Jumlah korban tewas bom mobil Beirut jadi 27 orang
Minggu, 18 Agustus 2013 04:08 WIB | 1367 Views
Beirut
(ANTARA News) - Korban tewas akibat serangan bom mobil di kubu
Hezbollah Lebanon telah meningkat menjadi setidaknya 27 orang, kata
kementerian kesehatan Sabtu.
Jumlah tersebut adalah yang tertinggi di Lebanon sejak serangan bom mobil besar di Beirut pinggir laut yang menewaskan perdana menteri Rafiq Hariri dan 22 orang lainnya pada Februari 2005.
"Setidaknya 27 orang tewas dan 336 lainnya luka-luka dalam serangan bom mobil yang ditargetkan pada lingkungan Rweiss pada Kamis," kata kantor Menteri Kesehatan Ali Hassan Khalil.
Korban sebelumnya pada Jumat dikatakan sedikitnya 22 orang tewas ketika sebuah bahan peledak yang dikemas di dalam mobil meledak di distrik dengan penduduk sebagian besar-Syiah di pinggiran selatan Beirut.
Hizbullah adalah pendukung utama Presiden Suriah Bashar al-Assad dan telah mengirimkan pejuang melintasi perbatasan ke Suriah.
Lebanon terpecah menjadi dua antara pendukung dan penentang rezim Suriah.
(Uu.H-AK/
Jumlah tersebut adalah yang tertinggi di Lebanon sejak serangan bom mobil besar di Beirut pinggir laut yang menewaskan perdana menteri Rafiq Hariri dan 22 orang lainnya pada Februari 2005.
"Setidaknya 27 orang tewas dan 336 lainnya luka-luka dalam serangan bom mobil yang ditargetkan pada lingkungan Rweiss pada Kamis," kata kantor Menteri Kesehatan Ali Hassan Khalil.
Korban sebelumnya pada Jumat dikatakan sedikitnya 22 orang tewas ketika sebuah bahan peledak yang dikemas di dalam mobil meledak di distrik dengan penduduk sebagian besar-Syiah di pinggiran selatan Beirut.
Hizbullah adalah pendukung utama Presiden Suriah Bashar al-Assad dan telah mengirimkan pejuang melintasi perbatasan ke Suriah.
Lebanon terpecah menjadi dua antara pendukung dan penentang rezim Suriah.
(Uu.H-AK/
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © 2013
Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com
Lima roket hantam pangkalan Hizbullah di Lebanon Timur
Senin, 19 Agustus 2013 02:51 WIB | 2803 Views
http://www.antaranews.com/berita/391156/lima-roket-hantam-pangkalan-hizbullah-di-lebanon-timur
Dua roket mendarat di kota Hermel di sebuah daerah antara perhimpunan mengajar Mabarrat dan wilayah Masharia al-Qaa, namun tidak ada korban,"
Baalbek,
Lebanon (ANTARA News) - Lima roket mendarat di dan sekitar kota Hermel,
sebuah pangkalan Hizbullah di Lebanon timur, Minggu, kata satu sumber
keamanan kepada AFP.
"Dua roket mendarat di kota Hermel di sebuah daerah antara perhimpunan mengajar Mabarrat dan wilayah Masharia al-Qaa, namun tidak ada korban," kata sumber yang tidak bersedia disebutkan namanya itu.
"Tiga roket lagi mendarat di daerah-daerah pinggiran Hermel," tambahnya.
Belum jelas apakah roket-roket itu diluncurkan dari dalam wilayah Lebanon atau dari seberang perbatasan di Suriah yang dilanda perang, kata sumber itu.
Hermel dan daerah-daerah lain di Lebanon timur, yang menjadi pangkalan kelompok Syiah Lebanon Hizbullah, diserang sejumlah roket dari Suriah dalam beberapa bulan ini.
"Orang-orang ketakutan. Tidak ada yang tahu bagaimana perkembangannya. Tidak ada yang tenang di daerah Hermel," kata Ali Shamas, seorang warga Hermel.
Ketegangan meningkat di Lebanon terkait konflik Suriah, setelah Hizbullah mengumumkan dukungannya dan mengirim pasukan untuk membantu Presiden Bashar al-Assad menumpas pemberontak Suriah.
Meski Lebanon secara resmi netral dalam perang di Suriah, negara itu terpecah antara pendukung Assad dan pendukung pemberontak Suriah.
Damaskus mendominasi Lebanon secara militer dan politik selama hampir 30 tahun hingga 2005.
Serangan roket terakhir itu terjadi tiga hari setelah ledakan bom mobil di pangkalan Hizbullah di Beirut selatan menewaskan 27 orang.
Menurut laporan Reuters, sebuah kelompok Sunni yang menamakan diri Brigade Aisha mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom pada 15 Agustus itu dan berjanji melancarkan operasi lebih lanjut terhadap Hizbullah.
Penduduk di Beirut selatan mengatakan bahwa Hizbullah, kelompok pejuang yang didukung Iran dan Suriah, siaga tinggi dan meningkatkan pengamanan di daerah itu setelah peringatan dari pemberontak Suriah mengenai kemungkinan pembalasan karena dukungan mereka bagi Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Kekerasan sektarian yang disulut oleh konflik Suriah juga terjadi di Lembah Bekaa dan kota-kota Laut Tengah, Tripoli dan Sidon, yang mencerminkan bahwa ketegangan sektarian baru menyebar di Timur Tengah.
Muslim Sunni di Lebanon mendukung pemberontak di Suriah, sementara penduduk Syiah mendukung Assad, bagian dari minoritas Alawite, cabang dari Syiah.
Pemimpin Hizbullah Nasrallah telah berjanji, kelompoknya akan terus berperang membela Assad setelah mereka memelopori perebutan kembali kota strategis Qusair pada Juni.
Pada Oktober tahun lalu, bom mobil di bagian timur Beirut menewaskan seorang pejabat intelijen senior Wissam al-Hassan, yang memiliki kedekatan dengan partai oposisi utama Sunni Lebanon yang mendukung pemberontakan di Suriah.
"Dua roket mendarat di kota Hermel di sebuah daerah antara perhimpunan mengajar Mabarrat dan wilayah Masharia al-Qaa, namun tidak ada korban," kata sumber yang tidak bersedia disebutkan namanya itu.
"Tiga roket lagi mendarat di daerah-daerah pinggiran Hermel," tambahnya.
Belum jelas apakah roket-roket itu diluncurkan dari dalam wilayah Lebanon atau dari seberang perbatasan di Suriah yang dilanda perang, kata sumber itu.
Hermel dan daerah-daerah lain di Lebanon timur, yang menjadi pangkalan kelompok Syiah Lebanon Hizbullah, diserang sejumlah roket dari Suriah dalam beberapa bulan ini.
"Orang-orang ketakutan. Tidak ada yang tahu bagaimana perkembangannya. Tidak ada yang tenang di daerah Hermel," kata Ali Shamas, seorang warga Hermel.
Ketegangan meningkat di Lebanon terkait konflik Suriah, setelah Hizbullah mengumumkan dukungannya dan mengirim pasukan untuk membantu Presiden Bashar al-Assad menumpas pemberontak Suriah.
Meski Lebanon secara resmi netral dalam perang di Suriah, negara itu terpecah antara pendukung Assad dan pendukung pemberontak Suriah.
Damaskus mendominasi Lebanon secara militer dan politik selama hampir 30 tahun hingga 2005.
Serangan roket terakhir itu terjadi tiga hari setelah ledakan bom mobil di pangkalan Hizbullah di Beirut selatan menewaskan 27 orang.
Menurut laporan Reuters, sebuah kelompok Sunni yang menamakan diri Brigade Aisha mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom pada 15 Agustus itu dan berjanji melancarkan operasi lebih lanjut terhadap Hizbullah.
Penduduk di Beirut selatan mengatakan bahwa Hizbullah, kelompok pejuang yang didukung Iran dan Suriah, siaga tinggi dan meningkatkan pengamanan di daerah itu setelah peringatan dari pemberontak Suriah mengenai kemungkinan pembalasan karena dukungan mereka bagi Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Kekerasan sektarian yang disulut oleh konflik Suriah juga terjadi di Lembah Bekaa dan kota-kota Laut Tengah, Tripoli dan Sidon, yang mencerminkan bahwa ketegangan sektarian baru menyebar di Timur Tengah.
Muslim Sunni di Lebanon mendukung pemberontak di Suriah, sementara penduduk Syiah mendukung Assad, bagian dari minoritas Alawite, cabang dari Syiah.
Pemimpin Hizbullah Nasrallah telah berjanji, kelompoknya akan terus berperang membela Assad setelah mereka memelopori perebutan kembali kota strategis Qusair pada Juni.
Pada Oktober tahun lalu, bom mobil di bagian timur Beirut menewaskan seorang pejabat intelijen senior Wissam al-Hassan, yang memiliki kedekatan dengan partai oposisi utama Sunni Lebanon yang mendukung pemberontakan di Suriah.
(M014)
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © 2013
Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com
HIZBOLLAH:
KAMI AKAN MENANGKAPMU
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/08/hizbollah-kami-akan-menangkapmu.html#more
AKAN KIRIM LEBIH BANYAK PASUKAN KE SYRIA
"Nasrallah to Takfiris: We will Capture You, We will Put an End to Terror"; Sara Taha Moughnieh; Al-Manar Website; 16 Agustus 2013 . Diposkan oleh cahyono adi di 04.31
"Kami tahu siapa
Anda dan kami akan menangkap Anda jika negara tinggal diam. Kami bukan
pengganti negara, namun jika negara tidak melaksanakan tanggungjawabnya,
kami yang akan melakukannya."
Demikian ancaman yang dikeluarkan pemimpin Hizbollah Sayyed Hasan Nasrallah kepada para pelaku pemboman yang menewasan 21 orang di Beirut Selatan, Kamis (15/8). Ancaman disampaikan Nasrallah dalam pidato peringatan Hari Kemenangan Perang 2006, Jumat (16/8), yang digelar di Aita Al-Shaab, dekat perbatasan Palestina.
Menurut Nasrallah pihaknya telah mengetahui siapa pelaku beberapa aksi pemboman yang terjadi di kawasan pendukung Hizbollah di Beirut Selatan, termasuk beberapa nama dan tempat persembunyian mereka. Mereka berasal dari kelompok takfiri (ekstremis wahabi-salafi) yang mendapat dukungan inteligen zionis dan negara-negara sekutunya. Sebagian dari mereka berasal dari Lebanon, sisanya dari Syria dan Palestina.
Menurut Nasrallah, selama ini pihaknya masih bersabar untuk menunggu aksi aparat pemerintah untuk melakukan tindakan terhadap para pelaku
pemboman. Namun kemudian lawan-lawan Hizbollah justru menuduh Hizbollah sengaja melakukan "serangan bunuh diri" untuk memicu pertikaian.
"Ini adalah pelecehan, karena Anda tidak akan mendapati orang-orang yang mencintai mereka (para korban) dan mencium tanah tempat mereka berdiri, seperti dilakukan oleh kami. Mungkin itulah cara-cara yang dilakukan Anda, tapi bukan cara kamai."
"Kemarin mereka meledakkan bom di Dahieh (kawasan Beirut Selatan), namun siapa yang tahu dimana mereka akan meledakkan bomnya lagi? Baik Israel maupun takfiris tidak peduli dimana mereka akan meledakkan bom-bom. Mereka membunuhi orang-orang Sunni sebagaimana membunuh orang-orang Shiah, membunuhi orang Kristen sebagaimana membunuh orang Islam, dan membom masjid sebagaimana membom gereja."
Nasrallah menegaskan bahwa tindakan tegas harus dilakukan oleh aparat pemerintah sebagai bentuk tanggungjawab dan tugas mereka. Jika tidak bisa mencegahnya, karena serangan teroris sangat sulit untuk dicegah, setidaknya pemerintah harus meminimalisir korban. Sedang terhadap para pelaku serangan dan pendukung-pendukungnya termasuk perancangnya, harus ditangkap dan diadili.
TERKAIT SYRIA
Nasrallah menyebut serangan bom yang terjadi di basis pendukungnya merupakan buntut dari konflik Syria dimana Hizbollah telah mengirim milisi-milisinya untuk mendukung regim pemerintah. Atas hal tersebut ia menegaskan bahwa serangan-serangan teroris yang terjadi justru akan membuat Hizbollah meningkatkan keterlibatannya di Syria.
"Jika Anda mengklaim Anda tengah melindungi rakyat Syria dan menghancurkan Hezbollah, saya katakan dua hal: Anda, para takfiri (orang yang suka mengkafirkan orang lain) adalah para pembunuh rakyat Syria. Anda bahkan menculik dan membunuh para pendeta Kristen yang mendukung oposisi. Anda membunuhi anak-anak dan membom masjid-masjid."
"Adapun kami bertempur dengan nilai-nilai kami. Kami tidak pernah membunuh tawanan, sementara Anda membunuhi tawanan di depan umum. Kami tidak pernah membunuh warga sipil, bahkan sebagian anggota kami menjadi syahid karena melindungi masyarakat sipil, dan semua tuduhan tentang pembunuhan massal oleh kami adalah kepalsuan. Dunia akan melihat bahwa kami hanya memerangi kelompok-kelompok takfiri di Syria," tambah Nasrallah.
"Satu dari tanggapan kami atas serangan-serangan teroris ini adalah: jika selama ini kami memiliki 1.000 pejuang yang berada di Syria, mereka akan bertambah menjadi 2.000. Jika kami memiliki 5.000 pejuang di sana, mereka akan bertambah menjadi 10.000. Dan jika perang melawan takfiri itu mengharuskan saya untuk pergi ke Syria bersama seluruh pejuang Hizbollah, maka kami akan ke Syria untuk membela rakyat Syria, rakyat Lebanon, Palestina dan Al Quds (Jerussalem)," kata Nasrallah.
"Kami akan bertempur sampai akhir, kami menetapkan kapan pertempuran akan berhenti. Dan sebagai pemenang dari semua pertempuran kami melawan Israel, kami akan meyakinkan semua orang bahwa kami akan mengalahkan para teroris takfiri. Harga dari pertempuran memang mahal, namun harga yang murah adalah membiarkan diri menjadi korban para pembunuh."
Nasrallah juga mengecam negara-negara pendukung para teroris takfiri yang diam membisu menyaksikan aksi biadab para teroris, saat negara-negara lainnya mengeluarkan kecamannya. Di antara negara tersebut (tidak disebutkan secara langsung oleh Nasrallah) adalah Arab Saudi.
"Suatu hari akan terbukti mereka sebagai pendukung teroris dan pembunuh serta kejahatan-kejahatan yang terjadi di kawasan ini," kata Nasrallah.
ISRAEL DAN PERANG TAHUN 2006
Dalam pidatonya yang heroik tersebut, setelah menyampaikan simpatinya kepada para korban serangan teroris, Nasrallah memulainya dengan menyampaikan alasan dipilihnya Aita Al-Shaab sebagai tempat peringatan Hari Kemenangan.
"Karena dari tempat ini kita bisa melihat dataran Palestina, dan udaranya adalah udara Palestina. Jadi kita merasakan udara yang sama dengan udara Palestina dan kita berkumpul di tempat yang hanya berjarak selemparan batu dari Palestina."
Selain itu penduduk Aita Al-Shaab telah menunjukkan sebagai rakyat yang teguh, berani yang kesyahidan penduduknya berhasil membebaskan para tawanan. Ia menyebut para penduduk Aita Al-Shaab telah memilih jalan syahid sebagaimana pemimpin para syuhada, Imam Hussein bin Ali (kemuliaan atasnya).
Pertempuran tahun 2006 juga menunjukkan keteguhan hati penduduk Aita Al-Shaab untuk mempertahankan tanah airnya. Hanya beberapa jam setelah gencatan senjata, mereka berdondong-bondong kembali ke rumah-rumah mereka yang hancur dan mendirikan tenda di atasnya sebagai tempat tinggal sementara.
Dalam pidatonya Nasrallah menyebutkan bahwa Perang tahun 2006 menjadi kekalahan proyek "Israel Raya" karena dengan kegagalan menduduki Lebanon, salah satu negara Arab yang paling lemah dengan jumlah penduduknya kurang dari 5 juta jiwa, Israel gagal membangun negara "Israel Raya" yang wilayahnya terbentang dari Sungai Nil ke Sungai Efrat.
Perang tersebut juga membuktikan bahwa Hizbollah bersama rakyat Lebanon pendukungnya mampu membangun pertahanan tangguh atas serangan Israel pada saat negara tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.
REF:Demikian ancaman yang dikeluarkan pemimpin Hizbollah Sayyed Hasan Nasrallah kepada para pelaku pemboman yang menewasan 21 orang di Beirut Selatan, Kamis (15/8). Ancaman disampaikan Nasrallah dalam pidato peringatan Hari Kemenangan Perang 2006, Jumat (16/8), yang digelar di Aita Al-Shaab, dekat perbatasan Palestina.
Menurut Nasrallah pihaknya telah mengetahui siapa pelaku beberapa aksi pemboman yang terjadi di kawasan pendukung Hizbollah di Beirut Selatan, termasuk beberapa nama dan tempat persembunyian mereka. Mereka berasal dari kelompok takfiri (ekstremis wahabi-salafi) yang mendapat dukungan inteligen zionis dan negara-negara sekutunya. Sebagian dari mereka berasal dari Lebanon, sisanya dari Syria dan Palestina.
Menurut Nasrallah, selama ini pihaknya masih bersabar untuk menunggu aksi aparat pemerintah untuk melakukan tindakan terhadap para pelaku
pemboman. Namun kemudian lawan-lawan Hizbollah justru menuduh Hizbollah sengaja melakukan "serangan bunuh diri" untuk memicu pertikaian.
"Ini adalah pelecehan, karena Anda tidak akan mendapati orang-orang yang mencintai mereka (para korban) dan mencium tanah tempat mereka berdiri, seperti dilakukan oleh kami. Mungkin itulah cara-cara yang dilakukan Anda, tapi bukan cara kamai."
"Kemarin mereka meledakkan bom di Dahieh (kawasan Beirut Selatan), namun siapa yang tahu dimana mereka akan meledakkan bomnya lagi? Baik Israel maupun takfiris tidak peduli dimana mereka akan meledakkan bom-bom. Mereka membunuhi orang-orang Sunni sebagaimana membunuh orang-orang Shiah, membunuhi orang Kristen sebagaimana membunuh orang Islam, dan membom masjid sebagaimana membom gereja."
Nasrallah menegaskan bahwa tindakan tegas harus dilakukan oleh aparat pemerintah sebagai bentuk tanggungjawab dan tugas mereka. Jika tidak bisa mencegahnya, karena serangan teroris sangat sulit untuk dicegah, setidaknya pemerintah harus meminimalisir korban. Sedang terhadap para pelaku serangan dan pendukung-pendukungnya termasuk perancangnya, harus ditangkap dan diadili.
TERKAIT SYRIA
Nasrallah menyebut serangan bom yang terjadi di basis pendukungnya merupakan buntut dari konflik Syria dimana Hizbollah telah mengirim milisi-milisinya untuk mendukung regim pemerintah. Atas hal tersebut ia menegaskan bahwa serangan-serangan teroris yang terjadi justru akan membuat Hizbollah meningkatkan keterlibatannya di Syria.
"Jika Anda mengklaim Anda tengah melindungi rakyat Syria dan menghancurkan Hezbollah, saya katakan dua hal: Anda, para takfiri (orang yang suka mengkafirkan orang lain) adalah para pembunuh rakyat Syria. Anda bahkan menculik dan membunuh para pendeta Kristen yang mendukung oposisi. Anda membunuhi anak-anak dan membom masjid-masjid."
"Adapun kami bertempur dengan nilai-nilai kami. Kami tidak pernah membunuh tawanan, sementara Anda membunuhi tawanan di depan umum. Kami tidak pernah membunuh warga sipil, bahkan sebagian anggota kami menjadi syahid karena melindungi masyarakat sipil, dan semua tuduhan tentang pembunuhan massal oleh kami adalah kepalsuan. Dunia akan melihat bahwa kami hanya memerangi kelompok-kelompok takfiri di Syria," tambah Nasrallah.
"Satu dari tanggapan kami atas serangan-serangan teroris ini adalah: jika selama ini kami memiliki 1.000 pejuang yang berada di Syria, mereka akan bertambah menjadi 2.000. Jika kami memiliki 5.000 pejuang di sana, mereka akan bertambah menjadi 10.000. Dan jika perang melawan takfiri itu mengharuskan saya untuk pergi ke Syria bersama seluruh pejuang Hizbollah, maka kami akan ke Syria untuk membela rakyat Syria, rakyat Lebanon, Palestina dan Al Quds (Jerussalem)," kata Nasrallah.
"Kami akan bertempur sampai akhir, kami menetapkan kapan pertempuran akan berhenti. Dan sebagai pemenang dari semua pertempuran kami melawan Israel, kami akan meyakinkan semua orang bahwa kami akan mengalahkan para teroris takfiri. Harga dari pertempuran memang mahal, namun harga yang murah adalah membiarkan diri menjadi korban para pembunuh."
Nasrallah juga mengecam negara-negara pendukung para teroris takfiri yang diam membisu menyaksikan aksi biadab para teroris, saat negara-negara lainnya mengeluarkan kecamannya. Di antara negara tersebut (tidak disebutkan secara langsung oleh Nasrallah) adalah Arab Saudi.
"Suatu hari akan terbukti mereka sebagai pendukung teroris dan pembunuh serta kejahatan-kejahatan yang terjadi di kawasan ini," kata Nasrallah.
ISRAEL DAN PERANG TAHUN 2006
Dalam pidatonya yang heroik tersebut, setelah menyampaikan simpatinya kepada para korban serangan teroris, Nasrallah memulainya dengan menyampaikan alasan dipilihnya Aita Al-Shaab sebagai tempat peringatan Hari Kemenangan.
"Karena dari tempat ini kita bisa melihat dataran Palestina, dan udaranya adalah udara Palestina. Jadi kita merasakan udara yang sama dengan udara Palestina dan kita berkumpul di tempat yang hanya berjarak selemparan batu dari Palestina."
Selain itu penduduk Aita Al-Shaab telah menunjukkan sebagai rakyat yang teguh, berani yang kesyahidan penduduknya berhasil membebaskan para tawanan. Ia menyebut para penduduk Aita Al-Shaab telah memilih jalan syahid sebagaimana pemimpin para syuhada, Imam Hussein bin Ali (kemuliaan atasnya).
Pertempuran tahun 2006 juga menunjukkan keteguhan hati penduduk Aita Al-Shaab untuk mempertahankan tanah airnya. Hanya beberapa jam setelah gencatan senjata, mereka berdondong-bondong kembali ke rumah-rumah mereka yang hancur dan mendirikan tenda di atasnya sebagai tempat tinggal sementara.
Dalam pidatonya Nasrallah menyebutkan bahwa Perang tahun 2006 menjadi kekalahan proyek "Israel Raya" karena dengan kegagalan menduduki Lebanon, salah satu negara Arab yang paling lemah dengan jumlah penduduknya kurang dari 5 juta jiwa, Israel gagal membangun negara "Israel Raya" yang wilayahnya terbentang dari Sungai Nil ke Sungai Efrat.
Perang tersebut juga membuktikan bahwa Hizbollah bersama rakyat Lebanon pendukungnya mampu membangun pertahanan tangguh atas serangan Israel pada saat negara tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.
"Nasrallah to Takfiris: We will Capture You, We will Put an End to Terror"; Sara Taha Moughnieh; Al-Manar Website; 16 Agustus 2013 . Diposkan oleh cahyono adi di 04.31
Label:
politik
Anti-Mursi pasti Syiah atau Yahudi (dan keduanya bersekongkol!)..tapi kok ANEH negara yang paling awal mengecam penggulingan Mursi dan menyebutnya sebagai kudeta militer justru Republik Islam Iran (Negara Syi'ah 12 Imam). Sebaliknya, yang pertama kali memberikan ucapan selamat kepada militer Mesir justru Arab Saudi (Negara Wahabi)...kok IRAN Tidak Serang Israel (kejauhan)..kok Arab Saudi Tidak serang Israel (Kedekatan)...NAH LOh...iyakah jar...^_^...
Posted by Admin on 2:34 PM //
0 comments
http://banjarkuumaibungasnya.blogspot.com/2013/07/anti-mursi-pasti-syiah-atau-yahudi-dan.html#axzz2ca23AM8d
Pemetaan Konflik Mesir
Dina Y. Sulaeman*
Pengantar: Dalam
artikel panjang ini penulis akan melakukan pemetaan konflik dengan
harapan agar publik bisa melihat situasinya dengan lebih jernih. Ini
penting karena opini publik Indonesia atas konflik ini terlihat mulai
keruh oleh sikap-sikap takfiriah. Yang tidak mendukung Mursi dituduh
anti-Islam. Bahkan banyak yang seenaknya berkata: yang anti-Mursi pasti
Syiah atau Yahudi (dan keduanya bersekongkol!). Jelas ini pernyataan
yang tidak logis, tidak cerdas, dan semata didasarkan pada kebencian
yang membabi-buta. Sebaliknya, yang menolak kudeta pun, belum tentu
pro-Mursi atau pro-takfiri. Bahkan, negara yang paling awal mengecam
penggulingan Mursi dan menyebutnya sebagai kudeta militer justru Iran.
Sebaliknya, yang pertama kali memberikan ucapan selamat kepada militer
Mesir justru Arab Saudi.
(1) Ikhwanul Muslimin
Muhammad
Mursi, doktor lulusan AS dan aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) naik ke
tampuk kekuasaan dengan memenangi 52% suara dalam pemilu bulan Juni
2012. Jumlah turn-out vote saat itu hanya sekitar 50%. Artinya, secara real Mursi
hanya mendapatkan dukungan seperempat dari 50 juta rakyat Mesir yang
memiliki hak suara (karena ‘lawan' Mursi saat itu hanya satu orang,
Ahmad Shafiq, mantan perdana menteri era Mubarak). Dalam posisi seperti
ini, bila benar-benar menganut azas demokrasi, idealnya Mursi melakukan
pembagian kekuasaan dengan berbagai pihak.
Awalnya,
Mursi memang memberikan sebagian jabatan dalam kabinetnya kepada
tokoh-tokoh yang tadinya berada di pemerintahan interim militer.Namun
sikap kompromistis Mursi tak bertahan lama. Pada bulan Agustus 2012,
Mursimulai melakukan ‘pembersihan' di tubuh pemerintahannya. Bahkan pada
bulan November 2012, Mursi mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa
semua produk hukum yang dihasilkan anggota parlemen (yang didominasi
Ikhwanul Muslimin) tidak bisa dibatalkan pengadilan. Dekrit ini
ditentang kaum sekuler dan minoritas karena mengkhawatirkan produk UU
yang meng- ‘Ikhwanisasi' Mesir. Mereka pun berdemo besar-besaran di
Tahrir Square.
Situasi semakin memanas seiring dengan sikap sektarianisme yang
ditunjukkan para aktivis IM dan aliansi utama mereka, kalangan Salafi.
Bila pada era Mubarak semua sikap politik-relijius dari semua pihak
diberangus, pada era Mursi yang terjadi adalah pembiaran kelompok
berideologi takfiri (gemar mengkafirkan pihak lain) untuk
menyebarluaskan pidato-pidato kebencian melalui berbagai kanal televisi
dan radio.
Tidak cukup dengan pidato, aksi-aksi kekerasan fisik pun mereka lakukan.
Korban sikap radikal mereka ini bahkan ulama Al Azhar. Pada 28 Mei 2013
kantor Grand Sheikh Al Azhar diserbu kelompok takfiri yang meneriakkan
caci-maki, menyebut Al-Azhar sebagai institusi kafir. Tudingan ini
dilatarbelakangi sikap moderat yang selalu diambil ulama Al Azhar dalam
berbagai isu. Label kafir memang sering disematkan oleh pihak pro-Mursi
terhadap para penentangnya. Puncaknya adalah peristiwa pembantaian
terhadap orang-orang Syiah yang sedang mengadakan acara maulid Nabi di
kawasan Zawiyat Abu Musallem.
Dalam kebijakan luar negerinya, Mursi pun tidak mendahulukan kepentingan
nasional Mesir, melainkan kepentingan ideologis transnasional IM. Dalam
konflik Suriah misalnya, dimana IM Suriah berperan aktif, Mursi memilih
berpihak kepada kelompok oposisi. Mursi bahkan menjadi tuan rumah bagi
muktamar para ulama di Kairo pada Juni 2012 yang merekomendasikan jihad,
bantuan dana, dan suplai senjata untuk pemberontak Suriah. Ratusan
jihadis asal Mesir pun ternyata sudah tewas di Suriah. Istilah
gampangnya: negara sedang susah kok malah menghabiskan energi untuk ngurusin perang di negara lain?
Terhadap Israel pun, Mursi tidak menunjukkan sikap tegas: tetap
mempertahankan hubungan diplomatik dan melakukan kebijakan
anti-Palestina. Pada bulan Juli 2012, rezim Mursi sempat membuka gerbang
Rafah. Namun sejak Agustus 2012, gara-gara ada 16 tentara Mesir yang
dibunuh teroris, Mesir kembali menutupnya.Tidak seperti yang banyak
diberitakan media pro-Mursi, sesungguhnya pada era Mursi-lah
terowongan-terowongan penghubung Gaza-Rafah ditutup (puncaknya pada
Februari 2013). Ratusan terowongan itu merupakan lifeline rakyat
Gaza, jalur yang memberikan mereka kehidupan. Terowongan-terowongan
itulah yang memberi mereka akses keluar-masuk yang sangat dibutuhkan
untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup, termasuk makanan dan
obat-obatan, serta menjual barang produksi mereka agar mereka bisa
mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan perut, serta untuk membawa
para penderita sakit ke rumah sakit di Mesir.
Sikap politik Mursi-IM ini tentu saja kontraproduktif dengan kebutuhan
mendasar masyarakat Mesir yang didera kesulitan ekonomi. Mereka dulu
bangkit menggulingkan Mubarak karena sudah lelah menghadapi kemiskinan
akibat kebijakan ekonomi liberal yang dijalankan Mubarak, yang bekerja
sama dengan IMF dan korporasi Barat. Namun kini, kebijakan ekonomi Mursi
justru tak jauh beda dengan Mubarak. Segera setelah meraih tampuk
kekuasaan, Mursi mendapati bahwa kas negaranya hanya tersisa 14 milyar
dollar. Untuk mengatasinya Mursi tidak melakukan langkah radikal seperti
yang diambil negara-negara Amerika Latin yang memutuskan hubungan
dengan lembaga rente Barat. Ia malah bernegosiasi dengan IMF. Dan untuk
melunakkan protes dari kalangan Salafi, dalam sebuah pidatonya bulan
Oktober 2012, Mursi menyatakan, "Ini bukanlah riba."
Berbagai versi sikap Mursi ini (di satu sisi seperti Islam garis keras,
tapi di satu sisi terlihat tetap berbaik-baik dengan Barat dan Israel),
membuat yang memusuhinya bukan hanya kalangan liberal (yang
mengkhawatirkan Ikhwanisasi Mesir), melainkan kalangan Islam radikal
sendiri (yang menganggap Mursi kurang radikal). Itulah sebabnya,
komposisi anti-Mursi sangat beragam, mulai dari liberal hingga Salafi.
(Catatan:
Bagian ini adalah kutipan dari artikel karya penulis yang dimuat di
Sindo Weekly Magazine No. 21-22. Analisis yang penulis ungkapkan di atas
adalah hasil penelaahan dari berbagai sumber bacaan, namun
terkonfirmasi oleh penjelasan Dubes Mesir untuk Indonesia –dalam
wawancara yang berlangsung di Museum Konperensi Asia Afrika,18/7/13;
dan juga oleh Tariq Ramadan dalam salah satu tulisannya yang mengkritik
Mursi. Tariq Ramadan adalah akademisi terkemuka, cucu Hasan Al Banna,
pendiri Ikhwanul Muslimin.)
(2) Militer Mesir
Perlu dicatat pula bahwa kesalahan yang dilakukan Mursi dan IM selama
setahun masa kepemimpinannya tidaklah membuat pihak yang berseberangan
dengannya menjadi sosok protagonis. Mari kita cermati siapa saja tokoh
yang akhirnya memegang kekuasaan pasca Mursi. Perdana Menteri
pemerintahan interim bentukan militer adalah Hazem el-Beblawi, seorang
ekonom berhaluan liberal. Mohamed El Baradei, yang diangkat sebagai
Wapres untuk bidang Hubungan Internasional adalah partner setia Barat
selama ini. Selain pernah menjabat Gubernur IAEA, Baradei adalah anggota
Dewan Pengawas ICG (Internasional Crisis Group), LSM internasional yang
didanai tokoh Zionis, George Soros, yang terlibat dalam berbagai
konflik di dunia. Pasca tumbangnya Mubarak, Baradeilah yang
digadang-gandang Barat untuk menjadi pengganti, namun dia tak mendapat
banyak dukungan rakyat. Jangan lupakan pula Menlu Nabil Fahmy, yang
pernah menjadi Dubes Mesir untuk AS selama sembilan tahun pada era
Mubarak.
Naiknya tokoh-tokoh ini, jelas mengindikasikan adanya faktor AS dalam
penggulingan Mursi. Sebagaimana ditulis Tariq Ramadan dalam bukunya Islam and the Arab Awakening,
adalah naif bila mengabaikan faktor AS dan negara-negara adidaya lain
dalam menganalisis konflik Timur Tengah. Kepentingan ekonomi mereka di
Timur Tengah sedemikian besar sehingga mereka akan sebisa mungkin
melibatkan diri dalam setiap perubahan politik di kawasan ini. AS
bersama Freedom House dan the National Endowment for Democracy, jauh
sebelum tergulingnya Mubarak telah mendukung dan mendanai
kelompok-kelompok pro-demokrasi Mesir. Padahal di saat yang sama, AS pun
tetap menjalin kemesraan dengan Mubarak. Inilah wujud political leveraging AS,
bermain di dua kaki. Inilah yang dikatakan Tariq Ramadan, "Teman
terbaik pemerintah Barat adalah mereka yang paling baik melayani
kepentingan Barat, mereka bisa saja diktator, atau Islamis."
Ketika pemerintahan hasil demokrasi Mesir kembali digulingkan, AS pun
tidak banyak bereaksi. Bahkan pemerintah AS kini tidak lagi menyebut
penggulingan Mursi sebagai ‘kudeta militer' dan tetap akan mengirimkan
F-16-nya ke Mesir (meski ada juga berita yang menyebutkan AS akan
menundanya). Selama ini, setiap tahunnya AS memberikan bantuan sebesar
1,5 milyar Dollar kepada Mesir, sebagian besarnya dalam bentuk bantuan
militer. Di sisi lain, Obama juga meminta agar militer membebaskan
Mursi, seolah-olah Obama berpihak pada Mursi.
Bila dilihat dari kacamata demokrasi, yang terjadi di Mesir adalah
kudeta yang bertentangan dengan konsep dasar demokrasi. Dogma demokrasi
adalah 50%+1 bisa dianggap sebagai mayoritas rakyat dan suara rakyat
adalah "suara Tuhan" yang harus dipatuhi semua rakyat.
(Catatan: Dalam wawancara penulis dengan Dubes Mesir untuk Indonesia, Bahaa El Deen Desouky, dia menyatakan bahwa situasi saat itu sudah sangat genting. Demonstrasi rakyatMesir
yang menuntut Mursi mundur adalah demonstrasi terbesar dalam sejarah
Mesir. Mursi dan IM pun tidak melakukan langkah-langkah politik yang
tepat untuk menangani masalah ini sehingga akhirnya militer ‘terpaksa'
mengambil alih kendali kekuasaan agar situasi tidak lebih kacau lagi.
Saat penulis menyebutkan adanya dominasi AS dalam pemerintahan interim,
Desouky menyanggahnya dan menyebut itu gosip media belaka).
(3) Respon Iran
Seperti telah disinggung pada pengantar tulisan, sikap Iran berbeda
dibanding negara-negara Arab (dan AS-Israel, tentu saja). Demo anti
Mursi dan IM sesungguhnya tidak terjadi baru-baru ini saja, melainkan
sejak Mursi nekad mengeluarkan Dekrit 22 November. Setelah itu, diadakan
referendum untuk mengesahkan UU produk parlemen baru dan hasilnya
mayoritas peserta referendum menyatakan setuju. Meskipun peserta
referendum hanya 33% dari seluruh pemilik suara, dari kaca mata
demokrasi, tetap saja ini dianggap sah. Dan saat itu, Iran
terang-terangan menyatakan dukungannya. Pada 25/12/12, Ahmadinejad
mengucapkan selamat kepada Mursi dan mengatakan, "Saya yakin di era
baru ini, bangsa Mesir akan bergerak menuju puncak kehormatan dan
kemajuan." Padahal di saat yang sama, pemberitaan media Barat hampir
seragam: kelangsungan revolusi Mesir telah terancam; demokrasi telah disingkirkan oleh Ikhwanul Muslimin.
Sikap Iran ini cukup menimbulkan tanda tanya. Sebab, sikap Mursi dan IM
selama ini justru berkali-kali merugikan Iran. Dalam acara KTT Gerakan
Non Blok di Teheran, misalnya, Mursi justru berpidato menyerukan para
anggota GNB untuk bersatu mendukung ‘perjuangan' rakyat Suriah. Secara
terang-terangan, Mursi menyebut pemerintah Suriah sebagai ‘rezim
opresif' dan menyatakan bahwa pihaknya mendukung kehendak rakyat Suriah
untuk mencapai kebebasan dan kesetaraan.
Pidato Mursi ini sangat melanggar etika diplomasi karena menampar muka
Iran sebagai tuan rumah, yang sudah jelas berposisi mendukung pemerintah
Suriah. Kalau Iran waktu itu bukan tuan rumah, Iran akan leluasa
memberikan pidato balasan. Namun posisinya sebagai tuan rumah membuat
Iran terpaksa diam demi menjaga keberlangsungan sidang. Selain itu,
sikap Mursi jelas melanggar konvensi GNB yang menolak interferensi atas
urusan internal negara lain. Kalaupun Mesir memiliki pendapat tertentu
terkait Suriah, etikanya, disampaikan pada sidang-sidang perumusan
deklarasi; dan nantinya akan dilakukan deklarasi bersama GNB terkait
Suriah. Tak heran bila delegasi Suriah dalam KTT tersebut langsung
melakukan aksi walkout saat mendengar pidato Mursi.
Segera setelah Mursi dipaksa lengser oleh militer, Iran mengeluarkan
kecaman dan menyebut telah terjadi kudeta militer di Mesir. Padahal, di
saat yang sama, Arab Saudi justru memberi selamat pada militer.
Berdasarkan analisis-analisis politik yang dimuat di koran beroplah
terbesar di Iran, Kayhan, bisa ditangkap bahwa sikap Iran ini disebabkan
karena melihat kepentingan yang lebih global. Dalam pandangan Iran,
keberhasilan rakyat Mesir menggulingkan Mubarak dan menyelenggarakan
pemilu demokratis adalah model yang menghembuskan angin harapan bagi
rakyat tertindas di muka bumi. Terbukti, Mubarak yang sangat ditakuti
rakyatnya akhirnya bisa juga ditumbangkan. Namun kini, dengan kembali
berkuasanya militer (meskipun dengan alasan: kehendak rakyat), harapan
ini telah meredup. Negara-negara Arab monarkhi akan semakin berani
menggunakan kekuatan militer untuk menindas demo rakyatnya. Jelas ini
bertentangan dengan ide Iran yang sejak kemenangan revolusi 1979 selalu
menyerukan agar bangsa-bangsa tertindas bangkit melawan penindasnya.
Pertanyaannya, bukankah rakyat Mesir memang benar-benar berdemo
besar-besaran untuk menuntut Mursi turun? Ada banyak analisis yang
dikemukakan dalam hal ini. Namun, saya tertarik pada pernyataan seorang
komentator di website Tariq Ramadan, "Saya ikut demo karena memang tidak
menyukai kebijakan Mursi. Tapi saya sama sekali tidak menyangka bahwa
akhirnya justru militer dan orang-orang pro-Barat yang berkuasa."
Bila menggunakan kategorisasiJean-Paul Sartre, ada tiga jenis gerakan
rakyat melawan penguasa, yaitu pemberontakan, kebangkitan, dan
revolusi. Revolusi adalah tingkat tertinggi sebuah gerakan rakyat, yang
bermakna menghapus total sistem politik dan ekonomi rezim lama. Gerakan
rakyat Mesir lebih tepat disebut sebagai kebangkitan karena tidak ada
figur utama yang memimpin dan tidak ada kristalisasi ide perjuangan,
sehingga tak banyak membawa perubahan nyata. Rakyat hanya bisa marah dan
mengungkapkan kemarahannya terhadap rezim, namun tidak memiliki daya
untuk membentuk pemerintahan baru. Atau mungkin, mereka memang tidak
tahu pasti pemerintahan seperti yang apa yang tepat untuk mereka, karena
ketiadaan figur pemimpin revolusi. Kemarahan mereka adalah nyata.
Namun, secara real pula, kekuasaan tidak ada di tangan mereka.
Lagi-lagi, elitlah yang mengambil alih. Sikap IM yang tak mau mengalah
(padahal mengalah pun adalah sebuah strategi untuk menang) pun harus
diakui bak memberikan bensin kepada api yang sedang menyala, sehingga
membuka jalan bagi aksi represif militer. Apalagi, menyelamatkan jiwa
lebih wajib daripada menyelamatkan kekuasaan. Dan rakyat Mesirlah yang
menjadi korban utama: darah kembali tertumpah sia-sia, sementara
perbaikan ekonomi entah kapan akan terwujud.
Penutup
Tumbangnya Mursi dan IM perlu dijadikan catatan bahwa mengusung Islam
sebagai kendaraan politik ternyata tak semudah yang disangka. Sikap
welas asih dan antisektarianisme, dan di saat yang sama tegas
memperjuangkan kepentingan nasional di hadapan kekuatan asing, tetap
menjadi syarat utama untuk meraih simpati rakyat. Ini agaknya penting
pula dicatat oleh para aktivis muslim Indonesia yang berpatron pada
Ikhwanul Muslimin.Ingatlah bahwa rakyat akan berpihak kepada mereka
yang memperjuangkan kepentingan bangsa, bukan yang melulu memikirkan
kepentingan organisasi eksklusif-transnasional.
Dan bagi kita bangsa Indonesia, kisruh Mesir harus dijadikan pelajaran,
bukannya malah ikut berseteru demi mendukung (atau tidak mendukung)
presiden sebuah negara yang letaknya ribuan kilo dari kita. Pernyataan
mantan Dubes Indonesia untuk Mesir, AM Fachir (dalam acara talkshow
tentang Mesir di Museum KAA, 18/7/13) penting untuk digarisbawahi.
Fachir menyatakan bahwa perbedaan utama Mesir dan Indonesia adalah bahwa
Indonesia memiliki Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa. Di Mesir,
konflik menjadi sangat tajam dan mengarah kepada perang saudara karena
semua pihak berkeras kepala dengan kebenaran yang dipegang
masing-masing. Karena itu, kita perlu kembali berpegang teguh kepada
Pancasila. Kita menyembah Tuhan yang satu dan memiliki harapan yang
sama: Indonesia yang damai dan makmur. Konflik di luar negeri adalah
untuk diambil hikmah, bukan malah diimpor dan dijadikan bahan untuk
memecah belah bangsa sendiri. [IRIBIndonesia/PH]
*mahasiswa
Program Doktor Hubungan Internasional Unpad, peneliti tamu pada Global
Future Institute, penulis buku ‘Prahara Suriah'
Al-Qaradhawi Tuding Raja Saudi Terlibat Pertumpahan Darah di Mesir
Mufti
Qatar-Mesir, Sheikh Yusuf al-Qaradhawi mengkritik keras Raja Arab Saudi
dan para penguasa Arab lainnya termasuk Uni Emirat Arab, Bahrain, dan
Kuwait karena mendukung militer dan kudeta di Mesir.
Al-Qaradhawi dalam pernyataannya menegaskan keterlibatan Raja Saudi,
Abdullah bin Abdul Aziz dan para pemimpin Arab lainnya dalam menumpahkan
darah umat Islam. Demikian dilaporkan Alalam, Ahad (28/7).
Ia kepada mereka mengatakan, umat Islam tewas karena uang miliaran dolar Anda.
Pasca transformasi terbaru di Mesir dan tergulingnya Presiden Muhammad
Mursi, sikap Sheikh al-Qaradhawi terhadap penguasa Saudi dan sejumlah
negara Arab pesisir Teluk Persia berubah drastis.
Sebelumnya, Sheikh al-Qaradhawi yang dikenal sebagai Bapak Spiritual
teroris Suriah dan Mufti NATO itu dalam fatwanya mengharamkan protes
terhadap Mursi.
Ia juga menyebut Abdel Fattah al-Sisi, Menteri Pertahanan Mesir, sebagai
seorang pengkhianat yang membunuh perempuan, anak-anak dan orang tua.
Mufti Qatar kelahiran Mesir itu dalam fatwanya yang lain juga
mengharamkan untuk mengikuti seruan al-Sisi untuk berdemonstrasi pada
Jumat.
Ia juga mengkritik Sheikh al-Azhar, Ahmed El Tayeb dan mengatakan, sikap
El Tayeb yang menegaskan untuk berdemo anti-Mursi merupakan langkah
salah dan dia harus merujuk ke dalam nuraninya sendiri.
Klaim dan fatwa al-Qaradhawi untuk mendukung rakyat Mesir dan
kekhawatirannya atas pertumpahan darah di negara Afrika Utara tersebut
dilontarkan ketika sejak krisis Suriah meletus dua tahun lalu, ia selalu
mendukung kelompok-kelompok teroris bersenjata di Suriah membantai
warga sipil di negara Arab tersebut.
Hingga kini, al-Qaradhawi terus mendukung berbagai pihak untuk
memberikan segala bentuk bantuan kepada kelompok-kelompok bersenjata di
Suriah guna menggulingkan pemerintah sah Presiden Bashar al-Assad. (IRIB
Indonesia/RA)
MENGAPA IRAN TIDAK SERANG ISRAEL???
Oleh: Dina Y. Sulaeman
Pertanyaan
ini sering muncul di dalam berbagai diskusi di dunia maya, “Kalau Iran
betul-betul anti-Israel, mengapa Iran sampai sekarang tidak jua
menyerang Israel?” Pertanyaan ini konteksnya adalah menuduh Iran omdo (omong doang),
bahkan ada yang lebih parah lagi, menggunakan teori konspirasi, “Ini
bukti bahwa ada kerjasama di balik layar antara Iran dan Israel.”
Bila memakai kalkulasi hard power, harus diakui bahwa sebenarnya kekuatan Iran masih jauh di bawah AS. Apalagi, doktrin militer Iran adalah defensive(bertahan,
tidak bertujuan menginvasi negara lain). Iran hanya menganggarkan 1,8%
dari pendapatan kotor nasional (GDP)-nya untuk militer (atau sebesar 7 M
dollar). Sebaliknya, AS adalah negara dengan anggaran militer terbesar
di dunia, yaitu 4,7% dari GDP atau sebesar 687 M dollar. Bahkan, AS
telah membangun pangkalan-pangkalan militer di berbagai wilayah di
sekitar Iran. AS adalah pelindung penuh Israel dan penyuplai utama dana
dan senjata untuk militer Israel. Bujet militer Israel sendiri,
pertahunnya mencapai 15 M Dollar (dua kali lipat Iran).
Sebelum menjawab ‘mengapa Iran tidak langsung menyerang Israel’?, mari
kita jawab dulu pertanyaan sebaliknya, mengapa AS dan Israel tidak jua
menyerang Iran? AS sebenarnya tidak berkepentingan menyerang Iran.
Tetapi, Israel berkali-kali meminta AS untuk menyerang Iran dengan
alasan “Iran memiliki nuklir yang mengancam keselamatan Israel.” Ketika
rezim Obama enggan menuruti permintaan Israel, Israel bahkan mengancam
akan menyerang Iran sendirian, tanpa bantuan AS. Untuk menelaah prospek
perang AS+Israel melawan Iran, Anthony Cordesman dari Center for
Strategic and International Studies merilis hasil penelitiannya pada
bulan Juni 2012. CSIS melakukan kalkulasi bila AS dan Israel menyerang
Iran, antara lain menghitung berapa banyak pesawat pengebom yang
dibutuhkan, berapa banyak bom yang harus dibawa, apa kemungkinan
serangan balasan dari Iran, dan bagaimana cara menghadapinya.
Salah satu kesimpulan yang diambil Cordesman adalah, profil militer
Israel tidak akan mampu melakukan serangan tersebut. Untuk menyerang
Iran, Israel harus mengerahkan seperempat pasukan udaranya dan semua
pesawat tempurnya, sehingga tidak ada pesawat cadangan untuk
berjaga-jaga. Pesawat-pesawat tempur itu harus melewati perbatasan
Syria-Turki sebelum terbang di atas udara Irak and Iran. Dan
wilayah-wilayah tersebut, sangat rawan bagi Israel. Menurut Cordesman,
“Berdasarkan jumlah pesawat yang diperlukan, proses pengisian bahan
bakar yang harus dilakukan sepanjang perjalanan menuju Iran, serta usaha
mencapai target gempuran tanpa terdeteksi sangatlah beresiko tinggi dan
kecil kemungkinan keseluruhan operasi militer tersebut akan berhasil.”
Dan bahkan jika pesawat tempur Israel berhasil mengebom reaktor nuklir
Iran, pembalasan yang dilakukan Iran akan membawa dampak yang sangat
buruk bagi kawasan Timur Tengah. Cordesman menulis, “Anda tidak akan
ingin tahu seperti apa jadinya Timur Tengah sehari setelah Israel
berupaya menyerang Iran.”
Karena itu, bila Israel berkeras ingin menyerang Iran, Israel harus
menggandeng AS. Tapi, bila AS menyetujui permintaan Israel ini, AS harus
mengerahkan ratusan pesawat dan kapal tempur. Serangan awal saja sudah
membutuhkan alokasi kekuatan yang sangat besar, termasuk pengebom utama,
upaya penghancuran system pertahanan udara lawan, pesawat-pesawat
pendamping untuk melindungi pesawat pengebom, peralatan perang
elektronik, patrol udara untuk menahan serangan balasan dari Iran, dll.
Pada saat yang sama, AS harus menghalangi Iran agar tidak melakukan aksi
apapun di Selat Hormuz. Bila Iran sampai berhasil memblokir Selat
Hormuz, suplai minyak dan gas dunia akan terhambat dan efeknya akan
sangat buruk bagi perekonomian dunia. Dan ini bukan pekerjaan mudah.
Iran selama ini justru sangat memperkuat kemampuan militernya demi
mengontrol Selat Hormuz bila terjadi perang. Meskipun, AS juga sudah
mempersiapkan banyak hal untuk menjaga agar Hormuz tetap terbuka, antara
lain dengan menempatkan berbagai perlengkapan militer di Bahrain, Saudi
Arabia, Qatar, Kuwait, dan UAE. Namun inipun mengandung ancaman lain.
Iran berkali-kali mengancam, bila wilayahnya diserang, Iran akan
melakukan serangan balasan ke semua negara Arab yang di dalamnya ada
pangkalan militer AS. Belum lagi, Rusia dan China diperkirakan akan ikut
campur demi mengamankan kepentingan mereka sendiri di Timteng. Tak
heran bila banyak analis mengungkapkan ramalan bahwa Perang Dunia III
akan meletus bila AS sampai menyerang Iran.
Lihatlah situasinya: bila Israel dan AS menyerang Iran, artinya mereka
keluar dari wilayah mereka sendiri dan harus bersusah-payah mengusung
semua perlengkapan militernya. Lalu, urusan tidak selesai hanya dengan
menjatuhkan bom ke situs nuklir Iran. Serangan balik dari Iran, dan
posisi geostrategis Iran, sangat memberikan potensi kekalahan bagi AS
dan Israel. Karena itulah, Menhan Leon Panetta sampai berkata, “Sangat
jelas bahwa bila AS melakukan serangan itu, kita akan mendapatkan akibat
buruk yang sangat besar.”
Sekarang mari kita balik: bagaimana seandainya Iran menyerang Israel?
Minimalnya, ada dua versi jawaban yang bisa diberikan sementara ini.
- Berdasarkan kalkulasi hard power. Ingat lagi profil militer Iran. Bisa dibayangkan, berapa banyak senjata yang dimiliki Iran dengan dana 7 M Dollar pertahun, dibandingkan dengan banyaknya senjata yang dimiliki AS dengan dana 687 M Dollar pertahun. Bandingkan lagi dengan kondisi ‘seandainya Israel menyerang Iran’ seperti yang sudah dianalisis Cordesman di atas. Kesimpulan yang bisa diambil adalah saat ini, profil militer Iran memang belum mampu menyerang Israel secara langsung, begitu juga sebaliknya, Israel juga belum mampu menyerang Iran secara langsung. Sementara, AS punya hitung-hitungan lain di luar sekedar menyerang Iran. AS akan menghadapi kehancuran ekonomi yang sangat parah bila sampai mengobarkan perang terhadap Iran.
Artinya, kedua pihak saat ini masih dalam posisi sama-sama bertahan.
Itulah sebabnya, retorika Iran selama ini memang selalu defensif: Iran
tidak mengancam akan menyerang, melainkan ‘akan membalas bila ada yang
berani menyerang’. Seandainya Iran dalam posisi diserang dan membela
diri dari dalam negeri (bukan dalam posisi menyerang dan mengirimkan
pasukan ke luar wilayahnya) Iran sangat mungkin bertahan dan meraih
kemenangan, karena memiliki keunggulan geostrategis. Hanya dengan
memblokir Selat Hormuz, seluruh dunia akan merasakan dampak buruk perang
dan bahkan AS akan bangkrut sehingga tak akan mampu melanjutkan perang.
Sebaliknya, untuk bisa maju perang (=secara ofensif mengirimkan senjata
dan pasukan ke luar wilayahnya), Iran tidak mungkin maju sendirian. Bila
negara-negara Arab, terutama yang berbatasan darat dengan Palestina,
belum siap berjuang, tentu sangat konyol bila Iran harus mengirim
pasukan ke Palestina yang jauhnya 1500 km dari Teheran. Berapa banyak
pasukan, pesawat tempur, dan rudal yang mampu dikirim oleh Iran yang
hanya punya anggaran 7 M Dollar pertahun? Bila Mesir saja yang
pemerintahannya dikuasai Ikhwanul Muslimin (artinya, seideologi dengan
Hamas) masih menutup pintu perbatasannya dengan Gaza; masih menolak
untuk terjun langsung ke medan pertempuran membela saudara se-harakah mereka, mengapa Iran yang di-ojok-ojok untuk
mengirim pasukan perang? Karena itu, dari sisi ini, hanya satu kata
untuk menilai pertanyaan ‘mengapa Iran tidak langsung menyerang Israel?’
: naif.
2. Berdasarkan kalkulasi soft power. Sangat mungkin, di atas
kertas, profil militer Iran memang seperti yang diungkapkan di atas.
Tapi, bila diingat lagi percepatan kemajuan teknologi militer yang
dicapai Iran dan statemen beberapa petinggi militer Iran yang
menyebutkan bahwa kemampuan Iran ‘jauh lebih besar dari apa yang
terlihat’, ada aspek lain yang perlu dipertimbangkan. Iran adalah negara
yang berbasis teologi mazhab Syiah dan meyakini adanya aspek transenden
dalam setiap keputusan yang diambil oleh pemimpin spiritual mereka (rahbar). Militer Iran pun berada di bawah wewenang rahbar,
yang sekarang dijabat Ayatullah Khamenei. Iran meyakini bahwa Ayatullah
Khamanei memiliki kemampuan transenden sehingga mengetahui kapan saat
yang tepat untuk maju perang. Orang lain boleh tidak percaya, tetapi ini
adalah urusan rakyat Iran sendiri.
Di sini, pertanyaan mengapa Iran belum juga menyerang Israel secara
langsung (seandainya memang kemampuan militernya sebenarnya sudah
mencukupi) akan mendapat jawaban sederhana saja: karena belum diizinkan
oleh sang Rahbar. Lalu, mengapa Rahbar belum memberi izin? Silahkan
dipikirkan sendiri, dengan mengaitkannya pada hal-hal yang bersifat
ideologis dan relijius; dan hal ini di luar kapasitas saya untuk
menjelaskan.
Intinya, perjuangan melawan Israel bukanlah perjuangan Iran saja. Ini
seharusnya menjadi perjuangan bersama semua negara-negara muslim. Dan
inilah yang terus diupayakan para pemimpin dan ulama Iran melalui
berbagai statemen dan orasinya: membangkitkan kesadaran dan semangat
juang kaum muslimin sedunia; sambil terus berupaya memperkuat profil
militernya. Ini bukanlah omdo (omong doang), tapi upaya yang memang harus dilakukan sebelum mencapai kemenangan.
Akan tiba suatu masa ketika kaum muslimin sedunia bangkit bersatu dan
bersama-sama merebut kembali Al Quds dari tangan para penjajah. Inilah
janji Allah dalam QS 17:4-5, “Dan telah kami tetapkan terhadap Bani
Israel di dalam Alkitab: sesungguhnya kalian akan membuat kerusakan di
muka bumi ini dua kali dan kalian akan menyombongkan diri dengan
kesombongan yang besar. Dan maka ketika telah tiba apa yang dijanjikan
itu, akan kami bangkitkan para hamba yang perkasa dan memiliki kekuatan
besar untuk mengalahkan kalian. Para hamba itu akan mencari kalian
sampai ke tempat persembunyian kalian dan janji [Allah] itu pasti
terjadi.”
update:
karena ada beberapa komentator yang nanyain sumber tulisan (pdhl, tinggal googling aja tho, cari kata kunci cordesman+csis+iran+israel), ini sy kasih linknya, silahkan download sendiri:
karena ada beberapa komentator yang nanyain sumber tulisan (pdhl, tinggal googling aja tho, cari kata kunci cordesman+csis+iran+israel), ini sy kasih linknya, silahkan download sendiri:
Lalu kalau ada yang mau tahu lebih jauh soal soft power Iran, bisa baca tulisan saya sebelumnya
Nah, kalau masih nanya, sumbernya dimana, gooling aja , The Iranian Journal of International Affairs, Manouchehr Mohammadi, soft power Iran.
Kenapa Iran Tidak Pernah Menyerang Israel?
Posted on Juli 23, 2013 by A Nizami
“Kenapa Iran Tidak Pernah Menyerang Israel?”. Itu adalah pertanyaan yang sering ditanyakan oleh awam.
Kalau kita lihat Peta, posisi Arab Saudi dan Turki itu lebih dekat
dibanding Iran. Pertanyaan yang sama bisa kita ajukan ke Turki dan Arab
Saudi..
Jawabnya ada beberapa macam.
Pertama jaraknya jauh. Silahkan lihat peta di atas. Ini sama halnya
dengan kita bertanya kenapa Turki, Yaman, Afghanistan, Pakistan, dan
Indonesia tidak pernah menyerang Israel. Karena jaraknya cukup jauh dan
terhalang oleh beberapa negara. Untuk menyerang dengan 100 ribu pasukan
misalnya, paling tidak butuh 100 kapal perang yang bisa memuat 1000
pasukan. Itu pun kapalnya harus dipersenjatai canggih. Jika tidak bisa
dirudal atau dibom oleh pesawat tempur AS / Israel dengan mudah.
Kalau lewat Laut Merah, kemudian terusan Suez yang sempit, mudahkan bagi
AS untuk merudal kapal2 Iran yang membawa 100.000 prajuritnya? begitu
pula kalau pakai pesawat Herkules mudah sekali di rudal. Sedang kalau
dengan pesawat tempur, itu kapasitasnya cuma 2 orang. Jumlah pesawat
tempur Iran kurang dari 100. Berapakali harus bolak-balik coba untuk
membawa 100.000 pasukannya guna menyerang Israel?
Yang biasa menyerang Israel adalah Mesir, Suriah, Lebanon, Yordania yang
memang berbatasan langsung dengan Israel. Jalan kaki juga sampai ke
Israel. Iraq juga ikut perang meski terpisah sekitar 500 km dengan
melalui Yordania. Ada pun Arab Saudi tidak mengirim pasukan.
Negara-negara Arab tersebut berperang
melawan Israel tahun 1948, 1967, dan 1873. Tahun 1974, Mesir di bawah
presiden Anwar Sadat berdamai dgn Israel. Tahun 1982, hanya Suriah
sendiri yang berperang melawan Israel demi membela PLO.
Ada pun Iran, hingga tahun 1978 diperintah oleh Shah Iran, Mohammad Reza
Pahlevi, yang memang merupakan sekutu dekat AS sebagaimana Raja
Abdullah di Saudi sekarang. Jadi tidak mungkin melawan Israel yang
merupakan sekutu dekat AS.
Jika tidak percaya, silahkan lihat foto-foto Shah Iran Reza Pahlevi dengan Presiden AS Jimmy Carter:
Presiden AS Jimmy Carter dan Rosalynn Carter bersama Shah dan Shahbanu Iran
Baru
pada tahun 1978 saat Revolusi Islam Iran di bawah pimpinan Ayatullah
Khomeini, Shah Iran terguling. Tahun 1979, Khomeini yang berkuasa di
Iran dengan gelar Pemimpin Tertinggi (Supreme Leader) Iran.
Kenapa tahun 1982 Iran tidak membantu Suriah memerangi Israel?
Jawabnya: Tahun 1980, Presiden Iraq Saddam Hussein menyerang Iran.
Hingga tahun 1982, saat Iran masih lemah akibat Revolusi, Iraq masih di
atas angin. Iraq dibantu dengan dana dan senjata oleh negara2 Arab, AS,
dan Uni Soviet. AS tidak ingin Revolusi Islam Iran menyebar ke seluruh
dunia. Saat itu bertepatan pada tahun 1400 Hijriyah di mana sebagian
ummat Islam percaya itu adalah Abad kebangkitan Islam mengingat Islam
berjaya selama 7 abad (0-700 H), tenggelam selama 7 abad (700-1400 H),
dan bangkit lagi selama 7 abad berikutnya (1400-2100 H). Revolusi Islam
Iran dikhawatirkan jadi kebangkitan Islam di negara2 lain.
Ada pun Uni Soviet membantu Saddam karena Saddam dgn partai Baathnya itu
memang Sosialis yang sebelumnya sudah jadi sekutu Uni Soviet. Perang
Iran-Iraq berlangsung selama 8 tahun (1980-1988). Itulah sebabnya hingga
tahun 1988 Iran tidak bisa menyerang Israel.
Lalu kenapa tahun 1989 tidak mau menyerang Israel juga? Habis perang 8
tahun tentu loyo juga. Perlu waktu untuk pemulihan di bidang ekonomi,
pembangunan gedung-gedung yang rusak, dsb.
Dari gambar-gambar di atas, umumnya roket Iran jangkauan terjauhnya
seperti Fajr 5 adalah 75 kilometer saja. Artinya kalau ditembakkan dari
Iran, tidak akan bisa menjangkau Israel yang jaraknya sekitar 1300 km.
Meski demikian, Iran mengirim roket-roket tersebut ke Hizbullah di
Lebanon dan Hamas di Gaza sehingga bisa menjangkau Israel dengan mudah
karena jarak mereka amat dekat. Dengan cara ini, perang jadi lebih
murah. Karena jika dekat, Israel juga sulit menghindar karena roket yang
kecepatannya sekitar 3500 km/jam itu bisa menghantam Israel hanya dalam
beberapa puluh detik saja. 60% roket Hamas berhasil menembus sistem
pertahanan Anti Rudal Israel, Iron Dome.
Lihat bagaimana Pemimpin PLO Yasser Arafat saling bantu dengan Imam Khomeini dari Iran:
Lihat bagaimana Syekh Asy Syahid Ahmad Yasin pendiri HAMAS (Sunni) bekerjasama dengan Imam Khamenei melawan Israel:
Bagaimana dengan Rudal-rudal Iran yang katanya bisa menjangkau 2000 km? Bisa menjangkau Israel?
Dari berbagai berita, rudal tersebut ternyata baru dibuat Iran pada tahun 2003:
Rudal jarak jauh dengan panjang 20 meter lebih itu mahal. Bisa lebih
dari Rp 20 milyar per buahnya. Jumlahnya paling tidak banyak. Kemudian
untuk mencapai jarak 1300 km perlu waktu sekitar 20 menit. Artinya bisa
dengan mudah dicegat oleh Sistem Anti Rudal seperti Iron Dome.
Lalu kenapa Iran tidak menembakkannya ke Israel?
Kita lihat Peta Geopolitik dulu:
Iran dikelilingi oleh negara2 Islam yang berwarna “Ungu”. Warna “Ungu”
artinya di situ ada PANGKALAN MILITER AS. Amerika Serikat adalah sekutu
Israel nomor 1. Jadi kalau Iran yang penduduknya 75 juta jiwa
menembakkan rudalnya ke Israel, maka AS dan NATO tidak akan diam.
Padahal AS penduduknya 330 juta jiwa dan NATO sekitar 500 juta jiwa.
Negara2 sekutu AS seperti Arab Saudi, Turki, Pakistan, Mesir, dsb yang
totalnya sekitar 300 juta jiwa bisa jadi memihak AS dan ISRAEL dengan
propaganda SUNNI vs SYI’AH. Jadi Iran dengan penduduk 75 juta jiwa harus
melawan negara AS, Israel, NATO, serta Negara2 Timur Tengah yang jadi
sekutu AS dengan total penduduk sekitar 1.100 juta. Kira-kira masuk
akal tidak?
Last but not Least, AS mempunyai 9000 bom Nuklir dan Israel 200 bom Nuklir:
Jepang yang dijatuhi 2 BOM ATOM saja 2 kotanya: Nagasaki dan Hiroshima
langsung hancur sehingga Jepang langsung menyerah. Terbayang tidak jika
200 bom Nuklir yang kekuatannya 20x lipat lebih dahsyat dari BOM ATOM
dijatuhkan di kota-kota Iran? Jadi jika Perang masih bisa dihindari, ya
dihindari. Toh Nabi saja tidak pernah menyerang lawan. Nabi sekedar
membela diri dari serangan kaum kafir di Perang Badar, Perang Uhud, dan
Perang Khandaq. Setelah itu baru melakukan Futuh Mekkah tanpa
pertumpahan darah sama sekali.
Jika negara2 Islam lain mau menentang AS dan Israel yang jelas2 membunuh
ummat Islam dan bersatu dengan Iran, mungkin Iran berani menyerang
Israel. Jika tidak, maka Iran bisa konyol dikeroyok oleh AS, Israel,
NATO, dan negara2 sekutunya.
Adakah Iran tidak pernah perang melawan Israel atau AS sama sekali?
Kalau Israel mungkin Iran perang melalui Hizbullah di Lebanon, PLO di
Palestina, dan Hamas di Gaza yang dibantu Iran melalui dana dan senjata.
Ada pun dengan AS, sudah terjadi beberapa bentrokan.
Yang pertama adalah penyanderaan Kedubes AS di Teheran oleh mahasiswa Iran pada 4 November 1979 selama 444 hari.
Iran Akhiri Penyanderaan 52 Warga Amerika
Penyanderaan selama 444 hari ini menandai konflik antara Amerika Serikat dan Iran
Penyanderaan selama 444 hari ini menandai konflik antara Amerika Serikat dan Iran
Pada tanggal 25 April 1980, Amerika Serikat melancarkan Operasi Eagle
Claw dalam upaya untuk menyelamatkan anggota staf kedutaan besar AS yang
disandera di ibukota Iran setelah Revolusi Islam tahun 1979. Namun,
badai pasir melanda dan operasi gagal total. 8 tentara AS tewas sementar
helikopter dan pesawatnya hancur bertabrakan akibat badai gurun.
Kegagalan itu menyebabkan pamor presiden AS, Jimmy Carter hancur dan
kalah pilpres dari Ronald Reagan.
Tanggal 18 April 1988, Armada AS dilengkapi dengan Kapal Induk menyerang
Iran dalam Operasi Praying Mantice. AS menyerang Iran karena Kapal
Perang mereka, USS Samuel B Roberts yang mengawal tanker Kuwait rusak
terkena ranjau laut Iran hingga nyaris tenggelam dan terpaksa diderek.
Kapal Perang Frigat Iran Sahand beserta beberapa kapal perang lainnya
hancur dirudal AS:
U.S.S Vincennes menembak jatuh pesawat Airbus A300 Iran itu segera
setelah lepas landas dari kota Bandar Abbas, Iran, tanggal 3 Juli tahun
1988. 290 orang Iran tewas! Washington mengatakan Vincennes keliru
mengira pesawat penumpang itu sebuah pesawat tempur jet Iran yang
bermusuhan.
AS dan Israel pada tahun 2010 dan 2011 membunuh ahli nuklir Iran untuk menghambat program nuklir Iran.
AS dan Israel menurut media massa Barat sendiri melakukan sabotase yang
mengakibatkan ledakan hebat di markas Garda Revolusi Iran pada 12
November lalu yang meratakan sebagian besar bangunannya dan menewaskan
17 orang, termasuk pendiri program misil balistik Iran, Jenderal Hassan
Tehrani Moghaddam.
Terakhir Iran membajak pesawat mata-mata AS RQ-170 Sentinel yang
menyusup sejauh 250 km ke Iran dari Afghanistan. Presiden AS, Barack
Obama, jadi bahan tertawaan publik saat meminta Iran untuk mengembalikan
pesawat mata-matanya. Ini ibarat maling yang membawa tangga, ketika
tangganya ketinggalan, dia meminta tangganya dikembalikan oleh orang
yang dia curi.
Ternyata Iran telah menahan 4 pesawat mata-mata Israel dan 3 pesawat
mata-mata AS yang memata-matai negerinya lewat perang elektronik. Itulah
alasan kenapa AS dan Israel tidak berani menyerang Iran secara
langsung. Sebab bisa jadi rudal-rudal AS dan Israel bisa dihack Iran
untuk menyerang mereka.
Jelas banyak pertentangan Iran dengan AS dan Israel. Kalau pun ada
Skandal Iran-Kontra di mana AS menjual senjata lewat Israel ke Iran pada
zaman Reagan dan uang hasil penjualannya untuk membiayai pemberontakan
Kontra di Nikaragua, ternyata itu adalah salah-paham. AS mengira senjata
itu akan diberikan kepada kelompok moderat di Iran yang menentang
Khomeini guna membebaskan 6 sandera AS. Ternyata senjata itu justru
jatuh pada kelompok Khomeini. Itulah tipu daya dalam perang mengingat
Iran saat itu butuh senjata untuk melawan Iraq.
Menyandera Kedubes AS itu tidak gampang lho. Demo saja dekat Kedubes AS,
kita bisa ditembak mati oleh para polisi yang jadi antek2 AS. Menghina
AS dan Israel juga meski hanya lewat kata-kata itu berat. Tidak semua
orang berani. SBY dan Raja-raja Arab saja tidak berani. Jadi kalau ada
yang berani perang kata-kata seperti Iran, itu bagus. Minimal dia sudah
level tangan. Bukan level hati lagi. Mencegah kemungkaran itu kan bisa
dengan tangan, bisa dengan lisan, dan paling lemah adalah membencinya
dengan hati (diam).
Pernahkah Iran menyerang Israel?
Pertanyaan serupa bisa ditujukan ke beberapa negara Islam lainnya di
mana nama negara diganti dengan Arab Saudi, Yaman, Afghanistan,
Pakistan, Indonesia, Malaysia, dsb. Alangkah baiknya jika semua negara2
Islam tsb bersatu melawan Israel ketimbang ribut berkelahi sesama. (http://kabarislam.wordpress.com/2013/07/23/kenapa-iran-tidak-pernah-menyerang-israel/)
Referensi:
Source: Banjarku Umai Bungasnya: Anti-Mursi pasti Syiah atau Yahudi (dan keduanya bersekongkol!)..tapi kok ANEH negara yang paling awal mengecam penggulingan Mursi dan menyebutnya sebagai kudeta militer justru Republik Islam Iran (Negara Syi'ah 12 Imam). Sebaliknya, yang pertama kali memberikan ucapan selamat kepada militer Mesir justru Arab Saudi (Negara Wahabi)...kok IRAN Tidak Serang Israel (kejauhan)..kok Arab Saudi Tidak serang Israel (Kedekatan)...NAH LOh...iyakah jar...^_^... http://banjarkuumaibungasnya.blogspot.com/2013/07/anti-mursi-pasti-syiah-atau-yahudi-dan.html#ixzz2ca31a4nF
Under Creative Commons License: Attribution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar