KONFLIK SURIAH, STRATEGI ZIONIS DAN AMERIKA UNTUK
MENGAMANKAN POSISI ISRAEL DI TIMUR TENGAH.
http://mannstoriezz.blogspot.com/2013_08_01_archive.html
Penulis dan pengamat politik internasional Jerry D. Gray mengatakan Zionis selalu membuat distorsi berita dunia Islam dengan tujuan mengadu domba sesama umat Islam. Menurutnya “Dengan merebaknya distorsi atau pemutarbalikkan fakta berita dunia Islam, warga suatu negara bisa diadu domba misalnya dengan isu Sunni – syiah, hingga terjadi peperangan dan pertumpahan darah seperti di Suriah,”
Aktivis kemanusiaan MER-C Dr. Joserizal Jurnalis, SpOT, dalam makalahnya yang berjudul “Konflik Suriah dalam Rancangan Novus Ordo Seclorum”, juga mengemukakan pandangannya terkait Suriah. Menurutnya, untuk mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak lagi, maka harus ditentukan akar permasalahan konflik.
Acara diskusi terbuka
itu bertema “Kenapa Suriah?”. Dilaksanakan Rabu (26 Juni 2013) siang,
tepatnya pukul 14.0 di Auditorium Ar Rahim, Lt 12 Universitas YARSI,
Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi
tersebut: dr. Joserizal Jurnalis, SpOT (Mer-C), Jerry D Gray (penulis
dan pengamat politik internasional), dan Drs M. Hamdan Basyar Msi,
(peneliti LIPI).
Joserizal memaparkan,
tujuan politik kemanusiaan adalah untuk mengurangi korban akibat perang
dan konflik. Dalam kesempatan itu, Jose juga menjelaskan track record
MER-C dalam politik kemanusiaan di Ambon tahun 1999 dan pembebasan
sandera GAM, Ferry Santoso dan Ersa Siregar.
Jose mengutip data
korban konflik Suriah dari PBB. Hingga akhir April 2013, korban yang
tewas akibat konflik Suriah mencapai 92.900-100.000 jiwa. Jose juga
menjabarkan akar permasalahan konflik Arab Spring, mulai dari Revolusi
di Tunisia, Mesir, Libya dan Suriah. Lalu Kenapa Suriah? Begitu Jose
bertanya.
Selanjutnya, Jose
menjelaskan, tentang peta oposisi dan rezim Bashar Assad. Di pihak
oposisi ada SNC (Syrian National Council), FSA (Free Syrian Army), dan
FSA dilapangan dibantu oleh “foreign fighters”, yakni Al Qaeda, Al Nusra
dan lain-lain. Kelompok Oposisi, kata Jose, juga dibantu oleh AS, NATO,
Israel, Saudi, Qatar, dan Turki. Sedangkan Rezim Bashar Assad dibantu
oleh SAA (Syrian Arab Army), Hizbullah, dan negara seperti Rusia, Cina
dan Iran.
Awal pemicu konflik,
dikatakan Jose, berawal pada 11 Maret 2011. Ketika itu terjadi demo di
sebuah kota kecil bernama Daraa yang berada di dekat perbatasan
Suriah-Yordania. Demo tersebut dilakukan dalam rangka memperjuangkan
demokrasi yang kemudian diantisipasi oleh rezim dengan keras.
“Konflik lalu
berkembang. Hingga timbul gerakan perlawanan senjata terhadap Bashar
Assad. Dalam perjalanan waktu, demo yang damai berubah menjadi
peperangan antara oposisi dan rezim,” ujar Jose.
Lalu kenapa Suriah?
Inilah yang menjadi pertanyaan besar Joserizal. Menurutnya Suriah
adalah: pertama, negara yang kuat secara militer dan intelijen.
Kedua,
Suriah selalu menunjukkan sikap perlawanan dengan Israel.
Ketiga, alasan
Arab Spring untuk Suriah adalah menegakkan demokrasi.
Bukti Suriah adalah
negara yang kuat secara militer dan intelijen, kata Jose, tahun 1967
terjadi Perang Enam Hari dan tahun 1973 (perang Yom Kippur). Tahun 2011,
komposisi militer suriah terdiri dari 304. 000 pasukan SAA, 450.000
pasukan cadangan.
Adapun alasan Arab
Spring untuk Suriah, menurut Jose sebagai sesuatu yang aneh. Padahal
Saudi dan Qatar tidak lebih demokratis dari Suriah, namun menjado
pendukung kuat oposisi.
Sedangkan Suriah selalu
menunjukkan sikap perlawanan dengan Israel. Buktinya, kata Jose, setelah
Yom Kippur, Suriah komit membantu Hizbullah dalam memerangi Isarel.
Tahun 2006, Hizbullah memenangkan peperangan dengan Israel.
Sejalan dengan itu, Penulis dan pengamat politik internasional Jerry D. Gray, yang
juga mantan tentara Angkatan Udara AS yang pernah berdinas di Arab
Saudi, mengatakan, adanya konflik di Suriah dan di negeri-negeri muslim
lainnya memang sudah diprogram Amerika.
“Amerika,
Inggris dan sekutunya memang sedang dan terus memerangi dan
menghancurkan negeri-negeri muslimin, termasuk Suriah,” papar penulis
buku Demokrasi Barbar ala AS dan Dosa-Dosa Media Amerika terhadap Umat
Islam itu.
Menurutnya, sebenarnya musuh bersama umat Islam adalah Zionisme internasional, yang secara organisasi digerakkan oleh freemasonry dan iluminati.
“Dunia ini sudah dikuasai oleh Zionis, karena itu hanya dapat di lawan dengan persatuan muslimin sedunia,” tegas Jerry yang memiliki nama Islam Abdurrahman itu.
Ia yang masih mualaf dan terus ingin belajar Islam merasa malu dan sedih, mengapa sesama umat muslim, bahkan ada di antaranya yang satu keluarga, harus saling bunuh.
Menanggapi konflik di Suriah, pria Hawai kelahiran Jerman itu mengatakan, warga Suriah menjadi korban fitnah dan adu domba Amerika. Amerika menghendaki konflik berdarah di Suriah jangan sampai cepat selesai.
“Warga Amerika saja sudah tidak percaya dengan pemerintahannya yang selalu membuat kebijakan merugikan warganya, menjadikan banyak musuh, hingga mengakibatkan jutaan manusia meninggal,” ujarnya.
Untuk itu, ia menyerukan agar seluruh komponen umat Islam meningkatkan kesadaran beragama dan pentingnya menjalin persatuan dan kesatuan umat Islam.
Menurutnya, sebenarnya musuh bersama umat Islam adalah Zionisme internasional, yang secara organisasi digerakkan oleh freemasonry dan iluminati.
“Dunia ini sudah dikuasai oleh Zionis, karena itu hanya dapat di lawan dengan persatuan muslimin sedunia,” tegas Jerry yang memiliki nama Islam Abdurrahman itu.
Ia yang masih mualaf dan terus ingin belajar Islam merasa malu dan sedih, mengapa sesama umat muslim, bahkan ada di antaranya yang satu keluarga, harus saling bunuh.
Menanggapi konflik di Suriah, pria Hawai kelahiran Jerman itu mengatakan, warga Suriah menjadi korban fitnah dan adu domba Amerika. Amerika menghendaki konflik berdarah di Suriah jangan sampai cepat selesai.
“Warga Amerika saja sudah tidak percaya dengan pemerintahannya yang selalu membuat kebijakan merugikan warganya, menjadikan banyak musuh, hingga mengakibatkan jutaan manusia meninggal,” ujarnya.
Untuk itu, ia menyerukan agar seluruh komponen umat Islam meningkatkan kesadaran beragama dan pentingnya menjalin persatuan dan kesatuan umat Islam.
Selasa, 27 Agustus 2013
Terungkap, AS Bantu Irak Gunakan Senjata Kimia
http://www.syababindonesia.com/2013/08/terungkap-as-bantu-irak-gunakan-senjata.html
Washinton - Amerika Serikat (AS) boleh saja marah kepada
Suriah karena menggunakan senjata kimia. Bahkan AS bisa saja menyerang
Suriah sebagai peringatan kepada Damaskus.
Namun, sebagaimana diungkap Foriegn Policy, Senin (26/8/2013), sebuah dokumen CIA mengungkap bahwa AS memiliki sejarah kotor dalam penggunaan senjata terlarang itu. Pada Perang Irak-Iran 1988, AS ternyata pernah membantu Irak untuk menyerang Iran dengan senjata kimia.
Saat itu, AS memantau perang tersebut melalui satelit dan tahu bahwa Iran sedang melakukan langkah startegis dengan cara mengali lubang di wilayah pertahanan Irak. AS kemudian membocorkan hasil mata-mata kepada sekutunya Irak yang ketika itu dipimpin Saddam Hussein. AS tahu bahwa Saddam Hussein akan menyerang Iran dengan menggunakan senjata kimia, termasuk gas sarin yang beracun dan mematikan saraf.
AS menyuplai Irak dengan foto-foto dan peta mengenai pergerakan tentara Iran, termasuk lokasi logistik dan pertahanan udara Iran. Irak kemudian menyebarkan bom gas sarin saat penyerangan besar-besaran ke wilayah Iran berdasarkan informasi yang dipasok AS. Serangan ini menyebabkan Iran kelabakan dan bersedia duduk di meja perundingan.
AS tentu saja membantah keterlibatannya dalam serangan senjata kimia Irak terhadap Iran. AS beralasan, Saddam Hussein tidak pernah memberi tahu bahwa ia akan menggunakan senjata kimia.
Sayangnya kebohongan itu terungkap oleh dinas intelijennya sendiri. Dokumen CIA yang kini diungkap ke publik menunjukkan bahwa AS sudah tahu pemilikan senjata kimia Irak itu sejak 1983. Saat itu, Iran sudah mengungkapkan bahwa pihaknya diserang Irak dengan senjata kimia dan berniat menunjukkan buktinya kepada PBB.() inilah.com, 27/08/2013
SAATNYA MEMBAHAS KONFLIK SURIAH SECARA OBJEKTIF
http://mannstoriezz.blogspot.com/2013/07/saatnya-membahas-konflik-suriah-secara.html
Media barat serta saudara sepupunya media salafi wahabi dan media-media
pro-ekstremis islam gencar mempengaruhi opini publik dengan memberi
gelar “si pembunuh” terhadap Bashaar al-Asaad, Presiden Suriah. Bahkan,
untuk kasus Libya dan Syria, justru Al Jazeera (media yang sering
dicitrakan sebagai media non-Barat), malah menjadi ujung tombak untuk
menggalang opini dunia agar AS diberi hak untuk melakukan ‘humanitarian
intervention’: menyerbu Libya dan Syria, menggulingkan Qaddafi dan
As’ad, dan mengganti keduanya dengan pemimpin yang bisa ‘diatur’
untuk itu sebelum anda terpengaruh opini-opini negatif yang berkembang
di media-media sekuler ataupun media konservatif yang kurang objektif,
ada baiknya Anda menyimak pembahasan fakta-fakta berikut ini:
Siapa Bashaar al-Assaad..?
Asad adalah satu-satunya pemimpin Arab yang hingga hari ini tetap teguh
menolak berdamai dengan Israel, Asad bahkan membantu Hizbullah untuk
melawan invasi Israel ke Lebanon selatan, bahkan Asad menyediakan
perlindungan bagi aktivis-aktivis top Hamas. Syiria
– Asad adalah ‘ayah’ bagi jutaan pengungsi Palestina dan Irak. Sejak 63
tahun yang lalu, Syria adalah tempat berlindung bagi orang-orang
Palestina yang terusir dari tanah air mereka sendiri. Syria bahkan
menjadi markas perjuangan Hamas untuk membebaskan Palestina dari
penjajahan Israel. Kondisi 500.000 pengungsi Palestina di Syria jauh
lebih baik daripada kondisi pengungsi Palestina di Lebanon atau Jordan.
Para pengungsi itu mendapat layanan kesehatan dan perumahan yang sama
sebagaimana rakyat Syria. Lebih dari itu, perang Irak pun membawa dampak
membanjirnya pengungsi ke Syria. AS yang konon datang ke Irak untuk
menyelamatkan rakyat Irak, justru telah menyebabkan 1,5 juta warga Irak
terpaksa mengungsi, menjauhkan diri dari berbagai aksi kekerasan di
Irak. Bagi Syria yang berpenduduk 18 juta jiwa itu, kedatangan 2000
pengungsi per hari (data tahun 2007) , jelas memerlukan sebuah
kelapangan hati yang luar biasa. Bandingkan dengan Mesir era Mubarak
yang dengan bengis menutup pintu perbatasan Rafah, menghalangi pengungsi
Palestina, yang sekarat sekalipun, untuk mendapatkan pertolongan.
Menurut UNHCR, kedatangan pengungsi dalam jumlah sangat besar itu
menambah berat beban Syria karena mereka diberi layanan sebagaimana
warga Syria: pendidikan, kesehatan, rumah, dan subsidi minyak. Tak heran
bila Syria disebut sebagai negara yang terbaik di kawasan Timur Tengah
dalam memberikan layanan sosial dan ekonomi bagi para pengungsi. Dan
kini, AS dan sekutu-sekutunya berupaya menggulingkan Assad dengan alasan
demokrasi.
Namun, alasan sesungguhnya adalah jelas: Asad adalah satu-satunya
pemimpin Arab yang hingga hari ini tetap teguh menolak berdamai dengan
Israel, Asad bahkan membantu Hizbullah untuk melawan invasi Israel ke
Lebanon selatan, bahkan Asad menyediakan perlindungan bagi
aktivis-aktivis top Hamas. Bagi Israel, Asad adalah duri dalam daging.
Dan kepada AS-lah Israel meminta bantuan untuk menyingkirkan Asad.
AS, lagi-lagi, menggunakan cara lama, membiayai dan mempersenjatai
kelompok-kelompok oposan di Syria untuk melawan Asad. Media pun
digunakan untuk membesar-besarkan demo di Syria (bahkan dengan cara
curang sekalipun, dengan menggunakan kamuflase gambar- gambar dan
video).
Terungkapnya Jati Diri Para Aktor di Syria
Konflik di Syria telah memasuki fase baru. Bila sebelumnya kaum oposisi
‘berjuang’ di bawah bendera Syrian National Council dan Free Syrian Army
(FSA), kini masing-masing faksi di dalamnya mulai berpecah dan
menampakkan ideologinya masing-masing. SNC dan FSA dibentuk di Turki. Di
dalam FSA bernaung sebagian besar milisi (sebagian pihak menyebutnya
‘mujahidin’), termasuk Al Qaida. Mereka menjadikan Sheikh Adnan Al-Arour
yang tinggal di Arab Saudi sebagai pemimpin spiritual. Dalam salah satu
pidatonya yang bisa dilihat di You Tube, Al Arour menjanjikan bahwa
bila pasukan mujahidin menang, kaum Alawi akan ‘dicincang seperti daging
anjing’.
Kaum muslim ‘moderat’, dipimpin oleh Ikhwanul Muslimin, memilih untuk
bergabung dalam National Coalition for Syrian Revolutionary and
Opposition Forces yang baru dibentuk bulan November lalu di Doha, Qatar.
Koalisi baru ini didukung oleh Qatar, Arab Saudi, AS, Inggris, dan
Prancis. Negara-negara tersebut selama ini memang sudah membiayai,
mengirimi senjata, dan memfasilitasi kedatangan pasukan ‘jihad’ dari
berbagai negara Arab dan Libya untuk membantu FSA, namun kini secara
terbuka telah menyatakan akan mengirim bantuan senjata kepada koalisi
baru tersebut. Jadi, meskipun ‘moderat’, koalisi baru ini tetap akan
angkat senjata melawan rezim Assad.
Kelompok-kelompok yang berhaluan Hizbut Tahrir (meski tidak
mengatasnamakan diri Hizbut Tahrir, tetapi mendapat dukungan secara
terbuka dari berbagai cabang HT di dunia, termasuk dari Indonesia),
mengecam pembentukan koalisi baru tersebut. Kelompok ini, antara lain,
Gabhat al Nousra, Ahrar Al Sham Kataeb, Liwaa al Tawhiid, dan Ahrar
Souria memilih memisahkan diri dan mendeklarasikan perjuangan untuk
membentuk khilafah di Syria.
Meski ‘bercerai-berai’, kelompok oposisi Syria memiliki suara dan tekad
yang sama: menumbangkan “rezim Assad yang sesat dan kafir”. Mereka pun
selama ini saling membantu dalam menciptakan opini publik: betapa kejam
dan brutalnya rezim Assad dalam membantai rakyatnya sendiri. Semua ini
mengaburkan fakta yang sebenarnya terang benderang: AS dan Israel ingin
menggulingkan rezim Assad dan menggantikannya dengan rezim yang mau
‘mengamankan’ Israel. Konflik Syria-Israel adalah catatan sejarah yang
panjang yang kini coba diabaikan dan ditutupi oleh isu perjuangan jihad
melawan kaum ‘Alawi yang kafir’ itu.
AS dan sekutunya sebenarnya menggunakan skenario yang persis sama dengan
Libya: dukung kelompok oposisi dengan persenjataan. Ketika pemerintah
berusaha mengendalikan pemberontakan (lalu, apalagi yang harus dilakukan
pemerintah menghadapi pemberontak? Apa yang harus dilakukan pemerintah
Indonesia bila misalnya, tiba-tiba sekelompok gerilyawan di Jawa Barat
angkat senjata dan ingin mengambil alih pemerintahan? Diam saja dan
menyerahkan pemerintahan atas nama demokrasi?), kelompok oposisi pun
berteriak meminta bantuan internasional (dengan nama indah:
‘humanitarian intervention’). Lalu, datanglah NATO membombardir Libya.
Qaddafi tumbang, pemerintahan pun digantikan oleh tokoh-tokoh yang
‘lunak’ dan membiarkan semua proyek rekonstruksi dan eksplorasi minyak
diambil oleh perusahaan-perusahaan Barat.
Inilah yang sedang terjadi di Syria.
Awalnya, sejak Januari 2011, rakyat Syria diseru via facebook dan
twitter untuk turun ke jalan. Ada aksi demo, tapi sangat tidak
signifikan, apalagi bila dibandingkan dengan aksi demo di Kairo. Lalu,
terjadilah tragedi Daraa, kota kecil berpenduduk 75.000 jiwa yang dekat
perbatasan Jordania. Jurnalis independen Prancis, Thierry Meyssan sejak
awal mengendus pemilihan Daraa sebagai titik awal gerakan bersenjata
kaum oposisi karena mudahnya suplai senjata dan milisi jihad dari
Jordan. Demo di Daraa terjadi tanggal 23 Maret 2011. Jumlah yang tewas
adalah 7 polisi dan sedikitnya 4 demonstran. Adanya data bahwa polisi
tewas dalam demonstrasi itu sangat penting karena ini menunjukkan bahwa
ada tembak-menembak antara polisi dan demonstran. Artinya, demonstrasi
saat itu bukanlah demonstrasi damai seperti diklaim media massa Barat.
Selain itu, pemberitaan media (salah satunya, Aljazeera) juga
menunjukkan bahwa markas kantor Partai Baath dan kantor pengadilan juga
dirusak massa. Demonstrasi damaikah ini?
Berbeda dengan kondisi di Mesir dan Tunisia di mana aksi demo local
memuncak menjadi demo nasional yang berpusat di ibu kota negara, justru
menyusul tragedi di Daraa, muncul demo besar-besaran yang mendukung
Assad. Demo itu terjadi di Damaskus, tanggal 26 Maret 2011. Kantor
berita Reuters yang menyiarkan foto-fotonya, namun, tidak disebut-sebut
dalam pemberitaan media-media mainstream. Televisi Syria menyiarkannya
secara live. Rekaman aksi demo dengan jumlah massa yang sangat massif
ini bisa didapatkan di You Tube.
Selanjutnya terjadi aksi-aksi kerusuhan bersenjata di berbagai tempat,
dengan korban di dua pihak, polisi dan massa. Tapi, tentu saja, yang
disebarluaskan media massa dunia dan media massa Islam yang berafiliasi
dengan organisasi ‘mujahidin’ adalah rezim Assad melakukan kebrutalan
terhadap rakyat. Fakta yang ditemukan jurnalis-jurnalis independen sejak
awal, terkait suplai senjata dan pasukan dari negara-negara Arab,
diabaikan begitu saja.
Temuan para blogger tentang rekayasa foto-foto dan film yang disebarkan
media massa juga dianggap sepi, padahal semua begitu jelas: gambar demo
di Tunisia disebut demo di Syria, gambar demo pendukung Assad, disebut
demo anti-Assad, gedung hancur di Palestina disebut gedung yang hancur
di Syria; orang tewas berdarah-darah di Palestina disebut korban
pembunuhan Assad; serangan brutal yang dilakukan mujahidin diklaim
sebagai serangan tentara Assad, dan banyak lagi.
Dan tentu saja, sekali lagi, ketika pasukan mujahidin bersenjata
sedemikian lengkap dan didukung pasukan jihad multinasional, lalu
pemerintah melawan, pastilah ada korban di kedua pihak. Keduanya harus
diekspos seimbang. Namun yang selalu diungkap oleh media mainstream dan
yang berafiliasi dengannya adalah korban di pihak ‘mujahidin’.
Untunglah, ada jurnalis-jurnalis independen dan citizen journalist yang
dengan gigih melakukan pengimbangan berita.
Para pengamat politik yang concern pada masalah Syria akan sepakat bahwa
Rezim Assad berideologi sosialis dan haluan pemerintahannya sangat
sekuler. Rezim Assad jauh sekali dari definisi ‘pemerintahan berhaluan
Alawi’. Tapi karena ‘kebetulan’ dia dan kalangan elit pemerintahnya
bermazhab Alawi, isu Sunni-Syiah dijadikan pretext jihad. Mengingat 80%
rakyat Syria adalah Sunni, tentu logikanya, mereka sangat kuat.
Data-data menunjukkan bahwa mayoritas anggota militer Syria adalah
Sunni, meski elitnya Alawi. Bila mayoritas mereka memang membenci Assad,
sangat mudah menumbangkannya, sebagaimana tumbangnya para diktator
lain: Syah Reza Pahlevi, Ben Ali, Mubarak. Tak perlu ada pasukan asing
yang didatangkan dari berbagai penjuru Arab; tak perlu mengemis bantuan
senjata dari luar; tak perlu menyebarkan isu mazhab; tak perlu
berkoalisi dengan AS yang jelas-jelas sekutu Israel.
Dulu, Syah Pahlevi di Iran, kurang kuat apa secara militer? Militer Iran
saat itu yang terkuat di Timteng, dilatih langsung oleh CIA dan MOSAD,
dukungan besar pun diberikan Barat karena kilang-kilang minyak Iran saat
itu dikuasai Inggris dan AS. Tapi karena mayoritas rakyat Iran, apapun
mazhab dan agamanya, memang sudah muak, mereka bangkit tanpa senjata,
hanya berdemo masif berpekan-pekan. Tentu saja, mereka ditembaki tentara
Syah; tapi mereka tidak membalas dengan senjata, dan tidak pula minta
bantuan asing. Akhirnya, Syah pun tumbang, hanya dengan aksi demo;
sebagaimana juga Ben Ali dan Mubarak.
Lalu bagaimana ujung dari konflik ini? Minimalnya ada dua hal yang bisa diprediksi:
Seandainya Assad terguling dan kelompok jihad meraih kekuasaan, di
antara mereka pun akan muncul peperangan karena perbedaan manhaj; di
antara mereka sejak awal sudah ada perbedaan visi, model pemerintahan
Islam seperti apa yang akan dibentuk? Sejak sekarang pun di antara
mereka sudah saling kecam.
AS sendiri sedang ketakutan melihat potensi berdirinya khilafah. Selain
telah memasukkan Gabhat Al Nousra dalam daftar teroris, AS pun mulai
berupaya terjun langsung ke medan perang. Thierry Meyssan melaporkan, AS
tengah berencana mengirim 6000 pasukan jihad, termasuk 4000 orang dari
Lebanon, lalu beberapa mantan jenderal angkatan bersenjata pemerintah
akan mengklaim berhasil meraih kekuasaan dan meminta bantuan
internasional. Hal ini, ditambah dengan isu penggunaan senjata kimia
oleh Assad akan dijadikan pretext perang yang melibatkan NATO atau PBB.
Para Budak Zionis
Apapun yang akan terjadi ke depan, yang jelas, mayoritas rakyat Syria
kini menderita. Syria, negeri yang indah dan disebut sebagai the craddle
of civilization itu kini luluh lantak. Lebih setengah juta rakyat hidup
menderita di pengungsian. Kaum perempuan Syria juga jadi korban
perdagangan perempuan, dijual ke lelaki-lelaki hidung belang dari
negara-negara Arab pendukung perang. Dan akar semua ini adalah
ketidakmampuan sebagian elemen Syria mengidentifikasi siapa musuh mereka
sebenarnya. Mereka merasa sedang berjuang, padahal sebenarnya sedang
menari bersama iringan genderang musuh. (Sumber:
http://www.theglobal-review.com/)
Perang Suriah Jadi Objek Wisata Turis Israel
Pertumpahan darah pihak pemberontak dengan tentara Suriah rupanya bisa
menjadi obyek wisata. Buktinya, saat ini banyak turis asal Israel datang
ke Dataran Tinggi Golan untuk melihat perang saudara itu dari
perbatasan kedua negara.
Surat kabar the Times of Israel melaporkan, Rabu (25/7), wisatawan itu
datang dari pelbagai kota besar Israel, mulai dari Haifa, Tel Aviv,
maupun Jericho. Mereka rata-rata berbekal teropong kecil atau kamera
untuk menyaksikan pertempuran di Kota Jobata al-Khasab, kota perbatasan
Suriah.
Beberapa turis mengaku menikmati sensasi perang, misalnya mendengar
suara ledakan atau desingan peluru dari jauh. Tidak hanya warga sipil
Israel, Menteri Pertahanan Ehud Barak melakukan hal serupa. Dia memantau
situasi negara tetangganya itu juga lewat salah satu bukit di Dataran
Tinggi Golan.
Gilanya lagi, adanya fenomena menonton langsung perang ini segera
ditangkap oleh pengusaha di Negeri Zionis itu. Beberapa perusahaan
wisata sudah merancang paket menonton perang Suriah dalam promo tur
mereka.
http://obatrematiksite.wordpress.com/
BalasHapus