Zen Muttaqin
TERVERIFIKASI
Jadikan Teman | Kirim Pesan
AKU BUKAN APA-APA DAN BUKAN SIAPA-SIAPA. HANYA INSAN YANG
TERAMANAHKAN,
YANG INGIN MENGHIDUPKAN MATINYA KEHIDUPAN MELALUI TULISAN-TULISAN
SEDERHANA.HASIL DARI UNGKAPAN PERASAAN DAN HATI SERTA PIKIRAN. YANG
KADANG TERLINTAS DAN MENGUSIK KESADARAN.
SEMOGA BERMANFAAT.
Kembali ke Jiwa Revolusi 1945, dari Jiwa Kompromis dan Reformis
REP | 07 July 2013 | 15:57
.
.
.
Penemuan kembali Revolusi kita (The Rediscovery of Our Revolution)
Disarikan dari pidato Bung Karno “Rediscovery of Our Revolution”, 17 Agustus 1959
http://politik.kompasiana.com/2013/07/07/dekrit-5-juli-kembalinya-jiwa-revolusi-1945-dari-jiwa-kompromis-dan-reformis-575111.html#
.
Tanggal
5 Juli 1959, 54 tahun yang silam, Bangsa Indonesia segera kembali
menemukan jati dirinya kembali kepada semangat Proklamasi 17 Agustus
1945, yang didahului dengan mengalami penyimpangan dalam perjalanan
menuju cita cita Bangsa Indonesia Merdeka.
Pasca
Pemilu yang menghasilkan struktur politik yang dilakukan berdasarkan
atas fraksi2 kepentingan yang ada di Indonesia, maka masalah Politik
telah selesai yang kemudian tahun 1956, dinyatakan sebagai tahun
dimulainya pembangunan Ekonomi.
Namun
justru dimasa Investasi pembangunan ekonomi, dengan kondisi dan situasi
pergolakan kepentingan yang ikut membonceng kepentingan Negara2 lain,
telah mengakibatkan carut marutnya kepentingan dan saling silang, saling
memotong yang akhirnya tak menghasilkan resultante positip, bagi
umbuhnya Ekonomi Bangsa Indonesia.
Pemilu
seharusnya menjadi alat untuk menyalurkan aspirasi melalui parlemen,
justru menjadi ajang perpecahan dan pertikaian diantara bangsa sendiri,
atas dalih kepentingannya masing masing, yang tentu telah terkontaminasi
dengan segala kepentingan yang membonceng dan menyusup kedalam ideology
setiap partai.
Tidak
bisa lagi dijadikan tonggak untuk segera beranjak dan bekerja, meraih
cita cita dan membangun ekonomi Bangsa dalam rangka menuju
kesejahteraannya.
Kondisi
perpecahan yang ditimbulkan telah membahayakan persatuan dan kesatuan
yang telah terjalin dan diikat dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, yang
didasari oleh Preambule serta batang tubuh UUD 1945.
Yang
telah terbukti ampuh dan mampu mengikat seluruh bangsa Indonesia dalam
kebersamaan dan persaudaraan untuk segera beranjak mencapai cita cita
meraih kesejahteraan mencapai menjadi bangsa bermartabat seperti bangsa
lain dibumi.
Maka
Bung Karno dengan penuh kepercayaan diri dan Tanggung Jawab, maka
segera dilakukan pelurusan arah sejarah Bangsa Indonesia untuk segera
bisa konsentrasi kepada pembanguna ekonomi,
Maka
melihat kondisi yang semakin membahayakan atas keberlangsungan Negara,
Maka Bung Karno mengambil inisiatip melakukan Dekrit.
Dekrit
Presiden tahun 1959 dicanangkan dengan mengembalikan telkad dan
semangat Bangsa Indonesia kepada roh dan khittoh Proklamasi 17 Agustus
1945. Menggunakan kembali UUD 1945 sebagai dasar Negara.
Saudara
saudaraku sebangsa dan setanah air, berkali kali Bung Karno telah
menyatakan dan mengingatkan kita, untuk selalu mengingat kembali
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, disanalah
sebenarnya inti dari seluruh perjuangan Bangsa Indonesia dalam mengejar
cita cita menjadi Bangsa yang berdaulat dan Bangsa yang bermartabat,
sederajad sama tinggi dengan bangs lain di bumi.
Proklamasi
kita tidak hanya sekadar pembacaan kemerdekaan, namun merupakan wujud
dari seluruh kehendak dan keinginan luhur, dari seluruh rakyat Indonesia
dari sabang hingga merauke, yang dinaungi oleh berkat Rakhmat Tuhan
Yang Maha Esa.
Proklamasi
17 Agustus 1945 adalah pintu gerbang untuk mewujudkan cita cita itu,
dan memperjuangkannya hingga mencapai cita cita. Proklamasi 17 Agustus,
bukan akhir perjuangan Bangsa Indonesia, tetapi justru awal perjuangan
yang sedang dimulai,
Sehari
kemudian, diwujudkan dengan mencanangkan UUD 1945 dan mengesahkannya,
dengan Preambule UUD 1945 yang sarat dengan isi dan maksud, serta makna
berdirinya Negara Republik Indonesia, yang dilandasi dengan konsep
kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika.
Konsep
Negara dengan kebangsaan Bhinneka Tunggal ika, merupakan konsep
terobosan dari konsep kebangsaan dari Negara2 yang telah berdiri
sebelumnya, yang terbentuk berdasar konsep kebangsaan yang didasarkan
kepada kesamaan Primordial, dalam suatu masyarakat.
Bung
Karno mengungkapkan pentingnya kita harus membuka halaman baru dalam
sejarah Revolusi kita, halaman baru dalam sejarah Perjuangan Nasional
kita. 1959 menduduki tempat yang istimewa dalam sejarah Revolusi
Indonesia.
Tahun
1959 adalah tahun kembalinya jiwa Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun
penemuan kembali Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun “Rediscovery of our
Revolution
Kompromis, Reformis, adalah Penghambat Revolusi !!!!!
Setelah
periode Revolusi tahun 1945 hingga 1950, dengan bermodalkan UUD 1945
dan Proklamasi Kemerdekaan RI, maka dengan susah payah, namun telah
mampu menggairahkan dan meggerakkan seluruh potensi dan kekuatan
masyarakat, walau terbatas yang dimiliki, namun energy dan kekuatannya
luar biasa, mampu menggoncangkan Dunia, sehinga berhasil memperoleh
pengakuan Kedaulatan resmi pada tahun 1949, dari masyarakat
International
Namun
sayang menemui hambatan dan kendala, ketika menginjak dimulainya
periode Survival, sejak tahun 1950, Pada waktu itu modal perjuangan
secara materiil, lebih besar daripada sebelumnya. Keuangan kita lebih
longgar, Angkatan Perang kita tidak compang-camping lagi; kekuasaan
politik kita diakui oleh sebagian besar dunia Internasional; kekuasaan
de facto kita melebar sampai daerah dimuka pintu gerbang Irian Barat.
Namun didalam modal-mental, maka modal-perjuangan kita telah mengalami kemunduran. Apa sebab?
1. Sesudah berakhirnya perjuangan fisik, selalu mengalami kekendoran,
2.Karena pengakuan kedaulatan itu, kita beli dengan berbagai macam kompromis.
Kompromis,
tidak hanya dengan kekayaan materiil, tetapi lebih jahat lagi,
kompromis dalam arti mengorbankan Jiwa Revolusi, dengan segala
akibatnya.
Melalui
KMB, Kompromis Dengan Belanda, kita mesti mencairkan Jiwa-revolusi
kita; di Indonesia sendiri, kita harus berkompromis dengan
golongan-golongan yang non-revolusioner: golongan-golongan blandis,
golongan-golongan reformis, golongan-golongan konservatif,
golongan-golongan kontra-revolusioner, golongan-golongan bunglon dan
cecunguk-cecunguk. Sampai-sampai kita, dalam mengorbankan jiwa revolusi
ini, meninggalkan Undang-Undang-Dasar 1945 sebagai alat perjuangan.
Bung
Karno, tidak mencela K.M.B., sebagai taktik perjuangan. Bung Karno
sendiri mengguratkan apa yang disebut “tracée baru”, untuk memperoleh
pengakuan kedaulatan.
Tetapi
Bung Karno tidak menjetujui orang yang tidak menyadari adanya
bahaya-bahaya penghalang Revolusi, yang timbul sebagai akibat kompromis
K.M.B. itu.
Apalagi
orang yang tidak menyadari, bahwa K.M.B. adalah satu kompromis!
Orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang pernah saya
namakan orang-orang possibilis, orang-orang yang pada hakekatnya tidak
dinamis-revolusioner, bahkan mungkin kontra-revolusioner.
Orang-orang
yang demikian itu sedikitnya adalah orang-orang jang beku, orang-orang
yang tidak mengerti maknanya “taktik”, orang-orang yang
mencampur-baurkan taktik dan tujuan, orang-orang yang Jiwanya “mandek”.
Orang-orang
yang demikian itulah, disamping sebab-sebab lain, meracuni jiwa bangsa
Indonesia sejak tahun 1950, dengan racunnya reformisme, Jiwa Reformasi.
Jiwa Reformasi menjadi salah satu sebab Kemunduran modal mental daripada Revolusi kita sejak 1950.
Meskipun
mengalami sedikit kemajuan, dengan Reformasi, maka kita masih hidup
dalam alam K.M.B.! Masih hidup di alam Uni Indonesia-Belanda! masih
hidup di alam supremasi modal belanda!
Mereka
berkata, bahwa kita harus selalu tunduk kepada perjanjian
internasional, sampai lebur-kiamat kita tidak boleh menyimpang dari
perjanjian!
Mereka
berkata, bahwa kita tidak boleh merobah negara federal ála van Mook,
tidak boleh menghapuskan Uni, oleh karena kita telah menandatangani
perjanjian K.M.B. “Setia kepada aksara, setia kepada aksara!,
demikianlah wijsheid yang mereka keramatkan.
Nyatalah!,
mereka sama sekali tidak mengerti apa yang dinamakan Revolusi. Nyatalah
mereka tidak mengerti bahwa Revolusi justru mengingkari aksara! Dan,
nyatalah mereka tidak mengerti , oleh karena mereka memang tidak ahli
revolusi -,
Modal
pokok Revolusi nasional yang menentang imperialisme-kolonialisme,
adalah mempersatukan Kosentrasi Kekuatan Nasional, dan bukan perpecahan
kekuatan nasional.
Meskipun
kita menjetujui pemberian autonomi-daerah seluas-luasnya, sesuai dengan
motto kita Bhineka Tunggal Ika, maka federasi á la van Mook tidak harus
kita ikuti, justru harus kita kikis habis lekasnya, oleh karena
federalisme á la van Mook itu, pada hakekatnya adalah alat pemecah-belah
kekuatan nasional.
Jahatnja
politik pemecah-belahan ini nyata sekali, sejak tahun 1950 itu, dan
mencapai klimaksnya, dalam pemberontakan P.R.R.I.-Permesta dua tahun
yang lalu, dan oleh karenanya harus kita gempur-hancur habis-habisan,
sampai hilang lenyap P.R.R.I.-Permesta itu sama sekali!
Bung
Karno menegaskan, bahwa Persetujuan internasional, Tidak abadi, Ia
harus memberi kemungkinan untuk setiap waktu menghadapi revisi. Apalagi,
jika persetujuan itu mengandung dan bertentangan dengan rasa keadilan,
Maka persetujuan tersebut wajib direvisi pada waktu perimbangan kekuatan
berobah.
Kita Tidak boleh membiarkan langgeng dan abadi, sesuatu hukum yang berdasarkan penguasaan silemah oleh sikuat.
Bung
Karno kembali mengingatkan, “ Saudara-saudara Selama kita masih dalam
periode survival, maka segala kompromis dan reformisme jang saya
sebutkan tadi tidak begitu disedari akan akibatnya.
Yang
kita jalani kadang-kadang Jalannya tersendat, kemudian diartikan
sebagai satu kekurangan atau cacad yang melekat pada bangsa Indonesia
sendiri, satu kekurangan atau cacat yang “inhaerent” bangsa Indonesia
sendiri.
Ketersendatan di “verklaar” di klaim, bahwa “memang kita ini belum cukup matang, memang kita ini masih sedikit Inlander”, lantas Sinis dan Goyanglah Kepercayaan kepada kemampuan bangsa sendiri.
Jiwa Inlander yang memandang rendah kepada bangsa sendiri, Padahal semuanya sebenarnya, adalah akibat daripada perilaku yang kompromis dan reformis !
Pada
Periode tahun 1956, masa investasi inilah makin tampaklah akibat-akibat
jelek daripada kompromis dan reformis tahun 1949 itu.
Terasalah
oleh seluruh masyarakat, kecuali masyarakat yang mengambilkesempatan
dalam kesempitan, mengambil posisi menguntungkan dengan membonceng
kepentingan Bangsa Lain. . dengan memupuk kekeyaan dan kepentingan
sendiri.
Terasalah
oleh seluruh rakyat bahwa jiwa, dasar, dan tujuan Revolusi yang kita
mulai dalam tahun 1945 itu kini dihinggapi oleh penyakit dualism,
1. Dimana jiwa Revolusi itu sekarang? jiwa Revolusi sudah hampir padam, sudah menjadi dingin ta’ada apinya.
2.
Dimana Dasar Revolusi itu sekarang? Dasar Revolusi itu sekarang tidak
karuan mana letaknya, oleh karena masing-masing partai menaruhkan
dasarnja sendiri, sehingga dasar Pantja Sila pun sudah ada yang
meninggalkannya.
3.
Dimana tujuan revolusi, menuju masyarakat jang adil dan makmur, kini
oleh orang-orang jang bukan putra-revolusi diganti dengan politik
liberal dan ekonomi liberal.
4.
Tujuan masyarakat adil dan makmur, Diganti dengan politik liberal,
dimana suara rakyat banyak dieksploitir, dicatut, dikorup oleh berbagai
golongan. Diganti dengan ekonomi liberal, dimana berbagai golongan
menggaruk kekayaan hantam-kromo, dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Saudara
saudaraku sebangsa dan setanah air, dalam masa investasi/penanaman
modal itu, Segala penyakit Dualisme diciptakan untuk menimbulkan
pertentangan dan pertikaian diantara kita dan anak bangsa,
Theory
Devide Et Impera tidak pernah sirna, selalu muncul dengan wujud
dualisme di segala bidang.Dualisme yang terlahir dari keinginan untuk
menguasai dan berkuasa merebut bahagian yang seharusnya tak
diperolehnya.
Bung
Karno mengatakan, bahwa semua kegagalan, semua kestersendatan, semua
kemacetan yang kita alami, dalam periode survival dan invesment itu,
tidak semata-mata disebabkan oleh kekurangan-kekurangan atau
ketololan-ketololan yang inhaerent melekat kepada bangsa Indonesia
sendiri, dan tidak disebabkan oleh karena bangsa Indonesia memang bangsa
yang tolol, atau bangsa yang bodoh, atau bangsa yang tidak mampu
apa-apa, -
Semua
itu jelas Tidak!, Karena segala kegagalan, kesetersendatan, kemacetan
itu pada pokoknya adalah disebabkan oleh karena kita, sengaja atau tidak
sengaja, sedar atau tidak sadar, telah menyeléwéng dari Jiwa, dari
Dasar, dan dari Tujuan Revolusi!
” Kita telah menjalankan kompromis dan reformis, dan hal itu telah menggerogoti Jiwa kita sendiri ! “
Kita haru sadar dan menyadari hal itu, karena itulah langkah pertama untuk menyehatkan perjuangan kita ini.
Kalau kita sudah sadar, maka marilah kita memikirkan mencari jalan-keluar, Buanglah apa yang salah, bentuklah apa yang harus dibentuk!
Beranilah
membongkar segala alat-alat yang tak tepat, alat-alat maretiil dan
alat-alat mental, dan kemudian, beranilah membangun alat-alat yang baru,
untuk meneruskan perjuangan diatas rel Revolusi.
Beranilah mengadakan “retooling for the future”. Pendek kata, beranilah meninggalkan alam perjuangan sekarang,
Beranilah kembali samasekali kepada Jiwa Revolusi 1945
Tinggalkan Reformis dan Kompromis !!!
Teruskan berjuang menuju Cita cita !!!
Dengan Jiwa Revolusi 1945 !!!
.
Merdeka ! Merdeka ! Merdeka !
.
Jakarta, 5 Juli 2013
.
Zen Muttaqin.
Indonesia Juara Dunia? Apa Iya?
Oleh: Ramadhan Nuharto Witjaksono
Dunia bulutangkis
Indonesia sudah layaknya bersuka. Sesudah memperlihatkan grafik membaik
sesudah pergantian ketua umum dan bergabungnya pasangan emas Ricky
Subagja dan Rexy Mainaxy ke PBSI, kini dua–iya… DUA–gelar juara dunia
diboyong kembali ke bumi pertiwi.
Penampilan juara All England Lilyana Natsir/Ahmad Tontowi dan M. Ahsan/Hendra Setiawan begitu luar biasa di final yang berlangsung barusan. Keduanya mengakhiri game pertama dengan 21-13, tapi menjadi mengkhawatirkan di game kedua. Butet/Owi kalah 21-16, sedangkan Ahsan/Hendra sempat tertinggal sebelum akhirnya sampai di 20-20. Dalam posisi unggul itu, bola Ahsan sempat keluar dan kedudukan jadi 21-21. Untung kemudian sebuah pengembalian menyentuh net dan gelar untuk Indonesia, hanya lewat 2 game.
Ini seperti perulangan prestasi di 2007, tahun terakhir Indonesia jadi juara dunia. Ketika itu, Hendra berpasangan dengan Markis Kido–yang dikalahkannya di babak sebelumnya dalam kejuaraan kali ini. Butet bertandem dengan Nova Widhianto yang sekarang badannya tampak gede, plus duduk di samping Richard Mainaxy sebagai asisten pelatih. Hendra dan Butet membawa Ahsan dan Owi merasakan aroma juara. Kelihatan–apalagi Hendra–begitu dewasa menyikapi hasil ini. Beda dengan Ahsan yang begitu terharu.
Seperti saya ceritakan sebelumnya, saya menonton final kejuaraan dunia ini awalnya via timeline Twitter. Ngenes. Hanya lihat twit demi twit berlalu. Lalu sesudah pertandingan ketiga, saya masuk ke Youtube, steaming di channel BWF untuk bisa menyaksikan perjuangan empat pahlawan Indonesia itu.
Teman saya nonton mengupdate status BBM-nya, dan justru yang ada malah pertanyaan:
“Indonesia juara apa?”
“Yang main siapa?”
“Itu pertandingan apa?”
“Pacarmu siapa?”
Oke. Yang terakhir ngawur.
Beberapa pengguna TV berbayar justru heran kok saya bisa nonton tentu saja karena mereka tahu kalau di kos saya tidak ada TV kabel, adanya TV sama kabel.
Saya langsung terbayang ke masa silam, waktu kejuaraan badminton bisa menghentikan denyut kegiatan bangsa ini. Saya ingat ketika di warung-warung orang berhenti dari aktivitasnya dan menyaksikan Hariyanto Arbi dengan smes 100 Watt-nya. Juga saat Ricky/Rexy meraih medali emas Olimpiade Altanta. Semua orang tahu ada kejuaraan bulutangkis, semua orang mengikuti. Televisi yang tidak butuh berbayar menayangkan pertandingan itu langsung.
Sekarang?
Bahkan nggak banyak yang tahu kalau ada kejuaraan dunia bulutangkis. Nggak banyak yang tahu kalau Si Denmark yang dikalahkan Ahsan/Hendra itu mengalahkan Angga/Ryan, wonderkid bulutangkis Indonesia. Nggak ada juga yang tahu kalau Lee Chong Wei–yang sekarang sedang El Classico sama Lin Dan–harus melalui 3 game ketat melawan Dionysius Hayom Rumbaka.
Indonesia juara, tapi nggak banyak orang yang bersorak di depan tivi, seperti era 10-20 tahun silam.
Bagi saya, begitu menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, malah nanya sendiri: masihkah kita bangga pada orang yang membela nama merah putih?
Wahai stasiun televisi yang bisa diakses oleh rakyat kecil, tidak adakah sedikit perhatian untuk bisa memberi kesenangan pada rakyat kecil seperti dulu. Ketika semuanya akan bersorak begitu pengembalian Xu Chen tadi melebar? Yang akan gemes ketika Ahsan membuat match point?
Saya masih diberi sedikit kemampuan untuk akses Youtube untuk streaming dan yang lain untuk nonton di TV berbayar. Tapi rakyat lain? Mereka pasti akan bersuka jika nonton langsung, nggak lewat highlights!
Televisi kita menayangkan Arsenal vs Manchester City di Helsinki, televisi kita menyiarkan Dortmund vs Augsburg di Jerman sana, bahkan televisi kita menayangkan tetangga yang kita benci, Malaysia vs Barcelona, tapi TIDAK menayangkan merah putih yang dikerek naik di atas bendera CINA dan DENMARK?
Sebuah pertanyaan sederhana saja sih. Masihkah kita menyebut diri Indonesia?
Jawabannya dalam hidup kita masing-masing. Selamat untuk Butet, Owi, Ahsan, dan Hendra. Selamat datang kebangkitan bulutangkis Indonesia
Penampilan juara All England Lilyana Natsir/Ahmad Tontowi dan M. Ahsan/Hendra Setiawan begitu luar biasa di final yang berlangsung barusan. Keduanya mengakhiri game pertama dengan 21-13, tapi menjadi mengkhawatirkan di game kedua. Butet/Owi kalah 21-16, sedangkan Ahsan/Hendra sempat tertinggal sebelum akhirnya sampai di 20-20. Dalam posisi unggul itu, bola Ahsan sempat keluar dan kedudukan jadi 21-21. Untung kemudian sebuah pengembalian menyentuh net dan gelar untuk Indonesia, hanya lewat 2 game.
Ini seperti perulangan prestasi di 2007, tahun terakhir Indonesia jadi juara dunia. Ketika itu, Hendra berpasangan dengan Markis Kido–yang dikalahkannya di babak sebelumnya dalam kejuaraan kali ini. Butet bertandem dengan Nova Widhianto yang sekarang badannya tampak gede, plus duduk di samping Richard Mainaxy sebagai asisten pelatih. Hendra dan Butet membawa Ahsan dan Owi merasakan aroma juara. Kelihatan–apalagi Hendra–begitu dewasa menyikapi hasil ini. Beda dengan Ahsan yang begitu terharu.
Seperti saya ceritakan sebelumnya, saya menonton final kejuaraan dunia ini awalnya via timeline Twitter. Ngenes. Hanya lihat twit demi twit berlalu. Lalu sesudah pertandingan ketiga, saya masuk ke Youtube, steaming di channel BWF untuk bisa menyaksikan perjuangan empat pahlawan Indonesia itu.
Teman saya nonton mengupdate status BBM-nya, dan justru yang ada malah pertanyaan:
“Indonesia juara apa?”
“Yang main siapa?”
“Itu pertandingan apa?”
“Pacarmu siapa?”
Oke. Yang terakhir ngawur.
Beberapa pengguna TV berbayar justru heran kok saya bisa nonton tentu saja karena mereka tahu kalau di kos saya tidak ada TV kabel, adanya TV sama kabel.
Saya langsung terbayang ke masa silam, waktu kejuaraan badminton bisa menghentikan denyut kegiatan bangsa ini. Saya ingat ketika di warung-warung orang berhenti dari aktivitasnya dan menyaksikan Hariyanto Arbi dengan smes 100 Watt-nya. Juga saat Ricky/Rexy meraih medali emas Olimpiade Altanta. Semua orang tahu ada kejuaraan bulutangkis, semua orang mengikuti. Televisi yang tidak butuh berbayar menayangkan pertandingan itu langsung.
Sekarang?
Bahkan nggak banyak yang tahu kalau ada kejuaraan dunia bulutangkis. Nggak banyak yang tahu kalau Si Denmark yang dikalahkan Ahsan/Hendra itu mengalahkan Angga/Ryan, wonderkid bulutangkis Indonesia. Nggak ada juga yang tahu kalau Lee Chong Wei–yang sekarang sedang El Classico sama Lin Dan–harus melalui 3 game ketat melawan Dionysius Hayom Rumbaka.
Indonesia juara, tapi nggak banyak orang yang bersorak di depan tivi, seperti era 10-20 tahun silam.
Bagi saya, begitu menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, malah nanya sendiri: masihkah kita bangga pada orang yang membela nama merah putih?
Wahai stasiun televisi yang bisa diakses oleh rakyat kecil, tidak adakah sedikit perhatian untuk bisa memberi kesenangan pada rakyat kecil seperti dulu. Ketika semuanya akan bersorak begitu pengembalian Xu Chen tadi melebar? Yang akan gemes ketika Ahsan membuat match point?
Saya masih diberi sedikit kemampuan untuk akses Youtube untuk streaming dan yang lain untuk nonton di TV berbayar. Tapi rakyat lain? Mereka pasti akan bersuka jika nonton langsung, nggak lewat highlights!
Televisi kita menayangkan Arsenal vs Manchester City di Helsinki, televisi kita menyiarkan Dortmund vs Augsburg di Jerman sana, bahkan televisi kita menayangkan tetangga yang kita benci, Malaysia vs Barcelona, tapi TIDAK menayangkan merah putih yang dikerek naik di atas bendera CINA dan DENMARK?
Sebuah pertanyaan sederhana saja sih. Masihkah kita menyebut diri Indonesia?
Jawabannya dalam hidup kita masing-masing. Selamat untuk Butet, Owi, Ahsan, dan Hendra. Selamat datang kebangkitan bulutangkis Indonesia
Tontowi/Liliyana Juara All England, Semangat Baru Bulutangkis Kita
OPINI
| 12 March 2013 | 12:12
http://olahraga.kompasiana.com/raket/2013/03/12/tontowililiyana-juara-all-england-semangat-baru-bulutangkis-kita-541292.html
Dari Birmingham ( Inggris ) Final
kejuaraan All England selasa 12 Maret 2013 dinihari WIB, ganda campuran
kita Tontowi/Liliyana mengalahkan Zhang/Zhao secara straight set dengan
skor 21-13, 21-17 dalam 42 menit, dan menjadi juara All England dengan
mempertahankan gelar yang diukirnya pada tahun 2012 yang lalu.
Tontowi/Liliyana tampil sangat luar biasa untuk mengalahkan ganda China,
Zhang Nan/Zhao Yunlei, keberhasilan Tontowi / Liliyana menghapus imej
bahwa pemain-pemain Bulu tangkis Indonesia sedang berada di ambang
degradasi sebagai Negara yang pernah merajai bulutangkis dunia.
Kita tahu bersama bahwa kemenangan ini merupakan gelar kedua dimana
Tontowi/Liliyana berhasil memperthankan gelar All England 2 tahun
berturut-turut, setelah meraihnya pada 2012 atau yang ketiga dalam
sejarah Indonesia. Gelar ganda campuran pertama disumbangkan oleh
Christian Hadinata/Imelda Wiguna pada 1979. Kita akui Sejarah
perbulutangkisan Indonesia mencatat bahwa hanya pasangan ganda campuran
Tontowi/Liliyana yang bisa meraih kejuaraan sangat bergengsi ini 2 kali
secara beruntun dengan kata lain mempertahankan gelarnya.
Kita Falshback kebelakang saat pertama kali pasangan ganda campuran
Achmad Totntowi/Liliyana Natsir meraih juarai all england untuk pertama
kalinya 2012, dalam penantian panjang di sektor ganda campuran selama
33 tahun saat Christian Hadinata Imelda Wiguna merebutnya pada tahun.
Gelar Juara All England 2012 sangat berarti bagi Indonesia juga bagi
pasangan Tontowi / Liliyana karena merupakan gelar premeir pertama
pasangan ini pernah mejuarai dua gelar superseries di India dan
Singapura, serta dua gelar grand prix gold di Malaysia dan Macau.
Tontowi/Liliyana juga merupakan peraih medali emas SEA Games 2011, walau
akhirnya hanya sampai disemi final kejuaraan Olimpiade dan kejuaraan
dunia sebelum meraih Gelar keduanya di All England.
Tontowi Achmad , pemuda kelahiran Banyumas 18 Juli 1987 ( 26 tahun pada
pada 18 Juli 2013 yang akan datang ) dan Liliyana Natsir yang lahir di
Manado Sulawesi Utara pada tanggal 9 September 1985 ( akan berusia 28
Tahun pada 9 September 2013 ) telah mencatat sejarah baru di arena
perbulutangkisan Indonesia 2 kali jadi juara All England secara
berturut-turut 2012 dan 2013, impian mereka tentu meraih puncak
tertinggi dalam kejuaraan Dunia Bulu Tangkis BWF World Championship pada
Agustus 2013 di Paris.
Yang jelas dan pasti torehan 2 medali emas di kejuaraan All England di
Ganda Campuran bagi Tontowi dan Lilyana merupakan pembangkit semangat
baru bagi Olahraga Perbulutangkisan Indonesia untuk dapat mengulang
kejayaan di beberapa dekade sebelumnya, Selamat buat PBSI utamanya buat
pasangan Tontowi dan Liyana, Bravo Indonesia dan salam Olahraga ***
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang, yang dibacakan oleh Ir. Soekarno dengan didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56 – Jakarta Pusat.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[2] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[3] (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17 - 8 - '05
Wakil2 bangsa Indonesia.
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.
(Keterangan: Tahun pada kedua teks naskah Proklamasi di atas (baik pada teks naskah Proklamasi Klad maupun pada teks naskah Proklamasi Otentik) tertulis angka "tahun 05" yang merupakan kependekan dari angka "tahun 2605", karena tahun penanggalan yang dipergunakan pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu adalah sesuai dengan tahun penanggalan yang berlaku di Jepang, yang kala itu adalah "tahun 2605".)
Jadi suara asli dari Ir. Soekarno saat membacakan teks naskah Proklamasi yang sering kita dengarkan saat ini adalah bukan merupakan suara yang direkam pada tanggal pada tanggal 17 Agustus 1945 tetapi adalah suara asli beliau yang direkam pada tahun 1951 di studio Radio Republik Indonesia (RRI), yang sekarang berlokasi di Jalan Medan Merdeka Barat 4-5 – Jakarta Pusat. Dokumentasi berupa suara asli hasil rekaman atas pembacaan teks naskah Proklamasi oleh Bung Karno ini dapat terwujudkan adalah berkat prakarsa dari salah satu pendiri RRI, Jusuf Ronodipuro.
Berikut ini adalah klip hasil rekaman suara asli dari Presiden Soekarno saat membacakan teks naskah Proklamasi di studio Radio Republik Indonesia (RRI), pada tahun 1951:
Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.
Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi.
Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect Our Constitution, August 17!!! (Hormatilah Konstitusi Kami, 17 Agustus!!!). Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi :
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Daftar isi
Latar belakang
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[2] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[3] (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah, Sayuti Melik, Sukarni, dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Isi Teks Proklamasi
Naskah Proklamasi Klad
Teks naskah Proklamasi Klad adalah asli merupakan tulisan tangan sendiri oleh Ir. Soekarno sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil gubahan (karangan) oleh Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo, yang isinya adalah sebagai berikut :-
-
-
-
-
-
-
-
-
- Proklamasi
-
-
-
-
-
-
-
-
Naskah baru setelah mengalami perubahan
Teks naskah Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", adalah merupakan hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi), yang isinya adalah sebagai berikut :-
-
-
-
-
-
-
-
- P R O K L A M A S I
-
-
-
-
-
-
-
(Keterangan: Tahun pada kedua teks naskah Proklamasi di atas (baik pada teks naskah Proklamasi Klad maupun pada teks naskah Proklamasi Otentik) tertulis angka "tahun 05" yang merupakan kependekan dari angka "tahun 2605", karena tahun penanggalan yang dipergunakan pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu adalah sesuai dengan tahun penanggalan yang berlaku di Jepang, yang kala itu adalah "tahun 2605".)
Perbedaan teks naskah Proklamasi Klad dan Otentik
Di dalam teks naskah Proklamasi Otentik sudah mengalami beberapa perubahan yaitu sebagai berikut :- Kata "Proklamasi" diubah menjadi "P R O K L A M A S I",
- Kata "Hal2" diubah menjadi "Hal-hal",
- Kata "tempoh" diubah menjadi "tempo",
- Kata "Djakarta, 17 - 8 - '05" diubah menjadi "Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05",
- Kata "Wakil2 bangsa Indonesia" diubah menjadi "Atas nama bangsa Indonesia",
- Isi naskah Proklamasi Klad adalah asli merupakan tulisan tangan sendiri oleh Ir. Soekarno sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil gubahan (karangan) oleh Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Sedangkan isi naskah Proklamasi Otentik adalah merupakan hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi),
- Pada naskah Proklamasi Klad memang tidak ditandatangani, sedangkan pada naskah Proklamasi Otentik sudah ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.
Klip suara naskah yang dibacakan oleh Ir. Soekarno di studio RRI
Tempat Pembacaan teks naskah Proklamasi Otentik oleh Ir. Soekarno yang pertama kalinya adalah di Jalan Pegangsaan Timur 56 – Jakarta Pusat, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 (hari di mana diperingati sebagai "Hari Kemerdekaan Republik Indonesia"), pukul 11.30 waktu Nippon (sebutan untuk negara Jepang pada saat itu). Waktu Nippon adalah merupakan patokan zona waktu yang dipakai pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang kala itu. Namun perlu diketahui pula bahwa pada saat teks naskah Proklamasi itu dibacakan oleh Bung Karno, waktu itu tidak ada yang merekam suara ataupun video, yang ada hanyalah dokumentasi foto-foto detik-detik Proklamasi.Jadi suara asli dari Ir. Soekarno saat membacakan teks naskah Proklamasi yang sering kita dengarkan saat ini adalah bukan merupakan suara yang direkam pada tanggal pada tanggal 17 Agustus 1945 tetapi adalah suara asli beliau yang direkam pada tahun 1951 di studio Radio Republik Indonesia (RRI), yang sekarang berlokasi di Jalan Medan Merdeka Barat 4-5 – Jakarta Pusat. Dokumentasi berupa suara asli hasil rekaman atas pembacaan teks naskah Proklamasi oleh Bung Karno ini dapat terwujudkan adalah berkat prakarsa dari salah satu pendiri RRI, Jusuf Ronodipuro.
Berikut ini adalah klip hasil rekaman suara asli dari Presiden Soekarno saat membacakan teks naskah Proklamasi di studio Radio Republik Indonesia (RRI), pada tahun 1951:
|
|
||||
Kesulitan mendengarkan berkas ini? Lihat bantuan. |
Teks pidato proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
- Saudara-saudara sekalian!
- Saya telah meminta Anda untuk hadir di sini untuk menyaksikan peristiwa dalam sejarah kami yang paling penting.
- Selama beberapa dekade kita, Rakyat Indonesia, telah berjuang untuk kebebasan negara kita-bahkan selama ratusan tahun!
- Ada gelombang dalam tindakan kita untuk memenangkan kemerdekaan yang naik, dan ada yang jatuh, namun semangat kami masih ditetapkan dalam arah cita-cita kami.
- Juga selama zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak pernah berhenti. Pada zaman Jepang itu hanya muncul bahwa kita membungkuk pada mereka. Tetapi pada dasarnya, kita masih terus membangun kekuatan kita sendiri, kita masih percaya pada kekuatan kita sendiri.
- Kini telah hadir saat ketika benar-benar kita mengambil nasib tindakan kita dan nasib negara kita ke tangan kita sendiri. Hanya suatu bangsa cukup berani untuk mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri akan dapat berdiri dalam kekuatan.
- Oleh karena semalam kami telah musyawarah dengan tokoh-tokoh Indonesia dari seluruh Indonesia. Bahwa pengumpulan deliberatif dengan suara bulat berpendapat bahwa sekarang telah datang waktu untuk mendeklarasikan kemerdekaan.
- Saudara-saudara:
- Bersama ini kami menyatakan solidaritas penentuan itu.
- Dengarkan Proklamasi kami :
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- P R O K L A M A S I
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA.
- HAL-HAL YANG MENGENAI PEMINDAHAN KEKUASAAN DAN LAIN-LAIN DISELENGGARAKAN
- DENGAN CARA SAKSAMA DAN DALAM TEMPO YANG SESINGKAT-SINGKATNYA.
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- DJAKARTA, 17 AGUSTUS 1945
- ATAS NAMA BANGSA INDONESIA.
- SUKARNO-HATTA.
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- Jadi, Saudara-saudara!
- Kita sekarang sudah bebas!
- Tidak ada lagi penjajahan yang mengikat negara kita dan bangsa kita!
- Mulai saat ini kita membangun negara kita. Sebuah negara bebas, Negara Republik Indonesia-lamanya dan abadi independen. Semoga Tuhan memberkati dan membuat aman kemerdekaan kita ini! [6]
Cara Penyebaran Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Wilayah Indonesia sangatlah luas. Komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas. Di samping itu, hambatan dan larangan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia, merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Namun dengan penuh tekad dan semangat berjuang, pada akhirnya peristiwa proklamasi diketahui oleh segenap rakyat Indonesia. Lebih jelasnya ikuti pembahasan di bawah ini.Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.
Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi.
Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect Our Constitution, August 17!!! (Hormatilah Konstitusi Kami, 17 Agustus!!!). Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi :
- Teuku Mohammad Hassan dari Aceh,
- Sam Ratulangi dari Sulawesi,
- Ketut Pudja dari Sunda Kecil (Bali),
- A. A. Hamidan dari Kalimantan.
Peringatan 17 Agustus 1945
Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Mulai dari lomba panjat pinang, lomba makan kerupuk, sampai upacara militer di Istana Merdeka, seluruh bagian dari masyarakat ikut berpartisipasi dengan cara masing-masing.Lomba-lomba tradisional
Perlombaan yang seringkali menghiasi dan meramaikan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI diadakan di kampung-kampung/ pedesaan diikuti oleh warga setempat dan dikoordinir oleh pengurus kampung/ pemuda desa- Panjat pinang
- Balap bakiak
- Tarik tambang
- Sepeda lambat
- Makan kerupuk
- Balap karung
- Perang bantal
- Pemecahan balon
- Pengambilan koin dalam terigu
- Lari Kelereng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar