SKENARIO "PERANG BUBRAH" DI SYRIA OLEH ZIONIS INTERNASIONAL
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/08/skenario-perang-bubrah-di-syria-oleh.html#.UgyHHKyN6So
Gambar: anak-anak Kurdi korban pembantaian.
Keberhasilan militer Syria mengusai kembali berbagai posisi strategis
(terakhir berhasil membersihkan kota Homs dari pemberontak) telah
membuat para pemberontak dan sponsor-sponsornya menjadi gelap mata. Maka
kini skenario terakhir pun digunakan, yaitu perang hancur-hancuran.
Dengan cara ini, pada akhirnya zionis internasional tetap mendapat
keuntungan, yaitu hancurnya negara yang selama ini menjadi batu kerikil
yang menyakitkan bagi zionisme.
Setelah menyerang dan membunuhi
anggota Free Syrian Army (FSA) kelompok-kelompok takfiri Al Qaida
(sebagian anggota FSA adalah warga Syria, sedangkan hampir semua anggota
Al Qaida adalah orang asing), kini kelompok-kelompok takfiri juga
melakukan aksi biadabnya dengan menyerang orang-orang Kurdi Syria hingga
memicu terjadinya pertempuran sengit antara para pejuang kurdi dengan
para pemberontak takfiri di wilayah utara dan timur laut Syria yang
dihuni orang-orang Kurdi.
Pada tgl 5 Agustus lalu para teroris takfiri yang memerangi regim Bashar al Assad telah melakukan pembunuhan massal terhadap 450 warga sipil kurdi Syria di distrik Tal Abyad Provinsi Raqqa. Di antara korban adalah 120 anak-anak dan 330 wanita dan orang tua. Pembunuhan massal terjadi hanya seminggu setelah para pemberontak dari kelompok al-Nusra menyerang dua desa Kurdi di Aleppo dan menahan 200 warganya sebagai sandera.
Para pejuang Kurdi pun melakukan perlawanan dengan memobilisasi pasukannya di seluruh wilayah Kurdi dan di beberapa kota berhasil mengusir para pemberontak teroris. Meski cenderung berpihak pada pemerintah, orang-orang Kurdi selama ini bersikap netral selama konflik di Syria. Namun perkembangan terbaru ini bisa membuat posisi mereka barubah.
Konflik antara kedua kelompok kini bahkan telah memicu ketegangan regional baru yang melibatkan kelompok-kelompok di luar Syria. Hal ini sudah terlihat setelah pemerintah otonomi Kurdi Irak mengancam untuk melakukan intervensi membantu saudara-saudara mereka di Syria. Hal ini disampaikan langsung oleh pemimpin pemerintahan otonomi Kurdi Irak, Sabtu (10/8).
"Tampaknya warga sipil Kurdi termasuk wanita dan anak-anaknya berada dalam ancaman kematian dan terorisme, maka pemerintah otonomi Kurdi Irak akan .... siap untuk membela," kata pemimpin Massud Barzani dalam wawancara televisi. Barzani selanjutnya menyerukan dilakukannya investigasi atas konflik yang terjadi di wilayah Kurdi Syria.
Ancaman terjadinya perang hancur-hancuran di Syria ini juga telah disampaikan oleh anggota parlemen Iran Vahid Ahmadi. Kepada media Iran, Sabtu (10/8), ketua Komisi Luar Negeri Parlemen Iran ini mengatakan bahwa memicu perang sektarian merupakan salah satu misi utama para teroris dan sponsor-sponsornya di Syria meski bisa membawa kehancuran bagi seluruh kawasan.
"Menciptakan ketegangan agama dan etnis telah menjadi salah satu tujuan utama para teroris dan pendukung-pendukung mereka sejak terjadinya konflik Syria," kata Ahmadi mengomentari terjadinya konflik di wilayah Kurdi Syria.
Menurutnya pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan teroris menjadi bukti kepalsuan dari klaim yang disebutkan negara-negara barat pendukung teroris di Syria. Menurutnya kemenangan pasukan pemerintah Syria telah memaksa pemberontak melakukan skenario baru.
“Melibatkan orang-orang Kurdi dalam konflik dan memecah belah orang-orang Kurdi dengan pemerintah merupakan salah satu skenario yang dilakukan pemberontak Syria," tambah Ahmadi.
Ahmadi menambahkan bahwa para teroris Syria berupaya menudupi kekalahan mereka di medan perang dengan menebarkan propaganda buruk terhadap pemerintah Syria.
REF:
"Iraqi Kurdistan “Ready to Defend Syrian Kurds”"; almanar.com.lb; 10 Agustus 2013
"Iran MP warns against sectarian plots in Syria"; Press TV; 10 Agustus 2013
Pada tgl 5 Agustus lalu para teroris takfiri yang memerangi regim Bashar al Assad telah melakukan pembunuhan massal terhadap 450 warga sipil kurdi Syria di distrik Tal Abyad Provinsi Raqqa. Di antara korban adalah 120 anak-anak dan 330 wanita dan orang tua. Pembunuhan massal terjadi hanya seminggu setelah para pemberontak dari kelompok al-Nusra menyerang dua desa Kurdi di Aleppo dan menahan 200 warganya sebagai sandera.
Para pejuang Kurdi pun melakukan perlawanan dengan memobilisasi pasukannya di seluruh wilayah Kurdi dan di beberapa kota berhasil mengusir para pemberontak teroris. Meski cenderung berpihak pada pemerintah, orang-orang Kurdi selama ini bersikap netral selama konflik di Syria. Namun perkembangan terbaru ini bisa membuat posisi mereka barubah.
Konflik antara kedua kelompok kini bahkan telah memicu ketegangan regional baru yang melibatkan kelompok-kelompok di luar Syria. Hal ini sudah terlihat setelah pemerintah otonomi Kurdi Irak mengancam untuk melakukan intervensi membantu saudara-saudara mereka di Syria. Hal ini disampaikan langsung oleh pemimpin pemerintahan otonomi Kurdi Irak, Sabtu (10/8).
"Tampaknya warga sipil Kurdi termasuk wanita dan anak-anaknya berada dalam ancaman kematian dan terorisme, maka pemerintah otonomi Kurdi Irak akan .... siap untuk membela," kata pemimpin Massud Barzani dalam wawancara televisi. Barzani selanjutnya menyerukan dilakukannya investigasi atas konflik yang terjadi di wilayah Kurdi Syria.
Ancaman terjadinya perang hancur-hancuran di Syria ini juga telah disampaikan oleh anggota parlemen Iran Vahid Ahmadi. Kepada media Iran, Sabtu (10/8), ketua Komisi Luar Negeri Parlemen Iran ini mengatakan bahwa memicu perang sektarian merupakan salah satu misi utama para teroris dan sponsor-sponsornya di Syria meski bisa membawa kehancuran bagi seluruh kawasan.
"Menciptakan ketegangan agama dan etnis telah menjadi salah satu tujuan utama para teroris dan pendukung-pendukung mereka sejak terjadinya konflik Syria," kata Ahmadi mengomentari terjadinya konflik di wilayah Kurdi Syria.
Menurutnya pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan teroris menjadi bukti kepalsuan dari klaim yang disebutkan negara-negara barat pendukung teroris di Syria. Menurutnya kemenangan pasukan pemerintah Syria telah memaksa pemberontak melakukan skenario baru.
“Melibatkan orang-orang Kurdi dalam konflik dan memecah belah orang-orang Kurdi dengan pemerintah merupakan salah satu skenario yang dilakukan pemberontak Syria," tambah Ahmadi.
Ahmadi menambahkan bahwa para teroris Syria berupaya menudupi kekalahan mereka di medan perang dengan menebarkan propaganda buruk terhadap pemerintah Syria.
REF:
"Iraqi Kurdistan “Ready to Defend Syrian Kurds”"; almanar.com.lb; 10 Agustus 2013
"Iran MP warns against sectarian plots in Syria"; Press TV; 10 Agustus 2013
2 komentar:
- diinspirasi oleh fatwa sesat oleh pengaku muslim yg tidak bertanggungjawab,kejahatan mereka akan terbongkar sedikit demi sedikit...tunggu
- 1. Kurdi mayoritas Sunni.Sehingga pembantaian terhadap warga Kurdi
merupakan fakta tak terbantah bahwa takfiri ini bukanlah memerangi
Syi'ah seperti yang sering mereka klaim. Mereka memerangi siapapun yang
berlainan 'cara pandang' dengan mereka, dan tentu saja mereka
difasilitasi tuan besarnya.
2. Allepo merupakan penentu terakhir bagi sempurnanya kemenangan Assad atas terorist. Dari data yang saya dapat di wikipidea,kurang lebih 40 % Allepo dalam kontrol SAA, itu data terakhir di bulan Juli, kemungkinan saat ini bertambah, karena kantor berita SANA setiap hari melaporkan kemenangan SAA di berbagai titik atas terorist.
PENINDASAN KEMBALI DIALAMI RAKYAT PALESTINA DI SYRIA
http://cahyono-adi.blogspot.com/2013/08/penindasan-kembali-dialami-rakyat.html#.UgyYTayN6So
Sampai tahun 2011 para pengungsi Palestina yang berada di Syria adalah orang-orang yang beruntung dibanding saudara-saudara mereka yang tinggal tersebar di berbagai kamp pengungsi di negara-negara lainnya. Presiden Hafez al Assad dan penggantinya yang juga putra kandungnya, Bashar al Assad memperlakukan mereka sebagaimana adat orang Arab memperlakukan tamunya. Mereka diperlakukan sama seperti warga negara Syria sendiri yang mendapatkan jaminan kesehatan dan pendidikan penuh, fasilitas tempat tinggal yang layak di apartemen susun, dan lebih dari itu mereka mendapatkan hak untuk memiliki pekerjaan tetap dan hal untuk memiliki properti sendiri.
Dan di Syria, tidak hanya ada pengungsi Palestina, tapi juga ratusan ribu pengungsi Irak yang juga menjadi tamu rakyat Syria setelah terusir akibat serangan Amerika dan kroni-kroninya atas negeri 1001 malam itu.
Saya pernah mendengar cerita tentang orang-orang Sampang Madura yang iri dengan fasilitas yang didapatkan para pengungsi Madura korban konflik Sampit. Padahal para pengungsi itu hanya mendapatkan makan minum seadanya dan tinggal di kemah-kemah sederhana. Tanpa bermaksud mengabaikan hak mereka untuk kembali ke tanah airnya sendiri, para pengungsi Palestina di Syria itu bahkan lebih beruntung dibandingkan puluhan juta rakyat Indonesia yang harus tinggal di gubuk-gubuk reyot dan di bawah jembatan.
Sebelum konflik terjadi, di Syria terdapat 10 kamp pengungsi resmi di bawah pengawasan PBB (UNWRA) ditambah 3 kamp lainnya yang tidak berada di bawah pengawasan PBB. Total pengungsi yang tinggal di kamp-kamp tersebut mencapai 230.000 jiwa. 8 dari kamp-kamp tersebut dihuni para pengungsi Palestina (dan keturunannya) korban pengusiran Israel tahun 1948 (Nakba atau hari bencana), dan 2 lainnya dihuni para pengungsi korban pengusiran Israel tahun 1967 (Naksa atau hari kemunduran)
Namun bagi sebagian pengungsi Palestina itu keberuntungan itu kini hanya tinggal kenangan. Saat ini 7 dari kamp-kamp di mana mereka tinggal itu kini dikuasai oleh para "mujahidin" yang menindas dan mengusir mereka seperti orang-orang Israel telah mengusir mereka.
Para "mujahidin" menjadikan kamp-kamp itu sebagai sasaran pendudukan karena berbagai pertimbangan, yang terutama adalah karena kamp-kamp itu merupakan zona aman dari campur tangan pasukan pemerintah. Selain itu para "mujahidin" bisa mendapatkan rekrutmen di antara pemuda Palestina yang terilusi dengan perjuangan jihad, yang ingin mendapatkan imbalan gaji menggiurkan atau terilusi oleh kemenangan pemberontak yang sudah di depan mata. Selain itu, dengan menduduki kamp-kamp itu mereka bisa membangun basis "perjuangan" secara gratis dengan menggunakan fasilitas-fasilitas yang dibangun pemerintah Syria dan PBB.
Kisah tentang pendudukan kamp-kamp pengungsi Palestina itu sama seperti yang terjadi pada kamp pengungsi Palestina di Nahr al Bared di dekat Tripoli, Lebanon. Yang terjadi di sana adalah setelah para "mujahidin" menduduki kamp, mereka memaksa 30.000 pengungsi Palestina untuk meninggalkan kamp dan menjadikan kamp tersebut sebagai basis "perjuangan" para teroris "mujahidin". Pemerintah Lebanon yang menyadari bahaya pun segera melakuan tindakan tegas. Kamp tersebut dikepung oleh tentara selama 75 hari. Dan setelah mengalami pemboman intensif, kamp Nahr al Bared pun hancur.
Apa yang dilakukan sheikh wahabi al Assir dan pengikut-pengikutnya dengan menduduki Masjid Bilal di Sidon, Lebanon, dan menjadikannya sebagai basis "perjuangan" adalah meniru kasus di Nahr al Bared. Dan seperti di Al Bared, semuanya berakhir setelah pemerintah melakukan tindakan tegas dengan merebut kembali tempat itu. Demikian pula dengan kamp-kamp pengungsi Palestina di Syria. Bedanya adalah pemerintah Syria kini terlalu sibuk memikirkan medan perang yang terlalu besar sehingga belum berfikir untuk membebaskan kamp-kamp tersebut.
"Awalnya jumlah mereka hanya beberapa orang. Kami mengetahui keberadaan mereka dari logat mereka yang asing dan dari pakaian mereka yang konservatif, hampir semuanya memelihara jenggot. Mereka tampak sopan dan akrab. Kemudian jumlah mereka lebih banyak lagi, diikuti oleh wanita dan anak-anak. Mereka awalnya tinggal mengelompok dan kemudian mulai menempati masjid-masjid yang awalnya disambut hangat oleh para pengurus masjid. Kemudian mereka mulai melakukan ibadah yang hanya dilakukan oleh kelompok mereka, dan pada beberapa kesempatan ajaran mereka yang sopan berubah menjadi keras. Selanjutnya mereka mulai mengomentari cara kami berpakaian dan kemudian mengajari kami cara berpakaian, melarang rokok, dan melarang wanita menghadiri rapat-rapat umum jika tidak ditemani," kata seorang wanita Palestina kepada Franklin Lamb dalam tulisannya yang dimuat di situs Counterpunch baru-baru ini.
"Kemudian senjata-senjata muncul dan sebagian besar dari mereka tampak ahli menggunakannya saat mereka melakukan latihan menembak, seperti di halaman sekolah dan taman kanak-kanak. Mereka tampak serius. Tidak ada kesempatan untuk berbicara apalagi berdebat dengan mereka. Apa yang tampaknya mereka inginkan adalah "mati syahid". Sebagian dari mereka bahkan menyangka mereka tengah berada di Palestina dan hendak membebaskan Al Quds (Jerussalem)!" tambah wanita tersebut.
(BERSAMBUNG)
REF:
"Vows of ‘Occupation Until Martyrdom’"; Franklin Lamb; Counter Punch; 11 Agustus 2013
QUO VADIS MESIR?
Cukup lama saya tidak lagi menulis tentang krisis politik di Mesir,
menyangka krisis tersebut akan berakhir seperti prediksi saya yang
ternyata salah: militer melakukan penindasan terhadap massa pendukung
Presiden Moersi dan kelompok Ikhwanul Muslimin.
Setelah beberapa aksi "pembantaian kecil-kecilan" terhadap para pendukung Moersi, ternyata militer Mesir masih menahan diri untuk tidak melakukan "pembantaian besar-besaran". Para jendral Mesir rupanya masih berhitung dengan resiko yang bakal mereka hadapi jika jadi melakukan aksi penindasan besar-besaran, yaitu cap sebagai "pembunuh massal" dan "penjahat kemanusiaan" yang bisa membawa konsekuensi pahit. Hal ini lah yang justru telah menjadi pertimbangan para pemimpin Ikhwanul Muslimin untuk tetap bertahan dengan tuntutannya meski ada ancaman militer, yaitu pengembalian kekuasaan Moersi.
Para jendral Mesir dan saya (blogger) ternyata "kecele", para pemimpin dan pengikut Ikhwanul Muslimin Mesir ternyata cukup "gila" untuk bertahan dengan tuntutan mereka. Maksud saya yang gila adalah para pengikut, karena para pemimpin Ikhwanul Muslimin sendiri enak-enak bersembunyi di rumah ketika para pengikutnya itu meregang nyawa ditembaki tentara setelah dengan "gila" dengan bersenjatakan pisau dan senapan angin berusaha menduduki markas pasukan khusus Pengawal Republik yang dijaga dengan senapan mesin, meriam dan tank. Se-"gila" kesetiaan mereka kepada Moersi yang jelas-jelas telah mengkhianati janjinya selama kampanye untuk membatalkan perjanjian damai dengan Israel dan membebaskan Palestina serta membawa kedamaian dan kestabilan politik di Mesir sementara yang dilakukannya justru melakukan provokasi perang sektarian.
Saya sejujurnya sempat bersimpati dengan apa yang dialami para pengikut Presiden Moersi yang tengah "menderita" oleh penindasan militer. Di jaman modern ini mana ada lagi tempat bagi regim militer, apalagi militer Mesir yang dikenal korup. Ditambah dengan adanya sikap resmi pemerintah Iran, negara yang saya hormati setelah Indonesia di luar para pemimpinnya yang korup, yang tetap mendukung pemerintahan Moersi plus satu analisis menarik dalam satu artikel di media Iran Press TV yang menyebutkan adanya "konspirasi" penghancuran gerakan Islam yang tengah terjadi di Timur Tengah dengan beberapa sasarannya adalah gerakan Ikwanul Muslimin dan Hizbollah (Hizbolah, organisasi politik yang menjadi anggota koalisi pemerintahan Lebanon, baru saja dimasukkan dalam kelompok teroris oleh Uni Eropa). Namun nurani saya tidak bisa dibohongi untuk menolak Moersi dan Ikhwanul Musliminnya.
Ikhwanul Muslimin telah "dibajak" oleh para oportunis yang menggunakan slogan Islam sebagai alat politik mereka, dan ketika kekuasaan telah diraih, Islam mereka buang ke tong sampah. Wartawan independen terkenal dari Voltaire Net Thierre Mayssen berhasil mengungkap bagaimana para zionis Amerika berhasil mengendalikan kelompok ini, salah satunya melalui tokoh wanita Ikhwanul Muslimin yang menjadi istri seorang anggota Congress Amerika aktifis zionisme. Moersi sendiri juga memiliki jejak agak kelam dalam hidupnya: selama bertahun-tahun belajar dan bekerja di Amerika, memungkinkan indoktrinasi zionis menghancurkan idealisme Islamnya.
Setelah beberapa aksi "pembantaian kecil-kecilan" terhadap para pendukung Moersi, ternyata militer Mesir masih menahan diri untuk tidak melakukan "pembantaian besar-besaran". Para jendral Mesir rupanya masih berhitung dengan resiko yang bakal mereka hadapi jika jadi melakukan aksi penindasan besar-besaran, yaitu cap sebagai "pembunuh massal" dan "penjahat kemanusiaan" yang bisa membawa konsekuensi pahit. Hal ini lah yang justru telah menjadi pertimbangan para pemimpin Ikhwanul Muslimin untuk tetap bertahan dengan tuntutannya meski ada ancaman militer, yaitu pengembalian kekuasaan Moersi.
Para jendral Mesir dan saya (blogger) ternyata "kecele", para pemimpin dan pengikut Ikhwanul Muslimin Mesir ternyata cukup "gila" untuk bertahan dengan tuntutan mereka. Maksud saya yang gila adalah para pengikut, karena para pemimpin Ikhwanul Muslimin sendiri enak-enak bersembunyi di rumah ketika para pengikutnya itu meregang nyawa ditembaki tentara setelah dengan "gila" dengan bersenjatakan pisau dan senapan angin berusaha menduduki markas pasukan khusus Pengawal Republik yang dijaga dengan senapan mesin, meriam dan tank. Se-"gila" kesetiaan mereka kepada Moersi yang jelas-jelas telah mengkhianati janjinya selama kampanye untuk membatalkan perjanjian damai dengan Israel dan membebaskan Palestina serta membawa kedamaian dan kestabilan politik di Mesir sementara yang dilakukannya justru melakukan provokasi perang sektarian.
Saya sejujurnya sempat bersimpati dengan apa yang dialami para pengikut Presiden Moersi yang tengah "menderita" oleh penindasan militer. Di jaman modern ini mana ada lagi tempat bagi regim militer, apalagi militer Mesir yang dikenal korup. Ditambah dengan adanya sikap resmi pemerintah Iran, negara yang saya hormati setelah Indonesia di luar para pemimpinnya yang korup, yang tetap mendukung pemerintahan Moersi plus satu analisis menarik dalam satu artikel di media Iran Press TV yang menyebutkan adanya "konspirasi" penghancuran gerakan Islam yang tengah terjadi di Timur Tengah dengan beberapa sasarannya adalah gerakan Ikwanul Muslimin dan Hizbollah (Hizbolah, organisasi politik yang menjadi anggota koalisi pemerintahan Lebanon, baru saja dimasukkan dalam kelompok teroris oleh Uni Eropa). Namun nurani saya tidak bisa dibohongi untuk menolak Moersi dan Ikhwanul Musliminnya.
Ikhwanul Muslimin telah "dibajak" oleh para oportunis yang menggunakan slogan Islam sebagai alat politik mereka, dan ketika kekuasaan telah diraih, Islam mereka buang ke tong sampah. Wartawan independen terkenal dari Voltaire Net Thierre Mayssen berhasil mengungkap bagaimana para zionis Amerika berhasil mengendalikan kelompok ini, salah satunya melalui tokoh wanita Ikhwanul Muslimin yang menjadi istri seorang anggota Congress Amerika aktifis zionisme. Moersi sendiri juga memiliki jejak agak kelam dalam hidupnya: selama bertahun-tahun belajar dan bekerja di Amerika, memungkinkan indoktrinasi zionis menghancurkan idealisme Islamnya.
Dan semua itu dikonfirmasi oleh sikap politik Moersi yang sangat
pro-zionis dan kepentingan modal asing: mempertahankan perdamaian dengan
Israel (inilah yang membuat Presiden Sadat dan Hoesni Mubarak dibenci
oleh seluruh orang Arab hingga akhirnya Sadat dibunuh oleh tentaranya
sendiri. Moersi tentu berhak mendapat perlakukan yang sama). Ia juga
melakukan konspirasi dengan IMF untuk menjerumuskan Mesir dalam jebakan
hutang berbunga yang dilarang Islam, meski Qatar telah menggelontorkan
miliaran dolar kepadanya. Dan terakhir ia mencoba menyeret Mesir ke
dalam konflik sentarian dengan pernyataan-pernyataannya yang anti-Shiah
dan anti-Kristen Koptik.
Sekarang saya ingin memberikan prediksi saya tentang Mesir. Setelah
terjadinya jalan buntu (militer Mesir telah cukup bersabar dengan
berusaha mengadakan rekonsiliasi yang melibatkan diplomat-diplomat
barat), militer pada akhirnya tetap akan melakukan tindakan tegas dengan
membubarkan aksi-aksi demonstrasi pendukung Moersi dan Ikhwanul
Muslimin demi memberi jalan bagi pemerintahan sementara untuk
menjalankan tugasnya. Ini jika Ikhwanul Muslimin tidak mau bersikap
realistis dengan menerima kompromi yang ditawarkan pemerintah sementara
dengan bergabung dalam pemerintahan sementara sebagai "pengikut".
(Tuntutan mengembalikan Moersi ke kursi kepresidenan sangat tidak
realistis, kecuali para jendral Mesir mau menjatuhkan harga dirinya
serendah-rendahnya). Setelah tindakan keras yang menelan puluhan nyawa
itu para pemimpin IKhawnul Musliminpun harus mendekam dalam penjara dan
IKhwanul Muslimin dibekukan. Mesir pun kembali menjadi negara totaliter
selama waktu yang tidak diketahui.
Alternatifnya adalah Moersi dan pendukungnya bersikap realistis dan menerima kompromi. Pemilu digelar dan para pengikut Ikhwanul Muslimin hidup dalam realitas yang tidak sesuai dengan pandangan mereka selama ini, bahwa Mesir adalah negara plural yang melindungi semua rakyatnya.
Alternatifnya adalah Moersi dan pendukungnya bersikap realistis dan menerima kompromi. Pemilu digelar dan para pengikut Ikhwanul Muslimin hidup dalam realitas yang tidak sesuai dengan pandangan mereka selama ini, bahwa Mesir adalah negara plural yang melindungi semua rakyatnya.