejumlah pengikut yang besar. (Al tanzimat al Ijtima’yah wa’l iqtishadiyah fi’l Bashrah hal 82 dst) mencatat sejumlah mawali menjadi pendukung Asyraf al Qabail, diantaranya dari Group Hamra atu Daylamiah dibawah yuridikasi Umayyah yang ditugaskan sebagai Penjaga keamanan (Polisi), Para mawali petani yang dibawah yuridikasi Umayyah pula, Kelompok mawali saudagar dan mawali buruh diyuridikasikan sesuai keinginan klan yang ingin dimintai afiliasi perlindungan, Mawali budak yang di ikat pada yuridikasi keluarga yang sebelumnya memperbudaknya dan Mawali ningrat mereka yang diberi sedikit kelonggaran dalam masalah jizah dan kharaj tetapi kedudukan mereka adalah kelas dua dihadapan orang Arab.
- Orang-orang yang kurang memiliki keningratan dalam kesukuan kebanyakan mereka memiliki keunggulan dalam prestis dalam keislaman. Sejumlah besar qurra yang juga rata-rata adalah cendikiawan keagamaan. Dan sejumlah group-group dari klan-klan serpihan yang tidak memiliki kekuatan dihadapan klan besar.
Meskipun eksistensi Aysraf al Qabail kufah mendapatkan kedudukan yang
tinggi, tetapi hak-hak mereka masih dibawah jauh dari klan-klan bani
umayah, dan Kebijakan Usman inilah yang menggelisahkan masyarakat kufah
dan sebagian asyraf al qabail, yakni dengan diberikanya kekuasaan yang
terlampau besar kepada klan umayyah, dan ini yang membedakan dengan gaya
kepemimpinan Umar bin Khatab yang memberikan dominasinya kepada suku
Qurasy lebih luas. Bahkan salah seorang sahabat bernama Abdurahman bin
Auf menyatakan ” Kekhalifahan Utsman mesti dianggap sebagai awal dari
kerajaan bani Ummayah (Baladzuri, al Futuh al Buldan 2/99) penulis
sejarah, Ibnu A’tsam, memberikan sebutan kepada Utsman bin Afan sebagai ”
Pemimpin Bani Umayyah”
Pada giliranya kebijakan yang dirintis oleh Umar bin Khatab dan
diteruskan oleh Utsman bin Affan yang memberikan previlage kepada klan
ummayah diatas Qurasy, Arab dan Non Arab, telah menuai protes keras
dari kalangan Muslim dan menyebabkan terjadinya drama pengepungan rumah
Utsman bin Affan yang berakhir dengan terbunuhnya Utsman bin Affan.
Para Asyraf al Qabail kufah terlibat aktif dalam gerakan oposisional
tersebut, sebagimana disebutkan Jafri (Origin and Early Development of shi’a Islam
hal 161) ” bahwa para ’Irafah dari Asyraf al Qabail ini mengambil
peran memimpin kelompok mereka dihari-hari keruh khalifah Utsman bin
affan” tujuanya adalah agar khalifah Utsman bin Affan mengembalikan
hak-hak finansialnya yang tersita oleh klan Umayyah dan mengembalikan
kebijakan kepada mereka sebagaimana dimasa Umar bin Khatabb.
Dan hak-hak finansial –yang dahulu ditetapkan oleh Umar bin Khatab
dan disempurnakan oleh Utsman bin affan- inilah yang kemudian menjadi
nilai tukar bagi pengkhianatan asyraf al Qabail terhadap Imam Ali bin
Abi Thalib, Imam Hasan dan Imam Husain. Namun Patut di catat, bahwa
kebijakan yang ditetapkan oleh Umar bin Khatab dan diteruskan oleh Usman
bin Affan, pondasi rintisan awalnya telah diletakan oleh Abu Bakar yang
menetapkan prinsip bahwa depresiasi diwan (gaji) ditetapkan berdasarkan
keterdahuluan masuk Islam, dengan kata lain, orang yang masuk islam
lebih awal akan mendapatkan gaji dan tunjangan lebih besar. Umar
meneguhkan bukan hanya keterdahuluan saja yang menjadi dasar melainkan
faktor identitas Qurasy dan Ke Araban turut menjadi acuan klasifikasi
diwan (gaji), Usman lebih mentahkik lagi, dengan mengkrucutkan Qurasy
pada klan Ummayah yang mendapat prioritas lebih tinggi.
Ketika Imam Ali di ikut sertakan dalam Dewan Syuro bentukan umar,
yang bertugas memilih khalifah, Abdurahman bin Auf sebagai eksekutor
mengajukan syarat kepada calon Khalifah ”bahwa mereka harus bersedia
mengikuti kebijakan (sunnah) dua klhalifah sebelumya” dan Imam Ali
menolak syarat tersebut sementara Usman menerima syarat tersebut.
Dibawah akan disajikan bagaimana imam Ali tatkala terpilih sebagai
khalifah melakukan banyak dialog dengan berbagai kelompok baik itu
sahabat yang belakangan disebut (Qaidin) maupun kalangan Asyraf al
Qabail tentang reformasi diwan yang merubah seluruh tata aturan yang
telah ditetapkan oleh ketiga khalifah sebelumnya, dan ini yang melatari
netralitas para sahabat terhadap konflik yang dihadapi Imam Ali dan
melatari pengkhianatan Asyraf al Qabail.
IMAM ALI MERUBAH STRUKTUR MASYARAKAT KUFAH BENTUKAN UMAR BIN KHATAB
Pasca meninggalnya Utsman, Imam Ali bin Abi Thalib
terpilih sebagai khalifah, gaya kepemimpinanya berbeda dengan gaya
kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Para asyraf al qabail
mengharapkan hak-hak mereka (yang saat di masa Usman dinikmati oleh
kelompok Umayyah) akan kembali sebagaimana seperti sedia kala, dengan
berbagai limpahan tunjangan keuangan yang besar. Tetapi Imam Ali bin Abi
Thalib mengambil kebijakan sebagimana yang dituntunkan oleh Allah dan
Rasulullah saww.
Sejahrawan ahlu sunnah at Thabari (tarikh I/3174)
Khalif Yusuf (Hayat asy syi’r fi’l Kufah hal 29) menyebutkan bahwa,
”Ketika Ali datang ke Kufah, selama dua puluh tahun struktur kekuatan
dalam masing-masing dari tujuh kelompok tersebut telah berubah drastis,
sejumlah klan-klan tertentu dalam berbagai kelompok telah memperoleh
kedudukan dan kekuasaan yang tidak semestinya atas klan lain, klan-klan
yang kuat melakukan pengutipan terhadap komponen-komponen klan lain.
Kedatangan anggota-anggota suku ke kufah juga menjadi penyebab
perimbangan kekuatan antar klan dan dalam kelompok, Karena itu, Ali,
sementara tetap memelihara jumlah kelompok untuk tetap dalam bentuk
Muqatilah, ia melakukan perubahan susunan kelompok masyarakat kufah”
Terhadap sisitem struktur masyarakat kufah Imam Ali mengeluarkan
kebijakan menghilangkan sekat dominasi sikuat terhadap si lemah yang
telah dibentuk oleh para khalifah pendahulunya, Imam Ali merubah
struktur masyarakay kufah dengan pola perimbangan komposisi yang
seimbang, Ath Thabari dan Khalif Yusuf, menyebutkan masyarkat kufah
oleh Imam Ali direformasi susunanya sehingga tersusun sebagai berikut :
1. Hamdan dan Himyar (orang yaman)
2. Madzhij, Asy’ar dan Thayy (orang yaman)
3. Kinda, Hadramaut, Qudha’ah dan Mahar (orang Yaman)
4. Azd, Bajilah, Khats’am dan Anshar (orang Yaman)
5. seluruh cabang Nizari dari qays, ’Abs Dzubyah dan ’Abd al Qays Bahrain. (Nizari)
6. Bakr, taghlib dan seluruh cabang rabi’ah (Nizar)
7. Qurasy, Kinana, Sad, Tammim, Dhabbah, Ribaba (Orang Nizar)
Menurut Muhammad jafri – seorang sarjana sunni yang berkeyakinan
syiah sebagai produk sosioatropologis masyarakat arab selatan –
menuliskan (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 156) Bahwa ada dua catatan krusial mengapa Ali merekonstruksi kembali masyarakat kufah.
- Terdapat beberapa nama klan seperti Asy’ar, Mahar dan Dabbah yang dimasa sebelumnya disepelekan, oleh Ali kedudukanya di setarakan dengan klan lainya.
- Penguasa sebelumnya mengorganisasi Suku Yamani dalam tiga group dan Nizari dalam empat group. Oleh Ali di regorganisasi menjadi Yamani menjadi empat group dan Nizari dalam tiga group. Ali tampak memperhitungkan kekuatan populasi dua cabang Arab itu dan mengatur kembali group-group itu menurut jumlah mereka, dengan demikian memberi perimbangan kuantitatif antar klan.
Ibnujawialjogjakartani menambahkan, komposisi yang disusun kembali
oleh imam Ali bin Abi Thalib, telah membawa pada keseimbangan pada
kuantitas antar klan sehingga superioritas klan dihilangkan oleh imam
Ali. Dengan demikian apa yang disebut sebagai Thabari “berbagai
kelompok telah memperoleh kedudukan dan kekuasaan yang tidak semestinya
atas klan lain” di selesaikan oleh Imam Ali bin Abi Thalib
Imam Ali juga melakukan penataan ulang pemimpin Klan meskipun
meskipun mendapat penentangan keras dari pemimpin sebelumnya,
Sebagaimana dituliskan oleh Nashr bin Muzahim (waq’at Shiffin hal 12) “
Dalam pengaturan kembali kepemimpinan baru di kufah, Ali mempercayakan
kepemimpinan kelompok di kufah kepada mereka yang memiliki keunggulan
Islam, orang-orang seperti Malik bin Harits al Asytar dipercaya memimpin
kelompok Madzhij, Nakha’i dan beberapa sub lain, Hujr bin Adi al
Klindi memimpin Kinda, Adi bin Hatim al Ta’i memimpin Thayy. Tetapi
upaya penataan Ali tersebut mendapat tantangan keras dari para pemimpin
klan dar ‘Urafa ( Asyraf al qabail)”
IMAM ALI MEREFORMASI KEBIJAKAN ABU BAKAR, UMAR DAN USMAN DALAM MASALAH “DIWAN”
Kebijakan Imam Ali bin Abi Thalib berikutnya adalah mereformasi
kebijakan para khalifah pendahulunya, yaitu dalam masalah diwan.
(Political History of Islam 2, hal 286) menyebutkan, “Ketika Ali bin Abi
Thalib berkuasa, ia melakukan perubahan pada kebijakan distribusi gaji,
Ali melakukan alokasi (peruntukan) yang diterima oleh masyarakat Islam
secara proposional” . Ath Thabari (Tarikh I/3227) mencatat reformasi
yang dilakukan Imam Ali bin Abi Thalib menyangkut kebijakan keuangan,
sebagai berikut :
- Dalam Distribusi Ali bin Abi Thalib menghapus perbedaan gaji yang dibuat oleh kebijakan sebelumnya ( dimana khalifah sebelumnya menetapkan faktor keterdahuluan masuk Islam, maupun keterdahuluan memasuki Kufah sebagai pembeda penerimaan gaji). Dengan kata lain Imam Ali memperlakukan mereka secara sama tanpa melihat asal suku, keterdahuluan masuk Islam dan keterdahuluan masuk kufah.
- Ali bin Abi Thalib menetapkan persamaan hak antara masyarakat Arab dan Non Arab.
Imam Ali bin abi Thalib menyatakan : “Sikulit hitam dan si kulit
putih akan mendapat perlakuan yang setara, proporsional dan adil (
Mustadrak al wasa’il XI/93)
Sebagai catatan Imam Ali menjelaskan kebijakan ini sebagaimana dapat dibaca pada Nahjul Balaghah pada Kutbah ke 21, 23, 24, 42.
PROTES SAHABAT DAN ASYRAF AL QABAIL TERHADAP KEBIJAKAN ADIL IMAM ALI BIN ABI THALIB
Rupanya reformasi yang dilakukan Imam Ali dengan prinsip Al Qur’an
dan Sunnah yang menekankan prinsip keadilan dan pemerataan mendapatkan
reaksi dari mereka yang diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan khalifah
sebelumnya, sejumlah sahabat tak urung melakukan protes, kalangan Asyraf
al Qaba’il yang mengharapkan pundi-pundi mereka berlebihan sebagaimana
di masa Umar bin Khatab harus gigit jari menghadapi kebijakan Imam Ali
tersebut.
Sebagaimana disebutkan Thabari (Tarikh I/3228) Mas’udi (Muruj Dzahab II/404) dan Jafri ( Origin and Early Development of shi’a Islam
hal 177) “kebijakan Ali telah menggelisahkan asyraf al qaba’il karena
disamping pertimbangan finansial yang berkurang dan mesti berbagi dengan
orang non Arab, dalam benak para asyraf al qaba’il, mereka percaya
bahwa non arab sebagai orang yang ditaklukan tidak boleh dan tidak dapat
diperlakukan sama dengan para penakluk.
Dan berikut ringkasan sebagian kecil dari protes-protes yang dilakukan oleh sahabat dan para Asyraf al Qabail :
- Ketika Imam Ali tengah di atas mimbar Asy’ats bin Qais (pemimpin klan Kinda/Asyraf al Qabail) berteriak “ Kalian lihat sendiri kan bahwa non Arab (mawali) berkulit putih telah mengalahkan kita “ Imam Ali pun marah mendengar teriakan itu . (ath Thaqafi, al Gharat hal 186 dan al Hirawi ,Gharib al Hadith III/484),
- Mughirah Dabbi mengatakan, ”Ali memandang penting kaum non arab (Mawali), dan berbuat baik kepada mereka. Bandingkan dengan Umar, dia tidak suka terhadap mawali dan menjaga jarak dengan mereka ” (ath Thaqafi, al Gharat hal 187)
- Dari kalangan sahabat yangmengajukan protes adalah Thalha dan Zubair, mereka mengatakan kepada Imam Ali, mengapa, Imam Ali telah memberikan bagian pada mereka tak beda dengan bagian yang diterima oleh orang lain, padahal, menurut mereka, orang lain tersebut tidak pernah mengalami kesulitan dan penderitaan beragama dalam memperjuangkan Islam. Imam Ali menjawab ”bukankah kita semua menyaksikan sendiri bahwa Rasul saw melakukan apa yang dikatakan kitab Allah, mengenai nilai lebih kalian, kaum muhajir serta anshar, keterdahuluan kalian insya Allah akan mendapat penghargaan dan pahala dari Allah” Thalha dan Zubeir melanjutkan protesnya dan bertanya , ” mengapa Imam Ali menolak mengikuti tradisi Umar bin Khatab ?” Imam Ali menjawab ”Mana yang harus didahulukan : Mengikuti sunah, praktik dan Tradisi Nabi ataukah mengikuti praktik dan tradisi umar” (Ibn abil Hadid, Syarah Nahj Balaghah VII/37 dst; Disebutkan oleh sumber lain, karena sangat tidak setuju dengan kebijakan Ali, maka sebagian sahabat memintya Ali untuk memprioritaskan bangsawan Qurasy dan orang Arab. (Mahmudi, Nahj as Sa’adah I/229);
- Bahkan dari kalangan wanita mengajukan protes, manakala mendapati tidak dibedakanya pendapatan antara kalangan orang-arab dan non arab, mereka mengatakan ”Aku ini kan orang Arab, sedangkan dia kan mawali kenapa kami diperlakuikan sama” Imam Ali menjawab ”aku ini membaca al Qur’an, aku juga merenungkan dan mengkajinya. Disana tak aku temukan sedikitpun yang mengindikasikan keunggulan keturunan Ismail atas keturunan yang lain (Baladzuri Ansab al asyraf II/141) Kepada kalangan Muhajirin dan Anshar Imam Ali menjelaskan kebijakan beliau :”Aku tak menemukan dalam Al Qur’an yang mengindikasikan untuk membedakan antara orang Arab dan non Arab. Si Kulit hitam dan si kulit putih akan mendapatkan perlakuan yang setara, proposional dan Adil (Mahmudi, Nahj as Sa’adah 1/212-213)
- Nashir bin Muzhahim menuliskan pula (dalam kitabnya waq’at ash shiffin), diantara para pemerotes tersebut sebagian berasal dari kaum hafizh kufah, (sebagian sejahrawan menyebut al Qurra’). – Catatan dari Ibnu Jawi al Jogjakartani, jika pembaca menelusuri kitab sejarah awal akan menemukan bahwa para syiah Kuffah sebagian adalah Qurra’, seperti Malik al Asytar dan Hujr bin Adi yang juga disebut sebagai pemimpin al Qurra, untuk menghindari kerancuan antara para Qurra (yang syiah) dan Qurra yang kelak mejadi khawarij, baiknya kita kutipkan hasil risert sarjana ahlu sunnah bernama Muhammad jafri yang menjelaskan dalam bukunya secara apik, ” Kata qurra’ sebagaimana digunakan dalam laporan di masa Ali bin Abi Thalib pada umumnya dan pada peristiwa Shiffin pada khususnya harus didekati sedikit hati-hati, bahwa sebagian Qurra’ adalah para pendukung gigih Ali bin Abi Thalib . Disamping qurra yang menjadi syiah Ali ini, ditemukan sejumlah besar orang yang disebut sebagai qurra’, merka berasal dari daerah yang jauh dan merata keterdahuluanya dalam masuk Islam. Mereka ini yang kemudian melakukan protes terhadap kebijakan egaliter Ali bin Abi Thalib. Dan belakangan atas hasutan para asyraf al qabail memaksa Ali untuk mengikuti arbitrase dan kemudian menentang Arbitrase. belakangan membentuk Khawarij (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 176) Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Rasul Ja’farian dalam bukunya History of the caliphs hal 384) ia menambahkan meskipun mereka disebut qurra (al hafizh) dalam mengemukakan argumen al Qur’an, mereka melakukan interpretasi secara gegabah yang menghasilkan difinisi-difinisi yang radikal (buku yang sama halaman 391), Rasul Ja’farian menuliskan, bahwa kelompok ini berasal dari suku-suku jauh, mereka merasa kecewa melihat dominasi Quraisy (halaman 386). Ahlu Qurra tidak selalu di artikan sebagai penghafal Al Qur’an, sebagaimana keterangan Nourouzzaman, para sejahrawan mengartikan ahlu qurra yang -memotori lahirnya khawarij- sebagai para penetap (Khawarij, hal 31) Baladzuri meriwayatkan, selain ketidak puasan terhadap kebijakan diwan dan dominasi quraisy yang ditetapkan oleh Ali , para qurra ini merasa tidak habis mengerti dengan kebijakan Ali yang tidak mengizinkan harta rampasan perang dibagi-bagikan setelah menundukkan kaum kafir atau pemberontak. Bagaimana ceritanya membunuh mereka dibolehkan, tapi mengambil aset atau harta mereka malah diharamkan (Ansab al Asyraf II/360).
Ketidak sukaan pada kebijakan egaliter Imam Ali tersebut tak urung
membuat Harits A’war menyampaikan kepada Imam Ali, ia berkata
:”Orang-orang melakukan protes dan tidak suka dengan kebijakan anda.
Imam Ali menjawab ” Biarkan saja mereka” (Musthathrafat as sara’ir 146)
Kondisi diatas menjelaskan bagaimana kondisi sosial masyarakat Kufah
yang dihadapi Imam Ali bin Abi Thalib, mereka menentang kebijakan Imam
Ali yang menetapkan sistem egalitarian bersendikan Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah saww, sementara para Asyraf al Qabail menghendaki sistem
yang ditetapkan adalah Sunnah tiga khalifah dengan mengurangi dominasi
Umayyah. Bahkan Imam Ali menyatakan dalam kotbahnya ” Kondisi kalian
sekarangini kelihatanya seperti zaman ketika Allah mengutus Rasul-Nya (
Nahj al Balghah Khotbah ke 38)
TIDAK SELURUH MASYARAKAT KUFAH ADALAHA SYIAH
Kompleksitas masyarakat kufah yang dilaporkan oleh para sejahrawan
ahlu sunnah, sudah membuktikan bawa masyarakat kufah tidaklah seratus
pesrsen adalah syi’ah. Pandangan yang menyebut bahwa masyarakat Kufah
pada masa itu adalah mutlak syiah adalah pendapat yang tidak didukung
oleh fakta. Sarjana ahlu sunnah Muhammad Jafri -yang juga salah satu
dosen tamu di Universitas Kebangsaan Malysia -, menuliskan Origin and Early Development of shi’a Islam
halaman 169 “Tidak seluruh warga kufah dari suku Yamani (Arab selatan)
adalah syi’ah, dan bukan pula seluruh suku Nizari yang berasal dari
Arab Utara yang tinggal di kufah berpihak kepada madzhab syiah “.
Muhammad Jafri dalam bukunya menegaskan bahwa yang dimaksud Syiah disini
bukan difinisi longgar bahwa semua yang berada dalam barisan Ali, Hasan
dan yang mengundang Husain dikatagorisasikan sebagai syiah. Karena
dalam barisan yang mendukung ketiga tokoh tersebut terdapat kelompok
besar kaum pragmatis. Bahwa yang disebut sebagai syiah adalah mereka
yang memiliki sikap relegius terhadap masalah kepemimpinan yang berada
ditangan keturunan Muhammad (Origin and Early Development of shi’a Islam halaman 169)
Fakta yang menarik adalah bahwa para ulama ahlu sunnah sendiri –dan
ini berlawanan dengan pandangan kaum nawashib- telah mengkatagorisasikan
para pengikut Ahlul Ba’it (khususnya pengikut : Imam Ali, Imam Hasan
dan Imam Husain) dengan katagorisasi yang memuji kaum syiah (bukan
menuduh sebagai pengkhianat),
Misalnya, Ath Thabari dalam kitabnya Tarikh ar Rasul wa al Muluk
2/1dan Ibn Nadim dalam kitabnya Kitab al Fihrist hal 175,
mengkatagorisasikan syiah sebagai berikut :
- Syiah yang dikatagorikan sebagai Syiah Al Ashfiyah, yakni mereka yang disebutan sebagai sahabat-sahabat tulus. Masuk dalam katagori ini adalah Miqdad, Salman al Farisi, Amar bin Yaser, Abu Dzar al Ghifari, Hudzaifah al Yamani, Abu Hamzah, Abu Sashan, Syutair dan lain-lain, Selain mendapat sebutan Al Ashfiyah, Ammar, Miqdad, Salman dan Abu Dzar mendapat sebutan lain yaitu “al Arkan al Arba’a Empat Pilar” Syiah.
- Syiah yang dikatagorikan sebagai Syiah Al Awliya, yakni mereka yang disebut sebagai Sahabat-Sahabat Ta’at. Masuk dalam kelompok ini adalah Malik Asytar, Maitasm, Muhammad Bin Abu Bakar ( beliau adalah putra Khalifah Pertama, Muhammad bin Abu Bakar juga merupakan kakek buyut dari Imam Ja’far ash shadiq. Beliau menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada wasiat Rasulullah saw untuk mengikuti Imamah Ahlu Ba’it, kendati Muawiyah telah menuduhnya sebagai orang yang menentang ayahnya dalam masalah kekhalifahan- ket : ibnujawi al jogjakartani).
- Syiah yang dikatagorikan sebagai Syiah al Syurthat al Khamis, yakni mereka yang disebut sebagai “divisi terbaik”, masuk kelompok ini adalah para sahabt-sahabat yang menunjukan dedikasi dalam berbagai pertempuran melawan al Nakitsin (dalam perang jamal), al Qasithin (dalam perang shifin) dan al Mariqin (dalam perang menghadapi Khawarij) , Masuk di dalam kelompok ini adalah para lasykar syiah yang turut membela Imam Hasan as,
- Syiah yang dikatagorikan sebagai Syiah al Ashhab, yakni mereka yang disebut sebagai sahabat-sahabat. Masuk kelompok ini adalah para sahabat yang syahid bersama Imam Husain di Karbala maupun terlibat dalam gerakan Tawwabun
Sehingga dengan demikian jika kita perhatikan dari poin dua (2)
hingga (4) jika merujuk pada peran syiah terhadap Imam Ali, Imam Hasan
dan Imam Husain, sejahrawan ahlu sunnah tidak menyatakan mereka sebagai
pengkhianat, mereka adalah loyalis Ahlul Ba’it yang mendapatkan
gelar-gelar yang mulia. Bukan gelar-gelar sebagaimana dilekatkan oleh
para nawashib yang tidak memiliki basis faktualnya.
PETA ALIRAN IDIOLOGIS MASYARAKAT KUFAH
Diatas sudah dipaparkan bahwa Kufah bukanlah masyarakat monolitis
aliran dengan satu pandangan syi’ah ansich. Tetapi masyarakat kufah yang
tersusun atas suku-suku yang beragam masih ditambah keragaman aliran
idiologi mereka (saya menggunakan istilah idologi hanya untuk
mempermudah saja, idiologi yang saya maksud adalah
kecendrungan-kecendrungan, meskipun saya sadari penggunaan sitilah
idologi tidaklah tepat –ibnujawi aljogjakartani). Bahkan dalam
masing-masing suku, anggota-anggota penyusunya memiliki kecendrungan
yang beragam pula. Sebagai ilustrasi sederhanya adalah sebagai berikut,
Kufah kita samakan dengan kota Yogyakarta. Masyarakat yang tinggal di
yogyakarta berasal dari seluruh suku yang ada di indonesia. Mereka
bahkan membuat perkumpula-perkumpulan. Dalam masing-masing kelompok suku
tersebut, masih terpolarisasi lagi dalam kecendrungan aliran idiologis
keagamaanya. Misalkan saja yang dari suku jawa, ada yang beraliran
tradisional NU, Modern Muhammadiyah, Tarbiyah, Syabab Hizbut Tahrir,
Wahabbi… dan lain sebagainya. Begitulah masyarakat Joga, dan begitu
pula masyarakat Kufah pada waktu itu.
Para sejahrawan Islam telah berupaya keras memetakan aliran-aliran
kecendrungan masyarakat kufah ini yang dibagi dalam aras persekutuan
klan mereka. Tapi ternyata itu bukan suatu pekerjaan yang mudah, karena
aliran menyangkut idnividu-individu. Namun demikian usaha sejahrawan
layak dipuji, karena melalui laporan mereka, kita dapat mengetahui
bahwa, Kufah adalah masyarakat yang komplek, dan keberpihakan mereka
pada Imam Ali, Imam Hasan dan kemudian bertanggungjawab atas
pengundangan mereka terhadap Imam Husain, tidak lak mutlak didasari atas
idiologi yang dianut mereka. Ada sebagian kecil masyarakat kufah yang
loyal kepada para ahlul bait dan mereka adalah syiah, tetapi ada
sebagian besar dari mereka adalah golongan pragmatis yang plin-plan dan
hanyut mengikuti arus kepentingan pragmatis mereka. Dan berikut adalah
peta Aliran kecendrungan masyarakat kufah yang kami rangkumkan dari
sumber sejahrawan Islam, Para sejahrawan Islam menjelaskan populasi
masyarakat kufah, kedalam tujuh muqatilah yang dilukiskan sebagai asba’
dalam unit sebagai berikut :
- Ath Thabari (Tarikh I/2495) menjelaskan, Kinana dikumpulkan dengan sekutu mereka ahabisy sehingga membentuk Klan Jadilah. Kinana adalah suku Makkah dan Quraisy adalah salah satu cabangnya, sedangkan Jadilah, cabang suku Qays ’ailan, ia berasal dari Hijaz dan punya sedikit hubungan dengan Kinana. Menurut Thabari, kedua suku tersebut adalah kelompok prestise (ahl al ’aliyah) . Dimasa lalu Kinana dan Qurasy bersama dengan group-group seperti Jadilah, Qays ”Ailan pernah membentuk group persekutuan yang dikenal dengan Khindif. Menurut Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qabail al ’Arab, 173) dan Ibn Abd Rabbih ( al Iqd al Farid IIII/350) Sejak Kufah didirikan kelompok ini memiliki hubungan istimewa dengan penguasa terutama dari gubernur-gubernur Qurasy. Dimasa Imam Ali melaksanakan kebijakan reformasi diwan, kelompok ini banyak yang melakukan protes.
- ’Umar Rida Kahlah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 957 dst; 844 dst, 63 dst, 131, dst 998, dst 282 dst 15 dst) dan Ibn Abd Rabbih ( al Iqd al Farid III/393) menyebutkan kelompok kedua penyusun masyarakat Kuffah, yakni Qud’ah, Ghassan, bajilah, Kats’am, Kinda, Hadzramaut dan Azd, digabung menjadi satu membentuk kesatuan Yamani yang kuat. Dua dari group ini dipimpin orang yang berpengaruh besar dikufah, yakni Bajilah dipimpin oleh Jarir bin Abdullah, ia adalah sahabat dekat Umar bin Khatab. Kelak dimasa Imam Ali bin Abi Thalib menjabat Khalifah, ia melakukan persekongkolan dengan Muawiyyah, dan dengan pengaruhnya memprovokasi kabilah-kabilah kufah keluar dari barisan Imam, (di tulisan berikut akan kami bahas) Dan Kinda yang dipimpin Asy’ats bin Qays, seorang yang memiliki pengaruh besar dan penganut idologi pragmatis yang kelak dengan pengaruhnya berusaha menggembosi Imam Ali, bahkan mengancam Imam Ali bin Abi Thalib agar memerintahkan pasukan syiah -yang yang masih bertempur dengan tentara muawiyah- agar segera menghentikan peperangan, Keluarga dia memiliki reputasi buruk Asy’ats bin Qays sendiri selain berperan memberi tumpangan ibn Muljam laknatullah, anak perempuanya Ja’dah binti Asy’ats adalah orang yang berkonspirasi dengan Muawiyyah untuk meracun Imam Hasan. Pun demikian anak laki-lakinya yang bernama Muhammad Ibn al Asy’ats berperan dalam pembunuhan Muslim bin Aqil dan tragedi Karbala. Sebagaimana disebutkan di atas tentang keragaman dalam masing-masing suku, di kinda terdapat pula pribadi-pribadi yang loyal terhadap ahlul ba’it (syi’ah) dan kelak di masa Imam Hasan mereka dikhianati suku mereka sendiri untuk diserahkan kepada Muawiyah untuk dibunuh (akan dibahas kemudian). Sedangkan suku Bajila dalam satu group memiliki prespektif yang berbeda, ad Dinawari menyebutkan , sekitar empat ratus orang yang berasal dari suku Bajila dengan dipimpin Rabi’ah bin Khutsaim, menyatakan tidak mendukung peperangan Imam Ali, dan mereka mundur di garis perbatasan Rai, dan sebagian ke Dailam (akhbar ath thiwal hal 165)
- ’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 1062 dst) dan Abd Rabbih ( al Iqd al Farid III/393) Menyebutkan, Madzhij, Himyar, Hamdan dan sekutu-sekutu mereka, Kahlah menjelaskan, dari Madzhij terdapat banyak cabang-cabang suku penting, seperti Nakhkha dan Thay. Ini adalah kelompok Yamani kuat, dimana dari Hamdan melahirkan beberapa pendukung gigih syi’ah, meskipun tak dapat diabaikan terdapat banyak anggota kelompok ini yang pandanganya berubah-ubah. Ad Dinawari menyebutkan, sebagian kelompok syiah yang berasal dari kabilah Hamdan memberi perlawanan hebat untuk menolong Hasan bin Ali saat di serang kelompok Khawarij(al akhbar at Tiwal/156) Namun demikian sebagian lainya yang bukan syiah di saat Kufah berhasil dikuasai Muawiyah, mereka justru meringkus pengikut Hasan bin Ali dan diserahkan kepada tentara Ziyad ( Thabari, Tarikh II/117)
- ’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 126 dst, 315, 1231) dan Abd Rabbih (al Iqd al Farid III/343,345 dan 353) menyebutkan, Tamim, Rihab dan Hawzin digabung dalam group Mudhar . Kahhalah menyebutkan, bahwa dalam group ini terdapat keragaaman aliran. Ath Thabari (Tarikh II136) menyebutkan ” anggota suku-suku dari Tamim, Hawazin dan Rihab, yang diketahui sebagai syiah di tangkap oleh sukunya sendiri dan diserahkan kepada tentara Ziyad”, Sebagian dari bani Tamim diketahui menunjukan ketidak sukaan terhadap Imam Ali, Baladzuri menyebutkan, bahwa tokoh asyraf al qabail bernama Ahnaf bin Qais dari Bani Tamim menggunakan pengaruhnya untuk menyatakan netral dan tidak terlibat dalam pertempuran Jamal dan menyatakan menarik diri dari perang (Asyraf al Qabail, II/327)
- ’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 21 dst) dan Abd Rabbih (al Iqd al Farid III/340 dst) menyebutkan Asad, Ghtfan, Muharib, Nimr, Dubay’ah dan Taghlib, kebanyakan kelompok group Nizar dari Rabi’ah dan Bakr disatukan dalam satu group. Ad Dinawari menyebutkan, sebagian kelompok syiah yang berasal dari kabilah Rabi’ah memberi perlawanan hebat untuk menolong Hasan bin Alli saat di serang kelompok Khawarij(al akhbar at Tiwal/163) ia melanjutkan populasi Rabi’ah di kufah sedikitdemi sedikit menyusut, karena banyak yang gugur dalam peperangan.
- ’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 52 dst) menyebutkan, Iyad, ’Akk, ”abd al Qys, Ahl al hajar dan Hamra, disatukan dalam satu group. Iyad dan Akk (menurut Kahhalah, asal usul Akk tidak diketahui, sebagian menyebut termasuk Qahtani, yang lain m,enyebut Adnani dari al Daits b ”Adnan). Mereka berasal muasal dari Nizari ’Adnani, mereka telah lama tinggal di kawasan Iraq, dari group ini yang memiliki dukungan kuat sebagai syiah Ali adalah berasal dari suku Abd al Qays kendati tidak bisa dikatakan bahwa group ini adalah syiah, selalu ditemukan ada individu-individu syiah dalam masing-masing klan namun ada yang bukan seorang yang berkecendrungan syiah.
- ’Umar Rida Kahlah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 691) menyebut kelompok dari group ketujuh Sub, yang adalah suku Thayy, sebuah kabilah kuat yang berasal dari Yaman, Menurut Kahhalah, menyebut peristiwa di tahun 11 H /630 di saat suku-suku sekitarnya murtad, Thayy tetap menunjukkan komitmenya memeluk Islam, hingga mereka bergabung dnegan Mutsanna b al haritsah dalam penaklukan al Hirah lalu mengambil bagian dalam al Qadisiyah. Pemipin suku ini adlah Adi bin Hatim, Ibnu abil al Hadidi (syarh Nahjul balghah XVI/38) dan Abul Faraj al ishfahani (Maqatil ath Thalibiyin 61) menyebutkan Suku Thayy menjadi pendukung utama Imam Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan Perang Shiffin, dan setelah Imam Ali wafat, mereka menjadi penyeru di tengah-tengah Masyarakat Kufah, untuk menyokong Imam Hasan. Kahlah menyebutkan (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 691) tetapi populasi Thay di Kufah berangsur-angsur melorot sebagai akibat peperangan, yang tersisa dari mereka bergabung ke benteng-benteng diantara Bashrah dan Kufah. Ath Thabari (Tarikh II/304) menyebutkan, dengan kekuatan yang tersisa, klan Thay bermaksud membawa Imam Husain ke pegunungan Thay yang aman dan tersembunyi, Thirimmah b ’Adi at Ta’iy yang mencegat Imam Husain dan membujuk beliau agar sudi ikut mereka, tetapi Imam Husain menolak.
Kenyataan Populasi syiah di kufah dengan melihat laporan diatas
bukanlah komunitas mayoritas pada saat itu. Bahkan dalam satu group yang
di isi dari suku-suku terntentu, syi’ah bukanlah kelompok yang dominan.
Sehingga ketika Kufah berhasil dikuasai oleh Muawiyyah, maka tidakan
pemindahan orang-orang syiah pun dilakukan dengan relatif mudah
sebagimana disebutkan Ath Thabari dalam kitabya ((Tarikh I/1920) ”segera
sesudah menguasai Kufah, Muawiyyah memindahkan beberapa suku yang setia
kepada ahlul bait dari kota itu, dan menggantikanya mereka dengan
orang-orang dari syria, bashrah dan al Jazirah yang loyal kepadanya.”.
PERBEDAAN SIKAP MASYARAKAT KUFAH TERHADAP AHLUL BAIT
Para sejahrawan Ahlu sunnah melaporkan dengan
detail perbedaan sikap masyarakat kufah terhadap Ahlul Ba’it, meskipun
mereka sama-sama berdiri dibelakang imam – imam Ali misalnya-, tetapi
motif keberpihakan mereka sangat berbeda. Muhammad Jafri menuliskan,
Kelompok pertama adalah
pengikut setia yang memiliki komited terhadap kepemimpinan Ahlul Bait
nabi, mereka memiliki keyakinan bahwa ide nilai-nilai keadilan dan
keagamaan, akan terwujud hanya melalui kepemimpinan yang ditunjuk Allah
melalui Muhammad. Bagi kelompok ini pertimbangan kegamaan dan spiritual
merupakan satu-satunya tenaga dorong untuk menunjukan loyalitas kepada
mereka.
Kelompok kedua adalah kelompok besar
masyarakat kufah, terdiri dari para Pemimpin klan dan kabilah serta
para ’urafa pengawas unit yang lazim disebut sebagai asyraf al qabail.
Bersama mereka terdapat orang-orang yang kepentinganya tergantung pada
orang-orang mulia dan terhormat ini (asyraf al qabail), Mereka
berkepentingan dalam menjaga dan memelihara kedudukan politis dan
memonopoli ekonomi, yang sangat terancam bila Ali berhasil dengan kokoh
menegakkan pemerintahan dio kufah. Tetapi pada saat yang bersamaan
mereka ragu untuk menyerah secara terbuka kepada Muawiyah yang akan
menghilangkan posisi tawar menawar mereka. Karena alasan inilah maka
pada lahirnya tetap dalam jajaran dan barisan laskar Ali demi menekan
muawiyah agar memberi konsesni itimewa pada mereka.
Kelompo ketiga
adalah kelompk pragmatis yang berasal dari masa kufah, kebanyakan
Yamani dan mawali non Arab, mereka berdiri di belakang Ali dengan
harapan berakhirnya dominasi quraisy dan terlebih khusus superioritas
klan Umayyah. Sebagian merupakan hafizh (qura), Tetapi baladzuri
menjelaskan, “Mereka ini tidak mengerti kalau imamah dan politik
merupakan dua hal yang berada di luar topik atau masalah suku.
Kecendrungan mereka terlihat dalam cara berfikir mereka yang menafsirkan
secara menyimpang (Ansab al Asyraf II/363). Muhammad jafri
menambahkan, Secara emosional, kapan saja mereka melihat ada harapan
berhasil dari seorang ahlul al bayt, mereka segera mengerumininya,
praktis, mereka kemudian membuangnya begitu mereka melihat harapan yang
akan diperolehnya sangat tipis (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 181).
Untuk melihat sejauhmana perbedaan motif-motif dari orang-orang
kufah yang berdiri di belakang para Imam ini yang di informasikan
secara melimpah oleh para ulama dan sejahrawan ahlu sunnah, Para penulis
sejahrawan awal, terutama yang memberi perhatian khusus pada peritiwa
shififn seperti Nasr bin Muzahim al Minqari dengan kitabnya Waq’at ash
Shiffin, Baladzuri Ansyab al asyraf dan Futuh al Buldan, menceritakan
bagaimana perbedan tegas antara para syiah dan kelompok diluar syiah
yang berdiri dibelakang Imam Ali dan berikut sebagian kecil kutipanya :
Diceritakan oleh Nashr bin Muzahim al Minqari (Waq’at ash Shiffin
110-119), Baladzuri (Ansyab al asyraf II/293 dst dan Futuh al Buldan II
/362, 460-470) , Menghadapi ganguan yang dilancarkan oleh Damaskus
secara terus menerus, Ali bin Abi Thalib memanggil sahabat dan
tokoh-tokoh penting kufah, untuk dimintai pendapatnya. (perhatikan
jawaban yang diriwayatkan oleh sejahrawan ahlu sunnah ini sikapnya
sangat berbeda antara kaum syiah dan para badut-badut politik kufah-ibnu
jawi al jogjakartani) dan masing-masing memberikan pandanganya,
Ammar bin Yassar mengatakan, “ akan lebih baik jika bergerak sehari
lebih cepat” kemudian Ammar bersyair “Bergeraklah untuk memerangi
kelompok-kelompok yang merupakan musuh musuh Nabi, karena sebaik-baik
orang adalah syiah Ali “
Qais bin Sa’ad berkata, “ Berjihad melawan orang Damaskus lebih wajib
ketimbang berjihad melawan Turki dan Romawi “ Nasr bin Muzahim
menambahkan, bahwa Qais bin Sa’ad selalu menekankan dengan berbicara
atas nama Anshar mendorong orang-orang kufah menghadapi Muawiyyah, Qais
menekankan bahwa para sahabat Rasulullah ada bersama mereka, dan tujuh
puluh orang ahli badr bersama mereka, sementara pemimpin kita adalah
saudara sepupu Nabi, washi Rasulullah dan seorang tokoh andalan Badr.
Sahl bin Hunaif menyatakan kepada Ali, bahwa “Anshar menyatakan siap dan taat mengikuti perintah-perintah Ali”
Sementara itu perhatikan jawaban-jawaban para asyraf al qabail dan
tokoh Qura sebagaimana ditulsikan oleh oleh Nashr bin Muzahim al Minqari
(Waq’at ash Shiffin 110-119), Baladzuri (Ansyab al asyraf II/293 dst
dan Futuh al Buldan II /362, 460-470) dibawah ini :
Ketika Sahl bin Hunaif menyatakan, bahwa anshar siap dan taat kepada
Ali bin Abi Thalib, sebagian orang-orang kufah yang hadir disana gaduh,
dan ada yang berkeberatan, dia adalah Hanzalah bin Rabi’ah, ia
mengatakan, “ anda mau mengirim kami untuk membunuh orang-orang
Damaskus, sementara kemarin anda sudah membawa kami untuk membunuh
orang-orang Basrah”. Mendengar itu Malik Asytar menukas, dan berkata
kepada Ali bin Abi Thalib “ Anda tidak usah cemas, merasa tidak enak dan
jangan diambil hati ucapan pengkhianat ini, kami muslim adalah syiahmu
yang akan membela engkau” . Kemudian diketahui Hanzalah atas tekanan
sukunya malam-malam pergi bergabung dengan Muawiyah, namun tidak ikut
ambil bagian dalam Perang.
Itris bin Arqub Syaibani -Baladzuri menuturkan kelak ia menjadi
khawarij, dan dia adalah sahabt Abdullah bin Mas’ud (Ansab al asyraf II
363)- mewakili kaum qura dan sukunya menyatakan kepada Ali bin Abi
Thalib“ Kami bersama dan ikut anda tetapi perlu anda ketahui, bahwa
kesertaan kami kepada anda tidak menyebabkan kami terikat kepada anda”
Rabi’ah bin Khutsaim seorang asyraf al qabail, menyatakan bahwa
“membawa masyarakt kufah dalam peperangan menghadapi Muawiyyah adalah
ketidak mungkinan “ lalu ia menyatakan kepada Ali bin Abi Thalib, bahwa
ia dan kabilahnya yang sependapat dengan dirinya akan mundur ke Rai,
dan Nasr bin Muzahim al Minqari menyebut ia di ikuti empat ratus orang
dari sukunya. Sementara itu kabilah Bajila mundur ke daerah Dailami.
Ath Thabari (Tarikh I/3256) meringkaskan sikap sebagian besar Asyraf
al Qabail, ia menyatakan Para kabilah (ayraf al qabail) menyatakan
kepada Ali bin Abi Thalib agar tidak memerangi Muawiyyah”, sementara itu
Muhammad Jafri, menambahkan “ kebanyakan asyraf al qabail tidak
memperlihatkan hasrat memerangi Muawiyah, mereka berangkat ke shifin
dalam semangat netral, dan dengan serta merta menerima perdamaian yang
ditawarkan melalui usulan arbitrase” Origin and Early Development of shi’a Islam hal 175)
Sikap pragmatis orang-orang kufah (yang bukan pengikut syi’ah) yang
menjadikan motif keuntungan sebagai aliran ini juga tampak jelas,
Baladzuri menceritakan ” Sebagian pasukan kufah gampang berubah pikiran
dan bergabung dengan Muawiyah, ketika Muawiyah memberika jeumlah uang
kepada pasukan Ali yang berasal dari Kufah ” (al Futuh buldan III/121)
Dan sejahrawan Ahlu sunnah sendiri, banyak menuliskan sikap-sikap para
syi’ah yang menolak sogokan Muawiyyah ini dan inilah yang membedakan
secara tegas antar syi’ah dan para pragmatis, Kepada Ziyad bin hafsah,
Muawiyah berkata : Aku ingin anda sekeluarga bergabung dengan kami. Aku
Berjanji kelak nanti kalau kemenangan sudah kami raih maka akan kami
berikan kepqad anda kota yang anda inginkan, Ziyad bin Hafsah menjawab
:” Aku memegang teguh prinsip atau kebenaran dari Allah, dan aku tak
mungkin mendukung orang yang tidak menghormati hukum Allah dan tidak
bermoral seperti anda ( Nasr bin Muzahim al Minqari, Waqa’at ash Siffin
199) nasr menceritakan, Qays bin sa’ad pun tak luput dari upaya
sogokaan oleh Muawiyah, tetapi ia tampik dengan keras, dan mengatakan “
Engkau ingin memperdaya aku dengan uangmu dalam agamaku , pergilah
kalian” Bandingkan dengan sikap asyraf al qabail yang diceritakan oleh
Ibn A’tsam ( al Futuh IV/hal 156) dimana par asyraf al qabail yang
membelot ke kubu Muawiyah karena sogokan. Ibn A’tsam mengungkapkan
secara detail bagaimana pengaruh sogokan Muawiyah dimasa Imam Hasan.
Satu hal yang membuat saya (ibnu jawi al jogjakartani) heran,
bagaimana orang dengan moralitas yang menghalalkan sogokan untuk meraih
tujuan disebut sebagai orang yang patut diteladani, semntara mereka yang
kukuh dan teguh membela kebenaran justru di sebut sebagai rafidhah
sesat, bila demikian mengapa ahlu sunnah tidak menghalalkan saja
sogokan, bukankah dalam versi kalian sunnah sahabay juga menjqdi
rujukan, dan bukankah muawiyah menghalalkan sogokan
Dari sedikit kutipan dari para sejahrawan diatas, jelas membuktikan
bagaimana struktur sosial masyarakat kufah, kesertaan mereka tyerhadap
para Imam Ali bin Abi Thalib tidak serta merta menyebabkan orang kufah
menjadi syiah, para sejahrawan teal menunjukan bagaimana warna
kecendrungan yang dimiliki masing-masing kelompok yang kelak mengkristal
mejadi syiah, khawarij dan pendukung Muawiyyah yang mewujud menjadi
ahlu sunnah wal jama’ah.
KESIMPULAN AKHIR
Dengan memperhatikan uraian panjang diatas, ibnu jawi al jogjakartani dapat mengambil kesimpulkan bahwa :
- Struktur sosial yang membentuk masyarakat Kufah tidaklah homogen, tetapi memiliki heterogenitas kesukuan.
- Bahwa kebijakan Diwan para penguasa sebelum Imam Ali atas Kuffah, kelak menaburkan benih “ketidak setiaan” mereka terhadap Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.
- Masyarakat Kufah tidak seluruhnya adalah Syi’ah, kesertaan mereka terhadap Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as tidak dapat secara sembrono disebut sebagai syi’ah, karena sejahrawan telah dengan sangat jenius mengkatagorisasikan syiah disatu sisi dan di sisi lain menunjukkan kelompok-kelompok pragmatis Pragmatis tersebut
- Kelompok Pragmatis di tubuh masyarakat kufah tersebut adalah
- Kelompok Asyraf al Qabaail (yang terdiri dari para pemimpin Klan dan ’Urafa (pengawas dan pemimpin unit terkecil) yang berpihak kepada Imam untuk mengukuhkan posisinya dan menghapuskan dominasi Umayyah.
- Kelompok para qurra (al hafizh) yang berpihak kepada Imam dengan kepentingan sama seperti kelompok Asyraf al Qabail, yang membedakan adalah kelompok hafizh ini menuntut kesetaraan atas dominasi kaum Qurasy maupun bani Ummayah.
Dengan demikian peta sosial kondisi masyarakat kufah sudah dapat
dijelaskan, dan denganya diketahui betapa heterogenya struktur
masyarakat kufah dan kompleksnya kepentingan mereka terhadap eksistensi
Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.
Wallhu alam bhi showab,
Bersambung Insya Allah pada tulisan :
MELACAK KELOMPOK PENGKHIANATAN MASYARAKAT KUFAH KEPADA IMAM ALI as, IMAM HASAN as DAN IMAM HUSAIN as (2)
Pengkhianatan Asyraf al Qabail dan Para Qurra terhadap Imam Ali bin Abi Thalib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar