Pasal 33 UUD ’45: Konstitusi Kita Yang Terabaikan
Beberapa waktu lalu, sekelompok tokoh agama ramai-ramai
“menggoyang” istana. Para tokoh lintas akidah itu menuding Pemerintah
kita telah melakukan “kebohongan”: satu kata yang dianggap terlalu kasar
dan kemudian menjadi polemik.
Pemerintah kita dianggap tidak sungguh-sungguh memperhatikan
kesejahteraan rakyat, seperti yang kerap disampaikan dalam berbagai
kesempatan. Pemerintah juga dianggap tidak serius menjalankan mandat
konstitusi – bahkan mengabaikannya.
Saya tidak hendak membahas polemik tokoh agama versus Pemerintah yang
sudah lewat itu. Namun, substansi masalah yang disampaikan oleh mereka
itu tampaknya masih relevan – bahkan akan terus relevan – untuk kita
kaji, terutama pengabaian terhadap amanat konstitusi.
Salah satu mandat yang terabaikan itu adalah Pasal 33 UUD 1945: “Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini merupakan salah satu prinsip mendasar bagaimana seharusnya sumberdaya perekonomian kita dikelola.
Production Sharing Contract (PSC)
PSC yang berlaku di dunia migas, menurut saya, adalah satu-satunya
model pengelolaan sumberdaya alam yang paling “konstitusional”,
khususnya PSC yang berlaku sebelum UU migas No 22 tahun 2001. PSC
mengatur prinsip dasar bahwa kepemilikan sumberdaya migas ada di tangan
negara (mineral right). Yang berhak menambang (mining right) juga negara, melalui perusahaan milik negara yang diberikan amanat oleh undang-undang.
Ada pun dalam pelaksanaannya, dengan mempertimbangkan kemampuan
teknis dan finansial negara, boleh dikerjakan oleh kontraktor swasta,
baik nasional maupun asing. Namun, kedua prinsip dasar di atas tetap
berlaku. Kontraktor hanya berhak mengambil manfaat ekonomi (economic right)
dari kegiatan penambangan migas itu, setelah berada pada titik
penyerahan: titik dimana bagian migas negara dan bagian migas kontraktor
dipisahkan.
Selama masih ada di perut bumi pertiwi, dan selama negara belum
secara resmi memberikan bagian migas yang ditambang itu kepada
kontraktor, selama itu pula kepemilikan sumberdaya migas tetap di tangan
negara. Karena itu, meskipun kontraktor swasta yang mengebor dan
mengangkut minyak atau gas dengan pipa, kendali managemen tetap di
tangan Pertamina (dulu) atau BPMIGAS (kini).
Dengan sistem PSC, sumberdaya migas kita telah memberikan sumbangsih
yang sangat besar bagi pembangunan bangsa, meskipun sebagian kalangan
menilai bahwa kita sebenarnya “tidak kaya” migas. Wajar, karena yang
mereka jadikan pembanding adalah negara minyak di Timur Tengah sana.
Saat ini, sektor migas menyumbang sekitar 20% APBN – penyumbang
terbesar ke dua setelah pajak. Di era 1970-an, bahkan migas menyumbang
lebih dari 70% APBN.
Konsesi Tambang: Pengabaian Konstitusi yang Nyata
Lain ceritanya dengan sektor tambang umum, semisal emas, batubara,
dan sebagainya. Secara prinsip, sumberdaya tambang umum adalah sama
kedudukannya dengan sumberdaya migas di mata konstitusi.
Namun, berbeda
dengan tambang migas yang menggunakan sistem PSC, di dalam tambang umum
masih menggunakan sistem konsesi: sistem yang berjalan sejak jaman
kolonial dan hampir tanpa koreksi yang berarti.
Dalam sistem konsesi, kontraktor swasta, baik nasional maupun asing, memiliki hak atas mineral (mineral right), hak menambang (mining right) dan hak atas manfaat ekonomi (economic right)
sekaligus. Meskipun di dalamnya berlaku “pungutan negara” , sebagai
bukti seolah-olah bahwa memang mineral yang ditambang itu milik negara.
Di dalam industri tambang batubara, misalnya, negara hanya mendapatkan
royalti 13,5%. Untuk tambang emas, sesuai PP No 45 tahun 2003, negara
hanya mendapatkan royalti 3,75%. Namun yang perlu dicatat: pertama,
emas atau batubaranya sendiri tetap diboyong oleh kontraktor, tanpa ada
mekanime penyerahan dari negara sebagai pemilik sumberdaya itu sendiri;
ke dua, untuk tambang emas Freeport di Papua, negara hanya mendapatkan 1% royalti. Angka yang sangat mengenaskan.
Emas, batubara, dan juga migas, adalah sama-sama kekayaan alam yang
terkandung di dalam perut bumi pertiwi. Lalu, mengapa perlakuan mereka
dibedakan? Mengapa Freeport sampai detik ini tetap memiliki, menambang
dan mengambil manfaat ekonomi emas Papua, tanpa kontrol yang memadai
dari negara dan hanya memberikan imbalan sedikit sekali? Bukankah
konstitusi kita mendaulat bahwa emas itu milik negara?
Dari sisi ini, saya sependapat dengan para tokoh agama itu, bahwa
Pemerintah kita telah “berbohong”: bohong terhadap konstitusi kita
sendiri!
eSPeKaPe Sebut Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini, Seorang Pengkhianat Bangsa Yang Dipelihara Pemerintah
Jakarta(Care)-Prof.
DR. Ir. Rudi Rubiandini Suharsyah adalah Doctor of Engineering Bidang
Teknik Perminyakan dari Technische Universitaet Clausthal Jerman pada
1991, yang dipercaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
sebagai Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi (SKK Migas) yang dilantik pada 16 Januari 2013, di Istana
Negara.
Rudi adalah the rising star yang
menurut kawan-kawan alumni ITB optimis bisa menggenjot produksi minyak
nasional, sebelumnya dia diangkat menjadi Penasihat Ahli Kepala BP Migas
Badan Pelaksana Hulu Kegiatan Minyak dan Gas (BP Migas) pada 2009,
Sekretaris Pimpinan BP Migas pada 2010, dan diangkat lagi menjadi Deputi
Pengendalian Operasi BP Migas periode 2011-2012 pada 18 Agustus 2011.
Bahkan, kemudian Presiden SBY mengangkatnya sebagai Wakil Menteri
(Wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2012 yang dilantik
pada 14 Juni 2012.
BP Migas kemudian dibubarkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya pada 13 November 2012, karena BP Migas dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Lalu Pemerintah memutuskan mengeluarkan Perpres No.
95 Tahun 2012 untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas), sebagai langkah pasca
putusan MK tersebut. Badan ini kemudian menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melalui Perpres No. 9 Tahun 2013, dan Rudi yang
diberhentikan dari Wamen ESDM kemudian ditunjuk sebagai Kepala SKK
Migas yang pertama. Pengganti Rudi adalah Staf Khusus Menteri ESDM
Susilo Siswoutomo, yang merupakan kawan dekat Menteri ESDM Jero Wacik.
Saat
Rudi masih menjabat Wamen ESDM, oleh Solidaritas Pensiunan Karyawan
Pertamina (eSPeKaPe) dituding menghalangi Pertamina mengambil alih Blok
Mahakam yang masih dikuasai Total E&P Indonesie asal Prancis yang
akan segera berakhir kontraknya 2017. Di tengah silang sengkarut
pengelolaan Blok Mahakam, eSPeKaPe dalam suratnya kepada Presiden SBY
pada September 2012, meminta Presiden SBY agar memecat Wamen ESDM
Rudi, dan Presiden SBY mengabulkannya. Sebab pada 15 Januari
2013, diadakan serah terima jabatan dan pisah sambut Wamen ESDM di Lobby
Kementerian ESDM. Padahal sejak Juni 2008, Pertamina sudah siap dari
segi keuangan, teknologi, dan sumber daya manusia untuk mengambil alih
100% Blok Mahakam.
“Jadi, eSPeKaPe, sudah menilai sejak awal jika Rudi yang mantan Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM) ITB itu nampak punya sifat ‘culas’ dan juga egois. Dulu sebelum jadi pejabat BP Migas, Rudi getol menyoroti
kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur sebagai pakar pertambangan
yang menentang teori bahwa bencana lumpur Lapindo terjadi lantaran
buntut gempa di Yogyakarta, karena dia yakin petaka itu terjadi karena
kesalahan pengeboran. Tapi setelah jadi pejabat birokrat, roh
nasionalisnya langsung luntur, yang muncul justru membela habis
kontraktor asing dengan selalu melecehkan Pertamina” kata Ketua Umum eSPeKaPe, Binsar Effendi Hutabarat yang juga Komandan Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM).
Dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Kepala SKK Migas Rudi di
rumah dinasnya di Jalan Brawijaya VII nomor 8/30, Jakarta Selatan, Rabu
dini hari 14 Agustus 2013. Ia ditangkap KPK, karena di duga terkait
kasus suap sebesar US$ 700 ribu dari perusahaan asal Amerika Serikat
(AS), Kernel Oil Pte. Ltd, dengan disitanya barang bukti berupa uang US$
400 ribu yang diduga diterima Rudi saat penggerebekan berlangsung. Dan
setelah dilakukan penggeledahan, ditemukan lagi uang US $90 ribu dan
Sin$ 127 ribu. Sementara dari rumah pemberi suap, penyidik menyita US$
200 ribu. Selain itu, penyidik juga menyita motor gede merek BMW lengkap
dengan BPKB-nya.
Menurut
Wamen ESDM Susilo Siswoutomo, KPK tidak berkoordinasi dulu dengan
Kementerian ESDM sebelum menggelar operasi terhadap Rudi, karena Kernel
Oil diungkapkannya tidak punya blok migas di Indonesia. “Bagi eSPeKaPe
tak perlu KPK dengar pendapat Wamen ESDM Susilo, justru eSPeKaPe sangat
mensyukuri karena memang dari awal SKK Migas begitu berganti baju
menggantikan BP Migas, tetap saja menggunakan sistem yang sama dan
diduga masih menjadi sarang para penjahat keuangan negara di sektor
migas” kata Binsar Effendi tegas.
Sebagai
tindaklanjut dari keberhasilan KPK, eSPeKaPe dan GNM langsung mendesak
KPK untuk mengusut sampai ke akar-akarnya. “Kejahatan di sektor hulu dan
hilir migas itu dari dulu diduga memang menjadi sumber korupsi, dan
sudah sangat menggurita. Parameternya mudah sekali. Di hulu, pada satu
sisi yang namanya lifting minyak turun, tapi di sisi lain cost recovery
di APBN setiap tahun meningkat. Sedangkan di hilirnya, satu sisi subsidi
BBM di APBN bengkak, tapi di sisi lainnya yang namanya kartel minyak
impor dan sarat mafia tak pernah diberantas. Kiranya tidak perlu ada
dalih atau dalil yang dijadikan alasan apapun. Perbedaan ini, adalah
riil. Sebenarnya ada yang tidak beres dalam pengelolaan di SKK Migas
yang dipimpin Rudi” tandas Binsar Effendi.
Bahkan
eSPeKaPe dan GNM mendesak, agar DPR meminta pertanggungjawaban Presiden
SBY atas terjadinya kasus Kepala SKK Migas ini. “Rudi itu diberhentikan
dari Wamen ESDM dan diangkat jadi Kepala SKK Migas, karena merujuk
Pasal 1 ayat (2) Perpres No. 9 Tahun 2013. Dan sekarang, setelah Rudi
dinonaktifkan sementara, SBY sudah menunjuk Wakil Kepala SKK Migas
Johannes Widjonarko sebagai penggantinya. Alasannya berdasarkan Pasal 6
ayat 3 Permen ESDM No. 9 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja
SKK Migas. Secara hukum materi, harusnya baik Presiden maupun Menteri
ESDM menjadi ikut bertanggungjawab”, sambung Binsar Effendi.
Untuk
diketahui, sebelum Rudi ditunjuk Presiden SBY sebagai Kepala SKK Migas,
SBY pernah menyatakan jika SKK Migas harus menjadi lembaga eksekutif
tersendiri yang menjalankan tugasnya secara profesional, akuntabel,
transparan dan agar bisa diaudit, sehingga tidak ada lagi penyimpangan
apapun dalam mengatur usaha hulu migas serta mengelola aset besar. Oleh
karena itu SBY langsung memutuskan menunjuk Rudi yang baru saja
diberhentikan dari Wamen ESDM untuk menjadi Kepala SKK Migas. Dan atas
ketetapan Rudi menjadi Kepala SKK Migas, menurut SBY, setelah melalui
tahapan wawancara dan uji kepatutan, dengan keyakinan SBY karena Rudi
merupakan orang yang betul-betul kredibel, akuntabel, dan bisa
menjalankan tugasnya dengan baik.
“Dengan
demikian Presiden SBY seharusnya tidak lempar batu sembunyi tangan atas
pernyataan yang pernah dilontarkannya. Begitu pula Menteri ESDM Jero
Wacik jangan kemudian cuci tangan, karena Jero dan Rudi terkesan
sama-sama aktor intelek dibalik tekadnya akan membentuk tim perpanjangan
kontrak Total E&P Indonesie di Blok Mahakam. Yang pasti SKK Migas
ini selalu melapor ke Presiden dan tetap di bawah kendali Menteri
ESDM. Maka baik Presiden SBY maupun Menteri ESDM Jero Wacik harusnya
ikut bertanggungjawab atas perbuatan Rudi yang mengaku nasionalis tapi
kesannya menjadi pengkhianat bangsa, yang ironisnya justru selalu
dipelihara oleh Pemerintah”, pungkasnya.
Konstitusi dan Pengelolaan Pertambangan Kita
Published on Monday, 24 October 2011 12:58
Oleh: PRI AGUNG RAKHMANTO; Pendiri ReforMiner Institute
http://www.reforminer.com/list-all-categories/1173-konstitusi-dan-pengelolaan-pertambangan-kita
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti
Landasan
hukum tertingi dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang
pertambangan (migas dan tambang umum) di Negara kita adalah Konstitusi
UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3 dan ayat 2. Pasal 33 ayat 3
menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”, sedangkan ayat 2 menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang
penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh Negara”. Frase kunci dari kedua ayat ini dalam hal sistem
pengelolaan pertambangan adalah “dikuasai oleh Negara” dan “untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
“Dikuasai”
memiliki dimensi geo-politik bahwa Negara harus memiliki kuasa
(berdaulat) atas pengelolaan kekayaan alam yang ada, sedangkan
“sebesar-besar” mengandung dimensi geo-ekonomi bahwa di dalam
pengelolaannya harus ada maksimalisasi usaha (Sutadi Pudjo Utomo, 2010).
Maka, terjemahannya di dalam sistem pengelolaan pertambangan seharusnya
adalah kuasa pertambangan (mining rights)
ada di tangan pemerintah sebagai wakil dari Negara, dan di dalam
pelaksanannya diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Penyerahan pelaksanaan kuasa pertambangan kepada BUMN adalah suatu
keharusan karena BUMN secara sekaligus merepresentasikan bahwa
penguasaan tetap berada di tangan Negara (dimensi geo-politik) dan
dilakukan sesuai dengan prinsip usaha (dimensi geo-ekonomi). Untuk
selanjutnya, BUMN yang diberi kuasa pertambangan tersebut dapat
bekerjasama dengan badan-badan usaha yang lain (Business to Business, B to B),
sesuai prinsip usaha dan kaidah keekonomian yang wajar. Jadi, sistem
ini pada dasarnya tetap mengadopsi nilai-nilai (ekonomi) pasar yang
positif, mengedepankan efisensi (maksimalisasi usaha), terbuka, dan sama
sekali tidak anti asing.
Meskipun
amanat Konstitusi berkenaan dengan sistem pengelolaan pertambangan
sudah sedemikian gamblang, namun sistem yang kita miliki dan terapkan
saat ini ternyata tidaklah mengikuti apa yang telah diamanatkan
Konstitusi tersebut.
Pertambangan migas
Dalam
pertambangan migas, pasca diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, Negara – melalui Kementerian yang menaungi
bidang migas – menyerahkan kuasa pertambangan bukan kepada BUMN,
melainkan secara langsung kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap,
tanpa membedakan apakah badan usaha tersebut milik negara kita ataukah
milik negara lain. Pasal 12 ayat 3 UU Migas 22/2001 yang mengatur hal
ini, yang berbunyi “Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 2”, sebenarnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam keputusannya atas judicial review UU Migas pada 21 Desember 2004, sudah diharuskan untuk direvisi, namun masih tetap dibiarkan apa adanya hingga saat ini. Alhasil,
kita menyaksikan bersama satu-satunya BUMN pertambangan migas yang kita
miliki, Pertamina, harus berulangkali bersusah payah (dan bahkan gagal)
untuk mendapatkan hak pengelolaan wilayah migas yang ada di negeri kita
sendiri. Kasus Blok Cepu, Blok Madura, akusisi blok Offshore North West
Java (ONWJ) menunjukkan hal itu.
Dalam
kaitan dengan industri migas secara keseluruhan, sistem ini menyebabkan
pengusahaan industri migas tidak lagi dikelola dengan mekanisme B to B melainkan G to B (Government to Business).
Sistem menjadi lebih birokratis, prosedural, kaku, dan kehilangan daya
tarik investasinya secara signifikan. Perlakuan dan keringanan pajak
khusus dalam Kontrak Bagi Hasil yang semestinya dapat diterima investor
tak dapat lagi diterapkan dalam sistem G to B
yang sekarang berjalan. Hasilnya, cadangan terbukti dan produksi minyak
nasional terus merosot. Mencapai target produksi 950 ribu barel per
hari pun kita saat ini sudah tak sanggup. Secara matematis-statis,
dengan tingkat produksi yang ada, cadangan terbukti minyak kita hanya
akan bertahan untuk 11 tahun mendatang. Ketahanan energi nasional
menjadi sangat rentan.
Pertambangan umum
Kondisi yang lebih memprihatinkan sesungguhnya terjadi di sektor pertambangan umum. Praktek pengusahaan dengan pola G to B,
dengan menggunakan sistem konsesi – penyerahan kuasa pertambangan atas
wilayah – langsung dari pemerintah kepada perusahaan-perusahaan tambang
tanpa membedakan apakah milik negara sendiri ataukah milik negara lain
sudah dijalankan sejak berlakunya UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Pola ini tetap berlanjut, meski
UU 11/1967 tidak lagi berlaku dan digantikan UU Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Sistem konsesi G to B
yang diwujudkan ke dalam Kontrak Karya tidak hanya menyebabkan Negara
sepanjang sejarahnya tak pernah memiliki perusahaan tambang milik negara
yang benar-benar berskala besar (berbeda halnya dengan Pertamina
sebelum berlakunya UU Migas 22/2001), tetapi Negara juga tak memiliki
kontrol yang kuat atas proses eksplorasi dan eksploitasi tambang umum
yang ada. Tarif royalti yang dikenakan oleh pemerintah – yang jelas tak
pandai berbisnis karena secara hakikat bukan merupakan entitas bisnis –
pun menjadi sangat rendah, tidak berkeadilan, dan (kadang-kadang) sulit
diterima akal sehat.
Berbeda
dengan sistem royalti pertambangan umum di negara maju yang lebih
berkeadilan, dimana royalti langsung dikenakan terhadap pendapatan kotor
dengan tarif berkisar 15 – 30%, royalti yang diterapkan di pertambangan
umum kita, khususnya mineral, rata-rata hanyalah berkisar 1 – 3,5%, dan
itu pun dikenakan terhadap pendapatan bersih. Artinya, basis
perhitungannya adalah terhadap pendapatan yang sudah dikurangi
biaya-biaya operasional perusahaan, dimana mekanisme kontrol Negara atas
pengeluaran biaya-biaya operasional tersebut sangat lemah. Dengan
sistem Kontrak Karya G to B
ini, penerimaan yang diperoleh Negara selama ini dari royalti dan pajak
dari pertambangan umum rata-rata tak lebih dari 20% dari nilai ekonomi
tambang yang ada, 80% lebihnya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan
tambang dan industri pendukungnya. Sebagai perbandingan, di tambang
migas, dengan sistem Kontrak Bagi Hasil yang dijalankan, Negara masih
dapat menikmati 50% -60% dari nilai ekonomi migas yang ada.
Maka,
jika ingin memperbaiki pengelolaan pertambangan nasional kita,
sebenarnya tak cukup hanya dengan melakukan pembenahan hal-hal yang
sifatnya teknis-operasional ataupun hanya melalui negosiasi ulang
kontrak yang ada saja, tetapi harus dimulai dari pembenahan aspek-aspek
mendasar yang terkait Konstitusi. Karena dalam hal yang fundamental itu
pun ternyata sistem pengelolaan pertambangan nasional kita selama ini
sebenarnya masih bermasalah. Konkretnya, untuk pertambangan migas, yang
perlu dilakukan sesegera mungkin adalah dengan mempercepat revisi
Undang-Undang Migas 22/2001 yang saat ini tengah berjalan di DPR, dengan
menempatkan kembali kuasa pertambangan di tangan badan usaha milik
negara. Sementara di pertambangan umum yang perlu dilakukan adalah
dengan mengubah Sistem Kontrak Karya yang didasarkan atas filosofi
konsesi (penyerahan wilayah) menjadi Sistem Kontrak Bagi Hasil
sebagaimana yang selama ini diterapkan di pertambangan migas.
Bentuk Badan Khusus, Pengelolaan Migas Nasional Harus Terpisah
- Selasa, 04 Desember 2012 18:45 WIB
- Aburizal Bakrie
- http://www.pedomannews.com/umum/18042-bentuk-badan-khusus-pengelolaan-migas-nasional-harus-terpisah
Aburizal Bakrie*
"Badan
baru tersebut, itu Saya harapkan biar menjadi regulator dan operatornya
kita serahkan kepada bidang perusahaan lain yang kemudian bisa
melakukan operasi pertambangan tersebut sehingga tidak terjadi satu
konflik kepentingan"
Pada
13 November 2012 dalam sidang judicial review atas UU Migas Nomor 22
Tahun 2001 yang diajukan oleh sejumlah kelompok masyarakat. MK
memutuskan bahwa Badan Pelaksana Kegiata Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
(BPMIGAS) bertentangan dengan UUD 1945 atau inskonstitusional. Dalam
amar putusannya MK menilai bahwa BPMIGAS itu bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum, karena itu BPMIGAS harus
dibubarkan.
MK
juga menilai bahwa UU Migas tersebut membuka liberalisasi pengelolaan
migas karena sangat dipengaruhi oleh pihak asing. Pola unbandling yang
memisahkan antara kegiatan hulu dan hilir ditengarai sebagai upaya pihak
asing untuk memecah belah industri migas nasional sehingga mempermudah
penguasaan.
Kita
melihat dan merasakan bersama bagaimana keputusan MK tersebut telah
membuat galau, tidak hanya kepada pemerintah tapi juga kepada ratusan
bahkan ribuan karyawan BPMIGAS yang memikirkan masa depan tugas-tugasnya
tetapi juga membuat galau para investor di sektor migas nasional yang
tidak luput dari kegelisahan.
Pembubaran
BPMIGAS tentu saja tetap menjadi isu nasional yang sangat sensitif
sehingga segala penyikapan atas keputusan tersebut harus mengedepankan
etika dan harus hati-hati sehingga tetap menjunjung tinggi konstitusi.
Kepada
pemerintah, kami apresiasi yang setinggi-tingginya karena cepat tanggap
menyikapi hasil keputusan MK atas pembubaran BPMIGAS. Sebagai langkah
strategis itu, untuk mengisi kekosongan hukum sementara ini maka
Presiden RI melalui Perpres 95 Tahun 2012 menetapkan bahwa fungsi
BPMIGAS akan tetap dijalankan pemerintah dalam hal ini Menteri ESDM
sampai undang undang yang baru yang akan dibuat di DPR untuk mengatur
hal tersebut.
Selanjutnya
dalam operasionalisasi pasca kebutuhan MK tersebut segala aktivitas
kegiatan sektor migas tetap berjalan normal di bawah monitoring SKSP
Migas yang ditetapkan melalui Kepmen ESDM Nomor 3135 tentang pengalihan
tugas, fungsi dan organisasi pelaksanaan kegiatan migas.
Menjadi
pertanyaan besar bagi kita semua saat ini, bagaimanakah masa depan
pengelolaan sektor migas nasional yang terbaik pasca keputusan MK atas
pembubaran BPMIGAS? Hal ini tentu saja akan menjadi satu pembahasan yang
menarik dan serius dan tidak akan luput dari perdebatan para
stakeholder. Dimana para pemangku kepentingan berkewajiban untuk
merumuskan bersama-sama struktur dan operasionalisasi tata kelola sektor
hulu migas nasional.
Menjadi
sangat penting bagi kita, untuk kita rumuskan kembali pola pikir kita
dalam mengelola satu sumber-sumber energi nasional sehingga kita
nantinya menjadi negara berketahanan energi yang kuat di dunia. Yaitu
kemampuan untuk merespon dinamika perubahan energi global yang menjadi
faktor eksternal serta faktor kemampuan kita sendiri untuk menjamin
ketersediaan energi untuk memenuhi kebutuhan domestik kita. Karena
itulah, sikap tegas pemerintah diperlukan dalam mengelola sumber-sumber
energi nasional. Selain menata regulasi agar tidak tumpang tindih
mengintegrasikan semua sektor terkait menjadi penting untuk menjaga agar
sumber-sumber energi tetap dapat dimanfaatkan secara optimal.
Secara
prinsip, maka kuasa pertambangan atau mineral lain di sektor migas
harus tetap di tangan negara. Sebagai negara berdaulat, bangsa Indonesia
yang dilimpahi sumber daya alam mempunyai hak untuk mengelolanya.
Hemat
kami, antara peran regulator dan operator tetap harus dipisahkan. Kalau
regulator dan operator itu dijadikan satu, saya khawatir bahwa membuat
regulasi yang hanya menguntungkan operator saja.
Terlepas
dari pada pro-kontra atas pembubaran BPMIGAS oleh MK baru-baru ini,
Partai Golkar berpandangan bahwa pengelolaan sektor migas ke depan harus
tetap berpijak pada wawasan nasional sebagai wujud UUD 1945. Sektor
hulu migas harus menjadi perhatian kita semua, mengingat bahwa sektor
migas sangat strategis dan berperan besar dalam peningkatan pendapatan
negara sektor migas.]
Di
dalam segala hal, kita memerlukan konsistensi pengelolaan migas
nasional juga demikian yang memerlukan konsistensi, yang memerlukan
kepastian hukum, memerlukan regulasi yang tidak tumpang tindih dan tata
kelola yang transparan berkeadilan sosial. Investasi dalam sektor migas
begitu besar. Karena, satu konsistensi merupakan hal yang sangat
penting.
Menjadi
pertanyaan kita sekarang, apakah benar dengan dibubarkannya BPMIGAS
oleh MK itu berarti sektor migas itu akan kembali ke rezim yang lama?
Apakah semua pengelolaan sektor hulu migas dikuasai lagi Pertamina
sebagai BUMN migas? Karena itulah, saya harapkan bahwa nanti para
legislator atau DPR tetap berpegang teguh bahwa regulator dan operator
harus dapat terpisah.
Pandangan-pandangan
berbeda-beda, yang mengemuka di publik saat ini sebagian masyarakat ada
yang mendorong kekuatan sektor migas dikembalikan kepada Pertamina.
Tetapi, kalau kita melihat harus dipisahkannya regulator yang membuat
regulasi dengan operator maka menurut pendapat Partai Golkar bahwa hal
ini harus dikuasai sebuah badan yang dibuat khusus untuk membuat satu
regulasi-regulasi di dalam pertambangan migas itu.
Karena
itulah, di dalam undang undang yang dibuat nanti, saya harapkan dapat
dipikirkan semaksimal mungkin dengan sangat seksama agar pemerintah bisa
kemudian membentuk sebuah badan baru yang mengambil alih fungsi BPMIGAS
yang telah dibubarkan tersebut.
SKSP
Migas yang sifatnya sementara tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Saya
tidak tahu, apakah sudah dimasukkan di dalam rancangan undang undang
yang bisa dimasukkan di dalam perubahan UU Migas ini. Mudah-mudahan, itu
bisa dimasukkan sehingga tidak lagi ada satu waktu yang terbuang untuk
kemampuan satu undang undang baru yang berada di luar dari pada UU Migas
tersebut.
Badan
baru tersebut, itu saya harapkan biar menjadi regulator dan operatornya
kita serahkan kepada bidang perusahaan lain yang kemudian bisa
melakukan operasi pertambangan tersebut sehingga tidak terjadi satu
konflik kepentingan. Jadi, badan baru itu saya harapkan bentuk badan
baru itu harap dipikirkan oleh legislator dari Partai Golkar dan kepada
semua stakeholder mana yang paling tepat dan tidak bertentangan dengan
UUD 1945.
Saya
dan Partai Golkar berpendapat bahwa rezim bagi hasil harus tetap kita
pertahankan. Tidak mudah untuk mengelola atau melakukan satu operasi
dalam sektor migas, modal yang dibutuhkan sangat banyak dan teknologi
yang dipakai juga cukup tinggi. Karena itulah, dalam rezim bagi hasil
itu bagi pengelolaan atau model bagi eksplorasi sehendaknya dapat
dilakukan dan disediakan oleh para investor dan tidak oleh pemerintah.
Dengan begitu, maka kita harapkan bahwa kita tidak memerlukan sesuatu modal yang ditanam dengan resiko yang besar. Dengan
adanya sistem bagi hasil yang kemudian membayar kembali seluruh
ongkos-ongkos yang dikeluarkan oleh para investor maka pemerintah itu
dibebaskan dari menanamkan satu modal pada suatu tempat yang masih
terlalu besar resikonya. Juga yang harus dihalangi adalah cash foll,
cash foll itu bagi satu operator lapangan itu janganlah kemudian
pemerintah yang notebene-nya mempunyai 85 persen dari hasilnya itu
dibebankan lagi pada cash foll dan cash foll ini harus dipikirkan harus
dapat ditanggung oleh investor. Kita boleh saja mengembalikan lagi dari
hasil yang ada itu. Jadi pembenahan, koreksi dan informasi bagaimana
negara Indonesia ini akan mengelola sumber daya energi ini kita pikirkan
baik-baik dengan cara bijak dan demi kepentingan bangsa Indonesia.
*Ketua
Umum DPP Partai Golkar saat memberikan sambutan dalam Diskusi Publik
Seri VI dengan tema "Masa Depan Pengelolaan Migas Nasional Pasca
Keputusan Mahkamah Konstitusi" di Kantor Pusat DPP Golkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar