Bayangkan,
pembukaan kantor perwakilan OPM di Inggris dihadiri oleh Walikota
Oxford Mohammaed Niaz Abbasi, anggota Parlemen Inggris, Andrew Smith, dan
mantan Walikota Oxford, Elise Benjamin. Bagaimanapun juga hal ini
secara terang-benderang menggambarkan adanya dukungan nyata dari
berbagai elemen strategis Inggris baik di pemerintahan, parlemen dan
tentu saja Lembaga Swadaya Masyarakat.
Mari
kita simak pernyataan anggota parlemen Andrew Smith, dalam acara
pembukaan kantor perwakilan OPM di Inggris tersebut. “Kami akan bekerja
sama dengan orang-orang di kantor baru kami di Port Moresby, PNG pada
strategi menuju tujuan penentuan nasib sendiri bagi Papua Barat.”
Pernyataan
Andrew Smith harus dibaca sebagai isyarat bahwa gerakan
internasionalisasi Papua sedang gencar dilakukan baik di lini
pemerintahan maupun parlemen di Amerika, Inggris, Australia dan
Belanda. Penekanan Andrew Smith terkait upaya melibatkan PNG, harus
dibaca sebagai bagian integral dari aliansi strategis Amerika
Serikat-Inggris-Australia untuk meng-internasionalisasi isu Papua,
sebagai langkah awal menuju kemerdekaan Papua, lepas dari Indonesia.
Kekhawatiran
tersebut kiranya cukup beralasan, karena dua bulan setelah peresmian
kantor perwakilan OPM di Oxford, Inggris, kelompok Jhon Otto Ondawame
dan Andy Ayamiseba melalui organisasi West Papua National National
Coalition for Liberation (WPNCL) diundang ke KTT ke-19 forum
negara-negara rumpun Melanesia (Melanesian Spearhead Group/ MSG) di
Noumea, New Caledonia. Tindak lanjut dari KTT MSG itu, mereka akan
mengirimkan delegasi para Menlu ke Jakarta dan Papua untuk memantau
perkembangan kondisi HAM.
Gerakan Internasionalisasi Papua Bermula dari Washington
Ini
bukan rumor ini bukan gosip. Sebuah sumber di Kementerian Luar Negeri
RI mengungkap adanya usaha intensif dari beberapa anggota kongres dari
Partai Demokrat Amerika kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk
membantu proses ke arah kemerdekaan Papua secara bertahap. Gerakan ini
sudah bermula sejak awal 2000-an.
Informasi
ini kiranya masuk akal juga. Dengan tampilnya Presiden Barrack Obama di
tahta kepresidenan Gedung Putih sejak 2008 lalu, praktis politik luar
negeri Amerika amat diwarnai oleh haluan Partai Demokrat yang memang
sangat mengedepankan soal hak-hak asasi manusia. Karena itu tidak heran
jika Obama dan beberapa politisi Demokrat yang punya agenda memerdekakan
Papua lepas dari Indonesia, sepertinya memang akan diberi angin. Maka
kejadian pembukaan kantor perwakilan OPM di Inggris April lalu, sudah
seharusnya dipandang sebagai bukti nyata bahwa gerakan
internasionalisasi Papua yang dirintis oleh beberapa anggota Kongres
dari Partai Demokrat di Washington, memang tidak bisa dianggap enteng.
Beberapa
fakta lapangan lain juga cukup mendukung. Sejak pertengahan 2000-an, US
House of Representatives, telah mengagendakan agar DPR Amerika tersebut
mengeluarkan rancangan FOREIGN RELATION AUTHORIZATION ACT (FRAA) yahg secara spesifik memuat referensi khusus mengenai Papua.
Kalau
RUU ini lolos, berarti ada beberapa elemen strategis di Washington yang
memang berencana mendukung sebuah opsi untuk memerdekakan Papua secara
bertahap. Dan ini berarti, sarana dan perangkat yang akan dimainkan
Amerika dalam menggolkan opsi ini adalah, melalui operasi intelijen yang
bersifat tertutup dan memanfaatkan jaringan bawah tanah yang sudah
dibina CIA maupun intelijen Departemen Luar Negeri Amerika. Bukan
melalui sarana invasi militer seperti yang dilakukan George W. Bush di
Irak dan Afghanistan.
Maka
Kementerian Luar Negeri RI haruslah siap dari sekarang untuk
mengantisipasi skenario baru Amerika dalam menciptakan aksi
destabilisasi di Papua. Berarti, KementerianLuar Negeri harus mulai
menyadari bahwa Amerika tidak akan lagi sekadar menyerukan berbagai
elemen di TNI maupun kepolisian untuk menghentikan adanya pelanggaran-
pelanggaran HAM oleh aparat keamanan.
Dengan kata lain, Undang-Undang Foreign Relation Authorization Act (FRAA)
akan dijadikan Pintu Masuk Menuju Papua Merdeka. Melalui FRAA ini,
Amerika akan menindaklanjuti UU FRAA ini melalui serangkaian operasi
politik dan diplomasi yang target akhirnya adalah meyakinkan pihak
Indonesia untuk melepaskan, atau setidaknya mengkondisikan adanya
otonomi khusus bagi Papua, untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada
warga Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Skenario
semacam ini jelasnya sangat berbahaya dari segi keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan sialnya kita juga lemah di fron
diplomasi maupun fron intelijen. Padahal, skema di balik dukungan Obama
dan Demokrat melalui UU FRAA, justru diplomasi dan intelijen menjadi
strategi dan sarana yang dimainkan Washington untuk menggolkan
kemerdekaan Papua.
Waspadai Modus Kosovo Untuk Papua Merdeka
Dalam
teori operasi intelijen, serentetan kerusuhan yang dipicu oleh OPM
dengan memprovokasi TNI dan Polri, maka tujuannya tiada lain untuk
menciptakan suasana chaos dan meningkatnya polarisasi terbuka antara
TNI-Polri dan OPM yang dicitrakan sebagai pejuang kemerdekaan.
Skenario
semacam ini sebenarnya bukan jurus baru bagi Amerika mengingat hal ini
sudah dilakukan mantan Presiden Bill Clinton ketika mendukung gerakan
Kosovo merdeka lepas dari Serbia, dan bahkan juga mendukung terbentuknya
Kosovo Liberation Army (KLA).
Seperti
halnya ketika Clinton mendukung KLA, Obama sekarang nampaknya hendak
mencitrakan OPM sebagai entitas politik yang masih eksis di Papua dengan
adanya serangkaian kerusuhan yang dipicu oleh OPM sepanjang 2009 ini.
Lucunya,
beberapa elemen LSM asing di Papua, akan menyorot setiap serangan
balasan TNI dan Polri terhadap ulah OPM memicu kerusuhan, sebagai
tindakan melanggar HA Tapi sebenarnya ini skenario kuno yang mana aparat
intelijen kita seperti BIN maupun BAIS seharusnya sudah tahu hal akan
dimainkan Amerika ketika Obama yang kebetulan sama-sama dari partai
Demokrat, tampil terpilih sebagai Presiden Amerika.
Isu-isu
HAM, memang menjadi ”jualan politik” Amerika mendukung kemerdekaan
Papua. Karena melalui sarana itu pula Washington akan memiliki dalih
untuk mengintervensi penyelesaian internal konflik di Papua.
Di
sinilah sisi rawan UU FRAA jika nantinya lolos di kongres. Sebab dalam
salah satu klausulnya, mengharuskan Departemen Luar Negeri Amerika
melaporkan kepada kongres Amerika terkait pelanggaran- pelanggaran HAM
di Papua.
Maka,
kejadian tewasnya 8 anggota TNI, jangan dibaca semata sebagai
konsekwesnsi Perang antara TNI dan OPM, tapi lebih dari itu, untuk
membenturkan antara TNI dan warga sipil Papua, yang nantinya seakan
semua warga sipil Papua adalah OPM.
Rand Corporation Rekomendasikan Indonesia Dipecah Jadi 7 Wilayah
Dalam
buku saya, Tangan-Tangan Amerika (Operasi Siluman AS di Pelbagai
Belahan Dunia), terbitan Global Future Institute pada 2010, bahwa dalam
skema yang dirancang Pentagon melalui rekomendasi studi Rand
Corporation, Indonesia harus dibagi 8 wilayah, yang mana salah satu
prioritas jangka pendek adalah memerdekakan Papua. Ini yang kemudian
saya istilahkan dalam bukut saya sebagai BALKANISASI NUSANTARA.
Melalui
skema Presiden Obama sejak 2008, dengan menggunakan jargon demokrasi
dan penegakan HAM sebagai isu sentral, maka masalah masa depan Aceh dan
Papua bisa menjadi duri dalam daging bagi hubungan Indonesia-Amerika ke
depan.
Rekomendasi
macam ini jelas tidak main-main mengingat kenyataan bahwa Rand
Corporation merupakan sebuah badan riset dan pengembangan strategis di
Amerika yang dikenal sering melayani secara akademis kepentingan
Departemen Pertahanan Amerika (Pentagon) dan atas dukungan dana dari
Pentagon pula. Sehingga bisa dipastikan rekomendasi-rekomendasi studi
Rand Corporation ditujukan untuk menyuarakan kebijakan strategis
Pentagon dan Gedung Putih.
Dengan
demikian, internasionalisasi Papua dan Bahkan Aceh, yang sudah
menerapkan otonomi daerah, ternyata masih merupakan isu sentral dan
agenda mereka hingga sekarang. Bahkan dalam scenario building yang
mereka gambarkan, wilayah Indonesia harus dipecah menjadi 7 bagian.
Sekadar
informasi, rekomendasi Rand Corporation ihwal memecah Indonesia jadi 8
bagian tersebut dikeluarkan pada tahun 1998. Artinya, pada masa ketika
Presiden Clinton masih menjabat sebagai presiden. Berarti rekomendasi
Rand Corporation atas sepengetahuan dan sepersetujuan Presiden Clinton
dan Pentagon.
Dengan demikian, menjadi cukup beralasan bahwa rekomendasi Rand
Corporation tersebut akan dijadikan opsi oleh Obama. Karena rekomendasi
Rand Corporation dikeluarkan ketika suami Hillary masih berkuasa.
Dalam
skenario Balkanisasi ini, akan ada beberapa negara yang terpisah dari
NKRI. Yang sudah terpisah Yaitu Timor Timur yang terjadi pada 1999 masa
pemerinthan BJ Habibie. Lalu Aceh, sepertinya sedang dalam proses dan
berpotensi untuk pecah melalui “sandiwara” MoU Helsinki dan kemungkinan
(telah) menangnya Partai Lokal di Aceh pada Pemilu 2009 tahun ini.
Kemudian Ambon, Irian Jaya, Kalimantan Timur, Riau, Bali. Dan sisanya
tetap Indonesia.
Anggap
saja skenario ini memang sudah ditetapkan oleh pemerintahan Obama, maka
besar kemungkinan skenario ini akan dijalankan Amerika tidak dengan
menggunakan aksi militer. Dalam skema ini, Diplomasi Publik Menlu
Clinton, yang di era kedua kepresidenan Obama diteruskan oleh Menlu John
Kerry, akan menjadi elemen yang paling efektif untuk menjalankan
skenario Balkanisasi Nusantara tersebut.
Dengan kata lain, mengakomodasi dan menginternasionalisasi masalah Aceh
atau Irian Jaya, akan dipandang oleh Amerika sebagai bagian dari
gerakan demokrasi dan penegakan HAM.
Menyadari
kenyataan ini, rencana OPM berikutnya untuk membuka kantor
perwakilannya di Belanda Agustus ini, kiranya menjadi satu hal yang
logis. Berarti, Uni Eropa berperan besar dalam gerakan
internasionalisasi Papua ini.
Dan
hal ini, sudah terbukti melalui MOUS Helsinki untuk Aceh. Uni Eropa
memang sejauh ini memang sudah menjadi pemain sentral di Aceh pasca MoU
Helsinki. Misalnya saja Pieter Feith, Juha Christensen sementara dari
persekutuan Inggris, Australia dan Amerika, mengandalkan pemain
sentralnya pada Dr Damien Kingsbury dan Anthoni Zinni.
Mereka
semua ini dirancang sebagai agen-agen lapangan yang tujuannya adalah
memainkan peran sebagai mediator ketika skenario jalan buntu terjadi
antara pihak pemerintah Indonesia dan gerakan separatis. Ketika itulah
mereka-mereka ini menjadi aktor-aktor utama dari skenario
internasionalisasi Aceh, Irian Jaya, dan daerah-daerah lainnya yang
berpotensi untuk memisahkan diri dari NKRI. Motivasi para penentu
kebijakan luar negeri Amerika memang bisa dimengerti. Karena dengan
lepasnya daerah-daerah tersebut, Amerika bisa mengakses langsung kepada
para elite daerah tanpa harus berurusan dengan pemerintahan di Jakarta
seperti sekarang ini. Dorongan untuk memperoleh daerah pengaruh
nampaknya memang bukan monopoli kepresidenan Bush. Obama pun pada
hakekatnya bertujuan sama meski dengan metode yang berbeda.
Beberapa Sosok Asing di balik Gerakan Pro Papua Merdeka
Salah satu sosok yang harus dicermati adalah Eni Faleomavaega, Ketua
Black Caucuses Amerika yang mengkampanyekan Irian Jaya sebagai koloni
VOC bukan koloni Belanda di Kongres Amerika. Kabarnya, perwakilan Partai
Demokrat dari American Samoa ini memimpin sekitar 38 anggota Black
Caucuses yang mengklaim bahwa cepat atau lambat Papua akan merdeka.
Pengaruh tokoh satu ini ternyata tidak bisa dianggap enteng. Mari kita berkilas-balik sejenak.
Pada
2002, tak kurang dari Departemen Luar Negeri AS terpaksa menerbitkan
Buku Putih Deplu tentang Papua pada 2002. Disebutkan bahwa Irian Jaya
masuk Indonesia pada 1826. Sementara Pepera merupakan pengesahan atau
legalitas masuknya Irian Jaya ke NKRI pada 1969.
Bayangkan
saja, Departemen Luar Negeri AS sampai harus meladeni seorang anggota
parlemen seperti Eni Faleomavaega. Dan ternyata manuver Eni tidak
sebatas di Amerika saja. Melalui LSM yang dia bentuk, Robert Kennedy Memorial Human Right Center, Eni
dan 9 orang temannya dari Partai Demokrat, melakukan tekanan terhadap
Perdana Menteri John Howard, agar memberi perlindungan terhadap 43 warga
Papua yang mencari suaka di di Australia. Alasannya, mereka ini telah
menjadi korban pelanggaran HAM TNI.
Di
Australia, Bob Brown, politisi Partai Hijau Australia, juga santer
mendukung gerakan pro Papua Merdeka, dengan mendesak pemerintahan Howard
ketika itu untuk mendukung proses kemerdekaan Papua. Tentu saja usul
gila-gilaan itu ditampik Howard, namun sebagai kompensasi, pemerintah
Australia memberikan visa sementara kepada 42 pencari suaka asal Papua.
Tentu
saja hubungan diplomatik Australia-RI jadi memanas, apalagi berkembang
isu ketika itu bahwa ke-43 warga Papua cari suaka ke Australia itu
sebenarnya merupakan “agen-agen binaan” Australia yang memang akan
ditarik mundur kembali ke Australia. Artinya, permintaan suaka itu hanya
alasan saja agar mereka tidak lagi bertugas menjalankan operasi
intelijen di Papua. Mungkin kedoknya sebagai jaringan intelijen asing di
Papua, sudah terbongkar kedoknya oleh pihak intelijen Indonesia.
Dan isyarat ini secara gamblang dinyatakan oleh Menteri Koordinator
Politik, Hukum dan Keamanan waktu itu, Widodo AS. Menurut Widodo,
pemberian visa sementara kepada warga Papua oleh Australia, telah
membenarkan adanya spekulasi adanya elemen-elemen di Australia yang
membantu usaha kemerdekaan Papua.
Menurut penulis, dan kami-kami di Global Future Institute, pernyataan
Widodo sebenarnya sebuah sindiran atau serangan halus terhadap gerakan
asing pro Papua merdeka. Bahwa yang sebenarnya bukan sekadar adanya
elemen-elemen di Australia yang membantu kemerdekaan Papua, tapi memang
ada suatu operasi intelijen dengan target utama adanya Papua Merdeka
terpisah dari NKRI.
Selain Amerika dan Australia, manuver Papua Merdeka di Inggris kiranya
juga harus dicermati secara intensif. 15 Oktober 2008, telah diluncurkan
apa yang dinamakan International Parliaments for West Papua (IPWP) di
House of Commons, atau DPR-nya Kerajaan Inggris.
Misi
IPWP tiada lain kecuali mengangkat masalah Papua di fora internasional.
Meski tidak mewakili negara ataupun parlemen suatu negara, namun
sepak-terjang IPWP tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab IPWP bisa
menjadi kekuatan penekan agar digelar referendum di Papua, penarikan
pasukan TNI dari Papua, penempatan pasukan perdamaian di Papua di bawah
pengawasan PBB.
Jelaslah
sudah ini sebuah agenda berdasarkan skema Kosovo merdeka. Apalagi
ketika IPWP juga mendesak Sekjen PBB meninjau kembali peranan PBB dalam
pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (pepera) 1969, sekaligus mengirim
peninjau khusus PBB untuk memantau situasi HAM di Papua.
Agar
kita sebagai elemen bangsa yang tidak ingin kehilangan provinsi yang
kedua kali setelah Timor Timur, ada baiknya kita mencermati skenario
Kosovo merdeka.
Kosovo terpisah dari negara bagian Serbia pada 17 Februari 2008. Dengan
didahului adanya tuduhan pelanggaran HAM di provinsi Kosovo. Papua
Barat dianggap mempunyai kesamaan latarbelakang dengan Kosovo. Yaitu,
Indonesia dan Serbia dipandang punya track record buruk pelanggaran HAM
terhadap rakyatnya. Sehingga mereka mengembangkan isu bahwa Kosovo perlu
mendapat dukungan internasional. Inilah yang kemudian PBB mengeluarkan
resolusi Dewan Keamanan PBB 244 .
Seperti halnya juga dengan Kosovo yang memiliki nilai strategis dalam
geopolitik di mata Amerika dan Inggris, untuk menghadapi pesaing
globalnya, Rusia. Begitu pula di Papua, ketika perusahaan tambang
Amerika Freeport dan perusahaan LNG Inggris, merupakan dua aset ekonomi
mereka untuk mengeruk habis kekayaan alam di bumi Papua. Sekaligus untuk
strategi pembendungan AS terhadap pengaruh Cina di Asia Pasifik,
khususnya Asia Tenggara.
Waspadai Balkanisasi Nusantara
1.Indonesia
ada rencana hendak dibelah dengan memakai model Polinesia (negara
pulau) di Lautan Pasifik. Sehingga mulai beredar pengguliran Isu Negara
Timor Raya di Provinsi Nusa Tenggara Timur mulai santer terdengar.
2. Indonesia akan dibelah jadi tiga negara dengan berdasar pada
klasifikasi provinsi ekonomi kuat dengan rincian sebagai berikut:
a. Aceh, Riau dan United Borneao(Kalimantan).
b. Pusat wisata dan seni dunia semacam Bali, Flores, Maluku dan Manado,
c. Jawa, Sunda dan Daerah Khusus Jakarta.
MODUS OPERANDI
Dengan
melihat perkembangan terkini berdasarkan prakarsa dua anggota Kongres
AS untuk menggolkan seruan resolusi agar Baluchistan diberi hak sejarah
menentukan nasib sendiri dan negara sendiri, lepas dari Pakistan, maka
Global Future Institute merasa perlu mengingatkan kemungkinan langkah
langkah dua tahap yang akan ditempuh Amerika Serikat dan Sekutu-sekutu
Eropanya:
1. Melakukan Internasionalisasi Isu Provinsi yang bermaksud ingin
merdeka dan lepas dari negara induknya. Keberhasilan prakarsa dua
anggota Kongres AS menggolkan resolusi Baluchistan, bisa jadi preseden
bagi langkah serupa terhadap Papua.
2. Seiring dengan keberhasilan gerakan meng-internasionalisasi provinsi
yang diproyeksikan akan jadi merdeka, maka REFERENDUM kemudian
dijadikan pola dan modus operandi memerdekakan sebuah provinsi dan lepas
dari negara induk.
Demikian, semoga menjadi perhatian dan kewaspadaan semua elemen bangsa, dan pemegang otoritas pemerintahan.
Prakarsa Anggota Kongres Dana Rohrabacher, Bukti Nyata Gerakan Sistematis Washington Merdekakan Baluchistan Lepas dari Pakistan
Kalau Amerika Serikat berniat memecah Indonesia jadi 7 bagian, seperti
sempat dirilis oleh Rand Corporation pada 1998 lalu, kasus Baluchistan
bisa jadi bukti nyata bahwa gerakan separatism memang bagian dari
rencana strategis Washinton.
Baru-baru ini, Dana Rohrabacher, anggota Kongres dari Partai Republik
asal negara bagian California, telah mengajukan sebuah resolusi yang
pada intinya menegaskan bahwa Baluchistan mempunyai hak sejarah untuk
menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa. Dengan kata lain, Dana
Rohrabacher mendukung berdirinya Baluchistan sebagai negara merdeka.
Seperti
kita ketahui bersama, Baluchistan saat ini terbagi menjadi daerah yang
masuk dalam kedaulatan Pakista, Iran dan Afghanistan. Mengingat nilai
strategis Baluchistan sebagai daerah jalur sutra yang kaya sumberdaya
alam seperti minyak, gas dan tambang, bisa dimengerti jika Washington
secara sistematis sedang membantu elemen elemen pro kemerdekaan
Baluchistan untuk jadi negara tersendiri yang bebas dari orbit pengaruh
Iran, Afghanistan dan Pakistan.
Terbukti
bahwa prakarsa Dana Rohbacher tersebut kemudian mendapat dukungan dari
dua anggota Kongres lainnya seperti Louie Gohmert dari negara bagian
Texas, dan Steve King, dari negara bagian Iowa, keduanya juga dari
Partai Republik.
Manuver
Washington untuk mendorong kemerdekaan Baluchistan nampaknya memang
cukup serius mengingat fakta bahwa Dana Rohrabacher saat ini menjabat
sebagai Ketua Sub-Komite Kongres bidang luar negeri khusus bidang
pengawasan dan investigasi.
Karena
itu masalah sepertinya akan semakin krusial karena Rohrabacher
menegaskan bahwa salah satu pertimbangan mengapa dirinya memprakarsai
resolusi Kongres Amerika agar mendukung kemerdekaan Baluchistan, karena
adanya bukti bukti kuat tindak kekerasan dan korban pembunuhan diluar
jalur jalur hukum (Extra Judicial Killing).
Pada
1947, Baluchistan memang sempat bermaksud memerdekakan diri, namun
kemudian berhasil digagalkan oleh Pemerintah Pakistan. Maka menghadapi
gerakan Washington melalui prakarsa Dana Rohrabacher dan kawan-kawan di
Kongres ini, Pakistan lah pihak yang paling duluan merasa kebakaran
jenggot.
Tentu
saja menghadapi manuver Rohrabacher Cs ini, Pakistan mengecam prakarsa
ini sebagai bentuk campur tangan terhadap urusan dalam negeri Pakistan.
Betapa tidak. Pakistan beranggapan bahwa Baluchistan merupakan salah
satu provinsi yang menjadi bagian dari Pakistan.
Mengingat
masalah separatism ini sangat sensitif, nampaknya Gedung Putih, dalam
hal ini Departemen Luar Negeri, belum berani secara langsung membuka
fron terhadap pemerintah Pakistan.
Terlepas
adanya berbagai pandangan yang melihat Baluchistan selama ini memang
menjadi obyek eksploitasi para elit politik suku Pastun dan Punjabi di
Pakistan, rasa rasanya penilaian Pakistan bahwa Amerika Serikat sedang
melakukan campur tangan urusan dalam negeri Pakistan, untuk mendorong
gerakan kemerdekaan Baluchistan, memang benar adanya.
Kiranya
ini bisa menjadi early warning signal bagi pemerintah Indonesia, bahwa
gerakan kaukus Papua di Kongres Amerika untuk mendukung Organisasi Papua
Merdeka (OPM) memerdekakan Papua, cepat atau lambat akan diagendakan
kembali. Atau setidaknya, mengkondisikan Papua agar bisa diangkat ke
forum internasional (Internasionalisasi Papua).
BEBERAPA REFERENSI PUSTAKA TULISAN SAYA SEBELUMNYA TERKAIT ISU PAPUA:
1. http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=11257&type=99#.Ug3v0axP1kg
2. http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=9915&type=2#.Ug3wAKxP1kg
3. http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=7596&type=99#.Ug3waKxP1kg |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar